BAB I bener
-
Upload
anonymous-mihnuvt -
Category
Documents
-
view
253 -
download
2
description
Transcript of BAB I bener
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penurunan kesadaran merupakan kasus gawat darurat yang sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat
kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri dan Ascending Reticular
Activating System (ARAS) Jika terjadi kelainan pada kedua sistem ini, baik yang
melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan. Ascending Reticular
Activating System merupakan suatu rangkaian atau network system yang dari
kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain
stem sehingga kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut berada diantara
medulla, pons, mesencephalon menuju ke subthalamus, hipothalamus, thalamus
dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran.
Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter
kolinergik, monoaminergik dan gammaaminobutyric acid (GABA) Respon
gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan
yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan
manifestasi rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada
susunan saraf. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf
pusat di mana kedua korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri terhadap
lingkngan atau input-input rangsangan sensoris, hal ini disebut juga sebagai
awareness.
Pada referat ini akan dibahas mengenai definisi penurunan kesadaran,
bahaya penurunankesadaran, patofisiologi , diagnosis serta diagnosis penurunan
kesadaran akibat metabolik danstruktural dan tatalaksana penurunan kesadaran.
1.2 Tujuan
Penyusunan referat ini untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
terhadap kasus penurunan kesadaran, agar dapat menatalaksana dengan baik.
1
1.3 Manfaat
1. Manfaat Keilmuan
Sebagai tambahan ilmu pengetahuan mengenai kasus penurunan kesadaran
antara lain penyebab, patofisiologi, tanda, gejala dan penatalaksanaan.
2. Manfaat Praktis
Sebagai tambahan ilmu dalam menghadapi kasus penurunan kesadaran.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu.
( Corwin, 2001 ). Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak
sadar dalam arti tidak terjaga / tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu
memberikan respons yang normal terhadap stimulus.
Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana
seseorang mengenal /mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.
(Padmosantjojo, 2000 )
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan
neurologi yang menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai
“final common pathway” dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan
sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Jadi, bila
terjadi penurunan kesadaran menjadi pertanda disregulasi dan disfungsi otak
dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh.
2.2 Klasifikasi
Gangguan kesadaran dibagi 3, yaitu gangguan kesadaran tanpa disertai
kelainan fokal/ lateralisasi dan tanpa disertai kaku kuduk; gangguan kesadaran
tanpa disertai kelainan fokal/ lateralisasi disertai dengan kaku kuduk; dan
gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal.
a. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
1. Gangguan iskemik
2. Gangguan metabolik
3. Intoksikasi
4. Infeksi sistemis
5. Hipertermia
6. Epilepsi
3
b. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku
kuduk
1. Perdarahan subarakhnoid
2. Radang selaput otak
3. Radang otak
c. Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal
1. Tumor otak
2. Perdarahan otak
3. Infark otak
4. Abses otak
2.3 Etiologi
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan –
kemungkinan penyebab penurunan kesadaran dengan istilah “ SEMENITE “
yaitu :
S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung, Syok (shock) adalah kondisi medis
tubuh yang mengancam jiwa yang diakibatkan oleh kegagalan sistem sirkulasi
darah dalam mempertahankan suplai darah yang memadai. Berkurangnya suplai
darah mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke jaringan tubuh. Jika tidak
teratasi maka dapat menyebabkan kegagalan fungsi organ penting yang dapat
mengakibatkan kematian. Kegagalan sistem sirkulasi dapat disebabkan oleh
Kegagalan jantung memompa darah, terjadi pada serangan jantung.Berkurangnya
cairan tubuh yang diedarkan. Tipe ini terjadi pada perdarahan besar maupun
perdarahan dalam, hilangnya cairan tubuh akibat diare berat, muntah maupun luka
bakar yang luas.
Shock bisa disebabkan oleh bermacam-macam masalah medis dan luka-
luka traumatic, tetapi dengan perkecualian cardiac tamponade dan pneumothorax,
akibat dari shock yang paling umum yang terjadi pada jam pertama setelah luka-
luka tersebut adalah haemorrhage (pendarahan).
4
Shock didefinasikan sebagai ‘cellular hypoperfusion’ dan menunjukan
adanya ketidakmampuan untuk memelihara keseimbangan antara pengadaan
‘cellular oxygen’ dan tuntutan ‘oxygen’. Progress Shock mulai dari tahap luka
hingga kematian cell, kegagalan organ, dan pada akhirnya jika tidak diperbaiki,
akan mengakibatkan kematian organ tubuh. Adanya peredaran yang tidak cukup
bisa cepat diketahui dengan memasang alat penerima chemosensitive dan
pressure-sensitive pada carotid artery. Hal ini, pada gilirannya dapat mengaktivasi
mekanisme yang membantu mengimbangi akibat dari efek negative, termasuk
pelepasan catecholamines (norepinephrine dan epinephrine) dikarenakan oleh
hilangnya syaraf sympathetic ganglionic; tachycardia, tekanan nadi yang
menyempit dan hasil batasan disekeliling pembuluh darah (peripheral vascular)
dengan mendistribusi ulang aliran darah pada daerah sekitar cutaneous, splanchnic
dan muscular beds. Dengan demikian, tanda-tanda awal dari shock tidak kentara
dan mungkin yang tertunda hanyalah pemasukkan dari pengisian kapiler,
tachycardia yang relatip dan kegelisahan.
E : Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang
mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.
M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum.
Etiologi hipoglikemia pada DM yaitu hipoglikemia pada DM stadium dini,
hipoglikemia dalm rangka pengobatan DM yang berupa penggunaan insulin,
penggunaan sulfonil urea, bayi yang lahir dari ibu pasien DM, dan penyebab
lainnya adalah hipoglikemia yang tidak berkaitan dengan DM berupa
hiperinsulinisme alimenter pos gastrektomi, insulinoma, penyakit hati yang berat,
tumor ekstrapankreatik, hipopitiutarism
Gejala-gejala yang timbul akibat hipoglikemia terdiri atas 2 fase. Fase 1
yaitu gejala-gejala yang timbul akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus
sehingga dilepaskannya hormon efinefrin. Gejalanya berupa palpitasi, keluar
banyak keringat, tremor, ketakutan, rasa lapar dan mual. gejala ini timbul bila
kadar glukosa darah turun sampai 50% mg. Sedangkan Fase 2 yaitu gejala-gejala
yang terjadi akibat mulai terjadinya gangguan fungsi otak , karena itu dinamakan
5
juga gejala neurologi. Gejalanya berupa pusing, pandang kabur, ketajam mental
menurun, hilangnya keterampilan motorik halus, penurunan kesadaran, kejang-
kejang dan koma.gejala neurologi biasanya muncul jika kadar glukosa darah turun
mendekati 20% mg.
Pada pasien ini menurut gejalanya telah memasuki fase 2 karena telah
terjadi gangguan neurologik berupa penurunan kesadaran, pusing, dan penurunan
kadar glukosa plasma mendekati 20 mg%.dan menurut stadiumnya pasien telah
mengalami stadium gangguan otak karena terdapat gangguan kesadaran.
Pada pasien DM yang mendapat insulin atau sulfonilurea diagnosis
hipoglikemia dapat ditegakan bila didapatkan gejala-gejala tersebut diatas.
Keadaan tersebut dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan glukosa darah. Bila
gejalanya meragukan sebaiknya ambil dulu darahnya untuk pemeriksaan glukosa
darah. Bila dengan pemberian suntik bolus dekstrosa pasien yang semula tidak
sadar kemudian menjadi sadar maka dapat dipastiakan koma hipogikemia.sebagai
dasar diagnosis dapat digunakan trias whipple, yaitu gejala yang konsisten dengan
hipoglikemia, kadar glukosa plasma rendah, gejala mereda setelah kadar glukosa
plasma meningkat
Prognosis dari hipoglikemia jarang hingga menyebabkan kematian.
Kematian dapat terjadi karena keterlambatan mendapatkan pengobatan, terlalu
lama dalam keadaan koma sehingga terjadi kerusakan jaringan otak.
E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan. Diare akut karena infeksi
dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan
atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa
rehidrasi yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan
renjatan hipovolemik atau gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang
berlanjut. Seseoran yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan
berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor
kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh
deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan
asam karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang
6
pusat pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam
(pernapasan Kussmaul). Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang
berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit),
tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat,
akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan kalium pada diare
akut juga dapat timbul aritmia jantung. Penurunan tekanan darah akan
menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul oliguria/anuria. Bila keadaan
ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang
berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.
N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis, Muntah : gejala muntah
terdapat pada 30% kasus dan umumnya meyertai nyeri kepala. Lebih sering
dijumpai pada tumor di fossa posterior, umumnya muntah bersifat proyektil dan
tak disertai dengan mual. Kejang : bangkitan kejang dapat merupakan gejala awal
dari tumor otak pada 25% kasus, dan lebih dari 35% kasus pada stadium lanjut.
Diperkirakan 2% penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak. Bangkitan kejang
ditemui pada 70% tumor otak di korteks, 50% pasien dengan astrositoma, 40%
pada pasien meningioma, dan 25% pada glioblastoma.
Gejala Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK) : berupa keluhan nyeri kepala di
daerah frontal dan oksipital yang timbul pada pagi hari dan malam hari, muntah
proyektil dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan diketemukan papil udem.
I : Intoksikasi
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh
gangguan ARAS di batan gotak, terhadap formasio retikularis di thalamus,
hipotalamus maupun mesensefalon Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi
menjadi dua, yakni gangguan derajat(kuantitas, arousal wake f ulness) kesadaran
dan gangguan isi (kualitas, awareness alertness kesadaran). Adanya lesi yang
dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakahlesi
supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya
kesadaran.
7
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan
penurunan kesadaran, Menentukan kelainan neurologi perlu untuk evaluasi dan
manajemen penderita. Pada penderita dengan penurunan kesadaran, dapat
ditentukan apakah akibatkelainan struktur, toksik atau metabolik. Pada koma
akibat gangguan struktur mempengaruhi fungsi ARAS langsung atau tidak
langsung. ARAS merupakan kumpulan neuron polisinaptik yang terletak pada
pusat medulla, pons dan mesensefalon, sedangkan penurunan kesadaran karena
kelainan metabolik terjadi karena memengaruhi energi neuronal atau terputusnya
aktivitas membran neuronal atau multifaktor. Diagnosis banding dapat ditentukan
melalui pemeriksaan pernafasan, pergerakan spontan, evaluasi saraf kranial dan
respons motorik terhadap stimuli.
T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural,
perdarahan subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada. Cedera pada dada
dapat mengurangi oksigenasi dan ventilasi walaupun terdapat airway yang paten.
Dada pasien harus dalam keadaan terbuka sama sekali untuk memastikan ada
ventilasi cukup dan simetrik. Batang tenggorok (trachea) harus diperiksa dengan
melakukan rabaan untuk mengetahui adanya perbedaan dan jika terdapat
emphysema dibawah kulit. Lima kondisi yang mengancam jiwa secara sistematik
harus diidentifikasi atau ditiadakan adalah tensi pneumothorax, pneumothorax
terbuka, massive haemothorax, flail segment dan cardiac tamponade. Tensi
pneumothorax diturunkan dengan memasukkan suatu kateter dengan ukuran 14
untuk mengetahui cairan atau obat yang dimasukkan kedalam urat darah halus
melalui jarum melalui ruang kedua yang berada diantara tulang iga pada baris
mid-clavicular dibagian yang terkena pengaruh. Jarum pengurang tekanan udara
dan/atau menutupi luka yang terhisap dapat memberi stabilisasi terhadap pasien
untuk sementara waktu hingga memungkinkan untuk melakukan intervensi yang
lebih pasti. Jumlah resusitasi diperlukan untuk suatu jumlah haemothorax yang
lebih besar, tetapi kemungkinannya lebih tepat jika intervensi bedah dilakukan
lebih awal, jika hal tersebut sekunder terhadap penetrating trauma (lihat dibawah).
Jika personalia dibatasi melakukan chest tube thoracostomy dapat ditunda, tetapi
jika pemasukkan tidak menyebabkan penundaan transportasi ke perawatan yang
8
definitif, lebih disarankan agar hal tersebut diselesaikan sebelum metransportasi
pasien.
E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat
menyebabkan penurunan kesadaran.( Harsono , 1996 )
2.4 Manifestasi klinis
Gejala klinik yang terkait dengan penurunan kesadaran adalah :Penurunan
kesadaran secara kwalitatif, GCS kurang dari 13, Sakit kepala hebat, Muntah
proyektil, Papil edema, Asimetris pupil, Reaksi pupil terhadap cahaya melambat
atau negative, Demam, Gelisah, Kejang, Retensi lendir / sputum di tenggorokan,
Retensi atau inkontinensia urin, Hipertensi atau hipotensi, Takikardi atau
bradikardi, Takipnu atau dispnea, Edema lokal atau anasarka, Sianosis, pucat dan
sebagainya
2.5 Penilaian
Penilaian statis kesadaran ada 2 yaitu penilaian secara kualitatif dan
penilaian secara kuantita-tif.
Secara Kualitatif
Penilaian kesadaran secara kualitatif antara lain :
a. Kompos mentis (score 14 –15)Yaitu anak mengalami kesadaran penuh
dengan memberikan respons yang cukupterhadap stimulus yang diberikan.
b. Apatis yaitu anak mengalami acuh tak acuh terhadap kesadaran sekitanya.
c. Sumnolen (score 11 – 13)Yaitu anak memiliki kesadaran yang lebih
rendah ditandai dengan anak tampak mengantuk, selalu ingin tidur, tidak
responsit, terhadap rangsangan ringan danmasih memberikan respons
terhadap rangsangan yang kuat.
d. Sopor (score 8 –10 )Yaitu anak tidak memberikan respons ringan maupun
sedang, tetapi masihmemberikan respons sedikit terhadap rangsangan yang
kuat dengan adanya refleks pupil terhadap cahaya yang masih positif.
9
e. Koma (score < 5) yaitu anak tidak dapat bereaksi terhadap stimulus atau
rangsangan apapun sehingga refleks pupil terhadap cahaya tidak ada.
Secara Kuantitatif
Penilaian kesadaran secara kuantitatif dapat diukur melalui penilaian
skalakoma (Glasgow) yang dinyatakan dengan ecscelargow cumascale dengan
nilaikoma dibawah 10, adapun penilaian sebagai berikut :
a. Penilaian pada Glasgow Coma Scale
Respon Motorik
Nilai Respon
6 Mampu mengikuti perintah sederhana seperti : mengangkat
tangan, menunjukkan jumlah jari-jari dari angka-angka yang
disebutkan oleh pemeriksa, melepaskan gangguan
5 Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang diberikan
seperti tekanan pada sternum, cubitan pada M. Trapezius
4 Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan , tapi tidak
mampu menunjuk lokasi atau tempat rangsang dengan
tangannya.
3 Fleksi abnormal .
2 Ekstensi abnormal.
1 Sama sekali tidak ada respon
Catatan :
- Rangsang nyeri yang diberikan harus kuat
- Tidak ada trauma spinal, bila hal ini ada hasilnya akan selalu negatif
Respon verbal atau bicara
Respon verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun).
Pemeriksaan ini tidak berlaku bila pasien : Dispasia atau apasia, Mengalami
trauma mulut, Dipasang intubasi trakhea (ETT)
Nilai Repon
5 pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara . orientasi
waktu, tempat , orang, siapa dirinya , berada dimana, tanggal
hari.
10
4 : pasien “confuse” atau tidak orientasi penuh
3 bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik tapi tidak
menyambung dengan apa yang sedang dibicarakan
2 bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa artinya
(“ngrenyem”), suara-suara tidak dapat dikenali makna katanya
1 tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan nyeri
Respon membukanya mata :
Perikasalah rangsang minimum apa yang bisa membuka satu atau
kedua matanya
Catatan:Mata tidak dalam keadaan terbalut atau edema kelopak mata.
Nilai Repon
4 Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh
3 Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil nama atau
diperintahkan membuka mata
2 Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri
1 Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri
b. AVPU
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa
apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika
dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik
verbal maupun diberi rangsang nyeri (unresponsiv) .
A (Alert): Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V.
V (Verbal): Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di
telinga korban. Pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau
menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P.
P (Pain): Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah
adalah menekan bagian putih dari kuku tangan di pangkal kuku. Selain itu dapat
juga dengan menekan bagian tengah tulang dada atau sternum dan juga areal di
atas mata.
11
U (Unresponsive): Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak
bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
c. ACDU
Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan
hasil yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa
kesadarannya apakah baik (alertness), bingung / kacau (confusion), mudah tertidur
(drowsiness), dan tidak ada respon (unresponsiveness)
d. Menilai reflek-reflek patologis :
- Reflek Babinsky
Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu
benda yang runcing maka timbullah pergerakan reflektoris yang terdiri
atas fleksi kaki dan jari-jarinya ke daerah plantar
- Reflek Kremaster :
Dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda halus pada
bagian dalam (medial) paha. Reaksi positif normal adalah terjadinya
kontrkasi M.kremaster homolateral yang berakibat tertariknya atau
mengerutnya testis. Menurunnya atau menghilangnya reflek tersebut
berarti adanya ganguan traktus corticulspinal
e. Uji syaraf kranial :
- NI.N. Olfaktorius – penghiduan diperiksa dengan bau bauhan seperti
tembakau, wangi-wangian, yang diminta agar pasien menyebutkannya
dengan mata tertutup
- N.II. N. Opticus -- Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap
mata . digunakan optotipe snalen yang dipasang pada jarak 6 meter dari
pasien . fisus ditentukan dengan kemampuan membaca jelas deretan huruf-
huruf yang ada
- N.III/ Okulomotoris. N.IV/TROKLERIS , N.VI/ABDUSEN
Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan bola mata
kesegala arah , diameter pupil , reflek cahaya dan reflek akomodasi
- N.V. Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik,
Sensorik diperiksa pada permukaan kulit wajah bagian dahi , pipi, dan
rahang bawah serta goresan kapas dan mata tertutup
12
Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah kedua tonus
muskulusmasketer saat diperintahkan untuk gerak menggigit
- N.VII/ Fasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan mengangkat
alis, mengerutkan dahi, mencucurkan bibir , tersentum , meringis
(memperlihatkan gigi depan )bersiul , menggembungkan pipi.fungsi
sensorik diperiksa rasa pengecapan pada permukaan lidah yang dijulurkan
(gula , garam , asam)
- N.VIII/ Vestibulo - acusticus
Fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne , Weber , Schwabach
dengan garpu tala.
- N.IX/ Glosofaringeus, N.X/vagus : diperiksa letak ovula di tengah atau
deviasi dan kemampuan menelan pasien
- N.XI / Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu kiri
dan kanan ( kontraksi M.trapezius) dan gerakan kepala
- N.XII/ Hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada
posisi lurus , gerakan lidah mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan penyebab
penurunan kesadaran yaitu :
Laboratorium darah
Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum, nitrogen urea darah
( BUN), osmolalitas, kalsium, masa pembekuan, kandungan keton serum, alcohol,
obat-obatan dan analisa gas darah ( BGA ).
CT Scan
Pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak
PET ( Positron Emission Tomography )
Untuk menilai perubahan metabolik otak, lesi otak, stroke dan tumor otak
SPECT ( Single Photon Emission Computed Tomography )
Untuk mendeteksi lokasi kejang pada epilepsi, stroke.
MRI
Untuk menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak.
13
Angiografi serebral
Untuk mengetahui adanya gangguan vascular, aneurisma dan malformasi
arteriovena.
Ekoensefalography
Untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis tengah serebral yang
disebabkan hematoma subdural, perdarahan intraserebral, infark serebral yang
luas dan neoplasma.
EEG ( elektroensefalography )
Untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom otak organik, tumor, abses,
jaringan parut otak, infeksi otak
2.7 Patofisiologi
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh
gangguan ARAS di batang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus,
hipotalamus maupun mesensefalon.
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni
gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi
(kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu
interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial
dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran.
Gambar. Patofisiologi penurunan kesadaran
14
a. Gangguan metabolik toksik
Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada tercukupinya
penyediaan oksigen. Adanya penurunan aliran darah otak (ADO), akan
menyebabkan terjadinya kompensasi dengan menaikkan ekstraksi oksigen (O2)
dari aliran darah. Apabila ADO turun lebih rendah lagi, maka akan terjadi
penurunan konsumsi oksigen secara proporsional.
Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan
teroksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Untuk memelihara integritas
neuronal, diperlukan penyediaan ATP yang konstan untuk menjaga keseimbangan
elektrolit.
O2 dan glukosa memegang peranan penting dalam memelihara keutuhan
kesadaran. Namun, penyediaan O2 dan glukosa tidak terganggu, kesadaran
individu dapat terganggu oleh adanya gangguan asam basa darah, elektrolit,
osmolalitas, ataupun defisiensi vitamin.
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri.
Koma disebabkan kegagalan difus dari metabolisme saraf.
1. Ensefalopati metabolik primer
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme
sel saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
2. Ensefalopati metabolik sekunder
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak,
yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan
elektrolit ataupun keracunan. Pada koma metabolik ini biasanya ditandai
dengan gangguan sistem motorik simetris dan tetap utuhnya refleks pupil
(kecuali pasien mempergunakan glutethmide atau atropin), juga utuhnya
gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat).
Tes darah biasanya abnormal, lesi otak unilateral tidak menyebabkan
stupor dan koma. Jika tidak ada kompresi ke sisi kontralateral batang otak lesi
setempat pada otak menimbulkan koma karena terputusnya ARAS. Sedangkan
koma pada gangguan metabolik terjadi karena pengaruh difus terhadap ARAS dan
korteks serebri2.
15
Tabel 1. Penyebab Metabolik atau Toksik pada Kasus Penurunan Kesadaran
No Penyebab metabolik atau sistemik
Keterangan
1 Elektrolit imbalans Hipo- atau hipernatremia, hiperkalsemia, gagal ginjal dan gagal hati.
2 Endokrin Hipoglikemia, ketoasidosis diabetik3 Vaskular Ensefalopati hipertensif4 Toksik Overdosis obat, gas karbonmonoksida (CO)5 Nutrisi Defisiensi vitamin B12
6 Gangguan metabolik Asidosis laktat7 Gagal organ Uremia, hipoksemia, ensefalopati hepatik
b. Gangguan Struktur Intrakranial
Penurunan kesadaran akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio
retikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran)
disebut koma diensefalik. Secara anatomik, koma diensefalik dibagi menjadi dua
bagian utama, ialah koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial3.
1. Koma supratentorial
a. Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedangkan
batang otak tetap normal.
b. Lesi struktural supratentorial (hemisfer).
Adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium (hemisfer
serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak, abses dan
hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di
sekitarnya, terjadilah herniasi girus singuli, herniasi transtentorial
sentral dan herniasi unkus.
Herniasi girus singuli
Herniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral
menyebabkan tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak,
mengakibatkan iskemi dan edema.
Herniasi transtentorial/ sentral
Herniasi transtentorial atau sentral adalah hasil akhir dari proses desak
ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara
berurutan menekan disensefalon, mesensefalon, pons dan medulla
oblongata melalui celah tentorium.
16
Herniasi unkus
Herniasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media
atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus
hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas tepi bebas tentorium yang
akhirnya menekan mesensefalon.
2. Koma infratentorial
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
a. Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/ serta
merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi,
perdarahan dan nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor, cedera kepala dan
sebagainya.
b. Proses di luar batang otak yang menekan ARAS
Langsung menekan pons
Herniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah
tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.
Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan
menekan medulla oblongata.
Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan
sebagainya.
Ditentukan lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesis) dan dibantu
dengan pemeriksaan penunjang.
Tabel 2. Penyebab Struktural pada Kasus Penurunan Kesadaran5
No Penyebab struktural Keterangan
1 Vaskular Perdarahan subarakhnoid, infark batang kortikal bilateral
2 Infeksi Abses, ensefalitis, meningitis3 Neoplasma Primer atau metastasis4 Trauma Hematoma, edema, kontusi hemoragik5 Herniasi Herniasi sentral, herniasi unkus, herniasi
singuli6 Peningkatan tekanan
intrakranialProses desak ruang
17
2.8 Penatalaksanaan
Pada kasus penurunan kesadaran sangat penting memperhatikan
penanganan kegawatan daruratan dengan survei ABC (Airway, Breathing,
Circulation) ini disebut survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5
menit.
Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan apakah masih
bisa bernafas dengan bebas.
Jika ada obstruksi maka lakukan :
• Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
• Suction / hisap (jika alat tersedia)
• Guedel airway / nasopharyngeal airway
18
Penanganan kegawatdaruratan (ABC)
Terapi sesuai penyakit yang mendasari
• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas
bebas. Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
• Pemberian oksigen
• Pernafasan buatan
Sirkulasi
Menilai sirkulasi atau peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah
jalan nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka
lakukan :
• Bila pada kasus trauma didapatkan perdarahan eksternal, segera hentikan
• Segera pasang infus sebagai pengganti cairan
• RJP dilakukan bila pasien penurunan kesadaran dengan respiratory arrest dan
cardiac arrest.
Setelah penanganan kegawatdaruratan teratasi, mulailah mencari penyebab
penurunan kesadaran, karena terapi penurunan kesadaran sesuai penyakit yang
mendasari.
Pada gangguan dengan topis intrakranial, dapat diberikan obat-obatan
yang bersifat neuroproteksi, sebagai contoh: citicholin, piracetam dan piritinol.
Tujuannya untuk memberikan perlindungan pada jaringan otak yang hampir
mengalami kerusakan.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana
seseorang mengenal /mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.
(Padmosantjojo, 2000 )
Penurunan kesadaran merupakan kasus gawat darurat yang sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari, sehingga sangat penting untuk mengetahui
teknik penilaian kesadaran, mencari penyebab penurunan kesadaran agar
mendapatkan tetalaksana yang optimal dalam memulihkan kesadaran.
3.2 Saran
Perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam tentang gangguan penurunan
kesadaran terutama dalam segi diagnose dan penatalaksanaan, karena penurunan
kesadaran merupakan keadaan yang gawat darurat sehinggan memerlukan
penegakan diagnose dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Carolyn M. Hudak. Critical Care : A Holistic Approach. Edisi VII. Volume
II. Alih Bahasa : Monica E. D Adiyanti. Jakarta : EGC ; 1997
Susan Martin Tucker. Patient Care Standarts. Volume 2. Jakarta : EGC ;
1998
Lynda Juall Carpenito. Handbook Of Neurologic Diagnosis. Edisi 8.
Jakarta : EGC ; 2001
Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U.
Jakarta: EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease
processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli
diterbitkan tahun 1992)
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Guidelines for planning
and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa, I.M. Jakarta: EGC; 1999
(Buku asli diterbitkan tahun 1993)
Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Yokyakarta, Gajah Mada University
Press, 1996)
Padmosantjojo, Ilmu Bedah Saraf, Jakarta, Bagian Bedah Saraf FKUI, 2000
21