BAB I

download BAB I

of 19

description

Peran Kortikosteroid Pada Rhinitis

Transcript of BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rhinitis, yang paling sering terjadi sebagai rinitis alergi, adalah radang membran nasal yang ditandai dengan bersin, hidung tersumbat, gatal hidung, dan rhinorrhea, dalam kombinasi apapun. Sementara rhinitis alergi itu sendiri tidak mengancam jiwa (kecuali disertai dengan asma parah atau anafilaksis), morbiditas dari kondisi dapat menjadi signifikan.1Rhinitis alergi adalah cara beberapa orang merespon terhadap alergen outdoor atau indoor. Pemicu luar rhinitis alergi termasuk ragweed, rumput, serbuk sari pohon, dan spora jamur. Pemicu Indoor termasuk tungau debu, bulu hewan peliharaan, atau jamur yang tumbuh di tempat-tempat dalam ruangan lembab seperti karpet. Alergen di luar ruangan menyebabkan rhinitis alergi musiman (juga dikenal sebagai hay fever), yang biasanya terjadi selama musim semi dan musim panas. Alergen dalam ruangan dapat menyebabkan rhinitis alergi yang abadi (sepanjang tahun).2Rhinitis alergi cenderung menurun dalam keluarga. Jika salah satu atau kedua orang tua memiliki alergi rhinitis, ada kemungkinan besar bahwa anak-anak mereka juga akan memiliki rhinitis alergi. Orang dengan rhinitis alergi memiliki peningkatan risiko terkena asma dan alergi lainnya. Mereka juga beresiko terkena sinusitis, gangguan tidur (termasuk mendengkur dan apnea tidur), polip hidung, dan infeksi telinga.2Pasien dengan rhinitis alergi kronis atau mereka yang memiliki gejala aktif yang sebagian besar mengganggu selama setahun (terutama jika mereka juga memiliki asma) mungkin memerlukan obat setiap hari. Obat ini yaitu: obat-obatan anti inflamasi, antihistamin, antagonis Leukotriene, dan terapi imun.1,2,3Obat anti-inflamasi yakni nasal kortikosteroid dianjurkan untuk pasien dengan alergi sedang sampai berat, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan antihistamin generasi kedua. Pada rhinitis alergi, kortikosteroid mengurangi pembengkakan dan peradangan pada hidung, sehingga gejala lebih sedikit. Ketika obat oral dikonsumsi atau disuntikkan (sistemik) kortikosteroid, obat tersebut akan melalui seluruh tubuh Hal ini dapat mengakibatkan efek samping yang serius. Bila menggunakan kortikosteroid hidung, sebagian besar obat-obatan tetap di hidung dan tidak melakukan perjalanan ke seluruh tubuh. Hal ini menyebabkan efek samping yang lebih sedikit dan kurang serius daripada pil atau disuntikkan kortikosteroid.3

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1Rhinitis Alergi

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2010, rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.4Rhinitis alergi adalah penyebab paling umum dari rhinitis. Merupakan kondisi yang sangat umum, mempengaruhi sekitar 20% dari populasi.1

Meskipun rhinitis alergi bukanlah kondisi yang mengancam jiwa, komplikasi dapat terjadi dan kondisi secara signifikan dapat mengganggu kualitas hidup, yang mengarah ke sejumlah biaya tidak langsung. Total biaya langsung dan tidak langsung dari rhinitis alergi baru-baru ini diperkirakan $5300000000 pertahun. Sebuah analisis 2011 menetapkan bahwa pasien dengan rhinitis alergi rata-rata 3 kunjungan tambahan kantor, 9 resep yang lebih penuh, dan $1500 biaya kesehatan tambahan dalam 1 tahun dibandingkan pasien yang sama tanpa rhinitis alergi.12.2EtiologiRhinitis alergi dipicu oleh allergen, baik di luar ruangan (outdoor) maupun di dalam ruangan (indoor). Rinitis alergi yang disebabkan oleh alergen outdoor (jamur atau pohon, rumput dan serbuk sari) sering disebut sebagai alergi musiman, atau "hay fever". Sedangkan rinitis alergi yang dipicu oleh alergen indoor (bulu binatang, jamur dalam ruangan, atau tungau).2Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:51. Alegi inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta jamur.

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.

3. Alergi injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergi kontaktan yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik dan perhiasan.

2.3 Epidemiologi1

Prevalensi rinitis alergi bervariasi pada setiap negara. Hal ini mungkin disebabkan perbedaan geografis dan potensi dari alergen dan aeroalergen. Rinitis alergi dialami sekitar 40 juta penduduk di Amerika Serikat. Data terbaru menunjukkan sekitar 20% dari laju prevalensi kumulatif. Penelitian di Skandinavia menunjukkan laju prevalensi kumulatif mencapai 15% pada laki-laki dan 14% pada perempuan.1

Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras. Prevalensi rinitis alergi bervariasi pada setiap populasi dan kultur, yang mana dipengaruhi perbedaan genetik, faktor geografis atau lingkungan atau faktor-faktor lain yang berbasis populasi.1

Pada masa kanak-kanak, rinitis alergi lebih banyak dialami anak laki-laki dibanding anak perempuan, namun pada masa dewasa prevalensinya nyaris seimbang antara laki-laki dan perempuan.1

Onset rinitis alergi terbanyak pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa muda, dengan onset usia rata-rata 8-11 tahun, namun rinitis alergi dapat terjadi pada semua umur. Pada 80% kasus, rinitis alergi berkembang pada usia 20 tahun. Prevalensi rinitis alergi telah dilaporkan sebesar 40% pada anak-anak dan menurun dengan usia. Pada populasi geriatri, rinitis alergi jarang ditemukan.12.4 Klasifikasi

Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:5,6,71. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

Gambar 1. Klasifikasi Rhinitis Alergi Berdasarkan Durasi Gejala dan Keparahan.72.5Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang ditandai dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Aergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.5Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan ergabung dengan molekul HLA kelas II mempentuk komplek peptida MHC Kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berplroliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alerfi Fase Cepat (RAFC).5Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin meransang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan ransangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini diradai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dan granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi olehfaktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang meransang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.52.6Diagnosis6,7,8Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan skin prick test, IgE total, IgE spesifik dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada bidang penelitian.

Menegakkan diagnosis rinitis alergi dapat dipersulit oleh perilaku buruk seperti kebiasaan menggosok mata dan hidung, sehingga timbul tanda-tanda khas, yakni :

Allergic shiner, bayangan gelap di bawah kelopak mata akibat sumbatan pembuluh darah vena.

Allergic salute, timbul akibat sering menggosok hidung denganpunggung tangan ke arah atas. allergic crease, garis melintang di dorsum nasi 1/3 bawah).Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau lipid disertai adanya secret encer bening dan banyak. Perlu dicari keadaan yang dapat menjadi faktor predisposisi misalnya polip hidung dan kelainan septum. Sebagai pelengkap, dapat ditambah pemeriksaan sitologi hidung. Peningkatan eosinofil (5 sel / lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Untuk mencari penyebab dapat dilakukan uji kulit dengan cara skin prick test, scratch test, uji intrakutan atau intradermal tunggal atau berseri (skin end point titration). Bila allergen diduga berasal dari makanan, dapat dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau intracutaneous provocative food test(IPFT).2.7Penatalaksanaan1,7,9Penatalaksanaan utama rinitis alergi terdiri dari 3 kategori pengobatan, yakni:

1. Langkah-langkah pengendalian lingkungan dan menghindari alergenTerapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Yakni dengan menghindari alergen yang sudah dikenal (zat yang dapat menimbulkan IgE-mediated hypersensitivity pada pasien) dan menghindari alergen nonspesifik (Paparan asap rokok, parfum dengan aroma yang kuat, asap, perubahan suhu yang cepat, dan polusi luar ruangan), iritan serta factor pemicu.

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi7

2. Manajemen farmakologis

Pasien dengan rhinitis alergi kronis atau mereka yang memiliki gejala aktif yang sebagian besar mengganggu selama setahun (terutama jika mereka juga memiliki asma) mungkin memerlukan obat setiap hari. Obat ini yaitu: obat-obatan anti inflamasi, antihistamin, antagonis Leukotriene, dan terapi imun.Obat anti-inflamasi yakni nasal kortikosteroid dianjurkan untuk pasien dengan alergi sedang sampai berat, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan antihistamin generasi kedua. Pada rhinitis alergi, kortikosteroid mengurangi pembengkakan dan peradangan pada hidung, sehingga gejala lebih sedikit. Ketika obat oral dikonsumsi atau disuntikkan (sistemik) kortikosteroid, obat tersebut akan melalui seluruh tubuh Hal ini dapat mengakibatkan efek samping yang serius. Bila menggunakan kortikosteroid hidung, sebagian besar obat-obatan tetap di hidung dan tidak melakukan perjalanan ke seluruh tubuh. Hal ini menyebabkan efek samping yang lebih sedikit dan kurang serius daripada pil atau injeksi kortikosteroid. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

4. ImunoterapiCara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.

2.7.1 Mekanisme Kerja Nasal Steroid11Kortikosteroid bekerja mengendalikan laju sintesis protein. Saat diberikan baik secara sistemik maupun topikal, molekul steroid bebas akan berdifusi secara pasif ke membran sel target dan memasuki sitoplasma dan kemudian berikatan dengan reseptor glukokortikoid. Kemudian reseptor glukokortikoid teraktivasi dan memasuki inti sel, dan kemudian melekat sebagai dimer pada lokasi ikatan spesifik (elemen respon glukokortikoid) pada DNA di gen 5-upstream promotor region of steroid-response. Efek interaksi ini menginduksi dan mensupresi transkripsi gen. Transkripsi RNA messenger terinduksi selama proses ini kemudian diikuti proses post-transkripsional dan ditransportasikan ke sitoplasma untuk translasi ribosom, dengan produk sampingan protein baru. Setelah proses post-transkripsional terjadi, protein baru dilepaskan untuk aktivitas ekstraselular atau ditahan oleh sel untuk aktivitas intraselular. Waktu yang dibutuhkan untuk transalasi RNA messenger dan transkripsi protein dapat terjadi pada lag phase antara pemberian dan menghasilkan aktivitas klinis kortikosteroid.Penelitian terkini, terlihat bahwa aktivasi reseptor glukokortikoid dapat berinteraksi langsung dengan faktor transkripsi lain di sitoplasma, yang mana dapat sangat mempengaruhi respon steroid pada sel target.Efektivitas kortikosteroid dalam penatalaksanaan rinitis alergi berkaitan dengan beberapa aksi farmakologis. Kortikosteroid telah menunjukkan efek spesifik dalam sel inflamasi dan mediator kimia yang terlibat dalam proses alergi. Mediator kimia yang dipengaruhi secara langsung oleh kortikosteroid adalah leukotrien dan prostaglandin, yang disintesa dari asam arakidonat melalui jalur enzimatik lipoksigenase dan siklooksigenase. Kortikosteroid meningkatkan sintesis suatu protein (lipocortin-1) yang memiliki efek fosfolipase A2 dan dapat menghambat produksi mediator lipid. Mediator lainnya seperti histamin, platelet activating factor, kinin dan substansi P dipengaruhi secara tidak langsung pada sel-sel inflamasi.Kortikosteroid mengurangi jumlah limfosit T yang bersirkulasi dan menghambat aktivasi limfosit T, produksi IL-2, generasi reseptor IL-2, dan produksi IL-4. Kortikosteroid juga mengurangi jumlah eosinofil yang bersirkulasi dan influks eosinofil dalam RAFL, menghambat IL-5 yang dimediasi eosinofil, dan menghambat produksi GM-CSF. Kortikosteroid mengurangi sel mast nasal dan kadar histamin, mengurangi jumlah basofil di sirkulasi dan menghjambat influks netrofil setelah paparan alergen. Kortikosteroid menyebabkan reduksi jumlah makrofag dan monosit dalam sirkulasi dan menghambat pelepasan sitokin termasuk IL-1, IFN-1, TNF-a dan GM-CSF.Steroid intranasal mempengaruhi seluruh aspek respon inflamasi nasal. Efek inhibisi steroid intranasal pada respon alergi fase cepat dan lambat telah diteliti pada beberapa penelitian.Durasi penggunan kortikosteroid pretreatment merupakan faktor yang mempengaruhi RAFC. Pada penelitian ditemukan inhibisi signifikan dari peningkatan resistensi jalur napas nasal pada penggunaan beclometasone. Penggunaan steroid juga mengurangi produksi sekret nasal dan hidung tersumbat yang diukur menggunakan rhinomanometri. Pemberian steroid pretreatment sangat efektif dalam menurunkan symptom scores. Steroid juga mempengaruhi RAFL dengan menurunkan gejala bersin, kadar histamin dan aktivitas TAME-esterase.Penelitian lain menunjukkan steroid secara signifikan menurunkan kadar protein kationik eosinofil pada sekret nasal. Kortikosteroid juga secara signifikan menghambat influksbasofil, eosinofil, netrofil, dan sel mononukleat pada RAFL penderita yang terpapar alergen musiman. Pada biopsi nasal penderita rinitis alergi yang diberikan steroid intranasal juga tidak ditemukan peningkatan eosinofil epitelial, submukosal dan sel mast epitelial. Penggunaannya juga mengurangi jumlah antigen-presenting cell dan sel T di mukosa nasal pasien rinitis alergi. Penggunaan steroid juga menurunkan kadar chemokins (IL-8, macrophage inflammatory protein-1a, dan RANTES) dan sitokin (IL-1b dan GM-CSF) pada sekret nasal pasien alergi setelah paparan alergen.2.7.2 Dosis dan Sediaan Nasal Steroid11Sediaan dan dosis steroid yang sering dipergunakan ditampilkan pada tabel berikut:11Kortikosteroid

Merek DagangDosis dan PemberianBioavailabilitas Intranasal

Beclomethasone

Beconase AQ

42 g per spray

Vancenase 84AQ

84 g per spray

Flunisolide

Nasalide / Nasarel, 25 g per spray

Budesonide

Rhinocort, 32 g per spray

Fluticasone

Flonase, 50 g per spray

Triamcinolone

Nasacort, 55 g per spray

Nasacort AQ, 55 g per spray

Mometasone

Nasonex,50 g per spray

1-2 spray/nostril 2 kali/hari1 atau 2 spray/ nostril per hari

2 spray/nostril dua kali sehari atau 2 spray/nostril 3 kali sehari

1 spray/nostril 3 kali sehari atau 2 spray/nostril 2 kali sehari

2 spray/nostril 2 kali sehari

4 spray/nostril per hari

2 spray/nostril per hari

1-2 spray/nostril per hari

2-4 spray/nostril per hari

2 spray/nostril per hari

2spray/nostril per hari

1-2 spray/nostril per hari

2 spray /nosreil per hari

168-336 g/hari

168-336 g/hari

200 g/hari

300 g/hari

150 g/hari

200 g/hari

256 g/hari

200 g/hari

100-200 g/hari

220-440 g/hari

220 g/hari

220 g/hari

110-220 g/hari

200 g/hari

Dewasa dan anak 6 tahun

Dewasa dan anak 6 tahun

Dewasa 15 tahun

Anak 6-14 tahun

Dewasa dan anak 6 tahun

Dewasa dan anak 12 tahun

Anak 4-11 tahun

Dewasa dan anak 12 tahun

Anak 6-11 tahun

Dewasa dan anak 12 tahun

Anak 6-12 tahun

Dewasa dan anak 6 tahun

Belum diketahui

40%-50%

20%

0,5%- 2%

Belum diketahui

0,1%

Tabel 3. Dosis dan cara pemberian beberapa sediaan steroid intranasal

Dikutip dari Craig LaForce: Use of Nasal Steroids in Managing Allergic Rhinitis. J Allergy Clin Immunol 1999;103:S388-94

2.7.3 Keuntungan11Penelitian efek humoral steroid intranasal menunjukkan pengaruh langsung respon imun pada alergen musiman oleh regulasi produksi antibodi alergen spesifik. Penggunaan steroid mengurangi gejala rinitis dan mengantisipasi peningkatan IgE spesifik selama paparan alergen. Penggunaan kortikosteroid intranasal juga terlihat lebih efektif dalam mengatasi rinitis alergika perenial dibandingkan antihistamin generasi kedua.Kortikosteroid intranasal juga sering dikominasikan dengan antihistamin untuk mengurangi gejala pada mata dengan lebih cepat. Pada suatu penelitian juga terlihat bahwa kortikosteroid intranasal juga lebih baik dibandingkan dengan Pollinex-R, suatu bentuk imunoterapi.Sediaan baru nasal steroid dengan bioavailabilitas sistemik rendah seperti mometason dan fluticason dipertimbangkan pada penatalaksanaan rinitis alergi pada anak. Sediaan ini telah disetujui oleh FDA dimulai pada usia 3 tahun (mometason) dan 4 tahun (fluticason), dengan dosis yang direkomendasikan setengah dari dosis dewasa. Mometason dan fluticason hampir tidak diabsorbsi di traktus gastrointestinal, dengan fraksi yang diabsorbsi dimetabolisme dengan cepat di hepar.2.7.4 Efek Samping11Efek samping penggunaan kortikosteroid juga jarang dilaporkan. Efek samping yang paling sering adalah iritasi nasal, yang terjadi pada 10% pasien. Hal ini memberikan gejala berupa sensasi terbakar atau bersin-bersin. Dua persen pasien melaporkan mengeluarkan sekret hidung bercorak darah akibat obat maupun gejala. Perforasi septum juga pernah dilaporkan meskipun sangat jarang. Biopsi nasal setelah penggunaan obat dalam jangka waktu lama juga tidak memperlihatkan penipisan epitel nasal atau abnormalitas mukosa nasal. Superinfeksi mukosa oleh Candida albicans, yang biasanya ditemukan pada penggunaan kortikosteroid topikal, inhalasi oral pada penatalaksanaan asma, bukanlah hal yang sigifikan di hidung.11Efek samping sistemik telah dipermasalahkan sejak dahulu. Deksametason, kortikosteroid topikal pertama yang tersedia di Amerika Serikat, telah diperhitungkan absorbsi sistemiknya menyebabkan supresi adrenal setelah penggunaan jangka panjang. Sediaan yang lebih baru seperti yang digunaan saat ini memiliki absorbsi sistemik yang lebih rendah dan pada dosis standar yang digunakan untuk terapi rinitis alergi, tidak ditemukan efek pada aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Katarak retrokapsular pernah diaporkan pada terapi beklometason. Namun penelitian lebih lanjut menujukkan efek katarak akibat penggunaan steroid ini tidak lebih tinggi daripada efek yang ditimbulkan akibat tidak digunakannya kaca mata hitam.11Gangguan pertumbuhan tulang pada anak juga telah diperhatikan, sebagaimana yang diamati pada penggunaan steroid jangka panjang pada asma. Hal ini diamati pada penggunaan beclometason. Namun penggunaan steroid dosis rendah namun dapat mengurangi gejala rinitis pada jangka panjang masih disarankan dan aman. Penelitian penggunaan mometason furoat pada anak-anak dengan rinitis alergi parenial tidak menyebabkan retardasi pertumbuhan atau supresi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Efek jangka panjang penurunan kecepatan pertumbuhan yang berpengaruh pada tinggi saat dewasa dan kemampuan mengejar pertumbuhan setelah penghentian terapi steroid belum diteliti secara adekuat. Namun disarankan pengamatan reguler setiap 3 hingga 6 bulan dengan instrumen adekuat (statiometer) oleh staf terlatih. Lebih lanjut, perlu dipertimbangkan penggunaan sediaan baru dengan bioavailabilitas sistemik rendah seperti mometason dan fluticason pada penatalaksanaan rinitis alergi pada anak. Sediaan ini telah disetujui oleh FDA dimulai pada usia 3 tahun (mometason) dan 4 tahun (fluticason), dengan dosis yang direkomendasikan setengah dari dosis dewasa. Mometason dan fluticason hamper tidak diabsorbsi di traktus gastrointestinal, dengan fraksi yang diabsorbsi dimetabolisme dengan cepat di hepar.11BAB IIIPENUTUP

3.1KesimpulanSteroid intranasal merupakan obat yang sangat efektif dalam penatalaksanaan pasien dengan rinitis alergi dibandingkan dengan antihistamin, dekongestan dan kromolin. Saat ini telah tersedia beberapa sediaan steroid intranasal yang memiliki efektivitas dan karakteristik keamanan relatif sama.

Meskipun steroid intranasal masih kurang efektif dalam mengurangi gejala akut seperti gejala okular dibandingkan antihistamin dalam penatalaksanaan rinitis alergi perenial, steroid intranasal dapat digunakan sebagai kombinasi dengan terapi lainnya untuk mencapai perbaikan optimal dari gejala keseluruhan.

Sediaan kortikosteroid memiliki onset aksi terlambat dan dibutuhkan pemberian harian untuk mencapai hasil yang optimal. Efek samping utama dari steroid intranasal adalah iritasi lokal dan meskipun telah diteliti bioavailabilitas sistemik dari beberapa sediaan steroid intranasal, laporan mengenai efek samping sistemik masih sangat jarang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sheikh J. Medscape. Allergic Rhinitis. April 1, 2013. Available at URL: http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview. Accessed on 20th August 2013.2. Simon H. University of Maryland Medical Center. Allergic Rhinitis. June 21, 2013. Available at URL: http://umm.edu/health/medical/reports/articles/allergic-rhinitis. Accessed on 20th August 2013.

3. Healthwise. WebMD. Corticosteroids for Allergic Rhinitis. June 30, 2011. Available at URL: http://www.webmd.com/allergies/corticosteroids-for-allergic-rhinitis. Accessed on 20th August 2013.

4. Brozek JL, Bousquet J, Baena-Cagnani CE, Bonini S, Canonica GW et al. National Guideline Clearinghouse. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2010 revision. 23 Dec, 2010. http://www.guideline.gov/content.aspx?id=24599 Accessed on 20th August 2013.5. Irawati, N, E. Kasakeyan dan N. Rusmono. Rinitis Alergi. Dalam: Soepardi EA dkk, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. FKUI. Jakarta, 2009: hal 128-134.6. DeGuzman, et al. Allergic Rinitis. Michigan: UMHS Guidelines Oversight Team; 2007.7. Small and Kim. Allergic rinitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011, 7 (Suppl 1): S3. [Online] Avaliable from: http://www.aacijournal.com/content/7/S1/S3. Accessed on 25th August 2013.8. Wallace DV, et al. The diagnosis and management of rhinitis: An updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol; 2008.9. Scandale S. Denise KS. Treatment of Allergic Rhinitis. Am Fam Physician.2010Jun15;81(12):1440-1446. Avaliable from: http://www.aafp.org/afp/2010/0615/p1440.html. Accessed on 25th August 2013.10. Trangsurd AJ et al. Medscape. Intranasal Corticosteroids for Allergic Rhinitis. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/444368_5. Accessed on 25th August 2013.11. LaForce, Craig. Use of nasal steroids in managing allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 1999;103:S388-94. Available from: http://www.jacionline.org/article/S0091-6749(99)70218-6/fulltext. Accessed on 25th August 2013.2