BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan...

116
BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRA Trauma pada tulang belakang merupakan peristiwa yang merugikan, baik secara biaya ataupun sosial. Trauma vertebra di negara maju dan berkembang terutama sering didapatkan pada laki-laki berusia 18−32 tahun. Secara global, data mengenai insidensi dan prevalensi trauma tulang belakang amat terbatas, khususnya di negara-negara berkembang, termasuk upaya dalam pencegahan, perawatan kesehatan dan perencanaan sosial yang berhubungan dengan penyakitnya. 1,2 Prevalensi Trauma Vertebra Secara Mendunia Angka prevalensi trauma tulang belakang secara global dilaporkan berada di antara 236−4187 per sejuta penduduk. Data prevalensi tulang belakang sampai saat ini belum tercatat dengan baik, seperti halnya di negara-negara Asia dan diperkirakan memiliki nilai dibawah prevalensi global. Bahkan pada negara Afrika dan Amerika Selatan, data tersebut tidak diterbitkan. 3 Data AS menunjukkan 721−4187 per sejuta penduduk, dengan rata-rata sekitar 853 per sejuta penduduk. 9,20,21,22,23 Kawasan Asia Selatan dan Tenggara sebesar 236−464 per sejuta penduduk. 26,27 Australasia sebesar 370 di 1987-681 per sejuta penduduk di 1998. 28,29,30 Eropa Barat sebesar 316 per sejuta penduduk. 31 Li dan Ning 34,35 memberikan data insiden daerah terakhir untuk daratan China sebesar 60,6 per sejuta penduduk per tahun di Beijing dan 23,7 di provinsi Tianjin. Kecelakaan transportasi darat menyumbang 49% dari trauma tulang belakang pada populasi Taiwan dengan 65% dari kecelakaan tersebut terkait dengan kendaraan bermotor roda dua. 36 Australia dan New Zealand 12,39 memiliki angka kejadian trauma tulang belakang yang tinggi akibat kecelakaan transportasi darat (terutama dari kendaraan roda empat), sekitar 63% dari cedera ini mengenaivertebra servikal. 40 Di Selandia Baru, rugby berperan dalam 8% kasus cedera tulang belakang yang berhubungan dengan olahraga.

Transcript of BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan...

Page 1: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

BAB I

EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRA

Trauma pada tulang belakang merupakan peristiwa yang merugikan, baik secara biaya

ataupun sosial. Trauma vertebra di negara maju dan berkembang terutama sering didapatkan

pada laki-laki berusia 18−32 tahun. Secara global, data mengenai insidensi dan prevalensi trauma

tulang belakang amat terbatas, khususnya di negara-negara berkembang, termasuk upaya dalam

pencegahan, perawatan kesehatan dan perencanaan sosial yang berhubungan dengan

penyakitnya.1,2

Prevalensi Trauma Vertebra Secara Mendunia

Angka prevalensi trauma tulang belakang secara global dilaporkan berada di antara

236−4187 per sejuta penduduk. Data prevalensi tulang belakang sampai saat ini belum tercatat

dengan baik, seperti halnya di negara-negara Asia dan diperkirakan memiliki nilai dibawah

prevalensi global. Bahkan pada negara Afrika dan Amerika Selatan, data tersebut tidak

diterbitkan.3 Data AS menunjukkan 721−4187 per sejuta penduduk, dengan rata-rata sekitar 853

per sejuta penduduk.9,20,21,22,23 Kawasan Asia Selatan dan Tenggara sebesar 236−464 per sejuta

penduduk.26,27 Australasia sebesar 370 di 1987-681 per sejuta penduduk di 1998.28,29,30 Eropa

Barat sebesar 316 per sejuta penduduk.31 Li dan Ning34,35 memberikan data insiden daerah

terakhir untuk daratan China sebesar 60,6 per sejuta penduduk per tahun di Beijing dan 23,7 di

provinsi Tianjin. Kecelakaan transportasi darat menyumbang 49% dari trauma tulang belakang

pada populasi Taiwan dengan 65% dari kecelakaan tersebut terkait dengan kendaraan bermotor

roda dua.36

Australia dan New Zealand12,39 memiliki angka kejadian trauma tulang belakang yang

tinggi akibat kecelakaan transportasi darat (terutama dari kendaraan roda empat), sekitar 63%

dari cedera ini mengenaivertebra servikal.40 Di Selandia Baru, rugby berperan dalam 8% kasus

cedera tulang belakang yang berhubungan dengan olahraga.

Page 2: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Untuk Eropa Timur, data Estonia yang digabungan dengan data regional

Rusia41,42,43menunjukkan bahwa penyebab utama trauma tulang belakang di Estonia dan Rusia

adalah akibat terjatuh (40%) dan kecelakaan saat berkendara (25%).

Di Eropa, insidensi trauma vertebra dilaporkan sebagai berikut; Denmark sebesar 9,2 per

sejuta penduduk, Finlandia sebesar 13,8 per sejuta penduduk, Prancis sebesar 19,4 per sejuta

penduduk, Jerman sebesar 10,7 per sejuta penduduk, Yunani sebesar 33,6 per sejuta penduduk,

Greenland sebesar 26 per sejuta penduduk, Islandia sebesar 20 per sejuta penduduk, Irlandia

sebesar 13,1 per sejuta penduduk, Italia sebesar 19 per sejuta penduduk, Belanda sebesar 7,5 per

sejuta penduduk, Norwegia sebesar 26,3 per sejuta penduduk, Spanyol sebesar 12,1 per sejuta

penduduk, Swiss sebesar 15 per sejuta penduduk.2 Median dari data ini adalah 16 per sejuta

penduduk.54,55,56,57,58,59

Kelangsungan Hidup Penderita Trauma Vertebra Secara Global

Kemampuan merawat penderita trauma vertebra tercermin dalam sejumlah statistik

kelangsungan hidup; tingkat kelangsungan hidup pada 1 dan 10 tahun pascacedera, dan harapan

hidup dibandingkan dengan populasi normal. Negara-negara berkembang memiliki angka

kematian 1 tahun yang tertinggi akibattrauma vertebra.60,61,62

Insidensi trauma vertebraakibat kecelakaan transportasi darat (kendaraan roda empat)

stabil atau cenderung menurun di negara-negara maju, tetapi terdapat peningkatan di negara-

negara berkembang. Laporan status global keselamatan dunia menggariskan bahwa 90%

kecelakaan transportasi darat yang fatal pada tahun 2004 terjadi di negara berpenghasilan rendah

dan menengah, dan merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok usia 15−29 tahun,

tertinggi kedua pada kelompok usia 5−14 tahun, dan tertinggi ketiga pada kelompok usia 30−44

tahun.67,68

Penduduk di negara maju memiliki mobil dengan teknologi yang lebih aman;

kemampuan menyerap energi benturan, penggunaan sabuk pengaman aktif dan kantong udara.

Selain itu, desain jalan yang lebih baik, kewajiban untuk memiliki lisensi mengemudi

(SIM)sertapenyediaan sarana transportasi publik yang baik dan aman seperti monorail.Negara-

negara berkembang memiliki infrastruktur jalan yang buruk, banyak kendaraan yang tak layak

Page 3: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

beroperasi, serta regulasi dan penegakkan hukum serta budaya keselamatan berlalu-lintas yang

buruk.Insidensi trauma vertebraakibatkecelakaan transportasi darat di daerah seperti Asia akan

terus meningkat seiring tren peningkatan penggunaan sepeda motor dan mobil.67,68

Kekerasan terkait trauma vertebra terjadi di daerah-daerah konflik bersenjata (luka

tembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan

Brazil, dan proporsi tertinggi terdapat di negara Afrika Selatan.46,51,74,75 Greenland (Eropa Barat)

juga memiliki proporsi trauma vertebrayang tinggi akibat percobaan bunuh diri.14Tingkat

percobaan bunuh diri tampaknya didominasi oleh negara-negara di Skandinavia.16,31

Perbedaan demografi dan ekonomi antara negara maju dan berkembang mempengaruhi

insidensi trauma vertebra berdasarkan jatuh dari ketinggian rendah dan tinggi. Jatuh rendah (≤1

meter atau pada tingkat yang sama (slip dan perjalanan)) sering mengakibatkan tetraplegia,

terutama pada lansia.76

Dibutuhkan kecepatan dan keamanan ketika merujukpenderita trauma vertebra dalam 72

jam pertama dan idealnya langsung ke Rumah Sakit Pusat Ortopedik dan Bedah Saraf untuk

mengurangi komplikasi, dan mengoptimalkan hasil terapi dalam jangka panjang.81

Daftar Pustaka

1 Fitzharris M, Cripps RA, Lee BB. Estimating the global burden of traumatic vertebra cord

injury. Vertebra Cord 2011 (in press).

2 Cripps R, Lee B, Wing P, Weerts E, Mackay J, Brown D. A global map for traumatic vertebra

cord injury epidemiology: towards a living data repository for injury prevention. Vertebra

Cord 2011; 49: 493–501. | Article | PubMed |

3 Wyndaele M, Wyndaele JJ. Incidence, prevalence and epidemiology of vertebra cord injury:

what learns a worldwide literature survey? Vertebra Cord 2006;44: 523–

529. | Article | PubMed | ISI | CAS |

Page 4: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

4 Ackery A, Tator C, Krassioukov AA. Global perspective on vertebra cord injury

epidemiology. J Neurotrauma 2004; 21: 1355–1370. | Article | PubMed | ISI |

5 Blumer CE, Quine S. Prevalence of vertebra cord injury: an international

comparison. Neuroepidemiology 1995; 14: 258–268. | Article | PubMed | ISI | CAS |

6 Harvard University, Institute for Health Metrics and Evaluation at the University of

Wasington, Johns Hopkins University, University of Queensland, World Health Organization

(WHO). Global Burden of Disease Operations Manual, final draft. WHO. 2009.

7 National Vertebra Cord Injury Statistical Center. Vertebra cord injury. Facts and figures at a

glance. J Vertebra Cord Med 2005; 28: 379–380.

8 Jackson AB, Dijkers M, DeVivo MJ, Poczatek RBA. Demographic profile of new traumatic

vertebra cord injuries: change and stability over 30 years. Arch Phys Med Rehabil 2004; 85:

1740–1748. | Article | PubMed | ISI |

9 Lasfargues JE, Custis D, Morrone F, Carswell J, Nguyen T. A model for estimating vertebra

cord injury prevalence in the United States. Paraplegia1995; 33: 62–

68. | Article | PubMed | ISI | CAS |

10 Farry A, Baxter D. The incidence and prevalence of vertebra cord injury in canada: overview

and estimates based on current evidence. Rick Hansen Institute and Urban Futures Institute,

Canada. 2010 pp 1–49.

11 Rick Hansen Vertebra Cord Injury Registry.. Vertebra Cord Injury Facts and Statistics.

Vancouver, British Columbia, Canada. 2006 pp 1–11.

12 Cripps R. Vertebra cord injury, Australia, 2006–07. In. Injury Research and Statistics Series

Number 48. Cat. no. INJCAT 119. Adelaide, AIHW. 2008.

13 Biering-Sorensen F, Pedersen V, Clausen S. Epidemiology of Vertebra Cord Lesions in

Denmark. Paraplegia 1990; 28: 105–108. | Article | PubMed |

Page 5: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

14 Pedersen V, Muller PG, Biering-Sorensen F. Traumatic Vertebra Cord Injuries in Greenland

1965–1986. Paraplegia 1989; 27: 345–349. | Article | PubMed | CAS |

15 Knutsdottir S. Vertebra cord injuries in Iceland 1973–1989. A follow up

study.Paraplegia 1993; 31: 68–72. | Article | PubMed | CAS |

16 Divanoglou A, Levi R. Incidence of traumatic vertebra cord injury in Thessaloniki, Greece

and Stockholm, Sweden: a prospective population-based study. Vertebra Cord 2009; 47: 1–

6. | Article | PubMed |

17 O'Connor RJ, Murray PC. Review of vertebra cord injuries in Ireland. Vertebra

Cord2006; 44: 445–448. | Article | PubMed |

18 Exner G, Meinecke FW. Trends in the treatment of patients with vertebra cord lesions seen

within a period of 20 years in German centers. Vertebra Cord1997; 35: 415–

419. | Article | PubMed | ISI | CAS |

19 Lee B, Cripps RA, Woodman RJ, Biering-Sørensen F, Wing P, Campbell R et alDevelopment

of an international vertebra injury prevention module: application of the international

classification of external cause of injury to vertebra cord injury. Vertebra Cord 2010; 48:

498–503. | Article | PubMed | ISI |

20 Harvey C, Rothschild BB, Asmann AJ. Stripling T. New estimates of traumatic sci

prevalence: a survey-based approach. Paraplegia 1990; 28: 537–544. | Article | PubMed |

21 Kurtzke JF. Epidemiology of vertebra cord injury. Exp Neurol 1975; 48 (Part 2): 163–

236. | Article | PubMed | ISI | CAS |

22 DeVivo MJ, Fine PR, Maetz HM, Stover SL. Prevalence of vertebra cord injury: a

reestimation employing life table techniques. Arch Neurol 1980; 37: 707–

708. | Article | PubMed | CAS |

23 Stover SL, Fine PR. The epidemiology and economics of vertebra cord

injury.Paraplegia 1987; 25: 225–228. | Article | PubMed | ISI | CAS |

Page 6: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

24 Dryden DM, Saunders LD, Rowe BH, May LA, Yiannakoulias N, Svenson LW et al The

epidemiology of traumatic vertebra cord injury in Alberta, Canada. Can J Neurol

Sci 2003; 30: 113–121. | PubMed | ISI |

25 Noonan V, Fingas M, Farry A, Baxter D, Singh A, Fehlings MG et al The incidence and

prevalence of vertebra cord injury in Canada: A national

perspective. Neuroepidemiology 2012; 38: 219–226. | Article | PubMed |

26 Razdan S, Kaul RL, Motta A, Kaul S, Bhatt RK. Prevalence and pattern of major

neurological disorders in rural Kashmir (India) in 1986.Neuroepidemiology 1994; 13: 113–

119. | Article | PubMed |

27 Weerts E. Final reporting of project outcomes Vertebra Cord Injury care and Orthopedic

workshop, pp 1–3 ( Hanoi. 2009.

28 Walsh J. Costs of vertebra cord injury in Australia. Paraplegia 1988; 26: 380–

388. | Article | PubMed | ISI | CAS |

29 O'Connor PJ. Prevalence of vertebra cord injury in Australia. Vertebra Cord 2005;43: 42–

46. | Article | PubMed | CAS |

30 Yeo JD, Walsh J, Rutkowski SB, Soden RJ, Craven ML, Middleton JW. Mortality following

vertebra cord injury. Vertebra Cord 1998; 36: 329–336. | Article | PubMed | ISI | CAS |

31 Dahlberg A, Kotila M, Leppanen P, Kautiainen H, Alaranta H. Prevalence of vertebra cord

injury in Helsinki. Vertebra Cord 2005; 43: 47–50. | Article | PubMed | ISI | CAS |

32 United Nations: Department of Economic and Social Affairs/Population Division. World

Population Ageing 2009. In. New York: United Nations. 2009.

33 World Health Organization. The global burden of disease: 2004 update. Geneva, Switzerland:

World Health Organization. 2008.

Page 7: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

34 Li J, Liu G, Zheng Y, Hao C, Zhang Y, Wei B et al The epidemiological survey of acute

traumatic vertebra cord injury (ATSCI) of 2002 in Beijing municipality.Vertebra Cord 2011

(Vertebra Cord advance online publication, 8 March 2011; doi:

doi:10.1038/sc.2011.8). | Article |

35 Ning G-Z, Yu T-Q, Feng S-Q, Zhou X-H, Ban D-X, Liu Y et al Epidemiology of traumatic

vertebra cord injury in Tianjin, China. Vertebra Cord 2011; 49: 386–

390. | Article | PubMed | ISI |

36 Chen HY, Chen SS, Chiu WT, Lee LS, Hung CI, Hung CL et al A nationwide

epidemiological study of vertebra cord injury in geriatric patients in

Taiwan.Neuroepidemiology 1997; 16: 241–247. | Article | PubMed | ISI | CAS |

37 Kovindha A. A retrospective study of vertebra cord injuries at Maharaj Nakorn Chiang Mai

Hospital, during 1985–1991. Chiang Mai Med Bull 1993; 32: 85–92.

38 Pajareya K. Traumatic vertebra cord injuries in Thailand; an epidemiologic study in Siriraj

Hospital, 1989–1994. Vertebra Cord 1996; 34: 608–610. | Article | PubMed | ISI |

39 Dixon GS, Danesh JN, Caradoc-Davies TH. Epidemiology of vertebra cord injury in New

Zealand. Neuroepidemiology 1993; 12: 88–95. | Article | PubMed | ISI | CAS |

40 Norton L Vertebra cord injury, Australia 2007–08. Injury research and statistics series no. 52.

Cat. no. INJCAT 128 Canberra: AIHW. 2010.

41 Sabre L, Linnamagi U, Derrik G, Rekand T, Asser T, Korv J. Traumatic vertebra cord injuries

in Estonia from 2003 to 2007. ISCoS. University of Tartu: Florence. 2009.

42 Silberstein B, Rabinovich S. Epidemiology of vertebra cord injuries in Novosibirsk,

Russia. Paraplegia 1995; 33: 322–325. | Article | PubMed | ISI | CAS |

43 Kondakov EN, Simonova IA, Poliakov IV. The epidemiology of injuries to the spine and

vertebra cord in Saint Petersburg. Zh Vopr Neirokhir Im N N Burdenko 2002; 2: 50–

53. | PubMed |

Page 8: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

44 Van den Berg ME, Castellote JM, Mahillo-Fernandez I, De Pedro-Cuesta J. Incidence of

traumatic vertebra cord injury in Aragon, Spain (1972–2008). J Neurotrauma 2011; 28: 469–

477. | Article | PubMed |

45 Karacan I, Koyuncu H, Pekel O, Sumbuloglu G, Kirnap M, Dursun H et alTraumatic vertebra

cord injuries in Turkey: a nation-wide epidemiological study. Vertebra Cord 2000; 38: 697–

701. | Article | PubMed | ISI | CAS |

46 Otom AS, Doughan AM, Kawar JS, Hattar EZ. Traumatic vertebra cord injuries in Jordan–an

epidemiological study. Vertebra Cord 1997; 35: 253–255. | Article | PubMed | ISI | CAS |

47 Alshahri S, Cripps RA, Lee BB. Traumatic vertebra cord injury in Saudi Arabia: An

epidemiological estimate from Riyadh. Vertebra Cord 2012; 50: 882–

884. | Article | PubMed |

48 Quinones M, Nassal M, Al Bader KI, Al Muraikhi AE, Al Kahlout SR. Traumatic vertebra

cord in Qatar: An epidemiological study. Middle East Journal of Emergency

Medicine 2002; 2: 1–5.

49 Chabok S, Safaee M, Alizadeh A, Dafchahi M, Taghinnejadi O, Koochakinejad L.

Epidemiology of traumatic vertebra injury: A descriptive study. Acta Med Iran 2010; 48:

308–311. | PubMed |

50 Ditunno JF. Formal CS. Chronic vertebra cord injury. New Engl J Med 1994;330: 550–

556. | Article | PubMed |

51 National Vertebra Cord Injury Statistical Centre Birmingham Alabama. Vertebra Cord Injury

Facts and Figures at a Glance. Alabama, USA. 2008.

52 Burney RE, Maio RF, Maynard F, Karunas RB. Incidence, characteristics, and outcome of

vertebra cord injury at trauma ceners in North America. Arch Surg1992; 128: 596–

599. | Article |

Page 9: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

53 Goebert DA, Ng MY, Varney JM, Sheetz DA. Traumatic vertebra cord injury in

Hawaii. Hawaii Med J 1991; 50: 44–50. | PubMed |

54 Griffin MR, O'Fallon WM, Opitz JL, Kurland LT. Mortality, survival and prevalence:

traumatic vertebra cord injury in Olmsted county, Minnesota, 1935–1981. J Chron

Dis 1985; 38: 643–653. | Article | PubMed | CAS |

55 Kraus JF, Franti CE, Riggins RS, Richards D, Borhani NO. Incidence of traumatic vertebra

cord lesions. J Chron Dis 1975; 28: 471–492. | Article | PubMed |

56 Price C, Makintubee S, Herndon W, Istre GR. Epidemiology of traumatic vertebra cord

injury and acute hospitalization and rehabilitation charges for vertebra cord injuries in

Oklahhoma, 1988–1990. Am J Epidemiol 1994; 139: 37–47. | PubMed | ISI | CAS |

57 Acton PA, Farley T, Freni LW, Ilegbodu VA, Sniezek JE, Wohlleb JC. Traumatic vertebra

cord injury in Arkansas, 1980–1989. Arch Phys Med Rehabil1993; 74: 1035–

1040. | Article | PubMed | ISI | CAS |

58 Thurman DJ, Burnett CL, Jeppson L, Beaudoin DE, Sniezek JE. Surveillance of vertebra

cord injuries in Utah, USA. Paraplegia 1994; 32: 665–669. | Article | PubMed | ISI | CAS |

59 Calancie B, Molano MR, Broton JG. Epidemiology and demography of acute vertebra cord

injury in a large urban setting. J Vertebra Cord Med 2005; 28: 92–96. | PubMed | ISI |

60 Nwadinigwe CU, Iloabuchi TC, Nwabude IA. Traumatic vertebra cord injuries (SCI): A

study of 104 cases. Niger J Med 2004; 13: 161–165. | PubMed |

61 Levy LF, Makarawo S, Madzivire D, Bhebhe E, Verbeek N, Parry O. Problems, struggles and

some success with vertebra cord injury in Zimbabwe. Vertebra Cord1998; 36: 213–

218. | Article | PubMed | CAS |

62 Key AG, Retief PjM. Vertebra cord injuries: an analysis of 300 new lesions.Paraplegia, Tel-

Aviv: Paraplegia 1968, 243–249.

Page 10: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

63 Krause JS, Zhai Y, Saunders LL, Carter RE. Risk of mortality after vertebra cord injury: An

8-year prospective study. Arc Phys Med Rehabil 2009; 90: 1708–1715. | Article |

64 Hu R, Mustard CA, Burns C. Epidemiology of incident vertebra fracture in a complete

population. Spine 1996; 21: 492–499. | Article | PubMed | ISI |

65 O'Connor PJ. Survival after vertebra cord injury in Australia. Arch Phys Med

Rehabil 2005; 86: 37–47. | Article | PubMed | ISI |

66 Middleton JW, Dayton A, Walsh J, Soden RJ, Leong G, Duong S. Life expectancy after

vertebra cord injury: a fifty-year study. Vertebra Cord 2012;50: 803–

811. | Article | PubMed |

67 World Health Organization In:. World report on road traffic injury preventionPeden M,

Scurfield R, Sleet D, Mohan D, Hyder AA, Jarawan E, Mathers C(eds) Geneva. 2004.

68 World Health Organization. Global status report on road safety: time for action. Geneva:

World Health Organization. 2009.

69 Shingu H, Ohama M, Ikata T, Katoh S, Akatsu T. A nationwide epidemiological survey of

vertebra cord injuries in Japan from January 1990 to December 1992. Paraplegia 1995; 33:

183–188. | Article | PubMed | ISI | CAS |

70 Inamasu J, Guiot B, Sachs D. Ossification of the posterior longitudinal ligament: an update

on its biology, epidemiology, and natural history.Neurosurgery 2006; 58: 1027–

1039. | Article | PubMed |

71 Raja IA, Viohra AH, Ahmed M. Neurotrauma in Pakistan. World J Surgery2001; 25: 1230–

1237. | Article |

72 Hoque MF, Grangeon C, Reed K. Vertebra cord lesions in Bangladesh: an epidemiological

study 1994–1995. Vertebra Cord 1999; 37: 858–861. | Article | PubMed | ISI | CAS |

Page 11: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

73 Mukhida K, Sharma MR, Shilpakar SK. Pediatric neurotrauma in Kathmandu, Nepal:

implications for injury management and control. Childs Nerv Syst2006; 22: 352–

362. | Article | PubMed |

74 Hart C, Williams E. Epidemiologyof vertebra cord injuries: a reflection of changes in South

African society. Paraplegia 1994; 32: 709–714. | Article | PubMed | ISI | CAS |

75 Barros F, Taricco MA, Oliveira RP, Greve JM, Santos LC, Napoli MM. Epidemiological

study of patients with vertebra cord injuries. Rev hosp Fac Med S Paulo 1990; 45: 123–126.

76 Ide M, Ogata H, Tokuhiro A, Takechi H. Vertebra cord injuries in okayama prefecture: an

epidemiological study '88-'89. J UOEH 1993; 15: 209–215. | PubMed |

77 Maharaj JC. Epidemiology of vertebra cord paralysis in Fiji: 1985–1994. Vertebra

Cord 1996; 34: 549–559. | Article | PubMed | ISI | CAS |

78 Masood Z, Wardug GM, Ashraf J. Vertebra injuries: experience of a local neurosurgical

centre. Pak J Med Sci 2008; 24: 368–371.

79 Wang D. The Prevention of Acute Traumatic Vertebra Cord Injury (ATSCI) in China. ISCoS

Workshop 111, 28th October: Delhi, India. 2010.

80 Bajracharya S, Singh M, Singh GK, Shrestha BP. Clinico-epidemiological study of vertebra

injuries in a predominantly rural population of eastern Nepal: a 10 years’ analysis. Indian J

Orthop 2007; 41: 286–289. | Article | PubMed |

81. Schiller MD, Mobbs RJ, Lee BB, Stanford RE, Marial O. Acute care for vertebra cord

injured patients at vertebra injury units: the influence of early and direct admission on

complications and length of stay. ANZCoS, Brisbane, Australia 2011.

Page 12: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

BAB II

MEKANISME TRAUMA VERTEBRA

Definisi

Trauma vertebra terjadi jika berat beban melebihi kemampuan vertebra dalam menopang

beban tersebut.1

Etiologi

Penyebab terjadinya trauma vertebra adalah sebagai berikut:

1. Trauma langsung (direk)

Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan tulang, seperti

pada kecelakaan lalulintas,terjatuh dari ketinggian, dan benturan benda keras secara langsung.1

2.Trauma tidak langsung (indirek)

Page 13: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan oleh beban

yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot, contohnya seperti pada olahragawan yang

menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu beban tubuhnya.1

3.Trauma patologis

Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit, seperti osteoporosis, tumor dan infeksi.1

Jenis Fraktur Vertebra

Vertebra merupakan satu kesatuan yang kuat, yang diikat oleh ligamen didepan dan

dibelakang, serta dilengkapi diskus intervertebralis yang mempunyai daya absorpsi terhadap

tekanan atau trauma yang memberikan fleksibilitas dan elastisitas. Semua trauma vertebra harus

dianggap suatu trauma berat, sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi kerumah

sakit, penderita harus diperlakukan secara hati-hati. Trauma pada vertebra dapat mengenai:1

1. Jaringan lunak pada vertebra, yaitu ligamen, diskus dan faset.

2. Vertebra

3. Sumsum tulang belakang

Mekanisme Trauma pada Vertebra

Terdapat beberapa mekanisme trauma pada vertebra, yaitu:

1. Fleksi

Merupakan suatu trauma yang terjadi akibat fleksi disertai dengan sedikit kompresi pada

vertebra. Vertebra mengalami tekanansehingga terbentuk remuk yang dapat menyebabkan

kerusakan, atau tanpa disertai kerusakan ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan ligamen

posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.2

2. Fleksi dan rotasiMerupakan suatu trauma fleksi yang terjadi bersamaan dengan rotasi. Terdapat strain dari

ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan ke depan

atau dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.2

3. Kompresi vertikal (aksial)

Page 14: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Merupakansuatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebradan

menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan permukaan serta korpus

vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk ke dalam korpus vertebra dan menyebabkan

vertebra pecah. Pada trauma ini, elemen posterior masih intak sehingga fraktur bersifat stabil.2

4. Hiperekstensi atau retrofleksi

Merupakan suatu trauma yang sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada

vertebra torakolumbal. Umumnya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan

ekstensi. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus

neuralis. Fraktur ini umumnya bersifat stabil.2

5. Fleksi lateral

Merupakan suatu trauma distraksi atau kompresi yang menimbulkan fleksi lateral dan

menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra dan sendi faset.

Gejala Trauma Vertebra

Pada sebagian besar kasus, pasien tidak menceritakan riwayat trauma yang signifikan,

meskipun mereka kadang-kadang menuturkan riwayat aktivitas yang meningkatkan tarikan pada

vertebra, seperti membuka jendela, mengangkat anak kecil dari tempat tidur, atau gerakan

melenturkan badan secara berlebihan. Trauma dengan energi yang besar biasanya ditemukan

pada pasien berusia muda, terutama pada laki-laki dengan densitas tulang yang normal.

Hanya sepertiga kasus kompresi vertebra yang menunjukkan gejala. Pada fraktur yang

terasa nyeri, biasanya dikeluhkan nyeri yang dalam pada sisi fraktur. Jarang sekali menyebabkan

kompresi pada sumsum tulang belakang, tampilan klinis menunjukkan fraktur mielopati dengan

tanda dan gejala nyeri radikuler yang nyata. Rasa nyeri pada fraktur disebabkan oleh banyak

gerak, dan pasien biasanya merasa lebih nyaman dengan beristirahat.

Fraktur kompresi biasanya bersifat insidental, menunjukkan gejala nyeri tulang belakang

ringan sampai berat. Dapat mengakibatkan perubahan postur tubuh akibatterjadinya kifosis dan

skoliosis. Pasien juga menunjukkan gejala-gejala pada abdomen, seperti rasa perut tertekan,

Page 15: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

cepat kenyang, anoreksia dan penurunan berat badan. Gejala pada sistem pernapasan dapat

terjadi akibat berkurangnya kapasitas paru.

Komplikasi Fraktur Kompresi vertebra

Apakah fraktur kompresi vertebra menunjukkan gejala atau tidak, komplikasi jangka

panjangnya tetapharus dicermati. Komplikasinya dapat dikategorikan sebagai biomekanika,

fungsional, dan psikologis.

1 Biomekanika

Nyeri vertebra persistenberkaitan dengan faktor-faktor mekanik dan kelemahan otot pada

kifosis.Gangguan pada abdomen, kifosis progresif, terutama dengan fraktur kompresi multipel,

menyebabkan pemendekan vertebra torakalis, sehingga menyebabkan penekanan pada abdomen

dan dapat menyebabkan gejala gastrointestinal, seperti rasa cepat kenyang dan tekanan pada

abdomen. Pada beberapa pasien yang mengalami pemendekan segmen torakolumbal yang

signifikan, kosta bagian terbawah akan bersandar pada pelvis, menyebabkan terjadinya

abdominal discomfort. Gejala-gejala pada gangguan abdomen dapat berupa anoreksia yang dapat

mengakibatkan penurunan berat badan, terutama pada pasien yang berusia lanjut.Konsekuensi

pada paru akibat adanya fraktur kompresi pada vertebra dan kifosis umumnya ditandai dengan

penyakit paru restriktif dengan penurunan kapasitas vital paru sekitar 9%. Oleh karena terjadinya

kifosis, maka beban berlebih akan ditopang oleh tulang disekitarnya, dan jika terdapat

osteoporosis, makaakan meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Adanya satu atau lebih vertebra

yang mengalami fraktur kompresi semakin meningkatkanrisiko terjadinya fraktur tambahan lima

kali lipat dalam satu tahun.

2. Fungsional

Pasien yang mengalami fraktur kompresi memiliki level yang lebih rendah dalam kinerja

fungsional dibandingkan dengan kelompok kontrol, lebih banyak membutuhkan bantuan dan

mengalami kesulitan dalam aktivitas sehari-hari, serta lebih sering mengalami sakit saat bekerja.

3. Psikologis

Page 16: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Insidensi depresi meningkat 4−10% pada penderita fraktur kompresi vertebra akibat nyeri

kronik, perubahan bentuk tubuh, penurunan kemampuan merawat diri sendiri, dan akibat tirah

baring yang lama. Pasien yang mengalami depresi umumnya mengalami lebih dari satu

fraktur,dan menjadi lebih cepat tua dan terisolasi secara sosial.

Daftar Pustaka

1 A.H. Menezas, VK. H. Sontag. 1996. Principles of vertebra surgery. Vol. 2 New York:

McGreaw Hill, p. 817-8852 Youmans. 1996. Neurological surgery.. Vol. 3. 2nd ed W.B. Sounders, p. 2037-2041

BAB III

PENCITRAAN PADA TRAUMA VERTEBRA

Baku emas pencitraan trauma vertebra terus berubah seiring ketersediaan teknologi baru.

Computed tomography (CT-scan) terbaru memungkinkan pencitraan vertebra yang lebih

akuratdan cepat dibandingkan dengan sebelumnya.1

Magnetic resonance imaging (MRI) juga memiliki peran penting dalam algoritma

pencitraan trauma vertebra. Terdapat beberapa studi yang menyelidiki urgensi pencitraan

padatrauma vertebra servikal. Tujuan umum dari pedoman (algoritma) ini adalah untuk

memprediksi secara akurat pasien yang berisiko mengalami fraktur akibat trauma vertebra

servikal, serta menghindari implikasi burukakibat luputdalam mendiagnosis fraktur vertebra

Page 17: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

servikal. Manfaat sekunder pedoman tersebut adalah untuk mengurangi biaya pemeriksaan yang

tidak diperlukan.1

Radiografik polos (rontgen) telah terbukti kalah manfaatnya dibandingkan dengan CT-

scan dalam mendeteksi fraktur pada studi acak terkontrol yang membandingkan dua modalitas.

Suatu metaanalisis terbaru oleh Holmes dan Akkinepalli menunjukkan bahwa sensitivitas

radiografik polos adalah sebesar 52% dan untuk CT-scansebesar 98% untuk mengidentifikasi

pasien dengan cedera vertebra servikal. Timbul pertanyaan, kapan saat yang tepat untuk

memanfaatkan CT-scansebagai penunjang lini pertama cedera vertebra servikal?1

Di era rasionalisasi ekonomi, analisis biaya-manfaat menjadi bagian integral dalam

layanan kesehatan. Sementara biaya CT-scan lebih besar dibandingkan dengan radiografik polos,

baik Blackmore dkk. dan Grogan dkk. menunjukkan bahwa ketika biaya institusional terkait

upaya mencari fraktur vertebra servikal diperhitungkan, CT-scan menjadi tes skrining yang

disukai untuk kelompok risiko tinggi dan moderat.1

Selain mengurangi sensitivitas dalam mendeteksi fraktur, kekurangan lainnya dari

radiografik polos dibandingkan dengan CT-scan adalah waktu pemeriksaan yang lebih lama.

Pada pasien multitrauma, pencitraan yang cepat dan tepat untuk mengetahui fraktur vertebra

servikalmerupakan elemen penting dari manajemen diagnostik dan terapi.1

Pencitraan Radiografik

Pencitraan radiografik standar untuk vertebra di antaranyaantero-posterior (AP), lateral,

dan oblik (miring). Radiografik AP diperoleh dengan posisi pasien terlentang. Lutut pasien

dilipat untuk mengurangi lordosis lumbal. Sinar-X diarahkan ke perut tengah di atas umbilikus

dan krista iliaka. Pencitraan radiografik lumbal lateral diperoleh dengan posisi pasien berbaring

pada kedua sisi dengan lutut dan pinggul ditekuk. Sinar-X diarahkan pada vertebra lumbal

ketiga (L3). Radiografik dalam tampilan oblik diperoleh dengan rotasi 45°, dengan sinar-X

diarahkan pada vertebra L3.Gambar radiografik dari cedera traumatik vertebra ditunjukkan pada

Gambar 3.1 dan 3.2.2,3

Page 18: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 3.1 dan 3.2 Radiografik Cedera Traumatik Vertebra

Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Pada radiografik AP, jarak interpedikuler meningkat dari L1 ke L5. Pada radiografik

lateral, korpus vertebra L1 sering sedikit terjepit di anterior karena kondensasi endplates.

Pembengkakan jaringan lunak dapat menunjukkan fraktur, bahkan jika fraktur tidak dapat

langsung divisualisasikan. Struktur yang terbaik tampak pada radiografik oblik.4,5,6

Fraktur burst, yang merupakan salah satu cedera serius pada vertebra lumbal, umumnya

mudah terdeteksi pada radiografik AP lumbal. Pada radiografik lateral, kriteria ketidakstabilan

adalah tinggi korpus vertebra berkurang lebih dari 50%, angulasi torakolumbal junction lebih

dari 20°, terdapat cedera neurologik, dan penyempitan kanal lebih dari 30%, seperti tampak pada

Gambar 3.3, 3.4 dan 3.5. 2,3

Page 19: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

C

Gambar 3.3, 3.4 dan 3.5 Fraktur Burst

Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Intervensi bedah secara dini diindikasikan untuk cedera seperti ini, sehingga kompresi

tambahan pada fraktur dan cedera neurologik yang lebih berat dapat dihindari. Vertebra

torakolumbalis junction yang normal memiliki sudut 0° antara T12 dan L1.2,3,6

Radiografik oblik vertebra lumbal berguna untuk mengevaluasi spondilolisis dari pars

interartikularis. Yang dimaksud dengan Scottie dog configuration menunjukkan terdapatnya

kelainan di leher dengan dog-shaped configurationpada pasien dengan spondilolisis.2,3

Pada pasien yang telah menjalani operasi vertebra, radiografik merupakan modalitas yang

paling umum digunakan untuk pencitraan pascaoperasi. Pemeriksaan CT-scan dan MRI mungkin

berguna pascaoperasi, tetapi perangkat logam yang digunakan pada tulang pascaoperasi dapat

menyebabkan timbulnya artefak.7,8

Computed Tomography(CT-scan)

Potongan CT-scan aksial merupakan teknik yang paling sensitif untuk mendiagnosis

fraktur lumbal. CT-scan vertebra lumbal sangat penting karena dapat menghasilkan gambar

Page 20: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

dengan resolusi tinggi, bahkan selama evaluasi multisistem pada kasus trauma. Oleh karena

tingginya insidensi trauma multipel, CT-scan abdomen, pelvis, dan vertebra lumbal dianjurkan

pada trauma tumpul. Luka traumatik vertebra lumbal ditampilkan pada Gambar 3.6, 3.7, 3.8,

dan 3.9.2,9

Gambar 3.6,3.7,3.8 dan 3.9 Gambaran CT-scanTrauma Vertebra Lumbal

Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Computed tomography lebih baik dalam mengidentifikasi trauma vertebra lumbal

dibandingkan dengan radiografik konvensional. Namun demikian, sebagian besar fraktur tampak

jelas pada radiografik polos, misalnya fraktur prosesus spinosus, fraktur prosesus transversus.10,11

Page 21: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Dengan diperkenalkannya CT-scan, evaluasi yang cermat dari vertebra lumbal dapat dilakukan

pada semua pasien tanpa melalui pemeriksaan khusus pada daerah lumbal.

Computed tomography vertebra sangat efektif dan akurat dalam mendiagnosis fraktur

karena tidak ada struktur yang tumpang tindih, dan dapat dimodifikasi dengan kontras. Tingkat

kepercayaan untuk diagnosis fraktur vertebra lumbal dengan CT-scan aksial lebih dari 98%.3,9

Pada sejumlah besar pasien trauma vertebra yang dievaluasi dengan CT-scan, kadang

didapatkan temuan insidentil penyakit yang berat,seperti neoplasma otak, paru, hati, ginjal dan

kanker payudara. Untuk perawatan jangka panjang dan pertimbangan medikolegal, pasien perlu

diberitahu tentang temuan insidental ini karena dibutuhkan evaluasi lebih lanjut.5,9

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Peran MRI pada trauma vertebra akut adalah untuk mengevaluasi gejala-gejala neurologik dan

dugaan terdapatnya ligament disruption. Magnetic resonance imaging dapat langsung

memvisualisasikan medula spinalis, yang memungkinkan dilakukan penilaian adanya kompresi

sumsum tulang belakang, memar, dan perdarahan. Pada kasus mielopatiakut traumatik, lesi

seperti hematoma epidural, prolaps diskus akut, dangangguan ligamen dapat ditunjukkan dan ini

merupakan suatu keunggulan dari MRI.Hasil pemeriksaan MRI inibermanfaat dalam melakukan

koreksi pembedahan dan menyelamatkan fungsi neurologik.1

Pemeriksaan MRI medula spinalis merupakan sarana yang sangat efektif untuk

mendeteksi dan mengevaluasi trauma vertebra lumbal. Gambar diperoleh dalam beberapa

proyeksi dengan menggunakan MRI 1,5T.14 Tampilan MRI trauma vertebra lumbal tampak pada

Gambar 3.10 dan 3.11.3,8

Pemeriksaan MRI vertebra lumbal dapat menunjukkan fraktur vertebra, dan sebagian

besar kelainan kesegarisan (alignment). Pola cedera sama dengan yang ditunjukkan pada

radiografik polos. Magnetic resonance imaging lebih unggul dibandingkan dengan radiografik

polos dan CT-scan untuk mendeteksi cedera jaringan lunak pada ligamen, kapsul segidan ruang

prevertebral. Magnetic resonance imaging juga unggul untuk mendeteksi perdarahan epidural

pada kasus cedera vertebra. Namun demikian, oleh karena resolusi MRI jauh lebih kecil

dibandingkan dengan CT-scan pada fraktur vertebra, maka MRI menjadi metode sekunder untuk

mengevaluasi fraktur vertebra.

Page 22: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 3.10 dan 3.11 Gambaran MRI TraumaVertebra Lumbal

Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Pada dasarnya T2 MRI tulang belakang menunjukkan fraktur kompresi dengan

menunjukkan tulang kortikal gelap (hitam) dan cairan serebrovertebra dan edema sumsum tulang

belakang sebagai terang (putih). Subakut perdarahan di tulang belakang atau dalam ruang

epidural dapat dilihat sebagai daerah kerentanan intensitas sinyal hilang.MRI lebih unggul CT

dalam identifikasi tanda-tanda tidak langsung patah tulang, seperti edema paravertebra atau

perdarahan, perdarahan epidural, dan keseleo ligamen paravertebra dan intravertebra.

Pemeriksaan MRI vertebra bermanfaat dalam memprediksi perkembangan Schmorl node dan

fraktur kompresi vertebral endplates.3,8,9,11

Spektroskopi MR menunjukkan fraksi lemak meningkat pada tulang vertebra abnormal

lemah. Temuan MRI kelemahan tulang lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua dengan

fraksi lemak abnormal tinggi daripada orang lain. Dalam sebuah studi oleh Hanson et al, MRI

keseluruhan tulang berhasil menentukan jumlah lumbar pada 750 orang dari 762pasien rawat

jalan (98%).

Page 23: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Daftar Pustaka

1 Pramit M. Phal, MBBS, and James C. Anderson, MD. Imaging in Vertebra Trauma. Cited in

http://www.med.uottawa.ca

2 Barrett TW SM, Zhou C, Colfax JD, Russ S, Conatser P, et al. Prevalence of incidental

findings in trauma patients detected by computed tomography imaging. Am J Emerg Med.

2009.

3 G Mazzioti BA, Porcelli T. Vertebral fractures in patients with acromegaly: a 3-year

prospective study. J Clin Endocrinol Metab. 2013:3402-10.

4 Athanasakopoulus M MA, Triantafyllopoulos. Posterior vertebra fusion using pedicle screws.

Orthopedics. 2013.

5 Mandel S SJ, Peterson E. A retrospective analysis of vertebral body fractures following

epidural steroid injections. J Bone Joint Surg Am. 2013:961-4.

6 Rush JK KD, Astur N, Creek A, Dawkins R, Younas S, et al. Associated injuries in children

and adolescents with vertebra trauma. J Pediatr Orthop. 2013.

7 Cheng LM WJ, Zeng ZL, Zhu R, Yu Y, Li C, et al. . Pedicle screw fixation for traumatic

fractures of the thoracic and lumbar spine. Cochrane Database Syst Rev. 2013.

8 Hanson EH MR, Chang DS, Perkins TG, Bonifield DR, Tandy RD, et al. Sagittal whole-

spine magnetic resonance imaging in 750 consecutive outpatients: accurate determination of

the number of lumbar vertebral bodies. J Neurosurg Spine. 2010:47-55.

9 EA G. Computed tomographic screening for thoracic and lumbar fractures: is spine

reformatting necessary? Am J Emerg Med. 2010.

10 Abdelrahman H SA, Shawky A. Infection after vertebroplasty or kyphoplasty. A series of

nine cases and review of literature. Spine J. 2013.

11 Dai LY DW, Wang XY, Jiang LS, Jiang SD, Xu HZ. Assessment of ligamentous injury in

patients with thoracolumbar burst fractures using MRI. J Trauma. 2009:1610-5.

Page 24: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

BAB IV

PENATALAKSANAAN PRE-HOSPITAL TRAUMA VERTEBRA

Pengetahuan tentang pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) perlu dipahami oleh

masyarakat karena kita tidak pernah tahu kapan terjadinya keadaan gawat darurat yang

mengancam jiwa dan tanpa kehadiran tim medis di lokasi kejadian.Dalam menolong

korban/penderita kecelakaan atau kondisi gawat darurat, harus diperhatikan kaidah “golden

hour”, mengingat setiap detik amat berarti dalam menyelamatkan jiwa korban. Penderita yang

terluka parah pada saat terjadi kecelakaan lalu lintas atau musibah lainnya memerlukan penilaian

yang cepat dan pengelolaan yang tepat. Penderita yang terluka akibat kecelakaan (termasuk

kecelakaan kerja) dan sebagainya dapat mengalami berbagai jenis trauma. Trauma adalah cedera

atau kerusakan salah satu atau beberapa organ tubuh yang dapat mengakibatkan kehilangan

fungsi organ yang rusak tersebut.1,2

Penanganan penderita pada tahap awal atau persiapan sebelum dirujuk ke rumah sakit

terdekat terdiri atas dua fase, yaitu:

- Pre-hospital (sebelum ke rumah sakit), dapat dilakukan oleh tim safety di unit kerja yang

bekerja sama dengan tim medis,

- In-hospital (fase di rumah sakit), dilakukan persiapan untuk menerima penderita sehingga

dapat segera dilakukan resusitasi.3

Yang perlu dipahami oleh masyarakat non-medis adalah fase pre-hospital. Pada fase pre-

hospital, diperlukan koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas lapangan

di tempat kejadian (tim safety). Sebaiknya rumah sakit terdekat telah diberitahu sebelum

penderita dibawa ke rumah sakit. Pemberitahuan ini memungkinkan pihak rumah sakit

mempersiapkan tim khusus untuk menangani penderita dengan cepat dan tepat.4

Metode sederhana yang perlu dilakukan untuk menolong penderita adalah dengan

memeriksa keadaan vital penderita secara umum. Periksalah kesadaran, denyut nadi, pupil mata

dan suhu tubuh penderita. Setelah itu dilakukan primary survey, sedangkansecondary survey

hanya dapat dilakukan oleh tim medis. Primary survey dilakukan dengan urutan A,B,C,D,E

sebelum dilakukan resusitasi:

Page 25: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

A : airway (jalan napas)

B : breathing (pernapasan)

C : circulation (sirkulasi darah)

D : disability (ketidakmampuan penderita, dilihat dari status neurologik/kesadaran)

E : exposure/environmental control (evaluasi penderita)3,5

Untuk tahap ABC dapat dilakukan oleh masyarakat umum, sedangkan tahap D dan E

dilakukan oleh tim medis.Tahap ABC merupakan langkah awal yang perlu dilakukan pada saat

terjadi trauma, sebelum dilakukan resusitasi jantung paru (RJP). 3,6

A. Airway

Jalan napas penderita harus terbuka dan lancar untuk mempermudah pemulihan pernapasan.

Harus dipastikan jalan napas benar-benar lancar. Penyebab kematianutama pada kasus trauma

adalah gangguan airway, yaitu ketidakmampuan untuk mengantarkan darah yang teroksigenasi

ke otak dan struktur vital lainnya. Apabila penderita tidak sadar atau muntah, kemungkinan besar

airway-nya mengalami gangguan berat, segera hubungi dokter. Pengelolaan sederhana untuk

mempertahankan airway penderita adalah dengan metode chin lift dan jaw thrust. Langkah-

langkah mempertahankan airway penderita adalah sebagai berikut:7,8

1 Penderita ditelentangkan di tempat yang datar. Apabila masih bayi, tangan kita dapat

digunakan sebagai alas,

2 Segera bersihkan mulut penderita dan jalan napasnya dengan menggunakan jari,

3 Bebaskan jalan napas dengan menggunakan metode chin lift atau jaw thrust sebagai berikut:

a Chin lift: jari-jemari pada salah satu tangan diletakkan di bawah rahang penderita,

kemudian secara hati-hati dan perlahan, dagu penderita diangkat. Sementara ibu jari

penolong (dengan menggunakan tangan yang sama) menekan secara ringan bibir bawah

penderita untuk membuka mulutnya. Pastikan saat melakukan ini tidak terdapat

ketegangan pada leher penderita.

b Jaw thrust: tangan si penolong memegang sudut rahang bawah kiri dan kanan penderita,

kemudian rahang bawahnya di dorong ke depan.

4 Apabila penderita bayi atau anak-anak, cukup dongakkan sedikit saja kepalanya agar jalan

napasnya tidak tertutup.

Page 26: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Intubasi untuk membebaskan jalan napaspaling baik dilakukandengan

menggunakanimobilisasiin-linemanual untuk menghindarifleksileher. Intubasifiberoptikjuga

dapat mengurangimanipulasivertebra. Status neurologikpasiensertafungsi paruharus dinilaidan

dicatat, terutama pasiendengantetraparese.9,10.

B. Breathing

Langkah ini dilakukan setelah jalan napas (airway) dipastikan baik. Perlu dipastikan apakah

penderita dapat bernapas dengan baik. Hal ini dapat dilakukan melalui look (melihat) dan listen

(mendengarkan). Dengan melihat, kita dapat menilai apakah dada penderita bergerak untuk

bernapas, sedangkan untuk mendengarkan suara napas, diperlukan bantuan dokter dengan

penilaian melalui stetoskopnya. Apabila tidak ada dokter di sekitar lokasi kejadian, dan penderita

dipastikan belum dapat bernapas, berilah pernapasan buatan. Pernapasan buatan dilakukan

dengan menutup lubang hidung penderita, dan mulut penolong ditempelkan pada mulut

penderita, lalu penolong menghembuskan napasnya sebanyak dua kali. Setiap kali selesai

menghembuskan napas, penolong mengambil napas panjang kembali. Apabila terlihat dada

penderita telah mengembang/bergerak, berarti pernapasan penderita telah pulih.1,9,10

Pada penderita yang tidak dapat bernapas akibat tenggelam, penderita terlebih dahulu

diletakkan dalam posisi tengkurap dan wajahnya menghadap ke samping. Kosongkan dulu air

yang tertelan pada penderita dengan meletakkan telapak tangan penolong di perut penderita, lalu

penderita diangkat. Setelah dipastikan air telah keluar, penderita diletakkan dalam posisi

telentang dan dilakukan pernapasan buatan.1

C. Circulation

Pastikan sirkulasi darah penderita dengan menilai kesadaran, melihat warna kulit dan meraba

denyut nadi. Untuk melakukan pertolongan sirkulasi darah dan resusitasi jantung-paru,

diperlukan keterampilan khusus. Petugas lapangan (tim safety) yang bertugas sebagai tim

penanganan gawat darurat perlu diberikan pelatihan (teori dan praktik) dari tim medis untuk

melakukan resusitasi jantung-paru.1

Syok hipovolemik dan neurogenik dapat terjadipada trauma sumsum tulang belakang.

Penyebab hipotensi harus ditentukan dan segera diterapi. Hipotensi harus dianggap sebagai tanda

perdarahan perut, cedera aorta atau jantung, kehilangan darah eksternal, atau cedera okultisme,

Page 27: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

sebelum dipertimbangkan terdapatnya syok neurogenik. Terlepas dari apapun penyebabnya, syok

harus ditangani secara agresif untuk mencegah cedera iskemik berlanjut ke sumsum tulang

belakang. Pengobatan terdiri atas administrasi cairan dan vasopresor untuk mempertahankan

tekanan darah sistemik sekitar 90 mmHg. Pasien dievaluasi secara kontinyu di instalasi gawat

darurat. Tindakan resusitasi dilanjutkan dan dimodifikasi sesuai kebutuhan penderita.1,2

Diperkirakansekitar 3−25% cedera vertebra merupakan trauma

iatrogenic,selaintraumaasal, baik selama fase merujuk (transportasi) atauketika dilakukan

resusitasiawal. Setelah kondisi penderita stabil di lokasi kejadian, leher harus diimobilisasi

dengan collar neckpada setiap pasien yangtidak sadarataudicurigai terdapat cederasumsum

tulang belakang. Scoop stretcherataupapandengantaliharus digunakanuntuklog-rolling. Pasien

harus tetapberada di ataspapansampaidievaluasidi instalasi gawat darurat. Transportasike rumah

sakit definitifharus segera dilakukan karena penundaanmengakibatkan hasil yang lebih buruk,

rawat inap lebih lama, danbiaya yang lebih tinggi.1,3,5

Pemeriksaan korban trauma vertebra harus dilakukan dalam posisi netral

(tanpamelakukan fleksi, ekstensi dan rotasi pada vertebra).Pasien hanya boleh dibalik atau

dimiringkan dengan cara log-rolling. Harus dilakukan imobilisasi sebaik-baiknya dengan cara

in-line immobilization, memasang stiff cervical collar dan bantal pasir diletakkan di kiri-kanan

kepala penderita.Transportasi penderita dilakukan dalam posisi netral.

Apabila terdapat trauma vertebra yang mungkin disertai kerusakan sumsum tulang

belakang, periksalah:

Apakah terdapat nyeri tekan? Apakah terdapat deformitas dan tanda “step-off” posterior? Apakah terdapat pembengkakan?

Tanda klinis yang menyertai kerusakan akibat trauma vertebra servikal adalah:

Kesulitan bernapas (pola napas diafragma, pola napas paradoksal), Kelumpuhan otot dan hilangnya refleks (periksa sfinkter ani), Hipotensi dengan bradikardia.

Page 28: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Jika tersedia alat rontgen, maka perlu dilakukan foto vertebra servikal pada posisi antero-

posterior (AP) dan posisi lateral yang menampakkan sendi atlas-aksis dan tujuh ruas vertebra

servikal.11,12

Imobilisasi Leher, Vertebradan Fraktur

Pasien dengan trauma tumpul yang luas harus didugamengalami trauma medula spinalis,

dan pencegahan trauma lebih lanjut harus dilakukan dengan imobilisasi vertebra. Identifikasi dan

pembidaian fraktur dan imobilisasi semua bagian yang cedera sebelum dirujuk sangat

pentingpada pertolongan pertama. Penanganan yang tidak tepat pada pasien cedera dapat

memperburuk cederanyaatau menimbulkan syok.Lakukan pembidaian ditempat, sedikit

pengecualian ketika harus memindahkan pasien dari bahaya api, ledakan, gas beracun dan lain-

lain. Imobilisasi harus dikerjakan dengan segera dan dirujuk ke rumah sakit terdekat.5

Page 29: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Daftar Pustaka

1. Doherty GM. Current Diagnosis & Treatment Surgery. 13 ed. 13, editor. United States:

Lange Medical Publications; 2010.

2. Davis DP HD, Ochs M, et al. The effect of paramedic rapid sequence intubation on

outcome in patients with severe traumatic brain injury. J Trauma 2003;54(3):444–453.

The effect of paramedic rapid sequence intubation on outcome in patients with severe

traumatic brain injury. J Trauma. 2003;54:444-53.

3. Student AC. Advanced Trauma Life Support. 7 ed. Chicago2004.

4. Chan PD. Pediatrics. USA2007.

5. RM D. Prehosp Emerg Care 1999. Indications for prehospital vertebra

immobilization1999. p. 251-3.

6. Ezekiel MR. Handbook of Anesthesiology2008.

7. Loftus CM. Neurosurgical Emergencies. New York: Thieme; 2008.

8. Siddiqi J. Neurosurgical Intensive Care. USA: Thieme; 2008.

9. Bond RJ KJ, Preshaw RM. Field trauma triage: Combining mechanism of injury with the

prehospital index for an improved trauma triage tool. J Trauma. 1997:283-7.

10. Hopson LR HE, Delgado J, et al. Guidelines for withholding or termination of

resuscitation in prehospital traumatic cardiopulmonary arrest: A joint position paper from

the National Association of EMS Physicians Standards and Clinical Practice Committee

and the American College of Surgeons Committee on Trauma. Prehosp Emerg Care

Page 30: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

2003;7(1):141–146. Prehosp Emerg Care Guidelines for withholding or termination of

resuscitation in prehospital traumatic cardiopulmonary arrest2003. p. 141-6.

11. Wilson SE. Current Clinical Strategies Surgery. USA. 2006.

12. Wilson WC. Trauma Emergency Resuscitation Perioperative Anesthesia Surgical

Management. USA. 2007.

BAB VPENATALAKSANAAN OPERATIFTRAUMA VERTEBRA SERVIKAL

Pendahuluan

Fraktur vertebra servikal mencakup 20−30% dari seluruh kasus fraktur vertebra,

sedangkan cedera medula spinalis servikal mencakup 50% dari seluruhkasus cedera medula

spinalis.Insidensi cederamedula spinalis servikal dilaporkan sebesar 4−8% yang terjadi

bersamaan dengan cedera kepala. Tingkat keparahan cedera kepala dilaporkan memiliki korelasi

positif dengan cedera servikal.1

Cedera servikal terjadi pada level yang berbeda-beda sesuai kelompok usia. Secara

umum,insidensi cedera servikal sebesar 75% terjadi dibawah level C4, namun pada usia dibawah

8 tahun terjadi pada level C3 keatas. Cedera servikal atas bersifat fatal, dimana atlanto-occipital

dislocation (AOD) dihubungkan dengan mortalitas sebesar 70−100%. Perbedaan anatomi

servikal anak dan dewasa merupakan penyebab utama perbedaan pola cedera.1

Page 31: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 5.1 Fraktur Dislokasi dan Spondilolistesis Vertebra C4 dan C5

Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Stabilisasi Pembedahan

Penanganan bedah pada konteks fraktur dislokasi vertebra servikal masih merupakan isu

kontroversial. Pasien yang menunjukkan defisit neurologikkomplet setelah beberapa jam atau

lebih pascacedera memiliki peluang yang kecil untuk pulih. Hampir semua ahli sependapat

bahwa intervensi pembedahan adalah bagi pasien yang tidak stabil dan secara progresif

menunjukkan defisit neurologik. Pada pasien yang stabil, pemilihan waktu yang tepat untuk

dilakukan dekompresi tidak jelas. Alasan perlu dilakukannya dekompresi dini adalah untuk

meminimalisasi cedera sekunder dengan meningkatkan perfusi, mengurangi distorsi anatomis,

dan mengembalikan sirkulasi cairan serebrovertebra yang optimal. Namun beberapa ahli yang

tidak setuju dengan dekompresi dini mengajukan argumentasi bahwa medula spinalis yang

mengalami cedera lebih rentan terhadap manipulasi dan perubahan hemodinamik yang dapat

terjadi pada intervensi pembedahan, dan risiko pembedahan merupakan morbiditas yang

potensial.1,2

Laminotomi Servikal, Laminektomi, Laminoplasti, dan Foraminotomi

Terdapat beberapa prosedur yang memungkinkan adanya akses terhadap kanalis spinalis

atau foramen neural.Setiap prosedur memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing.

Pendekatandorsal memiliki 3 keuntungan,yaitu: 1) usaha minimal dalam mengekspos atau

mendekompresi pada level yang multipel, 2) seringkali stabilitas setelah dilakukan pendekatan

dorsal tidak memerlukan tambahan instrumentasi dan atau fusi, sehingga menurunkan kebutuhan

terhadap imobilisasi dan kerusakan daerah donor, 3) prosedur ini tidak membuat pergerakan

Page 32: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

antar segmen menjadi kaku, sehingga tidak mempercepat degenerasi spondilotik pada level yang

terlibat.

Beberapa deformitas vertebra berat dapat terjadi apabila tidak terdapat pertimbangan

yang adekuat dari stabilitas vertebra secara keseluruhan, terutama pada pasien muda dan pasien

yang telah menjalani laminektomi pada beberapa level. Pasien dengan perubahan degeneratif

yang ekstensif memiliki mobilitas vertebra yang terbatas, dan perubahan tersebut dapat

memberikan efek stabilisasi tambahan. Pada pasien dengan kelainan neurologik seperti

neoplasma atau syrinx seringkali terjadi deformitas pada vertebra. Hal ini mungkin disebabkan

oleh kelainan tonus otot yang diakibatkan oleh gangguan input neurologik serta gangguan pada

tulang yang diakibatkan oleh pembedahan. Penggantian pada struktur di daerah dorsal

diharapkan dapat mencegah terjadinya deformitas pada beberapa kasus.

Pada beberapa kasus yang lain, fusi dorsal yang lebih luas diperlukan, dengan atau tanpa

instrumentasi. Dalam rangka meminimalisasi instabilitas dan biomekanika yang abnormal, telah

dikembangkan berbagai macam modifikasi laminektomi. Hemilaminektomi parsial, dengan atau

tanpa foraminotomi, telah menjadi pendekatan dorsolateral standar untuk diskus pada regio

servikal dan lumbal. Pendekatan lebih lateral dapat dilakukan dengan cara transpendikular atau

transversektomi, seringkali lebih menguntungkan untuk kelainan pada diskus di daerah toraks

lateral oleh karena sempitnya daerah kanalis spinalis. Teknik laminektomi standar tidak

disarankan untuk tindakan pada diskus di daerah toraks. Defek sentral dengan dasar yang luas,

terutama yang berekstensi sampai parenkim medula spinalis atau diasosiasikan dengan kifosis,

disarankan untuk dilakukan tindakan dengan pendekatan yang lebih ventral.

Laminektomi Multilevel

Tidak terdapat hubungan yang jelas antara insidensi deformitas, jumlah lamina yang

dibuang dan kondisi neurologikpascalaminektomi. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa

perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut pada pasien, terutama yang berusia muda, yang

menjalani laminektomi lumbal yang dikombinasikan dengan fasetektomi total unilateral.4,5

Laminoplasti

Dalam rangka menjaga integritas dorsal dari vertebra, telah diajukan beberapa tambahan

dan modifikasi laminoplasti. Berbagai variasi dari laminoplasti dengan pengembalian lamina

pada lokasi awal telah dikembangkan. Beberapa penulis menyarankan tindakan pengangkatan

Page 33: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

total bilateral dari lamina. Penulis lain menyarankan modifikasi dari teknik tersebut berupa open

door laminoplasty yang telah dideskripsikan oleh Hirabayashi. Teknik open door laminoplasty

saat ini digunakan untuk menangani mielopati spondilotik servikalis. Rekonstruksi dari kanalis

spinalis dapat memberikan beberapa keuntungan terhadap fungsi medula spinalis dengan

membentuk lingkungan yang lebih alamiah. Efek scarring dari otot pada duramater

dibandingkan dengan struktur normal tulang belakang akan secara negatif berpengaruh terhadap

aspek mekanisvertebra. Pada beberapa kasus, hal tersebut dapat menimbulkan nyeri

pascalaminektomi yang lebih kuat. Perlu juga diperhatikan bahwa tindakan laminoplasti

sebaiknya tidak mengganggu dekompresi ataupun meningkatkan risiko operasi karena

instabilitas maupun perkembangan deformitas jarang ditemukan, terutama apabila dilakukan

pada pasien yang tidak memiliki riwayat instabilitas. 4,5

Teknik Pembedahan

Posisi dan Monitoring Intraoperatif

Kebanyakan ahli bedah lebih menyukai posisi prone untuk pendekatan dorsal dari

vertebra. Walaupun demikian, beberapa ahli bedah lainnya lebih menyarankan posisi duduk

dalam tindakan yang melibatkan level servikal dan torakal atas. Hal ini terutama lebih

ditekankan pada tindakan yang tidak memerlukan instrumentasi dan fusi. Permasalahan yang

berkaitan dengan emboli udara pada posisi duduk amat jarang, walaupun monitoring ketat dapat

mendeteksi adanya udara yang memasuki sistem vena pada sekitar 7% tindakan laminektomi

pada posisi duduk. Walau demikian, insidensi emboli udara yang signifikan dapat dijumpai pada

prosedur yang melibatkan level servikal tinggi, misalnya prosedur pada daerah foramen

magnum. Prosedur monitoring rutin yang digunakan adalah doppler prekordial dan pengukuran

end-expired CO2 and nitrogen dengan mass spectrometer. Ekokardiografi esofagusdapat

digunakan apabila risiko dinilai lebih besar. Apabila pasien berada dalam posisi duduk, kateter

vena biasanya digunakan dengan ujung pada atrium kanan, sehingga udara yang memasuki

sistem vena dapat diaspirasi.

Perlu ditekankan bahwa emboli udara dapat terjadi apabila dilakukan tindakan operasi di

mana terdapat vena yang terbuka pada lapang operasi dengan ketinggian beberapa sentimeter di

atas jantung. Pada kasus seperti itu, perlu dilakukan monitoring dan terapi pencegahan yang

tepat. Apabila pasien berada dalam posisi prone, seringkali operator tergoda untuk melakukan

Page 34: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

fleksi pada leher untuk memperoleh lapang pandang yang lebih baik daerah foramen magnum.

Hal ini perlu dihindari, baik pada pasien dengan posisi prone ataupun duduk, terutama apabila

didapatkan adanya instabilitas dari servikal atas. 4,5

Insisi dan EksposVertebra

Setelah pasien diposisikan, dibersihkan, dan dilakukan drapping, dilakukan insisi kulit

vertikal untuk mengekspos elemen dorsal yang dibutuhkan dalam prosedur. Diseksi yang tidak

perlu tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan pascaoperasi, namun juga dapat

mengakibatkan kerusakan faset, timbulnya jaringan parutdan kerusakan jaringan lunak sehingga

mengakibatkan morbiditas. Pada anak, ekspos lamina dapat mengakibatkan fusi elemen dorsal

spontan yang tidak diinginkan. Dengan ekspos yang minimal, radiografik umumnya dibutuhkan

untuk mengidentifikasi dan mengkonfirmasi level yang diperlukan. Diseksi subperiosteal

kemudian dilakukan untuk membebaskan otot dan jaringan lunak dari prosesus spinosus dan

lamina. 4,5

Dekompresi Duramater

Banyak pernyataan dogmatis telah dibuat mengenai teknik yang digunakan untuk

mengangkat lamina. Wajar apabila dikatakan bahwa teknikapapun yang digunakan, perlu

diperhatikan agar tidak terjadi kompresi pada duramater atau elemen saraf yang berada di

bawahnya. Banyak ahli bedah vertebra yang menggunakan bor berkecepatan tinggi untuk

menipiskan lamina sehingga dapat dipisahkan dari duramater dengan menggunakan kuret atau

rongeur Kerrison bersudut kecil. Walau demikian, rongeur bersudut kecil sekalipun sulit

diletakkan di antara duramater dan lamina apabila kanalis spinalis cukup sempit.

Walaupun banyak yang menulis tentang tidak sesuainya penggunaan rongeur Adson atau

Leksell untuk mengangkat lamina, alat tersebut dapat digunakan dengan aman apabila tidak

digunakan dibawah lamina. Apabila digunakan untuk menipiskan lamina dan tidak meletakkan

moncong alat di bawah lamina (Gambar 5.2), lamina dapat ditipiskan dengan efisien dan pada

beberapa kasus dapat diangkat tanpa memindahkan atau menekan jaringan di bawahnya. Penting

untuk diingat bahwa tulang harus diangkat sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan

Page 35: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

kompresi yang signifikan pada duramater atau radiks di bawahnya.

Gambar 5.2. Teknik Laminektomi

Sumberhttp://www.eastbayspine.com/laminectomy-procedures-spine-surgery-east-bay-area.html

Gambar 5.3 dan 5.4 Teknik Pengangkatan Ligamen Flavum

Page 36: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Sumberhttp://doctorstock.photoshelter.com/

Banyak teknik yang digunakan untuk mengangkat ligamen flavum. Walau demikian,

metode yang paling umum adalah untuk membuat insisi vertikal paralel dengan aksis

longitudinal dari kanalis spinalis, di mana lamina bertemu dengan prosesus spinosus. Setelah

duramatertampak di bawah potongan ini, alat tumpul dapat diletakkan untuk memperbesar

lubang searah dengan serabut. Ujung tumpul dari bayonet seringkali sulit untuk menembus

duramater, setipis apapun. Setelah dilakukan insisi vertikal pada ligamen, Kerrison atau kuret

dapat digunakan untuk memotong sisa dari ligamen karena menempel pada lamina di atas dan di

bawahnya (Gambar 5.3 dan 5.4). Dengan menyertakan lebih kurang 1 mm tulang pada

pengangkatan, ligamen dapat diangkat dari tulang dan memaksimalkan ekspos dari duramater.

Sudah disampaikan sebelumnya bahwa harus berhati-hati agar tidak mengangkat tulang lebih

dari yang diperlukan. Laminotomi atau ekspos yang terlalu kecil dapat mengakibatkan retraksi

duramater atau radiks yang berlebihan. 4,5

Dekompresi Radiks

Laminoforminotomi keyhole untuk kompresi radiks servikal umumnya aman dan dapat

memberikan ekspos yang memuaskan. Teknik ini tidak menambah waktu operasi dan angka

morbiditas, serta mempertahankan struktur anatomi normal. Tindakan memperbesar foramen

dapat dikerjakan tanpa merusak sendi faset. Destruksi sendi faset dapat mengakibatkan

penurunan stabilitas. Raynor menunjukkan bahwa pengangkatan faset bilateral lebih dari 50%

akan secara signifikan mengurangi kekuatan dari vertebra servikal.Seluruh bagian dari foramen

dapat diperbesar secara aman menggunakan kuret atau bor dengan tetap melakukan preservasi

faset lebih dari 50% dengan bekerja secara parallel dan di bawah radiks.Setelah diperoleh

ruang,kemudian dilakukan pengangkatan batas foramen yang terletak dorsal dari radiks (Gambar

5.5). 4,5

Page 37: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 5.5 Dekompresi Radiks

Sumber http://www.neurologyindia.com

Pembedahan pada Herniasi Diskus dan Stenosis Foramen

Pada kasus kelainan diskus servikal atau kompresi radiks servikal akibat stenosis

foramen, dekompresi dimulai dengan hemilaminektomi parsial di bagian atas dan bawah dari

daerah yang dicurigai memiliki kelainan. Dengan mengangkat batas inferior dari lamina superior

ke arah lateral dan ligamen flavum, identifikasi dari batas duramater lateral dan asal radiks dapat

dilakukan. Aksila kemudian dapat diekspos dengan mudah. Walaupun ekspos terutama pada

bagian inferior, akan lebih baik apabila dapat mengekspos batas superior dari radiks untuk dapat

melakukan identifikasi sempurna dan memperoleh ruang untuk mobilisasi radiks secara minimal.

Hal ini diperlukan setelah diskus yang terekstrusi diangkat. Seringkali terdapat ruang kecil

inferior dari radiks. Ruang ini harus diperbesar dengan kuret atau bor berkecepatan tinggi. Perlu

diingat untuk mengekspos aksila dari radiks, sehingga radiks motorik tidak tertukar dengan

bagian diskus yang terekstrusi. Identifikasi bagian atas dari pedikel cukup membantu untuk

menghindari kerusakan radiks motorik.

Ekspos yang inadekuat dari aksila dapat menyebabkan operator secara tidak sengaja

memisahkan radiks sensorik dan motorik karena menganggap radiks sebagai jaringan fibrosa

atau bagian dari diskus. Setelah mengidentifikasi aksila dan melakukan cukup foraminotomi

sehingga operator cukup yakin mengenai arah dari radiks, hook tumpul dapat digunakan untuk

Page 38: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

mengangkat radiks yang bersangkutan sehingga bagian bawahnya dapat dieksplorasi untuk

mencari keberadaan ekstrusi diskus.

Apabila didapatkan ekstrusi diskus, ligamen longitudinalis posterior (LLP) dapat diinsisi

dengan tekanan ringan di atas LLP dan menyebabkan fragmen terdorong keluar di bawah radiks.

Fragmen tersebut kemudian dapat dikeluarkan dengan menggunakan pinset. Setelah

pengangkatan fragmen, seringkali terdapat ruang tambahan sehingga foramen dapat eksplorasi

dan diperbesar apabila diperlukan. Apabila hanya terdapat batas tulang keras diatas radiks, tulang

tersebut tidak perlu diangkat karena seringkali hanya dengan melakukan dekompresi radiks ke

arah dorsal di dalam foramendapat meringankan gejala. Namun demikian, kadang perlu

dilakukan pengangkatan osteofit lateral yang terletak ventral dari radiks apabila dilihat menekan

radiks secara signifikan, walaupun telah dilakukan dekompresi dorsal. Ligamen longitudinalis

posterior dibuka di bawah aksilla, dan dengan menggunakan LLP untuk melindungi radiks dan

duramater, bor berdiameter 2−3 mm dapat dimasukkan melalui rongga pada LLP sehingga tulang

dan osteofit dibawahnya dapat dibuang. Lapisan tulang tipis yang tersisa dapat dipatahkan untuk

mendekompresi radiks servikal tanpa mengganggu retraksi radiks. Kadangkala sebagian kecil

faset media harus diangkat untuk mendapatkan visualisasi yang baik dari foramen, namun pada

umumnya foramen dapat diperbesar dengan sendi faset yang tetap intak.Upaya ini dapat tercapai

dengan cara membatasi reseksi tulang pada bagian medial dari faset.

Setelah pengangkatan diskus servikal yang terekstrusi, tidak perlu dan tidak disarankan

untuk memasuki rongga diskus servikal untuk mengangkat material diskus yang berdegenerasi

lebih banyak karena tindakan tersebut dapat berbahaya. Umumnya visualisasi ruang akan

membutuhkan retraksi radiks yang signifikan dan dapat mengakibatkan kerusakan pada radiks.

Untungnya hal tersebut tidak perlu dilakukan karena didukung oleh fakta bahwa angka rekurensi

ekstrusi diskus servikal tanpa memasuki rongga diskus adalah kurang dari 1% pada banyak

penelitian. 4,5

Laminoplasti

Oleh karena insidensi kompresi medula spinalis sekunder terhadap ossification of

posterior longitudinal ligament (OPLL) cukup tinggi, timbul inovasidalam mengembangkan

prosedur dekompresi dan mempelajari efek biomekanika dari laminektomi, terutama pada

dekompresiekstensif yang melibatkan beberapa level vertebra. Terdapat beberapa laporan

Page 39: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

mengenai instabilitas pascalaminektomi, namun kasus tersebut umumnya terjadi pada anak dan

dewasa muda yang kelainan utamanya berupa keluhan neurologik, atau berupa kelainan tulang

yang terlokalisir. Menurut pengalaman kami, laminektomi dekompresi standar, termasuk

fasetektomi minimal pada pasien yang berusia lanjut dengan kelainan degeneratif hiperostosis

pada tulang, tidak secara signifikan mempengaruhi stabilitas. Terkadang tindakan dekompresi

adekuat membutuhkan fasetektomi parsial dan hal ini memiliki efek yang signifikan pada

stabilitas vertebra.

Efek biomekanika sebenarnya dari laminoplasti pada otot servikal belum pernah diukur

melalui simulasi komputer; walaupun demikian usaha penilaian biomekanika dengan

menggunakan beban telah dilakukan. Bukti empiris menyatakan bahwa terdapat alasan yang kuat

secara anatomis mengenai perlekatan multisegmental dari otot dorsal yang mungkin terganggu

oleh laminektomi.

Laminoplasti merupakan prosedur dimana elemen tulang bagian dorsal digantikan setelah

suatu proses dekompresi, prosedur ini memungkinkan otot dorsal yang sebelumnya dilepaskan,

disambungkan kembali secara segmental pada tulang. Apabila diperlukan, dapat dilakukan

fasetektomi pada satu atau kedua sisi dengan gangguan stabilitas yang minimal. Pergerakan

servikal sedikit dipengaruhi oleh laminoplasti, namun setelah 2 tahun akan tampak perbedaan

yang signifikan apabila dibandingkan dengan fusi ventral pada jumlah level yang sama.

Laminoplasti atau laminektomi paling baik digunakan pada keadaan lordotik. Kebalikan

dari lordotik servikal (kifosis) merupakan kontraindikasi pada prosedur dorsal karena medula

spinalis jarang bermigrasi kearah dorsal pascadekompresi. Radiografik fleksi dan ekstensi dapat

membantu dalam evaluasi, kompresi ventral yang signifikan merupakan kontraindikasi relatif

dekompresi dorsal, sedangkan pada kompresi dorsal disarankan untuk menggunakan dekompresi

dorsal. Walaupun banyak variasi laminoplasti yang telah dijelaskan, tidak terdapat perbedaan

yang signifikan pada hasil akhir. Tujuan dari tindakan laminoplasti adalah untuk dekompresi

elemen saraf dan mempertahankan efek dekompresi tersebut. Teknik yang dijelaskan disini

relatif sederhana dan bertujuan untuk mencapai hal tersebut. 1,4,5

Teknik Laminoplasti

Teknik terdahulu yang digunakan untuk laminoplasti, saat ini jarang digunakan. Teknik

tersebut meliputi diseksi otot dorsal pada garis tengah sampai bebas dari perlekatannya pada

Page 40: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

tulang, kemudian memotong lamina hingga bebas secara bilateral pada atau berdekatan dengan

sendi faset. Lamina kemudian disambung kembali dengan menggunakan kawat. Metode ini

dinilai kasar dan sulit untuk mempertahankan ruang dekompresi oleh karena perlekatan tidak

mampu menyediakan fiksasi yang kuat. Elemen tulang pada bagian dorsal seringkali terlepas dan

jarang mengalami fusi ulang dengan elemen lateral.

Dokter di Jepang telah mengembangkan dan mempopulerkan teknik Open door

laminoplasty. Sesuai namanya, teknik ini meniru pergerakan pintu. Pada dasarnya terdapat dua

jenis pintu; pintu berdaun satu yang membuka dengan berpegang pada engsel, danjenisFrench

door terdiri dari dua daun pintu yang terpisah ditengah dengan engsel masing-masing bagian

lateral dan terbuka dari arah tengah. Terdapat berbagai variasi dari open door laminoplasty,

namun semuanya dapat digolongkan kedalam satu dari dua tipe diatas. 4,5

Open Door Laminoplasty

Teknik yang pertama kali dan paling banyak digunakan adalah dari Hirabayashi yang

akan dijelaskan dibawah ini.

Prosedur dapat dikerjakan pada posisi prone atau duduk, bergantung padapengalaman dan

preferensi dari operator.Secara teknis operasi, lebih mudah dikerjakan pada posisi duduk karena

ekspos yang lebih baik, namun kemungkinan emboli udara membutuhkan ahli anestesi yang

berpengalaman dan monitoring yang ketat. Perlu ditekankan bahwa udara juga dapat memasuki

vena pada pasien dalam posisi prone apabila lapang pembedahan terletak diatas jantung. Fiksasi

kuat pada kepala disarankan pada posisi apapun. Posisi yang optimal memerlukan sedikit fleksi

tanpa meningkatkan kompresi pada medula spinalis. Secara umum disarankan untuk melakukan

dekompresi satu tingkat diatas dan dibawah daerah stenosis, namun C2 dengan perlekatan otot

yang rumit sebaiknya ditinggalkan, kecuali perlu dilakukan dekompresi dilokasi tersebut.

Insisi kulit midline dibuat pada daerah yang akan dilakukan dekompresi, insisi

diperpanjang sampai sedalam dorsal vertebra. Perlu berhati-hati untuk tidak merusak

ligameninterspinosus dengan menggunakan kauter dan elevator tajam periosteal, perlekatan otot

pada bagian dorsal tulang belakang dan lamina didiseksi secara subperiosteal, diseksi dilanjutkan

kearah lateral sampai dengan batas faset, namun tidak sampai merusak kapsul sendi, retraktor

kemudian dipasang.

Page 41: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Open door laminoplasty memerlukan pelepasan salah satu sisi dari lamina dari fasetnya

dengan meninggalkan sisi yang lain. Sisi engsel umumnya berlawanan dari sisi dengan gejala

radikuler yang dominan .

Bor berkecepatan tinggi dengan mata bor kecil (umumnya 2mm) digunakan untuk

membuat alur pada lamina yang akan dibuka secara bilateral.Alur dibuat pada sambungan

lamina-faset (Gambar 5.6). Alur selebar beberapa milimeter dibuat sepanjang daerah yang akan

didekompresi, alur tersebut dibuat bilateral dengan meninggalkan cukup tulang pada daerah

engsel untuk memberikan sokongan, namun cukup tipis untuk dibengkokkan. Pada sisi yang

berlawanan, tulang ditipiskan dan direseksi dengan Kerisson. Umumnya terdapat ekstensi dari

ligamenflavum yang menjembatani rongga antara kedua sisi lamina. Ligamen ini harus diinsisi

dengan hati-hati, dan disarankan menggunakan perbesaran untuk mencegah kerusakan pada

struktur dibawahnya.

Gambar 5.6Open Door Laminoplasty

Sumber:http://www.neurologyindia.com

Saat ini pintu sudah terbentuk. Pintu tersebut menempel pada satu sisi oleh tulang yang

telah ditipiskan diantara lamina dan faset lamina pada sisi kontralateral dan dapat dipisahkan

dengan sempurna.

Page 42: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Pada titik ini, fasetektomi parsial dan foraminotomi untuk mendekompresi radiks dapat

dikerjakan, namun pada sisi engsel, tindakan ini dibatasi sedemikian rupa agar engsel tetap

terjaga. Pada sisi yang bebas dekompresi dapat dilakukan lebih ekstensif, walaupun

pertimbangan biomekanika menyarankan untuk menjaga agar setidaknya duapertiga dari sendi

faset tetap intak.

Pintu kemudian siap dibuka untuk melakukan dekompresi dari medula spinalis, Kocher

atau klem dipasang pada prosesus spinosus yang intak, kemudian diangkat dan ditarik secara

hati-hati kearah sisi engsel, apabila masih terdapat tahanan perlu dilakukan penipisan lebih

lanjut.

Sisi yang terbuka dapat diangkat menggunakan tulang yang terletak lateral dari alur

sebagai tuasnya. Teknik ini harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah kerusakan dari

jaringan dibawahnya. Pada saat lamina diangkat secara perlahan dan hati-hati,jaringan lunak

dibawahnya akan terlihat, jaringan lunak tersebut umumnya mengganggu pengangkatan pintu

dan harus dipotong secara hati-hati. Pintu lamina diangkat secukupnya agar operator dapat

melihat struktur yang terletak dibawahnya. Duramater harus dibebaskan sehingga dapat

berekspansi dan bermigrasi kearah dorsal secara bebas.

Setelah pintu terbuka dan dekompresi tercapai, perlu dilakukan stabilisasi. Hal ini dicapai

dengan cara mengikatkan benang diantara lamina dan sendi faset. Jaringan fiksasi seringkali

tidak terlalu banyak, dan benang dapat tercabut sehingga pintu dapat tertutup sebagian dan

menurunkan efek dekompresi. Plat digunakan untuk mempertahankan elevasi lamina yang

diinginkan. Pemasangan 2 atau 3 plat dapat menstabilisasi dekompresi dan mencegah lamina dari

pergerakan. Otot kemudian dijahitkan pada prosesus spinosus lalu luka dijahit (Gambar 5.7 dan

5.8). 4,5

Page 43: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 5.7 dan 5.8 Lokasi wiring dan suturing pada Laminoplasty

Sumber:http://www.neurologyindia.com

French Door Laminoplasty

Variasifrenchdoor laminoplasty memerlukan pemotongan lamina pada garis tengah,

sambungan lamina faset ditipiskan secara bilateral namun tetap intak kedua hemi lamina,

kemudian dibuka dan graft diletakkan antara kedua tepi medial dari lamina yang terpisah. 5

Perbandingan Teknik

Tidak terdapat perbedaaan pada hasil kedua metode tersebut.Opendoor laminoplasty

memiliki keuntungan pada dekompresi lebih dari dua level, terutama pada pasien muda yang

rentan terhadap perubahan degeneratif diatas dan dibawah daerah fusi ventral. 5

Simpulan

Keamanan pendekatan dorsal terhadap kanalis spinalis semakin meningkat dengan

menggunakan teknik pembedahan yang sesuai, dan pengenalan pendekatan alternatif pada

kanalis spinalis. Secara umum, seluruh kelainan intraduramater lebih baik didekati dari dorsal

atau dorsolateral.

Laminoplasti amat disarankan terutama untuk menangani kelainan jinak pada pasien

muda. Pada pasien yang lebih tua, degenerasi ekstensif membuat instabilitas atau deformitas

Page 44: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

yang progresif tidak terlalu dipermasalahkan. Risiko adanya tindakan tambahan serta waktu

operasi perlu dipertimbangkan terhadap keuntungan yang ingin dicapai.

Lebih banyak tulang yang dibuang tidak selalu lebih baik. Tujuan dari prosedur dorsal

adalah untuk mendapat visualisasi yang baik untuk dekompresi atau intervensi patologik, serta

untuk mencapai dan menjaga stabilitas. Walaupun demikian, terlalu sedikit membuang tulang

akan meningkatkan risiko laserasi duramater, kesulitan mengenali radiks, atau gagal melihat

adanya fragmen bebas dari diskus atau kelainan lainnya. Penambahan langkah pada prosedur

pembedahan akan menambah risiko dan waktu pembedahan. Hal ini tidak diperbolehkan kecuali

terdapat hal yang diharapkan dari tindakan tersebut. Tujuan dari tindakan dekompresi pada

medula spinalis dan radiks servikal harus juga menyertakan upaya untuk menjaga stabilitas

vertebra tanpa mempercepat perubahan degeneratif. 4,5

Page 45: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 5.9 Kumpulan Gambar Prosedur Laminoplasti

Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Daftar Pustaka

1 Vollmer DG, Eichler ME, Jenkins AL III. Assesment of the cervical spine After Trauma. In:

Winn HR, ed Youmans Neurological Surgery Vol.3, 6th edition. Philadelphia Elsevier

2011.p.3166-31852 Ducker TB. Treatment of vertebra cord injury. N Engl J Med 1990; 96:285-2913 Vaccaro, Alexander : Cervical Laminectomy C1 – C7 : Spine Surgery, Tricks of the Trade,

Thieme, 2003.

Page 46: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

4 Ebersold J. Michael., Raynor B., Richard.,Cervical laminotomy, laminectomy, laminoplasty,

and foraminotomy., et Benzel C. Edward MD., in Spine Surgery. 2nd ed..Elsever, 2005. (387-

393)5 J.Lu James. MD., Cervical Laminectomy: technique et Neurosurgery-online Journal .,

volume 60., January 2007. Winn, Richard. YOMAN’S : Neurological Surgery. Elevier-

Saunders. 2011. Philadelphia.6 Baaj, Ali A. Et al. Handbook of Spine Surgery. Thieme. 2012. New York-USA. 7 Masquelet, Alain. An ATLAS of Surgical Anatomy. Taylor & Francis. 2005. United

Kingdom.8 Greenberg, Mark S. Handbook of Neurosurgery, 7th edition. 2010. New York.9 Initial closed reduction of cervical spine fracture-dislocation injuries.

Neurosurgery . 2002;50(3 suppl):S44-50.10 Holdsworth FW. Diagnosis and treatment of fractures of the spine. Manit

Med Rev . 1968;48(1):13-15.11 Harms J, Melcher RP. Posterior C1-C2 fusion with polyaxial screw and rod

fixation. Spine . 2001;26(22):2467-2471.12 Laporan Jaga Bedah Saraf FK Unpad-RS. Hasan Sadikin tahun 2013.

BAB VI PENATALAKSANAAN OPERATIF

TRAUMA VERTEBRA TORAKOLUMBAL

Pendahuluan

Torakolumbal merupakan segmen vertebra yang paling sering mengalami fraktur. Dari

3.142 pasien fraktur vertebra traumatika, Wang et al., 2012 melaporkan bahwa sekitar 54,9% di

antaranya mengalami fraktur torakolumbal. Cedera vertebra servikal lebih sering terjadi setelah

Page 47: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

kecelakaan lalu lintas, sedangkan cedera vertebralumbal lebih sering terjadi setelah

terjatuh.Pada pasien dengan defisit neurologik lengkap umumnya juga terdapat fraktur sternum,

hal ini mungkin disebabkan diameter kanal yang lebih kecil jika dibandingkan dengan vertebra

servikalis atau torakolumbal. Diagnosis dini dan manajemen yang tepat dapat meningkatkan

hasilterapi dan mengurangi risiko kecacatan.1

Umumnyafraktur torakolumbalis (kompresi/wedge/burst) dapat diobati secara konservatif

dengan bracing, hanya frakturburstberat yang memerlukan stabilisasi bedah. Defisit

neurologikmerupakan salah satu indikasi bedah untuk dekompresi dan stabilisasi. Indikasi umum

lainnya untuk stabilisasi bedah frakturburst termasuk kehilangan atau gangguan kompleks

ligamen posterior, yang dapat disimpulkan dari ≤25⁰kifosis pada radiografik, atau visualisasi

langsung dari gangguan kompleks ligamen posterior pada pemeriksaanMRI T2-

weightedsagital.Klasifikasi digunakan untuk menentukan apakah fraktur burst akan gagal

dilakukan tindakan instrumentasi fiksasi short-segment dan memerlukan rekonstruksi kolom

anterior lebih lanjut.2

Setelah masuk rumah sakit dan dilakukan stabilisasi klinis, pasien dengan potensi trauma

vertebra harus dilakukan pemeriksaan neurologik. Radiografik polos, meskipun berharga,

memiliki keterbatasan terkait visualisasi tiga dimensi (3D), posisi pasien, habitus tubuh, dan

anatomi tulang tumpang tindih di segmenvertebra tertentu, seperti torakal, servikotorakal, dan

atau kranioservikaljunction. Dalam konteks ini, CT-scan tersedia di hampir semua pusat trauma

dan memberikan informasi yang memadaiserta rinci tentang anatomi tulang serta

kesegarisanvertebra, lebih cepat dan lebih akurat dibandingkan dengan radiografik polos.1

Cedera tipe seat belt dan patah tulang Chance, di mana terdapatkehilangan integritas pada

kolom posterior,dapat dikelola secara konservatif, tetapi sering memerlukan instrumentasi

posterior untuk mengembalikan ketegangan posterior. Fraktur rotasi merupakan patah tulang

yang paling tidak stabil dan memiliki risiko tertinggi menyebabkan cedera neurologik, oleh

karena itu hampir selalu memerlukan stabilisasi bedah. Cedera translasi berat sering

membutuhkan pendekatanpembedahangabungan anterior-posterior untuk mengembalikan

stabilitas vertebra.2

Page 48: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 6.1 Fraktur Dislokasi Vertebra L1

Sumber : laporan jaga Bedah Saraf FK Unpad-RS. Dr. Hasan Sadikintahun 2013

Lokasi fraktur pada vertebra torakolumbalmenentukan pendekatan pembedahan yang

akan dilakukan. Luka neurologik vertebra torakal bagian atas (T1−5) sangat sulit untuk diobati,

selain itu sulit pula dilakukan stabilisasi bedah karena visualisasi intraoperatif yang terbatas di

daerah ini. Pendekatan pembedahan anterior di vertebra torakal bagian atas sangat sulit

dilakukan, sering membutuhkan langkah-langkah seperti sternotomi untuk mendapatkan lapang

pandang yang memadai dari ventral vertebra. Selain itu,terbatasnya instrumentasi yang dirancang

khusus untuk mengatasi fraktur di daerah ini.Instrumentasi konstruksi posterior yang melintasi

servikotorakal junction juga terbatas.3

Page 49: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 6.2 Radografik Fraktur Burst Vertebra L2 Tanpa Defisit Neurologik

Sumber : laporan jaga Bedah Saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikintahun 2013

Gambar 6.3 Instrumentasi Anterior dan Expandable cages

Sumber: http : //www.medicalexpo.com/prod/depuy-synthes/vertebral-body-replacement-implants-thoraco-lumbar-79814-498538.html

Page 50: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Teknik Pembedahan

Pendekatanpembedahanposterior dengan fiksasi gagang sekrup paling sering digunakan

untuk mengoreksiketidakstabilan neurologik di torakolumbal, namun demikian, pedikel di

vertebra torakal bagian atas berukuran sangat kecil terutama T4, T5, dan T6 yang membuat

fiksasi sekrup lebih sulit dilakukan. Kait lamina dan kait proses transversus dapat digunakan

untuk memperkuat stabilitas fiksasi sekrup pedikel.3

Cedera vertebra torakal (T6−10) dapat menampung imobilisasi yang lebih baik dari

cedera torakal atas dan dengan dukungan tambahan dari kosta, dapat dikelola secara konservatif.

Kedua pendekatan instrumentasi pembedahan anterior maupun posterior tersedia untuk

mengoreksifraktur di daerah ini.

Pendekatan pembedahan anterior bermanfaat untuk rekonstruksi vertebra anterior.

Instrumentasi anterior telah berkembang dan meminimalkan risiko cedera pada organ dada.

Instrumentasi anterior menggunakan sekrup anterior yang ditempatkan ke dalam korpus vertebra

dari lintasan lateral dan menggunakan batang untuk menghubungkan sekrup sebagai stabilisasi.

Sistem platingbaru yang memiliki profil yang lebih rendah menggunakan fiksasi sekrup ke

dalam tubuh vertebral. Expandable cages dapat digunakan dalam dada dan lumbar tulang

belakang untuk memberikan stabilitas struktural langsung ke kolom anterior setelah corpectomy

atau vertebrectomy.3

Jika keputusan untuk melakukan tindakan pembedahan telah diambil, maka pertimbangan

selanjutnya adalah menentukan jenis tindakan bedah yang sesuai untuk setiap kasus. Sama

pentingnya dengan menentukan tindakan tersebut berupa konservatif atau operatif.1

Pendekatan Pembedahan Posterior

Walaupun terdapat berbagai prinsip umum dalam penatalaksanaan cedera torakolumbal,

indikasi pembedahan posterior secara umum bergantung pada tipe cedera yang spesifik.

Beberapa tipe cedera yang mungkin mendapatkan keuntungan dengan pembedahan posterior

adalah fraktur kompresi, fraktur burst, cedera fleksi-distraksi, dan fraktur dislokasi.

Secara umum teknik operasi stabilisasi dan fusi posterior terdiri atas:

Exposure

Page 51: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Pedicle screw insertion Hook placement Rod placement and reduction aneuvers Distraction for indirect decompression Fusion bed preparation Bone graft harvest Fusion and closure

Pendekatan Pembedahan Anterior

Dari sudut pandang biomekanika, kerusakan vertebra harus ditangani sesuai dengan

mekanisme dan lokasi terjadinya cedera. Pada cedera fleksi dengan fraktur pada pedikel dan

korpus vertebra, stabilisasi dapat dilakukan dengan pendekatan pembedahan dorsaldan fungsi

tension band sampai tahap penyembuhan tulang.2

Sekitar 80% axial load dari vertebra yang intak didukung oleh kolom anteriorjika terjadi

cedera signifikan pada kolom anterior, kemampuan penopang anterior secara dramatis berkurang

10%, mengakibatkan 90% beban ditanggung implan dan elemen posterior. Pertimbangan

biomekanika mendukung penggunaan penopang anterior.2

Indikasi utama pendekatan pembedahan anterior adalah dekompresi vertebra yang

insufisien, restorasi kolom anterior yang insufisien,penekanan kanalis spinalis pada pasien

dengan defisit neurologik yang tidak dapat secara adekuat diselesaikan dengan pendekatan

pembedahan posterior semata. Indikasi tambahan untuk pendekatan pembedahan anterior adalah

fraktur korpus vertebra dengan dislokasi dan fraktur komunitif yang substansial, yang tidak dapat

diatasi dengan pendekatan pembedahan posterior semata.6

Pendekatan Pembedahan Invasif Minimal

Pendekatan pembedahan konvensional untuk terapi fraktur torakolumbal membutuhkan

ekspos yang ekstensif dan sering mengakibatkan morbiditas dan nyeri yang signifikan

pascaoperasi. Metodepembedahan invasif minimal telah dikembangkan untuk mengurangi risiko

tambahan yang diakibatkanoleh akses pembedahan yang luas. Penggunaan sistem retraktor

seperti synframe memungkinkan pendekatan pembedahan vertebraanterior dapat diakses dengan

pembedahan terbuka, tetapi dengan cara yang kurang invasif.

Page 52: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Kosmann dkk. melaporkan komplikasi yang minimal intra atau pascaoperasi yang

berhubungan dengan prosedur pembedahan invasif, tidak dijumpai neuralgia interkosta, sindrom

nyeri pascatorakotomi, infeksi luka operasi, dan deep veins thrombosis (DVT).

Pembedahan torakoskopivertebra merupakan teknik lain yang mengurangi morbiditas

dari pembedahan terbuka yang luas, sementara tujuan utama untuk dekompresi, rekonstruksi dan

stabilisasi dapat dicapai. Sejak saat itu, perkembangan instrumen dan implan yang didesain

khusus untuk kepentingan prosedur ini meningkat. Teknik operasi torakoskopi menjadi semakin

mudah dan nyata. Melalui pendekatan pembedahan transdiafragma, dimungkinkan untuk

membuka batas torakolumbaltermasuk segmen retroperitoneal dari vertebra dengan teknik

endoskopi. Keuntungan lain dari teknik endoskopi adalah tercapainya dekompresi kanalis

spinalis anterior dengan hasil yang menjanjikan.2

Kombinasi Pendekatan Pembedahan Anterior-Posterior

Penelitian mengenai stabilisasi posterior dari fraktur torakolumbal menunjukkan bahwa

fraktur komunitif pada kolom anterior sering mengakibatkan kegagalan pembedahan. Oleh

karena itu, beberapa teknik pembedahan telah dikembangkan untuk menstabilkan kolom anterior.

Pada beberapa institusi, dokter bedah lebih menyukai prosedur dua tahap dengan reduksi fraktur

via stabilisasi posterior pada tahap pertama, dan kemudian pembedahan dengan pendekatan

pembedahan anterior bergantung pada kondisi pasien.2

Instrumentasi posterior di torakolumbal telah berevolusi dari batang dan kabel, seperti

batang Harrington dan hook, menjadi batang konstruksi untuk sekrup gagang bunga (Gambar

6.4) yang menghasilkan fiksasi tiga kolom vertebra yang kuat. Penempatan sekrup gagang bunga

menciptakan stabilitaskolom anterior, tengah dan posterior yang lebih kuatdan dapat digunakan

untuk mengoreksi fraktur, atau mengurangideformitaspada trauma torakolumbal (T11−L2).

Transisi antara vertebra toraks dan lumbal, menciptakan titik tumpu di torakolumbaljunction.4

Terdapatnya transfer energi darivertebra torakal yang kifotik ke vertebra lumbalyang

lordotik, menciptakan tegangan maksimum di torakolumbaljunction. Akibatnya, sekitar 75%

fraktur torakolumbal terjadi di torakolumbaljunction, dan merupakan lokasi fraktur kedua yang

paling umum dijumpai setelah fraktur vertebra servikal. Pengelolaan fraktur ini sangat

kompleksdan kontroversial.Beberapa dokter mendukung terapi bedah yang lebih agresif karena

Page 53: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

kekuatan biomekanika yang tinggi dan sensitivitas konus medularis terkompresi di daerah ini.

Seperti pengelolaan cedera di daerah lainnya, mungkin terdapat bias penggunaan instrumentasi

posterior pada cedera torakolumal karena kemudahan pendekatan pembedahan transtorakal dan

torakoskopik.4

Daftar Pustaka

1 Joaquim Af, Aa Patel. Thoracolumbar Spine Trauma: Evaluation And Surgical Decision-

Making. June Craniovert Spine J, 2013; 4:3-9 2 Vaccaro Ar, Silber Js. Post-Traumatic Vertebra Deformity. Spine. 2001: 26 (24 Suppl): S111-

118. 3 Lifshutz J, Colohan A. A Brief History Of Therapy For Traumatic Vertebra Cord Injury.

Neurosurg Focus. 2004: 16 (1) :1-8. 4 J. Markham Surgery Of The Vertebra Cord And Vertebral Column. In: Walker, A, Ed. A

History Of Neurological Surgery. New York: Hafner; 1967:364-392. 5 Deshaies E, Dirisio D, Popp J. Medieval Management Of Vertebra Injuries: Parallels

Between Theodoric Of Bologna And Contemporary Spine Surgeons. Neurosurg Focus. 2004:

16 (1) :1-3. 6 Singh H, Rahimi Sy, Dj Yeh, Et Al. History Of Posterior Thoracic Instrumentation.

Neurosurg Focus. 2004: 16 (1) :1-4.

Page 54: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

BAB VII

BIOMEKANIKA LUMBAL

Pendahuluan

Kolom vertebra terdiri atas 33 buah tulang yang membentuk kurva dan secarastruktural

terbagi atas 5 regio. Dari superior ke inferior, mulai dari 7 segmen vertebra servikal, 12 segmen

vertebra torakal, 5 segmen vertebra lumbal, 5 vertebra sakral yangmenyatu dan 4 vertebra

koksigeal yang menyatu.Oleh karena terdapat perbedaan struktural dan adanya sejumlah kosta,

maka besarnya gerakan yang dihasilkan juga beragam antarvertebra yang berdekatan pada regio

servikal, torakal, dan lumbal.1

Pada setiap regio, dua vertebra yang berdekatan dan jaringan lunak antara kedua

vertebratersebut dikenal dengan segmen gerak (segmen Junghan’s). Segmen gerak

tersebutmerupakan unit fungsional dari vertebra. Setiap segmen gerak terdiri atas tiga sendi.

Korpus vertebra terpisah oleh adanya diskus intervertebralis yang membentuk tipesimfisis dari

amfiartrosis. Sendi faset kiri dan kanan antara prosesus artikularis superior dan inferior

merupakan tipe plane/glide dari diartrosis yang dilapisi oleh kartilago sendi.1

Lebih jelasnya, unit fungsional dari kolom vertebra terdiri ataspilar anterior

dan posterior.Pilar anterior dibentuk oleh korpus vertebra dan diskus intervertebralis yang

merupakan bagian hidrolik, weight bearing, dan shock absorbing. Pilar posterior dibentuk oleh

prosesus artikularis dan sendi faset, yang merupakan mekanisme slide untuk bergerak. Selain itu,

pilar posterior juga dibentuk oleh dua arkus vertebra, dua prosesus transversus, dan

prosesusspinosus.1,2

Anatomi Vertebra

Pilar anterior Korpus vertebra pada regio servikal lebih kecil dibandingkan dengan torakal dan lumbal.

Secara progresif, korpus vertebra semakin besar ke bawah dari regio servikal sampai regio

lumbal. Pada regio lumbal, korpus vertebranya besar dan lebih tebal dibandingkan dengan

regio di atasnya. Hal ini sesuai dengan tujuan fungsional, yaitu pada saat posis tubuh tegak,

Page 55: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

maka setiap vertebra harus menopang semua berat trunkus, lengan dan kepala sehingga area

permukaan vertebra lumbal yang luas/besar akan mengurangi besarnya stres. Diskus

intervertebralis merupakan kompleks fibrokartilago yang membentuk artikulasi antara korpus

vertebra, yang dikenal sebagai sendi simfisis. Diskus intervertebralis pada orang dewasa

memberi kontribusi sekitar ¼ dari tinggi vertebra. Diskus intervertebralis merupakan salah

satu komponen kompleks tiga sendi antara dua vertebra yang berdekatan, yang semakin ke

kaudal semakin tebal.3,4

Pilar posteriorBagian pilar posterior yang paling penting adalah sendi faset, yang dibentuk oleh

prosesus artikularis superior vertebra bawah dan prosesus artikularis inferior vertebra di

atasnya. Sendi faset termasuk dalam sendi non-aksial diatrosus. Setiap sendi faset

mempunyai kavitas artikuler dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi

pada sendi faset adalah gliding (gerak geser), menekuk dan rotasi sehingga

memungkinkan terjadi gerak tertentu yang lebih dominan pada segmen tertentu. Fungsi

mekanis sendi faset adalah mengarahkan gerakan. Besarnya gerakan pada setiap vertebra

sangat ditentukan oleh arah permukaan faset artikuler. Arah faset servikal pada bidang

transversal, sedangkan torakal pada bidang frontal, dan lumbal pada bidang sagital. Sendi

faset dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan vertebra untuk menahan gaya

rotasi torsion dan shear, di mana setengahnya diberikan oleh sendi faset. Sendi faset juga

menopang sekitar 30% beban kompresi pada vertebra, terutama pada saat vertebra

hiperekstensi.4−6

Sistem Ligamen pada Vertebra

Struktur ligamen yang memperkuat vertebra adalah:

1 Ligamen longitudinalis anteriorLigamen ini melekat dari basis oksiput ke sakrum pada bagian anterior vertebra.

Ligamen longitudinalis anterior merupakan ligamen yang tebal dan kuat, dan

berperan sebagai stabilisator pasif pada saat gerakan ekstensi.1,7

2 Ligamen longitudinalis posteriorLigamen ini melekat dari basis oksiput ke kanalis sakrum pada bagian

posterior vertebra, tetapi pada regio lumbal, ligamen longitudinalis posterior mulai

menyempit dan semakin sempit pada lumbosakral, sehingga ligamen ini lebih lemah

Page 56: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

dibandingkan dengan ligamen longitudinalis anterior, dan diskus intervertebralis

lumbal pada bagian posterolateral (tidak terlindungi oleh ligamen longitudinalis

posterior). Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf nyeri

aferen (A delta dan tipe C) dan kaya akan sirkulasi darah.1,7

3 Ligamen flavumLigamen ini sangat elastis dan melekat pada arkus vertebra, tepatnya pada setiap

lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup kapsul dan ligamen

anteriomedial sendi faset. Ligamen ini mengandung lebih banyak serabut elastin

dibandingkan dengan serabut kolagen, yang berbeda dari ligamen-ligamen lainnya

pada vertebra.1,7

4 Ligamen interspinosusLigamen ini sangat kuat melekat pada setiap prosesus spinosus dan memanjang ke

arah posterior dengan ligamen supraspinosus.5 Ligamen supraspinosus

Ligamen ini melekat pada setiap ujung prosesus spinosus. Ligamen ini menonjol

secara luas pada regio servikal, dan dikenal sebagai ligamen nuchae atau ligamen

neck. Pada regio lumbal, ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut

insersi otot lumbodorsal. Bersama dengan ligamen longitudinalis posterior, ligamen

flavum dan ligamen interspinosus bekerja sebagai stabilisator pasif pada gerakan

fleksi.8

Hubungan Antar Vertebra

Untuk memahami fungsi vertebra lumbosakral, maka harus diperhatikan hubungan antar

komponen kolom vertebra. Pada bidang sagital, kolom vertebra menampakkan empat buah

kurva;servikal (konkaf posterior), toraks (konveks posterior), lumbal (konkaf posterior), dan

sakral (terfiksasi dan tidak bergerak). Kurva ini akan berkembang selama evolusi (filogenik)

dengan adanya perubahan dari keadaan quadruped menjadi bipedal.4,9

Awalnya vertebra berbentuk konkaf ke arah anterior. Vertebralumbal awalnya lurus, lalu

berinversi. Perubahan yang sama terjadi juga selama ontogenik (perkembangan seseorang). Pada

hari pertama kehidupan, vertebra lumbal berbentuk konkaf ke arah anterior. Pada usia 5 bulan,

vertebra lumbal sedikit konkaf ke anterior, dan pada usia 13 bulan bentuk konkaf tersebut

Page 57: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

menghilang. Sejak usia 3 tahun dan seterusnya, lordosis lumbal mulai tampak, dan

menggambarkan keadaan dewasa pada usia 10 tahun.

Kurva kolom vertebra meningkatkan tahanannya terhadap gaya kompresi aksial sebagai

perbandingan terhadap gaya yang diperlukan agar vertebra tetap dalam orientasi lurus sempurna.

Keseluruhan vertebra dengan tiga kurva fisiologisnya diseimbangkan pada sakrum. Sakrum

merupakan bagian pelvis, terdiri atas dua tulang iliaka, pubis dan iskium.3

Gambar 7.1 Ligamen Penyokong Vertebra

Sumber:http://www.spineuniverse.com/anatomy/spinal-ligaments-tendons

Dua sendi sakroiliaka, simfisis pubis, dan tulang yang melekat padanya membentuk

cincin tertutup yang mentransmisikan secara vertikal gaya dari kolom vertebra ke ekstremitas

bawah. Berat yang disangga oleh L5 didistribusikan secara merata ke dalam sayap pelvis, iskium

dan asetabulum di kedua sisi. Tekanan pada punggung dari berat badan melawan

gravitasiditransmisikan ke asetabulum oleh kepala dan leher femur. Tekanan yang dipaparkan

pada kedua tulang pubis akan dilawan oleh simfisis pubis.3

Sakrum dan tulang iliaka bergerak sebagai satu unit. Pelvis diseimbangkan pada aksis

transversal antara sendi pinggul, yang menyebabkan terjadinya gerakan rotasi pada bidang

Page 58: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

anterior-posterior. Bagian anterior pelvis dapat berotasi keatas, menurunkan sakrum dengan

adanya penurunan sudut lumbosakral.3

Pergerakan ke bawah dari bagian depan pelvis akan meningkatkan tekanan pada bagian

ujung belakang pelvis dan sakrum, dan meningkatkan sudut lumbosakral. Sudut lumbosakral

ditetapkan sebagai sudut yang dibentuk oleh garis yang ditarik secara paralel dengan batas

superior sakrum dalam hubungannya dengan garis horizontal.3

Sistem Ototpada Vertebra

Otot-otot vertebraterdiri atas otot-otot intrinsik dan ekstrinsik dengan fungsi

utamasebagai stabilisator, selain berfungsi sebagai penggerak.Pada bagian depan regio servikal

terdapat otot rektus kapitis anterior, otot rektus kapitis lateralis, ototkapitislongus, otot koli

longus, dan 8 buah otot hioideus. Padaabdomen terdapat ototrektus abdominis, ototoblikus

eksternus dan internus.Bagian belakang regio servikal terdapat otot splenius kapitis, otot splenius

servisissebagai ekstensor utama.Pada torakal dan lumbal terdapat otot torakalis posterior,

ototsakrospinalis, ototsemispinalis, otot spinalis, otot longisimus dan otot iliokostalis, dan otot-

otot spinalis dalamotot-otot multifidi, otot-otot rotator, otot-otot interspinalis, otot-otot

intertransversalis, otot levator kosta.2,10

KinetikaVertebra

Sistem stabilitas vertebra dipengaruhi oleh tiga subsistem yang bekerja dalam koordinasi,

yaitu subsistem saraf, subsistem gerak aktif dan subsistem gerak pasif. Pada posisi berdiri tegak

statis di posisi yang netral, ligamen merupakan sistem yang bersifat subpasif dan tidak berperan

dalam stabilitas. Serabut kolagen dari ligamen tetap melingkar dan tidak dibawah suatu tekanan.

Pada akhir dari rentang luas gerak sendi, maka terjadi gaya reaktif ligamen yang menahan

pergerakan vertebra. Pada titik ini, rentang luas gerak sendi tendo bertindak sebagai transduser

yang menginisiasi aspek motorik dari subsistem gerak aktif via subsistem saraf. Hal ini juga

dapat terjadi saat pembebanan minimal diberikan pada keadaan statis. Beban yang dapat

ditopang oleh subsistem gerak pasif sebelum adanya penekukan disebut dengan “beban kritis

dari kolom spinalis”. Pada penelitian in vitro beban yang dapat menyebabkan terjadinya

penekukan vertebra terjadi pada berat 20 N (2 Kg) di T1 dan 90N (9 Kg) di L5, yang jumlahnya

Page 59: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

sama dengan dua hingga tiga kali berat badan (140−210 Kg). Respons jaringan yang timbul lebih

merupakan respons otot terhadap deformasi ligamen dibandingkan dengan respons terhadap

pembebanan.2,10

Deformasi ligamen akan memberikan mekanisme feedback dalam mempertahankan

stabilitas vertebra.1,2,7 Pada saat vertebra berdiri tegak statis secara fisiologik, otot erektor spinal

merupakan subsistem gerak pasif. Otot batang tubuh bekerja hanya untuk menghasilkan tonus

dan vertebra secara keseluruhan konsisten dengan pusat gravitasi. Berat badan ditopang oleh

tekanan intradiskus intrinsik dan tonus ligamen. Dengan adanya gerakan fleksi dan rotasi pelvis,

keseimbangan ligamen dan sendi hilang, sehingga menginisiasi sejumlah faktor

neurofisiologikyang akan mengaktivasi sistem gerak aktif. Sistem spindle dari otot erektor spinal

menjadi aktif. Serabut ekstrafusal secara eksentris akan berkontraksi dan secara bertahap

memanjang. Pola aksi neuromuskuler ini terjadi secara sentral di korteksserebri.1,9

Dengan adanya gerakan fleksi ini, maka fasia akan memanjang secara pasif sesuai

dengan sifat elastisitas yang dimilikinya, yang merupakan konfigurasi dari serabut kolagen.

Selama fleksi terjadi juga pemanjangan ligamen ekstravertebra, ligamen longitudinalis posterior

dan serabut anular posterior diskus. Nukleus diskus berubah bentuk dalam batas fisiologik.

Pergerakan setiap segmen dikontrol secara aktif oleh otot-otot dan secara pasif oleh ligamen.

Pergerakan terbesar vertebra lumbal tampak pada saat fleksi ke depan dan ekstensi. Pergerakan

yang lebih kompleks akan melibatkan kombinasi fleksi ke depan, menekuk ke samping, dan

berputar. Pergerakan vertebra sendiri sering merupakan gabungan; ketika satu vertebra bergerak

relatif terhadap yang lainnya, maka akan terjadi rotasi dan translasi pada waktu yang bersamaan.

Pergerakan vertebra lumbal dilakukan dalam hubungannya dengan komponen-komponen lain

vertebra dan pelvis. Lumbar-pelvic rhythm merupakan aktivitas neuromuskuler dalam proses

kembalinya secara simultan lordotik lumbal dan perubahan posisi pelvis.3

Komponen lumbal dari ritme ini menyebabkan vertebralumbosakral berubah dari konkaf,

menjadi lurus,lalu berubah konfigurasi menjadi konveks. Selama perubahan yang progresif,

komponen pelvis akan merotasikan pelvis disekitar aksis transversal yang menghubungkan dua

sendi pinggul untuk meningkatkan sudut lumbal. Pergerakan vertebra lumbal adalah fleksi,

ekstensi, fleksi lateral, dan rotasi. Keluasan pergerakan pada bidang-bidang gerak ini dibatasi

Page 60: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

oleh ekstensibilitas ligamen longitudinal, permukaan artikuler dan kapsul, cairan dalam diskus,

dan kelenturan otot. Ekstensi vertebra lumbal mempunyai rentang luas gerak 300 dan dibatasi

oleh ligamen longitudinalis anterior. Fleksi ke depan mempunyai rentang luas gerak untuk

vertebra lumbal 450, yang terjadi paling besar (75%) di ruang antara L5 dan S1. Lateral fleksi

dibatasi 200−300.3

Rentang segmen maksimal antara L3 dan L4, dan minimal antara L5 dan S1. Untuk

kolom lumbal sebagai suatu kesatuan, rentang rotasi dihitung kurang lebih hanya sebesar 100.

Rotasi sangat tajam dibatasi oleh orientasi vertikal permukaan artikuler sendi faset terhadap

vertebra lumbal. Sendi apofisial faset menahan terjadinya torsi sebesar 45% (menurut Farfan)

dan 10% oleh ligamen interspinosus dan intraspinosus. Struktur kapsulligamen posterior serta

otot erektor spinal juga melindungi jaringan anular diskus pada gerakan rotasi.1,2,4,7 Pada saat

fleksi ke depan, sendi lumbal melakukan fleksi dan otot ekstensor akan menurunkan batang

tubuh. Setelah 450 fleksi, tegangan ligamen meningkat dan kontraksi otot paravertebra menurun.

Apabila fleksi berlanjut, pelvis akan berotasi lebih jauh disertai dengan adanya relaksasi

hamstring dan otot gluteus. Seiring dengan kembalinya batang tubuh ke posisi tegak, urutan

pengaktifan otot terjadi sebaliknya dengan kontraksi awal dari hamstring, lalu gluteus, yang akan

merotasikan pelvis untuk fleksi sebesar 450, dimana otot erektor spinal menjadi aktif dan

mengembalikan batang tubuh ke posisi tegak.7,8

Pergerakan pinggul normal memerlukan kondisi yang baik dari komponen vertebra dan

otot di sekitarnya, diskus yang intak, sendi faset yang simetris, dan ligamen penopang dalam

keadaan tidak terlalu panjang atau terlalu pendek. Otot paraspinosus dan hip girdle harus sesuai

elastisitas, kekuatan, dan fleksibilitasnya serta fungsi sendi pinggul harus dalam kondisi baik,

demikian pula dengan fungsi kaki bawah. Abnormalitas akan menyebabkan terjadinya disfungsi

kinetik dan atau statis.10

Daftar Pustaka

1. FH N. The Netter Collection Of Medical Illustrations: Icon Learning Systems; 1983.

2. al DRe. Gray's Anatomy For Students. Philadelphia: Elsevier; 2005.

3. Benzel EC. Spine Surgery. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.

Page 61: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

4. White AA III JR, Panjabi MM. Biomechanical analysis of clinical stability in the spine.

Clin Orthop Relat Res. 1975:85-96.

5. al AABe. Handbook Of Spine Surgery. New York: Thieme; 2012.

6. F D. The three column spine and its significance in the classification of thoracolumbar

vertebra. 1983:817-31.

7. Jr WT. Anatomy of the thoracolumbar spine. Clin Orthop. 1977:78-92.

8. Panjabi MM WAI, Johnson RM. Cervical spine mechanics as a function of transection of

components. J Biomech. 1975:327-36.

9. Greenberg MS. Handbook Of Neurosurgery. New York: Thieme; 2010.

10. Winn HR. Youman. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.

BAB VIII PENATALAKSANAAN TRAUMA LUMBAL

Page 62: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Terdapat kontroversi di antara para ahli bedah mengenai perawatan yang optimal dari

trauma vertebra, terutama mengenai waktu intervensi dan jenis pendekatan bedah. Melalui

intervensi bedah, para ahli bedah menganjurkan untuk; (a) melakukan dekompresi elemen

sarafpada kasus defisit neurologik,(b) mencegah kemungkinan cedera neurologik pada fraktur

yang tidak stabil,(c) mencegah deformitas yang dapat mengakibatkan nyeri aksial kronik atau

defisit neurologik, dan (d) mobilisasi dini dan mencegah komplikasi tirah baring

berkepanjangan.Pendekatan bedahanterior, posterior, serta kombinasi antara anterior dan posterior, dapat

digunakan untuk mengoreksi ketidakstabilan pada kasus trauma vertebra. Pendekatan bedah

yang dipilih bergantung pada pola fraktur, status neurologik pasien, dan preferensi dokter bedah. Pendekatan bedah anterior lebih disukai padakasus herniasi diskus, di mana fragmen

tulangmenyebabkan kompresi pada bagian ventral medula spinalis. Selain itu, pola fraktur pada

kolom anterior vertebra paling baik dikoreksi melalui pendekatan pembedahan anterior untuk

mengembalikan stabilitas struktural kolom anterior vertebra.Pendekatan bedah juga mencakup

berbagai bentuk instrumentasi. Instrumentasi vertebramerupakan metode untuk meluruskan dan

menstabilkan vertebra setelah dilakukan fusi dengan menggunakan kait, batang, dan kawat untuk

mendistribusikan tekanan dan menjaga kesegarisan vertebra.

Gambar8.1Terapi Fraktur TorakolumbalKet: fraktur torakolumbal dapat diterapi dengan (A) orthosis adjustable-fit torakolumbalis sacral

(Aspen TLSO), (B) clam shell, dan (C)casting

Sumber:http://www.spineuniverse.com/anatomy/spinal-ligaments-tendons

Pendekatan bedah posterior dengan instrumentasi biasanya dilakukan untuk

meminimalisasi kemungkinan kecacatan di kemudian hari, dan dapat memulihkan ketegangan

Page 63: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

(band)posterior padacedera yang melibatkan struktur ligamen posterior. Struktur ligamen

posterior (ligamen flavum, interspinous, supraspinous, dan sebagainya) berfungsi untuk

mempertahankanvertebraagar sesuai posisi anatomisnya.Gangguan ketegangan vertebraumumnyadisebutketegangan (band)posterior. Cedera pada

struktur ligamen posterior dapat menyebabkan vertebra menjadi lebih kifotik.Penggunaan

instrumentasi posterior pada proses pemulihan trauma diperlukan untuk

mempertahankanvertebraagar sesuai posisi anatomisnya. Instrumentasi posterior (sekrup massa

lateral) biasanya memberikan fiksasi yang lebih baik dan keuntungan mekanis karena dapat

digunakan pada manuver reduksi untuk mengembalikan kesegarisan vertebra.Pada cedera translasi (frakturdislokasi), apabila berat dan terdapat gangguan pada kolom

vertebra, maka prosedur instrumentasi kombinasi anterior dan posterior dapat digunakan untuk

memaksimalkan stabilitas dan meningkatkan fusi vertebra. Instrumentasi kombinasi anterior dan

posterior lebih sering digunakan di daerahyang terdapat stres biomekanika tinggi,

sepertiservikotorakal dan torakolumbal junction, di mana kekuatan biomekanika pada vertebra

lebih besar dan membuat daerah ini lebih rentan mengalami kegagalan prosedur stabilisasi.Tidak ada satu jenis pendekatan operatifyang lebih disukai untuk berbagai jenis fraktur

vertebra.Preferensi ahli bedahlebih diutamakan. Meskipun teknik bedah dan perangkat

instrumentasi vertebra semakin berkembang, namun kekurangan panduanoperasiyang baik

seringmenjadi kendala terapifraktur vertebra. Secara umum, pendekatan posterior lebih disukai

karena kemudahannyabagi beberapa ahli bedah. Pendekatan anterior pada fraktur vertebra

torakolumbal cenderung lebih sulit dilakukan karena perlu memobilisasi paru-paru, usus, dan

pembuluh darah besar, dan mungkin memerlukan bantuan dari dokter bedah umum atau toraks.Beberapa skema klasifikasi (Tabel 8.1) telah diusulkan untuk membantu menentukan

frakturvertebra torakolumbal dan meningkatkan konsistensi komunikasi antar dokter bedah.

Masih belum ada konsensus umum mengenai penggunaan skema ini. Pada tahun 1968,

Holdsworth54merupakan salah satu pelopordalam mengklasifikasikan fraktur torakolumbal. Ia

mengusulkan sebuah model dua kolom (Gambar 8.3) yang membagi vertebra ke dalam kolom

anterior dan posterior, dan menekankan pada integritas ligamen longitudinalis posterior(PLL)

dan elemen posterior untuk memprediksi stabilitas vertebra. Pada model dua kolom Holdsworth,

semua elemen ventral ke PLL dianggap kolom anterior,sedangkan elemen posterior PLL

merupakan kolom posterior.Secara mekanis, klasifikasi Holdsworth dibagi menjadi fraktur fleksi, fleksi dan rotasi,

ekstensi, dan kompresi. Klasifikasi Whitesides55memperluas model dua kolom Holdsworth

Page 64: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

dengan mengelompokkan fraktur vertebra berdasarkan pada stabilitasnya (stabil atau tidak

stabil), dan menekankan pentingnya kompleks ligamen posterior dalam menentukan stabilitas

vertebra.Menurut Whitesides, fraktur vertebra yang stabil termasuk fraktur kompresi sederhana

dan burst dengan unsur-unsur posterior yang utuh, sedangkan fraktur tidak stabil termasuk

fraktur slice,burst dengan gangguan elemen posterior, cedera fleksi-distraksi, dan cedera

ekstensi.

Gambar 8. 2 Radiografik Fraktur Dislokasi Vertebra Lumbal 1−2Sumber: laporan jaga Bedah Saraf RS. Dr. Hasan Sadikintahun 2013

Tabel 8.1 Klasifikasi Fraktur Vertebra Torakolumbal

Page 65: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Sumber:http://www.spineuniverse.com/anatomy/spinal-ligaments-tendons

Fraktur vertebra torakolumbal secara umum diklasifikasikan menjadi 3 kategori utama,

yaitu: tipe A (kompresi), tipe B(distraksi), tipe C(multiarah dengan translasi). Terdapat

peningkatan risiko ketidakstabilan dan defisitneurologik, seperti pada perubahan fraktur tipe A ke

tipe C, dan klasifikasi fraktur dapat dibedakan lagi berdasarkan tingkat keparahannya.Pada tahun 1983, Denis56 mengusulkan model tiga kolom (Gambar 8.3) untuk fraktur

vertebra torakolumbal berdasarkan gambar CT-scan aksial.Fraktur vertebra torakolumbal ini

diklasifikasikan menjadi4 kategori; kompresi, burst, tipeseat-belt, dan dislokasi. Berbeda dengan

penulis sebelumnya yang menekankan pentingnya kolom posterior dalam memprediksi stabilitas

vertebra, model tiga kolom Denis menekankan pentingnya kolom tengah. Kolom tengah terdiri

atas bagian posterior korpus vertebra, anulus fibrosus posterior, dan ligamen longitudinalis

posterior. Denis percaya bahwa keterlibatan dua dari tiga kolom mengakibatkan fraktur menjadi

tidak stabil.56 McAfee et al .57menyepakati model tiga kolom Denis, namun klasifikasi Denis

dinilai terlalu rumit. Mereka mengusulkan skema klasifikasi baru dengan lebih menekankan pada

mekanisme cedera, dan fraktur vertebra torakolumbal dikategorikan sebagai berikut;fraktur baji

kompresi, burst stabil, bursttidak stabil, Chance, cedera fleksi-distraksi, dan cedera translasi.

Fraktur burst stabil dan tidak stabil dibedakan berdasarkan kompetensi elemen posterior.Pada tahun 1994, McCormack et al.58 mengusulkan klasifikasi untuk fraktur burst untuk

membantu memprediksi pasien yang mungkin mengalami kegagalan dengan fiksasi posterior

short segmen.Klasifikasi ini mencirikan fraktur burst dengan skala titik3−9berdasarkan jumlah

kominusi, aposisi fragmen, dan derajat kifotik preoperasi. Fraktur burst dengan tujuh titik atau

Page 66: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

lebih pada skala ini lebih rentan terhadap kegagalan instrumentasi hanya dengan fiksasi

posteriorshortsegmen. Hal ini umumnya disebabkan oleh kegagalan kolom anterior untuk

memberikan dukungan struktural.Oleh karena itu, skala ini berguna untuk menentukan

penggunaan prosedur anterior tambahan.

Gambar8.3Klasifikasi Fraktur Vertebra Torakolumbal Model Dua dan Tiga kolom

Ket: klasifikasi ini digunakan untuk mengklasifikasitraumavertebra torakolumbal dan membantu

mengukur ketidakstabilan pada masing-masing kolom. Pada model dua kolom (sebelah kiri

garis vertikal merah), semua struktur yang terletak ventral dari ligamenlongitudinalis posterior

(garis putus-putus) merupakan bagian dari kolom anterior. Pada model tiga kolom Denis (sebelah

kanan garis vertikal merah), struktur kolom anterior dibagi menjadi anterior dan kolom tengah

dibagi pada pertengahan korpus vertebra.

Sumber:http://www.spineuniverse.com/anatomy/spinal-ligaments-tendons

Modifikasi Komprehensif Klasifikasi ( Arbeitsgemeinschaft für Osteosynthesefragen /

Asosiasi untuk Studi of Internal Fixation [ AO / ASIF ] ) , awalnya digambarkan oleh Magerl et

al . ( 59 ) dan kemudian dimodifikasi oleh Gertzbein ( 60 ) , saat ini sistem klasifikasi yang

paling umum digunakan untuk fraktur thoraco - lumbar . Sistem klasifikasi ini membagi fraktur

Page 67: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

menjadi tiga jenis utama : A , kompresi , B , gangguan , dan C , multiarah dengan terjemahan

(Gambar 3-13 ) . Pemanfaatan sistem ini adalah tertib di mana itu peringkat fraktur berdasarkan

tingkat keparahan . Ada peningkatan risiko ketidakstabilan dan penghinaan neurologis seperti

cedera kemajuan dari tipe A ke tipe C patah tulang , dan masing-masing jenis fraktur lebih jauh

lagi dibagi berdasarkan tingkat keparahan . Meskipun klasifikasi tertib patah tulang dalam sistem

ini, kesulitan bisa timbul dengan sistem klasifikasi AO / ASIF karena kompleksitas dari 27

subtipe nya . Banyak ahli bedah menggunakan sistem klasifikasi ini, tetapi hanya sedikit

menggunakan semua 27 subtipe dalam sistem klasifikasi ini.

Gambar8.4 Modifikasi Komprehensif Sistem Klasifikasi (AO / ASIF). Tipe A : Kompresi cedera

pada anterior dan kolom tengah, Tipe B : cedera selingan yang melibatkan kolom posterior, Tipe

C : Translation (fraktur - dislokasi) cedera.

Page 68: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

TerapiBedah Sesuai Pola Fraktur Torakolumbal

Umumnyafraktur torakolumbal (kompresi/wedge/burst) dapat diterapi secara konservatif dengan

bracing, hanya fraktur burst berat yang memerlukan stabilisasi bedah. Defisit neurologik dalam

pengaturan kompromi kanal merupakan salah satu indikasi bedah untuk dekompresi dan

stabilisasi. Indikasi lainnya untuk melakukan stabilisasi bedah pada fraktur burst termasuk

kehilangan atau gangguan kompleks ligamen posterior, yang dapat disimpulkan dari ≤25 derajat

kifotik pada radiografik, atau visualisasi langsung dari gangguan kompleks ligamen posterior

pada T2-weighted MRI sagital.Telah ada kecenderungan selama dekade terakhir terhadap short -

segmen fiksasi di persimpangan torakolumbalis dalam upaya untuk melestarikan gerakan pada

tingkat yang berdekatan. The McCormack et al.58mengungkapkan bahwa klasifikasi dapat

digunakan untuk menentukan fraktur burst akan mengalami kegagalanpada instrumentasi short

segmen dan memerlukan rekonstruksi kolom anterior lebih lanjut. Cedera tipe distraksi, seat belt,

dan fraktur Chance, di mana terdapatkehilangan integritas kolom posterior, dapat dikelola secara

konservatif, tetapi sering memerlukan instrumentasi posterior untuk mengembalikan ketegangan

(band)posterior. Cedera atau fraktur rotasi merupakan yang tidak paling stabil dan memiliki

risiko tertinggi untuk mengalami cedera neurologik, dan hampir selalu memerlukan stabilisasi

bedah. Cedera translasi berat sering membutuhkan pendekatan kombinasianterior dan posterior

untuk mengembalikan stabilitas vertebra.

Page 69: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar8.5Instrumentasi Anterior Pada Vertebra Torakolumbal

Ket: Instrumentasi anterior telah menjadi lebih populer di dada dan lumbar tulang belakang . A :

AP radiografik menunjukkan Kaneda perangkat (Depuy Spine) menstabilkan corpectomy a . B :

MACS - TL (Aesculap) adalah baru , lebih rendah sistem profil di mana kepala sekrup flush

dengan plat fiksasi dapat ditempatkan thoracoscopically. C : kandang diupgrade (Synex

kandang , Synthes Corp) telah dirancang untuk dada dan lumbar tulang belakang untuk

mengembalikan integritas kolom anterior dan memberikan perhatian untuk membantu cacat yang

benar.

Radiografik IntraoperatifRadiografik intraoperatif sering digunakan oleh ahli bedah untuk mengkonfirmasi level vertebra

dan meningkatkan akurasi penempatan instrumen. Fluoroskopi dan radiografik polos masing-

masing dapat digunakan untuk mengkonfirmasi level vertebra intraoperatif, tapi fluoroskopi

memiliki fleksibilitas tambahan pada aspek gambar real-time. Fluoroskopilateral paling sering

Page 70: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

digunakan, namun demikian, posisi AP, oblik, dan biplanar (AP dan lateral) memiliki peran

masing-masing bergantung pada kebutuhan bedah. Perhatian harus dilakukan untuk

mendapatkan gambar lateral yang sebenarnya, atau gambaran AP dengan penyesuaian

fluoroskopi untuk menghilangkan kesan miring, yang dapat menyebabkan kesalahan persepsi.

Pada vertebra servikal, penyelarasan sendi faset diperlukan sebagai panduan yang baik untuk

mendapatkan tampilan lateral yang benar.Pada vertebra torakolumbal, endplateskorpus vertebra

dapat digunakan untuk mendapatkan keselarasan lateral yang sempurna pada fluoroskopi. Pada

bidang AP, pedikel dan prosesus spinosusus berfungsi sebagai landmarkuntuk menyesuaikan

fluoroskopidan menghilangkan kesan miring.

Gambar 8.6 Instrumentasi Vertebra Torakolumbal PosteriorSumber: laporan jaga Bedah Saraf RS. Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Ket: sekrup gagang bunga merupakan instrumentasi yang paling umum digunakan pada

terapifraktur vertebra torakolumbal,dan biasanya ditempatkan di seluruh daerah

torakolumbal,bergantung pada anatomi individu dan ukuran pedikel (T4−6 biasanya memiliki

pedikel terkecil).

Page 71: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

A: CT-scan aksial menunjukkan sekrup gagang bunga ditempatkan melalui pedikel ke dalam

korpus vertebra.B: radiografik polos lateral menunjukkan batang terhubung ke sekrup gagang bunga.

Servikotorakal junction merupakan daerah yang paling sulit untuk divisualisasikan

dengan fluoroskopi intraoperatif. Manuver menarik bahu ke arah kaki dapat membantu

memaksimalkan visualisasi di vertebra servikal yang lebih rendah.Fluoroskopi balok

Collimating ke lokasi bunga juga dapat meningkatkan visualisasi dan mengurangi paparan

radiasi. Pada pasien obesitas, visualisasi fluoroskopi mungkin tampak marginal sepanjang

vertebra, tetapi dapat ditingkatkan dengan manuver yang sama.Menghitung level vertebra di daerah dada untuk lokalisasi dapat sangat sulit dilakukan.

Lebih baik menghitung naik dari tingkat yang dikenal di daerah pinggang dibandingkan dengan

menghitung mundur dari servikotorakal junction. Jika lokalisasi tersebut tercapai, penanda kulit

atau subkutan dapat membantu studi preoperasi. Sistem navigasi stereotaktis yang lebih

kompleks dengan menggunakan CT-scan preoperasi atau fluoroskopi intraoperatif canggih juga

tersedia untuk membantu lokalisasi intraoperatif, tetapi kualitas gambar dan akurasi sering tidak

optimal.Meskipun teknik bedah dan instrumentasi untuk terapifraktur vertebra telah berkembang,

namun masihterdapat perbedaan pengelolaanbedah trauma vertebra karena kurangnya bukti dan

pedoman untuk sebagian besar kasus traumavertebra. Indikasi dan pendekatan yang diambil

untuk mengelola trauma vertebra sangat bervariasi di antara ahli bedah. Instrumentasi memiliki

peran penting dalam stabilisasi fraktur vertebra yang tidak stabil. Evolusi instrumentasi dan

teknik bedah invasif minimal diharapkan mampu meminimalisasi morbiditas perioperatif dan

lama rawat inap secara keseluruhan.

Daftar Pustaka

1. Vaccaro AR , Silber JS . Post-traumatic deformitas tulang belakang . Spine . 2001; 26 ( 24

suppl ) : S111 - 118 .2. Winn, Richard. YOMAN’S : Neurological Surgery. Elevier-Saunders. 2011. Philadelphia.3. Baaj, Ali A. Et al. Handbook of Spine Surgery. Thieme. 2012. New York-USA.4. Schnuere, Tony. Lumbar (Low Back) Surgical Implants. 2009. Website :

www.spineuniverse.com

Page 72: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

5. Alanay, Ahmed MD. Short-segment Pedicle Instrumentation of Thoracolumbal Burst

Fractures : Does Transpedicular Intracorporeal Grafting Prevent Early Failure? Spine

Journal-LWW. 2001.6. Masquelet, Alain. An ATLAS of Surgical Anatomy. Taylor & Francis. 2005. United

Kingdom.7. Greenberg, Mark S. Handbook of Neurosurgery, 7th edition. 2010. New York.8. Vaccaro AR, Silber JS. Post-traumatic vertebra deformity. Spine .

2001;26(24 suppl):S111-118.9. Markham J. Surgery of the vertebra cord and vertebral column. In: Walker,

A, ed. A History of Neurological Surgery . New York: Hafner; 1967:364-392.10. Frankel HL, Hancock DO, Hyslop G, et al. The value of postural reduction

in the initial management of closed injuries of the spine with paraplegia and

tetraplegia. I. Paraplegia . 1969;7(3):179-192.11. Roos JE, Hilfiker P, Platz A, et al. MDCT in emergency radiology: is a

standardized chest or abdominal protocol sufficient for evaluation of thoracic

and lumbar spine trauma? AJR . 2004;183:959-968.12. Holdsworth FW. Diagnosis and treatment of fractures of the spine. Manit

Med Rev . 1968;48(1):13-15.13. Whitesides TE Jr. Traumatic kyphosis of the thoracolumbar spine. Clin

Orthop . 1977(128):78-92.14. Denis F. The three column spine and its significance in the classification

of acute thoracolumbar vertebra injuries. Spine . 1983;8(8):817-831.15. Laporan Jaga Bedah Saraf FK Unpad-RS. Hasan Sadikin tahun 2013.

Page 73: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

BAB IX

PENATALAKSANAAN TRAUMA VERTEBRA NON-OPERATIF

Pendahuluan

Penatalaksanaantrauma vertebra selain melalui tindakan operatif,dapat jugadilakukan

secara non-operatif (konservatif). Penanganan non-operatif sama seperti penanganan operatif,

bertujuan mengurangi mortalitas, mempercepat pemulihan neurologik, mengurangi biaya

perawatan, mencegah kerusakan vertebra lebih lanjut dengan prinsip stabilisasi vertebra,

mencegah cedera sekunder, dan komplikasi.1,2

Sebagian besar kasus trauma vertebra tidak memerlukan penanganan operatif dan

dapatditangani secara konservatif. Setiap kasus harus diperiksa dengan cermat sehingga

penanganannya tepat.1

Penatalaksanaan pasien cedera vertebra pada tahap pre-hospitalyang tepat dapat

meningkatkan outcome. Penatalaksanaan ini harus memberikan lingkungan biologis dan

biomekanik yang memungkinkan pemulihan jaringan lunak dan tulang yang akurat, dan pada

akhirnya menciptakan kolom vertebra yang stabil dan bebas nyeri.3

Penanganan Nyeri

Rasa nyeri pada trauma vertebra merupakan salah satu alasan pasien mencari pengobatan.

Nyeri merupakan salah satu gejala akibat gangguan terhadap medula spinalis yang terjadi akibat

trauma. Penanganan nyeri bergantung pada derajat nyeri. Ada beberapa modalitas penanganan

nyeri antara lain:

Page 74: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

1 MedikamentosaTerapi manajemen nyeri dengan obat-obatan (medikamentosa) dapat dilakukan dengan

pemberian antiinflamasi, analgesik, relaksan otot, narkotik, antidepresan.

a Antiinflamasi Obat-obatan ini bertujuan untuk mengurangi peradangan dalam jaringan, dan

berguna untuk mengatasi nyeri ringan dan sedang. Efek samping yang dapat

terjadi antara lain gangguan lambung, ginjal dan hepar.

b AnalgesikGolongan obat ini mengurangi rasa nyeri, namun tidak bekerja pada sumber nyeri.

Golongan obat ini berguna untuk meringankan gejala yang ada, akan tetapi tidak

menghilangkan penyebab nyeri.

c Relaksan ototGolongan obat ini bertujuan mengurangi rasa tegang dan iritasi otot. Dengan

berkurangnya spasme otot, maka rasa nyeri akan berkurang.

d Golongan narkotikGolongan obat ini merupakan antinyeri yang sangat kuat. Berguna untuk

mengobati rasa nyeri yang berat. Obat-obatan ini tidak dijual bebas dan dapat

menimbulkan adiksi.

e AntidepresanPada beberapa kasus, antidepresan berguna untuk mengurangi nyeri.4

2. Non-medikamentosa

a. Kompres dingin/hangatKompres dingin dapat mengurangi rasa nyeri dan bengkak, sedangkan kompres

hangat dapat membantu melancarkan sirkulasi darah pada area cedera dan

mempercepat penyembuhan.

b. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)Transcutaneous electrical nerve stimulation dilakukan dengan meletakkan

langsung sadapan elektrik yang dialiri arus listrik kecil pada kulit untuk

mengurangi rasa nyeri.

Page 75: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

c. PemijatanPemijatan dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dengan melancarkan sirkulasi

darah dan mengurangi spasme otot.

d. UltrasoundMekanisme kerjanya adalah dengan memberikan getaran gelombang ultrasound

pada jaringan yang dapat menembus kulit sehingga mencapai pusat nyeri.

Gelombang ini mengurangi spasme otot dan memperlancar sirkulasi darah.

e. AkupunturDi negara-negara Asia, akupuntur sudah dikenal dan dipercaya dapat meredakan

nyeri melalui penusukan jarum pada area-area tertentu.

3. Imobilisasi eksternal

Pasien yang mengalami defisit neurologik akut sering mengalami subluksasi yang nyata

pada pencitraan radiografik, akibatnya dapat terjadi kompresi medula spinalis. Contoh yang

umum adalah pasien dengan “locked facet” unilateral atau bilateral, fraktur servikal tipe burst,

fraktur odontoid. Selama puluhan tahun telah dipraktikkan penggunaan reduksi tertutup dini

untuk penanganan cedera ini. Tujuannya adalah untuk dekompresi medula spinalis yang cepat,

mengembalikan stabilitas struktur servikal dan imobilisasi.

Pemulihan stabilitas vertebra adalah penting untuk meminimalisasi risiko cedera

sekunder dan memungkinkan mobilisasi dini pasien, dan mengurangi risiko yang berhubungan

dengan tirah baring jangka panjang.

Imobilisasi eksternal dari vertebra servikal dilakukan dengan pemasangan collar neck

yang terdiri atas berbagai desain,poster type orthoses, cervicothoracic devices termasuk

Minerva-type braces, dan halo orthosis.

Collar neck terdiri atas beberapa tipe; collar Philadelphia, Miami J, Aspen, Newport, dan

berbagai tipe rigid collar. Soft collar memberikan perlindungan yang minimal dan restriksi

pergerakan yang sangat kecil, sehingga peranannya pada manajemen trauma sangatlah terbatas.

Page 76: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Poster type orthoses terdiri atas orthoses Guilford dan sternal-occipital-mandibular

immobilization (SOMI). Perlengkapan ini memberikan imobilisasi yang lebih baik dari collar

neck, tetapi jarang dapat diaplikasikan pada trauma akut.

Gambar 9.1 Soft Collar Neck

Sumber: laporan jaga Bedah Saraf FK Unpad/ RS. Dr. Hasan Sadikin, Bandung tahun 2013

Gambar 9.2 Philadelphia CollarNeck

Sumber:http://www.bracesbyorthigo.be/fr/products/view/398/collier-cervical-mousse-c1-ezy-wrap

Page 77: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 9.3 Minerva Type Braces

Sumber:http://www.bracesbyorthigo.be/fr/products/view/398/collier-cervical-mousse-c1-ezy-wrap

Halo vest merupakan alat yang paling dapat diandalkan untuk mengontrol pergerakan

vertebra servikal dan merupakan peralatan standar pada cedera servikal. Halo vest dapat

membatasi fleksi dan ekstensi, rotasi aksial, dan fleksi lateral dari servikal atas, di mana level ini

jarang dapat terlindungi dengan peralatan lain. Dengan kemampuannya membatasi pergerakan

mulai oksiput sampai C3, halo vest direkomendasikan secara umum untuk terapi fraktur

dislokasi aksis, fraktur odontoid, fraktur kombinasi C1−2, dan juga sebagai imobilisasi

pascaoperasi. Penggunaan halo vest lebih terbatas pada kelompok pediatrik di mana ketebalan

tulang tengkorak dan penggunaan pin dapat menimbulkan masalah.5

Page 78: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 9.4 Halo Vest

Sumber:http://www.indiamart.com/active-medical/spinal-orthosis-braces.html

Fraktur torakolumbal cenderung untuk kembali pada deformitas semula. Oleh karena itu,

reposisi mungkin tidak dibutuhkan. Konsep terapi fungsional dimulai dengan fase berbaring pada

posisi pronasi di tempat tidur, dan apabila diperlukan dengan lordotic support. Waktu imobilisasi

di tempat tidur tergantung pada tipe fraktur.3

4. Traksi servikal

Traksi servikal merupakan pemasangan traksi pada dahi dan di belakang oksiput dengan

tujuan untuk stabilisasi sementara pada cedera servikal. Traksi ini harus segera digantikan oleh

traksi skeletal dan beban tidak boleh lebih dari 5 Kg untuk jangka waktu lebih dari 2 jam. Traksi

Gardner-Wells merupakan yang paling sering digunakan untuk traksi skeletal.2

Page 79: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 9.5 Traksi Gardner-Wells

Sumber:http://www.bracesbyorthigo.be/fr/products/view/398/collier-cervical-mousse-c1-ezy-wrap

5. Rehabilitasi fisik

Salah satu penatalaksanaan non-operatif adalah program rehabilitasi fisik. Program ini

berguna untuk mempercepat pemulihan kekuatan otot. Otot-otot vertebra sangat penting dalam

menjaga stabilitas vertebra sebagai penopang tubuh. Faktor usia, jenis cedera atau masalah

penyerta dapat menyebabkan kelemahan pada otot punggung. Program latihan fisik dapat

membantu memperkuat otot-otot tersebut. Sejumlah studi menunjukkan bahwa latihan aerobik

dapat menurunkan angka kekambuhan cedera vertebra.6,7

Daftar Pustaka

1. Grundy D, Tromans A, Carvell J, Jamil F. Medical Management in the Vertebra Injuries

Unit. In: Grundy D, Swain A, editors. ABC of Vertebra Cord Injury. 4th ed. London: BMJ

Books; 1996.

2. Morone MA, Ball PA. Vertebra Traction. Benzel EC, editor. Philadelphia: Elsevier; 1999.

Page 80: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

3. Boos N AM. Thoracolumbar Vertebra Injuries. Vertebra Disorder. New York: Springer;

2006. p. 883-924.

4. Wells JCD, Miles JB. Pain and its Management. Findlay G, Owen R, editors. Oxford:

Blackwell Scientific Publications; 1992.

5. Johnson RM HD, Simmons EF, et al. Cervical Orthoses: A study comparing their

effectiveness in restricting cervical motion in normal subjects. J Bone Joint Surg Am.

1977(5):464-75.

6. TB D. Treatment of vertebra cord injury. N Engl J Med. 1990(96):285-91.

7. Fang HSY, Bedbrook GM. Rehabilitation and the Paralysed Patient. Findlay G, Owen R,

editors. Oxford: Blackwell Scientific Publications; 1992.

BAB XPEMASANGAN IMPLAN PADA TRAUMA VERTEBRA

Fakta bahwa operasivertebra berhubungan langsung dengan medula spinalis dan serabut-

serabutnya, membuat teknik atau prosedur bedah ini sangatlah tidak mudah dilakukan.

Kesalahan kecildapat mengakibatkan kerusakan saraf yang permanen atau paralisis. Selain

kesalahan manusia, terdapat beberapa risiko tinggi dalam operasi vertebra yang harus dipahami,

terutama penggunaan instrumentasi dan implan.Implan vertebra merupakan alat yang digunakan oleh pada ahli bedah saraf untuk

memperbaiki deformitas, menstabilkan dan menguatkan vertebra, dan membantu penyatuannya.

Beberapa gangguan pada vertebra yang menggunakan implan vertebra meliputi penyakit

degeneratif pada diskus vertebra, skoliosis, kifosis, spondilolistesis, dan fraktur vertebra.Dekompresi secara pembedahan meliputi pelepasan tekanan atau dorongan jaringan

terhadap medula spinalis atau serabut saraf. Stabilisasi vertebra meliputi fusi dua vertebra atau

lebih. Pemasangan implan seperti cages, screws, rods dapat digabungkan dengan bone

graftmenyebabkan tidak adanya pergerakan dari korpus vertebra.Implan terbuat dari material yang biocompatible dan mampu memberikan stabilitas dan

kekuatan pada vertebra. Secara umum, implan vertebra dibagi menjadi fusi dan non-fusi.

Page 81: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

1 Implan fusi menggunakan cangkokan unsur tulang (bone graft)Contohnya: rod, plate, screw, interbody cage

2 Implan non-fusi tidak menggunakan bone graftContohnya: diskus artifisial, growth sparing devices*.*Growth sparing devices digunakan pada pasien yang belum mencapai maturitas tulang.

Alat yang termasuk di dalamnya seperti vertical expandable prosthetic titanium rib

(VEPTR) yang dapat digunakan pada penangan skoliosis.

Implan terbuat dari beberapa material seperti titanium, titanium-alloy, stainless steel, dan

plastik. Implan titanium tergolong kuat, ringan, dan dapat digunakan dalam pemeriksaan

pencitraan magnetic resonance imaging(MRI).

Page 82: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 10. 1 Beberapa Tipe Implan Vertebra (Meditronic)Sumber:http://www.bizrice.com/products/Orthopedic-Implants-Spine-Implants.html

Alat-alat tersebut dibuat berbeda-beda sesuai bentuk dan ukuran,misalnyarods yang dapat

disesuaikan dengan anatomi pasien. Contoh lain, pedicle screw yang dapat dilapisi dengan

material yang mampu merangsang fusi (penyatuan) tulang.

Page 83: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 10.2. Diameter terluar dan terdalam (pusat screw), kedalaman serta jarak antara ulir

pada Screw.Sumber:Benzel EC. Implant-bone interfaces. /n: Benzel EC, ed. Biomechanics of Spine Stabil ization. Rolling Meadows, IL: AANS Publications;

and New York: Thieme; 200 1 : 1 59. Reprinted by permission.

Implan lumbal merupakan alat yang sering digunakan ahli bedah saraf untuk dekompresi

dan stabilisasi vertebra, khususnya lumbal. Secara spesifik, implan yang digunakan pada fusi

lumbal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1 Implan pada disc space (interbody space)2 Implan pada tulang vertebra yang menghasilkan stabilisasi

Gambar 10. 3 Implan Plate dan Screw (Aesculap)Sumber:http://urogen.co.id/

Implan Interbody Tujuan penggunaan implan interbody pada lumbal adalah:

Page 84: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

1 Mempertahankan sela diskus antar vertebra sehingga membantu mencegah kompresi

saraf,2 Mempertahankan lengkung vertebra lumbal pada asalnya,3 Membantu fusi/penyambungan vertebra,4 Mempertahankan stabilitas,5 Sebagai media (carrier) untuk penyambungan material seperti bone graft.

Implan interbody (cages) tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran. Sebagian besar

berbentuk silinder, selain itu ada yang berbentuk kubus. Cages juga terbuat dari berbagai macam

bahan seperti logam, tulang, carbon fiber, dan plastik. Cages biasanya terbungkus bersama

serbuk-serbuk tulang atau subtansi lain yang membantu penyembuhan dan penyambungan

tulang. Satu atau dua cages yang sesuai menempati ruang diskus (interbody space) yang kosong.

Beberapa teknik operasi hanya menggunakan cages untuk membantu penyambungan dan

stabilisasi vertebra.

Keutamaan Bone GraftApapun implan yang digunakan oleh ahli bedah saraf, hasil akhirnya diharapkan memberi

keuntungan bagi pasien terutama pada proses fusi, maupun fusi yang dipercepat oleh bone graft.

Protein buatan sebagai hasil rekayasa genetik, yang dikenal sebagai recombinant human bone

morphogenetic protein (rhBMP-2) dapat membantu menstimulasi proses penulangan.

Bone graft dapat diperoleh dari beberapa sumber. Masing-masing memiliki kelebihan dan

kekurangannya. Autograft,yaitu tulang atau cangkoknya berasal dari dari tubuh sendiri.

Tulang yang sering diambil berasal dari tulang pinggul pada krista iliaka,

oleh karena segmen ini memiliki kecepatan fusi yang tinggi karena

kandungan sel-sel bakal tulang dan proteinnya. Allograft, yaitutulang yang berasal bukan dari diri sendiri, disebut juga

donor tulang. Tulang ini biasanya diperoleh dari orang lain yang bersedia

mendonorkan tulangnya setelah meninggal. Kekurangan pada donor

tulang ini tidak memiliki sel-sel bakal tulang yang mampu tumbuh

dengan cepat. Bone graft tersubstitusi. Cangkok tulang ini dimulai dari pembuatan berbahan

plastik, keramik, atau komponen yang bioresorbable,yang dilapisi serbuk atau serpihan

tulang intraoperatif.

Page 85: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Komplikasi Penggunaan Implan dan Proses Fusi

Beberapa komplikasi penggunaan implan dan proses fusi di antaranya, yaitu:1. Non-unionKemampuan penyatuan vertebra (fusi) mengacu pada penyambungan atau penyatuan dua

vertebra yang disebabkan karena diskus diantara keduanya rusak. Gangguan berupa non-

unionyaitu tidak terjadinya fusi vertebra, sehingga operasi harus dilakukan kembali. Apabila

penyatuan vertebra yang melibatkan instrumen atau implan dapat mengganggu penyatuan tulang,

maka perlu dipikirkan penggunaan bone graft, karena akan mempercepat proses penyatuan

tulang atau fusi. Di samping itu, operasi yang kedua dapat memperbaiki masalah yang timbul

pascaoperasi yang pertama. 2. Delayed unionProses fusi yang memerlukan waktu yang lebih lama disebut sebagai delayed union.

Pseudoartrosis mengacu pada pergerakan dua tulang yang seharusnya menyatu.3. Implan rusak atau patah Metal screw, plate, pin dan rods digunakan dalam mempertahankan kesegarisan

vertebraselama penyembuhan. Implan ini dapat patah atau rusak sehingga harus

dilakukan operasi yang kedua.4. Migrasi implan (implan yang berpindah)Dapat terjadi pada 1–2% kasus. Sering terjadi pascaoperasi, pada saat proses

penyembuhan dan penyatuan terjadi. Migrasi dapat bergerak ke depan, yang dapat

melukai pembuluh darah besar. Pada kasus seperti ini, operasi kedua mutlak dilakukan

dengan lebih memperkuat cages.5. Kerusakan saraf atau nyeri yang permanenSetiap operasi vertebra dapat mengakibatkan adanya luka atau kerusakan saraf, maupun

medula spinalis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa rasa baal, kesemutan, bahkan

paralisis. Hal tersebut sering disebabkan karena kerusakan serabut saraf itu sendiri

akibatherniasi diskus. Beberapa kasus herniasi diskus yang lama tentu akan menyebabkan

kerusakan yang permanen, walaupun telah dilakukan tindakan dekompresi.

Page 86: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 10.4 Evaluasi Pemasangan Implan Secara RadiologikSumber:http://www.lowback-pain.com/surgery.spinalstimulator.technique.htm

KesimpulanPemakaian implan oleh ahli bedah saraf, harus memperhitungkan keuntungan dan

kerugian bagi pasien. Pengetahuan, pengalaman, dan hasil dari pemakaian implan akan

mendorong penelitian dan peningkatan mutu pada tahun-tahun berikutnya.

Daftar Pustaka

1 Winn, Richard. YOMAN’S : Neurological Surgery. Elevier-Saunders. 2011. Philadelphia.2 Baaj, Ali A. Et al. Handbook of Spine Surgery. Thieme. 2012. New York-USA.3 Schnuere, Tony. Lumbar (Low Back) Surgical Implants. 2009. Website :

www.spineuniverse.com4 Alanay, Ahmed MD. Short-segment Pedicle Instrumentation of Thoracolumbal Burst

Fractures : Does Transpedicular Intracorporeal Grafting Prevent Early Failure? Spine

Journal-LWW. 2001.5 Masquelet, Alain. An ATLAS of Surgical Anatomy. Taylor & Francis. 2005. United Kingdom.6 Greenberg, Mark S. Handbook of Neurosurgery, 7th edition. 2010. New York.7 Bose B: Anterior cervical instrumentation enhances fusion rates in multilevel reconstruction

in smokers. J Vertebra Disord 14:3-9, 2001.8 Hilibrand AS, et al.: Impact of smoking on the outcome of anterior cervical arthrodesis with

interbody or strut-grafting. J Bone Joint Surg Am 83-A:668-73, 2001.9 Xie JC, Hurlbert RJ. Discectomy versus discectomy with fusion versus discectomy with

fusion and instrumentation: a prospective randomized study. Neurosurgery 61:107-16, 2007

Page 87: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

10 Vaccaro, Alexander, et al. Spine Surgery. Thieme. 2003. New York-USA.11 Laporan Jaga Bedah Saraf FK Unpad-RS. Hasan Sadikin tahun 2013.

Page 88: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

BAB XI

KONSEP SEL PUNCA PADA TRAUMA VERTEBRA

A Sel Punca

Sesuai dengan namanya, sel punca saraf (SPS) memiliki kemampuan menjadi berbagai

macam sel didalam otak dan vertebra (sel saraf dan glia), memiliki kemampuan memperbanyak

dirinya sendiri (self-renewing) dan menjadi sel-sel otak dan sel vertebra dewasa (differentiation)

sesuai dengan lineage-nya; sifat-sifat ini disebut pluripoten. Sedangkan istilah progenitor

memiliki derajat yang lebih rendah dari pluripoten5karena hanya dapat menjadi satu jenis sel,

misalnya sel progenitorsaraf hanya dapat menjadi sel saraf dan tidak dapat menjadi sel glia,

begitupun sebaliknya untuk sel progenitorglia. Sel punca saraf dapat diisolasi, baik dari otak

individu dewasa maupun fetus, bahkan pada saat embrio. Populasi SPS dapat ditemukan

didaerahsubventrikel (SVZ) pada ventrikel lateral dan didaerah subdentatusgirus pada

hipokampus,5 didaerah telensefalon pada fetus dan inner cell mass pada tahapblastosit pada fase

embrio.

Sel-sel SPS dapat ditumbuhkan atau dibiakkan secara in vitro pada cawan petri dengan

keberadaan mitogen growth factor-nya dalam medium pembiakannya; seperti basic fibroblast

growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF). Setelah proses pengkulturan beberapa

pasase (kali), sel-sel tersebut dapat dirangsang untuk berdiferensiasi menjadi sel dewasa dengan

mengurangi atau menghilangkan growth factor dalam mediumnya. Sel-sel SPS ini juga dapat

kita arahkan atau kita “setir” menjadi sel yang kita kehendaki. Pada dasarnya SPS secara alamiah

(tanpa adanya intervensi untuk menyetirnya,apabila kita hilangkan growth factor dari

mediumnya) akan berdiferensiasi menjadi ± 10% sel-sel saraf dan ± 90% sel-sel glia beserta sel-

sel pembuluh darahnya (Gambar 11.1).

Page 89: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Neuron (Tuj1)

Astrocyte(GFAP)

Nucleus(DAPI)

Page 90: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

NSCs medium 20ng bFGF and EGF

c

a

Oligodendrocytemarker (O4)

NSCs medium -bFGF and EGF

Gambar 11.1 Diferensiasi Sel Punca Saraf/Neural Stem CellMenjadi Sel-sel Otak Matur

Sumber: Ahmad Faried’s unpublished data

Jumlah sel saraf yang 10% tersebut dapat kita tingkatkan menjadi lebih banyak lagi

apabila ada upaya intervensi untuk menyetirnya menjadi sel saraf (Gambar 11.4) dengan cara

menambahkan mediator perangsang khusus pada medium pertumbuhan SPS untuk

menjadikannya sel saraf (Retinoic Acid, Neuron Growth Factor). Dengan dasar pemahaman ini,

kita dapat mencirikan sel-sel progenitor dan sel dewasa yang kita harapkan tersebut dengan

menggunakan marker-marker spesifik untuk setiap jenis sel dengan menggunakan teknik

imunologi (misalnya, Tuj-1 untuk marker sel saraf; GFAP untuk marker sel glia, O4 untuk

marker sel oligodendrosit).

Page 91: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Neural Stem Cells

Co-c

ult

ure

rele

ase

DIV

10

Gambar 11.2Perbanyakan Sel Saraf Melalui Co-culture System dengan Sel Endotel

Sumber: Ahmad Faried’s unpublished data

Page 92: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

B Sel Punca Saraf (SPS)

Sistem saraf pusat (SSP) pada individu dewasa memiliki kapasitas yang sangat terbatas

dalam kemampuan mereparasi dirinya sendiri setelah terjadinya suatu cedera/trauma. Hal ini

disebabkan tidak dimilikinya sifat pluripoten yang dapat menghasilkan sel saraf baru, tidak

memiliki kemampuan beradaptasi untuk perbaikan fungsi dan untuk pertumbuhan aksonal.

Dengan mentransplantasikan multipoten SPS diharapkan mampu mengatasi permasalahan

tersebut diatas. Hal ini juga disambut dengan sangat antusias, baik oleh peneliti

maupunklinisi,untuk dapat diaplikasikan pada upaya memperbaiki sel saraf yang rusak seperti

pada kasus trauma vertebra.

Sel-sel SPS dapat diisolasi dari jaringan otak pada fase embrio ataupun dewasa dan dari

berbagai macam spesies mamalia termasuk mencit, tikus ataupun manusia.5,6 Sel-sel tersebut

terbukti stabil dalam proses perbanyakan selnya tanpa kehilangan karakteristik sel punca yang

dimilikinya.7 Perbedaan sifat antara multipoten dan pluripoten mengacu kepada kemampuan

SPS-nya menjadi berbagai macam atau hanya satu macam sel otak; seperti sel saraf, sel astrosit,

sel oligodendrosit, sel schwan, dan lain-lain. Sel-sel ini juga terbukti memiliki kemampuan

untuk survive, migrasi dan reparasi yang tinggi pada saat ditransplantasikan kedalam SSP yang

mengalami trauma/cedera. Hal ini juga diamati pada sel punca yang diisolasi dari organ selain

otak, dengan kemampuan yang sama dalam hal mereparasi sel-sel didaerah cedera.7

Hasil penelitian terkini membuktikan bahwa SPS dapat dihasilkan dari sumber isolat sel

punca sumsum tulang, darah tali pusat (Gambar 11.3), yang dikenal dengan sel punca eksogen

yang bukan berasal dari sel otak.8 Dari hasil percobaan in vitro dan in vivo, dibuktikan bahwa sel

punca dari sumsum tulang dan plasenta dapat disetir menjadi sel-sel saraf dan sel-sel glia; dan

seperti halnya dengan SPS, sel punca eksogen dan endogen ini dapat ditanamkansecara langsung

ke lesi cedera diotak. Untuk sel punca yang diambil dari sumsum tulang ini akan memberikan

keuntungan tersendiri karena penderita mendapatkan sel punca dari tubuhnya sendiri, yang dapat

diperbanyak diluar tubuhnya dan setelah mendapatkan sejumlah sel-sel yang dibutuhkan, maka

sel-sel tersebut dapat ditransplantasikan kembali ketubuh pasien yang bersangkutan. Hal ini juga

menguntungkan karena tidak membutuhkan terapi imunosupresi sebelumnya dan ini dapat

menurunkan angka morbiditas. Secara eksperimental, analog sumsum tulang yang disetir

menjadi SPS dapat digunakan sebagai terapi seluler pada lesi cedera kepala dan trauma vertebra.

Page 93: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Umbilical Cord BloodWhaton’s Jelly MSCs

Gambar 11.3 Sel Punca yang Berasaldari Plasenta

Sumber: Ahmad Faried’s unpublished data

C Sel Punca Saraf dari Eksogen

Hasil percobaan menunjukkan SPS mampu bertahan hidup (survive), dapat bermigrasi

dan berdiferensiasi setelah ditransplantasikan kedalam SSP.9,10,11 Hasil percobaan menunjukkan

bahwa sel-sel tersebut berespons secara baik dengan reaksi lokal ditempat lesi,baik di SSP

maupun di sumsum tulang belakang.7 Saat SPS ditanamkan pada lesi trauma vertebra, sel-sel

tersebut berdiferensiasi hanya menjadi sel astrosit dan progresivitas pembentukannya hanya

sementara, kemudian menurun kembali,12,13mekanisme tersebut diatas masih belum diketahui.

Keberhasilan transplantasi sel saraf pusat dan perifer idealnya membutuhkan sel-sel yang

sudah berdiferensiasi menjadi sel-sel saraf, hal ini untuk menghindari pengaruh lingkungan yang

dapat menyebabkan sel tersebut menjadi sel jenis lain, misalnya glia. Prekursor dari organ

lainnya yang dapat diarahkan menjadi SPS (neuron restricted precursor; NRP) diantaranya dapat

berasal dari hasil isolasi sel punca embrionik, juga terbukti dapat ditanamkan pada lesi trauma

vertebra pada percobaan menggunakan tikus; sel punca yang ditanam dapat berdiferensiasi

secara progresif menjadi sel saraf akan tetapi pada fase selanjutnya akan mengalami

Page 94: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

penurunan.Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya modifikasi untuk mempertahankan

viabilitas sel graft dan mengontrol lingkungannya dalam upaya menyokong sel tersebut menjadi

matur sempurna.7 Faktor interinsik dari SPS sendiri juga merupakan faktor yang sangat penting.14

Sifat dan karakter sel punca yang diisolasi dari tempat berbeda akan menghasilkan kekhasannya

sendiri dan memiliki sifat serta karakter yang berbeda pula. Sifat NRP yang berasal dari isolasi

sumsum tulang belakang yang ditanamkan di SVZ akan bermigrasi dan menghasilkan sel-sel

saraf yang matur dengan bantuan berbagai macam zat neurokimia dan akan menjadi sel yang

beraneka ragam morfologinya.15 Jika NRP disiloasi dari SVZ, kemudian hasilnya ditanam

kembali kedalam SVZ, maka sel-sel tersebut tidak akan bermigrasi dan akan berdiferensiasi

menjadi sel saraf yang matang. Neuron restricted precursor yang diisolasi dari sumsum tulang

belakang, diamati dapat berdiferensiasi menjadi sel saraf yang menghasilkan choline

acethyltransferase, dimana pada bagian otak tempat ditanamnya NRP tersebut tidak

menghasilkan choline acethyltransferase. Hal ini menunjukkan bahwa faktor interinsik dari sel

NRP yang ditransplantasikan menjadikannya jenis sel tertentu dalam otak, bahkan setelah

dipaparkan kedalam lingkungan barunya.7 Kesimpulannya adalah pentingnya mengisolasi sel

perkusor tertentu yang spesifik untuk setiap area dalam SSP untuk menjadikannya berfungsi

sesuaidengan fungsi sel saraf di lokasi tersebut.7

Banyak penelitian yang menunjukkan keberhasilan transplantasi SPS dan NRP kedalam

SSP, akan tetapi keberhasilan perbaikan fungsinya secara fisiologik dari hasil graft tersebut

belum sepenuhnya dapat dihasilkan dan masih perlu banyak pembuktian. McDonald et al16

membuktikan bahwa terdapat perbaikan fungsi lokomotor setelah dilakukannya transplantasi

SPS derivat dari Embryonic stem cells kedalam trauma vertebra pada binatang percobaan tikus

model dengan cedera karena kontusio. ESCs tersebut dalam bentuk embryoid bodies yang

berasal dari sel line D3 tikus;17 pada hari 4-/4+ (4 hari tanpa dan 4 hari dengan penambahan

retinoic acid pada mediumnya) ditransplantasikan kedalam area lesi. Sel-sel tersebut

diinjeksikan dalam bentuk agregat (gumpalan), 9 hari setelah dilakukan perusakan atau cedera

pada tulang belakang tikus percobaan. Dua minggu setelah transplantasi sel tersebut, tikus

dikorbankan dan sel-sel graft tersebut dilabel dengan bromodeoxyuridine (BrdU) dan atau

dengan antibodi spesifik untuk M2, EMA atau Thy untuk mempermudah pendeteksiannya secara

in situ. Sel tersebut didapati mengisi daerah lesi, tetapi hanya sejauh 8 mm dari sisi terluar

lesinya, baik dilihat dari rostral maupun dari kaudal;sebesar 43% sel, dengan pemeriksaan

Page 95: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

immonihistokimia (IHC), menjadi sel oligodendrosit, sedangkan 19% lainnya menjadi sel

astrosit. Derivat yang menjadi oligodendrosit bereaksi positif dengan myelin basic protein.

Sebesar 8% berubah menjadi sel saraf, yang terwarnai dengan antibodi neuron spesifik nuclear

protein (NeuN).

Satu bulan setelah transplantasi, didapatkan dua skor Blood brain barrier (BBB) yang

berbeda(7,9 dan 10) antara binatang yang ditransplantasi dengan ESCs dibandingkan dengan

kelompok kontrol yang tidak ditranspalantasikan ESCs. Perbedaan skor BBB menggambarkan

kemampuan mobilisasi pembuluh darah pada tungkai belakang tikus, yang diberikan

pembebanan dan dinilai juga koordinasinya; akan tetapi masih kurang jelas faktor-faktor apa saja

yang bertanggung jawab terhadap perbaikan skor fungsi hasil transplantasi tersebut.

Embryonic stem cells juga dapat menjadi sel yang dapat melakukan remielinisasi pada

akson-akson yang cedera atau menyediakan growth factor berupa neurotropik atau memberikan

efek penyebaran sel; lebih jauh ESCs yang berdiferensiasi akan menjadi sel saraf yang matur dan

memberikan kondisi yang kondusif untuk memperbaiki fungsi pada jaras-jaras vertebra

yangmengalami cedera. Perbaikan yang cepat dari fungsi motorik dapat diamati dengan

banyaknya ESCs yang berdiferensiasi menjadi oligidendrosit, yang positif dengan pewarnaan

myelin basic protein,yang membentuk remielinisasi. Faktanya adalah prekursor oligodendrosit

yang ditransplantasikan pada lesi terbukti berhubungan dengan proses remielinisasi dan

peningkatan konduksi akson.18 Banyak alasan yang mendasari rasionalisasi dari transplantasi

menggunakan SPS dan NRP sumsum tulang belakang, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

hampir mustahil Stem Cells yang ditransplantasikan dapat memperbaiki cedera secara

menyeluruh,baik jaras asenden sekaligus jaras desenden-nya, pada trauma vertebra. Hasil

penelitian membuktikan bahwa SPS memiliki ion channel yang sama persis dengan sel saraf

aslinya, dan juga memiliki kemampuan menghasilkan potensial aksi yang sama. Akan tetapi

belum ada studi yang menyatakan apakah sel-sel tersebut dapat terintegrasi kedalam sirkuit sel

host dan membentuk sinaps fungsional. Diyakini sel-sel transplantasi tersebut berfungsi menjadi

sel-sel neuroprotektor (tissue sparing), dukungan growth factor dan mielinisasi, lebih jauh

termasuk sel punca graft menyediakan faktor-faktor lingkungan (niche) yang baik untuk

meningkatkan pertumbuhan dan regenerasi akson.

D Sel Punca Saraf dari Endogen

Page 96: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Penggunaan sel punca eksogen memerlukan teknik transplantasi dan grafting yang masih

memerlukan tambahan terapi imunosupresi. Sedangkan penggunaan sel punca endogen tidak

memerlukan terapi imunosupresi, atau bisa dikatakan sangat rendah, dan lebih jauh dapat

mengatasi permasalahan yang muncul karena intervensi yang berlebihan pada sel punca eksogen.

Saat ini sudah banyak diterima teori yang menyatakan terdapatnya pembentukan sel-sel

saraf baru pada SSP dewasa. Proses ini banyak didemonstrasikan pada sel otak dari SVZ dan

hipokampus.19−22 Lois dan Alvarez-Bullya21 melabel otak tikus jantan dewasa dengan

[3H]Thynidine; hasilnya ditemukan sel-sel proliferasi dan sel-sel yang aktif membelah, yang

terlokalisasi pada sebagian besar daerah SVZ dan untuk memastikan bahwa sel-sel SVZ ini

merupakan sel punca, maka sel-sel tersebut dikultur dimedium khusus. Pada pasase generasi ke-

6, kumpulan sel isolasi tersebut bertambah dan bergenerasi membentuk sel yang positif dengan

perwarnaan glia. Bersamaan dengan hal tersebut, ditemukan juga sel-sel saraf yang dapat dilihat

dengan mewarnai sel dengan antibodi spesifik tertentu (MAP-2, NF, NSE) dan negatif untuk

marker-marker sel glia. Pada waktu yang bersamaan didapatkan sebesar84% sel saraf yang

terwarnai. Hasil ini menunjukkan sel-sel yang aktif berproliferasi memang terdapat di dalam

jaringan SSP otak dewasa (secara in vivo) dan sel-sel tersebut memiliki kemampuan untuk

membentuk sel saraf dan sel glia. Eriksson dkk19 menunjukkan hasil yang serupa pada sel-sel

yang diisolasi dari girus dentatus daerah hipokampus manusia. Hasil dari penelitian tersebut,

ditemukannya sel-sel yang terlabel positif dengan BrdU (marker proliferasi sel) pada daerah

hipokampus di sel-sel granular girus dentatus; pada saat sel tersebut di double-stainning, sel-sel

tersebut positif untuk pewarnaan marker sel-sel saraf (NeuN). Hasil serupa ditemukan pada sel-

sel yang diisolasi di SVZ (Gambar 11.6). Dari serangkaian penelitian tersebut menunjukkan

bahwa sel-sel yang diisolasi tersebut merupakan sel progenitor; sel-sel tersebut harus bermigrasi

keluar niche-nya untuk tumbuh berdiferensiasi menjadi sel dewasa. Sel-sel punca yang diisolasi

dari tubuh individu sendiri dikenal dengan sebutan sel punca endogen. Mekanisme induksi dan

kontrolnya sampai saat ini belum banyak diketahui.

Page 97: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 11.4 Isolasi Sel Punca Saraf dari Area Subventrikel

Sumber: Ahmad Faried’s unpublished data

Salah satu aplikasi kegunaan sel punca endogen ini adalah untuk menggantikan sel-sel

saraf yang cedera, dan pemikiran ini harus dicobakan serta diamati pada model hewan uji

terlebih dahulu. Johansson dkk (23) menunjukkan bahwa SPS bermigrasi kearah lesi cedera

setelah dilakukan pemotongan funikulus dorsalis sumsum tulang belakang binatang percobaan;

akan tetapi seperti halnya pada percobaan menggunakan sel punca eksogen, sebagian besar sel-

sel yang ditransplantasikanberubah menjadi sel-sel astrosit. Setelah pemberian BrdU pada

sumsum tulang belakang tikus, ditemukan sekelompok sel ependimberlabel BrdU disekitar

Page 98: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

kanalis sentralis. Setelah dilakukan pemotongan atau cedera pada sumsum tulang belakang,

cedera diamati setelah satu hari, pada funikulus setinggi T2

Page 99: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

ditemukan 50x peningkatan pertumbuhan sel ependim yang berproliferasi, pada

pengamatan dengan mikroskop elektron ditemukan pembelahan sel-sel yang asimetris (menjauhi

niche untuk berdiferensiasi menjadi sel dewasa).

Untuk mengetahui nasib dari sel-sel ependim tersebut, dengan menggunakan hewan

percobaan (yang sel-selnya dilabel dengan marker flouresen Dil) setelah sel berlabel ditanam di

lesi cedera, satu minggu setelah terapi, sel-sel transplantasi tersebut berdiferensiasi menjadi

astrosit, bukan menjadi sel saraf (marker beta tubulin) ataupun sel oligodenrosit (marker O4).

Dengan hasil ini diketahui bahwa growth factorlokal sangat berpengaruh dan permasalahan

tersebut dapat diatasi agar sel-sel transplantasi tersebut dapat kita setir menjadi sel-sel saraf atau

oligodendrosit, bukan menjadi astrosit. Kesimpulannya adalah sel punca endogen bukan

merupakan kandidat yang baik untuk terapi trauma vertebra.

E Remielinisasi Sumsum Tulang Belakang

Prekursor sel glia ditemukan selama perkembangan SSP, sebagian besar sel glia di

sumsum tulang belakang adalah sel oligodendrosit. Dari data awal, pada saat sumsum tulang

belakang tikus dilabel dengan 5-bromodeoxyuridine (BrdU), ditemukan sebesar 70−75% sel

terwarnai double-contras dengan NG2 sebagai marker dari prekursor oligodendrosit.24 Fungsi

dari sel-sel tersebut masih belum banyak diketahui, sebagian peneliti berspekulasi sel-sel tersebut

berfungsi untuk proses remielinisasi pada cedera SSP. Hal tersebut terbukti dari percobaan pada

model hewan trauma vertebra dan demielinisasi.25,26

Data tersebut memunculkan potensi kegunaan prekursor sel glia untuk transplantasi pada

trauma tulang belakang untuk membuat remielinisasi akson dan meningkatkan perbaikan fungsi

selnya. Pada pembahasan sebelumnya sudah di jelaskan bahwa SPS yang ditransplantasikan ke

dalam cedera SSP, hanya sebagian kecil sel yang menjadi oligodendrosit; oleh karena itu

rangsangan in vitro untuk mengarahkan sel menjadi oligodendrosit-lineage sebelum transplantasi

menjadi sangat diperlukan untuk mencapai proses remielinisasi; populasi sel tersebut dikenal

dengan nama oligosfer pada percobaan in vitro. Pada saat oligosfer ditransplantasikan kedalam

tulang belakang tikus percobaan, ditemukan peningkatan yang signifikan dari proses mielinisasi

dibandingkan dengan plasebo kontrolnya.27

Pada percobaan lainnya, ditemukan prekursor sel-sel glia tersebut memiliki kemampuan

memperbaiki fungsi sehingga transplantasinya jauh lebih efektif menjadikannya sel oligodenrosit

Page 100: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

dan astrosit untuk saling bantu dalam proses mielinisasi dibandingkan dengan hanya

menggunakan sel progenitor oligodendrosit.28 Sejauh ini efisiensi prekursor sel glia ini untuk

proses mielinisasi fungsionalnya masih menjadi pertanyaan. Apabila sel punca berasal dari luar

tubuh, maka diperlukan faktor-faktor neuroprotektif dan mekanisme trofik yang didapatkan pada

pengamatan dibawah mikroskop, dan ditemukan remielinisasi akson29; tetapi dengan memakai

elektrofisiologis untuk melihat penyembuhan pada hewan coba masih menghadapi kesulitan.7 Ini

menjadi tantangan dimasa depan untuk melakukan terapi regenerasi sel-sel saraf setelah

terjadinya cedera.

F Transplantasi SPS untuk Trauma Vertebra

Ketika seorang neuroanatomis kenamaan, Ramon C. Cajal, melaporkan pada tahun 1928

bahwasa SSP dewasa tidak dapat menghasilkan sel-sel saraf baru30; sejak itu dipercaya bahwa

saraf mamalia dewasa tidak memiliki kapasitas menghasilkan sel saraf baru untuk proses reparasi

setelah terjadinya cedera. Pada tahun 1970-an dilakukan riset awal tentang transplantasi sel-sel

saraf dan hasilnya menunjukkan bahwa sel saraf yang diambil dari otak tikus percobaan dapat

diisolasi dan bertahan hidup diluar lingkungannya secara in vitro, dan dapat membentuk

jaringan saraf serta mengembalikan gangguan motor sel otak ketika ditanamkan pada model

penyakit Parkinsonbinatang percobaan. Temuan ini menunjukkan kemampuan SPS untuk dapat

ditransplantasikan serta dapat memperbaiki fungsi sel-sel yang rusak.

Studi awal tersebut merangsang ketertarikan para penelti di bidang transplantasi sel-sel

otak sehingga lahirlah cabang ilmu baru yang dikenal dengan functional neurosurgery. Pada

tahun 1980-an peneliti mencoba mengaplikasikan transplantasi tersebut pada penyakit Parkinson

untuk menggantikan sel-sel otak yang rusak dan tidak menghasilkan dopaminergik dengan sel-

sel normal yang menghasilkan dopamin. Namun pada pelaksanaannya, aplikasi ini masih sangat

terbatas disebabkan kurangnya ketersediaan donor otak yang sehat dan jaringan vertebra. Saat ini

sudah banyak bukti-bukti terdapatnya sekelompok sel di SSP yang memiliki sifat-sifat self-

renewal, multipoten, bahkan diotak individu dewasa sekalipun; dimana sel tersebut dapat

diisolasi dan dipanen sebagai sumber transplantasi. Perkembangan teknologi terbaru

dikembangkan untuk mengidentifikasi, mengisolasi, dan memperbanyak SPS yang sangat

potensial untuk aplikasi klinis pada trauma dan gangguan sistem saraf.31

Page 101: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Penelitian dibidang sel progenitor saraf secara umum terbagi menjadi beberapa topik;

aktifitas SPS endogen secara in situ dan transplantasi SPS hasil isolasi dari jaringan otak maupun

sumsum tulang belakang. Setidaknya untuk trauma vertebra, penggunaan sel punca endogen

tidak langsung dapat digunakan pada aplikasi klinisnya, ini dikarenakan sel-sel tersebut dapat

tumbuh dan berkembangbiak akan tetapi hanya menjadi sel astrosit pada percobaan

binatang.32−34Namun demikian, banyak penelitian yang melaporkan keberhasilan SPS untuk

penyakit-penyakit pada SSP dan trauma. Sel-sel punca ini bukan hanya dapat merekonstruksi

jaringan saraf, akan tetapi dapat juga mengembalikan fungsinya.

G Definisi dan Sistem Kultur pada Sel Punca Saraf

Sel punca saraf didefinisikan sebagai sel saraf yang memiliki potensi “self-renewal” dan

berkembang biak menjadi 3 jenis sel yang terdapat diotak (sel saraf, astrosit, oligodentrosit).

Keberadaan SPS pada mamalia dewasa pertama kali diperkenalkan oleh peneliti-peneliti seperti

Altman, Bayer dan Kaplan, yang melakukan rangkaian risetnya pada awal tahun 1960-an.

Namun baru sekitar tahun 1990-an, peneliti baru dapat membuktikan bahwa SPS dapat diisolasi

dan dikultur diluar lingkungan aslinya. Banyak kemajuan yang sudah dicapai untuk mengetahui

properti biologis dari SPS beserta lokasinya didalam otak. Reynolds dan Weiss mengembangkan

teknik kultur berupa pembentukan neurosfer sebagai kultur selektif untuk SPS pada tahun 1992.

Populasi SPS ini dapat berasal dari embryo-striated-body dan dari sumsum tulang belakang yang

ditumbuhkan pada medium yang bebas serum, ditambahkan dengan insulin, transferin, selenium,

progesteron, growth factor seperti EGF dan bFGF. Sel selain SPS tidak akan dapat hidup dalam

medium yang tidak terdapat serum; sementara yang dapat hidup dan berkembangbiak akan

menggumpal membentuk agregat atau dikenal dengan neurosfer (Gambar 11.5). Saat neurosfer

tersebut dihomogenisasi menjadi sel-sel tunggal, sel tunggal ini akan kembali tumbuh menjadi

neurosfer baru dengan sifat-sifat self-renewal-nya. Selanjutnya diferensiasi menjadi sel otak

dewasa dapat dicetuskan dengan menghilangkan growth factor dalam medium, dan ini akan

menunjukkan sifat multipoten dari SPS tersebut.

Page 102: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Neurosphere

Nestin BrdU

DIV2

DIV1

DIV3

Gambar 11.5 Neurosfer dengan Marker Nestin dan 5-bromodeoxyuridine (BrdU)

Sumber: Ahmad Faried’s unpublished data

H Studi Transplantasi SPS untuk Trauma Vertebra

Eksperimen untuk mentransplantasikan sel SSP pada penderita trauma tulang belakang

sudah dimulai sejak tahun 1980-an dengan terapi transplantasi saraf perifer oleh Aguayo dkk.55

Kemudian pada tahun 1993, Bregman56 melaporkan hasil percobaan menggunakan tikus imatur

dan tikus dewasa yang sumsum tulang belakang toraksnya sebagian dipotong kemudian di terapi

sel sumsum tulang belakang yang diisolasi dari fetus; hasilnya menunjukkan terdapatnya

perbaikan fungsi dan perpanjangan jarak akson yang cedera. Eksperimen ini menunjukkan

bahwa faktor lingkungan didaerah lesi dapat memperbaiki akson yang rusak tersebut. Sebagai

tambahan, studi lain menjelaskan kelemahan dari regenerasi sumsum tulang, termasuk perlu

penambahan faktor neurotrofil untuk merangsang pertumbuhan sel yang cepat 57 dan identifikasi

Page 103: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

faktor-faktor inhibisi untuk pertumbuhan akson.58Pada tahun 1999, McDonald dkk59

mengembangkan kultur medium yang sesuai untuk mengarahkan sel isolasi dari ESC menjadi

SPS secara in vitro, kemudian mentransplantasikannya ke dalam lesi trauma pada torakssumsum

tulang belakang yang cedera pada hewan percobaan; hasilnya didapatkan sel-sel graft tersebut

berdiferensiasi menjadi sel saraf, sel astrosit dan sel oligodendrosit; pada model tikus dengan

trauma tulang belakang didapatkan peningkatan atau perbaikan fungsi motor ekstremitas bawah

dibandingkan dengangrup kontrolnya. Eksperimen oleh Vacenti dkk (60) melakukan percobaan

yang sama dengan memasukan SPS bersama gel matriks dan memberikan hasil yang serupa.

Grup peneliti dari Jepang, melakukan eksperimen untuk melihat time-line dan perubahan

microenvironment setelah trauma vertebra; pada hari 1−7 disebut fase akut, hari ke-9 setelah

trauma disebut fase sub-akut. Pada fase subakut terbentuknya jaringan parut glia bertambah.

Apabila pada fase sub-akut diinjeksikan SPS, maka akan banyak didapatkan sel-sel yang

berdiferensiasi menjadi sel saraf yang bersinaps dengan akson sel host-nya dan terjadi perbaikan

fungsi motornya.61,62

I Waktu yang tepat untuk melakukan transplantasi sel punca saraf

Sel punca saraf yang didapat dari jaringan otak dewasa dapat berdiferensiasi dan

merupakan alternatif terapi yang potensial untuk selanjutnya ditransplantasikan ke dalam otak

individu dewasa kembali (girus dentatus hipokampus).63 Sudah sangat dipahami, bahwasa

microenvironment memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kesejahteraan sel untuk

dapat bertahan hidup dan berdiferensiasi. Menjawab pertanyaan, kapan waktu yang tepat untuk

SPS/sel progenitor ditransplantasikan; maka eksperimen yang ditujukkan untuk melihat

perubahan-perubahan lingkungan sel pascatrauma menjadi sangat penting. Pada kasus trauma

vertebra, ekspresi mRNA dari berbagai faktor proinflamasi sitokin (TNS-alpha, IL-1 alpha/beta,

IL-6) akan mencapai puncaknya pada 6−12 jam setelah terjadi cedera dan akan menetap sampai

dengan hari ke-4.64Proinflamasi sitokin diketahui memiliki aksi bifasik, baik sebagai neurotoksik

dan neurotropik, reaksi toksik ini sangat membahayakan cedera yang terjadi di sumsum tulang

belakang. Ekspresi yang tinggi dari faktor proinflamasi sitokin menunjukkan kondisi

microenvironmentyang tidak kondusif untuk transplantasi SPS bertahan hidup didalamnya. Johe

dkk65 melaporkan bahwa platelet-derived growth factor, ciliary neurotropic factor dan hormon

tiroid (T3) dapat merangsang sel hipokampus fetus tikus-SPS menjadi sel saraf, astrosit dan

Page 104: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

oligodendrosit. Taga dkk66 melaporkan bahwa leukemia-inhibitory factor, BMP-2 dapat

merangsang diferensiasi sel neuroepitel fetus tikus-SPS menjadi sel astrosit. Kedua studi tersebut

menunjukkan bahwa super-famili dari IL-6 (ciliary neurotropic factor dan leukemia-inhibitory

factor) sinyalnya menginisiasi unit reseptor sitokin Gp130untuk merangsang diferensiasi sel

menjadi astrosit. Selama fase infark akut, setelah trauma vertebra, kondisi lingkungan host

mengandung IL-6 yang tinggi, kondisi ini mempermudah SPS menjadi astrosit, bukan sel

lainnya. Diketemukan juga ekspresi dari antiinflamasi sitokin, TGF-beta tidak meningkat segera

pascacedera, tetapi meningkat secara bertahap hingga puncaknya pada hari ke-4 pascacedera.64

Hal tersebut menunjukkan TGF-beta berperan dalam meredakan lonjakan sinyal-sinyal inflamasi

(Gambar 11.8). Pengamatan ini mengidentifikasikan bahwa saat yang tepat untuk dilakukannya

transplantasi adalah tidak sesegera mungkin pascatrauma vertebra ataupun terlalu lama; apabila

terlalu lama, maka akan timbul jaringan parut glia disekitar lesi dan akan menghambat

pertumbuhan akson. Diperkirakan waktu yang tepat untuk melakukan transplantasi adalah antara

hari ke-7 sampai hari ke-14 pascatrauma. Sebagai tambahan, keuntungan ditransplantasikannya

SPS antara 7−14 hari adalah membantu regulasi dari microenvironment berupa mikrovaskuler

didaerah edemnya, hasil ini berdasarkan riset pada SPS yang ditanam kedalam korteks.67,68 Studi

lainnya melaporkan bahwa pembentukan pembuluh-pembuluh darah sangat aktif pada hari 7−14

pascatrauma pada percobaan binatang.69

Page 105: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Gambar 11.6 Time-line Microenvironment untuk Memperkirakan Waktu Injeksi Sel Punca Saraf

Sumber: Miyoshi Y et al38,39

J Terapi untuk Cedera tulang belakang (CBT) menggunakan sumsum tulang belakang fetus

tikus; transplantasi sel punca saraf yang diberikan pada fase subakut

Berdasarkan pemikiran diatas, peneliti asal Jepang membuat model hewan percobaan

dengan kontusi disumsum tulang belakang yang dilakukan laminektomi pada C4−C5 tulang

leher tikus dewasa dan diberikan tambahan cedera dengan 35 gram bandul pemberat ditimpakan

pada duramater selama 15 menit. Pada hari ke-9, ditransplantasikan sumsum tulang belakang

dari fetus tikus-isolat SPS yang telah dikultur dan diperbanyak dengan teknik neurosfer serta

dilabel dengan BrdU, kemudian diinjeksikan ke dalam dan disekitar lesi cedera.

Gambar 11.7 Model Hewan Coba Trauma Vertebra dan Transplantasi NSPCs-nya

Sumber: Okano H.et al27

Page 106: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

Sel-sel yang ditransplantasikan tersebut dapat bertahan hidup didalam sumsum tulang belakang

host dan berdiferensiasi menjadi sel saraf, astrosit dan oligodendrosit pada minggu ke-5 setelah

diinjeksikan (Gambar 11.7). Untuk menyelidiki properti dari sel-sel saraf yang baru terbentuk

tersebut, peneliti menggunakan marker alpha1-tubilin yang spesifik untuk melihat sel-sel saraf,

bukan sel-sel glia.70−73 Hasilnya membuktikan bahwa sel SPS donor tersebut mengalami mitosis

pembentukan sel saraf baru di dalam sumsum tulang belakang host. Lima minggu sejak

transplantasi tersebut, neurosfer donor memberikan gambaran-gambaran sel-sel saraf yang

mengembangkan akson-aksonnya didalam sumsum tulang host. Dengan teknik pewarnaan

khusus, didapatkan bahwa sel-sel saraf tersebut dikelilingi oleh sinaptomisin yang merupakan

marker sel-sel saraf presinaps, peneliti juga mendapatkan beberapa sel yang positif dengan sel

presinaps yang berhubungan membuat koneksi dengan motor neuron host dilokasi lesi.

Dibandingkan dengan tikus kontrolnya, tikus-tikus yang ditransplantasikan mengalami perbaikan

fungsi yang signifikan.61 Hasil tersebut menunjukkan, jika SPS diinjeksikan pada fase subakut

(7−14 hari), bukan pada fase akut ataupun kronis, maka akan terjadi perbaikan jaringan dan

pernyambungan jaras saraf yang terluka. Hal-hal penting yang harus dipertimbangkan di

antaranya:

1 Sel-sel SPS yang ditransplantasikan dapat berdiferensiasi menjadi sel saraf yang

membentuk sinaps dengan sel-sel diatas ataupun dibawah lesi cedera,

2 Sel-sel tersebut juga dapat berdiferensisi menjadi sel oligodendrosit yang akan

melakukan proses remielinisasi pada akson-akson yang mengalami demielinisasi akibat

cedera,

3 Sel-sel tersebut akan melepaskan neurotropic factors yang menghambat proses-proses

kematian sel ataupun mengaktifkan SPS endogen untuk bermigrasi dan memperbaiki sel-

sel yang rusak.

Akan tetapi patofisiologis sebenarnya dari transplantasi SPS belum sepenuhnya dimengerti.

Bregman dkk74,75 mentransplantasikan sumsum tulang belakang tikus dan membagi dua

kelompok penelitiannya: (a) tikus yang ditransplantasikan SPS segera setelah trauma dan (b)

tikus yang dinjeksikan 2 minggu setelah cedera. Hasilnya menunjukkan pada grup (b) tikus

mengalami regenerasi sel yang lebih baik pada akson-akson yang cedera, serta perbaikan fungsi

tungkai bawah yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrolnya. Hasil tersebut juga

Page 107: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

mendukung teori keefektifan terapi trauma vertebra dengan menginjeksikan transplantasi SPS

pada fase subakut, yaitu 2 minggu setelah cedera (Gambar 11.8).

Gambar 11.8. Transplantasi NSPCs Meningkatkan Perbaikan Fungsi Motor

Ket: A.tes pengambilan makan

B.hasil dari tes pengambilan makan

Sumber: Bregman BS.et al46

K Aplikasi klinis untuk transplantasi sel punca saraf pada manusia

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, eksperimen transplantasi SPS sudah banyak

dilakukan pada hewan coba dengan tujuan akhir adalah dapat diaplikasikan secara klinis pada

manusia. Setelah isolasi SPS dapat di-established menggunakan teknik kultur sel yang khusus,

tahap selanjutnya adalah menentukan waktu serta teknik injeksinya secara klinis. Dvendsen

mengemukakan untuk pertama kalinya tentang transplantasi jaringan otak pada tikus model

Parkinson. Flax dkk76 menggunakan SPS telensefalon fetus manusia dengan metode neurosfer

yang ditransplantasikan kedalam otak tikus yang baru lahir; didapatkan hasil bahwa sel-sel

tersebut berdiferensiasi menjadi sel saraf, sel astrosit dan sel oligodendrosit. Brustle dkk77 juga

melakukan transplantasi dari kultur SPS fetus manusia, kedalam otak fetus tikus dan dilaporkan

terjadinya diferensiasi pada daerah fore brain mid brain, hindbrain. Pada tahun 2001, Ourednik

Page 108: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

dkk78 mentransplantasikan SPS fetus manusia ke dalam otak fetus monyet dan ditemukan sel-sel

tersebut berdiferensiasi menjadi sel-sel saraf dan glia.

Dari semua hasil percobaan dan laporan percobaan-percobaan tersebut, menggambarkan

potensi yang menjanjikan dalam hal transplantasi SPS sebagai terobosan untuk melakukan uji

klinis pada manusia. Sama halnya dengan keberhasilan percobaan pada hewan coba, diharapkan

penerapannya pada manusia akan memberikan hasil yang memuaskan.

L Prospek di masa depan

Masih banyak permasalahan yang harus dipecahkan sebelum transplantasi SPS menjadi

pilihan terapi dalam aplikasi klinisnya untuk pasien-pasien dengan trauma tulang belakang.

Teknik ini memerlukan banyak penelitian dan modifikasi untuk mendapatkan teknik yang paling

efisien dalam mengisolasi serta memperbanyak jumlah SPS. Bersamaan dengan itu, percobaan

hewan coba juga harus terus didorong untuk membuktikan keberhasilan injeksi SPS serta

perbaikan fungsi motor sel yang mengalami cedera. Sumber SPS yang berasal dari eksogen;

MSCs, HSCs, sel punca plasental; dapat juga menjadi alternatif sel yang akan diinjeksikan.

Permasalahan lainnya yang akan dihadapi adalah bagaimana teknik mengevaluasi

mekanisme autoregulasinya dari proses diferensiasi dari SPS yang ditransplantasikan tersebut.

Tantangannya adalah cara menciptakan microenvironment,baik bagi SPS eksogen maupun

endogen; untuk merangsang migrasi cepat ke lokasi lesi dan menghasilkan mikromolekul yang

mendukung proses reparasi, selain itu diharapkan penggunaan SPS eksogen dapat

diminimalisasi. Jawaban untuk permasalahan diatas adalah pemanfaatan neurotropic factor serta

pengontrolan aktivitas sistem imunitas.

Saat ini, paradigma baru tentang plastisitas SPS mulai difamahi. Kondo dan Raff79

menunjukkan bahwa prekursor oligodendroglia memiliki properti multipoten yang mirip SPS

setelah dimanipulasi terlebih dahulu menggunakan medium kultur khusus. Clarke dkk80

membuktikan bahwa kondisi SPS-tikus, yang ditransplantasikan kedalam rongga amnion embrio

ayam dan blastokis-tikus berdiferensiasi menjadi sel ektoderm, mesoderm dan endoderm serta

menjadi jaringan. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa SPS memiliki properti yang serupa

dengan ESCs, bergantung pada faktor lingkungan dan interaksinya dengan sinyal-sinyal dari sel-

sel disekitarnya. Hasil lainnya memperlihatkan bahwa sel-sel punca selain dari progenitor sel,

seperti MSCs ternyata dapat diarahkan menjadi sel saraf secara in vitro 81; dan dapat juga

Page 109: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

bermigrasi ke serebrum dan serebelum dan berdiferensiasi menjadi astrosit setelah

ditransplantasikan kedalam otak tikus.82 Lebih jauh, penelitian menggunakan sel stroma sumsum

tulang belakang yang ditransplantasikan ke dalam trauma tulang belakangtikus, satu minggu

pascacedera terbentuk jembatan jaringan yang berasosiasi dengan astrosit imatur dan dianggap

terjadi regenerasi akson yang menyebabkan terjadinya perbaikan fungsi motor.83Selstroma

sumsum tulang belakang yang seharusnya berdiferensiasi menjadi osteosit, kondrosit,

adiposityternyata dapat juga diarahkan menjadi seperti SPS, akan tetapi hasil ini harus divalidasi

apakan pluripotensinya dapat diberlakukan pada percobaan secara in vivo.

Masih banyak lagi permasalahan yang belum terjawab pada studi trauma vertebra

berkaitan dengan transplantasi SPS. Sangat penting menciptakan atau menghadirkan

microenvironment yang kondusif di lesi cedera. Banyak hal yang harus difasilitasi untuk

menciptakan lingkungan yang baik pada transplantasi SPS, seperti menghilangkan inhibitor-

inhibitor untuk pertumbuhan sel; seperti nogo55, myelin assosiated glicoprotein84, serotonin45,

kondroitin sulfat; yang diproduksi segera pascatrauma. Pendekatan lainnya dengan

menambahkan neurotropic-factor (neurothrofin-3, BDGF).

Yang paling penting dan mendasar adalah bagaimana meregenerasi sel-sel sumsum tulang

belakang yang sudah lama mengalami kerusakan (kronis). Pendekatan terapi SPS ini diharapkan

dapat menumbuhkan sel-sel saraf baru dan menumbuhkan jaras-jaras akson yang sudah lama

mengalami cedera. Di jepang terdapat lebih dari 100.000 orang dan di Amerika Serikat ±250.000

orang yang merupakan pasien-pasien trauma vertebra kronis.27Apabila kita dapat melakukan

terobosan baru dalam hal pendekatan terapi pada pasien-pasien trauma vertebra kronis, upaya ini

akan menjadi daya dobrak untuk merawat pasien-pasien dengan trauma vertebra akut.

Daftar Pustaka

1 Gage FH. Mammalian neural stem cells. Science. 2000 Feb 25;287(5457):1433-8. Review.

2 Flax JD, Aurora S, Yang C, Simonin C, Wills AM, Billinghurst LL, Jendoubi M, Sidman RL,

Wolfe JH, Kim SU, Snyder EY. Engraftable human neural stem cells respond to

developmental cues, replace neurons, and express foreign genes. Nat Biotechnol. 1998

Nov;16(11):1033-9.

3 McKay R. Stem cells in the central nervous system. Science. 1997 Apr 4;276(5309):66-71.

Review.

Page 110: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

4 Zhang SC, Wernig M, Duncan ID, Brüstle O, Thomson JA. In vitro differentiation of

transplantable neural precursors from human embryonic stem cells. Nat Biotechnol. 2001

Dec;19(12):1129-33.

5 Cao Q, Benton RL, Whittemore SR. Stem cell repair of central nervous system injury. J

Neurosci Res. 2002 Jun 1;68(5):501-10.

6 Sanchez-Ramos JR. Neural cells derived from adult bone marrow and umbilical cord blood.

J Neurosci Res. 2002 Sep 15;69(6):880-93. Review.

7 Brüstle O, Choudhary K, Karram K, Hüttner A, Murray K, Dubois-Dalcq M, McKay RD.

Chimeric brains generated by intraventricular transplantation of fetal human brain cells into

embryonic rats. Nat Biotechnol. 1998 Nov;16(11):1040-4.

8 Rosser AE, Tyers P, Dunnett SB. The morphological development of neurons derived from

EGF- and FGF-2-driven human CNS precursors depends on their site of integration in the

neonatal rat brain. Eur J Neurosci. 2000 Jul;12(7):2405-13.

9 Cao QL, Zhang YP, Howard RM, Walters WM, Tsoulfas P, Whittemore SR. Pluripotent stem

cells engrafted into the normal or lesioned adult rat vertebra cord are restricted to a glial

lineage. Exp Neurol. 2001 Jan;167(1):48-58.

10 Chow SY, Moul J, Tobias CA, Himes BT, Liu Y, Obrocka M, Hodge L, Tessler A, Fischer I.

Characterization and intravertebra grafting of EGF/bFGF-dependent neurospheres derived

from embryonic rat vertebra cord. Brain Res. 2000 Aug 25;874(2):87-106.

11 White PM, Morrison SJ, Orimoto K, Kubu CJ, Verdi JM, Anderson DJ. Neural crest stem

cells undergo cell-intrinsic developmental changes in sensitivity to instructive differentiation

signals. Neuron. 2001 Jan;29(1):57-71.

12 McDonald JW, Liu XZ, Qu Y, Liu S, Mickey SK, Turetsky D, Gottlieb DI, Choi DW.

Transplanted embryonic stem cells survive, differentiate and promote recovery in injured rat

vertebra cord. Nat Med. 1999 Dec;5(12):1410-2.

13 Bain G, Kitchens D, Yao M, Huettner JE, Gottlieb DI. Embryonic stem cells express

neuronal properties in vitro. Dev Biol. 1995 Apr;168(2):342-57.

14 Gimenez y Ribotta M, Orsal D, Feraboli-Lohnherr D, Privat A. Recovery of locomotion

following transplantation of monoaminergic neurons in the vertebra cord of paraplegic rats.

Ann N Y Acad Sci. 1998 Nov 16;860:393-411. Review.

Page 111: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

15 Eriksson PS, Perfilieva E, Björk-Eriksson T, Alborn AM, Nordborg C, Peterson DA, Gage

FH. Neurogenesis in the adult human hippocampus. Nat Med. 1998 Nov;4(11):1313-7.

16 Gould E, Tanapat P. Lesion-induced proliferation of neuronal progenitors in the dentate

gyrus of the adult rat. Neuroscience. 1997 Sep;80(2):427-36.

17 Lois C, Alvarez-Buylla A. Proliferating subventricular zone cells in the adult mammalian

forebrain can differentiate into neurons and glial. Proc Natl Acad Sci U S A. 1993 Mar

1;90(5):2074-7.

18 Rietze R, Poulin P, Weiss S. Mitotically active cells that generate neurons and astrocytes are

present in multiple regions of the adult mouse hippocampus. J Comp Neurol. 2000 Aug

28;424(3):397-408.

19 Johansson CB, Momma S, Clarke DL, Risling M, Lendahl U, Frisén J. Identification of a

neural stem cell in the adult mammalian central nervous system. Cell. 1999 Jan 8;96(1):25-

34.

20 Keirstead HS, Levine JM, Blakemore WF. Response of the oligodendrocyte progenitor cell

population (defined by NG2 labelling) to demyelination of the adult vertebra cord. Glial.

1998 Feb;22(2):161-70.

21 Levine JM, Reynolds R. Activation and proliferation of endogenous oligodendrocyte

precursor cells during ethidium bromide-induced demyelination. Exp Neurol. 1999

Dec;160(2):333-47.

22 McTigue DM, Wei P, Stokes BT. Proliferation of NG2-positive cells and altered

oligodendrocyte numbers in the contused rat vertebra cord. J Neurosci. 2001 May

15;21(10):3392-400.

23 Zhang SC, Lipsitz D, Duncan ID. Self-renewing canine oligodendroglial progenitor

expanded as oligospheres. J Neurosci Res. 1998 Oct 15;54(2):181-90.

24 Herrera J, Yang H, Zhang SC, Proschel C, Tresco P, Duncan ID, Luskin M, Mayer-Proschel

M. Embryonic-derived glial-restricted precursor cells (GRP cells) can differentiate into

astrocytes and oligodendrocytes in vivo. Exp Neurol. 2001 Sep;171(1):11-21.

25 Akiyama Y, Honmou O, Kato T, Uede T, Hashi K, Kocsis JD. Transplantation of clonal

neural precursor cells derived from adult human brain establishes functional peripheral

myelin in the rat vertebra cord. Exp Neurol. 2001 Jan;167(1):27-39.

Page 112: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

26 Ramon Y Cajal S: Degeneration and Regeneration of The Nervous System (translated by

RM Day from the 1913 Spanish edition). Oxford, Oxford University Press, 1928.27 Okano H: Stem cell biology of the central nervous system. J Neurisci Res 2002; 69: 698-

707.28 Frisen J, Johansson CB, Torok C, Risling M, Lendahl U: Rapid, widespread, and long-

lasting induction of nestin contributes to the generation of glial scar tissue after CNS injury.

J Cell Biol 1995; 131: 453-464.29 Johansson CB, Momma S, Clarke DL, Risling M, LEndahl U, Frisen J: Identification of a

neural stem cell in the adult mammalian central nervous system. Cell 1999; 96:26-34.30 Namiki J, Tator CH: Cell proliferation and nestin expression in the ependyma of the adult rat

vertebra cord after injury. J Neuropathol Exp Neurol 1999; 58:489-498.31 Okano H: Neural stem cells: Progression of basic research and perspective for clinical

application. Keio J Med 2002; 51:115-128.32 Davis AA, Temple S: A self-renewing multipotential stem cell in embryonic rat cerebral

cortex. Nature 1994; 372:263-266.33 Palmer TD, Markakis EA, Willhoite AR, Safar F, Gage FH: Fibroblast growth factor-

2activates a latent neurogenic program in neural stem cells from diverse regions of the adult

CNS. J Neurosci 1999; 19:8487-8497.34 Lendahl u, Zimmerman LB, McKay RD: CNS stem cells express a new class of intermediate

filament protein. Cell 1990; 60:585-595.35 Sakakibara S, Imai T, Hamaguchi K, Okabe M, Aruga J, Nakajima K, Yasutomi D, Nagata T,

Kurihara Y, Uesugi S, Miyata T, Ogawa M, Mikoshiba K, Okano H: Mouse-Musashi-1, a

neural RNA-binding protein highly enriched in the mammalian NS stem cell. Dev Biol

1996; 176:230-242.36 Reynolds BA, Weiss S: Generation of neurons and astrocytes from isolated cells of the adult

mammalian central nervous system. Science 1992; 255:1707-1710.37 Reynolds BA, Tetzlaff W, Weiss S: A multipotent EGF-responsive striatal embryonic

progenitor cell produces neurons and astrocytes. J Neurosci 1992; 12: 4565-4574.38 Weiss S, Dunne C, Hewson J, WOhl C, Wheatley M, Peterson A, Reynolds BA: Multipotent

CNS stem cells are present in the adult mammalian vertebra cord and ventricular neuroaxis.

J Neurosci 1996;16:7599-7609.39 Gritti A, Parati EA, Cova L, Frolichsthal P, Galli R, Wanke E, Faravelli L, Morassutti DJ,

Roisen F, Nickel DD, Vescovi AL: Multipotential stem cells from the adult mouse brain

proliferate and self-renew in response to basic fibroblast growth factor. J Neurosci 1996; 16:

1091-1100.

Page 113: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

40 Eriksson PS, Perfilieva E, Bjork-Eriksson T, Alborn AM, Nordborg C, Peterson DA, Gage

FH: Neurogenesis in the adult human hippocampus. Nat Med 1998;4:1313-1317.41 Pincus DW, Keyoung HM, Harrison-Restelli C, Goodman RR, Fraser RA, Edgar M,

Sakakibara S, Okano H, Nedergaard M, Goldman SA: Fibroblast growth factor-2/brain-

derived neurotrophic factor-associated maturation of new neurons generated from adult

human subependymal cells. Ann Neurol 1998;43:576-585.42 Yamamoto S, Yamamoto N, Kitamura T, Nakamura K, Nakafuku M: Proliferation of

parenchymal neural progenitors in response to injury in the adult rat vertebra cord. Exp

Neurol 2001;172:115-127.43 Nakatomi H, Kuriu T, Okabe S, Yamamoto S, Hatano O, Kawahara N, Tamura A, Kirino T,

Nakafuku M: Regeneration of hippocampal pyramidal neurons after ischemic brain injury

by recruitment of endogenous neural progenitors. Cell 2002;110:429-441.44 Arvidsson A, Collin T, Kirik D, Kokaia Z, Lindvall O: Neuronal replacement from

endogenous precursors in the adult brain after stroke. Nat Med 2002;8:963-970.45 Kawaguchi A, Miyata T, Sawamoto K, Takashita N, Murayama A, Akamatsu W, Ogawa M,

Okabe M, Tano Y, Goldman SA, Okano H: Nestin-EGFP transgenic mice: Visualization of

the self-renewal and multipotency of CNS stem cells. Mol Cell Neurosci 2001;17:259-273.46 Bjorkund A, Stenevi U: reconstruction of the nigrostriatal dopamine pathway by

intracerebral nigral transplants. Brain Res 1979;177:555-560.47 Piccini P, Brooks DJ, Bjorklund A, Gunn RN, Grasby PM, Rimoldi O, Brundin P, Hagell P,

Rehnrona S, Widner H, Lindvall O: Dopamine release from nigral transplants visualized in

vivo in a Parkinson’s patient. Nat Neurosci 1999;2:1137-1140.48 Svendsen CN, Carke DJ, Rosser AE, Dunnett SB: Survival and differentiation of rat and

human epidermal growth factor-responsive precursor cells following grafting into the

lesioned adult central nervous system. Exp Neurol 1996; 137:376-388.49 Svendsen CN, Caldwell MA, Shen J, ter Borg MG, Rosser AE, Tyers P, Karmiol S, Dunnett

SB: Long-term survival of human central nervous system progenitor cells transplanted into a

rat mode of Parkinson’s disease. Exp Neurol 1997;148:135-146.50 Sawamoto K, Nakao N, Kakishita K, Ogawa Y, Toyama Y, Yamamoto A, Yamaguchi M,

Mori K, Goldman SA, Itakura T, Okano H: Generatio of dopaminergic neurons in the adult

brain from mesencephalic precursor cells labeled with a nestin-GFP transgene. J Neurosci

2001;21:3895-3903. 51 Richardson PM, McGuinness UM, Aguayo AJ: Aksons from CNS neurons regenerate into

PNS grafts. Nature 1980;284:264-265.

Page 114: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

52 Bregman BS, Kunkel-Bagden E, Reier PJ, Dai HN, McAtee M, Gao D: Recovery of

function after vertebra cord injury: Mechanisms underlying transplant-mediated recovery of

function differ after vertebra cord injury in newborn and adult rats. Exp Neurol 1993;123:3-

16.53 Cai D, Shen Y, De Bellard M, Tang S, Filbin MT: Prior exposure to neurotrophins blocks

inhibition of axoxnal regeneration by MAG and myelin via a cAMP-dependent mechanism.

Neuron 1999;22:89-101.54 Chen MS, Huber AB, van der Haar ME, Frank M, Schnell L, Spillmann AA, Christ F,

Schwab ME: Nogo-A is a myelin-associated neurite outgrowth inhibitor and an antigen for

monoclonal antibody IN-1. Nautre 2000;403:434-439.55 McDonald JW, Lui XZ , Qu Y, Liu S, Mickey SK, Turetsky D, Gottlieb DI, Choi DW:

Transplanted embryonic stem cells survive, differentiate and promote recovery in injured rat

vertebra cord. Nat Med 1999;5:1410-1412.56 Vacanti MP, Leonard JL, Dore B, Bonassar LJ, Cao Y, Stachelek SJ, Vacanti JP, O’Connel F,

Yu CS, Farwell AP, Vacanti CA: Tissue-engineered vertebra cord. Transplant Proc

2001;33:592-598.57 Ogawa Y, Sawamoto K, Miyata T, Miyao S, Watanabe M, Toyama Y, Nakamura M,

Bregman BS, Koike M, Uchiyama Y, Toyama Y, Okano H: transplantation of in vitro

expanded fetal neural progenitor cells results in neurogenesis and functional recovery after

vertebra cord contusion injury in rats. J Neurosci Res 2002;69:925-933.58 Okano H, Ogawa Y, Nakamura M, Kaneko S, Iwanami A, Toyama Y: Transplantation of

neural stem cells into the vertebra cord after injury. Semin Cell Dev Biol 2003;14:191-198.59 Shihabuddin LS, Horner PJ, Ray J, Gage FH: Adult vertebra cord stem cells generate nurons

after transplantation in the adult dentate gyrus. J Nurosci 2000;20:8727-8735.60 Nakamura M, Houghtling RA, MacArthur L, Bayer BM, Bregman BS: Differences in

cytokine gene expression profile between acute and secondary injury in adult rat vertebra

ord. Exp Neurol 2003;184:313-325.61 Johe KK, Hazel TG, Muller T, Dugich-Djordjevic MM, McKay RD: Single factors direct the

differentiation of stem cells from the fetal and adult central nervous system. Genes Dev

1996;10:3129-3140.62 Nakashima K, Yanagisawa M, Arakawa H, Kimura N, Hisatsune T, Kawabata M, Miyazono

K, Taga T: Synergistic signaling in fetal brain by STAT3-Smad1 complex bridged by p300.

Science 1999;284:479-482.

Page 115: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

63 Miyoshi Y, Date I, Ohmoto T: Three-dimensional morphological study of microvascular

regeneration in cavity wall of the rat cerebral cortex using the scanning electorn microscope:

Implications for delayed neural grafting into brain cavities. Exp Neurol 1995;131:69-82.64 Miyoshi Y, Date I, Ohmoto T: Neovascularization of rat fetal neocortical grafts transplanted

into a previously prepared cavity in the cerebral cortex: A three-dimensional morphological

study using the scanning electron microscope. Brain Res 1995;681:131-140.65 Casella GT, Marcillo A, Bunge MB, Wood PM: New vascular tissue rapidly replaces neural

parenchyma and vessels destroyed by a contusion injury to the rat vertebra cord. Exp Neurol

2002;173:63-76.66 Gloster A, Wu W, Speelman A, Weiss S, ausing C, Pozniak C, Reynolds B, Chang E, Toma

JG, Miller FD: The Tα-1-tubulin promoter specifies gene expression as a function of

neuronal growth and regeneration in transgenic mice. J Neurosci 1994;14;7319-7330.67 Wang S, Wu H, Jiang J, Delohery TM, Isdell F, Goldman SA: Isolation of neuronal

precursors by sorting embryonic forebrain transfected with GFP regulated by the Tα-1

tubulin promoter. Nat Biotechnol 1998;16:196-201.68 Roy NS, Wang S, Jiang L, Kang J, Restelli C, Fraser RAR, Couldwell WL, Kawaguchi A,

Okano H, Nedergaard M, Goldman S: In vitro neurogenesis by neural progenitor cells

isolated from the adult human hippocampus. Nat Med 2000;6:271-278.69 Sawamoto K, Yamamoto A, Kawaguchi A, Yamaguchi M, Mori K, Goldman SA, Okano H.

Visualization and direct isolation of neuronal progenitor cells by dual-color flow cytometric

detection of fluorescent proteins. J Neurosci Res 2001;65:220-227.70 Diener PS, Bregman BS: Fetal vertebra cord transplants supports growth of supravertebra

and segmental projections after cervical vertebra cord hemisection in the neonatal rat. J

Neurosci 1998;18:779-793.71 Coumans JV, Lin TT, Dai HN, MacArthur L, McAtee M, Nash C, Bregman BS: Aksonal

regeneration ad functional recovery after complete vertebra cord transaction in rats by

delayed treatment with transplants and neurotrophins. J Neurosci 2001;21:9334-9;344.72 Flax JD, Aurora S, yang C, Simonin C, Wills AM, Bilinghurst LL, Jendoubi M, Sidman RL,

Wolfe JH, Kim SU, Snyder EY: Engraftable human neural stem cells respond to

developmental cues, replace neurons, and express foreign genes. Nat Biotechnol

1998;16:1033-1039.73 Brustle o, Choudhary K, Karram K, Huttner A, Murray K, Dubois-Daleq M, McKay RD:

Chimeric brains generated by intraventricular transplantation of fetal human brain cells into

embryonic rats. Nat Biotechnol 1998;16:1040-1044.

Page 116: BAB I EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRAdocshare04.docshare.tips/files/25730/257305044.pdftembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan Brazil,

74 Ourednik V, Ourednik J,Flax JD, Zawada WM, Hutt C, Yang C, Park KI, Kim SU, Sidman

RL, Freed CR, Snyder EY: Segregation of human neural stem cells in the developing

primate forebrain. Science 2001:293:1820-1920.75 Kondo T, Raff M: Oligodendrocyte precursor cells reprogrammed to become multipotential

CNS stem cells. Science 2000;289:1754-1757.76 Clarke DL, Johansson CB, Wilbertz J, Veress B, Nilsson E, Karlstrom H, Lendahl U, Frisen

J: Generalized potential of adult neural stem cells. Science 2000;288:1660-1663.77 Woodbury D, Schwarz EJ, Prockop DJ, Black IB: Adult rat and human bone marrow stromal

cells differentiate into neurons. J Neurosci Res 2000;61:364-370.78 Kopen GC, Prockop DJ, Phinney DG: Marrow stromal cells migrate throughout forebrain

and cerebellum, and they differentiate into astrocytes after injection into neonatal mouse

brains. Proc Natl Acad Sct USA 1999;96::10711-10716.79 Hofstetter CP, Schwarz EJ, Hess D, Widenfalk J, El Manira A, Prockop DJ, Olson L:

Marrow stromal cells form guiding strands in the injured vertebra cord and promote

recovery. Proc Natl Acad Sci USA 2002;99:2199-2204.80 Teng YD, Lavik EB, Qu X, Park Kl, Ouredmk J, Zurakowski D, Langer R, Snyder EY:

Functional recovery following traumatic vertebra cord injury mediated by a unique polymer

scaffold seeded with neural stem cells. Proc NAtl Acad Sci USA 2002;99:3024-3029.