BAB I Daftarpusta
-
Upload
maulan-saputra -
Category
Documents
-
view
67 -
download
4
Transcript of BAB I Daftarpusta
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan statistik kesehatan dunia, gizi buruk merupakan penyebab
dari sepertiga kematian anak usia dibawah 5 tahun. Walaupun angka gizi
buruk menurun dari 25% di tahun 1990 menjadi 18% di tahun 2005, tetapi
kemajuan tersebut belum merata di semua negara (WHO, 2008). Hampir 90
persen kematian anak balita terjadi di negara berkembang. Angka mortalitas
akibat gizi buruk rata-rata di negara berkembang berkisar sekitar 115-180 per
1000 anak usia dibawah 5 tahun (Nelson, 2007).
Millennium Development Goals (MDGs) adalah delapan tujuan yang
diupayakan untuk dicapai pada tahun 2015, merupakan tantangan utama dalam
pembangunan di seluruh dunia. Salah satu sasaran dalam MDGs adalah
mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun
(UNDP, 2009). Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani
komitmen tersebut oleh karena itu kini MDGs telah menjadi referensi penting
bagi pembangunan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan
nasional yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri
(Baliwati, dkk, 2006).
Balita merupakan golongan paling rawan gizi. Masa balita merupakan
periode emas dalam masa tumbuh kembang, khususnya sampai usia dua
tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan yang cepat dan menyolok,
sehingga diperlukan zat-zat makanan yang relatif lebih banyak dengan kualitas
yang lebih tinggi. Hasil pertumbuhan setelah menjadi manusia dewasa, sangat
tergantung dari kondisi gizi dan kesehatan sewaktu masa balita. Pertumbuhan
otak yang menentukan tingkat kecerdasan setelah menjadi dewasa, sangat
ditentukan oleh pertumbuhan waktu balita. Kekurangan gizi pada fase
pertumbuhan akan menghasilkan manusia dewasa dengan sifat-sifat
berkualitas inferior (Sediaoetama, 2002).
1
1
Salah satu indikator derajat kesehatan adalah Angka Kematian Balita
(AKABA). AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak
dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesehatan anak balita seperti gizi,
sanitasi, penyakit menular, dan kecelakaan. Pada tahun 2010, target nasional
untuk angka kematian balita yaitu 58 per 1000 kelahiran hidup. Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menyebutkan bahwa
angka kematian balita di Yogyakarta 22 per 1000 kelahiran (BPS, 2008).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, untuk angka Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di Pulau Jawa, Propinsi DI Yogyakarta
menempati peringkat kedua setelah Propinsi DKI Jakarta. Namun gizi buruk
pada balita di Propinsi DI Yogyakarta masih menjadi masalah utama.
Kejadian gizi buruk di Kota Yogyakarta yakni Ibukota Propinsi DI
Yogyakarta, selalu menduduki peringkat pertama diantara 4 kabupaten lainnya
selama 2 tahun terakhir dan persentasenya meningkat. Pada tahun 2008
sebanyak 1,11% (184 balita) dan tahun 2009 sebanyak 1,22% (198 balita).
Persentase balita yang berada di bawah garis merah di Kota Yogyakarta juga
selalu menjadi peringkat pertama di Propinsi DI Yogyakarta dari tahun 2007
sampai 2009, tahun 2007 sebanyak 3,19% (684 balita), tahun 2008 sebanyak
3,80% (627 balita), dan tahun 2009 sebanyak 4,33% (706 balita) (Dinkes
Propinsi DIY; 2008, 2009, 2010).
Di Propinsi DI Yogyakarta menurut data tahun 2010, Kecamatan
Gedongtengen adalah satu-satunya kecamatan yang rawan gizi. Kecamatan
rawan gizi adalah kecamatan dengan persentase gizi kurang dan gizi buruk
lebih dari 15%. Kecamatan tersebut terbagi menjadi dua kelurahan yaitu
Kelurahan Pringgokusuman dan Kelurahan Sosromenduran. Persentase kasus
balita gizi kurang paling banyak terjadi di Kelurahan Pringgokusuman yaitu
sebanyak 5,6% (35 balita), sedangkan di Kelurahan Sosromenduran sebanyak
4,04% (16 balita). Salah satu indikator kecamatan rawan gizi adalah jumlah
keluarga miskin. Di Kelurahan Pringgokusuman persentase keluarga miskin
mencapai 25,87%, yaitu urutan tertinggi kedua di Kota Yogyakarta (Dinkes
Kota Yogyakarta, 2010).
2
Sementara diketahui di Kota Yogyakarta, angka kelahiran bayi dengan
berat lahir rendah (BBLR) menunjukkan peningkatan pada tahun yang sama
yaitu tahun 2008-2009. Berikut ini adalah grafik peningkatan dan penurunan
angka kelahiran BBLR di kota Yogyakarta (Dinkes Kota, 2009).
Gambar 1. Presentase BBLR di Kota Yogyakarta Tahun 2002 – 2009
Bayi dengan berat badan lahir rendah mengalami pertumbuhan dan
perkembangan lebih lambat. Keadaan ini menjadi lebih buruk lagi jika BBLR
kurang mendapat asupan energi dan zat gizi, mendapat pola asuh yang kurang
baik dan sering menderita penyakit infeksi. Pada akhirnya bayi BBLR
cenderung mempunyai status gizi kurang atau buruk (Arnisam, 2007). Dalam
profil kesehatan kota tahun 2009, disebutkan bahwa bayi dengan BBLR
memiliki pengaruh besar terhadap kejadian balita dengan berat badan di
bawah garis merah dan hal ini menentukan pertumbuhan anak di masa yang
akan datang.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat atau
mengetahui apakah ada hubungan antara riwayat BBLR dengan status gizi
pada anak balita di Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen,
Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang
didapat adalah “Adakah hubungan antara riwayat BBLR dengan status gizi
3
pada anak balita di Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen,
Yogyakarta ?”.
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara riwayat BBLR dengan status
gizi pada anak balita di Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan
Gedongtengen, Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
1. Teoritis
Dapat memperkaya bukti empiris bahwa riwayat BBLR merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita.
2. Praktis
a. Bagi Tenaga Kesehatan
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai dasar untuk
merencanakan peningkatan pelayanan pada bayi dengan berat badan
lahir rendah agar status gizinya baik.
b. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan peneliti
selanjutnya untuk memperoleh informasi ilmiah mengenai hubungan
riwayat BBLR dengan status gizi pada balita.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bayi Berat Lahir Rendah
1. Pengertian
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang
berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499
gram) (Saifuddin, 2002), tanpa memandang masa gestasi yang ditimbang
dalam waktu 1 (satu) jam pertama setelah lahir. (IDAI, 2009).
WHO telah mengganti istilah premature baby dengan low birth
weight baby (bayi dengan berat lahir rendah = BBLR). Hal ini
disebabkan karena tidak semua bayi dengan berat lahir kurang dari 2500
gram adalah prematur. Keadaan ini disebabkan oleh, pertama, masa
kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat yang sesuai (masa
kehamilan dihitung mulai hari pertama haid terakhir dari haid yang
teratur), kedua, bayi small for gestasional age (SGA) yaitu bayi yang
beratnya kurang dari berat semestinya menurut masa kehamilannya (kecil
untuk masa kehamilan = KMK); ketiga, kedua-duanya (Winkjosastro,
2007).
2. Etiologi
Menurut Manuaba (2010) terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya persalinan dengan berat bayi lahir rendah, yaitu:
a) Faktor ibu : gizi saat hamil, umur, jarak kehamilan, penyakit
menahun (penyakit sistemik) ibu yaitu hipertensi, penyakit jantung,
gangguan pembuluh darah (perokok), faktor pekerja yang terlalu
berat.
b) Faktor kehamilan : hamil dengan hidramnion, hamil ganda,
perdarahan antepartum, komplikasi hamil yaitu preeklampsia/
eklampsia, dan KPD.
5
5
c) Faktor janin : kelainan kongenital, infeksi dalam rahim, dan lain-
lain.
d) Faktor yang masih belum diketahui
3. Diagnosis
Dalam mendiagnosa bayi dengan BBLR maka hal-hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
a) Penghitungan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT)
b) Penilaian secara klinis: berat badan, panjang badan, lingkar dada,
dan lingkar kepala.
(Proverawati dan Ismawati, 2010)
4. Klasifikasi
Menurut Saifuddin (2002), bayi berat lahir rendah dibedakan dalam:
a) Bayi berat lahir rendah (BBLR), berat lahir 1500-2500 gram.
b) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR), berat lahir <1500 gram.
c) Bayi berat lahir ekstrem rendah (BBLER), berat lahir <1000 gram.
Menurut Proverawati dan Ismawati, ada beberapa cara
mengelompokkan bayi BBLR, salah satunya adalah berdasarkan masa
gestasinya, yaitu:
1. Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan
berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi, atau
biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan
(NKB-SMK).
2. Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat
badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Bayi mengalami retardasi
pertumbuhan intrauterine dan merupakan bayi yang kecil untuk masa
kehamilannya (KMK)
6
Menurut berat badan dan masa kehamilannya (Wiknjosastro, 2007),
dibagi menjadi:
a) Bayi sesuai masa kehamilan (SMK)/ bayi prematur
Masa kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat yang sesuai.
Pada tabel growth charts of weights against gestation, berat badan
bayi terletak di antara presentil ke-10 dan ke-90.
b) Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK)
Disebut juga small for gestational (SGA). Yaitu bayi yang beratnya
kurang dari berat semestinya menurut masa kehamilannya. Pada
tabel growth charts of weights against gestation, berat badan bayi
terletak di bawah presentil ke-10.3
5. Prognosis
Prognosis bayi berat lahir rendah ini tergantung dari berat ringannya
masalah perinatal, misalnya masa gestasi (makin muda masa
gestasi/makin rendah berat bayi makin tinggi angka kematian),
asfiksia/iskemia otak, sindroma gangguan pernapasan, perdarahan
intraventrikuler, displasia bronkopulmonal, infeksi, gangguan metabolik
(asidosis, hipoglikemia, hiperbilirubinemia). Prognosis ini juga
tergantung dari keadaan sosial ekonomi, pendidikan orang tua dan
perawatan pada saat kehamilan, persalinan, dan postnatal yaitu
pengaturan suhu lingkungan, resusitasi, makanan, mencegah infeksi,
mengatasi gangguan pernapasan, asfiksia, hiperbilirubinemia,
hipoglikemia, dan lain-lain (Winkjosastro, 2007).
6. Pengamatan Lanjut
Bila bayi berat lahir rendah ini dapat mengatasi problematik yang
dideritanya, maka perlu diamati selanjutnya oleh karena kemungkinan
bayi ini akan mengalami gangguan pendengaran, penglihatan, kognitif,
7
fungsi motor susunan saraf pusat, dan penyakit-penyakit seperti
hidrosefalus, cerebral palsy, dan sebagainya (Winkjosastro, 2007).
B. Status Gizi
1. Pengertian
Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi
melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme
dan pengeluaran zat sisa yang tidak digunakan untuk menghasilkan energi
serta mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi organ-organ
tubuh (Supariasa dkk, 2002).
Menurut Almatsier (2001), zat gizi adalah ikatan kimia yang
diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi,
membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses
kehidupan.
Status gizi adalah suatu kondisi seseorang yang dapat diukur baik
secara antopometri maupun klinik sebagai respon dari asupan makanan
dalam jangka waktu tertentu (Depkes RI, 2006). Menurut Supariasa dkk
(2002), status gizi merupakan keadaan tubuh akibat keseimbangan antara
konsumsi dengan penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
a. Faktor yang mempengaruhi secara langsung :
1) Asupan makanan
Asupan makanan tergantung pada tingkat konsumsi.
Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas
makanan. Kualitas makanan menunjukkan adanya zat gizi yang
diperlukan tubuh, sedangkan kuantitas menunjukkan frekuensi
makan dan jumlah makanan terhadap kebutuhan tubuh.
Sebaliknya konsumsi yang kurang dari makanan baik segi
kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan gangguan status
gizi (Santoso, 2001). Rata-rata bayi sehat yang mendapatkan ASI,
harus mendapatkan makanan tambahan sebanyak sua sampai tiga
8
kali sehari pada usia 6-8 bulan dan tiga sampai empat kali per hari
antara usia 9-24 bulan, dengan tambahan makanan selingan
sebanyak satu sampai dua kali per harinya.
2) Infeksi
Terdapat hubungan yang erat antara infeksi dengan
malnutrisi. Ada interaksi timbal balik antara status gizi dengan
penyakit infeksi (Supariasa dkk, 2002). Infeksi dapat
menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu
mempengaruhi nafsu makan, gangguan absorbsi karena diare atau
muntah serta gangguan metabolisme makanan (Santoso, 2001).
b. Faktor yang mempengaruhi secara tidak langsung
1) Praktek Pemberian Makanan
Dalam memberikan makanan pada bayi dan anak perlu
memperhatikan waktu pemberian, porsi makanan, frekuensi
makan, jenis bahan makanan, dan cara pemberiannya. Pemberian
makanan pendamping ASI yang terlalu awal pada bayi
menyebabkan anak tidak dapat menghisap semua ASI yang
dihasilkan oleh ibunya, sehingga mengakibatkan bayi kekurangan
zat gizi yang berkualitas tinggi. Sedangkan penundaan pemberian
MP-ASI setelah bayi berumur 6 bulan juga dapat mengakibatkan
anak kekurangan zat gizi (Suhardjo, 2008).
2) Faktor Ekonomi
Penghasilan keluarga merupakan faktor yang berperan
langsung terhadap konsumsi makanan terutama mempengaruhi
daya beli terhadap makanan dan kualitas bahan makanan yang
dikonsumsi. Perekonomian merupakan determinan penting yang
mempengaruhi asupan makanan. Asupan makanan seseorang
dipengaruhi oleh taraf ekonominya, seperti golongan masyarakat
ekonomi kuat mempunyai kebiasaan makan dengan konsumsi
rata-rata melebihi angka kecukupannya. Sebaliknya golongan
ekonomi lemah pada umumnya mempunyai kebiasaan makan
9
yang memberikan nilai gizi dibawah kecukupan jumlah maupun
mutunya (Khumaidi, 2004).
Ketersediaan pangan juga dipengaruhi beberapa sektor
salah satunya faktor ekonomi (Supariasa dkk, 2002). Golongan
rawan gizi seperti bayi, balita, ibu hamil dan ibu menyusui sering
kali mengalami keadaan gizi kurang yang dimungkinkan akibat
distribusi pangan dalam keluarga yang tidak merata (Khumaidi,
2004).
3) Faktor Sosial Budaya
Aspek sosial-budaya merupakan fungsi yang berkembang di
masyarakat sesuai dengan keadaan lingkungan, adat istiadat,
kebiasaan, dan pendidikan serta pengetahuan masyarakat tersebut.
Adanya kepercayaan atau budaya yang memandang makanan
tertentu sebagai pantangan. Padahal dari segi gizi, makanan
tersebut baik untuk tubuh. Praktek semacam ini justru banyak
dijumpai pada golongan rawan gizi yaitu bayi, balita, ibu hamil,
dan ibu menyusui (Budiyanto,2002).
4) Pendidikan dan Pengetahuan
Pendidikan dan pengetahuan dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam penyiapan, penyajian dan
penyimpanan makanan serta sedikit banyak mempengaruhi
kemampuan dalam menyerap pengetahuan tentang gizi karena
tidak sedikit keluarga yang tidak tahu bagaimana pemberian
makanan yang tepat atau belum mampu menyediakan makanan
yang bernilai gizi baik (Budiyanto, 2002).
5) Faktor Lingkungan
Kebersihan lingkungan maupun kebersihan dalam
penyiapan, penyajian dan penyimpanan makanan yang buruk,
akan memudahkan anak terserang penyakit seperti gangguan
pencernaan, gangguan pernapasan, dan penyakit parasit
(Budiyanto, 2002).
10
6) Faktor Pelayanan Kesehatan
Berperan penting dalam menyokong status kesehatan dan
gizi anak tidak hanya dari segi kuratif atau rehabilitatif, tetapi
juga mengutamakan promotif dan preventif (Supariasa dkk,
2002).
3. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi dapat secara langsung maupun tidak langsung
(Supariasa dkk, 2002).
a. Penilaian Langsung
1) Antopometri
Ditinjau dari sudut pandang gizi, antopometri berarti
pengukuran berbagai macam dimensi tubuh pada berbagai tingkat
umur dan tingkat gizi yangsecara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan pola pertumbuhan fisik dan proporsi tubuh.
Metode ini dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada
periode tertentu dan menggambarkan riwayat gizi di masa
lampau. Indeks penilaian status gizi berdasarkan antopometri
adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut
umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan(BB/TB), dan
lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U).
2) Klinis
Metode ini didasari atas perubahan yang terjadi
berhubungan dengan ketidakcukupan zat gizi. Digunakan untuk
mendeteksi tanda-tanda klinis kekurangan zat gizi dengan
melakukan pemeriksaan fisik, tanda gejala, atau riwayat penyakit.
3) Biokimia
Penilaian status gizi berdasarkan pemeriksaan yang diuji
secara laboratoris pada berbagai jaringan tubuh, antara lain darah,
urine, feses, atau jaringan hati dan otot. Digunakan untuk
menentukan kemungkinan terjadi keadaan malnutrisi yang parah
dan kekurangan gizi yang lebih spesifik.
11
4) Biofisik
Merupakan metode penentuan status gizi dengan melihat
kemampuan fungsi dan perubahan struktur jaringan tubuh, seperti
buta senja epidemik dengan cara tes adaptif gelap.
b. Penilaian Tidak Langsung
1) Survei Konsumsi Makanan
Adalah metode penentuan status gizi dengan melihat jumlah
dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Berguna untuk memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,
keluarga dan individu.
2) Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan menganalisis data statistik
kesehatan seperti angka kematian, angka kesakitan dan kematian
akibat penyebab tertentu yang berhubungan dengan gizi.
3) Ekologi
Mengungkapkan bahwa masalah gizi merupakan hasil
interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan budaya. Pengukuran
secara ekologi dilakukan sebagai dasar untuk melakukan program
intervensi gizi.
12
4. Kelebihan dan Keterbatasan Pengukuran Antopometri
Tabel 1. Kelebihan dan Keterbatasan Pengukuran Antopometri
Kelebihan Keterbatasan
1. Alat mudah didapatkan dan
digunakan
2. Pengukuran tidak hanya dapat
dilakukan oleh tenaga profesional
khusus
3. Pengukuran dapat dilakukan
berulang-ulang dan objektif
4. Biaya relatif murah Prosedur
sederhana dan aman
1. Tidak mendapatkan informasi
mengenai kekurangan gizi
mikro
2. Dapat terjadi kesalahan
pengukuran yang disebabkan
latihan petugas yang tidak
cukup, kesalahan pada alat
maupun kesulitan dalam
pengukuran.
Sumber : Supariasa dkk. 2002.
5. Teknik Pengukuran Status Gizi dengan Antopometri
a. Indeks BB/U
Usia merupakan faktor penting dalam penentuan status gizi.
Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan menjadi tidak berarti
bila tidak disertai penentuan umur yang tepat. Sedangkan berat badan
merupakan ukuran antopometri terpenting dan paling sering
digunakan. Dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan baik
dan terdapat keseimbangan konsumsi makanan dengan kebutuhan zat
gizi terpenuhi, berat badan akan berkembang seiring dengan
pertambahan umur (Supariasa dkk, 2002).
Kelebihan dari indeks BB/U yaitu
1) Mudah dan cepat dimengerti
2) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis
3) Dapat mendeteksi kegemukan (over weight)
Kelemahan indeks BB/U antara lain
1) Dapat terjadi kesalahan dalam penaksiran umur
2) Sering terjadi kesalahan dalam penimbangan, seperti pengaruh
pakaian atau gerakan anak saat ditimbangan.
13
b. Indeks TB/U
Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif
jika dibandingkan berat badan. Indeks ini menggambarkan status gizi
masa lalu.
Kelebihan indeks TB/U yaitu
1) Digunakan untuk mengetahui status gizi masa lampau
2) Ukuran panjang dapat dibuat sendiri dan mudah dibawa
Kelemahan indeks TB/U antara lain
1) Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif jika
dibandingkan berat badan.
2) Pengukuran relatif lebih sulit karena anak harus dalam keadaan
tegap, sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya
3) Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran
c. Indeks BB/TB
Dalam keadaan normal, peningkatan berat badan akan searah
dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks
ini dapat digunakan untuk menilai status gizi saat kini.
Kelebihan indeks BB/TB yaitu
1) Tidak memerlukan data umur
2) Untuk membedakan proporsi tubuh (gemuk, normal, kurus)
Kelemahan indeks BB/TB antara lain
1) Sering terjadi kesulitan dalam pengukuran panjang / tinggi badan
dalam kelompok bayi / balita
2) Membutuhkan dua macam alat ukur
3) Pengukuran relatif lebih lama,
4) Membutuhkan lebih dari dua orang untuk melakukannya
5) Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran
14
6. Klasifikasi Status Gizi
Sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan RI No:
920/Menkes/SK/VIII/2002 tentang klasifikasi status gizi anak balita
bahwa sesuai dengan perkembangan ilmu, teknologi serta hasil temu
pakar gizi di Indonesia pada bulan mulai Mei tahun 2000 di Semarang,
standar baku antropometri yang digunakan secara nasional di Indonesia
disepakati menggunakan standar baku World Health Organization –
National Center for Health Statistics (WHO-NCHS). Di bawah ini
merupakan klasifikasi status gizi balita menurut standar WHO-2005,
dimana klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Tabel 2: Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (BALITA)
INDEKS STATUS GIZI AMBANG BATAS *)
Berat Badan Menurut Gizi Lebih >+ 2 SD
Umur (BB/U) Gizi Baik ≥ - 2 SD sampai + 2 SD
Gizi Kurang < -2 SD sampai ≥ -3 SD
Gizi Buruk < - 3 SD
Tinggi Badan Menurut Normal ≥ 2 SD
Umur (TB/U) Pendek (stunted) < -2 SD
Sangat Pendek < -3 SD
Berat Badan Menurut Obesitas >+ 3 SD
Tinggi Badan (BB/TB) Gemuk >+ 2 SD
Risiko Gemuk >+ 1 SD
Normal ≥ -2 SD sampai + 2 SD
Kurus (wasted) < -2 SD sampai ≥ -3 SD
Kurus Sekali < -3 SD
Sumber : WHO (2005)
15
Pada prinsipnya penggunaan standar baku antropometri pada suatu
negara didasari kesepakatan bersama pada bidang ini, dengan melalui
penyesuaian-penyesuaian di masing-masing negara termasuk Indonesia
yang sudah dimodifikasi dari standar baku WHO-2005.
C.Hubungan antara BBLR dengan status gizi
BBLR merupakan faktor risiko kematian bayi dan balita di
Indonesia. BBLR menjadisalah satu masalah gizi makro karena berisiko
menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan mental
anak serta mempengaruhi tingkat kecerdasannya yang berdampak pada
kualitas generasi penerus bangsa (Depkes, 2004). Status gizi balita
berhubungan erat dengan berat badannya saat lahir. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa berat lahir yang cukup akan memberikan efek baik
pada pertumbuhan mendatang. Menurut Arisman (2004), bayi yang
lahir dengan berat badan kurang, akan cenderung mengalami status gizi
kurang atau buruk daripada bayi yang lahir dengan berat badan yang
cukup. Hal ini akibat kurang maturnya organ-organ pencernaan dan
beresiko untuk lebih sering terkena infeksi. Status gizi ibu saat terjadi
konsepsi mempengaruhi lahirnya BBLR, sedangkan status gizi pada
saat konsepsi dipengaruhi oleh keadaan sosial dan ekonomi ibu sebelum
hamil, kesehatan ibu, jarak kelahiran, parietas, dan usia kehamilan
pertama.
16
Berat Badan Lahir
BBLRTidak BBLR
Faktor IbuFaktor Kehamilan Faktor JaninFaktor yang tidak diketahui
Faktor secara langsung :
Asupan makananInfeksi
Faktor tidak langsung :Praktek pemberian makananFaktor ekonomiFaktor sosial budayaPendidikan & pengetahuanFaktor lingkunganFaktor pelayanan kesehatan
Status Gizi
Gizi baikGizi lebih Gizi kurang Gizi buruk
Balita
D. Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
: Yang diteliti
: Yang tidak diteliti
17
E. Hipotesis
Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara riwayat BBLR
dengan kejadian status gizi kurang pada anak balita.
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari
dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point
time approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja
dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada
saat pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua objek penelitian diamati
pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2010). Dalam hal ini, penelitiannya
adalah untuk menentukan hubungan antara riwayat bayi berat lahir rendah
(BBLR) dengan status gizi balita.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat dilaksanakannya penelitian ini adalah di Posyandu-posyandu di
Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan sesuai dengan jadwal pelaksanaan Posyandu pada
bulan Desember 2011 sampai Februari tahun 2012.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
anak balita di Kelurahan Pringgokusuman, Gedongtengen, Yogyakarta
sebanyak 162 balita.
19
19
2. Sampel
Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Teknik sampling adalah
teknik pengambilan sampel (Sugiyono, 2007). Teknik sampling penelitian
ini adalah purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,2007).
Pertimbangan tertentu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah teknik
pengambilan sampel dengan menggunakan kriteria inklusi dan kriteria
ekslusi.
D. Estimasi Besar Sampel
Rumus besar sampel menurut Dahlan (2009):
( Zα PQ + Zβ P1Q1 +P2Q2 )2
N = ( P1 - P2 )2
Keterangan:
Zα = derivat baku alfa (1,96)
Zβ = derivat baku beta (0,84)
P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya. Proporsi status
gizi kurang terjadi di Kelurahan Pringgokusuman sebesar 5,6% (Dinkes Kota
Yogyakarta, 2010).
Q2 = 1 - P2
P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti
Q1 = 1 - P1
P1 - P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
P = proporsi total ( P1 + P2 ) / 2
Q = 1 – P
( 1,96 0,106.0,894 + 0,84 0,156.0,844+0,056.0,944 )2
N = ( 0,1)2
( 1,96 x 0,30 + 0,84 x 0,43 ) 2
N = 0.01
20
Populasi
Kriteria inklusiKriteria eksklusi
Sampel
BBLR BBLN
Gizi baik Gizi kurang Gizi baik Gizi kurang
( 0,58 + 0,36 ) 2
N = 0,01
0,942
N = 0,01 0,88
N = 0,01
N = 88 (hasil pembulatan)
Besar sampel yang didapat dari perhitungan dengan rumus
diatas,dengan N = 88 balita.
E. Jalannya Penelitian
Gambar 3. Desain Penelitian Cross sectional
21
F. Kriteria Restriksi
Kriteria inklusi dan eksklusi yang digunakan untuk pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah:
a. Kriteria inklusi
1) Ibu atau keluarga balita yang bersedia menjadi responden dan
mengetahui berat balita saat lahir.
2) Ibu atau keluarga balita yang melakukan penimbangan balita di
Posyandu-posyandu di Kelurahan Pringgokusuman,
Gedongtengen, Yogyakarta.
3) Balita yang berumur 24 bulan sampai 60 bulan.
b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
balita yang pola makannya tidak teratur (ASI eksklusif, MP ASI, dan
waktu pemberian makanan), menderita penyakit infeksi kronis (ISPA,
tuberculosis, infeksi parasit, diare) dan kelainan bawaan (bibir
sumbing, penyakit jantung bawaan, cerebral phalcy, syndrome down,
leukemia).
G. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah atribut dalam penelitian atau gejala yang
menjadi fokus untuk diamati (Sugiyono, 2007). Variabel dalam penelitian
terdiri atas 3 variabel, yaitu:
a. Variabel bebas (independent) : variabel independent adalah variabel yang
mempengaruhi (Sugiyono, 2007). Variabel independen dalam penelitian
ini adalah riwayat kejadian BBLR.
b. Variabel terikat (dependent) : variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat dari variabel independent (Sugiyono, 2007). Variabel dependen
dalam penelitian ini adalah status gizi balita.
22
c. Variabel pengganggu (confounding) : variabel yang mengganggu terhadap
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen
(Notoatmodjo, 2010) Dalam penelitian ini variabel yang dikendalikan
adalah:
1) Penyakit infeksi, penyakit kronis, dan kelainan kongenital
2) Pola makan
H. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional yaitu ruang lingkup pengertian variabel-variabel
yang diamati (Sugiyono, 2007). Definisi operasional dalam penelitian ini
adalah :
1. Riwayat BBLR
Berat bayi yang ditimbang setelah lahir yang diperoleh dari hasil
wawancara kepada ibu balita dengan hasil berat < 2500 gram disebut ada
riwayat BBLR, dan tidak ada riwayat BBLR jika berat lahir ≥ 2500 gram.
Skala data nominal.
2. Status Gizi Balita
Status gizi balita dalam penelitian ini adalah keadaan tubuh sebagai
akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi pada balita yang
ditentukan berdasarkan baku rujukan penilaian status gizi menurut berat
badan dibagi dengan tinggi badan (BB/TB) WHO-NCHS. Variabel status
gizi balita dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi :
1) Gizi baik bila status gizi balita (BB/TB) -2 SD – 2 SD
2) Gizi kurang bila status gizi balita (BB/TB) < -2 SD
Skala data nominal
I. Instrumen Penelitian
23
Instrumen penelitian adalah alat pada waktu penelitian menggunakan
suatu metode (Arikunto, 2010). Alat pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah angket untuk mengetahui riwayat BBLR serta usia balita
hasil wawancara kepada ibu balita. Alat timbangan berat badan balita yaitu
dacin dengan ketelitian 0,1 kg dan alat pengukur tinggi badan balita yaitu
mikrotoa dengan ketelitian 0,1 cm untuk mengetahui status gizi balita.
Wawancara adalah suatu metode pengumpulan data dimana peneliti
mendapatkan keterangan lisan secara langsung atau bertatapan muka dengan
responden (Notoatmodjo, 2010).
J. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data
diperoleh langsung dari responden yaitu ibu atau keluarga balita yang
memenuhi kriteria. Pengumpulan data akan dilakukan sesuai jadwal
posyandu-posyandu di kelurahan Pringgokusuman oleh peneliti bersama
kader yang ada pada saat penelitian dilakukan.
2. Prosedur Penelitian
a. Persiapan
1) Peneliti melakukan studi pendahuluan untuk mendapatkan
gambaran tentang tempat dan jumlah populasi.
2) Peneliti selanjutnya menyusun proposal penelitian, pengujian
proposal penelitian dan pengajuan izin penelitian.
b. Pelaksanaan
1) Pengumpulan data dilakukan peneliti dengan datang langsung ke
posyandu-posyandu.
2) Melakukan pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan berdasarkan angket dengan teknik wawancara terpimpin
kepada ibu atau keluarga yang datang mendampingi balitanya ke
24
posyandu. Wawancara terpimpin adalah wawancara yang
dilakukan berdasarkan angket yang sudah dibuat sehingga
interviewer tinggal membacakan pertanyaan tersebut kepada
interviewee (Notoatmodjo, 2010)
3) Melakukan penimbangan berat badan balita dan pengukuran tinggi
badan balita untuk mengetahui status gizi balita berdasarkan indeks
BB/TB. Penimbangan dan pengukuran dapat dilakukan terlebih
dahulu sebelum wawancara.
4) Setelah semua data yang diperlukan terkumpul kemudian peneliti
melakukan pengolahan dan analisis data.
K. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data hasil penelitian dengan menggunakan
program komputer perangkat lunak SPSS 17 for windows.
1. Pengolahan Data
a. Editing
Memperjelas dan mengecek secara logis setelah data terkumpul
kemudian diteliti kembali dan data disusun.
b. Coding
Memberikan kode pada data yang diperoleh untuk
mempermudah pengelolaan data.
Riwayat kejadian BBLR:
- Kode 0 untuk ada riwayat BBLR
- Kode 1 untuk tidak ada riwayat BBLR
Status gizi balita:
- Kode 0 untuk gizi baik atau normal
- Kode 1 untuk gizi kurang atau kurus
c. Transfering
25
Memindahkan data yang telah dilakukan pengkodean ke dalam
master tabel.
d. Tabulating
Penyusunan data dengan pengelompokan data sesuai dengan
jenis karakteristik dan disusun dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
relatif.
e. Entri data
Memindahkan data ke dalam program komputer yaitu program
SPSS 17 for Windows untuk dianalisis.
2. Analisis Data
Untuk mengetahui hubungan antara variabel yang meliputi
variabel bebas dan variabel terikat yaitu dengan uji korelasi Chi
Square. Jika didapatkan hasil p value < 0,05, berarti ada hubungan
antara riwayat BBLR dengan status gizi balita. Dan apabila p value >
0,05, berarti tidak ada hubungan antara riwayat BBLR dengan status
gizi balita. Kemudian besarnya risiko kedua variabel menggunakan
Rasio Prevalens (RP).
Faktor Resiko Efek Total
Baik Kurang
Ya A B a+b
Tidak C D c+d
a/ a+b RP =
c/ c+d
Keterangan :
Faktor Resiko : Riwayat Bayi Berat Lahir Rendah
Efek : Status gizi
a : Subyek dengan faktor risiko yang mengalami efek
26
b : Subyek dengan faktor resiko yang tidak mengalami
efek
c : Subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek
d : Subyek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek
Interpretasi hasil :
RP = 1 : artinya prevalensi subyek yang terpapar faktor risiko sama
dengan prevalensi subjek yang tidak terpapar faktor
risiko.
RP > 1 : artinya dugaan adanya faktor risiko terhadap efek
memang benar.
RP < 1 : artinya bahwa faktor yang di teliti tersebut justru
menurunkan terjadinya efek.
Rasio prevalens harus disertai dengan nilai interval
kepercayaan (confidence interval) yang dikehendaki, yaitu 95%. Yang
menentukan apakah rasio prevalens bermakna atau tidak. Semua
analisis tersebut menggunakan program statistik dari komputer.
27
L. Jadwal Penelitian
Tabel 4. Jadwal Penelitian
Kegiatan Bulan
III-VI
Bulan
VII
Bulan
VIII
Bulan
XII-II
Bulan
II
Bulan
II
Penyusunan
proposal
Ujian proposal
Revisi proposal
Pengumpulan
data
Pengolahan &
analisis data
Penyusunan
skripsi
Ujian skripsi
Perbaikan skripsi
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pringgokusuman merupakan salah satu kelurahan yang terletak di
Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Indonesia. Memiliki luas wilayah 0,46 km2. Batas wilayahnya sebelah utara
berbatasan dengan Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis, batas sebelah timur
adalah Kelurahan Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengen, batas di sebelah
selatan adalah Kelurahan Ngampilan, Kecamatan Ngampilan dan di sebelah
barat batas daerahnya adalah sungai Winongo dan Kelurahan Tegalrejo,
Kecamatan Tegalrejo.
Jumlah seluruh anak balita di Kelurahan Pringgokusuman,
Gedongtengen, Yogyakarta sebanyak 162 balita. Jumlah sampel minimal
yang dibutuhkan pada penelitian ini yaitu 88 balita. Responden dalam
penelitian ini adalah anak balita usia 2-5 tahun yang memenuhi kriteria untuk
dijadikan sampel penelitian ini dan bertempat tinggal di kelurahan
Pringgokusuman, kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Pengumpulan
data responden dilakukan di sembilan Posyandu yang berada di wilayah
kelurahan Pringgokusuman, Gedongtengen, Yogyakarta.
Tabel 5.Distribusi Karakteristik Riwayat Berat Lahir Responden
RiwayatBeratLahir Frekuensi Presentase
BBLR 26 29.50%Non BBLR 62 70.50%
Total 88 100%
Tabel 5 di atas menunjukkan karakteristik responden yang dibagi
menjadi 2 kategori yaitu balita yang mempunyai riwayat BBLR (berat lahir <
2500 gram) dan Tidak BBLR (berat lahir ≥ 2500 gram). Hasil penelitian pada
tabel 5 dapat disimpulkan bahwa persentase balita yang memiliki riwayat
29
29
berat lahir rendah (BBLR) lebih sedikit (29,5 %) dibandingkan dengan balita
yang tidak BBLR (70,5 %).
Tabel 6. Distribusi Karakteristik Status Gizi Responden
Status Gizi Frekuensi Presentase
Baik 68 77.30%Kurang 20 22.70%Total 88 100%
Pada tabel 6 yang didapatkan dari hasil penilaian berdasarkan
parameter Berat Badan/Tinggi Badan. Maka, Pembagian status gizi balita
dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu status gizi baik dan status gizi kurang,
yang masuk dalam kategori status gizi baik yaitu gizi normal (-2 SD sampai 2
SD) sedangkan yang masuk dalam kategorik status gizi kurang, yaitu gizi
lebih (> 2 SD), gizi kurang (< -2 SD) dan gizi buruk (< -3 SD).
Hasil yang diperoleh pada tabel 6 di atas menunjukkan bahwa
persentase balita yang memiliki status gizi baik (77,3 %) lebih besar
dibandingkan dengan balita yang status gizinya kurang (22,7 %).
30
Tabel 7. Distribusi Karakteristik berdasar Status Gizi RespondenKarakteristik
RespondenGizi Baik Gizi Kurang
p-valueN % N %
Jenis Kelamin0.857Perempuan 26 29.5 9 10.3
Laki-laki 42 47.7 11 12.5Pemberian ASI Eksklusif
0.634Diberi 20 22.7 7 8.0Tidak Diberi 48 54.5 13 14.8
Asupan Makanan0.029Teratur 63 71.6 15 17.0
Tidak Teratur 5 5.7 5 5.7Pendidikan Terakhir Ayah
0.847SD 1 1.1 0 0SMP 2 2.3 4 4.5SMA 48 54.5 9 10.2PT 17 19.4 7 8.0
Pekerjaan Ayah0.064Bekerja 68 77.3 19 21.6
Tidak bekerja 0 0 1 1.1Pendidikan Terakhir Ibu
0.208SD 0 0 2 2.3SMP 2 2.3 4 4.5SMA 45 51.1 8 9.1PT 21 23.9 6 6.8
Pekerjaan Ibu0.00
0Bekerja 15 17.1 14 15.9Tidak bekerja 53 60.2 6 6.8
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa status gizi baik lebih banyak pada
responden yang berjenis kelamin laki-laki (47,7 %) daripada perempuan (29.5
%). Sedangkan pada responden yang berstatus gizi kurang, perbedaan
persentase antara responden laki-laki dan perempuan tidak begitu mencolok
selisihnya. Diperoleh nilai p value sebesar 0,857 yang berarti secara statistik,
tidak ada hubungan antara jenis kelamin responden dengan status gizi nya.
Responden yang berstatus gizi baik dalam penelitian ini mayoritas
tidak diberi ASI eksklusif (54,5 %) daripada yang diberi ASI eksklusif (22,7
31
%). Namun, responden yang tidak diberi ASI eksklusif dan mengalami gizi
kurang juga lebih banyak (14,8 %) daripada yang diberi ASI eksklusif dan
mengalami gizi kurang (8 %). Diperoleh nilai p value sebesar 0,634 yang
berarti tidak ada hubungan secara statistik antara pemberian ASI eksklusif
pada responden saat berusia 0 – 6 bulan dengan status gizinya pada saat
penelitian ini berlangsung.
Mayoritas responden yang berstatus gizi baik cenderung diberi asupan
makanan secara teratur (71,6 %). Hanya 5,7 % responden yang diberi
makanan secara tidak teratur yang berstatus gizi baik. Sedangkan persentase
responden yang berstatus gizi kurang dan diberi asupan makanan secara
teratur sebesar 17 % dan 5,7 % yang diberi makanan secara tidak teratur.
Diperoleh nilai p value sebesar 0,029 yang berarti ada hubungan antara asupan
makanan responden sehari-sehari dengan status gizinya.
Persentase responden yang berstatus gizi baik dan memiliki ayah yang
berpendidikan terakhir SMA dan PT sebesar 73,9 % dari jumlah seluruh
responden. Hanya 1,1 % ayah yang berpendidikan terakhir SD yang memiliki
anak yang berstatus gizi baik, sedangkan yang lainnya berpendidikan terakhir
pada tingkat SMP. Tetapi diperoleh nilai p value sebesar 0,847 yang berarti
secara statistik tidak ada hubungan antara pendidikan terakhir ayah responden
dengan status gizinya saat ini. Sedangkan persentase ayah yang bekerja atau
memiliki mata pencaharian dan memiliki anak balita yang berstatus gizi baik
yaitu sebesar 77,3 %. Diperoleh nilai p value sebesar 0,064 yang berarti tidak
ada hubungan secara statistik antara pekerjaan ayah responden dengan status
gizi responden.
Sebanyak 75 % ibu responden yang berpendidikan terakhir SMA dan
PT yang memiliki anak yang berstatus gizi baik, sedangkan sisanya
berpendidikan SD dan SMP. Tetapi ada 15,9 % ibu yang berpendidikan
terakhir SMA dan PT yang memiliki anak berstatus gizi buruk. Diperoleh nilai
p value sebesar 0,208 yang berarti secara statistik, tidak ada hubungan antara
pendidikan terakhir ibu responden dengan status gizi responden. Sedangkan
lebih banyak ibu responden yang tidak bekerja yang memiliki anak berstatus
32
gizi baik (60,2 %) daripada ibu yang bekerja (17,1 %). Diperoleh nilai p value
sebesar 0,000 yang berarti ada hubungan antara pekerjaan ibu responden
dengan status gizi responden.
Hubungan antara riwayat BBLR dengan status gizi balita
Tabel 8. Distribusi Status Gizi Responden berdasar Riwayat Berat Lahir STATUS GIZI
Total P. Value KURANG BAIK
RiwayatBerat Lahir
BBLRN 15 11 26
0.000% 17 12.5 29.5
NON BBLR
n%
55.7
5764.8
6270.5
TotalN 20 68 88% 22.7 77.3 100
Sesuai dengan tabel 8 di atas, didapatkan hasil bahwa hampir 65 %
balita dengan riwayat lahir tidak BBLR cenderung memiliki status gizi yang
baik. Hanya 12.5 % balita dengan riwayat BBLR yang masuk dalam kategori
status gizi baik. Sedangkan sebanyak 17 % balita dengan riwayat BBLR
masuk dalam kategori status gizi kurang, dan persentase balita dengan riwayat
lahir tidak BBLR tetapi berstatus gizi kurang sebesar 5.7 %.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi Chi Square pada
software SPSS 17.0 didapatkan hasil p value= 0,000 yang menunjukkan
adanya hubungan antara riwayat BBLR dengan status gizi balita karena
didapatkan hasil p value < 0,05. Dan hasil Ratio Prevalens (RP) sebesar 7,154
( CI 95% 2,901 - 17,641 ) yang menunjukkan bahwa ratio prevalens memiliki
nilai RP > 1, yang berarti balita yang memiliki riwayat BBLR akan
mempunyai risiko 7 kali untuk terjadinya status gizi kurang atau buruk.
B. Pembahasan
Dari hasil penelitan yang dilakukan pada 88 balita usia 2-5 tahun yang
memenuhi kriteria dan dijadikan responden pada penelitian yang dilakukan di
Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta.
Berdasarkan hasil penelitian riwayat BBLR, riwayat BBLR dibagi menjadi
33
dua yaitu, ada riwayat BBLR sebanyak 26 orang (29,5 %) dan tidak ada
riwayat BBLR sebanyak 62 orang (70,5 %). Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa sebagian besar balita yang dijadikan responden dalam
penelitian ini tidak mempunyai riwayat BBLR dengan kata lain berat lahirnya
normal.
Berat lahir bayi berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan
lingkungan sekitar janin dari waktu ke waktu khususnya faktor ibu yang
meliputi perbaikan gizi saat hamil, usia ibu yang tidak beresiko tinggi, jarak
kehamilan yang telah terencana, menurunnya penyakit-penyakit sistemik yang
diderita oleh ibu, dan sebagainya. Faktor-faktor yang lain seperti tidak terjadi
kelainan-kelainan pada ibu dan janin, serta beberapa faktor yang lain yang
masih belum diketahui (Manuaba, 2010). Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) di Puskesmas Gedongtengen kepada ibu-ibu hamil yang status gizi nya
kurang serta pencanangan program KB yang semakin gencar dilakukan oleh
tenaga-tenaga kesehatan secara tidak langsung juga dapat menurunkan angka
kelahiran bayi dengan berat lahir yang rendah di wilayah kerjanya.
Bayi dengan berat badan lahir rendah mengalami pertumbuhan dan
perkembangan lebih lambat. Keadaan ini menjadi lebih buruk lagi jika BBLR
kurang mendapatkan asupan energi dan zat gizi, mendapatkan pola asuh yang
kurang baik, dan sering menderita penyakit infeksi. Pada akhirnya bayi BBLR
cenderung mempunyai status gizi kurang atau buruk (Arnisam, 2007). Hal ini
pun sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan balita
dengan riwayat BBLR akan mempunyai 5,21 kali lebih besar untuk
mengalami status gizi tidak normal dari pada balita non BBLR (Niken, 2010).
Dalam profil kesehatan Kota Yogyakarta (2009), disebutkan bahwa bayi
BBLR memiliki pengaruh besar terhadap kejadian balita dengan berat badan
di bawah garis merah, dengan kata lain mempengaruhi status gizi balita, dan
hal ini menentukan pertumbuhan anak di masa yang akan datang.
Hasil analisis bivariat oleh Nduma K. Lingga (2010) faktor yang
mempunyai hubungan asosiasi yang signifikan dengan status gizi kurang yaitu
berat badan lahir rendah (p=0,000, RP=2,912). Pentingnya memperhatikan
34
kesehatan anak yang lahir dengan berat badan lahir rendah sehingga nantinya
tidak mengalami gizi kurang.
Supariasa, dkk (2002) menyebutkan bahwa status gizi merupakan
keadaan tubuh akibat keseimbangan antara konsumsi dengan penyerapan dan
penggunaan zat-zat gizi. Sedangkan menurut Depkes RI (2006), kondisi
seseorang yang dapat diukur baik secara antropometri maupun klinik sebagai
respon dari asupan makanan dalam jangka waktu tertentu disebut status gizi.
Dari hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
persentase balita yang memiliki status gizi baik (77,3 %) lebih besar
dibandingkan dengan balita yang status gizinya kurang (22,7 %). Jadi dapat
disimpulkan bahwa mayoritas balita yang menjadi responden dalam penelitian
ini memiliki status gizi baik yang berarti keadaan tubuh sebagian besar balita
seimbang antara konsumsi dengan penyerapan dan penggunaan zat-zat gizinya
yang telah diukur secara antropometri dalam waktu tertentu.
Hasil penelitian ini yang menunjukkan adanya hubungan antara
riwayat BBLR dengan status gizi balita mendukung teori bahwa dampak dari
BBLR akan menyebabkan bayi mengalami gizi kurang, dan akan lebih mudah
terkena infeksi yang berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang,
yaitu akan memperlambat pertumbuhan dan perkembangan mental anak serta
mempengaruhi penurunan kecerdasan (Depkes, 2004). Bayi yang lahir dengan
berat badan kurang, akan cenderung mengalami status gizi kurang atau buruk
daripada bayi yang lahir dengan berat badan yang cukup. Hal ini akibat kurang
maturnya organ-organ pencernaan dan beresiko untuk lebih sering terkena
infeksi (Arisman, 2004).
Tidak hanya riwayat BBLR saja yang dapat mempengaruhi status gizi
balita, tetapi banyak faktor yang mempengaruhi status gizi balita di antaranya
faktor langsung dan tidak langsung. Yang termasuk dalam faktor yang
mempengaruhi status gizi secara langsung di antaranya asupan makanan yang
dikonsumsi oleh balita yang dapat ditentukan dari kualitas dan kuantitas
makanannya. Kualitas makanan menunjukkan adanya zat gizi yang diperlukan
tubuh, sedangkan kuantitas menunjukkan frekuensi makan dan jumlah
35
makanan terhadap kebutuhan tubuh. Sebaliknya konsumsi yang kurang dari
makanan baik segi kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan gangguan
status gizi (Santoso, 2001).Faktor yang mempengaruhi status gizi secara
langsung yang lainnya adalah infeksi.Terdapat hubungan yang erat antara
infeksi dengan malnutrisi. Ada interaksi timbal balik antara status gizi dengan
penyakit infeksi (Supariasa dkk, 2002). Infeksi dapat menyebabkan gangguan
gizi melalui beberapa cara yaitu mempengaruhi nafsu makan, gangguan
absorbsi karena diare atau muntah serta gangguan metabolisme makanan
(Santoso, 2001).
Dan yang termasuk dalam faktor yang mempengaruhi status gizi secara
tidak langsung di antaranya adalah praktek pemberian makanan. Dalam
memberikan makanan pada bayi dan anak perlu memperhatikan waktu
pemberian, porsi makanan, frekuensi makan, jenis bahan makanan, dan cara
pemberiannya. Pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu awal pada
bayi menyebabkan anak tidak dapat menghisap semua ASI yang dihasilkan
oleh ibunya, sehingga mengakibatkan bayi kekurangan zat gizi yang
berkualitas tinggi. Sedangkan penundaan pemberian MP-ASI setelah bayi
berumur 6 bulan juga dapat mengakibatkan anak kekurangan zat gizi
(Suhardjo, 2008).
Faktor yang lainnya yaitu faktor ekonomi yang dapat mempengaruhi
ketersediaan pangan (Supariasa dkk, 2002), faktor sosial budaya seperti
adanya kepercayaan atau budaya yang memandang makanan tertentu sebagai
pantangan. Padahal dari segi gizi, makanan tersebut baik untuk tubuh. Praktek
semacam ini justru banyak dijumpai pada golongan rawan gizi yaitu bayi,
balita, ibu hamil, dan ibu menyusui (Budiyanto,2002). Faktor seperti
pendidikan dan pengetahuan, faktor lingkungan, dan faktor pelayanan
kesehatan juga dapat mempengaruhi status gizi secara tidak langsung.
Secara statistik penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan
pemberian ASI eksklusif terhadap status gizi balita. Pada penelitian
sebelumnya juga diungkapkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak ada
perbedaan antara kelompok balita dengan status gizi baik dan status gizi
36
kurang. Gangguan status gizi yang berakibat pada gangguan pertumbuhan
anak dikarenakan kekurangan gizi pada saat janin, tidak memberikan ASI
eksklusif, dan pemberian MP-ASI yang terlalu dini (Arnisam 2007).
Penelitian ini mendukung penelitian Supraptini (2001) dimana berdasarkan
hasil survey kesehatan nasional diungkapkan bahwa cakupan ASI eksklusif di
Indonesia hanya mencapai 47%, dan pada daerah pedesaan lebih tinggi dari
pada daerah perkotaan. Berbeda hal dengan penelitian Suryoprajogo (2009)
bahwa ASI merupakan nutrisi terbaik pada awal usia kehidupan bayi. ASI
ibarat emas yang diberikan gratis oleh Tuhan karena ASI adalah cairan hidup
yang dapat menyesuaikan kandungan zatnya yang dapat memenuhi kebutuhan
gizi bayi). Seperti yang terkandung dalam firman Allah SWT di QS. Al
Baqaraah ayat 233 yang menjelaskan bahwa ASI itu sangat penting untuk
diberikan kepada bayi.
Hubungan asupan makanan terhadap status gizi balita mendukung teori
yang menyebutkan bahwa asupan makanan tergantung pada tingkat konsumsi.
Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas makanan. Kualitas
makanan menunjukkan adanya zat gizi yang diperlukan tubuh, sedangkan
kuantitas menunjukkan frekuensi makan dan jumlah makanan terhadap
kebutuhan tubuh. Sebaliknya konsumsi yang kurang dari makanan baik segi
kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan gangguan status gizi (Santoso,
2001).
Firman Allah SWT dalam Q.S. Albaqaraah ayat 172 yang berbunyi:
�َه�ا ُّي� �اَأ �َن� ُّي �ِذُّي �ْو�ا اَّل �ْو�ا ٓاَم�ُن �ُل �اِت َمَن� ُك �َب �ْم� َط�ِّي �ُك ْق�ُن َز� َم�اَر�
Artinya:
“ Hai orang – orang beriman makanlah diantara rizki yang baik yang kami
berikan kepadamu “ ( QS. Albaqarah: 172 )
Pada dasarnya semua makanan adalah halal untuk dimakan, kecuali
dilarang agama karena berbahaya untuk kesehatan. Sedangkan yang
membahayakan dan mengandung mudlarat ( merusak ) dilarang keras oleh
agama.
37
Syamsu Khaldun (2007) mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang
mendasari terjadinya pemberian makanan yang tidak adekuat (cukup) dan
timbulnya penyakit infeksi yaitu rendahnya akses memperoleh makanan
dalam rumah tangga, rendahnya pelayanan kesehatan dan lingkungan yang
tidak sehat, serta rendahnya perhatian kepada anak dan ibu. Soekirman (2000),
status gizi tidak baik disebabkan asupan energi maupun protein tidak baik pula
selain itu disebabkan karena faktor ekonomi keluarga yang kurang sehingga
menyebabkan terbatasnya daya beli terhadap bahan makanan sehingga
mempengaruhi variasi menu yang disajikan. Selain itu penyakit infeksi turut
mempengaruhi asupan makanan dan status gizi dari anak.
Menurut Jean Baker dalam jurnal Syamsu Khaldun (2007)
mengungkapkan bahwa pada 30 tahun terakhir berjuta-juta anak meninggal
karena malnutrisi. Lebih dari separuh anak balita meninggal karena malnutrisi
baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebab utama kematian pada
balita malnutrisi adalah diarhea, pneumonia, malaria, measles dan AIDS serta
penyakit infeksi lainnya.
Supariasa (2002) menyebutkan bahwa pekerjaan orang tua, pendapatan
keluarga, dan pengeluaran keluarga merupakan faktor sosial ekonomi yang
dapat mempengaruhi status gizi balita. Pekerjaan orangtua mempunyai
hubungan dengan status gizi pada balita, dimana pekerjaan sangat erat
kaitannya dengan faktor ekonomi, faktor ekonomi berperan langsung terhadap
konsumsi makanan terutama mempengaruhi daya beli terhadap makanan dan
kualitas bahan makanan yang dikonsumsi. Perekonomian merupakan
determinan penting yang mempengaruhi asupan makanan. Asupan makanan
seseorang dipengaruhi oleh taraf ekonominya, seperti golongan masyarakat
ekonomi kuat mempunyai kebiasaan makan dengan konsumsi rata-rata
melebihi angka kecukupannya. Sebaliknya golongan ekonomi lemah pada
umumnya mempunyai kebiasaan makan yang memberikan nilai gizi dibawah
kecukupan jumlah maupun mutunya (Khumaidi, 2004). Pada pekerjaan ibu,
ibu yang tidak memiliki pekerjaan cenderung memiliki anak dengan status gizi
baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Arnisam (2007), dimana paling banyak
38
responden 85% ibu tidak bekerja dan 15% ibu yang bekerja di luar rumah. Ibu
yang bekerja diluar rumah memiliki balita dengan gizi kurang, sedangkan ibu
yang tidak bekerja cenderung mempunyai balita dengan gizi baik. Dengan
kata lain ibu yang tidak memiliki pekerjaan akan lebih memberikan perhatian
terhadap anaknya sehingga dapat mempengaruhi status gizi anaknya. Syamsu
Khaldun (2007) mengungkapkan bahwa prevalensi underweight anak dibawah
tiga tahun di Bostwana lebih rendah dari orangtua balita yang bekerja di sektor
pertanian, daripada orangtua yang bekerja di sektor perdagangan.
Secara statistik dalam penelitian ini, tingkat pendidikan ayah dan ibu
tidak berhubungan terhadap status gizi balita. Tetapi disebutkan bahwa
pendidikan orang tua yang tinggi mempunyai dampak status gizi keluarga
yang baik, sebaliknya pendidikan orang tua yang rendah akan mempunyai
status gizi yang kurang. status ekonomi dan pendidikan ibu mempunyai
hubungan yang negatif terhadap kesehatan dan status gizi balita. Karena status
ekonomi dan pendidikan ibu yang rendah akan mempengaruhi terpaparnya
penyakit infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini dikarenakan antara
pendidikan dan pengetahuan orang tua akan pemenuhan status gizi balita
adalah suatu hal yang berbeda, semakin tinggi pendidikan orang tua belum
tentu tingkat pengetahuannya akan pemenuhan status gizinya tinggi (Mashal,
2008). Hal tersebut berbeda dengan yang diungkapkan oleh Syamsu Khaldun
(2007) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka semakin rendah
angka gizi buruk pada anak balita.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah adanya recall bias data riwayat
berat lahir, riwayat penyakit, dan pola makan balita dari wawancara serta saat
mengantar ke Posyandu dengan mengingat kejadian masa lalu. Keterbatasan
lainnya dalam penelitian ini adalah instrumen penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini (timbangan dacin dan mikrotoa) untuk mengukur berat
badan dan tinggi badan balita pada saat pengumpulan data berbeda-beda di
setiap Posyandu.
39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini maka
penulis dapat menarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara riwayat
BBLR dengan status gizi kurang atau buruk pada anak balita di Kelurahan
Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta (P Value =
0,000). Anak balita yang memiliki riwayat BBLR meningkatkan risiko sebesar
7 kali untuk menyebabkan terjadinya status gizi kurang atau buruk
dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat BBLR. Hasil penelitian ini
berhubungan secara statistik dengan interval kepercayaan 95 % dan tidak
melewati angka 1, dengan demikian maka nilai rasio prevalens tersebut
bermakna.
B. Saran
1. Bagi Petugas Kesehatan Puskesmas Gedongtengen sebaiknya lebih di
tingkatkan kembali dalam memberikan penyuluhan kepada orang tua atau
masyarakat luas demi peningkatan pengetahuan orangtua yang memiliki
bayi dengan berat lahir rendah agar status gizinya baik.
2. Bagi Kader Kesehatan sebaiknya lebih memberikan motivasi kepada orang
tua balita untuk melakukan penimbangan secara rutin setiap bulannya di
Posyandu.
3. Bagi Orang tua balita untuk selalu memperhatikan status gizi balitanya
dengan member asupan makanan yang cukup dan bergizi seimbang serta
melakukan penimbangan yang dilakukan setiap bulannya di Posyandu.
40
40
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Arisman. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi, Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Arnisam. 2007. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan status gizi anak usia 6-24 bulan. Diunduh pada 10 Maret 2011 dari http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_i
d=35919&obyek_id=4.
Baliwati, Y.F., Ali K., Meti D. 2006. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Biro Pusat Statistik. 2008. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Biro Pusat Statistik.
Budiyanto, A.K. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM Pres.
Dahlan, S., 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Depkes RI. 2006. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depkes.
Dinkes Kota Yogyakarta, 2010. Status Gizi Balita dan Kecamatan Rawan Gizi Kota Yogyakarta Tahun 2010. Yogyakarta: Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
Dinkes Kota Yogyakarta. 2009. Profil Kesehatan Kota Yogyakarta Tahun 2009. Yogyakarta: Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
Dinkes Provinsi DIY. 2008. Profil Kesehatan Propinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2008. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY.
Dinkes Provinsi DIY. 2009. Profil Kesehatan Propinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2009. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY.
41
Dinkes Provinsi DIY. 2010. Profil Kesehatan Propinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2010. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY.
IDAI. 2009. Perawatan Bayi Berat Lahir rendah. Diunduh pada 12 Maret 2011 dari http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=1978415143631
Khumaidi, M. 1994. Gizi Masyarakat. Jakarta: Gunung Mulia.
Manuaba, I. B. G. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Menteri Kesehatan RI. 2005. Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (BALITA). Jakarta: Depkes.
Nelson, 2007. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 . Buku Kedokteran EGC cetak ke-1 , Brehman.
Niken, Safitri. 2010. Hubungan antara Riwayat BBLR dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Banguntapan I Bantul Yogyakarta. Yogyakarta. UGM
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurhadi. 2006. Faktor Risiko Ibu dan Layanan Antenatal terhadap Kejadian BBLR. Diunduh pada 12 Maret 2011 dari http://eprints.undip.ac.id/18468/1/NURHADI.pdf
Proverawati, Atikah. 2010. Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta: nuha Medika
Riwidikdo, H. 2009. Statistik Penelitian Kesehatan dengan Aplikasi Program R dan SPSS. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Saifuddin, Abdul Bari. 2002. Asuhan Bayi Baru Lahir,Buku Panduan Praktis Pelayanan Maternal dan Neonatal. Jakarta: EGC
Santoso, S., Anne L.R. 2001. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta.
Sastroasmoro, S. 2007. Dasar- Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.
Sediaoetama, A.D. 2004. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat.
Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
42
Suhardjo. 2008. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Fakultas Peternakan IPB.
Supariasa, I.D.N., Bachtiar B., Ibnu F. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Supraptini; Lubis, Agustina; dan Irianto, joko. 2003. Cakupan Imunisasi Balita Dan Asi Eksklusif Di Indonesia, Hasil Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas). Jurnal Ekologi Kesehatan. 2(2): 249-254
Syamsu Khaldun, 2007. Jurnal Sains & Teknologi. Makassar. Universitas Hasanuddin
UNDP. 2009. Millenium Development Goals. Diunduh pada 2 Maret 2011 dari http://www.undp.org/mdg/basics.shtml.
WHO. 2008. Global Database on Child Growth. Diunduh pada tanggal 10 Maret 2011 dari http://www.who.int/en/
Winknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
43