Bab i, ii, iii
Click here to load reader
-
Upload
nur-alfiyatur-rochmah -
Category
Documents
-
view
142 -
download
10
Transcript of Bab i, ii, iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berbicara tentang adalah suatu pelajaran yang sangat penting untuk dikaji
sebagai dasar dan awal pengetahuan. Sebelum mempelajari hukum islam lebih
jauh lagi penulis akan mengajak untuk memahami bagaimana perkembangan
hukum Ilsam.
Penulis-penulis sejarah Hukum Islam telah mengadakan pembagian tahap-
tahap pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam. Pembagian ke dalam tahap-
tahap ini tergantung pada tujuan dan ukuran yang mereka pergunakan dalam
mengadakan pentahapan. Ada yang membaginya ke dalam 5, 6 atau 7 tahapan.
Namun pada umumnya mereka membagi tahap-tahap perkembangan dan
pertumbuhan Hukum Islam itu ke dalam 5 masa:
1. Masa Nabi Muhammad (610-632 M)
2. Masa Khulafa Rasyidin / Masa Sahabat (632-662 M)
3. Masa Dinasti Umayah
4. Masa Dinasti Abbasiyah
5. Masa Stagnasi
6. Hukum Islam di masa abad modern
Dan yang akan dibahas penulis pada makalah ini ialah perkembangan
Hukum Islam dari masa Nabi sampai Masa dinasti abbasiyah.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana Perkembangan Hukum Islam mulai dari Masa Nabi hingga
dinasti Abbasiyah.
2. Siapa saja yang berperan dalam perkembangan dan penetapan hukum
Islam.
1
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan di buatnya makalah ini diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Membuat karya ilmiah yang bertujuan untuk sumber atau referensi
khalayak agar dapat memahami sejarah perkembangan dan penetapan
hukum islam.
2. Untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa khususnya tentang
Sejarah hukum Islam.
3. Untuk memenuhi kewajiban akademik mahasiswa yang berupa tugas
dalam mata kuliah Studi Hukum Islam.
Adapun juga manfaat di buatnya makalah ini, yaitu :
1. Diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan dapat diterapakan
dalam kehidupan bersosial/bermasyarakat.
2. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara penulisan makalah yang
benar dan sesuai dengan penulisan karya ilmiah.
3. Mengembangkan pengetahuan mahasiswa tentang ilmu-ilmu
keagamaan khusunya dalam ilmu hukum Islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Islam adalah agama yang benar berasal dari Allah (Qs. 3: 19). Agama
yang bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Dalam al-
Qur’an surat al-Anbiya’ (21): 107 dan surat Saba’ (34):28, dinyatakan bahwa
lingkup keberlakuan ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah
untuk seluruh umat manusia, di manapun mereka berada. Berdasarkan pernyataan
ini Islam dapat diterima oleh setiap manusia di muka bumi ini. Islam dapat
menjadi pedoman hidup dan menyelesaiakan persoalan kehidupan masyarakat
modern., sebagaimana ia dapat mkenjadi pedoman hidup dan menyelesaikan
persoalan kehidupan masyarakat bersahaja (Harun Nasution, 1979).
Islam sebagai ajaran yang universal, absolute dan permanen, tidak berubah
da tidak dapat diubah tercantum dalam al-Qur’an dan hadis. Penunjukannya telah
jelas, mengatur kehidupan manusia dari seluruh aspeknya yang berpusat pada
tauhid mutlak (Azhar Basyir, 1993)
Sejak dari awal mula sejarah Islam, hukum bersumber pada syari’ah.
Syari’ah adalah wahyu Allah (terdapat dalam al-Qur’an) dan sunnah Nabi
Muhammad (terdapat dalam kitab-kitab hadis). Syari’ah adalah ketetapan Allah
dan ketentuan Rasul-Nya, materinya lengkap dan final (Fazlur Rahman, 1984).
Hukum menurut konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangkanya ditetapkan
oleh Allah, tidak hanya menggatur hubungan manusia dengan manusia lain dan
benda dalam masyarakat sebagaimana pengertian hukum menurut konsepsi
hukum Barat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup
dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu
adalah hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya
sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan
benda dalam masyarakat serta alam sekkitarnya (Daud Ali, 1996).
Hukum Islam, dalam arti syari’at telah ditetapkan oleh Allah melalui
wahyu-Nya yang disampaikan kepada Nabi Muhammad tercantum dalam al-
3
Qur’an, dan ditentukan oleh Nabi Muhammad melalui sunnahnya terdapat dalam
kitab-kitab hadis. Hukum Islam, dalam arti fikih, ditetapkan oleh manusia yang
telah memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid (orang yang melakukan ijtihad)
dapat dijumpai dalam kitab-kitab fikih.
2.1. Periode Nabi Muhammad
Penetapan hukum pada periode Nabi Muhammad berlangsung 22 tahun 2
bulan 22 hari (Hudhari Bik, tp). Periode ini telah mewariskan nas-nas hukum
dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, mewariskan sejumlah asas-asas penetapan
hukum yang menyuluruh, serta memberi petunjuk kepada sejumlah sumber dan
dalil-dalil untuk menentukan hukum sesuatu yang belum ada nasnya.
Periode Nabi Muhammad terdiri atas dua tahap yang berbeda: tahap
pertama, berlangsung sejak pengangkatan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul,
pada tanggal 17 Ramadhan ketika beliau berusia 40 tahun, disaat beliau menerima
wahyu yang pertama sampai saat beliau hijrah ke Madinah tanggal 1 Rabi’ul
Awal ketika beliau berusia 53 tahun (16 Juli 622 M).
Pada periode ini hukum yang diutamakan adalah untuk menanamkan
akidah dan akhlak, yaitu menanamkan jiwa tauhid dan akhlak mulia. Ayat-ayat
Al-Qur’an yang diturunkan pada periode ini banyak berisi tentang keimanan,
seperti iman kepada Allah, kepada Rasulnya, hari kiamat dan perintah untuk
berakhlak mulia seperti adil, memperhatikan kebersamaan, menepati janji dan
menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan. Sementara
itu, beberapa hukum (syari’at) yang turun pada oeriode ini juga dimaksudkan
untuk mwujudkan perubahan pola pikir musyrik menjadi pola pikir tauhid.
Beberapa hukum (syari’at) tersebut ialah seperti, haram makan binatang yang
disembelih tanpa menyebut nama Allah serta keterangan tentang hewan-hewan
yang haram untuk dimakan.
Kemudian, turun surat al-an’am ayat 145 untuk mengubah kebiasaan
orang-orang jahiliyah yang menyembelih hewan atas nama Tuhan mereka yang
batil, mengharamkan dan menghalalkan hewan-hewan sesuai dengan hawa nafsu
mereka (Q.S. 6:136). Selain itu, ada juga perintah untuk melakukan shalat dan
4
zakat. Perintah melakukan shalat yang berkaitan dengan akidah, seperti shalat
untuk mengingat Allah (Q.S. 20:14). Perintah shalat yang berkaitan denagn
akhlak, seperti shalat mencegah perbuatan fakhsya’ dan munkar (Q.S. 29:45).
Perintah zakat yang bersifat umum dalam arti sedekah, sementara cara
pelaksanaannya, kadar yang harus dikeluarkan dan ketentuan lainnya ditetapkan
pada periode Madinah.
Tahap kedua yang disebut juga periode Madinah berlangsung sejak Nabi
Muhammad hijrah sampai saat beliau wafat. Pada periode ini, Allah menurunkan
ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum dari semua persoalan yang dihadapi
manusia. Yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Allah, yang disebut hukum ibadat seperti shalat, puasa, haji, bersuci dari hadas,
dan sebagainya. Selain itu, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan
manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya, yang disebut
hukum mu’amalat dalam arti luas.
Hukum Mu’amalat meliputi:
a. Munakahat: mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan, perceraian serta dan akibat-akibatnya.
b. Wirasaah:mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pewaris,
ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan.
c. Mu’amalat: dalam arti khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak
atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa menyewa,
pinjam-meminjam, perserikatan, dan sebagainya.
d. Jinayat: yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang
diancam baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’sir.
e. Al-akham as-sultaniyah: membicarakan soal-soal yang berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, tentara, pajak, dan sebagainya.
5
f. Syiar: mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk
agama dan negara lain.
g. Muhassamat: mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.
Ayat-ayat hukum yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad, baik
yang di Mekkah maupun di Madinah mengandung petunjuk kebenaran bagi
kebahagiaan umat manusia. Ayat-ayat tersebut adalah dokumen keagamaan
dan etika yang bertujuan praktis menciptakan masyarakat yang bermoral baik
dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia saleh dan religius dengan keadaan
yang peka dan nyata akan adanya satu Tuhan yang memerintahkan kebaikan
dan melarang kejahatan.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Mekkah berkisar pada masalah
akidah dan moral, sedangkan pada periode Madinah lebih pada rekonstruksi
sosial dan moral masyarakat pada seluruh dimensi kehidupan. Contoh zakat,
walaupun berulang kali ditekankan, tetapi masih merupakan pemberian suka
rela kepada anggota-anggota yang miskin komunitas Islam Mekkah. Tetapi di
Madinah, zakat dinyatakan wajib bagi kesejahteraan umat Islam dan mulai
ditertibkan aturan pelaksanaannya.
Hukum yang ditetapkan pada periode Nabi Muhammad adalah hukum
dalam arti syari’at, berlaku abadi dan bersifat universal, tidak mungkin
berubah dan tidak boleh diubah oleh siapapun, telah sempurna, baik dari segi
materi, prinsip-prinsip maupun dari segi tujuannya untuk kebahagiaan hidup
umat manusia di dunia dan akhirat.
2.2. Periode Sahabat
Sejarah penetapan hukum dalam Islam pada periode sahabat dimulai sejak
Nabi Muhammad wafat, yaitu pada tahun 11 Hijriyah, dan berakhir ketika
Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai Khalifah pada tahun 41 Hijriyah
(Mun’in A.Sirry, 1995). Periode ini merupakan awal sejarah penetapan hukum
Islam dalam arti fikih, sebab penetapan hukum pada periode ini merupakan hasil
pemahaman terhadap al-Qur’an dan hadis. Hukum dalam pengertian syri’at telah
6
berhenti bersama dengan NabiMuhammad wafat. Periode ini disebut sebagai
periode sahabat karena kekuasaan menetapkan hukum berada di tangan para
sahabat. Pada periode ini lahir syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan siapa yang
berhak menetapkan hukum dan memberi fatwa. Syarat-syarat itu antara lain : (1)
Sampai sejauh mana keahlian mereka dalam soal hukum, (2) berapa lama mereka
bergaul dan berdampingan dengan Nabi Muhammad semasa beliau masih hidup,
(3) dan seberapa jauh pengetahuan mereka terhadap al-Qur’an (asbabun nuzul)
maupun hadis (asbabul wurud).
Sumber hukum pada periode sahabat adalah al-Qur’an, Sunnah dan ra’yu.
Jika timbul suatu masalah para sahabat mencari hukumnya di dalam al-Qur’an.
Jika ditemukan di dalamnya, maka nas-nas itu dijadikan sebagai dasar untuk
menetapkan hukum. Jika tidak ditemukan di dalam al-Qur’an, mereka mencari
hukumnya dalam Sunnah. Jika ditemukan di dalamnya, maka dalil-dalil itu
dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum. Jika tidak ditemukandalam
Sunnah, mereka menggunakan ra’yu sebagai dasar ijtihad menetapkan hukum
dengan jalan mengqiyaskan dengan sesuatu yang telah ada nasnya dalam al-
Qur’an atau Sunnah, atau dengan berdasarkan pada jiwa tasyri’, yaitu dasar
kemaslahatan manusia.
Para sahabat yang pernah menggalami hidup bersama Nabi Muhammad,
diantara mereka banyak yang hafal al-Qur’an dan hadis secara langsung
mengetahui sebab-sebab turunnya al-Qur’an dan sebab-sebab Nabi Muhammad
bersabda, maka mereka mengetahui benar tentang sebab-sebab terjadinya
ketetapan-ketetapan hukum dan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah, serta maksud dan
tujuan ditetapkan hukum untuk menjamin kemaslahatan manusia. Dan karna
keistimewaan-keistimewaan inilah, mereka memiliki keahlian untuk menjelaskan
nas-nas tersebut jika ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada periode ini.
Diantara sahabat yang termasyur, yang berada di Makkah adalah Abdullah bin
Abbas, di Kufah ada Ali bin Abi Thalib dan Abdullah Ibn Mas’ud, di Basrah ada
Anas bin Malik dan Abu Musa al-Qur’an – Asy’ari, di Syam ada Muadz bin Jabal
dan Ubadah bin Samit, di Mesir ada Abdullah bin Amir bin As, di Madinah ada
7
Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib), Zaid bi Tsabit, Ubay ibn Ka’ab, Abdullah bin Umar, dan Aisyah.
Pengaruh yang sangat penting hasil ijtihad periode sahabat bagi penetapan
hukum pada masanya dan masa-masa berikutnya adalah ketetapan himpunan ayat-
ayat al-Qur’an dalam satu mushaf da menyebarluaskan kepada kalangan kaum
muslimin. Dasar ijtihad ini yaitu, karena Nabi Muhammad semasa hidupnya telah
mengangkat para penulis wahyu untuk mencatat ayat-ayat al-Qur’an yang turun.
Apabila salah satu atau ada beberapa ayat, beliau lalu membacakan di hadapan
kaum muslimin kemudian para penulis wahyu yang hadir dalam kesempatan ini
untuk mencatat ayat-ayat yang telah dibacakan. Sahabat yang lain juga
mencatatnya untuk catatan pribadi. Ketika Nabi Muhammad wafat, ayat-ayat al-
Qur’an telah terhimpun. Dan ada beberapa sahabat yang menghafalnya.
Penghimpunan ayat-ayat al-Qur’an ada yang tertulis di daun-daun, ada yang
tertulis di batu-batu putih yang tipis, da nada juga yang tertulis di pelepah-pelepah
kurma.
Setelah berkecamuk dengan perang riddah (perang anatara kaum
muslimin dengan orang-orang murtad) pada zaman Khalifah Abu Bakar, dan
banyak sahabat-sahabat yang terbunuh dalam peperangan ini, timbullah
kekhawatiran dikalangan penguasa, bahwa al-Qur’an yang terpelihara itu akan
lenyap. Karena itu mereka mengadakan musyawarah dengan Khalifah Abu Bakar,
agar menggumpulkan dan menghimpun ayat-ayat al-Qur’an menjadi satu
himpunan. Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis wahyu utama dan
penghafalan al-Qur’an yang paling kuat, untuk melaksanakan tugas menghimpun
ayat-ayat al-Qur’an yang berserakan. Usaha ini berhasil dengan bantuan sejumlah
sahabat Muhajirin dan Anshar. Himpunan al-Qur’an yang pertama ini mulanya
disimpan di rumah Abu Bakar, kemudian diserahkan pemeliharaannya kepada
Umar bin Khatab, selanjutnya dialihkan kepada Hafsah binti Umar.
Setelah Abu Bakar wafat, pada Senin 23 Agustus 624 Masehi, jabatan
Khalifah dipegang oleh Umar bin Khattab. Persoalan-persoalan hukum pada masa
ini semakin bertambahseiring dengan bertambah luasnya wilayah kekuasaan
pemerintah Islam, sehingga ijtihad pada masa ini tidak hanya menggunakan
8
metode qiyas untuk menetapkan hukum terhadap peristiwa yang tidak ada nas-nya
dalam al-Qur’an dan Sunah, akan tetapi pengkajian secara mendalam terhadap
jiwa syari’at (al-Qur’an dan Sunnah) agar dapat memperoleh kemaslahatan dunia
dan akhirat menjadi pertimbangan untuk menetapkan hukum.
Di masa Umar bin Khatab terdapat pula permasalahan yang menyangkut
tentang harta rampasan perang dibagikan kepada para prajurit sebanyak 4/5 nya.
Namun Umar bin Khatab tidak membagikan kepada para prajurit yang terlibat
perang. Beliau berpendapat bahwa masa depan umat Islam di negeri yang baru
ditaklukkan (Irak dan Syam) perlu dipikirkan ulang, yaitu untuk kebutuhan
umum, seperti administrasi, gaji pegawai dan prajurit yang ditanggung oleh
pemerintah, dls.
Namun Bilal bin Rabah dan beberapa sahabat lainnya menuntut untuk
membagikan 4/5 hasil rampasan perang tersebut untuk para prajurit. Tuntutan
tersebut cukup beralasan karena memang demikianlah yang di praktekkan oleh
Nabi Muhammad. Dan selama 3 hari Umar bin Khatab tidak keluar rumah untuk
memikirkan tuntutan tersebut. Setelah Umar bin Khatab mengkaji ayat-ayat al-
Qur’an dan beristiqarah minta petunjuk kepada Allah, akhirnya Umar menemukan
4 ayat dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat al-Hasyr (59) ayar 6,7,8, dan 10. Dan
setelah Umar membacakan dan menjelaskan ayat tersebut Bilal bin Rabah dan
beberapa sahabat lainnya dapat menerima serta mensetujui pendapatnya.
Setelah Umar bin Khattab wafat (23 H/ 644 M), kepemimpinan umat
Islam dipegang Usman bbin Affan, baru saja menduduki jabatannya sebagai
Khalifah, ia menerima laporan dari pembantunya (Hudzaifah bin Yaman) tentang
berbagai macam bacaan dan versi al-Qur’an yang telah beredar diberbagai daerah
dan memohon agar Usman memberikan pengertian kepada umat sebelum terjadi
perselisihan. Berdasarkan laporan ini Usman bin Affan meniai bahwa hal ini tidak
bisa dibiarkan berlarut-larut, karena akan membahayakan kesatuan dan persatuan
umat Islam. Lalu Usman menanggapi permohonan tersebut dengan mengirim
utusan meminjam lembaran-lembaran al-Qur’an pada Hafsah binti Umar untuk
menyalin ke dalam mushaf-mushaf. Setelah itu Usman mengirimkan hasil kerja
panitia, berupa mushaf standar, ke seluruh wilayah.
9
Setelah Usman bin Affan wafat (36 H/ 656 M), kepemimpinan umat Islam
berikutnya dipegang Ali bin Abi Thalib. Ketika baru menduduki jabatannya
sebagai Khalifah, ia dituntut untuk mengatasi pemberontakan yang dipimpin oleh
Thalhah dan Zubair. Setelah pemberontakan ini dapat diatasi menyusul
pemberontakan berikutnya yang di pimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.
Meskipun stabilitas keaman pada masa Ali bin Abu Thalib terganggu karena
adanya pemberontakan-pemberontakan, sehingga mengganggu konsentrasi Ali
untuk meneruskan pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan yang telah
dirintis oleh para Khalfah sebelumnya, namun ia masih sempat melahirkan karya
intelektual.
Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Nabi yang paling konsisten memegang teguh
Sunnah Rasul. Ia mengatakan “Aku tidak akan meninggalkan Sunah Rasulullah
hanya karena ra’yu atau pendapat seseorang”. Pernyataan ini disampaikan di
depan Umar dan Usman, ketika 2 sahabat Nabi ini melarang umat Islam
melakukan haji tamatu’, yang dinilai oleh Ali bahwa larangan itu tidak memiliki
dasar hukum (al-Qur’an dan Sunnah) sebab Nabi Muhammad melakukan haji
tamatu’. Ketika Umar bin Khattab menjadi Khalifah, ia menghukum dera
peminum khamar sebanyak 80 kali. Ketika Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah
menghukumnya sebanyak 40 kali sebagaimana Nabi melakukannya. Ketika Umar
bin Khatab menetapkan hukum rajam bagi orang gila berzina. Ali bin Abi Thalib
membebaskan hukum itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud.
2.3 Periode Bani Ummaiyah
Setelah masa khalifah al-Rasyiddin berakhir, fase selanjutnya adalah
zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh dinasti umayah. Dengan
khalifah utama Muawiyah bin Abi Sufyan, dinasti ini beribukota di Damaskus.
Muawiyah telah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya dan
menyipakan daerah Syria sebagai pusat kekuasaannya di kemudian hari. Dinasti
ini berkuasa selama kurang lebih 91 tahun dengan 14 orang khalifah.
1. Muawiyah bin Abu Sofyan 661 s.d. 680
2. Yazid bin Muawiyah 680 s.d. 683
10
3. Muawiyah bin Yazid 683 s.d. 684
4. Marwah bin Hakam 684 s.d. 685
5. Abdul Malik bin Marwan 685 s.d. 705
6. Walid I bin Abdul Malik 705 s.d. 715
7. Sulaiman bin Abdul Malik 715 s.d. 717
8. Umar bin Abdul Aziz 717 s.d. 720
9. Yazid bin Abdul Malik 720 s.d. 724
10. Hisyam bin Abdul Malik 724 s.d. 743
11. Walid II bin Yazid II 743 s.d. 744
12. Yazid III 744 s.d. 745
13. Ibrahim bin Walid II 745 s.d. 747
14. Marwan II bin Muhammad II 747 s.d. 750
Diantara 15 Khalifah Dinasti umayah tersebut hanya 5 orang khalifah yang
menduduki jabatan dalam waktu yang cukup panjang dan memberikan pengaruh
bagi perkembangan Islam, yaitu Muawiyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin
Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Hasyim bin Abdul
Malik.
Dengan berdirinya daulah umayah maka sistem politik dan pemerintahan
berubah. Pemerintahan tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagai proses
pergantian khalifah sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun
menurun. Seorang khalifah tidak lagi harus sekaligiusnya pemimpin agama
sebagaimana khalifah sebelumnya. Urusan agama diserahkan kepada ulama, dan
ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh khalifah.
Pada masa dinasti umayah, al-Qadha dikenal dengan al-Nizam al-
Qadhaaiy (organisasi kehakiman), dimana kekuasaaan pengadilan telah
11
dipisahkan dari kekuasaan politik. Ada 2 ciri khas bentuk peradilan pada masa
bani umayah, yaitu :
1. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-
hal yang tidak ada nash atau ijma’. Ketika itu Mazhab belum lahir dan
belum menjadi pengikat bagi keputusan-keputusan hakim. Pada waktu itu
hakim hanya perpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Lembaga Peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa.
Hakim memiliki hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh
keinginan-keinginan penguasa. Keputusan mereka tidak hanya berlaku
pada rakyat biasa, tetapi juga pada penguasa-penguasa sendiri. Dalam hal
itu, khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim
yang menyeleweng dari garis yang ditentukan.
Pegangkatan hakim dipisah dari gubernur. Khalifah mengangkat qadhi-
qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan, sementara qadhi yang bertugas di
daerah diserahkan pengangkatannya pada kepala daerah tersebut. Pemersalahna
yang bisa ditangani oleh qadhi ini terbatas pada masalah-masalah khusus,
sementara yang melaksanakan keputusan itu adalah khalifah. Lembaga peradilan
dipegang poleh orang islam, sedangkan kalangan non muslim mendapatkan
otonomi hukum dibawah kebijakan masing-masing pemimpin aga mereka. Hal
inilah yang mendasari mengapa hakim ada di kota-kota besar.
Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman dimasa bani umayah ini
diketagorikan menjadi 3 badan yaitu :
1. Al-Qadhaa’ , merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-
perkara yang berhubungan dengan agama. Disamping itu badan ini juga
megatur institusi waqaf, harta anak yatim, orang yang cacat mental.
2. Al-Hisbah , merupakan tugas al-muhtasib. Dalam menyelsaikan perkara-
perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
Menurut Al-Syaqathi dalam bukunya Fi Adaab al-hisbah seperti yang
dikutip oleh Philip K. Hitty bahwa tugas al-Muhtasib selain mengarahkan
12
polisi juga bertindak sebagai pengawas perdagangan dan pasar,
memerikasa takaran dan timbangan serta ikut mengurusi kasus-kasus
perjudian, seks amoral, dan busana yang tidak layak di depan umum.
3. al-Nadhaar fi al-Mazhalim, merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah
banding dari mahkamah dibawahnya. Lembaga ini juga mewakili para
hakim dan pembesar negara yang berbuat salah.
Para pengadilan kategori ketiga ini dalam melakukan sidangnya langsung
dibawah pimpinan khalifah. Ketika itu Abdul Malik bin Marwan atau
orang yang ditunjuk olehnya, yang pada awalnya diadakan didalam
masjid. Dalam menjalaskan tugasnya ketua mahkamah Mazhalim ini
dibantu oleh 5 orang pejabat penting lainnya, yaitu :
1. Pembela
2. Hakim
3. Ahli fikih
4. Sekertaris
5. Saksi
Ulama mencatat bahwa orang yang pertama menggagas dan melaksanakan
keberadaan wilayah mazhalim dan hisbah adalah khalifah Abdul Malik bin
Marwan dan kemudian disempurnakan oleh Umar bin Abdul Aziz.
Suatu perkara yang diselesaikan melalui mahkamah mazhalim dinyatakan
tidak sah apabila salah satu unsur sidang diatas tersebut tidak hadir.
Hukuman yang biasanya diputuskan pengadilan adalah dalam bentuk
denda, skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh dan dalam beberapa kasus
khusus seperti bid’ah dan murtad hukuman mati menjadi hukuman final.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan telah
berjalan dengan detail dan kuatnya putusan yang diambil oleh hakim dalam
menetapkan suatu perkara.
13
Untuk menjamin kebersihan hakim, khalifah menganjurkan untuk mengangkat
hakim dari kalangan orang kaya dengan maksud supaya terbebas dari keinginan
menguasai rakyat. Hal ini sesuai dengan pesan Umar bin Khatab ketika menulis
surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Janganlah kamu mengangkat hakim
melainkan orang yang memiliki harta dan kehormatan, sebab orang yang
memiliki harta tidak akan menginginkan harta milik umat.”
Putusan-putusan hakim pada masa ini belum lagi disusun dan dibukukan
secara sempurna. Orang-orang yang berperkara biasanya mengajukan perkaranya
kepada hakim, maka hakim memeriksa serta memberikan putusannya dengan cara
menerangkan kepada yang terhukum tentang fatwa sebagai dasar pegangan
hakim.
Seorang hakim yang bertugas di Mesir bernama Salim bin Ataz, merasa
perlu meregistrasikan putusan yang telah ditetapkan, seiring dengan meningkatnya
perkara-perkara rakyat, karena dalam masalah yang sama tentang pembagian harta
warisan terhadap putusan hakim yang berbeda, sehingga mereka kembali lagi
kepada hakim untuk meminta keadilannya. Setelah hakim memutuskan sekali
perkara itu, maka putusan itu ditulis dan dibukukan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa dialah permulaan hakim yang mencatat putusannya, dan menyusun
yurisprudensi pada Muawiyah tersebut.
Selain pencatatan dan penyusunan yurisprudensi, Muawiyah membuat
sebuah biro registrasi, karena ada yang berusaha memalsukan tandatangannya.
Adapun tugas biro registrasi adalah membuat dan menyimpan setiap salinan
dokumen resmi sebelum distempel, dan mengirimkan lembaran aslinya. Pada
masa Abdul Malik, dinasti Umayah membangun gedung arsip negara di
Damaskus.
2.4 Periode Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari dari dinasti Umayah.
Dianamakan Abbasiyah karena pendiri Dinasti ini adalah keturunan dari al-Abbas
paman Nabi Muhammad Saw. dan kekuasaan Bani Abbasiyah ini berlangsung
14
dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H/ 750 M sampai 656 H / 1258
M.
Badri Yatim menjelaskan bahwa berdasarkan perubahan pola pemerintahn
dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah
Abbasiyah menjadi lima periode yaitu sebagai berikut :
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut pengaruh Arab
dan Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334H/945 M), disebut pengaruh turki
pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan Dinasti
Buwaih dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga
masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan
Daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah, disebut juga
dengan masa pengaruh Turki kedua di bawah Kesultanan Seljuk Raya
(Salajah al-kubra/Seljuk Agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaan hanya efektif di Kota Bagdad
(invansi Tartar, dan ekspensi Bani Utsmani secara besar-besaran).
Periode Abbasiyah adalah periode yang baik untuk memelajari sistematika
hukum Islam. Pada periode ini beberapa aliran hukum Islam muncul, dimana yang
momumental di antaranya adalah empat aliran sunni yang diakaitkan dengan
nama Abu Hanafiah, Malik bin Anas, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.
1. Abu Hanifah (150 H/767 M)
Nu’man ibn Sabit, dikenal sebagai imam Abu Hanifah lahir pada
tahun 80 H/699 M di Kufah dan meninggal delapan belas tahun setelah
Abbasiya berkuasa. Ia memiliki kekuatan nalar yang luar biasa dan
15
merumuskan sebuah teori yang disebut istihsan atau pilihan hukum yang
menunjukan pelanggaran atas analogi yang ketat demi kepentingan umum.
Disini dapat dicatat bahwa penalaran seseorang biasanya disebut
opini atau ra’yu, tetapi ketika dipergunakan oleh mujtahid atau orang yang
memenuhi persyaratan maka disebut ijthad atau usaha menyimpulkan
peraturan-peraturan hukum. Ketika ditujukan untuk mencapai sistematika
konsistensi dan dituntun oleh kesamaan institusi atau keputusan yang ada
maka disebut qiyas atau analogi, kesamaan penalaran ketika merefleksikan
pilihan pribadi dan kebebasan pendapat seseorang ahli hukum, yang
dituntun oleh idenya yang tepat maka disebut istihsan atau istihab,
“persetujuan atau pilihan”. Abu hanifah yang mengajukan teori istihsan
disebut pendukung pendapat pribadi.
2. Malik bin Anas (179 H/795 M)
Malik bin Anas yang terkenal sebagai Imam Malik lahir pada tahun
95 H/713 M di Madinah, tempat ia belajar dan dianggap sebagai ahli hadis
yang paling terkemuka. Ia juga ahli hukum yang besar dan aliran Maliki
dikaitkan dengan namanya. Ia banya belajar tentang hadis Nabi dan
ketetapan yang diambil oleh para sahabatnya.
Hal yang tersulit ialah membedakan antara aliran Maliki dan Abu
Hanifah. Karena sumber utamanya tentu saja Al-Qur’an, kemudian sunnah
Nabi. Ia digabungkan dengan pengalaman para khalifah dan undang-
undang kota yang tidak tertulis.
Malik sangat terkait dengan arti penting tradisi madinah dengan
anggapan bahwa tradisi-tradisi ini mesti telah dipindahkan dari masa Nabi.
Konsepsi lain yang dikembangkan oleh Malik dan alirannya adalah
persetujuan atau ijma’. Ia tidak memberikan kekuasaan keputusan melalu
ijma’ kepada dunia luar, karena Madinah dunia baginya dan persetujuan
Madinah semata dapat menetapkan kebenaran universal.
3. Syafi’i (204 H/819 M)
16
Muhammad bin Idris al-Syafi’i yang dikenal Imam Syafi’i adalah
murid imam Malik. Ia Lahir di Palestina pada tahun 150 H / 767 M bahkan
sejak usia muda telah menunjukan bakat. Ia adalah pelopor Yuridprudensi
Islam. Teori-teorinya terkenal karena pandangannya yang sederhana dan
keseimbangan hukum. Buah penanya tentang yurisprudensi yaitu Risalah
merupakan karya monumentalyang menunjukan pandangan yang jelas dan
pandangan yang penuh mengenai pengetahuan hukum yang
memungkinkan untuk mengatakan apa yang terbukti menjadi kata pemutus
dalam permasalahan.
Kebesarannya terletak pada sikap menyeimbangkan anatara
pendukung hadis dengan pendukung pendapat (ra’yu). Ia mencoba
mengikuti sikap tengah antara dua tendensi yang bertentangan, dengan
prinsip meyetujui hanya yang benar dan bersumber pada Nabi. Baginya
hadis bisa diterima atau tidaknya itu bergantung pada isnad atau rangkaian
pembawa cerita.
4. Ahmad bin Hanbal (154-241 H/780-855 M)
Diantara ulama besar yang mengikuti ajaran Syafi’i ialah Abu
Abdullah Ahmad bin Hanbal, yang dikenal sebagai imam Ahmad bin
Hanbal. Ia lahir di bagdad pada tahun 164 H /780M. Reputasinya sebagai
ahli hadis dan teologi lebih besar daripada sebagai ahli hukum. Ia amat
ketat memegangi hadis Nabi dan mengintepretasikan secara literal. Tidak
seperti imam-imam yang lain, ia membolehkan doktrin ijma’ dan qiyas
secara amat terbatas. Ia sama sekali tidak menerima pemikiran manusia
sebagai sumber hukum, hanya wahyu ilahi dalam Al-Qur’an dan
Sunnahlah yang berwenang sebagai sumber hukum. Kesalehannya dapat
dikumpulkan dari fatwa bahwa ia mengatakan tidak pernah makan buah
semangka karena tidak menjupai teladan Nabi dalam masalah ini. Musnad
adalah karyanya yang terkenal yang memuat lebih dari 40.000 Hadis.
Inilah empat aliran hukum sunni yang sekarang masih hidup. Ada
beberapa aliran hukum yang lain seperti Auzai (wafat 157H/774). Dawud al-
17
Zahiri (wafat 270 H/884M) dan Tabari (wafat 310 H/923 M). Aliran Dawud al-
Zahiri memegangi hanya arti literal (zahir) Al-Qur’an dan Assunah. Teorinya
ditolak karena menganggap menentang agama tidak hanya kebebasan penggunaan
pendapat pribadi yang sangat umum sebelum Syafi’i, tetapi juga menggunakan
analogi yang dianjurkan oleh Syafi’. Menurut Zahiri ijma’ yang sah adalah ijtihad
para sahabat Nabi. Tulisan-tulisan dari pengikutnya yang besar, Ibnu Hazm (456
H/1063 M). menyikap aspek-aspek kesamaan tertentu dengan ajaran Hanbali dan
para ahli Hadis secara umum.
Pemikiran ahli hukum mengalami penurunan dengan runtuhnya Bagdad
pada tahun 1258 M. Ahli Hukum sunni berpendapat bahwa empat aliran diatas
yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal benar-benar cukup.
Jadi, pintu ijtihadtelah ditutup dan setelah itu mulailah periode taklid yakni,
mengikuti pendapat dari salah satu empat mazhab diatas tanpa meneliti
sumbernya.
18
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pembentukan Hukum Islam dibentuk pada masa Rasulullah SAW. Benih-
benih Hukum Islam itu sendiri di kembangkan pada saat masa sahabat atau masa
Khulafaur Rasyidun lalu munculah pengelompokan-pengelompokan pemikiran
pada masa dinasti umayah, dengan seiring waktu pada masa Dinasti Abbasiyah
dilakukan pembentukan madzab hukum Islam seperti contoh Madzab imam yang
terkenal yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
bin Hanbal.
3.2. Kritik dan Saran
Mengenal sejarah merupakan awal untuk memelajari suatu ilmu tersebut,
kita diharuskan untuk memelajari sejarah hukum islam agar kita tahu dasar
ataupun asal mula dari hukum islam itu sendiri. Untuk pembaca perlu
diperhatikan dalam memelajari hukum islam alangkah lebih baiknya jika kita
mengenal sejarahnya terlebih dahulu.
Demikianlah makalah yang dapat penulis buat semoga bermanfaat bagi
orang yang membacanya dan menambah wawasan tentang ilmu Agama Islam
khusunya dalam sejarah hukum islam periode Rasulullah sampai dengan masa
dinasti Abbasiyah. Penulis menerima kritikan dan saran dari khalayak agar
kedepannya lebih baik lagi dalam penulisan makalah ini. Penulis juga memohon
maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas
serta kurang dimengerti mengerti mohon jangan dimasukan ke dalam hati.
19
20