BAB I-BAB V
-
Upload
astrid-anggi -
Category
Documents
-
view
147 -
download
4
Transcript of BAB I-BAB V
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan meningkatnya populasi manusia, maka meningkat pula
kebutuhan akan perumahan. Meningkatnya kebutuhan akan
perumahan sementara tanah yang tersedia tidak bertambah dan
justru semakin berkurang, menjadi salah satu alasan penting
sulitnya mendapatkan tempat tinggal yang layak bagi manusia,
khususnya bagi mereka yang kurang mampu.
Guna mendukung usaha tersebut, perlu dilakukan penataan tanah
sedemikian rupa, sehingga terpenuhinya kebutuhan akan tempat
tinggal yang layak betul-betul dapat dirasakan secara adil oleh
masyarakat banyak. Mengingat laju kebutuhan perumahan
sangatlah tinggi setiap tahunnya, maka penyediaan rumah-rumah
baru secara horizontal tidak akan dapat memenuhi kebutuhan akan
rumah yang sudah mendesak. Oleh karena itu, di kota-kota besar
perlu diarahkan pembangunan dan permukiman yang diutamakan
sepenuhnya pada pembangunan rumah susun1.
Pembangunan rumah susun merupakan alternatif yang tepat untuk
menjawab permasalahan pengadaan tanah bagi perumahan dan
permukiman. Menurut pasal 1 angka 1 Undang Undang No. 16
tahun 1985 tentang Rumah Susun (UU RuSun), yang dimaksud
Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun
dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun
vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat
dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat
1 Suyono, Kemungkinan Pemilikan Rumah Susun Oleh Orang Asing (Makalah pada Konferensi Kemungkinan Pemilikan Satuan Rumah Susun / Srata Title Oleh Orang Asing), Jakarta, 1994, hlm. 1.
1
hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama,
dan tanah bersama.
Rumah susun yang telah selesai dibangun dan telah mendapatkan
izin layak huni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan, dapat
langsung dipasarkan untuk segera dihuni oleh para pembeli
ataupun penyewa satuan rumah susun. Setelah satuan rumah
susun tersebut ada yang menghuni, Pasal 19 ayat 1 UU RuSun
mengatur bahwa pemilik atau penghuni yang telah menempati
rumah susun kemudian diwajibkan untuk membentuk Perhimpunan
Penghuni.
Permasalahan muncul manakala rumah susun baru selesai
dibangun dan baru ada beberapa penghuni yang menempati.
Keadaan yang demikian tentunya menyebabkan dibentuknya
Perhimpunan Penghuni menjadi sedikit terhambat.
Mengingat dalam rumah susun terdapat apa yang dinamakan
bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, maka
meskipun Perhimpunan Penghuni belum terbentuk, tetapi tetap
harus ada yang mengurus dan mengelola ketiga hal tersebut, bagi
para penghuni yang telah menempati rumah susun. Pasal 57 ayat 4
PP RuSun mengatur bahwa sebelum Perhimpunan Penghuni
terbentuk, kepengurusan sementara selanjutnya dibebankan
kepada penyelenggara pembangunan (pengembang), yang akan
bertindak sebagai Pengurus Perhimpunan Penghuni Sementara.
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun yang ada saat ini umumnya
tidak lain perpanjangan tangan dari pengembang, sehingga
maknanya Perhimpunan Penghuni Rumah Susun sebagaimana
dimaksud oleh Undang Undang seakan-akan telah berubah
menjadi Perhimpunan Pengusaha Rumah Susun. Dalam keadaaan
2
yang demikian, maka hak-hak dan kepentingan para pemilik atau
penghuni rumah susun menjadi sangat penting untuk diberi
perlindungan hukum.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik
untuk melakukan suatu penelitian yang dituangkan dalam bentuk
karya ilmiah dengan mengangkat judul sebagai berikut :
“ PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGHUNI RUMAH SUSUN
ATAS TINDAKAN PERHIMPUNAN PENGHUNI SEMENTARA ”
B. Identifikasi Masalah
Bagaimana pertanggungjawaban Perhimpunan Penghuni
Sementara apabila Perhimpunan Penghuni Sementara melakukan
tindakan yang merugikan kepada penghuni rumah susun ?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pertanggungjawaban dari Perhimpunan
Penghuni Sementara, apabila Perhimpunan Penghuni Sementara
melakukan tindakan yang merugikan kepada penghuni rumah
susun.
D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis, hasil penelitian ini akan memberikan pengetahuan
dan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu
hukum pada umumnya dan hukum agraria khususnya bidang
pertanahan dalam hal mengenai kejelasan tentang perlindungan
hukum bagi Perhimpunan Penghuni Rumah Susun yang
didasarkan pada pengaturan hukum menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Secara praktis, hasil penelitian ini akan memberikan masukan bagi
pihak-pihak yang terkait dalam masalah pertanahan agar menjadi
3
jelas tentang pihak yang paling berwenang dalam mengurus
masalah Perhimpunan Penghuni di dalam sebuah rumah susun.
E. Kerangka Pemikiran
Seiring dengan perkembangan jaman, kebutuhan akan tempat
tinggal semakin meningkat. Bersamaan dengan hal tersebut,
muncul masalah baru yaitu semakin sempitnya lahan yang dapat
digunakan untuk kawasan pemukiman. Salah satu solusi untuk
permasalahan tersebut adalah dengan pembangunan secara
vertikal, atau pembangunan rumah susun.
Di dalam kepemilikan rumah susun terdapat bagian bersama,
benda bersama dan tanah bersama, yang mana untuk
pengurusannya dibutuhkan apa yang disebut Perhimpunan
Penghuni. Sesuai dengan ketentuan dari Pasal 19 ayat 1 UU
RuSun mengatur bahwa pemilik atau penghuni yang telah
menempati rumah susun kemudian diwajibkan untuk membentuk
Perhimpunan Penghuni.
Dalam prakteknya, seringkali penghuni dirugikan oleh pengembang
karena berbagai hal yang berkaitan dengan kepengurusan
Perhimpunan Penghuni. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
perlindungan hukum bagi para penghuni rumh susun.
F. Metode Penelitian
F.1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode
penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif
adalah suatu metode penelitian yang didasarkan pada data
sekunder bidang hukum yang ada sebagai data
kepustakaan. Metode ini bertujuan untuk mengetahui dasar
hukum positif yang digunakan terhadap suatu
4
permasalahan, bagaimana hukum tersebut mengatur dan
penerapan ketentuannya dalam masalah tersebut.
Pendekatan hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder ataupun perundang-
undangan. Di dalam penelitian hukum, data sekunder
mencakup :
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum
yang mengikat. Contoh : peraturan perundang-undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum
primer. Contoh : hasil penelitian kalangan akademik, karya
ilmiah para sarjana.
c. Bahan Hukum Tersier yaitu kamus, ensiklopedi,
dan bahan-bahan lain yang terkait.
F.2. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi
kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan teknik
pengumpulan data yang bersifat teoritis dengan membaca
dan mempelajari data sekunder bidang hukum seperti
peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku,
makalah, artikel, serta data kepustakaan lainnya yang
berkaitan dengan penyusunan skripsi ini.
F.3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan adalah secara kualitatif
yaitu analisis terhadap permasalahan dengan menggunakan
peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan lain
yang relevan sebagai acuan.
G. Rencana Sistematika Penelitian
BAB I : PENDAHULUAN
5
Membahas secara garis besar kekuasaan Negara dalam bidang
pertanahan serta permasalahan mengenai pemegang kewenangan
di bidang pertanahan.
Bab II PERLINDUNGAN HUKUM
Menjabarkan tentang pengertian dari perlindungan hukum dan
unsur – unsur yang terdapat dalam perlindungan hukum.
Bab III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH
SUSUN SEBAGAI BADAN HUKUM.
Menjabarkan tentang dasar hukum pembentukan rumah susun
sampai dengan pertanggungjawaban dari badan hukum.
Bab IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGHUNI RUMAH
SUSUN ATAS TINDAKAN PERHIMPUNAN PENGHUNI
SEMENTARA.
Menjawab pertanyaan mengenai perlindungan hukum bagi
penghuni rumah susun.
Bab V SIMPULAN DAN SARAN.
6
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM
A. Pengertian Perlindungan Hukum
Beberapa pengertian tentang perlindungan hukum yang diperoleh
antara lain sebagai berikut :
a. Menurut Koerniatmanto Soetoprawiro.
Koerniatmanto Soetoprawiro mengemukakan bahwa
perlindungan hukum itu pada hakekatnya adalah suatu upaya
dari pihak yang berwenang untuk memberikan jaminan dan
kemudahan yang sedemikian rupa, sehingga setiap
warganegara ataupun segenap warga negara dapat
mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal
dengan tertib dan tenang2.
b. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Perlindungan adalah hal, perbuatan (dan sebagainya) untuk
melindungi3. Hukum sendiri diartikan sebagai kumpulan
peraturan-peraturan yang berisi kaidah-kaidah hukum.
Berdasarkan penggabungan dua kata tersebut, maka
perlindungan hukum dapat diartikan sebagai hal, perbuatan
(dan sebagainya) untuk melindungi berdasarkan kumpulan
peraturan yang berisi kaidah-kaidah hukum.
Dari beberapa pengertian tentang perlindungan hukum yang telah
dikemukakan diatas, maka secara garis besar dapat dikemukakan bahwa
yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang
diberikan oleh pihak yang berwenang kepada semua pihak, untuk dapat
2 Koerniatmanto Soetoprawiro, Pengaturan Perlindungan Hukum Hak-hak Perempuan dan Anak-anak Dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Pro Justitia, Tahun XX Nomor 3 Juli 2002, FH UNPAR, Bandung, hal. 20.
3 W. J. S Purwadaminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta; Balai Pustaka, 1996.
7
melaksanakan hak dan kewajiban hukum yang dimilikinya, dalam
kapasitasnya sebagai subjek hukum.
B. Unsur-Unsur Yang Terkandung Dalam Perlindungan Hukum
Dari pengertian perlindungan hukum yang secara garis besar telah
dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan unsur-unsur yang
terkandung di dalam Perlindungan Hukum, yaitu :
a. Suatu jaminan yang diberikan oleh pihak yang berwenang;
b. Kepada semua pihak;
c. Untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban hukum yang
dimilikinya;
d. Dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum.
8
BAB III
TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH
SUSUN
SEBAGAI BADAN HUKUM
A. Pokok-Pokok Pengaturan Badan Hukum
3.A.1 Pengertian Badan Hukum
Pengertian badan hukum lahir dari doktrin ilmu hukum, yang
dikembangkan oleh para ahli, berdasarkan pada kebutuhan praktek
hukum dan dunia usaha4.
Pada intinya badan hukum adalah subjek hukum selain manusia,
yang mengemban hak dan kewajiban hukum, dapat mengikatkan diri dan
melakukan pebuatan hukum seperti orang pribadi, dapat mempunyai
kekayaan atau hutang, serta dapat digugat maupun menggugat di
pengadilan.
3.A.2 Teori-Teori Badan Hukum
Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para sarjana untuk
mengetahui hakekat dari apa yang disebut badan hukum. Teori-teori
tersebut kemudian dapat dikelompok / digolongan menjadi dua, yakni 5:
1. Kelompok / golongan teori yang berusaha mengarah pada
peniadaan persoalan dari badan hukum itu sendiri, yakni
dengan jalan mengembalikan persoalan itu kepada orang-orang
yang sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban (persoalan
moralis). Termasuk ke dalam kelompok / golongan ini adalah :
a. Teori Eigendom Bersama (Propiete Collectief Theorie)
Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jehring.
Dalam teori ini dikatakan bahwa badan hukum itu bukan
abstraksi dan bukan organisme. Hak dan kewajiban
4 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 17.
5 Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung; Alumni, 1976, hlm. 30.
9
badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan
kewajiban anggota bersama-sama. Para anggotanya
bersama-sama mempunyai eigendom,
bertanggungjawab bersama-sama, memiliki hak
bersama. Kekayaan dari badan hukum itu milik bersama
dari semua anggotanya. Anggota-anggota tidak hanya
dapat memiliki masing-masing untuk bagian yang tidak
dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama
untuk keseluruhan, sehingga mereka secara pribadi tidak
bersama-sama semuanya menjadi pemilik. Orang-orang
yang berhimpun itu semuanya merupakan satu kesatuan
yang membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan
hukum. Maka dari itu badan hukum adalah suatu
konstruksi yuridis saja.
b. Teori Organ (Orgaan Theorie)
Teori ini dikemukakan oleh Otto von Gierke dan dibela
oleh Z. E. Polano.
Menurut teori ini, badan hukum itu bukan suatu hal yang
astrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum itu bukan
suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek. Tetapi badan
hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan
bekerja seperti manusia biasa. Badan hukum itu adalah
suatu realitas sesungguhnya, sama seperti sifat
kepribadian alam manusia yang berada di dalam
pergaulan hukum. Di sini tidak hanya suatu pribadi
sesungguhnya, tetapi badan hukum itu juga mempunyai
kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui
alat-alat perlengkapannya (pengurus, anggota-
anggotanya). Apa yang mereka putuskan merupakan
kehendak atau kemauan dari badan hukum. Teori ini
10
menggambarkan badan hukum sebagai sesuatu yang
tidak berbeda dengan manusia.
2. Kelompok / golongan yang tetap mempersoalkan badan hukum,
yakni:
a. Teori Fiksi (Fictie Theorie)
Teori ini dikemukakan oleh F. C. von Savigny dan
Opzomer (Belanda).
Dikatakan oleh von Savigny bahwa badan hukum adalah
suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang
kongkrit. Badan hukum itu semata-mata buatan negara
saja. Sebetulnya menurut alam, hanya manusia sajalah
sebagai subjek hukum, badan hukum itu hanya fiksi saja,
yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang
menciptakan dalam bayangannya suatu pelaku hukum
(badan hukum) sebagai subjek hukum yang
dipersamakan dengan manusia.
b. Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie)
Teori ini dikemukakan oleh Brinz.
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi
subjek hukum. Tetapi tidak dibantah bahwa ada hak-hak
atas suatu kekayaan, namun tiada manusia pun yang
menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang kita namakan
hak-hak dari suatu badan hukum sebenarnya adalah
hak-hak yang tidak dimiliki, dan sebagai penggantinya
adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu
tujuan atau kekayaan yang memiliki suatu tujuan. Brinz
mengatakan bahwa kekayaan badan hukum itu tidak
terdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya. Kekayaan
dari badan hukum dipandang sebagai wewenang
terlepas dari yang memegangnya. Yang penting bukan
11
siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan itu diurus
dengan tujuan tertentu. Karena itu menurut teori ini, tidak
perduli manusia atau bukan, tidak perduli kekayaan itu
merupakan hak-hak yang normal atau bukan, tetapi yang
penting adalah tujuan dari kekayaan itu.
c. Teori Kenyataan (Yuridische Realiteitsleer)
Teori ini dikemukakan oleh Meyers.
Dikatakannya, bahwa badan hukum itu merupakan suatu
realitas, kongkrit, riil, bukan khayal, walaupun tidak bisa
di raba, tetapi suatu relitas yuridis. Teori ini menekankan
bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum
dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum
saja.
3.A.3 Ciri-Ciri Badan Hukum
Bertolak dari berbagai definisi badan hukum yang dikemukakan
oleh para ahli diatas, terlihat bahwa badan hukum mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Memiliki organisasi yang teratur.
b. Memiliki kekayaan yang terpisah.
c. Memiliki tujuan tertentu.
d. Memiliki kepentingan sendiri.
3.A.4 Perbuatan Hukum Dari Badan Hukum
Mengingat bahwa badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-
perbuatan hukum6 sendiri, melainkan harus bertindak dengan perantaraan
orang-orang biasa (natuurlijkpersoon), maka dalam Undang-Undang
maupun dalam Anggaran Dasar dari badan hukum biasanya ditunjuk
siapa yang dapat bertindak / melakukan perbuatan hukum untuk dan atas
6 Perbuatan hukum adalah perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang disengaja dikehendaki oleh subjek hukum.
12
nama badan hukum tersebut. Menurut Pasal 1655 KUHPerdata ditentukan
sebagai berikut :
“Para pengurus suatu perkumpulan adalah sekedar tentang itu telah tidak
diatur secara lain dalam surat pendiriannya, perjanjian-perjanjianya,
reglemen-reglemennya, berkuasa untuk bertindak atas nama
perkumpulan, mengikat perkumpulan kepada orang-orang pihak ketiga
dan sebaliknya, begitu pula bertindak di muka hakim, baik sebagai
penggugat maupun sebagai tergugat.”
Dari isi Pasal 1655 KUHPerdata tersebut terlihat bahwa penguruslah
ditunjuk untuk bertindak bagi badan hukum. Orang-orang yang ditunjuk ini
(pengurus) disebut organ / alat perlengkapan dari badan hukum, yang
nantinya akan mewakili badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum
dengan pihak ketiga.
Bertitik tolak dari isi Pasal 1655 KUHPerdata di atas, maka pada
dasarnya segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus sebagai
organ (alat perlengkapan) yang mewakili badan hukum adalah perbuatan
dari badan hukum itu sendiri.
3.A.5 Pertanggungjawaban Badan Hukum
Menurut Theorie Yuridische Realiteit yang dikemukakan oleh
Meyers, mengenai pertanggungjawaban dari badan hukum ini pada
dasarnya adalah segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus
(organ) sepanjang masih dalam batas-batas kewenangannya yang
ditentukan oleh Anggaran Dasar dan ketentuan-ketentuan lainnya, serta
hakekat dari tujuan badan hukum itu, maka segala perbuatan tersebut
dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum itu sendiri.
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ diluar batas-batas
wewenangnya hanya dapat terikat dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada bada hukum apabila :
13
1. Ternyata dari tindakan hukum yang dilakukan oleh organ diluar
batas-batas wewenangnya itu menguntungkan badan hukum;
dan
2. Suatu organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian
menyetujui tindakan itu dan persetujuan dari organ yang
berkedudukan lebih tinggi itu harus masih dalam batas-batas
kompetensinya.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 1656 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa :
“Segala perbuatan, untuk mana para pengurus tidak berkuasa
melakukannya, hanyalah mengikat perkumpulan sekedar perkumpulan itu
sungguh-sungguh telah mendapat manfaat karenanya atau sekedar
perbuatan-perbuatan itu terkemudian telah disetujui secara sah.”
Dengan disahkannya perbuatan diluar wewenang tersebut oleh
organ yang berkedudukan lebih tinggi, maka perbuatan yang batal itu
menjadi berlaku. Pengesahan itu bahkan mempunyai kekuatan berlaku
surut sampai pada saat perbuatan yang diluar wewenangnya itu
dilakukan.
B. Pengertian dan Dasar Hukum Pembentukan Perhimpunan
Penghuni Rumah Susun
3.B.1 Pengertian Perhimpunan Penghuni
Pasal 1 angka 11 UU RuSun menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Perhimpunan Penghuni adalah perhimpunan yang anggotanya
terdiri dari para penghuni. Sedangkan penghuni sendiri dalam Pasal 1
angka 10 UU RuSun diartikan sebagai perseorangan yang bertempat
tinggal dalam satuan rumah susun.
3.B.2 Dasar Hukum Pembentukan Perhimpunan Penghuni
Dasar hukum pembentukan Perhimpunan Penghuni diatur dalam :
14
a. Undang Undang No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (UU
RuSun).
b. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun
(PP RuSun)
Dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU RuSun bahwa di dalam
bangunan rumah susun dilengkapi dengan apa yang dinamakan :
a. bagian bersama;
b. benda bersama; dan
c. tanah bersama.
Baik bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama,
ketiganya ini merupakan hak bersama dan menyangkut kepentingan
bersama yang dimiliki oleh setiap penghuni satuan rumah susun. Dengan
dibentuknya Perhimpunan Penghuni, diharapkan segala kepentingan dan
hak bersama setiap penghuni satuan rumah susun dapat terpenuhi dan
terlaksana dengan baik.
C. Syarat Pembentukan dan Kedudukan Perhimpunan Penghuni
Sebagai Badan Hukum
3.C.1 Syarat Pembentukan Perhimpunan Penghuni
Pasal 54 ayat 2 PP RuSun mengatur bahwa pembentukan
Perhimpunan Penghuni dilakukan dengan pembuatan akta yang disahkan
oleh Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, dan untuk
Daerah khusus Ibukota Jakarta oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
3.C.2 Kedudukan Perhimpunan Penghuni Sebagai Badan Hukum
UU RuSun secara tegas mengatur bahwa Perhimpunan Penghuni
diberi kedudukan sebagai badan hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 19
ayat 2 UU RuSun, yang menyatakan bahwa :
“Perhimpunan Penghuni sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberi
kedudukan sebagai badan hukum berdasarkan Undang Undang ini.”
15
Lebih lanjut penjelasan Pasal 19 ayat 2 UU RuSun mengatakan
bahwa Perhimpunan Penghuni berdasarkan Undang Undang ini
berkedudukan sebagai badan hukum yang susunan organisasi, hak dan
kewajibannya diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga. Sebagai badan hukum, pengurus Perhimpunan Penghuni dapat
mewakili para penghuni atau pemilik satuan rumah susun baik di dalam
maupun di luar pengadilan.
Mengingat dalam doktrin dikatakan bahwa untuk menentukan
adanya suatu badan hukum setidaknya harus memenuhi empat unsur
sebagaimana telah disebutkan dalam sub-bab sebelumnya, maka sebagai
badan hukum, Perhimpunan Penghuni pun memenuhi unsur-unsur
tersebut, yakni :
1. Perhimpunan Penghuni memiliki organisasi yang teratur.
2. Perhimpunan Penghuni memiliki kekayaan sendiri.
Menurut KepMenPeRa No. 6/1995, harta kekayaan
Perhimpunan Penghuni ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga.
3. Perhimpunan Penghuni memiliki tujuan tertentu.
Menurut KepMenPeRa No. 6/1995, maksud dan tujuan
Perhimpunan Penghuni adalah :
a. untuk mencapai pemanfaatan dan pemakaian rumah susun
sebagaimana ditentukan dalam UU RuSun dan PP RuSun
serta peraturan perundang-undangan lainnya;
b. untuk membina, mengatur dan mengurus kepentingan
bersama diantara para penghuni satuan rumah susun,
dengan menerapkan keseimbangan kepentingan penghuni
agar dapat tercapai ketertiban dan keselarasan kehidupan
bertetangga sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia, khususnya dalam mengelola bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama;
16
c. untuk menjaga dan saling melengkapi kebutuhan penghuni
dalam menggunakan bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama;
d. untuk menjamin kelestarian penggunaan fungsi hak bersama
(bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama);
e. untuk membina terciptanya kegotongroyongan dalam
kehidupan lingkungan diantara penghuni satuan rumah
susun.
4. Perhimpunan Penghuni memiliki kepentingan (hak dan
kewajiban) sendiri.
Hak dan kewajiban Perhimpunan Penghuni diatur lebih lanjut
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga masing-
masing rumah susun.
D. Pertanggungjawaban Perhimpunan Penghuni Sebagai Badan
Hukum
Pada pokok pembahasan mengenai pertanggungjawaban badan
hukum, telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Theorie Yuridische
Realiteit yang dikemukakan oleh Meyers, pada dasarnya segala
perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus (organ) sepanjang masih
dalam batas-batas kewenangannya yang ditentukan oleh Anggaran Dasar
dan ketentuan-ketentuan lainnya, serta hakekat dari tujuan badan hukum
itu, dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum itu sendiri.
Berdasarkan teori di atas, maka segala perbuatan hukum yang dilakukan
oleh Rapat-rapat Para Penghuni, Pengurus Perhimpunan Penghuni, dan
Badan Pengelola yang merupakan organ-organ yang mewakili
Perhimpunan Penghuni sebagai badan hukum, sepanjang masih dalam
batas-batas kewenangannya yang ditentukan oleh Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan lainnya, serta
hakekat dari tujuan badan hukum itu, dapat dipertanggungjawabkan
kepada Perhimpunan Penghuni sebagai badan hukum.
17
Keberadaan Perhimpunan Penghuni dalam suatu rumah susun
memiliki peranan yang sangat penting, mengingat tugas dan fungsinya
untuk mengurus dan megelola rumah susun menyangkut bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama. Oleh karena itu, selain memang
karena diwajibkan oleh UU RuSun dan PP RuSun, sudah seharusnya
pembentukan Perhimpunan Penghuni tidak boleh diabaikan. Yang
menjadi kendala adalah Perhimpunan Penghuni ini tidak dapat begitu saja
langsung dibentuk, terlebih apabila kondisi rumah susunnya sendiri baru
Mengingat dalam rumah susun terdapat apa yang dinamakan
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, bukan berarti tidak
adanya Perhimpunan Penghuni maka kegiatan kepengurusan dan
pengelolaan rumah susun menjadi terbengkalai. Pasal 57 ayat 4 PP
RuSun mengatur bahwa sebelum Perhimpunan Penghuni yang
berkedudukan badan hukum terbentuk, penyelenggara pembangunan
rumah susun (pengembang) wajib bertindak sebagai Pengurus
Perhimpunan Penghuni Sementara, dan membantu penyiapan
terbentuknya Perhimpunan Penghuni yang sebenarnya dalam waktu yang
secepatnya. Dengan adanya pengaturan dalam Pasal 57 ayat 4 PP
RuSun, diharapkan pengurusan dan pengelolaan rumah susun
menyangkut bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama bagi
beberapa penghuni yang telah lebih dulu menempati rumah susun
menjadi tidak terbengkalai.
Pada dasarnya pengaturan dalam Pasal 57 ayat 4 PP RuSun
tersebut adalah baik, yakni agar penghuni-penghuni yang telah lebih dulu
menempati rumah susun jangan sampai dirugikan, akibat tidak ada yang
mengurus dan mengelola rumah susun. Tetapi kemudian akibat
ketidaktahuan dan ketidakpahaman penghuni akan hak-haknya dalam
mengurus dan mengelola rumah susun, kerap kali kondisi tersebut
dimanfaatkan oleh pengembang beserta oknum-oknumnya yang tidak
bertanggung jawab, untuk mencapai maksud atau keinginan tertentu dari
pengurusan dan pengelolaan rumah susun. Untuk mencapai maksud
tertentu tersebut, selama mereka menjadi Pengurus Perhimpunan
18
Penghuni Sementara, mereka kerap kali melakukan tindakan-tindakan
yang dapat merugikan penghuni rumah susun. Beberapa tindakan
merugikan tersebut antara lain seperti tindakan penggelapan dengan
kedok service charge (biaya pengelolaan), memark-up biaya pengelolaan,
penunjukkan sepihak pengembang sebagai Badan Pengelola, lalai dan
mengabaikan pembentukan Perhimpunan Penghuni sesungguhnya,
mengubah peruntukkan area bersama tanpa persetujuan penghuni, dan
yang lainnya. Kondisi ini kian menjadi parah mengingat Pasal 57 ayat 4
PP RuSun tidak memberikan batas waktu yang jelas sampai kapan
pengembang dapat bertindak sebagai Pengurus Perhimpunan Penghuni
Sementara, dan sampai kapan pengembang sudah harus melaksanakan
kewajibannya untuk membantu membentuk Perhimpunan Penghuni. Itu
berarti selama pengembang belum atau bahkan tidak membentuk
Perhimpunan Penghuni yang diwajibkan oleh UU RuSun dan PP RuSun,
maka selama itu pula pengurusan dan pengelolaan rumah susun berada
di tangan Perhimpunan Penghuni Sementara, melalui pengembang yang
akan bertindak sebagai pengurusnya. Dan selama itu pula penghuni akan
dirugikan akibat tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab dari
pengembang beserta oknum-oknumnya. Jika kondisi ini tetap dibiarkan
terjadi, tentunya akan banyak penghuni rumah susun yang menjadi
korban akibat tindakan tidak bertanggungjawab dari pengembang beserta
oknum-oknumnya.
Melihat kondisi yang sangat merugikan para penghuni rumah susun
di atas, upaya untuk melindungi hak-hak penghuni menjadi hal yang
sangat penting yang harus diberikan kepada para penghuni rumah susun.
Sudah sepantasnyalah apabila pihak-pihak yang tergabung dalam
Perhimpunan Penghuni Sementara, yang melakukan tindakan yang
merugikan kepada penghuni rumah susun tersebut, bertanggung jawab
atas segala tindakan yang mereka perbuat. Oleh karena itu,
permasalahan ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab berikutnya.
19
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGHUNI RUMAH SUSUN
ATAS TINDAKAN PERHIMPUNAN PENGHUNI SEMENTARA
A. Kedudukan Hukum Perhimpunan Penghuni Sementara
Pasal 19 ayat (2) UU RuSun mengatur bahwa :
“Perhimpunan Penghuni sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberi
kedudukan sebagai badan hukum berdasarkan Undang Undang ini.”
Berdasarkan isi Pasal 19 ayat (2) UU RuSun di atas, terlihat jelas bahwa
UU RuSun secara tegas hanya memberikan kedudukan badan hukum
kepada Perhimpunan Penghuni sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) UU RuSun. Oleh karena itu, untuk mengetahui
kedudukan hukum dari Perhimpunan Penghuni Sementara, menurut
penulis haruslah terlebih dahulu mengetahui Perhimpunan Penghuni yang
seperti apa yang dimaksud oleh UU RuSun sehingga diberikan kedudukan
sebagai badan hukum.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (5) UU RuSun,
pengaturan mengenai Perhimpunan Penghuni ini kemudian diatur lebih
lanjut dalam PP RuSun. Dalam Pasal 54 ayat (2) PP RuSun diatur bahwa
pembentukan Perhimpunan Penghuni dilakukan dengan pembuatan akta
yang disahkan oleh Bupati atau Walikota, dan untuk Daerah khusus
Ibukota Jakarta oleh Gubernur. Sesuai dengan KepMenPeRa No.
6/KPTS/BKP4N/1995, akta yang dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) PP
RuSun adalah akta pendirian yang dibuat dihadapan notaris. Ketentuan
Pasal 54 ayat (2) PP RuSun dan KepMenPeRa No. 6/KPTS/BKP4N/1995
tersebut merupakan syarat yuridis yang harus dipenuhi dalam membentuk
suatu Perhimpunan Penghuni sebagaimana yang dimaksud oleh UU
RuSun.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis berpendapat bahwa
dalam hal ini Perhimpunan Penghuni Sementara tidaklah berkedudukan
sebagai badan hukum karena Perhimpunan Penghuni Sementara
20
bukanlah Perhimpunan Penghuni sebagaimana dimaksud oleh UU RuSun
(tidak memenuhi persyaratan yuridis), adanya Perhimpunan Penghuni
Sementara hanya merupakan suatu proses awal dalam membentuk
Perhimpunan Penghuni yang sebenarnya, sebagaimana dimaksud oleh
UU RuSun. Sebagai proses belajar awal dibentuklah dulu Perhimpunan
Penghuni Sementara, dimana pengembanglah yang nantinya akan
bertindak sebagai Pengurus Perhimpunan Penghuni Sementara (Pasal 57
ayat 4 PP RuSun).
Pengembang inilah yang bertugas membantu mempersiapkan
penghuni-penghuni rumah susun agar nantinya dapat mewakili
Perhimpunan Penghuni dalam mengurus dan mengelola rumah susun.
Setelah semuanya siap, dalam arti secara mandiri dapat mengurus dan
mengelola rumah susun tanpa bantuan dari pengembang, barulah
kemudian dibuat akta pendirian / pembentukan Perhimpunan Penghuni
oleh notaris, sebagaimana diatur dalam Kepmenpera No.
6/KPTS/BKP4N/1995.
Pembentukan akta pendirian tersebut merupakan proses lebih
lanjut dalam membentuk Perhimpunan Penghuni yang sebenarnya,
sebagaimana dimaksud oleh UU RuSun. Setelah notaris membuat akta
pendirian tersebut, maka sesuai Pasal 54 ayat 2 PP RuSun, selanjutnya
akta pendirian Perhimpunan Penghuni untuk daerah kabupaten disahkan
oleh Bupati, untuk daerah kota oleh Walikota, dan untuk Daerah khusus
Ibukota Jakarta oleh Gubernur. Dengan disahkannya akta pendirian
tersebut, berarti syarat yuridis telah terpenuhi, dan itu menandakan bahwa
Perhimpunan Penghuni seperti yang dimaksud oleh UU RuSun sudah
terbentuk. Oleh karena Perhimpunan Penghuni sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat 1 UU RuSun sudah terbentuk, maka dengan
sendirinya UU RuSun memberikan kedudukan sebagai badan hukum
kepada Perhimpunan Penghuni tersebut. Mengingat Perhimpunan
Penghuni Sementara bukanlah Perhimpunan Penghuni sebagaimana
dimaksud oleh UU RuSun, maka jelaslah dalam hal ini Perhimpunan
Penghuni Sementara tidak berkedudukan sebagai badan hukum.
21
B. Perbuatan Hukum Perhimpunan Penghuni Sementara
Menurut penulis, pengembang yang tetap ingin menjadi Pengurus
Perhimpunan Penghuni tersebut, hanya dapat dikatakan sebagai organ
dari Perhimpunan Penghuni, selama memang hak untuk menjadi
Pengurus tersebut didapat dari keanggotaannya dalam Perhimpunan
Penghuni. Pada prakteknya, apabila masih ada satuan rumah susun yang
belum terjual, maka yang bertindak sebagai pemilik tersebut adalah
pengembangnya. Sebagai pemilik, maka pengembang pun adalah
anggota Perhimpunan Penghuni. Sebagai sesama "anggota Perhimpunan
Penghuni", dapat dikatakan pengembang mempunyai hak untuk dipilih
menjadi Pengurus Perhimpunan Penghuni. Namun jika pada
kenyataannya satuan rumah susun tersebut belum juga laku terjual, tetapi
Perhimpunan Penghuni yang sebenarnya telah dibentuk, maka
seyogianya pengaturan dan pengurusan rumah susun diserahkan saja
kepada pihak lain selain pengembang, yang juga bertindak sebagai
Pengurus Perhimpunan Penghuni.
Menurut penulis, sudah seyogianya jika Perhimpunan Penghuni
yang sebenarnya telah terbentuk, maka untuk seterusnya pengembang
tidak perlu lagi berlama-lama bertindak sebagai pengurus ataupun
pengelola rumah susun. Sebaiknya serahkan saja sepenuhnya
pengurusan dan pengelolaan tersebut kepada Perhimpunan Penghuni
yang telah ada. Dengan demikian, setelah jangka waktu sebagaimana
diatur dalam Pasal 67 PP RuSun telah habis, maka untuk seterusnya
pengembang harus menyerahkan sepenuhnya pengelolaan rumah susun
kepada Perhimpunan Penghuni.
Batas waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 67 PP RuSun
tersebut menurut penulis dapat pula diterapkan untuk memberikan
kepastian hukum, sampai kapan pengembang dapat bertindak sebagai
Pengurus Perhimpunan.
Dari apa yang sudah penulis coba bahas di atas, dan mengingat
Perhimpunan Penghuni Sementara tidak berkedudukan sebagai badan
22
hukum, maka penulis berpendapat bahwa segala perbuatan hukum
menyangkut pengurusan dan pengelolaan rumah susun, yang dilakukan
oleh Pengurus Perhimpunan Penghuni Sementara dan Badan Pengelola
Sementara tersebut, menjadi tidak mengikat dan tidak dapat dianggap
sebagai perbuatan hukum dari Perhimpunan Penghuni yang sebenarnya,
setelah disahkan dan diberi kedudukan sebagai badan hukum.
C. Pertanggungjawaban Hukum Perhimpunan Penghuni
Sementara
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Theorie
Yuridische Realiteit yang dikemukakan oleh Meyers, mengenai
pertanggungjawaban dari badan hukum ini pada dasarnya adalah segala
perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus (organ) sepanjang masih
dalam batas-batas kewenangannya yang ditentukan oleh Anggaran Dasar
dan ketentuan-ketentuan lainnya, serta hakekat dari tujuan badan hukum
itu, maka segala perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan
kepada badan hukum itu sendiri.
Telah disinggung juga bahwa selama pengurusan dan pengelolaan
rumah susun berada di tangan Perhimpunan Penghuni Sementara,
Pengurus Perhimpunan Penghuni Sementara maupun Badan Pengelola
Sementara kerap kali melakukan perbuatan / tindakan yang melanggar
hak-hak dan merugikan penghuni rumah susun. Perbuatan-perbuatan
tersebut antara lain : penggelapan dengan kedok service charge (biaya
pengelolaan), memark-up biaya pengelolaan, penunjukkan sepihak
pengembang sebagai Badan Pengelola, lalai dan mengabaikan
pembentukan Perhimpunan Penghuni sesungguhnya, mengubah
peruntukkan area bersama tanpa persetujuan penghuni. Dengan
dilakukannya tindakan yang melanggar hak-hak dan merugikan penghuni
rumah susun tersebut, berarti Pengurus Perhimpunan Penghuni
Sementara dan Badan Pengelola Sementara, telah melakukan perbuatan
di luar wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
23
Oleh karena Perhimpunan Penghuni Sementara bukanlah badan
hukum, dan mengingat Pengurus Perhimpunan Penghuni Sementara
maupun Badan Pengelola Sementara bukanlah organ dalam
Perhimpunan Penghuni Sementara, maka jelaslah kiranya bahwa
terhadap segala perbuatan / tindakan yang merugikan penghuni rumah
susun yang dilakukan oleh Pengurus Perhimpunan Penghuni Sementara
maupun Badan Pengelola Sementara, maka Pengurus Perhimpunan
Penghuni Sementara dan Badan Pengelola Sementara sepenuhnya akan
bertanggungjawab secara pribadi atas segala perbuatan / tindakan yang
mereka lakukan.
24
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka penulis menarik
simpulan bahwa untuk pertanggungjawaban Perhimpunan Penghuni
Sementara ini, Pengurus Perhimpunan Penghuni Sementara maupun
Badan Pengelola Sementara, sepenuhnya akan bertanggungjawab secara
pribadi atas segala tindakan merugikan yang mereka lakukan kepada
penghuni rumah susun.
B. Saran
1. Lebih baik apabila kesadaran dan pemahaman para penghuni
rumah susun akan hak-haknya dalam pengurusan dan
pengelolaan rumah susun menyangkut bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama lebih ditingkatkan lagi..
2. Pengaturan tentang pembentukan Perhimpunan Penghuni
dalam PP RuSun perlu disempurnakan lagi. Pengaturan batas
waktu yang jelas tentang kapan pengembang sudah harus
melaksanakan kewajibannya untuk membantu terbentuknya
Perhimpunan Penghuni yang sebenarnya, adalah hal utama
yang harus diatur. Pemberian sanksi yang tegas dapat pula
diatur bagi pengembang melanggar batas waktu tersebut, guna
mencegah terjadinya tindakan yang serupa.
3. Pemberian kewenangan kepada pengembang untuk menjadi
Pengurus Perhimpunan kiranya perlu dibatasi. Itu berarti PP
RuSun harus mengatur batas waktu yang jelas sampai kapan
pengembang boleh menjadi Pengurus Perhimpunan.
25