kethoprak sbg penyalur asprasi
-
Upload
muhammad-syaiful-rohman -
Category
Documents
-
view
454 -
download
0
description
Transcript of kethoprak sbg penyalur asprasi
KETHOPRAK LESUNG SASTRA BUDAYA
Media Alternatif Penyampai Aspirasi
Oleh:
Muhammad Syaiful Rohman
10/306973/PSA/02293
“manusia tidak hanya dapat menggagas, melainkan juga
dapat mengekspresikan gagasannya. Manusia tidak mengalami
kesulitan mengekspresikan gagasannya, dan manusia tidak dapat
tidak mengekspresikan gagasannya. Apabila tidak ada
pengekspresian gagasan maka tidak mungkin terjadi hubungan
antarmanusia. Bidang-bidang kehidupan manusia seperti
ekonomi , sosial politik, cinta dan lain-lain, semuanya
memerlukan ekspresi. Manusia dapat hidup hanya dengan
mengeskpresikan diri. Manusia dalam mengekspresikan diri itu
terdapat ekspresi khusus yang disebut kesenian. Kekhususan itu
karena dengan kesenian manusia mengekspresikan gagasan
estetik atau pengalaman estetik. Kesenian merupakan penjelmaan
pengalaman estetik. “ (Driyakara, 1980)
A. PENDAHULUAN
Untuk mengubah sistem menjadi lebih baik, kita harus masuk pada
sistem itu sendiri. Begitulah kira-kira yang ada dalam pikiran saya saat itu, ketika
saya kesulitan mengakses fasilitas kampus seperti misalnya menggunakan
panggung terbuka yang terletak diantara gedung A dan gedung B maupun
auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM untuk mementaskan pertunjukkan
Kethoprak Lesung Sastra Budaya. Jangankan menggunakan fasilitas kampus,
dana kegiatan saja tidak pernah dicairkan dengan alasan dari dekanat bahwa
Page | 1
kegiatan ini tidak masuk rencana kegiatan dan anggaran tahunan (RKAT)
fakultas. Yach.....mau bagaimana lagi?? The show must go on,,begitu tekad saya
untuk menggelar pementasan kethoprak ini demi sebuah idealisme untuk
melestarikan warisan budaya leluhur dan tanggung jawab moral kepada
mahasiswa, ini karena saya dipercaya sebagai Lurah Kethoprak Lesung Sastra
Budaya yang juga merupakan salah satu divisi dalam Badan Semi Otonom Sastra
Budaya.
Kondisi ini harus berubah, gumam saya dalam hati. Saya harus bisa
mengubah keadaan ini. Ada ataupun tidak ada dukungan dana dari fakultas, cita-
cita untuk melestarikan warisan budaya leluhur seperti kethoprak lesung ini harus
tetap dijalankan karena bentuk kesenian tradisional ini sudah jarang ditemui di
Daerah Istimewa Yogyakarta apalagi di dunia kampus seperti di Fakultas Ilmu
Budaya ini, meski pada setiap kali pementasan harus merogoh uang saku saya
sendiri yang sebenarnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi
setiap bulannya. Akhirnya pada bulan April tahun 2006, saya ikut mencalonkan
diri sebagai salah satu kandidat presiden Lembaga Eksekutif Mahasiswa. Saya
memang berasal dari jurusan Antropologi Budaya, tapi saya maju dengan
dukungan penuh dari BSO Saskine (badan semi otonom sastra kine, komunitas
mahasiswa penyuka film) sebagai mesin politik utama dan dukungan tertulis dari
15 lembaga kemahasiswaan di FIB UGM.
Pada saat masa kampanye, saya dengan percaya diri melakukan
kampanye dalam bentuk penyebaran leaflet maupun penempelan pamflet di
tempat-tempat strategis, dan pidato di Kantin Sastra maupun di Bonbin (warung
makan yang terkenal di UGM karena selain masakannya yang enak, harganya pun
cocok untuk ukuran saku mahasiswa). Dengan berbekal sebuah gitar di tangan
kanan, dan sebuah pengeras suara (TOA) di pundak kiri yang merupakan bentuk
dukungan dari keluarga mahasiswa antropologi, dan dengan mengenakan kostum
ala Panglima Besar Jenderal Soedirman sebagai salah satu bentuk simbol
perlawanan yang diinspirasikan dari unen-unen Jawa “ajining diri ana ing lathi,
ajining raga ana ing busana” saya berkampanye di titik-titik yang telah
Page | 2
ditentukan oleh KPU untuk menarik dukungan massa dari berbagai kelompok
mahasiswa.
Pada penghitungan suara di hari terakhir pencoblosan pemilihan raya
mahasiswa, saya memperoleh 389 surat suara sah dengan selisih 11 surat suara
dari kandidat nomor urut pertama yang maju mencalonkan diri lewat Keluarga
Mahasiswa Sastra Nusantara, dan selisih sangat jauh dari kandidat lain nomor urut
dua dan satu-satunya kandidat perempuan yang mewakili jurusan Sastra Perancis
dengan perolehan suara sebanyak 59 surat suara. Dengan ditetapkannya hasil
penghitungan surat suara oleh KPU, maka akhirnya saya ditetapkan sebagai
Presiden Lembaga Eksekutif Mahasiswa periode kepemimpinan tahun 2006-2007.
B. SENI DAN RUANG PUBLIK: sebuah kerangka konseptual tentang
pengungkapan rasa marah, sedih, senang, dan emosi-emosi lain dalam
arena politik
Pertanyaan tentang guna dan fungsi memang dapat meresahkan. Ketika
kesenian dihadapkan pada pada sesuatu yang praktis pragmatis baik bagi seniman,
maupun bagi masyarakat. Tidak semua tentunya dapat dikejar dan diformulasikan
tentang fungsi praktisnya. Sebab pada ‘sesuatu’ (karya seni) itu, yang ditawarkan
adalah ‘nilai’. Lebih dari itu, terdapat sesuatu hal yang subtil ataupun yang
mencerahkan ataupun yang membebaskan.
Jika seni merupakan proses dialektik yaitu manusia di suatu pihak dan
realitas di pihak lain, maka dialektik itu tidak akan kunjung habis. Hasil seni
tidaklah pernah sempurna, meskipun ia selalu ingin demikian. Terjadi tegangan
yang terus menerus, setidaknya selama proses kreasi, antara realitas dengan
pemaknaan, antara diri sebagai kreator dan faktor-faktor objektif yang mendorong
dan mempengaruhi kreasinya. Termasuk menyangkut masalah fungsi atau guna.
Meskipun pada kenyataannya ketika proses kreasi berlangsung, tendensi-tendensi
praktis pragmatis itu dapat diabaikan atau terabaikan.
Page | 3
Derasnya arus informasi dan cepatnya komunikasi antarbudaya
mengakibatkan revolusi kebudayaan. Menurut Tolstoy, seni adalah kegiatan
manusia yang dilakukan secara sadar dengan perantaraan tanda-tanda
lahiriah tertentu untuk menyampaikan perasaan-perasaan yang telah
dihayatinya kepada orang lain sehingga mereka kejangkitan perasaan ini
dan juga mengalaminya. Dengan kata lain seni sebagai komunikasi dari pencipta
kepada orang lain.
Temuan baru di bidang teknologi komunikasi yang canggih dengan media
elektronika serta satelit memberikan kemudahan dan percepatan penyebaran karya
seni dan budaya baru dari suatu tempat ke seluruh pelosok dunia dan menjadikan
transformasi budaya yang sangat pesat, sehingga mempertinggi dan memperbaiki
derajat kemanusiaan.
Bagi negara-negara industri yang telah maju industrialisasinya, seni dan
budaya telah berkembang dengan pesat. Di sana nilai seni dan budaya serta
pelayanannya tidak hanya semata-mata dianggap sebagai komoditi yang dapat
dipasarkan, tetapi lebih dari itu. Nilai seni dan budaya dianggap sebagai sumber
gagasan dari seseorang atau sekelompok masyarakat dalam rangka menghasilkan
karya seni dan budaya yang bermutu dan beragam yang mampu bersaing dengan
karya seni dan budaya dalam negeri maupun luar negeri. Seperti diungkapkan
Dewanto (1996) bahwa terjadi hubungan timbal balik antara keragaman seni yang
dihasilkan oleh para seniman dengan industri seni yang bersifat monokultur.
Keragaman produk seni bukan keinginan dan usaha subjektif seniman yang
didasarkan pada kemerdekaan kreatif dan keunikan ciptaan pribadi, tetapi atas
permintaan konsumen kerena kemajemukan pasar yang harus diobati dengan
produk-produk seni baru yang beraneka ragam.
Bagi Indonesia yang sedang membangun bangsanya diperlukan persyaratan
penting yaitu keterbukaan masyarakat dan bangsa untuk menghadapi perubahan-
perubahan. Keterbukaan bukan berarti menerima atau mengadopsi bagitu saja
nilai-nilai baru yang datang dari luar, melainkan suatu penerimaan yang selektif.
Page | 4
Keterbukaan merupakan persyaratan bagi pembangunan dan kemajuan. sikap
keterbukaan adalah kesediaan untuk menerima informasi, gagasan dan nilai
baru yang konstruktif.
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan
bermakna. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk
berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis berarti ruang
publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar
belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik
manusia. Dan terakhir bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan
antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial.
Dengan karakteristik ruang publik sebagai tempat interaksi warga
masyarakat, tidak diragukan lagi arti pentingnya dalam menjaga dan
meningkatkan kualitas kapital sosial. Namun sayangnya, arti penting keberadaan
ruang-ruang publik tersebut di Indonesia lama kelamaan diabaikan oleh pembuat
dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah sehingga ruang yang sangat penting
ini lama-kelamaan semakin berkurang. Ruang-ruang publik tersebut yang selama
ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, baik sosial, politik maupun
kebudayaan tanpa dipungut biaya, seperti lapangan olah raga, taman kota, arena
wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya lama-kelamaan menghilang
digantikan oleh mall, pusat-pusat perbelanjaan, ruko-ruko dan ruang-ruang
bersifat privat lainnya.
Selanjutnya adalah pandangan Gunnar Myrdal, seorang ahli ekonomi
yang paling serius dalam mengkaji akar psikokultural dari perkembangan
ekonomi, khususnya dalam bukunya yang 3 jilid, Asian Drama (1968). Bagi
Myrdal, faktor-faktor psikokultural tidak hanya melahirkan perilaku
entrepreneurial, tapi juga memasuki, membentuk, dan mendominasi dimensi
politik, ekonomi, sosial, dll, dari seluruh sistem nasional. Myrdal
menyesalkan kurangnya perhatian dan penelitian antropologi, sosiologi, dan
psikologi terhadap faktor-faktor psikokultural ini. Hal ini mungkin disebabkan
Page | 5
karena kesulitan dalam menangkap faktor tersebut dalam analisis yang sistematik
dan kwantitatif seperti yang biasanya dilakukan orang terhadap faktor-faktor
ekonomi.
Myrdal melihat pola-pola ideal dalam proses menuju ke masyarakat
modern, seperti rasionalitas, persamaan sosial dan ekonomi, dan demokrasi
politik merupakan hal yang asing dalam kebanyakan masyarakat negara
terbelakang, khususnya negara-negara di Asia Selatan. Semua pola ideal ini
datang dari luar.
Pada umumnya Orang Asia Selatan, sebagaimana yang dilihat oleh
Myrdal, lebih mementingkan hal-hal spiritual daripada hal-hal material
dibandingkan dengan orang Barat. Mereka lebih memikirkan dunia baka, tidak
peduli pada diri sendiri, acuh terhadap kemakmuran dan kenikmatan hidup
material. Mereka memandang kemiskinan dengan hati yang lapang, bahkan
memandang positif sikap seperti itu1. Kekuatan intelektual mereka terletak pada
intuisi ketimbang reason dan hard calculation. Hal yang ideal bagi bangsa Asia
Selatan itu adalah menarik diri dari dunia nyata ini. Mereka tidak suka prinsip-
prinsip hukum yang definitif. Konflik cenderung diselesaikan dengan cara
mencari pertemuan pendapat bersama (dalam bahasa Indonesia populer disebut
cara “perdamaian”) ketimbang melalui prosedur hukum formal.
Sementara itu sikap bermurah hati dan penuh toleran yang sering disebut
sebagai ciri-ciri menonjol masyarakat Asia Selatan, khususnya India, ternyata
bertentangan dengan kenyataan yang berlaku. Dalam kenyataan, para pengamat
justru melihat suasana intoleran dan kecongkakan pada masyarakat India, yang
pada gilirannya telah melahirkan perilaku kekerasan antar kelas/kasta dan antar
golongan agama. Sikap yang sangat tidak toleran terhadap manusia lain
lahir dan dibina oleh sistem kasta dan kesombongan golongan
1 Perhatikanlah syair lagu Qasidah Anak Bertanya pada Bapaknya, ciptaan Sam Bimbo dan Taufik Ismail. Dalam satu kesempatan bertemu dengan Taufik Ismail pada tahun 1990, saya mendengar bahwa syair tersebut banyak disesalkan orang sebagai tidak mendorong kepada pembangunan, dan ternyata beliau sendiri setuju dengan kritikan tersebut.
Page | 6
berpendidikan tinggi terhadap kelas bawah. Keadaan masyarakat yang penuh
dengan sikap dan pandangan yang seperti ini jelas tidak kondusif untuk
pembangunan ekonomi.
Banyak lagi butir-butir yang diberikan oleh Myrdal tentang faktor-faktor
psikokultural, dan juga faktor-faktor sosial, yang menjadi ciri-ciri dari
masyarakat terbelakang di Asia Selatan ini. Bagaimanapun Myrdal percaya
bahwa kondisi psikokultural dan sosial ini dapat diubah melalui intervensi dari
luar. Sifat ini tidak permanen dan tidak diturunkan melalui darah. Jadi kalau
sebuah pemerintah ingin memajukan bangsanya, pemerintah tersebut harus
terlebih dahulu menaruh perhatian terhadap usaha-usaha perubahan pada aspek
psikokultural dan aspek sosial.
Selanjutnya adalah Frederick George Bailey, seorang ahli antropologi
Inggris, mengatakan bahwa , nilai-nilai dan kategori-kategori adalah aspek
kultural, dan aspek ini terletak di bawah permukaan aturan-aturan permainan, di
balik strategi-strategi untuk meraih reputasi baik. Nilai-nilai dan kategori-
kategori tersimpan di dalam tanda-tanda yang dinyatakan dalam interaksi politis.
Orang menafsirkan tanda-tanda tersebut untuk mencapai pengertian tentang
konsep-konsep dan kategori-kategori yang dikandung oleh tanda-tanda tersebut.
Namun demikian, sistem simbol ini bersifat laconic (hemat kata, padat dan
singkat), sehingga memberikan kemungkinan untuk terjadinya manipulasi dan
manuver. Hubungan antara tanda (atau signal) dan pengertian yang
dikandungnya adalah satu penyederhanaan kasar. Dan penggunaan secara taktis
terhadap tanda-tanda ini untuk menguasai situasi, untuk memperoleh
teman dan untuk mempengaruhi orang, melahirkan interaksi politis yang
kompleks. Jadi kekuasaan, menurut Bailey, adalah kemampuan untuk membujuk,
menekan, atau mengajak orang lain agar mempunyai definisi yang sama dengan
kita dalam melihat satu situasi, dan kemudian berdasarkan atas definisi yang
sama itu mengambil tindakan yang sama pula dalam menghadapi situasi
tersebut.
Page | 7
Dalam buku The Tactical Uses of Passion (1983), Bailey memperlihatkan
bahwa meskipun nalar mempunyai peranan, namun dalam kenyataannya tindakan
mempertunjukkan emosi khususnya kemarahan dan tindakan menggunakan
retorika adalah lebih berhasil dalam seni membujuk, meyakinkan, dan memaksa
orang lain untuk menyetujui pendapat kita dan bertindak sesuai dengan
kemauan kita. Jadi, kata Bailey, dalam kompetisi untuk merebut kekuasaan di
arena birokrasi (menguasai pendapat orang lain), mereka yang tahu kapan dan
bagaimana cara menembus tutup luar dari sisi politis yang “public” (terbuka)
akan memenangkan kompetisi, dan dalam hal ini penggunaan emosi kemarahan
adalah satu strategi yang efektif dalam usaha penetrasi tersebut.
C. KETHOPRAK LESUNG SASTRA BUDAYA: Sebagai Media Alternatif
Penyalur Aspirasi
Ide penyaluran aspirasi melalui pementasan kethoprak ini berawal dari
kegelisahan kawan-kawan mahasiswa FIB UGM yang merasa ditipu mentah-
mentah oleh system pendidikan di Indonesia utamanya di Universitas Gadjah
Mada. System pendidikan yang menuntut kehadiran di kelas minimal 75% ini
secara tidak langsung justru mematikan potensi non-akademik yang dimiliki
mahasiswa. Selain masalah system pendidikan, mahasiswa sebagai civitas
akademika terbesar di UGM merasa hanya dijadikan “obyek”, dan bukan
“subyek” pendidikan. Dengan hanya menjadi “obyek” pendidikan, mahasiswa
merasa hanya menjadi “sapi perahan” untuk menambah pamasukan anggaran di
UGM tanpa tahu untuk apa saja sebenarnya SPP, BOP (biaya operasional
pendidikan), dan SPMA (sumbangan peningkatan mutu akademik) yang
dibayarkan setiap semester. Mahasiswa menuntut untuk dilibatkan dalam setiap
proses pengambilan kebijakan di UGM yang menyangkut kurikulum pendidikan
dan kegiatan kemahasiswaan.
Ketidakpuasan mahasiswa itu sedikit menimbulkan gejolak. Sebagian
kawan-kawan yang tergabung dalam organisasi ekstra kampus seperti HMI,
GMNI, KAMMI, PMII mengajak demonstrasi besar-besaran. Salah satu target
Page | 8
aksi adalah menekan kebijakan dengan cara melakukan sabotase dan bahkan akan
melakukan aksi yang lebih parah, yaitu merusak symbol akademik atau
menurunkan lambang UGM. Dalam menyiapkan aksinya ini, kawan-kawan
mahasiswa bahkan siap bentrok dengan SKK (satuan keamanan kampus) yang
saat itu dipimpin oleh Kombes (Purn) Dida, konon kawan akrab Sofyan Effendi,
rector UGM periode 2002 – 2007.
Rupanya rencana aksi kawan-kawan ini didengar oleh kawan-kawan yang
tergabung dalam Badan Semi Otonom (BSO) Sastra Budaya yang memiliki
Kethoprak Lesung sebagai salah satu divisinya. Setelah diskusi panjang dengan
Lembaga Eksekutif Mahasiswa, kebetulan saya saat itu menjabat sebagai presiden
mahasiswa, berencana mengubah hasrat destruktif mahasiswa menjadi sesuatu
yang layak dipertimbangkan, yaitu menggunakan jalan yang lebih santun,
mementaskan sebuah pagelaran kethoprak yang mengundang rector dan dekan se
UGM.
Ide lakon “Gadjah Mada Kecu” ini terinspirasi dari peristiwa perang bubat
yang menurunkan wibawa Majapahit sebagai imperium terbesar masa itu. Gadjah
Mada karir politiknya mulai merosot akibat Perang Bubat (1357). Dalam Kidung
Sunda diceritakan bahwa hal ini bermula pada saat Prabu Hayam Wuruk hendak
mengangkat Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi putri Maharaja Linggabuana raja
besar Tatar Sunda sebagai permaisuri, sedangkan Patih Gajah Mada yang
menginginkan Sunda untuk takluk, memaksa Dyah Pitaloka sebagai persembahan
untuk pengakuan atas kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan itu, terjadilah
pertempuran yang tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan
Sunda di Bubat. Dyah Pitaloka sendiri bunuh diri setelah ayahanda beserta seluruh
rombongannya gugur dalam pertempuran.
Akibat peristiwa itu, Patih Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya dan ia
diberi pesanggrahan “Madakaripura” di Tongas, Probolinggo. Namun pada 1359,
Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih, hanya saja ia memerintah dari
Page | 9
Madakaripura. ( Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa
Indonesia )
Naskah Kethoprak “Gadjah Mada Kecu” yang pernah di pentaskan di
Fakultas Ilmu Budaya UGM dalam rangka memperingati Dies Natalis FIB tahun
2006 ini sempat dipentaskan dua kali. Berikut sepenggal kisahnya:
Alkisah ada seorang pemuda yang bernama Gadjah Mada dan Hayam
Wuruk. Gadjah Mada adalah seorang yatim piatu dan Hayam Wuruk adalah
sahabat dekatnya. Hayam Wuruk mempunyai berbagai sifat yang bagus yang
kelak akan menjadi raja. Mereka sering bermain dan belajar bersama. Pada suatu
hari mereka pulang dari menuntut ilmu di padepokan (UGM) yang kelak
menghasilkan orang-orang yang memegang jabatan penting di negara ini. Dari
pembicaraan mereka akhirnya Hayam Wuruk berpikiran untuk memberikan
sebidang tanah untuk mendirikan sebuah padepokan agar digunakan sebagai
tempat penggemblengan prajurit yang berguna bagi negara atau semacamnya
ketika dia (Hayam Wuruk) nanti sudah menjadi seorang penguasa atau raja. Dia
berpikiran demikian karena Gadjah Mada memiliki jiwa sebagai pemimpin, berani
dan thas-thes (Jawa, berarti tangkas dan cekatan). Namun Gadjah Mada harus
menuruti perintah raja dan biaya padepokan itu harus murah. Mereka berdua
punya seorang teman yang malas sekolah bernama Rama Pati, namun orangnya
pintar dan lihai.
Pada suatu ketika tersebutlah seorang wanita yang bernama Dyah Pitaloka.
Dia adalah seorang yang cantik, intelek, dan keibuan walaupun agak liar. Saat itu
dia sedang bersama Rama Pati, mereka ngudoroso, membahas tentang berbagai
hal yang sedang hangat ditempat belajar (kampus UGM) antara lain masalah
kebijakan - kebijakan, kondisi perkuliahan, dan kapitalisme pendidikan. Tentu
saja juga membahas tentang cinta, yang memang paling enak dibicarakan oleh
para anak muda. Namun hal itu akhirnya ketahuan oleh Hayam Wuruk dan
Gadjah Mada. Hayam Wuruk merasa telah dikhianati oleh Rama Pati karena
Page | 10
ternyata Hayam Wuruk juga suka pada Dyah Pitaloka. Setelah hal itu berlalu
maka mereka berdua sepakat untuk mendirikan kerajaan kelak nanti.
Lama waku berjalan, tibalah saatnya Hayam Wuruk menjadi raja dan
Rama Pati serta Gadjah Mada menjadi orang kepercayaannya. Saat itu pula
Gadjah Mada mengucapkan “Sumpah Amukti Palapa” untuk menyatukan
nusantara (UGM). Namun apakah itu akan terjadi? nusantara bersatu?. Hayam
Wuruk teringat akan Dyah Pitaloka yang dulu sempat menjadi tambatan hatinya.
Kemudian dia pun menyuruh Patih Gadjah Mada untuk memboyong Dyah
Pitaloka. Akan tetapi Gadjah Mada sempat menolak perintah itu karena Gadjah
Mada mempunyai keinginan besar untuk menyatukan nusantara. Oleh karena
Dyah Pitaloka berasal dari Sunda yang rencananya akan dijadikan wilayah koloni
Majapahit. Setelah melalui perbincangan dan perdebatan akhirnya Gadjah Mada
terpaksa menerima perintah itu.
Akhinya sampailah Gadjah Mada di tempat Dyah Pitaloka. Tanpa basi-
basi dia membawa Dyah Pitaloka ke Majapahit. Ditengah - tengah perjalanan
menuju Majapahit, Gadjah Mada mengatakan pada Dyah Pitaloka bahwa Hayam
Wuruk itu seorang yang bersifat buruk: serakah, tamak, licik, pembohong, dan
berbagai sifat busuk lainnya. Dan Gadjah Mada mencoba merayu dia, namun
Dyah tidak mau dan tetap ingin bertemu dengan Hayam Wuruk. Hal itu
membangkitkan emosi Gadjah Mada dan pada puncaknya dia membunuh semua
rombongan tersebut. Dyah Pitaloka pun bunuh diri. Namun ada salah seorang
yang lolos dan lari ke Majapahit untuk melaporkan hal ini ke Hayam Wuruk.
Setelah Gadjah Mada kembali tanpa membawa hasil, dan Sang Prabu sudah tahu
akan apa yang terjadi maka Hayam Wuruk pun marah pada patihnya tersebut dan
Gadjah Mada akhirnya dipecat dari jabatan sebagai MahaPatih.
Sumpah Palapa
“ Sira Gadjah Mada Pepatih Amungkubumi Tan Ayun Amukita Palapa,
Sira Gadjah Mada: Lamun Huwus Kalah Nusantara Ingsun Amukti Palapa,
Page | 11
Lamu Kalah Ring Gurun, Ring Seram, Tanjungpura, Raing Haru, Ring
Pahang, Dompo, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana Ingsun
Amukti Palapa” (Kitab Pararaton)
Penggunaan media alternatif kethoprak sebagai alat penyalur aspirasi ini,
sesungguhnya adalah upaya mediasi antara pihak mahasiswa dan rektorat serta
dekanat yang memiliki kuasa untuk membuat berbagai kebijakan. Kenapa
memilih media alternatif ketoprak karena kethoprak adalah kesenian rakyat yang
mampu merangkul semua elemen. Mulai kelas atas sampai kelas bawah. Dengan
memerankan seorang tokoh kethoprak, diharapkan pemain memiliki kesadaran
kognitif untuk mengubah perilaku. Keterlibatan pemain dan penonton secara aktif
dalam sebuah pementasan, sejatinya telah menghapuskan, minimal mengurangi
sedikit selimut debu yang memberi jarak antara pemain dan penonton, antara
mahasiswa dan para pengambil kebijakan di UGM, rektor dan dekan.
PENUTUP
Tidak ada manusia hidup tanpa seni, sebab seni sangat membahagiakan
manusia. Seni merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh kehidupan
manusia. Seni merupakan cermin kehidupan manusia beserta masyarakatnya.
Apabila terjadi penciptaan seni baru yang bermutu pertanda terjadi kemajuan adab
dan budaya masyarakatnya. Seni yang bermutu menjadi sumber gagasan
seseorang atau sekelompok masyarakat dalam rangka menghasilkan karya seni
dan budaya yang bermutu dan beragam. Pengembangan seni mempunyai dampak
terhadap pengembangan norma dan nilai dalam masyarakat dan bangsanya.
Seniman menjadi agen dan pendidik untuk menyebarluaskan norma dan nilai yang
telah disepakati bersama dan dikukuhkan oleh masyarakatnya. Seniman menjadi
kritikus yang mampu menyodorkan berbagai pilihan saran perbaikan yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pertimbangan untuk pembangunan
bangsa. Pengembangan seni dan budaya merupakan matra pembangunan bangsa.
Page | 12
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan.
2006 Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anderson, Benedict
2001 Imagined Communities. Insist Pers kerjasama dengan Pustaka Pelajar
Bailey, F. G.
1983. The Tactical Uses Of Passion. Cornell University Press
Barker, Chris.
2004 Cultural Studies: teori & praktik. Yogyakarta: Kreasi wacana.
Carr, S.
1992 Public Space. Van Nostrand Reinhold Company, New York.
Dananjaya, Utomo, dkk.
1995 Pendidikan Kaum Tertindas (Terjemahan dari Pedagogy of the Oppressed by Paulo Freire 1972). Jakarta: Penerbit LP3ES.
Mirsel, Robert.
2004 Teori Pergerakan Sosial. Yogyakarta.: INSIST Press.
Myrdal, Gunnar.
1968 Asian Drama: An Inquiry into The Poverty of Nations. New York: Pantheon.
Nordholt, Henk Schulte.
2005 Outward Appearance: Trend, Identitas dan Kepentingan. Yogyakarta: LKiS.
Scott, James C.
2000 Senjatanya Orang-orang Kalah: Bentuk Perlawanan sehari-hari Kaum Tani, Terj. A.Rahman Zainudin, Sayogyo, Mien Joebhaar. Jakarta: Yayasan Obor.
1998 Seeing Like State. New Heaven: Yale University Press.
1990 Domination and The Art of Resistance: Hidden Transcripts. New Heaven: Yale University Press.
1993 Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor.
Vincent, Joan.
1978. “Political Anthropology: Manipulative Strategies”, Annual Review of Anthropology, 7:175-194
Page | 13