BAB I Daftarpusta

65
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan statistik kesehatan dunia, gizi buruk merupakan penyebab dari sepertiga kematian anak usia dibawah 5 tahun. Walaupun angka gizi buruk menurun dari 25% di tahun 1990 menjadi 18% di tahun 2005, tetapi kemajuan tersebut belum merata di semua negara (WHO, 2008). Hampir 90 persen kematian anak balita terjadi di negara berkembang. Angka mortalitas akibat gizi buruk rata-rata di negara berkembang berkisar sekitar 115-180 per 1000 anak usia dibawah 5 tahun (Nelson, 2007). Millennium Development Goals (MDGs) adalah delapan tujuan yang diupayakan untuk dicapai pada tahun 2015, merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia. Salah satu sasaran dalam MDGs adalah mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun (UNDP, 2009). Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani komitmen tersebut oleh karena itu kini MDGs telah menjadi referensi penting bagi pembangunan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan nasional yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri (Baliwati, dkk, 2006). 1

Transcript of BAB I Daftarpusta

Page 1: BAB I Daftarpusta

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan statistik kesehatan dunia, gizi buruk merupakan penyebab

dari sepertiga kematian anak usia dibawah 5 tahun. Walaupun angka gizi

buruk menurun dari 25% di tahun 1990 menjadi 18% di tahun 2005, tetapi

kemajuan tersebut belum merata di semua negara (WHO, 2008). Hampir 90

persen kematian anak balita terjadi di negara berkembang. Angka mortalitas

akibat gizi buruk rata-rata di negara berkembang berkisar sekitar 115-180 per

1000 anak usia dibawah 5 tahun (Nelson, 2007).

Millennium Development Goals (MDGs) adalah delapan tujuan yang

diupayakan untuk dicapai pada tahun 2015, merupakan tantangan utama dalam

pembangunan di seluruh dunia. Salah satu sasaran dalam MDGs adalah

mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun

(UNDP, 2009). Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani

komitmen tersebut oleh karena itu kini MDGs telah menjadi referensi penting

bagi pembangunan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan

nasional yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri

(Baliwati, dkk, 2006).

Balita merupakan golongan paling rawan gizi. Masa balita merupakan

periode emas dalam masa tumbuh kembang, khususnya sampai usia dua

tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan yang cepat dan menyolok,

sehingga diperlukan zat-zat makanan yang relatif lebih banyak dengan kualitas

yang lebih tinggi. Hasil pertumbuhan setelah menjadi manusia dewasa, sangat

tergantung dari kondisi gizi dan kesehatan sewaktu masa balita. Pertumbuhan

otak yang menentukan tingkat kecerdasan setelah menjadi dewasa, sangat

ditentukan oleh pertumbuhan waktu balita. Kekurangan gizi pada fase

pertumbuhan akan menghasilkan manusia dewasa dengan sifat-sifat

berkualitas inferior (Sediaoetama, 2002).

1

1

Page 2: BAB I Daftarpusta

Salah satu indikator derajat kesehatan adalah Angka Kematian Balita

(AKABA). AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak

dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesehatan anak balita seperti gizi,

sanitasi, penyakit menular, dan kecelakaan. Pada tahun 2010, target nasional

untuk angka kematian balita yaitu 58 per 1000 kelahiran hidup. Survei

Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menyebutkan bahwa

angka kematian balita di Yogyakarta 22 per 1000 kelahiran (BPS, 2008).

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, untuk angka Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) di Pulau Jawa, Propinsi DI Yogyakarta

menempati peringkat kedua setelah Propinsi DKI Jakarta. Namun gizi buruk

pada balita di Propinsi DI Yogyakarta masih menjadi masalah utama.

Kejadian gizi buruk di Kota Yogyakarta yakni Ibukota Propinsi DI

Yogyakarta, selalu menduduki peringkat pertama diantara 4 kabupaten lainnya

selama 2 tahun terakhir dan persentasenya meningkat. Pada tahun 2008

sebanyak 1,11% (184 balita) dan tahun 2009 sebanyak 1,22% (198 balita).

Persentase balita yang berada di bawah garis merah di Kota Yogyakarta juga

selalu menjadi peringkat pertama di Propinsi DI Yogyakarta dari tahun 2007

sampai 2009, tahun 2007 sebanyak 3,19% (684 balita), tahun 2008 sebanyak

3,80% (627 balita), dan tahun 2009 sebanyak 4,33% (706 balita) (Dinkes

Propinsi DIY; 2008, 2009, 2010).

Di Propinsi DI Yogyakarta menurut data tahun 2010, Kecamatan

Gedongtengen adalah satu-satunya kecamatan yang rawan gizi. Kecamatan

rawan gizi adalah kecamatan dengan persentase gizi kurang dan gizi buruk

lebih dari 15%. Kecamatan tersebut terbagi menjadi dua kelurahan yaitu

Kelurahan Pringgokusuman dan Kelurahan Sosromenduran. Persentase kasus

balita gizi kurang paling banyak terjadi di Kelurahan Pringgokusuman yaitu

sebanyak 5,6% (35 balita), sedangkan di Kelurahan Sosromenduran sebanyak

4,04% (16 balita). Salah satu indikator kecamatan rawan gizi adalah jumlah

keluarga miskin. Di Kelurahan Pringgokusuman persentase keluarga miskin

mencapai 25,87%, yaitu urutan tertinggi kedua di Kota Yogyakarta (Dinkes

Kota Yogyakarta, 2010).

2

Page 3: BAB I Daftarpusta

Sementara diketahui di Kota Yogyakarta, angka kelahiran bayi dengan

berat lahir rendah (BBLR) menunjukkan peningkatan pada tahun yang sama

yaitu tahun 2008-2009. Berikut ini adalah grafik peningkatan dan penurunan

angka kelahiran BBLR di kota Yogyakarta (Dinkes Kota, 2009).

Gambar 1. Presentase BBLR di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2009

Bayi dengan berat badan lahir rendah mengalami pertumbuhan dan

perkembangan lebih lambat. Keadaan ini menjadi lebih buruk lagi jika BBLR

kurang mendapat asupan energi dan zat gizi, mendapat pola asuh yang kurang

baik dan sering menderita penyakit infeksi. Pada akhirnya bayi BBLR

cenderung mempunyai status gizi kurang atau buruk (Arnisam, 2007). Dalam

profil kesehatan kota tahun 2009, disebutkan bahwa bayi dengan BBLR

memiliki pengaruh besar terhadap kejadian balita dengan berat badan di

bawah garis merah dan hal ini menentukan pertumbuhan anak di masa yang

akan datang.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat atau

mengetahui apakah ada hubungan antara riwayat BBLR dengan status gizi

pada anak balita di Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen,

Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang

didapat adalah “Adakah hubungan antara riwayat BBLR dengan status gizi

3

Page 4: BAB I Daftarpusta

pada anak balita di Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen,

Yogyakarta ?”.

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara riwayat BBLR dengan status

gizi pada anak balita di Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan

Gedongtengen, Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Teoritis

Dapat memperkaya bukti empiris bahwa riwayat BBLR merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita.

2. Praktis

a. Bagi Tenaga Kesehatan

Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai dasar untuk

merencanakan peningkatan pelayanan pada bayi dengan berat badan

lahir rendah agar status gizinya baik.

b. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan peneliti

selanjutnya untuk memperoleh informasi ilmiah mengenai hubungan

riwayat BBLR dengan status gizi pada balita.

4

Page 5: BAB I Daftarpusta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bayi Berat Lahir Rendah

1. Pengertian

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang

berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499

gram) (Saifuddin, 2002), tanpa memandang masa gestasi yang ditimbang

dalam waktu 1 (satu) jam pertama setelah lahir. (IDAI, 2009).

WHO telah mengganti istilah premature baby dengan low birth

weight baby (bayi dengan berat lahir rendah = BBLR). Hal ini

disebabkan karena tidak semua bayi dengan berat lahir kurang dari 2500

gram adalah prematur. Keadaan ini disebabkan oleh, pertama, masa

kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat yang sesuai (masa

kehamilan dihitung mulai hari pertama haid terakhir dari haid yang

teratur), kedua, bayi small for gestasional age (SGA) yaitu bayi yang

beratnya kurang dari berat semestinya menurut masa kehamilannya (kecil

untuk masa kehamilan = KMK); ketiga, kedua-duanya (Winkjosastro,

2007).

2. Etiologi

Menurut Manuaba (2010) terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan terjadinya persalinan dengan berat bayi lahir rendah, yaitu:

a) Faktor ibu : gizi saat hamil, umur, jarak kehamilan, penyakit

menahun (penyakit sistemik) ibu yaitu hipertensi, penyakit jantung,

gangguan pembuluh darah (perokok), faktor pekerja yang terlalu

berat.

b) Faktor kehamilan : hamil dengan hidramnion, hamil ganda,

perdarahan antepartum, komplikasi hamil yaitu preeklampsia/

eklampsia, dan KPD.

5

5

Page 6: BAB I Daftarpusta

c) Faktor janin : kelainan kongenital, infeksi dalam rahim, dan lain-

lain.

d) Faktor yang masih belum diketahui

3. Diagnosis

Dalam mendiagnosa bayi dengan BBLR maka hal-hal yang harus

diperhatikan adalah sebagai berikut :

a) Penghitungan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT)

b) Penilaian secara klinis: berat badan, panjang badan, lingkar dada,

dan lingkar kepala.

(Proverawati dan Ismawati, 2010)

4. Klasifikasi

Menurut Saifuddin (2002), bayi berat lahir rendah dibedakan dalam:

a) Bayi berat lahir rendah (BBLR), berat lahir 1500-2500 gram.

b) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR), berat lahir <1500 gram.

c) Bayi berat lahir ekstrem rendah (BBLER), berat lahir <1000 gram.

Menurut Proverawati dan Ismawati, ada beberapa cara

mengelompokkan bayi BBLR, salah satunya adalah berdasarkan masa

gestasinya, yaitu:

1. Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan

berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi, atau

biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan

(NKB-SMK).

2. Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat

badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Bayi mengalami retardasi

pertumbuhan intrauterine dan merupakan bayi yang kecil untuk masa

kehamilannya (KMK)

6

Page 7: BAB I Daftarpusta

Menurut berat badan dan masa kehamilannya (Wiknjosastro, 2007),

dibagi menjadi:

a) Bayi sesuai masa kehamilan (SMK)/ bayi prematur

Masa kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat yang sesuai.

Pada tabel growth charts of weights against gestation, berat badan

bayi terletak di antara presentil ke-10 dan ke-90.

b) Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK)

Disebut juga small for gestational (SGA). Yaitu bayi yang beratnya

kurang dari berat semestinya menurut masa kehamilannya. Pada

tabel growth charts of weights against gestation, berat badan bayi

terletak di bawah presentil ke-10.3

5. Prognosis

Prognosis bayi berat lahir rendah ini tergantung dari berat ringannya

masalah perinatal, misalnya masa gestasi (makin muda masa

gestasi/makin rendah berat bayi makin tinggi angka kematian),

asfiksia/iskemia otak, sindroma gangguan pernapasan, perdarahan

intraventrikuler, displasia bronkopulmonal, infeksi, gangguan metabolik

(asidosis, hipoglikemia, hiperbilirubinemia). Prognosis ini juga

tergantung dari keadaan sosial ekonomi, pendidikan orang tua dan

perawatan pada saat kehamilan, persalinan, dan postnatal yaitu

pengaturan suhu lingkungan, resusitasi, makanan, mencegah infeksi,

mengatasi gangguan pernapasan, asfiksia, hiperbilirubinemia,

hipoglikemia, dan lain-lain (Winkjosastro, 2007).

6. Pengamatan Lanjut

Bila bayi berat lahir rendah ini dapat mengatasi problematik yang

dideritanya, maka perlu diamati selanjutnya oleh karena kemungkinan

bayi ini akan mengalami gangguan pendengaran, penglihatan, kognitif,

7

Page 8: BAB I Daftarpusta

fungsi motor susunan saraf pusat, dan penyakit-penyakit seperti

hidrosefalus, cerebral palsy, dan sebagainya (Winkjosastro, 2007).

B. Status Gizi

1. Pengertian

Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi

melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

dan pengeluaran zat sisa yang tidak digunakan untuk menghasilkan energi

serta mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi organ-organ

tubuh (Supariasa dkk, 2002).

Menurut Almatsier (2001), zat gizi adalah ikatan kimia yang

diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi,

membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses

kehidupan.

Status gizi adalah suatu kondisi seseorang yang dapat diukur baik

secara antopometri maupun klinik sebagai respon dari asupan makanan

dalam jangka waktu tertentu (Depkes RI, 2006). Menurut Supariasa dkk

(2002), status gizi merupakan keadaan tubuh akibat keseimbangan antara

konsumsi dengan penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

a. Faktor yang mempengaruhi secara langsung :

1) Asupan makanan

Asupan makanan tergantung pada tingkat konsumsi.

Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas

makanan. Kualitas makanan menunjukkan adanya zat gizi yang

diperlukan tubuh, sedangkan kuantitas menunjukkan frekuensi

makan dan jumlah makanan terhadap kebutuhan tubuh.

Sebaliknya konsumsi yang kurang dari makanan baik segi

kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan gangguan status

gizi (Santoso, 2001). Rata-rata bayi sehat yang mendapatkan ASI,

harus mendapatkan makanan tambahan sebanyak sua sampai tiga

8

Page 9: BAB I Daftarpusta

kali sehari pada usia 6-8 bulan dan tiga sampai empat kali per hari

antara usia 9-24 bulan, dengan tambahan makanan selingan

sebanyak satu sampai dua kali per harinya.

2) Infeksi

Terdapat hubungan yang erat antara infeksi dengan

malnutrisi. Ada interaksi timbal balik antara status gizi dengan

penyakit infeksi (Supariasa dkk, 2002). Infeksi dapat

menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu

mempengaruhi nafsu makan, gangguan absorbsi karena diare atau

muntah serta gangguan metabolisme makanan (Santoso, 2001).

b. Faktor yang mempengaruhi secara tidak langsung

1) Praktek Pemberian Makanan

Dalam memberikan makanan pada bayi dan anak perlu

memperhatikan waktu pemberian, porsi makanan, frekuensi

makan, jenis bahan makanan, dan cara pemberiannya. Pemberian

makanan pendamping ASI yang terlalu awal pada bayi

menyebabkan anak tidak dapat menghisap semua ASI yang

dihasilkan oleh ibunya, sehingga mengakibatkan bayi kekurangan

zat gizi yang berkualitas tinggi. Sedangkan penundaan pemberian

MP-ASI setelah bayi berumur 6 bulan juga dapat mengakibatkan

anak kekurangan zat gizi (Suhardjo, 2008).

2) Faktor Ekonomi

Penghasilan keluarga merupakan faktor yang berperan

langsung terhadap konsumsi makanan terutama mempengaruhi

daya beli terhadap makanan dan kualitas bahan makanan yang

dikonsumsi. Perekonomian merupakan determinan penting yang

mempengaruhi asupan makanan. Asupan makanan seseorang

dipengaruhi oleh taraf ekonominya, seperti golongan masyarakat

ekonomi kuat mempunyai kebiasaan makan dengan konsumsi

rata-rata melebihi angka kecukupannya. Sebaliknya golongan

ekonomi lemah pada umumnya mempunyai kebiasaan makan

9

Page 10: BAB I Daftarpusta

yang memberikan nilai gizi dibawah kecukupan jumlah maupun

mutunya (Khumaidi, 2004).

Ketersediaan pangan juga dipengaruhi beberapa sektor

salah satunya faktor ekonomi (Supariasa dkk, 2002). Golongan

rawan gizi seperti bayi, balita, ibu hamil dan ibu menyusui sering

kali mengalami keadaan gizi kurang yang dimungkinkan akibat

distribusi pangan dalam keluarga yang tidak merata (Khumaidi,

2004).

3) Faktor Sosial Budaya

Aspek sosial-budaya merupakan fungsi yang berkembang di

masyarakat sesuai dengan keadaan lingkungan, adat istiadat,

kebiasaan, dan pendidikan serta pengetahuan masyarakat tersebut.

Adanya kepercayaan atau budaya yang memandang makanan

tertentu sebagai pantangan. Padahal dari segi gizi, makanan

tersebut baik untuk tubuh. Praktek semacam ini justru banyak

dijumpai pada golongan rawan gizi yaitu bayi, balita, ibu hamil,

dan ibu menyusui (Budiyanto,2002).

4) Pendidikan dan Pengetahuan

Pendidikan dan pengetahuan dapat mempengaruhi

kemampuan seseorang dalam penyiapan, penyajian dan

penyimpanan makanan serta sedikit banyak mempengaruhi

kemampuan dalam menyerap pengetahuan tentang gizi karena

tidak sedikit keluarga yang tidak tahu bagaimana pemberian

makanan yang tepat atau belum mampu menyediakan makanan

yang bernilai gizi baik (Budiyanto, 2002).

5) Faktor Lingkungan

Kebersihan lingkungan maupun kebersihan dalam

penyiapan, penyajian dan penyimpanan makanan yang buruk,

akan memudahkan anak terserang penyakit seperti gangguan

pencernaan, gangguan pernapasan, dan penyakit parasit

(Budiyanto, 2002).

10

Page 11: BAB I Daftarpusta

6) Faktor Pelayanan Kesehatan

Berperan penting dalam menyokong status kesehatan dan

gizi anak tidak hanya dari segi kuratif atau rehabilitatif, tetapi

juga mengutamakan promotif dan preventif (Supariasa dkk,

2002).

3. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi dapat secara langsung maupun tidak langsung

(Supariasa dkk, 2002).

a. Penilaian Langsung

1) Antopometri

Ditinjau dari sudut pandang gizi, antopometri berarti

pengukuran berbagai macam dimensi tubuh pada berbagai tingkat

umur dan tingkat gizi yangsecara umum digunakan untuk melihat

ketidakseimbangan pola pertumbuhan fisik dan proporsi tubuh.

Metode ini dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada

periode tertentu dan menggambarkan riwayat gizi di masa

lampau. Indeks penilaian status gizi berdasarkan antopometri

adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut

umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan(BB/TB), dan

lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U).

2) Klinis

Metode ini didasari atas perubahan yang terjadi

berhubungan dengan ketidakcukupan zat gizi. Digunakan untuk

mendeteksi tanda-tanda klinis kekurangan zat gizi dengan

melakukan pemeriksaan fisik, tanda gejala, atau riwayat penyakit.

3) Biokimia

Penilaian status gizi berdasarkan pemeriksaan yang diuji

secara laboratoris pada berbagai jaringan tubuh, antara lain darah,

urine, feses, atau jaringan hati dan otot. Digunakan untuk

menentukan kemungkinan terjadi keadaan malnutrisi yang parah

dan kekurangan gizi yang lebih spesifik.

11

Page 12: BAB I Daftarpusta

4) Biofisik

Merupakan metode penentuan status gizi dengan melihat

kemampuan fungsi dan perubahan struktur jaringan tubuh, seperti

buta senja epidemik dengan cara tes adaptif gelap.

b. Penilaian Tidak Langsung

1) Survei Konsumsi Makanan

Adalah metode penentuan status gizi dengan melihat jumlah

dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Berguna untuk memberikan

gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,

keluarga dan individu.

2) Statistik Vital

Pengukuran status gizi dengan menganalisis data statistik

kesehatan seperti angka kematian, angka kesakitan dan kematian

akibat penyebab tertentu yang berhubungan dengan gizi.

3) Ekologi

Mengungkapkan bahwa masalah gizi merupakan hasil

interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan budaya. Pengukuran

secara ekologi dilakukan sebagai dasar untuk melakukan program

intervensi gizi.

12

Page 13: BAB I Daftarpusta

4. Kelebihan dan Keterbatasan Pengukuran Antopometri

Tabel 1. Kelebihan dan Keterbatasan Pengukuran Antopometri

Kelebihan Keterbatasan

1. Alat mudah didapatkan dan

digunakan

2. Pengukuran tidak hanya dapat

dilakukan oleh tenaga profesional

khusus

3. Pengukuran dapat dilakukan

berulang-ulang dan objektif

4. Biaya relatif murah Prosedur

sederhana dan aman

1. Tidak mendapatkan informasi

mengenai kekurangan gizi

mikro

2. Dapat terjadi kesalahan

pengukuran yang disebabkan

latihan petugas yang tidak

cukup, kesalahan pada alat

maupun kesulitan dalam

pengukuran.

Sumber : Supariasa dkk. 2002.

5. Teknik Pengukuran Status Gizi dengan Antopometri

a. Indeks BB/U

Usia merupakan faktor penting dalam penentuan status gizi.

Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan menjadi tidak berarti

bila tidak disertai penentuan umur yang tepat. Sedangkan berat badan

merupakan ukuran antopometri terpenting dan paling sering

digunakan. Dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan baik

dan terdapat keseimbangan konsumsi makanan dengan kebutuhan zat

gizi terpenuhi, berat badan akan berkembang seiring dengan

pertambahan umur (Supariasa dkk, 2002).

Kelebihan dari indeks BB/U yaitu

1) Mudah dan cepat dimengerti

2) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis

3) Dapat mendeteksi kegemukan (over weight)

Kelemahan indeks BB/U antara lain

1) Dapat terjadi kesalahan dalam penaksiran umur

2) Sering terjadi kesalahan dalam penimbangan, seperti pengaruh

pakaian atau gerakan anak saat ditimbangan.

13

Page 14: BAB I Daftarpusta

b. Indeks TB/U

Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan

pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif

jika dibandingkan berat badan. Indeks ini menggambarkan status gizi

masa lalu.

Kelebihan indeks TB/U yaitu

1) Digunakan untuk mengetahui status gizi masa lampau

2) Ukuran panjang dapat dibuat sendiri dan mudah dibawa

Kelemahan indeks TB/U antara lain

1) Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif jika

dibandingkan berat badan.

2) Pengukuran relatif lebih sulit karena anak harus dalam keadaan

tegap, sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya

3) Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran

c. Indeks BB/TB

Dalam keadaan normal, peningkatan berat badan akan searah

dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks

ini dapat digunakan untuk menilai status gizi saat kini.

Kelebihan indeks BB/TB yaitu

1) Tidak memerlukan data umur

2) Untuk membedakan proporsi tubuh (gemuk, normal, kurus)

Kelemahan indeks BB/TB antara lain

1) Sering terjadi kesulitan dalam pengukuran panjang / tinggi badan

dalam kelompok bayi / balita

2) Membutuhkan dua macam alat ukur

3) Pengukuran relatif lebih lama,

4) Membutuhkan lebih dari dua orang untuk melakukannya

5) Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran

14

Page 15: BAB I Daftarpusta

6. Klasifikasi Status Gizi

Sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan RI No:

920/Menkes/SK/VIII/2002 tentang klasifikasi status gizi anak balita

bahwa sesuai dengan perkembangan ilmu, teknologi serta hasil temu

pakar gizi di Indonesia pada bulan mulai Mei tahun 2000 di Semarang,

standar baku antropometri yang digunakan secara nasional di Indonesia

disepakati menggunakan standar baku World Health Organization –

National Center for Health Statistics (WHO-NCHS). Di bawah ini

merupakan klasifikasi status gizi balita menurut standar WHO-2005,

dimana klasifikasinya adalah sebagai berikut:

Tabel 2: Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (BALITA)

INDEKS STATUS GIZI AMBANG BATAS *)

Berat Badan Menurut Gizi Lebih >+ 2 SD

Umur (BB/U) Gizi Baik ≥ - 2 SD sampai + 2 SD

Gizi Kurang < -2 SD sampai ≥ -3 SD

Gizi Buruk < - 3 SD

Tinggi Badan Menurut Normal ≥ 2 SD

Umur (TB/U) Pendek (stunted) < -2 SD

Sangat Pendek < -3 SD

Berat Badan Menurut Obesitas >+ 3 SD

Tinggi Badan (BB/TB) Gemuk >+ 2 SD

Risiko Gemuk >+ 1 SD

Normal ≥ -2 SD sampai + 2 SD

Kurus (wasted) < -2 SD sampai ≥ -3 SD

Kurus Sekali < -3 SD

Sumber : WHO (2005)

15

Page 16: BAB I Daftarpusta

Pada prinsipnya penggunaan standar baku antropometri pada suatu

negara didasari kesepakatan bersama pada bidang ini, dengan melalui

penyesuaian-penyesuaian di masing-masing negara termasuk Indonesia

yang sudah dimodifikasi dari standar baku WHO-2005.

C.Hubungan antara BBLR dengan status gizi

BBLR merupakan faktor risiko kematian bayi dan balita di

Indonesia. BBLR menjadisalah satu masalah gizi makro karena berisiko

menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan mental

anak serta mempengaruhi tingkat kecerdasannya yang berdampak pada

kualitas generasi penerus bangsa (Depkes, 2004). Status gizi balita

berhubungan erat dengan berat badannya saat lahir. Beberapa penelitian

menyebutkan bahwa berat lahir yang cukup akan memberikan efek baik

pada pertumbuhan mendatang. Menurut Arisman (2004), bayi yang

lahir dengan berat badan kurang, akan cenderung mengalami status gizi

kurang atau buruk daripada bayi yang lahir dengan berat badan yang

cukup. Hal ini akibat kurang maturnya organ-organ pencernaan dan

beresiko untuk lebih sering terkena infeksi. Status gizi ibu saat terjadi

konsepsi mempengaruhi lahirnya BBLR, sedangkan status gizi pada

saat konsepsi dipengaruhi oleh keadaan sosial dan ekonomi ibu sebelum

hamil, kesehatan ibu, jarak kelahiran, parietas, dan usia kehamilan

pertama.

16

Page 17: BAB I Daftarpusta

Berat Badan Lahir

BBLRTidak BBLR

Faktor IbuFaktor Kehamilan Faktor JaninFaktor yang tidak diketahui

Faktor secara langsung :

Asupan makananInfeksi

Faktor tidak langsung :Praktek pemberian makananFaktor ekonomiFaktor sosial budayaPendidikan & pengetahuanFaktor lingkunganFaktor pelayanan kesehatan

Status Gizi

Gizi baikGizi lebih Gizi kurang Gizi buruk

Balita

D. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: Yang diteliti

: Yang tidak diteliti

17

Page 18: BAB I Daftarpusta

E. Hipotesis

Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara riwayat BBLR

dengan kejadian status gizi kurang pada anak balita.

18

Page 19: BAB I Daftarpusta

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah observasional analitik

dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari

dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara

pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point

time approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja

dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada

saat pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua objek penelitian diamati

pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2010). Dalam hal ini, penelitiannya

adalah untuk menentukan hubungan antara riwayat bayi berat lahir rendah

(BBLR) dengan status gizi balita.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Tempat dilaksanakannya penelitian ini adalah di Posyandu-posyandu di

Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan sesuai dengan jadwal pelaksanaan Posyandu pada

bulan Desember 2011 sampai Februari tahun 2012.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

anak balita di Kelurahan Pringgokusuman, Gedongtengen, Yogyakarta

sebanyak 162 balita.

19

19

Page 20: BAB I Daftarpusta

2. Sampel

Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap

mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Teknik sampling adalah

teknik pengambilan sampel (Sugiyono, 2007). Teknik sampling penelitian

ini adalah purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik

pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,2007).

Pertimbangan tertentu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah teknik

pengambilan sampel dengan menggunakan kriteria inklusi dan kriteria

ekslusi.

D. Estimasi Besar Sampel

Rumus besar sampel menurut Dahlan (2009):

( Zα PQ + Zβ P1Q1 +P2Q2 )2

N = ( P1 - P2 )2

Keterangan:

Zα = derivat baku alfa (1,96)

Zβ = derivat baku beta (0,84)

P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya. Proporsi status

gizi kurang terjadi di Kelurahan Pringgokusuman sebesar 5,6% (Dinkes Kota

Yogyakarta, 2010).

Q2 = 1 - P2

P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti

Q1 = 1 - P1

P1 - P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna

P = proporsi total ( P1 + P2 ) / 2

Q = 1 – P

( 1,96 0,106.0,894 + 0,84 0,156.0,844+0,056.0,944 )2

N = ( 0,1)2

( 1,96 x 0,30 + 0,84 x 0,43 ) 2

N = 0.01

20

Page 21: BAB I Daftarpusta

Populasi

Kriteria inklusiKriteria eksklusi

Sampel

BBLR BBLN

Gizi baik Gizi kurang Gizi baik Gizi kurang

( 0,58 + 0,36 ) 2

N = 0,01

0,942

N = 0,01 0,88

N = 0,01

N = 88 (hasil pembulatan)

Besar sampel yang didapat dari perhitungan dengan rumus

diatas,dengan N = 88 balita.

E. Jalannya Penelitian

Gambar 3. Desain Penelitian Cross sectional

21

Page 22: BAB I Daftarpusta

F. Kriteria Restriksi

Kriteria inklusi dan eksklusi yang digunakan untuk pengambilan

sampel dalam penelitian ini adalah:

a. Kriteria inklusi

1) Ibu atau keluarga balita yang bersedia menjadi responden dan

mengetahui berat balita saat lahir.

2) Ibu atau keluarga balita yang melakukan penimbangan balita di

Posyandu-posyandu di Kelurahan Pringgokusuman,

Gedongtengen, Yogyakarta.

3) Balita yang berumur 24 bulan sampai 60 bulan.

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

balita yang pola makannya tidak teratur (ASI eksklusif, MP ASI, dan

waktu pemberian makanan), menderita penyakit infeksi kronis (ISPA,

tuberculosis, infeksi parasit, diare) dan kelainan bawaan (bibir

sumbing, penyakit jantung bawaan, cerebral phalcy, syndrome down,

leukemia).

G. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah atribut dalam penelitian atau gejala yang

menjadi fokus untuk diamati (Sugiyono, 2007). Variabel dalam penelitian

terdiri atas 3 variabel, yaitu:

a. Variabel bebas (independent) : variabel independent adalah variabel yang

mempengaruhi (Sugiyono, 2007). Variabel independen dalam penelitian

ini adalah riwayat kejadian BBLR.

b. Variabel terikat (dependent) : variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat dari variabel independent (Sugiyono, 2007). Variabel dependen

dalam penelitian ini adalah status gizi balita.

22

Page 23: BAB I Daftarpusta

c. Variabel pengganggu (confounding) : variabel yang mengganggu terhadap

hubungan antara variabel independen dan variabel dependen

(Notoatmodjo, 2010) Dalam penelitian ini variabel yang dikendalikan

adalah:

1) Penyakit infeksi, penyakit kronis, dan kelainan kongenital

2) Pola makan

H. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional yaitu ruang lingkup pengertian variabel-variabel

yang diamati (Sugiyono, 2007). Definisi operasional dalam penelitian ini

adalah :

1. Riwayat BBLR

Berat bayi yang ditimbang setelah lahir yang diperoleh dari hasil

wawancara kepada ibu balita dengan hasil berat < 2500 gram disebut ada

riwayat BBLR, dan tidak ada riwayat BBLR jika berat lahir ≥ 2500 gram.

Skala data nominal.

2. Status Gizi Balita

Status gizi balita dalam penelitian ini adalah keadaan tubuh sebagai

akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi pada balita yang

ditentukan berdasarkan baku rujukan penilaian status gizi menurut berat

badan dibagi dengan tinggi badan (BB/TB) WHO-NCHS. Variabel status

gizi balita dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi :

1) Gizi baik bila status gizi balita (BB/TB) -2 SD – 2 SD

2) Gizi kurang bila status gizi balita (BB/TB) < -2 SD

Skala data nominal

I. Instrumen Penelitian

23

Page 24: BAB I Daftarpusta

Instrumen penelitian adalah alat pada waktu penelitian menggunakan

suatu metode (Arikunto, 2010). Alat pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah angket untuk mengetahui riwayat BBLR serta usia balita

hasil wawancara kepada ibu balita. Alat timbangan berat badan balita yaitu

dacin dengan ketelitian 0,1 kg dan alat pengukur tinggi badan balita yaitu

mikrotoa dengan ketelitian 0,1 cm untuk mengetahui status gizi balita.

Wawancara adalah suatu metode pengumpulan data dimana peneliti

mendapatkan keterangan lisan secara langsung atau bertatapan muka dengan

responden (Notoatmodjo, 2010).

J. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data

diperoleh langsung dari responden yaitu ibu atau keluarga balita yang

memenuhi kriteria. Pengumpulan data akan dilakukan sesuai jadwal

posyandu-posyandu di kelurahan Pringgokusuman oleh peneliti bersama

kader yang ada pada saat penelitian dilakukan.

2. Prosedur Penelitian

a. Persiapan

1) Peneliti melakukan studi pendahuluan untuk mendapatkan

gambaran tentang tempat dan jumlah populasi.

2) Peneliti selanjutnya menyusun proposal penelitian, pengujian

proposal penelitian dan pengajuan izin penelitian.

b. Pelaksanaan

1) Pengumpulan data dilakukan peneliti dengan datang langsung ke

posyandu-posyandu.

2) Melakukan pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan-

pertanyaan berdasarkan angket dengan teknik wawancara terpimpin

kepada ibu atau keluarga yang datang mendampingi balitanya ke

24

Page 25: BAB I Daftarpusta

posyandu. Wawancara terpimpin adalah wawancara yang

dilakukan berdasarkan angket yang sudah dibuat sehingga

interviewer tinggal membacakan pertanyaan tersebut kepada

interviewee (Notoatmodjo, 2010)

3) Melakukan penimbangan berat badan balita dan pengukuran tinggi

badan balita untuk mengetahui status gizi balita berdasarkan indeks

BB/TB. Penimbangan dan pengukuran dapat dilakukan terlebih

dahulu sebelum wawancara.

4) Setelah semua data yang diperlukan terkumpul kemudian peneliti

melakukan pengolahan dan analisis data.

K. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data hasil penelitian dengan menggunakan

program komputer perangkat lunak SPSS 17 for windows.

1. Pengolahan Data

a. Editing

Memperjelas dan mengecek secara logis setelah data terkumpul

kemudian diteliti kembali dan data disusun.

b. Coding

Memberikan kode pada data yang diperoleh untuk

mempermudah pengelolaan data.

Riwayat kejadian BBLR:

- Kode 0 untuk ada riwayat BBLR

- Kode 1 untuk tidak ada riwayat BBLR

Status gizi balita:

- Kode 0 untuk gizi baik atau normal

- Kode 1 untuk gizi kurang atau kurus

c. Transfering

25

Page 26: BAB I Daftarpusta

Memindahkan data yang telah dilakukan pengkodean ke dalam

master tabel.

d. Tabulating

Penyusunan data dengan pengelompokan data sesuai dengan

jenis karakteristik dan disusun dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

relatif.

e. Entri data

Memindahkan data ke dalam program komputer yaitu program

SPSS 17 for Windows untuk dianalisis.

2. Analisis Data

Untuk mengetahui hubungan antara variabel yang meliputi

variabel bebas dan variabel terikat yaitu dengan uji korelasi Chi

Square. Jika didapatkan hasil p value < 0,05, berarti ada hubungan

antara riwayat BBLR dengan status gizi balita. Dan apabila p value >

0,05, berarti tidak ada hubungan antara riwayat BBLR dengan status

gizi balita. Kemudian besarnya risiko kedua variabel menggunakan

Rasio Prevalens (RP).

Faktor Resiko Efek Total

Baik Kurang

Ya A B a+b

Tidak C D c+d

a/ a+b RP =

c/ c+d

Keterangan :

Faktor Resiko : Riwayat Bayi Berat Lahir Rendah

Efek : Status gizi

a : Subyek dengan faktor risiko yang mengalami efek

26

Page 27: BAB I Daftarpusta

b : Subyek dengan faktor resiko yang tidak mengalami

efek

c : Subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek

d : Subyek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek

Interpretasi hasil :

RP = 1 : artinya prevalensi subyek yang terpapar faktor risiko sama

dengan prevalensi subjek yang tidak terpapar faktor

risiko.

RP > 1 : artinya dugaan adanya faktor risiko terhadap efek

memang benar.

RP < 1 : artinya bahwa faktor yang di teliti tersebut justru

menurunkan terjadinya efek.

Rasio prevalens harus disertai dengan nilai interval

kepercayaan (confidence interval) yang dikehendaki, yaitu 95%. Yang

menentukan apakah rasio prevalens bermakna atau tidak. Semua

analisis tersebut menggunakan program statistik dari komputer.

27

Page 28: BAB I Daftarpusta

L. Jadwal Penelitian

Tabel 4. Jadwal Penelitian

Kegiatan Bulan

III-VI

Bulan

VII

Bulan

VIII

Bulan

XII-II

Bulan

II

Bulan

II

Penyusunan

proposal

Ujian proposal

Revisi proposal

Pengumpulan

data

Pengolahan &

analisis data

Penyusunan

skripsi

Ujian skripsi

Perbaikan skripsi

28

Page 29: BAB I Daftarpusta

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pringgokusuman merupakan salah satu kelurahan yang terletak di

Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta,

Indonesia. Memiliki luas wilayah 0,46 km2. Batas wilayahnya sebelah utara

berbatasan dengan Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis, batas sebelah timur

adalah Kelurahan Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengen, batas di sebelah

selatan adalah Kelurahan Ngampilan, Kecamatan Ngampilan dan di sebelah

barat batas daerahnya adalah sungai Winongo dan Kelurahan Tegalrejo,

Kecamatan Tegalrejo.

Jumlah seluruh anak balita di Kelurahan Pringgokusuman,

Gedongtengen, Yogyakarta sebanyak 162 balita. Jumlah sampel minimal

yang dibutuhkan pada penelitian ini yaitu 88 balita. Responden dalam

penelitian ini adalah anak balita usia 2-5 tahun yang memenuhi kriteria untuk

dijadikan sampel penelitian ini dan bertempat tinggal di kelurahan

Pringgokusuman, kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Pengumpulan

data responden dilakukan di sembilan Posyandu yang berada di wilayah

kelurahan Pringgokusuman, Gedongtengen, Yogyakarta.

Tabel 5.Distribusi Karakteristik Riwayat Berat Lahir Responden

RiwayatBeratLahir Frekuensi Presentase

BBLR 26 29.50%Non BBLR 62 70.50%

Total 88 100%

Tabel 5 di atas menunjukkan karakteristik responden yang dibagi

menjadi 2 kategori yaitu balita yang mempunyai riwayat BBLR (berat lahir <

2500 gram) dan Tidak BBLR (berat lahir ≥ 2500 gram). Hasil penelitian pada

tabel 5 dapat disimpulkan bahwa persentase balita yang memiliki riwayat

29

29

Page 30: BAB I Daftarpusta

berat lahir rendah (BBLR) lebih sedikit (29,5 %) dibandingkan dengan balita

yang tidak BBLR (70,5 %).

Tabel 6. Distribusi Karakteristik Status Gizi Responden

Status Gizi Frekuensi Presentase

Baik 68 77.30%Kurang 20 22.70%Total 88 100%

Pada tabel 6 yang didapatkan dari hasil penilaian berdasarkan

parameter Berat Badan/Tinggi Badan. Maka, Pembagian status gizi balita

dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu status gizi baik dan status gizi kurang,

yang masuk dalam kategori status gizi baik yaitu gizi normal (-2 SD sampai 2

SD) sedangkan yang masuk dalam kategorik status gizi kurang, yaitu gizi

lebih (> 2 SD), gizi kurang (< -2 SD) dan gizi buruk (< -3 SD).

Hasil yang diperoleh pada tabel 6 di atas menunjukkan bahwa

persentase balita yang memiliki status gizi baik (77,3 %) lebih besar

dibandingkan dengan balita yang status gizinya kurang (22,7 %).

30

Page 31: BAB I Daftarpusta

Tabel 7. Distribusi Karakteristik berdasar Status Gizi RespondenKarakteristik

RespondenGizi Baik Gizi Kurang

p-valueN % N %

Jenis Kelamin0.857Perempuan 26 29.5 9 10.3

Laki-laki 42 47.7 11 12.5Pemberian ASI Eksklusif

0.634Diberi 20 22.7 7 8.0Tidak Diberi 48 54.5 13 14.8

Asupan Makanan0.029Teratur 63 71.6 15 17.0

Tidak Teratur 5 5.7 5 5.7Pendidikan Terakhir Ayah

0.847SD 1 1.1 0 0SMP 2 2.3 4 4.5SMA 48 54.5 9 10.2PT 17 19.4 7 8.0

Pekerjaan Ayah0.064Bekerja 68 77.3 19 21.6

Tidak bekerja 0 0 1 1.1Pendidikan Terakhir Ibu

0.208SD 0 0 2 2.3SMP 2 2.3 4 4.5SMA 45 51.1 8 9.1PT 21 23.9 6 6.8

Pekerjaan Ibu0.00

0Bekerja 15 17.1 14 15.9Tidak bekerja 53 60.2 6 6.8

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa status gizi baik lebih banyak pada

responden yang berjenis kelamin laki-laki (47,7 %) daripada perempuan (29.5

%). Sedangkan pada responden yang berstatus gizi kurang, perbedaan

persentase antara responden laki-laki dan perempuan tidak begitu mencolok

selisihnya. Diperoleh nilai p value sebesar 0,857 yang berarti secara statistik,

tidak ada hubungan antara jenis kelamin responden dengan status gizi nya.

Responden yang berstatus gizi baik dalam penelitian ini mayoritas

tidak diberi ASI eksklusif (54,5 %) daripada yang diberi ASI eksklusif (22,7

31

Page 32: BAB I Daftarpusta

%). Namun, responden yang tidak diberi ASI eksklusif dan mengalami gizi

kurang juga lebih banyak (14,8 %) daripada yang diberi ASI eksklusif dan

mengalami gizi kurang (8 %). Diperoleh nilai p value sebesar 0,634 yang

berarti tidak ada hubungan secara statistik antara pemberian ASI eksklusif

pada responden saat berusia 0 – 6 bulan dengan status gizinya pada saat

penelitian ini berlangsung.

Mayoritas responden yang berstatus gizi baik cenderung diberi asupan

makanan secara teratur (71,6 %). Hanya 5,7 % responden yang diberi

makanan secara tidak teratur yang berstatus gizi baik. Sedangkan persentase

responden yang berstatus gizi kurang dan diberi asupan makanan secara

teratur sebesar 17 % dan 5,7 % yang diberi makanan secara tidak teratur.

Diperoleh nilai p value sebesar 0,029 yang berarti ada hubungan antara asupan

makanan responden sehari-sehari dengan status gizinya.

Persentase responden yang berstatus gizi baik dan memiliki ayah yang

berpendidikan terakhir SMA dan PT sebesar 73,9 % dari jumlah seluruh

responden. Hanya 1,1 % ayah yang berpendidikan terakhir SD yang memiliki

anak yang berstatus gizi baik, sedangkan yang lainnya berpendidikan terakhir

pada tingkat SMP. Tetapi diperoleh nilai p value sebesar 0,847 yang berarti

secara statistik tidak ada hubungan antara pendidikan terakhir ayah responden

dengan status gizinya saat ini. Sedangkan persentase ayah yang bekerja atau

memiliki mata pencaharian dan memiliki anak balita yang berstatus gizi baik

yaitu sebesar 77,3 %. Diperoleh nilai p value sebesar 0,064 yang berarti tidak

ada hubungan secara statistik antara pekerjaan ayah responden dengan status

gizi responden.

Sebanyak 75 % ibu responden yang berpendidikan terakhir SMA dan

PT yang memiliki anak yang berstatus gizi baik, sedangkan sisanya

berpendidikan SD dan SMP. Tetapi ada 15,9 % ibu yang berpendidikan

terakhir SMA dan PT yang memiliki anak berstatus gizi buruk. Diperoleh nilai

p value sebesar 0,208 yang berarti secara statistik, tidak ada hubungan antara

pendidikan terakhir ibu responden dengan status gizi responden. Sedangkan

lebih banyak ibu responden yang tidak bekerja yang memiliki anak berstatus

32

Page 33: BAB I Daftarpusta

gizi baik (60,2 %) daripada ibu yang bekerja (17,1 %). Diperoleh nilai p value

sebesar 0,000 yang berarti ada hubungan antara pekerjaan ibu responden

dengan status gizi responden.

Hubungan antara riwayat BBLR dengan status gizi balita

Tabel 8. Distribusi Status Gizi Responden berdasar Riwayat Berat Lahir    STATUS GIZI

Total P. Value      KURANG BAIK

RiwayatBerat Lahir

BBLRN 15 11 26

0.000% 17 12.5 29.5

NON BBLR

n%

55.7

5764.8

6270.5

TotalN 20 68 88% 22.7 77.3 100

Sesuai dengan tabel 8 di atas, didapatkan hasil bahwa hampir 65 %

balita dengan riwayat lahir tidak BBLR cenderung memiliki status gizi yang

baik. Hanya 12.5 % balita dengan riwayat BBLR yang masuk dalam kategori

status gizi baik. Sedangkan sebanyak 17 % balita dengan riwayat BBLR

masuk dalam kategori status gizi kurang, dan persentase balita dengan riwayat

lahir tidak BBLR tetapi berstatus gizi kurang sebesar 5.7 %.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi Chi Square pada

software SPSS 17.0 didapatkan hasil p value= 0,000 yang menunjukkan

adanya hubungan antara riwayat BBLR dengan status gizi balita karena

didapatkan hasil p value < 0,05. Dan hasil Ratio Prevalens (RP) sebesar 7,154

( CI 95% 2,901 - 17,641 ) yang menunjukkan bahwa ratio prevalens memiliki

nilai RP > 1, yang berarti balita yang memiliki riwayat BBLR akan

mempunyai risiko 7 kali untuk terjadinya status gizi kurang atau buruk.

B. Pembahasan

Dari hasil penelitan yang dilakukan pada 88 balita usia 2-5 tahun yang

memenuhi kriteria dan dijadikan responden pada penelitian yang dilakukan di

Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta.

Berdasarkan hasil penelitian riwayat BBLR, riwayat BBLR dibagi menjadi

33

Page 34: BAB I Daftarpusta

dua yaitu, ada riwayat BBLR sebanyak 26 orang (29,5 %) dan tidak ada

riwayat BBLR sebanyak 62 orang (70,5 %). Sehingga dapat diambil

kesimpulan bahwa sebagian besar balita yang dijadikan responden dalam

penelitian ini tidak mempunyai riwayat BBLR dengan kata lain berat lahirnya

normal.

Berat lahir bayi berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan

lingkungan sekitar janin dari waktu ke waktu khususnya faktor ibu yang

meliputi perbaikan gizi saat hamil, usia ibu yang tidak beresiko tinggi, jarak

kehamilan yang telah terencana, menurunnya penyakit-penyakit sistemik yang

diderita oleh ibu, dan sebagainya. Faktor-faktor yang lain seperti tidak terjadi

kelainan-kelainan pada ibu dan janin, serta beberapa faktor yang lain yang

masih belum diketahui (Manuaba, 2010). Pemberian Makanan Tambahan

(PMT) di Puskesmas Gedongtengen kepada ibu-ibu hamil yang status gizi nya

kurang serta pencanangan program KB yang semakin gencar dilakukan oleh

tenaga-tenaga kesehatan secara tidak langsung juga dapat menurunkan angka

kelahiran bayi dengan berat lahir yang rendah di wilayah kerjanya.

Bayi dengan berat badan lahir rendah mengalami pertumbuhan dan

perkembangan lebih lambat. Keadaan ini menjadi lebih buruk lagi jika BBLR

kurang mendapatkan asupan energi dan zat gizi, mendapatkan pola asuh yang

kurang baik, dan sering menderita penyakit infeksi. Pada akhirnya bayi BBLR

cenderung mempunyai status gizi kurang atau buruk (Arnisam, 2007). Hal ini

pun sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan balita

dengan riwayat BBLR akan mempunyai 5,21 kali lebih besar untuk

mengalami status gizi tidak normal dari pada balita non BBLR (Niken, 2010).

Dalam profil kesehatan Kota Yogyakarta (2009), disebutkan bahwa bayi

BBLR memiliki pengaruh besar terhadap kejadian balita dengan berat badan

di bawah garis merah, dengan kata lain mempengaruhi status gizi balita, dan

hal ini menentukan pertumbuhan anak di masa yang akan datang.

Hasil analisis bivariat oleh Nduma K. Lingga (2010) faktor yang

mempunyai hubungan asosiasi yang signifikan dengan status gizi kurang yaitu

berat badan lahir rendah (p=0,000, RP=2,912). Pentingnya memperhatikan

34

Page 35: BAB I Daftarpusta

kesehatan anak yang lahir dengan berat badan lahir rendah sehingga nantinya

tidak mengalami gizi kurang.

Supariasa, dkk (2002) menyebutkan bahwa status gizi merupakan

keadaan tubuh akibat keseimbangan antara konsumsi dengan penyerapan dan

penggunaan zat-zat gizi. Sedangkan menurut Depkes RI (2006), kondisi

seseorang yang dapat diukur baik secara antropometri maupun klinik sebagai

respon dari asupan makanan dalam jangka waktu tertentu disebut status gizi.

Dari hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa

persentase balita yang memiliki status gizi baik (77,3 %) lebih besar

dibandingkan dengan balita yang status gizinya kurang (22,7 %). Jadi dapat

disimpulkan bahwa mayoritas balita yang menjadi responden dalam penelitian

ini memiliki status gizi baik yang berarti keadaan tubuh sebagian besar balita

seimbang antara konsumsi dengan penyerapan dan penggunaan zat-zat gizinya

yang telah diukur secara antropometri dalam waktu tertentu.

Hasil penelitian ini yang menunjukkan adanya hubungan antara

riwayat BBLR dengan status gizi balita mendukung teori bahwa dampak dari

BBLR akan menyebabkan bayi mengalami gizi kurang, dan akan lebih mudah

terkena infeksi yang berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang,

yaitu akan memperlambat pertumbuhan dan perkembangan mental anak serta

mempengaruhi penurunan kecerdasan (Depkes, 2004). Bayi yang lahir dengan

berat badan kurang, akan cenderung mengalami status gizi kurang atau buruk

daripada bayi yang lahir dengan berat badan yang cukup. Hal ini akibat kurang

maturnya organ-organ pencernaan dan beresiko untuk lebih sering terkena

infeksi (Arisman, 2004).

Tidak hanya riwayat BBLR saja yang dapat mempengaruhi status gizi

balita, tetapi banyak faktor yang mempengaruhi status gizi balita di antaranya

faktor langsung dan tidak langsung. Yang termasuk dalam faktor yang

mempengaruhi status gizi secara langsung di antaranya asupan makanan yang

dikonsumsi oleh balita yang dapat ditentukan dari kualitas dan kuantitas

makanannya. Kualitas makanan menunjukkan adanya zat gizi yang diperlukan

tubuh, sedangkan kuantitas menunjukkan frekuensi makan dan jumlah

35

Page 36: BAB I Daftarpusta

makanan terhadap kebutuhan tubuh. Sebaliknya konsumsi yang kurang dari

makanan baik segi kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan gangguan

status gizi (Santoso, 2001).Faktor yang mempengaruhi status gizi secara

langsung yang lainnya adalah infeksi.Terdapat hubungan yang erat antara

infeksi dengan malnutrisi. Ada interaksi timbal balik antara status gizi dengan

penyakit infeksi (Supariasa dkk, 2002). Infeksi dapat menyebabkan gangguan

gizi melalui beberapa cara yaitu mempengaruhi nafsu makan, gangguan

absorbsi karena diare atau muntah serta gangguan metabolisme makanan

(Santoso, 2001).

Dan yang termasuk dalam faktor yang mempengaruhi status gizi secara

tidak langsung di antaranya adalah praktek pemberian makanan. Dalam

memberikan makanan pada bayi dan anak perlu memperhatikan waktu

pemberian, porsi makanan, frekuensi makan, jenis bahan makanan, dan cara

pemberiannya. Pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu awal pada

bayi menyebabkan anak tidak dapat menghisap semua ASI yang dihasilkan

oleh ibunya, sehingga mengakibatkan bayi kekurangan zat gizi yang

berkualitas tinggi. Sedangkan penundaan pemberian MP-ASI setelah bayi

berumur 6 bulan juga dapat mengakibatkan anak kekurangan zat gizi

(Suhardjo, 2008).

Faktor yang lainnya yaitu faktor ekonomi yang dapat mempengaruhi

ketersediaan pangan (Supariasa dkk, 2002), faktor sosial budaya seperti

adanya kepercayaan atau budaya yang memandang makanan tertentu sebagai

pantangan. Padahal dari segi gizi, makanan tersebut baik untuk tubuh. Praktek

semacam ini justru banyak dijumpai pada golongan rawan gizi yaitu bayi,

balita, ibu hamil, dan ibu menyusui (Budiyanto,2002). Faktor seperti

pendidikan dan pengetahuan, faktor lingkungan, dan faktor pelayanan

kesehatan juga dapat mempengaruhi status gizi secara tidak langsung.

Secara statistik penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan

pemberian ASI eksklusif terhadap status gizi balita. Pada penelitian

sebelumnya juga diungkapkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak ada

perbedaan antara kelompok balita dengan status gizi baik dan status gizi

36

Page 37: BAB I Daftarpusta

kurang. Gangguan status gizi yang berakibat pada gangguan pertumbuhan

anak dikarenakan kekurangan gizi pada saat janin, tidak memberikan ASI

eksklusif, dan pemberian MP-ASI yang terlalu dini (Arnisam 2007).

Penelitian ini mendukung penelitian Supraptini (2001) dimana berdasarkan

hasil survey kesehatan nasional diungkapkan bahwa cakupan ASI eksklusif di

Indonesia hanya mencapai 47%, dan pada daerah pedesaan lebih tinggi dari

pada daerah perkotaan. Berbeda hal dengan penelitian Suryoprajogo (2009)

bahwa ASI merupakan nutrisi terbaik pada awal usia kehidupan bayi. ASI

ibarat emas yang diberikan gratis oleh Tuhan karena ASI adalah cairan hidup

yang dapat menyesuaikan kandungan zatnya yang dapat memenuhi kebutuhan

gizi bayi). Seperti yang terkandung dalam firman Allah SWT di QS. Al

Baqaraah ayat 233 yang menjelaskan bahwa ASI itu sangat penting untuk

diberikan kepada bayi.

Hubungan asupan makanan terhadap status gizi balita mendukung teori

yang menyebutkan bahwa asupan makanan tergantung pada tingkat konsumsi.

Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas makanan. Kualitas

makanan menunjukkan adanya zat gizi yang diperlukan tubuh, sedangkan

kuantitas menunjukkan frekuensi makan dan jumlah makanan terhadap

kebutuhan tubuh. Sebaliknya konsumsi yang kurang dari makanan baik segi

kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan gangguan status gizi (Santoso,

2001).

Firman Allah SWT dalam Q.S. Albaqaraah ayat 172 yang berbunyi:

�َه�ا ُّي� �اَأ �َن� ُّي �ِذُّي �ْو�ا اَّل �ْو�ا ٓاَم�ُن �ُل �اِت َمَن� ُك �َب �ْم� َط�ِّي �ُك ْق�ُن َز� َم�اَر�

Artinya:

“ Hai orang – orang beriman makanlah diantara rizki yang baik yang kami

berikan kepadamu “ ( QS. Albaqarah: 172 )

Pada dasarnya semua makanan adalah halal untuk dimakan, kecuali

dilarang agama karena berbahaya untuk kesehatan. Sedangkan yang

membahayakan dan mengandung mudlarat ( merusak ) dilarang keras oleh

agama.

37

Page 38: BAB I Daftarpusta

Syamsu Khaldun (2007) mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang

mendasari terjadinya pemberian makanan yang tidak adekuat (cukup) dan

timbulnya penyakit infeksi yaitu rendahnya akses memperoleh makanan

dalam rumah tangga, rendahnya pelayanan kesehatan dan lingkungan yang

tidak sehat, serta rendahnya perhatian kepada anak dan ibu. Soekirman (2000),

status gizi tidak baik disebabkan asupan energi maupun protein tidak baik pula

selain itu disebabkan karena faktor ekonomi keluarga yang kurang sehingga

menyebabkan terbatasnya daya beli terhadap bahan makanan sehingga

mempengaruhi variasi menu yang disajikan. Selain itu penyakit infeksi turut

mempengaruhi asupan makanan dan status gizi dari anak.

Menurut Jean Baker dalam jurnal Syamsu Khaldun (2007)

mengungkapkan bahwa pada 30 tahun terakhir berjuta-juta anak meninggal

karena malnutrisi. Lebih dari separuh anak balita meninggal karena malnutrisi

baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebab utama kematian pada

balita malnutrisi adalah diarhea, pneumonia, malaria, measles dan AIDS serta

penyakit infeksi lainnya.

Supariasa (2002) menyebutkan bahwa pekerjaan orang tua, pendapatan

keluarga, dan pengeluaran keluarga merupakan faktor sosial ekonomi yang

dapat mempengaruhi status gizi balita. Pekerjaan orangtua mempunyai

hubungan dengan status gizi pada balita, dimana pekerjaan sangat erat

kaitannya dengan faktor ekonomi, faktor ekonomi berperan langsung terhadap

konsumsi makanan terutama mempengaruhi daya beli terhadap makanan dan

kualitas bahan makanan yang dikonsumsi. Perekonomian merupakan

determinan penting yang mempengaruhi asupan makanan. Asupan makanan

seseorang dipengaruhi oleh taraf ekonominya, seperti golongan masyarakat

ekonomi kuat mempunyai kebiasaan makan dengan konsumsi rata-rata

melebihi angka kecukupannya. Sebaliknya golongan ekonomi lemah pada

umumnya mempunyai kebiasaan makan yang memberikan nilai gizi dibawah

kecukupan jumlah maupun mutunya (Khumaidi, 2004). Pada pekerjaan ibu,

ibu yang tidak memiliki pekerjaan cenderung memiliki anak dengan status gizi

baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Arnisam (2007), dimana paling banyak

38

Page 39: BAB I Daftarpusta

responden 85% ibu tidak bekerja dan 15% ibu yang bekerja di luar rumah. Ibu

yang bekerja diluar rumah memiliki balita dengan gizi kurang, sedangkan ibu

yang tidak bekerja cenderung mempunyai balita dengan gizi baik. Dengan

kata lain ibu yang tidak memiliki pekerjaan akan lebih memberikan perhatian

terhadap anaknya sehingga dapat mempengaruhi status gizi anaknya. Syamsu

Khaldun (2007) mengungkapkan bahwa prevalensi underweight anak dibawah

tiga tahun di Bostwana lebih rendah dari orangtua balita yang bekerja di sektor

pertanian, daripada orangtua yang bekerja di sektor perdagangan.

Secara statistik dalam penelitian ini, tingkat pendidikan ayah dan ibu

tidak berhubungan terhadap status gizi balita. Tetapi disebutkan bahwa

pendidikan orang tua yang tinggi mempunyai dampak status gizi keluarga

yang baik, sebaliknya pendidikan orang tua yang rendah akan mempunyai

status gizi yang kurang. status ekonomi dan pendidikan ibu mempunyai

hubungan yang negatif terhadap kesehatan dan status gizi balita. Karena status

ekonomi dan pendidikan ibu yang rendah akan mempengaruhi terpaparnya

penyakit infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini dikarenakan antara

pendidikan dan pengetahuan orang tua akan pemenuhan status gizi balita

adalah suatu hal yang berbeda, semakin tinggi pendidikan orang tua belum

tentu tingkat pengetahuannya akan pemenuhan status gizinya tinggi (Mashal,

2008). Hal tersebut berbeda dengan yang diungkapkan oleh Syamsu Khaldun

(2007) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka semakin rendah

angka gizi buruk pada anak balita.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah adanya recall bias data riwayat

berat lahir, riwayat penyakit, dan pola makan balita dari wawancara serta saat

mengantar ke Posyandu dengan mengingat kejadian masa lalu. Keterbatasan

lainnya dalam penelitian ini adalah instrumen penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini (timbangan dacin dan mikrotoa) untuk mengukur berat

badan dan tinggi badan balita pada saat pengumpulan data berbeda-beda di

setiap Posyandu.

39

Page 40: BAB I Daftarpusta

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini maka

penulis dapat menarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara riwayat

BBLR dengan status gizi kurang atau buruk pada anak balita di Kelurahan

Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta (P Value =

0,000). Anak balita yang memiliki riwayat BBLR meningkatkan risiko sebesar

7 kali untuk menyebabkan terjadinya status gizi kurang atau buruk

dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat BBLR. Hasil penelitian ini

berhubungan secara statistik dengan interval kepercayaan 95 % dan tidak

melewati angka 1, dengan demikian maka nilai rasio prevalens tersebut

bermakna.

B. Saran

1. Bagi Petugas Kesehatan Puskesmas Gedongtengen sebaiknya lebih di

tingkatkan kembali dalam memberikan penyuluhan kepada orang tua atau

masyarakat luas demi peningkatan pengetahuan orangtua yang memiliki

bayi dengan berat lahir rendah agar status gizinya baik.

2. Bagi Kader Kesehatan sebaiknya lebih memberikan motivasi kepada orang

tua balita untuk melakukan penimbangan secara rutin setiap bulannya di

Posyandu.

3. Bagi Orang tua balita untuk selalu memperhatikan status gizi balitanya

dengan member asupan makanan yang cukup dan bergizi seimbang serta

melakukan penimbangan yang dilakukan setiap bulannya di Posyandu.

40

40

Page 41: BAB I Daftarpusta

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Arisman. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi, Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.

Arnisam. 2007. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan status gizi anak usia 6-24 bulan. Diunduh pada 10 Maret 2011 dari http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_i

d=35919&obyek_id=4.

Baliwati, Y.F., Ali K., Meti D. 2006. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Biro Pusat Statistik. 2008. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Biro Pusat Statistik.

Budiyanto, A.K. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM Pres.

Dahlan, S., 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Depkes RI. 2006. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depkes.

Dinkes Kota Yogyakarta, 2010. Status Gizi Balita dan Kecamatan Rawan Gizi Kota Yogyakarta Tahun 2010. Yogyakarta: Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.

Dinkes Kota Yogyakarta. 2009. Profil Kesehatan Kota Yogyakarta Tahun 2009. Yogyakarta: Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.

Dinkes Provinsi DIY. 2008. Profil Kesehatan Propinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2008. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY.

Dinkes Provinsi DIY. 2009. Profil Kesehatan Propinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2009. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY.

41

Page 42: BAB I Daftarpusta

Dinkes Provinsi DIY. 2010. Profil Kesehatan Propinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2010. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY.

IDAI. 2009. Perawatan Bayi Berat Lahir rendah. Diunduh pada 12 Maret 2011 dari http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=1978415143631

Khumaidi, M. 1994. Gizi Masyarakat. Jakarta: Gunung Mulia.

Manuaba, I. B. G. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

Menteri Kesehatan RI. 2005. Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (BALITA). Jakarta: Depkes.

Nelson, 2007. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 . Buku Kedokteran EGC cetak ke-1 , Brehman.

Niken, Safitri. 2010. Hubungan antara Riwayat BBLR dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Banguntapan I Bantul Yogyakarta. Yogyakarta. UGM

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurhadi. 2006. Faktor Risiko Ibu dan Layanan Antenatal terhadap Kejadian BBLR. Diunduh pada 12 Maret 2011 dari http://eprints.undip.ac.id/18468/1/NURHADI.pdf

Proverawati, Atikah. 2010. Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta: nuha Medika

Riwidikdo, H. 2009. Statistik Penelitian Kesehatan dengan Aplikasi Program R dan SPSS. Yogyakarta: Pustaka Rihama.

Saifuddin, Abdul Bari. 2002. Asuhan Bayi Baru Lahir,Buku Panduan Praktis Pelayanan Maternal dan Neonatal. Jakarta: EGC

Santoso, S., Anne L.R. 2001. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta.

Sastroasmoro, S. 2007. Dasar- Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.

Sediaoetama, A.D. 2004. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat.

Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

42

Page 43: BAB I Daftarpusta

Suhardjo. 2008. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Fakultas Peternakan IPB.

Supariasa, I.D.N., Bachtiar B., Ibnu F. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Supraptini; Lubis, Agustina; dan Irianto, joko. 2003. Cakupan Imunisasi Balita Dan Asi Eksklusif Di Indonesia, Hasil Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas). Jurnal Ekologi Kesehatan. 2(2): 249-254

Syamsu Khaldun, 2007. Jurnal Sains & Teknologi. Makassar. Universitas Hasanuddin

UNDP. 2009. Millenium Development Goals. Diunduh pada 2 Maret 2011 dari http://www.undp.org/mdg/basics.shtml.

WHO. 2008. Global Database on Child Growth. Diunduh pada tanggal 10 Maret 2011 dari http://www.who.int/en/

Winknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

43