BAB I Emprisme
-
Upload
miftahul-hidayah -
Category
Documents
-
view
173 -
download
1
Transcript of BAB I Emprisme
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan didapat dengan berbagai macam cara. Cara-cara
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut diperoleh melalui berbagai
sumber. Ada sebagian ilmuwan yang memperoleh pengetahuan hanya
berdasarkan akal yang disebut dengan rasionalisme. Berdasarkan kepercayaan
ini, segala sesuatu yang didapat melalui akal (rasional) dapat dijadikan suatu
pengetahuan dan segala sesuatu para ilmuwan yang meyakini aliran ini tidak
menerima apapun yang tidak berdasarkan akal. Ada juga sebagian ilmuwan
yang meyakini bahwa setiap pengetahuan hanya bersumber dari pengalaman
bukan dari akal yang disebut dengan empirisme. Selain itu, ada juga paham
yang menganut keduanya yaitu pengetahuan bersumber dari akal dan
pengetahuan.
Dalam makalah ini, kelompok kami akan membahas tentang paham
yang meyakini bahwa pengetahuan hanya bersumber dari pengalaman. Paham
tersebut mempunyai doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari
dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang
dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi
adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal. Para ilmuwan yang
meyakini paham tersebut berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran
yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau
bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan
hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan
pengalaman manusia.
Berdasarkan informasi tentang adanya paham tersebut, kami akan
menjelaskan secara rinci mengenai paham yang beranggapan bahwa
pengetahuan bersumber pada pengalaman tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka beberapa yang menjadi
masalah bagi penulis, yaitu :
1. Apa pengertian empirisme?
2. Apa saja jenis-jenis empirisme?
3. Ajaran-ajaran apa saja yang terdapat dalam paham empirisme?
4. Siapa saja tokoh-tokoh empirisme serta bagaimana pemikiran
mereka terhadap paham tersebut?
5. Bagaimana hubungan antara empirisme dengan matematika?
C. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan serta manfaat yang diharapkan, yaitu :
1. Mengetahui lebih jelas tentang pengertian empirisme menurut para
ahli;
2. Mengetahui jenis-jenis empirisme;
3. Mengetahui ajaran-ajaran yang ada dalam empirisme;
4. Mengetahui tokoh-tokoh yang menganut paham empirisme serta
pemikiran mereka terhadap paham tersebut;
5. Mengetahui hubungan empirisme dengan matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Empirisme
Empirisme secara etimologis menurut Bagus (2002) berasal dari kata
bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata
bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti
“berpengalaman dalam”,“berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara
menurut Lacey (2000) berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran
dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau
parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai
empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus
dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi
yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman
inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal
B. Jenis-jenis Empirisme
Menurut anonim (Yayat, 2011), empirisme terbagi menjadi 3 jenis,
yaitu sebagai berikut:
1. Empirio-Kritisisme
Disebut juga Machisme. sebuah aliran filsafat yang bersifat
subyektif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti
aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari
konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai
pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia
sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi
(pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan
kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena
dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
2. Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-
pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang
pada pandangan-pandangan sebagai berikut:
a. Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan
prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu
pada pengalaman.
b. Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada
proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih
merupakan data indera yang ada seketika.
c. Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam
pada dasarnya tidak mengandung makna.
3. Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat
dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak
secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan
melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah
menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat.
Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan bahwa
penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu
pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa
pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada
kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada
dasar untuk keraguan. Dalam situasi semacam ini, kita tidak hanya
berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok
falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti
karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda,
dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.
C. Ajaran-ajaran dalam Empirisme
Dalam empirisme terdapat beberapa ajaran, diantaranya yaitu:
1. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang
dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
Setiap kita mengalami apapun yang terjadi dalam kehidupan kita,
lalu kita kumpulkan setiap yang kita alami tersebut sehingga dapat
membentuk suatu ide atau gagasan sesuai dengan yang kita alami tersebut.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan
akal atau rasio.
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan
manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha
untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan
berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai
fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Tokoh
yang dianggap sebagai benih dari empisisme adalah Aristoteles,
seperti juga pada rasionalisme, maka pada empirisme pun terdapat
banyak tokoh pendukungnya yang tidak kalah populernya. Tokoh-
tokoh dimaksud di antarnya adalah David Hume, John Locke dan Bishop
Berkley.
Empirisme memandang Matematika bersumber dari pengalaman
inderawi dan bukan penalaran murni. Matematika bersumber dari
pengalaman dalam kehidupan. Empirisme menolak anggapan bahwa
manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika
dilahirkan. Namun manusia mendapatkan pengetahuan dari pengalaman
hidupnya sendiri.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran
yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau
bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan
hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan
pengalaman manusia.
Menurut Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu
memberi pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini. Kebenaran yang
bersifat a priori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan
geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah
pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa
bertambah lewat pengamatan empiris atau secara a posteriori.
Perbedaan antara rasionalisme dengan empiris secara umum adalah
kalau pada aliran rasionalisme pengetahuan itu berupa a priori, bersumber
dari penalaran dan pembuktian-pembuktian pada logika dan
matematika melalui deduksi, sedangkan pada aliran empirisme
pengetahuan bersumber pada pengalaman , terutama pada pengetahuan
dalam pembuktian-pembuktiannya melalui eksperimentasi, observasi,
dan induksi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak
langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional
logika dan matematika).
Menurut Hume (1999) di dalam aliran empiris terdapat tiga prinsip
pertautan ide. Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan
antara apa yang ada di benak kita dengan kenyataan di luar. Kedua,
prinsip kedekatan, misalnya apabila kita memikirkan sebuah rumah,
maka berdasarkan prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya
jendeka, pintu, atap, perabot sesuai dengan gambaran rumah yang kita
dapatkan lewat pengalaman inderwi sebelumnya. Ketiga, prinsip
sebab- akibat yaitu jika kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan
rasa sakit akibatnya.
Pengetahuan yang turun secara langsung adalah pengetahuan yang
dapat disimpulkan secara langsung dari suatu pengalaman yang ada,
sedangkan pengetahuan yang didapat secara tidak langsung adalah
pengetahuan didapat dari suatu pengalaman namun harus tetap diolah
terlebih dahulu oleh akal kita sehingga menjadi suatu pengetahuan yang
baru tetapi sumber awalnya tetap dari pengalaman.
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang
realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca
indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang
di peroleh dari pengalaman.
Dengan ungkapan singkat Locke : Segala sesuatu berasal dari
pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas
yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi. Dengan
demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal
budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri).
6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman
tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih
maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan
terangkai dari pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia
(impression, atau kesan yang disistematiskan ) dan kemudian menjadi
pengetahuan.
D. Tokoh-Tokoh Empirisme
1. John Locke (1632-1704)
John Locke adalah seorang filsuf
dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh
utama dari aliran empirisme dalam filsafat.
John Locke dilahirkan di Wrington Somerst
pada tanggal 29 Agustus 1632. Ayahnya
adalah seorang pengacara yang berperang
di parlemen pada waktu perang sipil. Tidak
hanya piawai pada ilmu filsafat, John
Locke juga mahir dalam bidang ilmu
kedokteran. Selama hidupnya Locke pernah mengenyam pendidikan di
Oxford University untuk mempelajari agama dan mendapat gelar B.A. dan
M.A. disana. Seumur hidupnya, Locke tidak pernah menikah. Selama tiga
belas tahun terakhir, Locke tinggal di Oates dan meninggal di sana pada
tanggal 28 Oktober 1704.
Karya-karya yang pernah dibuat John Locke, antara lain:
1. A letter Concerning Toleration (Karangan-karangan tentang toleransi)
pada tahun 1689.
2. An Essay Concerning Human Understanding ( Karangan tentang saling
pengertian manusia) pada tahun 1690.
3. Two Treatises of Government (Dua persepakatan tentang pemerintahan)
pada tahun 1690.
John Locke mengemukakan teori Tabula rasa yang secara bahasa
berarti meja lilin atau kertas putih. Maksud dari teori ini ialah bahwa manusia
itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengetahuannya mengisi
jiwa yang kosong itu, sehingga ia memiliki pengetahuan. Mula-mula
tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama kelamaan ruwet, lalu
tersusunlah pengetahuan berarti.
Teori Pengetahuan John Locke
Implikasi Teori Tabularasa John Locke Terhadap konsep Innate
Idea
(Empirisme John Locke (1632-1704), 2012) Teori Tabularasa tidak
setuju dengan paham yang berpendapat bahwa seseorang dilahirkan
dengan darah seniman, darah pengusaha, darah pekerja atau lainnya, dan
menggambarkan bahwa manusia sudah ditakdirkan untuk menjalani suatu
profesi tertentu sejak lahir. Menurut teori tabula rasa, alasan mengapa anak
seorang pengusaha cenderung menjadi pengusaha juga dan anak seorang
buruh cenderung menjadi buruh merupakan akibat dari pendidikan di
lingkungan yang setiap hari dialami anak tersebut. Anak seorang
pengusaha yang setiap hari berinteraksi dengan orang tuanya yang juga
seorang pengusaha, setiap hari mendengar perkataan orang tuanya
mengenai usahanya,maka dia akan belajar memahami konsep yang
dipahami orang tuanya mengenai harta, cara memperolehnya, dan bisa jadi
mempunyai perilaku yang mirip dengan orang tuanya.
Hubungan Antara Subjek dan Objek
Menurut Locke (Empirisme John Locke (1632-1704), 2012),
ketika melihat suatu obyek, maka kita akan menangkap beberapa kualitas
dari obyek tersebut. Locke menggolongkan kualitas tersebut kedalam dua
kategori, yaitu pertama adalah kualitas primer, yakni kualitas yang
dimiliki obyek itu sendiri, termasuk ukurannya, beratnya, dan massanya.
Kualitas primer ini akan tetap siapapun yang mengukurnya. Kedua adalah
kualitas sekunder, yakni kualitas yang dimiliki obyek yang sangat
tergantung pada cara peneliti melihat objek tersebut sehingga dapat terus
berubah sesuai dengan kondisi, termasuk bau, warna dan suara. Kualitas
ini sangat tergantung dari pekanya indera kita. Sehingga, ilmu
pengetahuan lebih memfokuskan analisanya pada kualitas primer karena
kualitas primer lebih terukur dan lebih obyektif daripada kualitas
sekunder.
Ragam Pengalaman Manusia
Locke (Empirisme John Locke (1632-1704), 2012) menyatakan
ada dua jenis pengalaman manusia, yaitu pengalaman lahiriah (sense atau
eksternal sensation) dan pengalaman batiniah (internal sense atau
reflection). Pengalaman lahiriah adalah pengalaman yang menangkap
aktivitas indrawi atau segala aktivitas yang berhubungan dengan panca
indra manusia. Sedangkan pengalaman batiniah terjadi ketika manusia
memiliki kesadaran terhadap aktivitasnya sendiri, yaitu dengan cara
'mengingat', 'menghendaki', 'meyakini', dan sebagainya. Kedua bentuk
pengalaman manusia ini yang nantinya akan membentuk pengetahuan
melalui proses selanjutnya
Proses Manusia Mendapatkan Pengetahuan
(Empirisme John Locke (1632-1704), 2012) Dari perpaduan dua
bentuk pengalaman manusia, yaitu pengalaman lahiriah dan batiniah,
diperoleh apa yang Locke sebut 'pandangan-pandangan sederhana' (simple
ideas) yang berfungsi sebagai data-data empiris. Di dalam proses
terbentuknya pandangan-pandangan sederhana ini, pikiran manusia
bersifat pasif atau belum berfungsi. Setelah pandangan-pandangan
sederhana ini tersedia, baru pikiran bekerja membentuk 'pandangan-
pandangan kompleks' (complex ideas). Pikiran bekerja membentuk
pandangan kompleks dengan cara membandingkan, mengabstraksi, dan
menghubung-hubungkan pandangan-pandangan sederhana tersebut.
2. David Hume
David hume lahir di Edinburg, Skotlandia pada tahun 1711 dan
meninggal pada tahun 1776 di kota yang sama dengan kelahirannya. Ayahnya,
yang tidak diketahui siapa namanya, meninggal sejak Hume masih bayi dan
hanya meninggalkan sebuah perkebunan kecil bagi Hume dan keluarga. Hume
tumbuh berkembang menjadi seorang murid yang sukses, dan memiliki
perhatian yang tinggi terhadap sastra dan filsafat. Ia cenderung untuk
mengejar karir penelitian ilmiah dan menulis, tetapi pernah sesaat terlepas dari
jalan ini oleh keluarganya yang mengajarkan bahwa ia cocok untuk profesi di
bidang hukum dan membujuknya untuk belajar hukum. Akhirnya untuk
memenuhi keinginan keluarga, Hume pun belahar hokum. Namun, usahanya
dibidang hokum ini tidak berhasil dan hanya berumur singkat.
Teori empirisme David Hume
a. Tentang Pengalaman dan Kausalitas (Sebab-Akibat)
Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua
isi pengalaman sadar kita dapat dipecah menjadi dua kategori yakni kesan
dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah kesan (impression) menunjuk
kepada semua persepsi kita yang lebih hidup ketika mendengar, melihat,
merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki. Kesan
berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan
semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Di sisi lain, ide
adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang
kesan, yang terakhir ini sering melibatkan kemampuan imajinasi kita
yang memberi produk ide, yang mungkin kita memiliki kaitan langsung
di dalam wilayah kesan. Meskipun demikian, semua ide dasarnya berasal
dari kesan.
Selanjutnya, Hume sangat tertarik pada relasi sebab dan akibat
karena semua pertimbangan yang berkenaan dengan masalah fakta
tampak didasarkan pada relasi sebab dan akibat. Dengan sarana relasi itu,
kita dapat melampaui bukti dari memori dan indera kita. Hume
menegaskan bahwa ketika kita berpikir tentang relasi sebab dan akibat
antara dua hal atau lebih, maka biasanya kita memaksudkannya dengan
arti bahwa yang satu, secara langsung atau tidak langsung bersebelahan
dengan yang lain, dan bahwa yang satu, yang kita beri tanda sebagai
sebab adalah dalam beberapa hal, secara temporer mendahului yang lain.
Bagaimanapun, kondisi-kondisi ini tampak tidak mencukupi bagi
munculnya sebuah relasi sebab dan akibat. Karena dapat dipahami bahwa
X dapat bersebelahan dengan dan secara temporer sebelum Y tanpa
menjadi sebab dari Y, maka diperlukan sesuatu yang lebih. Hume
beranggapan bahwa kita menambahkan sebuah ide jika ada hubungan
tetap (necessary connection) antara X dan Y di dalam situasi di mana X
dikatakan sebab dari Y. Tanpa tambahan ide bahwa setiap peristiwa atau
hal pasti memiliki suatu sebab yang menghasilkannya secara pasti, maka
pemahaman biasa tentang relasi sebab dan akibat tidak akan muncul.
Dengan demikian, jika suatu gejala tertentu disusul oleh gejala lain,
dengan sendirinya kita cenderung kepada pikiran bahwa gejala yang satu
disebabkan oleh gejala yang sebelumnya. Misalnya batu yang disinari
matahari selalu panas. Kita menyimpulkan batu menjadi panas karena
disinari matahari. Tetapi kesimpulan ini tidak berdasarkan pengalaman.
Pengalaman hanya memberikan urutan gejala-gejala, tetapi tidak
memperlihatkan urutan sebab-akibat.
b. Tentang Eksistensi Tuhan
Hume mengkritik keras ketiga bukti keberadaan Tuhan yang
disampaikan Descartes. Dua bukti pertama Descartes mengenai
keberadaan Tuhan adalah bukti sebab-akibat. Keduanya membuktikan
bahwa Tuhan ada sebagai satu-satunya sebab munculnya gagasanku
mengenai Dia dan munculnya gagasan mengenai keberadaanku sebagai
benda yang berpikir. Namun kita tidak mempunyai kesan indera
mengenai Tuhan sebagai suatu sebab, kita juga tidak mempunyai kesan
apapun mengenai benda berpikir sebagai akibat. Apalagi, pada kedua
bukti sebab-akibat mengenai keberadaan Tuhan ini, Descartes
mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab
harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini
sangat jelas sehingga tidak ada pikiran rasional apapun yang bisa
meragukannya, namun bagi Hume gagasan ini sangatlah tidak berarti.
Gagasan tersebut tidak memunculkan baik landasan rasional maupun
empiris untuk kausalitas. Adapun bukti ketiga mengenai keberadaan
Tuhan, yang dimunculkan pada buku “Meditation Descartes”
menggunakan bukti ontologis yang dikemukakan Saint Anselm di abad
XI. Bukti itu mengemukakan ide bawaan mengenai Tuhan yang memiliki
segala kesempurnaan, dan oleh karena itu pasti memiliki kesempunaan
pada wujud-Nya. Bukti ini sampai pula pada kesimpulan bahwa Tuhan
itu memang ada. Hume meruntuhkan bukti ini dengan pertama-tama
mengingatkan kita bahwa filsuf empirisme seperti John Locke telah
menunjukan tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki
gagasan yang muncul dari pengalaman kesan. Bukti ontologis Saint
Anselm mengenai keberadaan Tuhan menyatakan bahwa ide ketuhanan
itu dengan sendirinya terbukti dalam akal pikiran: Tuhan mempunyai
segala kesempurnaan, Dia Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Baik.
Oleh karena itu, Dia tak mungkin kurang sempurna dalam keberadaan-
Nya. Hume menjawabnya dengan uji empiris atas gagasan: jika tidak ada
kesan dalam pengalaman, gagasan itu tidaklah bermakna, tak berarti.
Namun kita tidak bisa mempunyai kesan indera atas zat supranatural,
dengan demikian ide ketuhanan tidak lulus dalam uji empiris.
3. George Berkeley
George Berkeley adalah seorang filsuf Irlandia yang juga menjabat
sebagai uskup di Gereja Anglikan. Bersama John Locke dan David Hume, ia
tergolong sebagai filsuf empiris Inggris yang terkenal. Ia dilahirkan pada
tahun 1685 dan meninggal pada tahun 1753. Berkeley mengembangkan suatu
pandangan tentang pengenalan visual tentang jarak dan ruang. Selain itu, ia
juga mengembangkan sistem metafisik yang serupa dengan idealisme untuk
melawan pandangan skeptisisme.
Inti pandangan filsafat Berkeley adalah tentang pengenalan. Menurut
Berkeley, pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subyek yang
mengamati dan obyek yang diamati. Pengamatan justru terjadi karena
hubungan pengamatan antara pengamatan indra yang satu dengan pengamatan
indra yang lain. Misalnya, jika seseorang mengamati meja, hal itu
dimungkinkan karena ada hubungan antara indra pelihat dan indra peraba.
Indra penglihatan hanya mampu menunjukkan ada warna meja, sedangkan
bentuk meja didapat dari indra peraba. Kedua indra tersebut juga tidak
menunjukkan jarak antara meja dengan orang itu, sebab yang memungkinkan
pengenalan jarak adalah indra lain dan juga pengalaman. Dengan demikian,
Berkeley mengatakan bahwa pengenalan hanya mungkin terjadap sesuatu
yang kongkret.
4. Thomas Hobbes
E. Hubungan Empirisme dan Matematika
Filsafat matematika lahir di Yunani Kuno yang ditemukan dan
dikembangkan oleh para filsuf seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan juga
oleh beberapa filsuf pra-Socrates, masalah filsafat matematika ini masih
menjadi kajian filsuf-filsuf masa kini.
Terkait hubungannya dengan matematika, empirisme seringkali
disandingkan dengan rasionalisme. Hal ini disebabkan karena pembuktian-
pembuktian suatu teorema dalam matematika, kita seringkali menggunakan
akal (rasio) dan pengalaman indera (empirisis) untuk merangsang ingatan dan
membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah ada dalam
pikiran.
Salah satu tokoh matematika yang menggunakan empirisme dan
rasionalisme dalam matematika adalah Thales. Ketika mempelajari
Matematika mesir dan mengagumi piramida, ia kemudian menghitung tinggi
piramida dengan bantuan bayangannya. Thales mengambil sebuah tongkat,
misalnya PQ, ia membuat lingkaran pusat P jari-jari sama dengan PQ. Pada
saat itu Thales melakukannya di pagi hari yang cerah, sehingga bayangan Q
jatuh tepat pada tepi lingkaran atau bayangan PQ=PR, pada saat itu pula
bayangan T jatuh di titik S, sehingga KS dapat diukur. Berarti MS=TM=t
tinggi piramida. Sebut MK = AB = a (setengah alas piramida) dapat diukur.
KS = b dapat diukur. Jadi t = a + b. demikian metoda bayangan dari Thales.
Thales adalah orang pertama yang namanya dikaitkan dengan suatu
penemuan, yakni dalil Thales. Dalil Thales tersebut adalah garis-garis sejajar
akan memotong dua garis atas perbandingan-perbandingan seharga, misalnya
AP : PB = DQ : QC.
Dalil ini masih dipelajari di SMP atau di SMA sekarang ini, selain itu
juga Thales orang pertama yang menemukan sifat-sifat geometri seperti
berikut ini:
1. Diameter membagi dua sama besar suatu lingkaran
2. Sudut alas suatu segitiga sama kaki, sama besar
3. Sudut siku yang dibentuk dua garis berpotongan tegaklurus sama besar
4. Dua segitiga kongruen jika dua sudut dan satu kaki yang bersesuaian dari
sudut itu, sama besar
Walaupun teori ini sederhana menurut kita sekarang, tetapi Thales
orang pertama yang menyusun teori ini bukan hanya berdasarkan pengalaman
(empiris) tetapi juga berdasarkan pemikiran yang logis (rasio).
Perkembangan cabang-cabang matematika mulai zaman sebelum
Masehi sampai sekarang seperti aritmetika, geometri kalkulus, aljabar,
statistik dan analisis beserta pembuktian-pembuktian yang telah ditemukan
oleh para ahli matematika dapat kita pelajari sampai sekarang. Apabila kita
mengkaji baik teori maupun bukti-bukti dari teorema-teorema cabang-cabang
matematika tersebut maka ini tidak terlepas dari penemuan-penemuan para
akhli matematika dan filsafat matematika beserta paham yang dianutnya
dalam hal ini adalah paham rasionalisme dan empirisisme.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa
pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada
pengalaman yang menggunakan indera.
2. Menurut anonim (Yayat, 2011), empirisme terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
empirio-kritisisme, empirisme logis dan empirisme radikal.
3. Dalam paham empirisme terdapat beberapa ajaran, yaitu:
Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang
dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan
bukan akal atau rasio.
Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara
tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran
definisional logika dan matematika).
Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang
realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca
indera kita.
Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
4. Terdapat beberapa tokoh yang menganut paham empirisme, diantaranya
yaitu: John Locke, David Hume, George Berkeley dan Thomas Hobbes
5. Terkait hubungannya dengan matematika, empirisme seringkali
disandingkan dengan rasionalisme. Hal ini disebabkan karena pembuktian-
pembuktian suatu teorema dalam matematika, kita seringkali
menggunakan akal (rasio) dan pengalaman indera (empirisis).
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2012). Empirisme John Locke (1632-1704)[online]. Tersedia: http://atullaina.blogspot.com/2012/04/empirisme-john-locke-1632 1704.html#fji1336196177077 [6 mei 2012].
Usdiyana, Dian. Pengertian Rasionalisme dan Empirisme.[Online]. Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/196009011987032-DIAN_USDIYANA/Tugas_Akhir.pdf. [5 Mei 2012]
Yayat, Supriatna. (2011). Makalah Empirisme. [Online]. Tersedia:
http://yayat56.blogspot.com/2011/05/makalah-empirisme.html.
[5 Mei 2012]