BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan...

21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merayakan 25 tahun Lembaga Sosial Mardi Wuto 1 Kethoprak Distra Budaya menampilkan lakon Suminten Edan. Anggota kethoprak ini adalah orang-orang yang oleh penyelenggara acara disebut sebagai penyandang gangguan penglihatan (visually impaired) yakni penyandang tuna netra (blind) dan penglihatan rendah (low vision). Meskipun ini hari Minggu kondisi jalan depan tempat pementasan lumayan ramai dan bising.Begitu musik pembuka selesai masalah segera muncul di adegan pertama. Tidak tersedianya microphone untuk pemain membuat suara mereka tidak terdengar oleh penonton yang sebagian besar juga bergangguan penglihatan. Penonton berteriak-teriak ramai di awal pertunjukan meminta suara yang lebih keras. Menambah keramaian jalan di depannya, teriakan itu membuat suara pemain semakin tidak terdengar. Ketika penonton sudah tenang dan mulai menerima kenyataan bahwa mereka tidak akan bisa mendengar pementasan itu, masalah lain di panggung menyusul. Beberapa pemain kethoprak menabrak tiang microphone yang ditambahkan panitia. Karena panggungnya setinggi hampir semeter di atas tanah, tak jarang beberapa pemain berdiri terlalu pinggir dan hampir jatuh. Hampir semua arahan sutradara soal arah panggung tidak berhasil mereka tangkap. Mungkin grogi, mungkin mereka tak cukup punya informasi. Mereka sudah mencapai tahap yang sebenarnya siap dipentaskanselama latihan. Dialog mereka lancar, keluar-masuk pemain mengalir serta bloking lebih tertata dengan panduan sutradara. Hanya saja saat melihat sang sutradara mengarahkan pemain, saya bertanya apakah latihan di ruang studio yang „aman‟ itu juga sudah diproyeksikan untuk latihan di ruang „kurang aman‟ seperti panggung pinggir jalan? Bukankah tata suara sebaiknya jadi perhatian utama karena pada akhirnya itulah cara utama pertunjukan terjadi dan dinikmati. 1 Sebuah lembaga sosial yang berada di Kompleks Rumah Sakit Mata Dr. Yap di Jl Cik Di Tiro Yogyakarta

Transcript of BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan...

Page 1: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Merayakan 25 tahun Lembaga Sosial Mardi Wuto1 Kethoprak Distra Budaya

menampilkan lakon Suminten Edan. Anggota kethoprak ini adalah orang-orang yang oleh

penyelenggara acara disebut sebagai penyandang gangguan penglihatan (visually

impaired) yakni penyandang tuna netra (blind) dan penglihatan rendah (low vision).

Meskipun ini hari Minggu kondisi jalan depan tempat pementasan lumayan ramai

dan bising.Begitu musik pembuka selesai masalah segera muncul di adegan pertama.

Tidak tersedianya microphone untuk pemain membuat suara mereka tidak terdengar oleh

penonton yang sebagian besar juga bergangguan penglihatan. Penonton berteriak-teriak

ramai di awal pertunjukan meminta suara yang lebih keras. Menambah keramaian jalan

di depannya, teriakan itu membuat suara pemain semakin tidak terdengar.

Ketika penonton sudah tenang dan mulai menerima kenyataan bahwa mereka

tidak akan bisa mendengar pementasan itu, masalah lain di panggung menyusul.

Beberapa pemain kethoprak menabrak tiang microphone yang ditambahkan panitia.

Karena panggungnya setinggi hampir semeter di atas tanah, tak jarang beberapa pemain

berdiri terlalu pinggir dan hampir jatuh. Hampir semua arahan sutradara soal arah

panggung tidak berhasil mereka tangkap. Mungkin grogi, mungkin mereka tak cukup

punya informasi.

Mereka sudah mencapai tahap yang sebenarnya siap dipentaskanselama latihan.

Dialog mereka lancar, keluar-masuk pemain mengalir serta bloking lebih tertata dengan

panduan sutradara. Hanya saja saat melihat sang sutradara mengarahkan pemain, saya

bertanya apakah latihan di ruang studio yang „aman‟ itu juga sudah diproyeksikan untuk

latihan di ruang „kurang aman‟ seperti panggung pinggir jalan? Bukankah tata suara

sebaiknya jadi perhatian utama karena pada akhirnya itulah cara utama pertunjukan

terjadi dan dinikmati.

1Sebuah lembaga sosial yang berada di Kompleks Rumah Sakit Mata Dr. Yap di Jl Cik Di Tiro Yogyakarta

Page 2: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

2

Tidak tersedianya situasi yang berpihak pada penyandang gangguan penglihatan

tadi tentu tidak hanya terjadi dalam pementasan kethoprak itu. Jika kita melihat lebih

jauh, kehidupan sehari-hari kita dipenuhi keterbatasan mereka.Tata kota yang tidak

ramah pada mereka (trotoir naik-turun, rambu penyeberangan jalan tanpa suara bip-bip),

minimnya halte untuk mengakses transportasi dan keterbatasan pilihan profesi (pemijat)

merupakan gambaran bagaimana mereka dipinggirkan dan terbatasi. Padahal jumlah

penyandang tuna netra di Indonesia sama banyaknya dengan jumlah penduduk di

Singapura, yakni 3,5 juta orang. Jumlah ini nyaris sebesar 10 % dari seluruh jumlah

penduduk dunia yang tuna netra yang semuanya berjumlah 45 juta2. Hanya yang tuna

netra, belum termasuk penyandang penglihatan rendah (low-vision).

Di sisi lain sejak digunakannya huruf Braille dalam terbitan buku tahun 1827

hingga internet, penyandang gangguan penglihatan sebenarnya mempunyai akses yang

lebih luas untuk terlibat dalam dinamika masyarakat. Keterlibatan ini tentu membawa

perubahan hubungan sosial mereka dengan masyarakat luas. Mediatisasi, demikian hal ini

disebut dalam kajian media, terjadi. Ada proses perubahan hubungan sosial yang

berkembang karena penggunaan media.

Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi

adalah pemakaian Short Message Service (SMS) atau layanan pesan singkat yang

menghadirkan fitur suara. Fitur ini memungkinkan mereka ikut menggunakan layanan

SMS baik untuk mengirim maupun menerima pesan. Alih-alih harus membaca tulisan

pesan di layar saat mengirim atau menerima pesan, mereka cukup mendengarkan pesan

yang dibacakan3 oleh piranti telepon genggamnya. Fitur suara tersebut juga berlaku tidak

hanya dalam pengetikan teks pesan, namun juga petunjuk operasionalisasi pembukaan

kotak pesan, pengiriman bahkan penerusan (forwarding) pesan ke pengguna SMS lain.

Kenyataan ini menyadarkan kita perkara konstruksi sosial penyandang gangguan

penglihatan. Jika mereka bisa melakukan hal yang sama dengan orang lain meski dengan

cara yang berbeda maka istilah „gangguan/ impaired‟ menjadi tidak relevan. Jika dilihat

2Jumlah tuna netra di Indonesia setara dengan penduduk Singapura, diambil dari Merdeka.com diakses

pada 22 Juni 2013 3Kata „dibacakan‟ dipakai dan bukan „disuarakan‟. Hal ini untuk memperjelas bahwa sebenarnya teks yang

terkirim adalah teks tertulis di layar telepon genggam. Fitur suaralah yang memungkinkan piranti genggam

tersebut membacakan pesan itu sehingga ada perubahan dariyang visual teks menjadi audio.

Page 3: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

3

dari ranah kajian budaya dan media hal tersebut adalah perkara perbedaan kemampuan

yang selalu dikonstruksikan sebagaikecacatan. Nalar tersebut membuat tesis ini urung

menggunakan istilah „bergangguan penglihatan‟ dan menggantinya menjadi difabel

netra.4

Konstruksi sosial difabel netra yang masih sering dianggap „gangguan‟ dan

„cacat‟ memunculkan ketidaksetaraan. Mediatisasi dapat dilihat sebagai arena dimana

ketidaksetaraan ini ternegosiasikan karena munculnya penggunaan SMS berfitur suara.

Ada dinamika relasi sosial antara difabel netra dengan lingkungan sosialnya, terutama

jika kita ingin lebih focus, terkait dengan penerimaan sosial (social acceptance). Tesis ini

menguji bagaimana proses perubahan relasi sosial (mediatisasi) difabilitas netra terkait

penggunaan media SMS berfitur suara tersebut. Meski tidak secara khusus beberapa

bagian tesis ini juga akan menyinggung perkara penerimaan sosial (social acceptance)

yang bersumber dari mediatisasi ini. Tujuh orang difabel netra yang juga pemain

kethoprak Distra Budaya terlibat dalam workshop teater pemberdayaan5 untuk bersama-

sama difasilitasi melihat praktik mereka sendiri terkait pertanyaan di atas.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana perubahan relasi sosial (mediatisasi) dalam konteks difabilitas netra

terkait penggunaan SMS berfitur suara?

C. Tujuan Penelitian

1. Menguji bagaimana dinamika perubahan relasi sosial difabel netra terkait

penggunaan media SMS berfitur suara

2. Melihat dinamika penerimaan sosial difabilitas netra dalam proses di atas.

3. Merekomendasikan gagasan-gagasan penggunaan media SMS berfitur suara

untuk peningkatan akses dalam isu difabilitas.

4Istilah baru ini juga dianggap menggantikan istilah tuna netra yang biasanya bermakna benar-benar tidak

dapat melihat secara visual. Difabilitas netra tidak hanya merujuk pada konstruksi sosial yang lebih

berpihak, ia juga mencangkup orang yang berpenglihatan kabur (low vision). 5Teater pemberdayaan adalah metode teater yang partisipatif, terinspirasi oleh teaterawan Brasil Augusto

Boal. Hal ini akan lebih dijelaskan di bagian metodologi.

Page 4: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

4

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian mediatisasi sudah cukup banyak berkembang dan hal ini akan

secara khusus dibahas di BAB II. Namun sepanjang penelusuran pustaka, belum

ditemukan penelitian yang menghubungkan mediatisasi dengan difabilitas netra

atau yang oleh penelitian lain masih disebut disabilitas atau tuna netra. Semakin

tidak ada yang bisa kita temukan jika kita menggabungkan dua hal di atas dengan

penggunaan media SMS berfitur suara. Meski demikian, di bagian ini kita akan

tetap melihat irisan-irisan yang mungkin bisa dijadikan pijakan awal.

Pertemuan disabilitas6 dengan konsep lain dapat ditemukan di beberapa

penelitian. Kita menjumpai tuna netra dengan pertolongan yang mereka butuhkan

di lingkungan rumah (Ann Lang dan Sullivan, 1986) ataupun perpustakaan

(Tigerman, 1978). Dua penelitian ini termasuk penelitan awal dimana tuna netra

mulai dipikirkan sebagai kelompok yang perlu mendapat perlakuan khusus.

Penelitian pertama menjelaskan bagaimana keterbatasan kemampuan visual

mempengaruhi anak-anak untuk tumbuh dan berinteraksi dengan dunia fisik di

luar sana. Rasa takut dan kekawatiran terjadinya tabrakan atau luka karena

pertemuan yang tidak terduga menghalangi mereka untuk memulai. Untuk itu

Ann Lang dan Sullivan yang aktif di Lighthouse, The New York Association for

the Blind, mensyaratkan bahwa untuk membangun lingkungan rumah yang

membantu anak-anak yang terbatas penglihatannya untuk belajar, sebuah rumah

harus (i) memungkinkan anak-anak ini dapat lebih menerima lingkungannya

lewat penglihatan ataupun indera yang lain (2) meningkatkan pengamanan rumah,

(3) mengurangi halangan untuk bergerak dan berinteraksi, (4) mengatur elemen-

elemen yang membantu anak-anak ini mengintegrasikan pengalaman dan (5)

meningkatkan kesempatan mereka berinteraksi dengan elemen, bentuk dan

konfigurasi spasial yang variatif.

Paul C Higgins (1980) membuat penelitian reaksi sosial terkait disabilitas

fisik. Menurut perspektif reaksi hubungan sosial, reaksi non-disabled adalah kunci

6Harus mulai dibedakan kata „disabilitas‟ dan „difabilitas‟. Kata pertama merujuk keterbatasan/ kecatatan/

gangguan sementara yang kedua merujuk gagasan baru yang lebih menggarisbawahi perbedaan

kemampuan dan cara mengakses/ melakukan sesuatu. Di beberapa tulisan arti keduanya berbeda sementara

di tulisan lain sebenarnya maksudnya sama yakni merujuk pada perbedaan.

Page 5: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

5

memahami orang-orang dengan disabilitas fisik. Konsekuensinya, stigmatisasi

menjadi hal yang ditekankan ketika kita menjelaskan pertemuan (encounter)

antara paradisable dan non-disable yang seringkali canggung. Padahal

stigmatisasi tidak secara penuh menjelaskan hal ini. Dengan melihat pertemuan

tuna rungu (the deaf) dengan yang mampu mendengar (the hearing) dan

menganalisanya secara kualitatif, Higgins menunjukkan bahwa para disable ini

juga mengacau ketika mereka menyebabkan asumsi dan praktik rutinnya berhasil

membuat interaksinya problematis.

Penelitian disabilitas untuk pedidikan lebih tinggi dilakukan peneliti dari

University of Leeds, Inggris bernama Colin Barnes (2007). Ia menguji hubungan

dan bentuk particular produksi pengetahuan untuk memahami lebih jauh disabilas

dan perjuangan mewujudkan masyarakat inklusif dan setara. Latar belakang

penelitian ini adalah fakta bahwa hingga tahun 1990-an di Inggris sendiri sangat

sedikit jumlah universitas yang dapat diakses oleh orang disable.

Penelitian yang mempertemukan disabilitas netra dengan seni juga dapat

kita jumpai di beberapa jurnal. Wagener (1976) melakukan penelitian bagaimana

seni berbahasa dilakukan oleh anak-anak difabel netra. Di sini ia menegaskan

bahwa keterbatasan penglihatan pada anak-anak bergangguan penglihatan dapat

digantikan dengan kepekaan indera lain yang diasah dari kemampuan seni

berbahasa. Sementara itu Kersten (1981) memakai seni musik sebagai terapi pada

anak bergangguan penglihatan. Meskipun aspek estetis penting, dalam hal terapi

ia menempatkannya pada posisi sekunder.

Disabilitas gangguan penglihatan dan teater dapat kita temukan dalam

jurnal yang lebih baru seperti karya Sandahl (2004). Di sini Sandahl tidak hanya

mengulas tuna netra dengan teater, namun ia kaitkan juga dengan isu ras kulit

hitam, dan politik identitas. Ia menggunakan pementasan seorang aktor tuna netra

Lynn Manning, di Kennedy Center‟s Millenium Stage pada 14 Juni 2003. Dalam

karyanya yang berjudul Weight, Manning menceritakan perubahan identitasnya

sebagai laki-laki kulit hitam menjadi laki-laki tuna netra setelah perkelahian dan

penembakan yang dialaminya di sebuah bar saat berumur dua puluh tiga tahun

Page 6: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

6

hingga ia menjadi buta. Dari satu minoritas ke minoritas lain, dalam kerangka

politik identitas inilah pementasan dan kajian itu berfokus.

Penelitian pengembangan SMS berfitur suara untuk tuna netra dilakukan

oleh Ingrid Masithoh (2009). Dengan menggandalkan format MP3 dan

menggunakan JSR 135 ia merancang fitur suara sehingga para tuna netra dapat

mengakses layanan SMS secara mandiri. Penelitian ini ada dalam ranah teknologi

informasi sehingga tidak banyak menyinggung perkara mediatisasi.

Perkara-perkara yang lebih merujuk pada hubungan sosial dapat dilihat

pada penelitian yang mengulik ketidaksetaraan dan penerimaan sosial.

Penerimaan sosial bagi learning disable (LD)/ cacat mental dewasa dilakukan

oleh Sabornie & Kauffman (1986). Mereka meneliti status sosiometrik dalam

ruang kelas para siswa SMA yang learning disable yang digabung dengan non-

disable (mereka menyebutnya nonhandicapped/ NH). Sejumlah empat puluh

enam siswa masuk dalam kelas regular bersama dengan siswa non-handicapped

di anak sekolah. Status sosiometrik mereka menunjukkan tidak adanya perbedaan

yang berarti. Lebih jauh dilihat siswa LD ini nampak lebih dekat dengan sesama

siswa LD di dalam kelas dibanding dengan siswa NH. Hal ini menurut Sabornie

& Kauffman tidak konsisten dengan studi-studi sebelumnya dimana kelas reguler

dapat diterapkan pada PD dewasa. Dengan begitu sebenarnya tidak ada cukup

penerimaan sosial dalam kasus ini.

Penelitian yang lebih terkini tentang persamaan hak dan masyarakat sipil

ditemukan di penelitian Sarah D Phillips (2009). Penelitian di Ukraina ini, seperti

kebanyakan penelitian disabilitas di berbagai negara, selalu dihubungkan dengan

latar belakang politik kemunculan perundang-undangan dan gerakan masyarakat

sipil yang mengadvokasi hak-hak orang disable.

Penelitian di Indonesia dengan perspektif gerakan yang lebih baru

dilakukan oleh Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB). Secara khusus

mereka mempertemukan gerakan politik kaum difabel dengan Pemilihan Umum

(Pemilu). Perkara diskriminasi pemilih difabel, identitas dan perjuangan difabel

hingga janji-janji politik yang diberikan pada kaum difabel ditulis dalam buku

penelitian berjudul Memahami Pemilihan Umum dan Gerakan Politik Kaum

Page 7: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

7

Difabel (Salim-ed, 2014). Dari semua pustaka yang ditelusuri hanya buku inilah

yang secara khusus mengajukan gagasan difabilitas dan tidak memakai kata

„disabilitas‟.

E. Kerangka Teori

1. Mediatisasi

Untuk membicarakan mediatisasi kita perlu menjelaskan satu persatu apa

itu mediatisasi, apa perbedaannya dengan “mediasi” sebagai konsep yang lebih

dikenal luas. Selain itu secara mendasar juga perlu dijelaskan apa yang disebut

media dalam mediatisasi. Sampai di titik ini logika media juga menjadi penting

untuk membuat bagian ini lebih komprehensif.

Kunt Lundby (2009) menjelaskan mediatisasi menunjuk pada perubahan

hubungan sosial (societal changes) dalam masyarakat modern lanjut yang

kontemporer dan peran media serta komunikasi yang termediasi dalam

transformasi-transformasi ini. Proses mediatisasi mempengaruhi hampir semua

area kehidupan sosial dan kultural di modernitas lanjut.

Stig Hjarvard (2008) mengisi penjelasannya dengan mengingatkan bahwa

teori mediatisasi tidak harus selalu secara baik terspesifikasi, komprehensif dan

koheren. Ia harus dapat membuktikan kegunaannya sebagai alat analitis dan

validitas empirisnya melalui studi yang kongkret mediatisasi di area-area yang

sudah dipilih. Sementara Knut Lundby tidak menyinggung soal waktu, Hjarvard

memasukkannya sebagai elemen penting pengertian mediatisasi. Hal ini seturut

dengan pendapat Andreas Hepp (2013) bahwa ada pertimbangan durasi waktu

dalam mediatisasi. Jika kita simak lebih jauh:

By contrast, mediatization refers to more long lasting process, wehereby

social and cultural institutions and modes of interaction are changed as a

consequence of the growth of the media‟s influence. (Hjarvard, 2008:114)

dan kita bandingkan dengan:

Page 8: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

8

Mediatization as a concept used to analyse the (longterm) interrelation

between media-communicative and socio-cultural change in a critical

manner. (Hepp, 2013:6)

maka jelas mediatisasi adalah proses yang memakan waktu. Hepp membubuhkan

kata „longterm‟, tanda kurung dari Hepp sendiri. Sementara Hjarvard menuliskan

more long lasting sebagai perbandingan mediatisasi dan mediasi. Dalam

pengertian ini kata „more‟ (lebih) menunjuk pada adanya durasi dan tidak melulu

sebagai sesuatu yang harus lama. Dalam penjelasan lain ia secara sederhana

mengatakan pengujian ini dapat didasarkan pada situasi sebelum dan sesudah

penggunaan media yang tentu sudah memunculkan jarak waktu.

Mediasi sendiri menurut Hjarvard, menggambarkan babak nyata

komunikasi dalam pengertian medium dalam konteks sosial yang spesifik.

Sementara mediatisasi seperti yang sudah disinggung sebelumnya merujuk pada

proses yang lebih lama.7

Perbedaan mediasi dan mediatisasi ini juga disinggung oleh Lundby.

Mediasi dianggapnya sebagai istilah yang terlalu umum, dengan perbedaan

konotasi dari resolusi konflik sepanjang proses dan perubahan media modern.

Silverstone misalnya menjelaskan mediasi sebagai pengertian dialektis yang

mendasar, namun juga melengkapi konsep komunikasi(Silverstone, 2005 dalam

Lundby, 2009). Sementara mediatisasi masuk lebih spesifik pada transformasi

dalam masyarakat dan kehidupan sehari-hari yang dibentuk oleh media modern

dan proses mediasi seperti yang dipaparkan sebelumnya.

Sementara dalam kaitan dengan industry media, Bernard Miege (2011)

menambahkan bahwa sudah sejak lama komunikasi yang termediasi secara

progresif memasuki setiap aspek kehidupan dan hubungan sosial. Tren

kelihatannya dipercepat oleh pertumbuhan ICT dan alat-alat digital. Terlepas dari

perkiraan negatif dari sebagian intelektual, yang sedang kita lihat sebenarnya

adalah kehadiran bersama (coexistence) dan bahkan proses melengkapi

(complementarity) dari pada proses pergantian atau penggeseran (displacement).

7Hjarvard menjelaskan bahwa sebagian ahli seperti Altheide dan Snow (1985) menggunakan istilah

mediasi dalam pengertian mediatisasi seperti yang dipaparkannya ini. Lihat Hjarvard 2008; 114

Page 9: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

9

Waktu yang dihabiskan di depan layar monitor untuk aktivitas personal belum

membahayakan bagi pertukaran inter-individual, bahkan dengan perkembangan

proses belajar di rumah (home-schooling).

Hampir semua konsep mediatisasi diterapkan pada penggunaan media

modern dalam pengertian teknologi. Hepp tidak menunjuk media utama

(“primary” media) seperti bahasa atau akting teater. Ia juga tidak

menggeneralisasi media dalam pengertian seperti uang, cinta atau kekuasaan.

Pendapat Hepp merujuk pada media komunikasi teknis, seperti berbagai jenis

media yang kita gunakan untuk memperpanjang kemungkinan komunikasi yang

melampaui “kini” dan “di sini” seperti televisi, telepon genggam, jejaring sosial

dan seterusnya.

Meskipun uang dipahami sebagai media penukaran dalam teori sosiologi,

Hjarvard juga tidak memaksudkan media seperti ini ketika ia bicara mediatisasi.

Pun pidato, yang dalam konteks psikologi juga disebut medium ekspresi. Senada

dengan Hepp, Hjarvard menunjuk media dalam pengertian studi media dan

komunikasi, yang menyertakan teknologi hingga orang dapat berkomuniasi

melampui ruang dan/ atau waktu.

Proses mediatisasi di masyarakat dipahami sebagai proses dimana

masyarakat dalam derajat yang semakin terikat dan tergantung dengan media dan

juga logika media (media logic). Hjarvard menyebut dualitas yang menandai

mediatisasi yakni media semakin terintergrasi dengan operasi institusi sosial yang

lain, dan ketika media mengembangkan status institusi sosial seturut aturannya.

Konsekuensinya, interaksi sosial dalam dan antar institusi tersebut dan juga

masyarakat, menggunakan media.

Hjarvard dan Hepp merujuk sumber yang sama yakni Altheide dan Snow.

Menurut keduanya logika media merujuk pada modus operandi institusi dan

teknologi media, termasuk cara mereka mendistribusikan sumber daya material

dan simbolis, serta beroperasi dengan bantuan aturan-aturan formal dan informal.

(Altheide & Snow, 1979 dalam Hjarvard, 2008: 113). Hepp bahkan menekankan

bahwa logika media tidak terkandung dalam isi media tersebut.

Page 10: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

10

Altheide and Snow establish that a „media logic” inheres not in media

contents, but in the form of media communication. The later should be

understood as “processual framework through which social action

occurs” in this case, the social action of communication (Altheide &

Snow, 1979 dalam Hepp, 2013:4 – penekanan asli dari Altheide & Snow)

Lundby mengutip sisi lain dari format media dalam pengertian Altheide

dan Snow. Karakteristik format adalah “bagaimana material diorganisir, gaya

yang akan ditampilkan, fokus atau penekanan karakteristik tertentu dari perilaku,

dan tata bahasa komunikasi media” (Altheide and Snow 1991,p.9 dalam Lundby,

2009:8). Hal ini dielaborasi dengan pendapat Mazzoleni yang melihat logika

media sebagai kombinasi logika komersil, teknologi dan budaya.8Ia menjelaskan

sangat mungkin untuk memahami apa yang berada di balik proses produksi

media. Proses produksi ini komplek. Mereka biasanya menerapkan standarisasi

dan spesifikasi tertentu untuk menjaga profil, menyerap audiens dan menjaga

tetap efisien. Istilah „logika media‟ menangkap seluruh proses yang pada akhirnya

membentuk dan membingkai isi medianya. (Mazzoleni 2008a dalam Lundby,

2009:4)

2. Difabilitas

Istilah difabel merupakan akronim dari differently abled people (orang

yang berkemampuan berbeda) dan bukan person with different ability(orang

dengan kemampuan berbeda).9 Istilah difabel pertama kali digagas oleh Mansour

Fakih Fakih dan Detya Adi Purwanta (seorang difabel netra)10

. Istilah ini

bukanlah serta merta merupakan pengganti istilah penyandang cacat, namun lebih

sebagai ide perubahan konstruksi sosial memahami difabilitas yang saat itu

dikenal sebagai kecacatan/ penyandang cacat (Salim-ed, 2014).

8Mazzoleni tidak menjelaskan lebih lanjut perkara logika budaya. Ia hanya fokus pada logika komersial

dan teknologi. Logika komersial melibatkan komersialisasi baik institusi media dan masyarakat secara

keseluruhan, yang diikuti oleh logika industri dari industri media dan budaya. (lihat Lundby, 2009 :4) 9penjelasan pengertian ini dilakukan oleh M Joni Yulianto, Direktur SIGAB dan Ananto Sulistyo. Lihat

Salim-ed, 2014. 10Meskipun tidak dijelaskan secara lengkap, diyakini hal ini hanya dalam konteks Indonesia, bukan dalam

konteks internasional.

Page 11: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

11

Dalam banyak kasus, sebagaimana sudah disebutkan dalam bagian

tinjauan pustaka, difabilitas jarang ditemukan terutama dalam pergaulan

internasional. Banyak konsep-konsep akademis yang masih mengacu pada konsep

disabilitas (disabled people, people with disability). Istilah difabilitas ditengarahi

lebih banyak terdapat dalam gerakan masyarakat sipil dibanding dalam dunia

akademis. Untuk melihat konsep difabilitas ini kita akan sedikit berkilas balik

pada konsep disabilitas terlebih dahulu.

Gagasan disabilitas dikenal dalam sosiologi sudah cukup lama. Titchkosky

(2000) menyebut ada kajian disabiltas lama dan baru. Pembagian ini didasarkan

pada penelitian sosiologi tradisional dan kurikulum yang dikembangkan darinya.

Kajian yang lama memperkuat kontrol bahwa rehabilitasi/ industri medis dan

sistem pendidikan khusus (luar biasa) telah melampaui orang disable dan hal ini

membuat penelitian disabilitas tetap berlanjut, terisolasi dalam bidang-bidang

terapan (Linton, et al, 1995 dalam Titchkosky, 2000).

Disabilitas, dalam pemahaman di atas, diperlakukan sebagai sebuah

kondisi yang terberi. Disabilitas adalah kondisi dengan tubuh sebagai masalah.

Dengan begitu disabilitas dilepaskan dari lokasi sosial atau signifikansi sosial

apapun. Sebagai „sesuatu yang secara obyektif terberi” ia menjadi material yang

digunakan dalam proses sangsi (hukuman) dan stigma sosial. Mengikuti

pertimbangan masyarakat tentang orang yang berkemampuan terbatas ini

(disabled person) karya-karya sosiologi bermula. Masyarakat menganggap orang

disable sebagai penyimpangan (deviant) dan sosiologi kemudian mempelajarinya

sebagai “…penyimpangan karena orang disable terpisah dari konsepsi normatif

atas apa yang disebut „kondisi normal‟. Kondisi ini menggarisbawahi

ketunanetraan, keterbelakangan mental, kecatatan fisik yang merujuk pada orang

lumpuh serta obesitas dan ketidakteraturan makan. Dengan seluruh tubuh yang

abnormal ini para sosiolog dapat mempelajari relasi normal dari kondisi

menyimpang yang diterima sebagai sesuatu yang terberi (Goode,1996 dalam

Titchkosky, 2000).

Penawaran konsep „difabilitas‟ yang diturut oleh tesis ini menurut

Yulianto dan Sulistyo (2014) dilatarbelakangi kegagalan „disabilitas‟ menjawab

Page 12: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

12

beberapa pertanyaan berikut. Pertama, konsepsi kecacatan telah gagal melihat

keberadaan faktor di luar individu sebagai bagian yang sangat menentukan dalam

pencapaian aktualitas sosial seseorang. Tiga hal kausatif yakni keterbatasan fungsi

fisik dan/ atau mental, hambatan aktivitas, serta ketidakberuntungan sosial secara

langsung mengabaikan faktor individu lain di luar keterbatasan itu yang telah

nyata-nyata melahirkan hambatan bagi kaum difabel.

Kedua, konsepsi kecacatan sangat dekat dengan faham normalisme yang

didisain oleh para professional medis dengan standar keilmuan sepihak menjadi

normal dan abnormal (tidak normal). Ketiga, konsepsi kecacatan dinilai tidak

konsisten dengan nilai teologis yang menempatkan manusia sebagai makhluk

ciptaan dengan derajat tertinggi, dan Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta yang

tidak pernah salah dengan ciptaan-Nya.

Sebaliknya, difabilitas mengakomodir segala kritik di atas dan

mendekonstruksi gambaran negatif dari konsepsi kecacatan. Konsepsi ini

dipandang mampu melepaskan kausatif antara keterbatasan fungsi, hambatan fisik

dan ketidakberuntungan sosial. Ia mengakui realitas akan keterbatasan fungsi

(fisik atau mental) sebagai sesuatu yang normal. Difabilitas juga menggeser

standar normalisme sebagai realitas. Standar kenormalan adalah realitas itu

sendiri dimana manusia adalah sejatinya beragam. Yang terakhir, konsepsi ini

tidak menghadapkan kelompok sebagai inferior/ superior. Pada kenyataanya

segala penghalusan istilah seperti tuna netra atau disable masih menghasilkan

makna inferior.11

F. Metodologi Penelitian

1. Etnografi Baru

Tesis ini akan menggunakan metodologi Etnografi Baru. Menurut Sauko

(2003) tujuan penelitian etnografi baru adalah untuk mengembangkan moda studi

11Konsep perbedaan (different) membawa konsekuensi bahwa setiap orang berbeda. Artinya setiap orang

dapat memasukkan dirinya sebagai difabel. Yulianto dan Sulistyo menjelaskan, sebagai sebuah konsepsi

yang membalik pemaksaan „ketidakberuntungan‟ sebagai „perbedaan‟, konsepsi difabilitas berujung pada

pengakuan atau kesetaraan. Jika setiap orang mengaku difabel maka sejatinya konsepsi difabel telah dapat

diterima dan pesan kesetaraan telah dapat sepenuhnya diterima. Lihat Yulianto dan Sulityo dalam Salim-ed,

2014:74)

Page 13: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

13

dan penulisan yang membuat si peneliti mampu mendapatkan kebenaran yang

lebih dekat dengan kenyataan hidup dari si liyan yang diteliti. Dengan begitu

karakteristik etnografi baru seringkali menggunakan beragam strategi semisal

kolaborasi yang meningkatkan sudut pandang partisipan penelitian. Kolaborasi

dalam tesis ini dilakukan dengan mengajak tujuh orang difabel netra yang juga

anggota Kethoprak Distra Budaya untuk melakukan workshop teater

pemberdayaan yang akan dibahas di bagian berikutnya.

Karakteristik lain adalah refleksi diri (self-reflexivity) yang memediasi

dunianya sendiri dengan dunia partisipan penelitian.Polivokalitas digunakan

untuk memberi ruang pada gagasan bahwa kenyataan yang hadir banyak. Atas

azas keadilan pendapat satu sama lain juga harus saling diperdengarkan. Hal ini

menutup penghakiman atas kenyataan yang berbeda. Untuk menghindari

keberagaman yang tidak berarti peneliti perlu mengevaluasi realitas yang diteliti

dengan konteks sosialnya. Etnografi baru yang secara sosial sensitif ini menunjuk

cara melakukan penelitian yang secara kritis menganalisis struktur sosial dan

ketimpangan. Dengan metodologi ini struktur tersebut tampak berbeda dari

perspektif yang berbeda.

2. Teater Pemberdayaan

Teater pemberdayaan dikembangkan dari konsep teater rakyat (TR).

Bentuk teater ini adalah media pertunjukan yang menjadi media pemberdayaan

dan pendidikan politik bagi masyarakat dengan cara memfasilitasi masyarakat

mementaskan isu-isu sosial yang penting dan aktual untuk dibicarakan bersama

dalam komunitas masyarakat itu sendiri.Konsep ini paralel (atau dikembangkan)

dengan gagasan Theater of The Oppressed oleh Augusto Boal (1931-2009),

seorang sutradara/ penulis dan aktivis sosial Brasil yang peduli untuk

memberdayakan masyarakatnya agar berani berjuang melawan penindasan rejim

militer di Brazil pada tahun 1970an.

Apa yang dirumuskan Boal merupakan kritik atas puitika (dan politika)

dramaturgi yang hadir sebelumnya. Berikut adalah perbandingan puitika

Aristoteles, Bertolt Brecht dan Augusto Boal:

Page 14: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

14

Tabel 1: (sumber: Theater of The Oppressed, Boal (1979) p. 121)

Aristoteles Puitika dimana penonton mendelegasikan kekuasannya

pada karakter dramatis (aktor/ pemain) sehingga mereka

bertindak dan berpikir untuknya. (Katarsis)

A poetic in which the spectator delegates power to the

dramatic character so that the later may act and think for

him. (A catharsis occurs)

Brecht Puitika dimana penonton mendelegasikan kekuasan pada

karakter dimana mereka bertindak atas posisinya namun

penonton tetap mempunyai hak berpikir untuk dirinya

sendiri, seringkali dalam posisi yang berseberangan

dengan karakter dramatik. (Bangkitnya kesadaran kritis)

A poetic in which the spectator delegates power to the

character who thus acts in this place but the spectator

reserves the right to think for himself, often in opposition

to the character (An awakening of critical consciousness)

Boal Fokus pada aksi itu sendiri, penonton tidak

mendelegasikan kekuasaan pada karakter (atau aktor) baik

untuk bertindak ataupun berpikir di posisinya. Sebaliknya

mereka sendiri mengasumsikan peran protagonis,

mengubah aksi dramatis, mencoba solusi, mendiskusikan

rencana perubahan, pendeknya melatih diri mereka sendiri

untuk tindakan nyata.

Focus on the action itself, the spectator delegates no

power to the character (or actor) either to act or to think

in his place. On the contrary he himself assumes the

protagonic role, changes the dramatic action, tries out

solution, discusses plans for change- in short trains

himself for real action.

Boal sendiri mengaku bahwa ia banyak dipengaruhi oleh Paulo Freire,

seorang aktivis pendidikan dari Brazil juga. Setelah rejim militer di Braziljatuh,

Boal meneruskan proyek-proyek teaternya dengan masyarakat di sekitarnya. Ia

Page 15: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

15

mengajak banyak kelompok teater di Brazil untuk juga terlibat dan peduli pada

masyarakat di sekitar mereka (Boal, 1979).

Metode TR bisa dikatakan hampir mirip denganmetode teater

pemberdayaan di seluruh penjuru dunia terutama yang berasal dari Boal. Hanya

saja, TR sudah disesuikan dengan kondisi Indonesia. Pada awal berkembangnya

banyak pekerja TR yang berhubungan langsung dengan PETA (The Phillippines

Eduactional Theater Association) di Filipina.Awal dekade 1980-an beberapa

seniman Indonesia (di antaranya Emha Ainun Nadjib dan Fred Wibowo) dikirim

mengikuti lokakarya teater di PETA Manila. Sepulang dari lokakarya ini, Fred

Wibowo yang pada waktu itu bekerja di Studio PUSKAT Jogja yang dikelola

Pastor Jesuit mencoba mengadaptasi metode lokakarya dengan gagasan Boal itu

ke dalam kurikulum lokakarya yang diberi nama Lokakarya Teater Rakyat

(Bodden, 2010).

Perbandingan Metode Augusto Boal dan Teater Rakyat di Indonesia

Tabel 2:

Tahap Augusto Boal

Theater of the Oppressed

Teater Rakyat

PUSKAT versi Lokatera seminggu

Tahap I Memahami Tubuh/ Knowing

the body

Mengenali dan membebaskan tubuh

Tahap II Menciptakan Tubuh yang

Ekspresif/ Making the body

expressive

Ekspresi

Tahap III Teater sebagai bahasa,

Mempunyai tiga tingkatan:

1. Simultaneous

dramaturgy

2. Image theater

3. Forum theater

Produksi Mini

1. Teater Patung

gambaran riil

gambaran ideal

usaha untuk

transformasi

2. Teater Tari

3. Teaterikalisasi Puisi

Page 16: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

16

Tahap IV Teater sebagai diskursus,

sebagai contoh:

1. Newspaper theater

2. Invisible theater

3. Photo romance theater

4. Breaking of repression

5. Myth theater

6. Trial theater

7. Mask and Ritual

Produksi Teater Rakyat

1. Survey

2. Penulisan Naskah

daftar masalah

identifikasi akar

masalah

premis

tema

sinopsis

treatment

3. Latihan

4. Pementasan

Dalam tahap ini kemudian TR

banyak dikembangkan sebagaimana

contoh teater sebagai diskursus

menurut Boal.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini utamanya menggunakan pelatihan

(workshop) teater pemberdayaan, yang dilengkapi dengan observasi lapangan,

wawancara serta referensi yang lain. Workshop tersebut dianggap sebagai modus

yang diciptakan secara sengaja mempertemukan kaum difabel netra dengan

lingkungan sosialnya dalam konteks yang lebih spesifik. Media ini dianggap

memfasilitasi multidimensi ekspresi (emosi, vokal, rupa, tindakan dll) yang

memungkinkan peneliti menemukan variasi data.

Workshop dilaksanakan selama lima hari (lima pertemuan) pada tanggal

11, 12, 17, 18 dan 21 Juni 2014. Setiap pertemuan berisi dua sesi berdurasi

Page 17: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

17

masing-masing 50 s.d 60 menit. Adapun profil tujuh peserta workshop tersebut

yang kesemuanya anggota Kethoprak Distra Budaya adalah sebagai berikut:

a. Harjito/ Jito (laki-laki, 45 tahun) berprofesi sebagai pemijat. Ia adalah

ketua Kethoprak Distra Budaya.

b. Yadi/ Baryadi (laki-laki, 34 tahun) berprofesi sebagai pemijat dan

berjualan pulsa elektronik. Ia belum lama bergabung dengan Distra

Budaya, atas ajakan Harjito.

c. Ningsih (perempuan, 39 tahun) berprofesi sebagai pemijat. Sejak

setahun lalu ia menjadi istri Yadi, namun baru selama tiga bulan

tinggal serumah. Sebelumnya Ningsih menjadi pemijat di Jakarta.

d. Bejo (laki-laki, 38 tahun) berprofesi sebagai pemijat. Ia pernah

berjualan pulsa dan telepon genggam namun terhenti karena merasa

terlalu repot. Bejo paham internet dan hobi mengunduh lagu-lagu

untuk teleponnya.

e. Getir (laki-laki, 50 tahun) berprofesi sebagai pemijat dan juga dikenal

sebagai kaum (modhin) di desanya di Kulon Progo. Ia juga menjadi

sekretaris Kethoprak Distra Budaya yang bertugas membuat proposal,

mencetak serta mem-foto copynya.

f. Ratmi(perempuan, 40 tahun) berprofesi sebagai pemijat dan salah satu

istri Getir. Ia adalah salah satu pemain terbaik Distra Budaya. Ia

memerankan Suminten pada pementasan Suminten Edan.

g. Makmun(laki-laki, 38 tahun) berprofesi sebagai pemijat. Setiap hari ia

melakukan aktivitas mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah.

Dari semua peserta itu hanya Getir dan Makmun yang berpenglihatan

kabur (low vision). Dalam penggunaan SMS berfitur suara, hanya Getir,

Makmun dan Ratmi yang tidak menggunakannya secara langsung.

Alasannya adalah perkara ekonomi dan penggunaan telepon genggam

yang memiliki fitur itu belum mendesak dibutuhkan. Meski begitu mereka

akrab dengan fitur itu karena digunakan di kalangan pergaulan mereka.

Page 18: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

18

Karena peserta workshop adalah kaum difabel netra, seluruh materi

workshop disesuaikan dengan mereka. Materi-materi yang bersifat visual diganti

menjadi berbasis sentuhan atau audio. Misalnya teater patung yang biasanya

berbentuk diorama diganti menjadi teater suara. Ekspresi emosi pada wajah

diganti dengan ekspresi suara dan juga penugasan pengiriman SMS yang

melibatkan emosi.12

Selain penugasan SMS emosi peserta juga diberi penugasan

pengiriman SMS kepada kenalan mereka. Pada hari terakhir workshop dilakukan

presentasi kecil yang menyampaikan tema penggunaan SMS berfitur suara dalam

dinamika relasi mereka.13

Observasi di luar workshop dilakukan beberapa kali semisal melihat

mereka latihan dan pentas, bertamu ke rumah mereka dan berinteraksi dengan

keluarga mereka, mengunjungi partisipan pada saat Pemilihan Umum atau

perayaan Lebaran berlangsung. Sejumlah wawancara juga dilakukan terutama

dengan partisipan.

4. Metode Analisis Data

Data diolah dengan kerangka teori mediatisasi yang sudah dipaparkan

sebelumnya dan memperhitungkan pertimbangan kolaborasi dengan peserta

pelatihan sebagai subyek penelitian, refleksi diri dan polivokalitas. Hjarvard

(2008) menawarkan dua tingkat yakni mikro dan makro ketika kita melihat proses

mediatisasi dan interaksi-interaksi di dalamnya.14

Adapun langkah-langkahnya

sebagai berikut:

12Lihat Lampiran Penyesuaian Metode Workshop. 13Lihat Lampiran Catatan Proses

14Joshua Meyrowitz juga mengusulkan tiga metaphor untuk membedakan aspek media komunikasi yang

berbeda-beda yakni: media sebagai saluran (channel), media sebagai bahasa (language) dan media sebagi

lingkungan (environment). Media sebagai saluran digunakan untuk melihat media yang menjadi

transportasi simbol dan pesan antar pengirim dan penerima yang berjarak, hingga penelitian difokuskan

pada isi media. Media sebagai bahasa berfokus pada cara-cara meda memformat pesan dan membingkai

relasi antara pengirim, isi dan penerima. Media sebagai lingkungan berkonsentrasi pada cara system dan

institusi media memfasilitasi dan menstrukturkan interaksi dan komuniasi manusia (Meyrowitz, 1997

dalam Hjarvard, 2006:4). Sementara itu Andreas Hepp juga menawarkan operasionalisasi penelitian

mediatisasi dengan menggunakan figurasi komunikatif (communicative figurations) dengan perspektif

diakronus (diachronous) dan sinkronus (synchronous). Figurasi komunikatif merupakan pola dari proses

keterhubungan yang muncul dari berbagai media dan mempunyai bingkai tematik yang berorientasi pada

Page 19: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

19

a. Tingkat Mikro adalah tingkatan dimana media mengubah interaksi

atau dampak yang menstrukturkan interaksi manusia.

Pada tingkat ini Hjarvard meminjam teori depan dan belakang

panggung (backstage/frontstage) dari Erwing Goffman

(1959).Tingkatan ini meliputi bahasan sebagai berikut:

i. Media membuat beberapa interaksi sosial terjadi pada saat

bersamaan

ii. Media memungkinkan pelaku mengoptimalkan interaksi sosial

untuk kepentingannya sendiri

iii. Media memudahkan relasi mutual antara partisipan berubah,

termasuk norma-norma perilaku yang diterima.

b. Tingkat Makro, dimana analisa berfokus pada institusi yang berhadap-

hadapan (interface). Kita dapat melihat bagaimana institusi terhubung

satu sama lain karena intervensi media pada tingkatan ini.

Bagian ini mencermati bagaimana:

i. Media menyebabkan situasi berhadap-hadapannya (interface)

relasi dalam dan antara dua institusi. Institusi sosial serta media

dilihat sebagai arenabudaya dalam pemahaman Pierre

Bourdieu. Konsep kutub otonom dan heteronom digunakan di

sini untuk melihat pertarungan dalam arena tersebut.

ii. Media memunculkan ruang pengalaman bersama. Bagian ini

terkait dengan identitas komunitas Hjarvard meminjam

pendapat Anthony Giddens bahwa satu aspek modernitas

sebagai masih terus berjalannya struktur sosial yang terlepas

(an ongoing disembedding of social structures) telah pecah dan

bertransformasi melalui kontak dengan dunia yang lebih luas.

aksi komunikatif. Yang diakronus dilakukan dengan membuat perbandingan waktu, di satu hal/ bidang

yang termediasi dengan titik dan waktu yang berbeda, dengan demikian ia membutuhkan biaya dan sumber

daya yang sangat besar. Yang sinkronus lebih melihat momen eruptif tertentu yang disebut gelombang

mediatisasi karena proses mediatisasi juga tidak linear (Hepp, 2013:12). Penelitian tesis ini tidak

menggunakan cara-cara di atas karena karakter media (yang hanya berfokus pada) SMS berfitur suara lebih

tepat dilihat dengan cara bertingkat mikro dan makro-nya Hjarvard.

Page 20: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

20

Konsep meta-kapital media yang dikembangkan Nick Couldry

(2005) dari konsep meta-kapital Bourdieu dipinjam oleh

Hjarvard dalam bagian ini.

iii. Media menciptakan ruang virtualisasi ruang sekaligus

geografis baru. Kemungkinan pengguna masuk dalam

globalisasi semakin besar meskipun secara bersamaan ada arah

ke lokalisasi.

G. Sistematika Penulisan

Sebagai sebuah penelitian yang menggunakan metodologi etnografi tesis

ini akan banyak berisi catatan-catatan lapangan yang deskrpitif. Catatan tersebut

disusun sedimikian rupa sehingga menjadi bagian-bagian yang terhubung satu

sama lain. Setiap bagian mempunyai kemampuanmenjelaskan satu bahasan yang

terfokus.

Badan tulisan akan diisi dengan kutipan-kutipan penugasan SMS,

transkrip presentasi atau catatan proses dari workshop yang dimaksud di bagian

sebelumnya. Kutipan-kutipan tersebut akan disalin sebagaimana adanya

(verbatim) terutama kutipan yang berasal dari penugasan SMS. Cara ini meskipun

akan menimbulkan kesan salah tulis, berguna untuk menunjukkan kekuatan data

yang dikontribusikan oleh para partisipan workshop. Sepanjang sudah dapat

dipahami apa isinya kutipan-kutipan tersebut tidak diubah penulisannya.

Tesis akan dibagi ke dalam beberapa bab sebagai berikut:

1. Bab I: Pendahuluan

Bab ini berisi bagian ini dimana seluruh latar belakang, pertanyaan

penelitian dan metodologi dibahas. Sebagai sebuah bab yang berawal dari

proposal penelitian bab ini juga memberi gambaran dan penyesuaian awal

ketika penelitian hendak dimulai.

2. Bab II: Mediatisasi

Bab ini merupakan bagian yang secara khusus membahas

mediatisasi dan seluruh dinamikanya. Jika dalam bab sebelumnya sudah

dijelaskan pengertian mediatisasi, perbedaannya dengan mediasi dan juga

Page 21: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74857/potongan/S2... · Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message

21

pemahaman awal logika media, dalam bab ini kita akan membahas

contoh-contoh penerapan mediatisasi dalam berbagai bidang, perluasan

dan pertemuannya dengan berbagai teori serta pembahasan media sebagai

institusi.

3. Bab III: Perubahan Interaksi

Bab ini merupakan bagian dimana analisa mikro mediatisasi

diperdalam dengan menggunakan konsep Goffman (1959). Lewat metafor

atas dan belakang panggung kita melihat perubahan-perubahan interaksi

para difabel netra ketika menggunakan media SMS berfitur suara sebagai

media.

4. Bab IV: Institusi Yang Berhadap-hadapan

Mediatisasi dalam tingkatan makro akan dibahas di bab

ini.Penggunaan kutub heteronom/ otonom serta konsep meta-kapital dari

Pierre Bourdieu (1993, 2005) dipakai dalam bab ini. Lebih jauh meta-

kapital media yang dikembangkan Nick Couldry (2003) digunakan untuk

menjelaskan terbentuknya pengalaman bersama.

5. Bab V: Virtualisasi Institusi

Bab ini membahas proses virtualisasi institusi, dalam hal ini

difabilitas netra, sebagai efek mediatisasi yang memunculkan domestikasi,

deteritorialisasi dan geografi baru. Bagian domestikasi akan melihat

rumah sebagai titik akses perputaran institusi yang lain sementara bagian

deteretorialisasi melihat perubahan pada pengalaman kultural dan interaksi

sosial. Pada bagian geografi baru kita akan melihat praktik bermedia para

difabel netra, apakah mereka mengarah pada lokalisasi, globalisasi,

individualisasi atau nasionalisasi.

6. Bab VI: Penutup

Bab ini merupakan bagian akhir dimana penulis menyimpulkan

semua temuan dan memberi catatan akhir. Beberapa hal penting yang

ditemukan dalam penelitian ini juga digarisbawahi dan ditegaskan ulang

dalam bagian penutup ini.