BAB I

39
BAB I PENDAHULUAN Penyakit kulit dapat diobati dengan bermacam-macam cara ialah dengan: a. Topical b. Sistemik c. Intralesi Jika cara pengobatan diatas belum memadai, maka masih dapat dipergunakan cara-cara lain yaitu a. Radioterapi b. Sinar ultraviolet c. Pengobatan laser d. Krioterapi e. Bedah listrik f. Bedah scalpel Dengan adanya kemajuan-kemajuan yang pesat dalam bidang farmasi, maka pengobatan penyakit kulit juga ikut berkembang pesat. Kemajuan dalam bidang pengobatan topical yang berupa perubahan dari cara pengobatan non spesifik dan empiric menjadi pengobatan spesifik dengan dasar yang rasional. Kegunaan dari pengobatan topical didapat dari pengaruh fisik dan kimiawi obat-obat yang diaplikasi diatas kulit yang sakit. Pengaruh fisik antara lain ialah mengeringkan, membasahi (hidrasi), melembutkan, lubrikasi, mendinginkan, memanaskan dan melindungi (proteksi) dari pengaruh buruk dari luar. Semua

description

bab i penyakit eritropapuloskuamosa

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kulit dapat diobati dengan bermacam-macam cara ialah dengan:

a. Topical

b. Sistemik

c. Intralesi

Jika cara pengobatan diatas belum memadai, maka masih dapat dipergunakan cara-cara

lain yaitu

a. Radioterapi

b. Sinar ultraviolet

c. Pengobatan laser

d. Krioterapi

e. Bedah listrik

f. Bedah scalpel

Dengan adanya kemajuan-kemajuan yang pesat dalam bidang farmasi, maka pengobatan

penyakit kulit juga ikut berkembang pesat. Kemajuan dalam bidang pengobatan topical yang

berupa perubahan dari cara pengobatan non spesifik dan empiric menjadi pengobatan

spesifik dengan dasar yang rasional.

Kegunaan dari pengobatan topical didapat dari pengaruh fisik dan kimiawi obat-obat

yang diaplikasi diatas kulit yang sakit. Pengaruh fisik antara lain ialah mengeringkan,

membasahi (hidrasi), melembutkan, lubrikasi, mendinginkan, memanaskan dan melindungi

(proteksi) dari pengaruh buruk dari luar. Semua hal itu bermaksud untuk mengadakan

homeostasis yaitu mengembalikan kulit yang sakit dan jaringan sekitarnya ke keadaan

fisiologik stabil secepat-cepatnya. Disamping itu untuk menghilangkan gejala-gejala yang

mengganggu misalnya rasa gatal dan panas. Dalam jangka 20 tahun terakhir ini telah

dikembangkan preparat-preparat topical yang mempunyai khasiat kimiawi yang spesifik

terhadap organisme di kulit atau terhadap kulit itu sendiri.

Page 2: BAB I

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psoriasis

2.1.1 Definisi

Psoriasis ditandai dengan adanya hiperkeratosis dan penebalan lapisan epidermis yang

diikuti dengan peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi sel radang ke dermis, akibat proses

tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi.

Psoriasis merupakan sebuah penyakit autoimun kronik residif yang muncul pada kulit.

Penyakit ini tergolong dalam dermatosis eritroskuamosa dan bersifat kronik dan residif.

Penyakit ini menimbulkan warna kemerahan, plak bersisik muncul di kulit, disertai oleh

fenomena tetesan lilin, tanda Auspitz, dan Kobner. Psoriasis ini juga disebut dengan psoriasis

vulgaris. Psoriasis adalah peradangan menahun yang ditandai dengan plak eritematosa

dengan skuama lebar, kasar, berlapis dan putih seperti mika.

2.1.2 Epidemiologi

Psoriasis dapat terjadi secara universal, namun prevalensinya bervariasi tergantung

pada etnis dan demografis. Di Eropa kejadian tertinggi di Denmark (2.9 persen) dan Pulau

Faeroe (2.8 persen), dengan rata-rata untuk seluruh Eropa Utara adalah 2 persen. Di Amerika

Serikat, prevalensinya sekitar 2,2 persen hingga 2,6 persen dengan rata-rata 150.000 kasus

baru yang terdiagnosis setiap tahunnya. Di Jepang insidensinya sangat rendah (0,4 persen).

Namun pada suku Aborigin Australia dan Indian yang berasal dari Amerika Selatan psoriasis

tidak ditemukan.

Insidensi psoriasis pada Laki-laki dan perempuan adalah sama, walaupun dalam

beberapa studi dijumpai adanya deviasi yang minor. Beberapa studi telah dilaporkan bahwa

onset usia lebih awal pada perempuan, tapi ini tidak secara universal. Tidak ada bukti adanya

perbedaan morfologi psoriasis antara laki-laki dan perempuan.

Psoriasis dapat mengenai semua tingkatan usia. Namun yang paling sering timbul

untuk pertama kalinya pada usia antara 15-30 tahun dan jarang dijumpai pada usia dibawah

10 tahun. Penyakit ini cendrung menunjukkan manifestasi lebih awal pada pasien dengan

riwayat keluarga yang menderita psoriasis.

Page 3: BAB I

2.1.3 Etiologi dan patogenesis

Etiopatogenesis psoriasis secara pasti belum diketahui, namun teori yang ada

mengemukakan psoriasis merupakan penyakit autoimun yang ditandai adanya proliferasi

epidermal dan pembuluh kapiler akibat pelepasan sitokin oleh limfosit. Adanya mekanisme

genetik, metabolik dan imunologis yang dikombinasikan dengan faktor-faktor lingkungan

lainnya seperti stres, trauma, obesitas, infeksi, hormonal, alkohol, merokok, atau obat-obatan.

Pasien psoriasis seringdikaitkan dengan keterlibatan keluarga. Pada kembar identik memiliki

tingkat kesesuaian 56-70% dalam studi yang berbeda, namun kedua faktor genetik dan

lingkungan mempunyai pengaruh. Bukti lebih lanjut yang mendasari genetik memiliki

hubungan yang kuat antara psoriasis dengan Human leucocyte antigen (HLA)-Cw6. Namun

dengan HLA B13, B17 dan DR7 memiliki hubungan yang lemah. Hubungan HLA dengan

riwayat keluarga yang menderita psoriasis lebih sering terjadi sebelum usia 40 tahun.

Beberapa faktor lingkungan berperan dalam patogenesis psoriasis. Meskipun hanya

sebagian dari faktor tersebut yang tampaknya dapat memicu penyakit, sedangkan faktor

lainnya menyebabkan eksaserbasi atau modifikasi dari penyakit ini. Peran dari faktor

lingkungan pada psoriasis yang mungkin paling menentukan melalui kesesuaian penyakit

yang tidak sempurna dalam kembar monozigot.

Beberapa pasien psoriasis mengemukakan stres bisa menimbulkan flare atau serangan

pada penyakit ini. Stres dapat dipicu oleh keadaan-keadaan yang dialami pasien dalam

menghadapi ujian, kecelakaan, kekerasan seks dan kematian. Interval terjadinya stres sampai

timbulnya flare berkisar antara 2 hari sampai dengan 1 bulan.

Trauma pada kulit akan menginduksi psoriasis pada kulit yang non lesi. Beberapa tipe

cedera yang berbeda dapat menginduksi respon Koebnerpada psoriasis yang berasal dari

gesekan atau garukan pada kulit dan bahkan setelah terjadinya sunburn.

Infeksi saluran pernafasan atas, terutama oleh streptokokus, berhubungan dengan flare

penyakit, terutama tipe psoriasis gutata. Infeksi HIV sering memperburuk psoriasis. Asupan

rokok dan alkohol pada pasien psoriasis lebih tinggi daripada populasi umum. Namun hal ini

masih kontroversial, apakah karena rasa malu akibat psoriasis sehingga mengarah pada

kebiasaan mengkonsumsi rokok dan alkohol, atau karena rokok dan alkohol dapat memicu

atau memperburuk penyakit. Mungkin kedua hal tersebut dapat saja terjadi.

Page 4: BAB I

Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi psoriasis adalah obat-obatan seperti lithium,

β-blocker, kloroquin, anti inflamasi non steriod, angiotensin-converting enzyme inhibitors

(ACEI)dan gemfibrozil, interferon α danϒ serta imiquimod. Namun mekanisme yang dapat

menyebabkan eksaserbasi belum diketahui, tetapi pada beberapa pasien tidak memberikan

efek terhadap penyakitnya. Oral kontrasepsi memperburuk penyakit pada beberapa pasien

dan membaik pada pasien yang lain.

2.1.4 Gejala klinis

Psoriasis merupakan penyakit eritropapuloskuamosa dengan gambaran morfologi,

distribusi serta derajat keparahan penyakit yang bervariasi. Lesi klasik psoriasis biasa berupa

plak berwarna kemerahan berbatas tegas dengan skuama tebal berlapis yang berwarna

keputihan pada permukaan lesi.Ukuran plak dapat bervariasi dari beberapa milimeter sampai

mengenai sebagian besar badan atau anggota gerak. Kulit yang terkena biasanya berbatas

tegas, sehingga mudah dibedakan dengan penyakit kulit lainnya. Permukaan plak biasanya

berskuama, dan dengan garukan yang lembut akan menyebabkan skuama terangkat sehingga

tampak adanya bintik-bintik perdarahan yang dikenal sebagai tanda Auspitz. Pengoresan

skuama dengan menggunakan pinggir gelas objek akan menyebabkan terjadinya perubahan

warna lebih putih seperti tetesan lilin.

Fenomena Koebner pada psoriasis dapat terjadi karena diinduksi oleh trauma (luka

bedah atau garukan buatan, abrasi atau luka bakar) yang terjadi pada daerah yang non lesi, ini

merupakan gambaran diagnostik yang membantu, namun tidak dijumpai pada semua pasien.

Reaksi Koebner biasanya terjadi 7-14 hari setelah trauma. Fenomena Koebner tidak spesifik

untuk psoriasis akan tetapi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.

Aktivitas psoriasis berfluktuasi berubah berdasarkan skala waktu bulan atau tahun dan

dapat melibatkan daerah yang lebih luas pada satu waktu dibandingkan yang lainnya. Remisi

yang lama dapat terjadi secara spontan atau mungkin disebabkan oleh pengobatan.

Selain dari presentasi klasik yang dipaparkan diatas terdapat beberapa tipe klinis

psoriasis. Psoriasis vulgaris merupakan gambaran paling sering dijumpai sekitar 90 persen

penderita, ditandai lesi dengan skuama berwarna keputihan, plak kemerahan berbentuk oval

atau bulat, berbatas tegas dengan distribusi yang simetris.

Psoriasis dapat mengenai semua bagian kulit, namun lokasi yang paling sering adalah

pada kulit kepala, badan, siku, lutut, betis, umbilikus, sakrum dan genitalia. Selain psoriasis

Page 5: BAB I

vulgaris, bentuk lain psoriasis yang dijumpai adalah psoriasis gutata (eruptif), psoriasis

pustular, psoriasis linier, psoriasis inversa (fleksura), psoriasis didaerah mukosa, psoriasis

kuku, psoriasis artritis, dan psoriasis eritroderma.

Gambar 1 Psoriasis

Page 6: BAB I

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis lesi pada

kulit. Namun pada kasus-kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti

pemeriksaan laboratorium darah dan biopsi histopatologi.

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk mengkonfirmasi suatu

psoriasis ialah biopsi kulit dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin. Pada

umumnya tampak penebalan epidermis atau akantolisis serta elogasi rete ridges. Dapat

terjadi diferensiasi keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum

korneum juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang disebut

dengan parakeratosis. Tampak neutrofil dan limfosit yang bermigrasi dari dermis.

Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Pada dermis akan tampak tanda-

tanda inflamasi seperti hipervaskularisasi dan dilatasi serta edema papila dermis. Infiltrat

dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit dan sel mast.

2.1.6 Penatalaksanaan

Penjelasan tentang penyakit, jenis obat yang dapat mengatasi dan tersedia di wilayah

kerja, efek samping obat-obatan. Kompromi pengobatan dengan pasien agar mendapat

kepatuhan yang tinggi

1. Psoriasis ringan bila luas lesi < 15% luas permukaan tubuh.

2. Terapi topikal:

a Pelembab: vaselin album, urea 10%

b Ter likuor karbonis detergen 5-10%, (untuk kulit dan skalp) dan asam salsilat 3%

tidak boleh untuk daerah lipatan

c Kortikosteroid poten-superpoten (tidak lebih dari 50gram/minggu), dalam waktu

kurang dari dua minggu), untuk daerah lipatan pakai kortiko-steroid lemah –

sedang tergantung ketebalan lesi.

d Antralin 2%

e Kalsipotriol (vitamin D3 analog) topikal

f Tazaroten

3. Lebih dari 15% atau bila rekalsitran

4. Fototerapi UVB, PUVA

Page 7: BAB I

Psoriasis berat

a. Fototerapi: UVB/PUVA

b. Pengobatan sistemik: metotreksat, asitretin, siklosporin,terapi biologi antara lain

infliximab, alefacept, etanercept dan efalizumab.

2.2 Ptiriasis rosea

2.2.1 Definisi

Pitriasis rosea ialah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya dimulai dengan

sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus kemudian disusul oleh lesi-lesi yang

lebih kecil di badan lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan

biasanya menyembuh dalam waktu 3-8minggu.

2.2.2 Epidemiologi

Pitriasis rosea didapati pada semua umur terutama antara 15-40 tahun pada wanita dan

pria sama banyaknya.

2.2.3 Etiologi

Etiologinya belum diketahui, demikian pula cara infeksi, ada yang mengemukakan

hipotesis bahwa penyababnya virus karena penyakit ini merupakan penyakit swasima (self

limiting diasese) umumnya sembuh sendiri dalam waktu 3-8 minggu.

2.2.4 Gejala klinis

Gejala konstitusi pada umunya tidak terdapat, sebagian mengeluh gatal ringan. Pitiaris

berarti skuama halus. Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di

badan, solitar, berbentuk oval dan anular, diameternya kira-kira 3 cm. Ruam terdiri atas

eritema dan skuama halus dipinggir. Lamanya beberapa hari hingga beberapa minggu.

Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi pertama, memberi gambaran yang khas,

sama dengan lesi pertama hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan kosta,hingga

menyerupai pohon cemara terbalik. Lesi tersebut timbul serentak atau dalam beberapa hari.

Tempat predileksi pada badan, lengan atas bagian proksimal dan paha atas, sehingga seperti

pakaian renang wanita jaman dahulu.

Kecuali bentuk yang lazim berupa eritroskuama, pitiaris rosea dapat juga berbentuk

urtika, vesikel dan papul yang lebih sering terdapat pada anak-anak.

Page 8: BAB I

Lokalisasi dapat tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian.

Eflorosensi/sifat-sifatnya yaitu macula eritroskuamosa anular dan solitary, bentuk lonjong

dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat.

Gambar 2 Pitriasis rosea

Page 9: BAB I

2.2.5 Diagnosis banding

Penyakit ini sering disangka jamur oleh penderita, juga oleh dokter umum sering

didiagnosis sebagai tinea korporis. Gambaran klinisnya memang mirip dengan tinea korporis

karena terdapat eritema dan skuama dipinggir dan bentuknya anular. Perbedaannya pada

pitriasis rosea, gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea korporis, skuamanya halus

sedangkan pada tinea korporis kasar. Pada tinea sedian KOH akan positif, hendaknya dicari

pula lesi inisial yang adakalanya masih ada. Jika telah tidak ada dapat ditanyakan kepada

penderita tentang lesi inisial. Sering lesi insial tersebut tidak seluruhnya eritematosa lagi,

tetapi bentuknya masih tampak oval sedangkan di tengahnya terlihat hipopigmentasi.

Selain itu, dermatitis seboroik yang biasanya gatal, lesi eritematosa difus yang ditutupi

skuama halus/kasar dan sifilis stadium II yang biasanya berupa eritema ditutupi oleh skuama

berwarna coklat tembaga.

2.2.6 Pengobatan

a. Sistemik : Anti gatal (antihistamin) seperti klortrime 3x1 tab.

Roborantia (vitamin B 12) 1000mg/hari.

b. Topikal : bedah kocok yang mengandung asam salisilat 2% atau mentol 1%.

2.3 Dermatitis seboroik

2.3.1 Definisi

Istilah dermatitis seboroik dipakai untuk golongan kelainan kulit yang didasari oleh

faktor konstitusi dan bertempat predileksi ditempat-tempat seboroik.

2.3.2 Etiopatogenesis

Penyebabnya belum diketahui pasti. Faktor predisposisinya ialah kelainan kontitusi

berupa status seboroik (seborrhoeic state) yang rupanya diturunkan, bagaimana caranya

belum dipastikan. Banyak percobaan telah dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini

dengan infeksi oleh bakteri atau Pityrosporum ovale yang merupakan flora normal kulit

manusia. Pertumbuhan P. ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik

akibat produk metabolitnya yang masuk kedalam epidermis maupun karena sel jamur itu

sendiri, melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Status seboroik sering berasosiasi

dengan meningginya suseptibilitas terhadap infeksi piogenik tetapi tidak terbukti bahwa

mikroorganisme inilah yang menyebabkan dermatiti seboroik.

Page 10: BAB I

Dematitis seboroik berhubungan erat dengan keaktivan glandula sebsea. Glandula

tersebut aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun

akibat stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi

pada umur bulan-bulan pertama kemudian jarang usia sebelum akil balik dan insidensinya

mencapai puncaknya pada umur 18-40 tahun kadang-kadang pada umur tua dermatitis

seboroik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.

Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya merupakan faktor timbulnya dermatitis

seboroik tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktivan kelenjar

tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik

dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat seperti pada psoariasis. Hal ini

dapat menerangkan mengapa terapi dengan sitostatik dapat memperbaikinya. Pada orang

yang telah mempunyai faktor predisposisis timbulnya dermatitis seboroik dapat disebabkan

oleh faktor kelelahan, stress, emosional infeksi atau defisiensi imun.

2.3.3 Gejala klinis

Kelanan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan,

batasnya agak kurang tegas. Dermatitis seboroik yang ringan hanya mengenai kepala berupa

skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala

dengan skuama yang halus dan kasar. Kelainan tersebut disebut pitiaris sika ( ketombe,

dandruff). Bentuk yang berminyak disebur pitiaris steatoides yang dapat disertai eritema

dengan krusta yang tebal. Rambut pada tempat tersebut mempunyai kecenderungan rontok,

mulai dibagian verteks dan frontal.

Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak yang berskuama dan

berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal. Sering meluas kedahi, glabela, telinga

posaurikular dan leher. Pada daerah dahi tersebut, batasnya sering cembung.

Pada bentuk yang lebih berat lagi seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta yang kotor

dan berbau tidak sedap. Pada bayi skuama-skuama yang kekuningan dan kumpulan debris-

debris epitel yang lekat pada kulit kepala disebut cradle cap.

Pada daerah supraorbital, skuama-skuama halus dapat terlihat di alis mata, kulit

dibawahnya eritmatosa dan gatal disertai bercak-bercak skuama kekuningan dapat terjadi

pula blefaritis yakni pinggir kelopak mata merah disertai skuama-skuama halus.

Page 11: BAB I

Selain tempat-tempat tersebut dermatitis seboroik juga dapat mengenai liang teling

luar, lipatan nasolablal, daerah sterna, areola mamae, lipatan dibawah mamae pada wanita,

interskapular, umbilicus, lipat paha dan daerah kelainan dapat berupa papul-papul.

Dermatitis seboroik dapat bersama-sama dengan akne yang berat. Jika meluas dapat

menjadi eritroderma, pada bayi disebut penyakit Leiner.

Gambar 3 Cradle cap pada bayi

Page 12: BAB I

Gambar 4 Dermatitis seboroik pada wajah

2.3.4 Diagnosis banding

Gambaran klinis yang khas ialah skuama yang berminyak dan kekuningan serta

berlokasi ditempat-tempat seboroik. Psoariasis berbeda dengan dermatitis seboroik karena

terdapat skuama-skuama yang berlapis-lapis disertai tanda tetesan lilin dan Auspizt. Tempat

predileksinya juga berbeda jika psoariasis mengenai scalp sukar dibedakan dengan dermatitis

seboroik. Perbedaannya ialah skuama lebih tebal dan putih seperti mika, kelainan kulit juga

pada perbatasan wajah dan scalp dan tempat-tempat lain sesuai dengan tempat prediksinya.

Psoriasis inversa yang mengenai daerah fleksor juga dapat menyerupai dermatitis seboroik.

Pada lipatan paha dan perianal dapat menyerupai kandidosis pada kandidosis. Pada

kandidosis terdapat eritema berwarna merah cerah berbatas tegas dengan satelit-satelit

disekitarnya.

Selain itu juga tinea barbae yaitu pada daerah jenggot, berupa papula-papula

menyerupai folikulitis yang dalam dan tinea kapitis (favus) yaitu tampak bercak-bercak botak

dengan abses yang dalam, rambut putus-putus dan mudah dilepas.

Dermatitis seboroik yang menyerang saluran telinga luar mirio otomikosis dan otitis

eksterna. Pada otomikosis akan terlihat elemen jamur pada sediaan langsung sedangkan pada

otitis eksterna menyebabkan tanda-tanda radang, jika akut terdapat pus.

Page 13: BAB I

2.3.5 Pengobatan

Kasus-kasus yang telah mempunyai faktor konstitusi agar sukar disembuhkan,

meskipun penyakitnya dapat terkontrol faktor predisposisi hendaknya diperhatikan misalnya

stress emosional dan kurang tidur. Mengenai diet, dianjurkan miskin lemak.

Pengobatan sistemik

Kortikosteroid digunakan pada bentuk yang berat, dosis prednisone 20-30 mg

sehari. Jika telah perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika disertai infeksi

sekunder diberi antibiotik.

Isotretinoin dapat digunakan pada kasus rekalsitran. Efeknya mengurangi aktivitas

kelenjar sebasea. Ukuran kelenjar tersebut dapat dikurangi sampai 90%, akibatnya

terjadi pengurangan produksi sebum. Dosisnya 0,1-0,3 mg per kg berat badan perhari,

perbaikan tampak setelah 4 minggu. Sesudah itu diberikan dosis pemeliharaan 5-10 mg

perhari selama beberapa tahun yang ternyata efektif untuk mengontrol penyakitnya.

Pada dermatitis seboroik yang parah juga dapat diobati dengan narrow band

UVB ( TL-01) yang cukup aman dan efektif. Setelah pemberian terapi 3x seminggu

selama 8 minggu, sebagian besar penderita mengalami perbaikan.

Bila pada sediaan langsung terdapat P.ovale yang banyak dapat diberikan

ketokonazol, dosisnya 200 mg per hari.

Pengobatan topical

Pada pitiaris sika dan oleosa, seminggu 2-3 kali scalp dikeramasi selama 5-

15menit misalnya dengan selenium sulfida (selsun). Jika terdapat skuama dan krusta

diberi emolien, misalnya krim urea 10%. Obat lain yang dapat dipakai untuk dermatitis

seboroik ialah:

a. Ter, misalnya likuor karbonas detergens 2-5% atau krim pragmatar.

b. Resorsin 1-3%

c. Sulfur praesipitatum 4-20% dapat digabung dengan asam salisilat 3-6%.

d. Kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 2-0,5%. Pada kasus dengan

inflamasi yang berat dapat dipakai koertikosteroid yang lebih kuat misalnya

betametason valerat, jangan dipakai terlalu lama karena efek sampingnya.

Page 14: BAB I

e. Krim ketokonasol 2% dapat diaplikasikan, bila pada sediaan langsung terdapat

banyak P.ovale.

Obat-obat tersebut sebaiknya dipakai dalam krim.

2.4 Liken planus

2.4.1 Definisi

Liken planus ditandai timbulnya papul –papul yang mempunyai warna dan konfigurasi

yang khas. Papul-papul berwarna merah biru dan polygonal, berskuama dan berbentuk siku-

siku. Lokasinya di ekstremitas bagian fleksor, selaput lender dan alat kelamin yang sangat

gatal dan umumnya membaik dalam waktu 1-2 tahun.

2.4.2 Epidemiologi

Tidak ada perbedaan pada ras, jenis kelamin dan geografik, distribusi umur rata-rata

30-60 tahun.

2.4.3 Etiologi

Pada liken planus tidak terdapat peninggian immunoglobulin. Timbulnya liken planus

hampir dapat dipastikan karena faktor imunitas selular. Pada lesi ditemukan sel CD4 dan

CD8. Limfosit pada infiltrat umumnya ialah CD8, CD40R0 (memori) dan α-β T-sell

receptor (TcR) serta γ-8 receptor.

2.4.4 Gejala klinis

Biasanya gatal, umumnya setelah satu atau beberapa minggu sejak kelainan pertama

timbul diikuti oleh penyebaran lesi. Tempat predileksi kelainan pertama ialah pada

ekstremitas, dapat di ekstremitas bawah, tetapi yang lebih sering dibagian fleksor

pergelangan tangan atau lengan bawah, distribusinya simetrik. Terdapat fenomena Kobner

(isomorfik). Pada selaput lendir dapat terbentuk kelainan, tetapi tidak menimbulkan keluhan.

Kelainan yang khas terdiri atas papul yang poligonal, datar dan berkilat, kadang-kadang ada

cekungan di sentral (delle). Garis-garis anyaman berwarna putih ( strie Wickham ) dapat

dilihat pada permukaan papul.

Variasi bentuk dapat terjadi pada liken planus, dapat terjadi konfigurasi anular yang

terbentuk karena papul-papul membentuk lingkaran atau karena menghilang disentral dan

perluasan ke perifer. Konfigurasi ini sering terlihat pada glans penis dan dapat pula

berkokonfigurasi liniar atau zosteriformis.

Page 15: BAB I

Kelainan di mukosa sangat patognomonik letaknya di bukal, lidah, bibir dan seluruh

saluran gastrointestinal. Pada vagina dan vesika urinaria terdapat gambaran retikular serupa

jala yang terdiri atas garis-garis putih atau strie abu-abu. Kelainan mukosa terdapat pada 2/3

penderita liken planus. Pada alat kelamin 25% pria menunjukan kelainan pada penis terdiri

atas papul anular atau strie yang putih. Kelainan pada kuku sebanyak 10%. Pada kulit kepala,

papul yang folikular dapat menimbulkan alopesia bersikatriks.

Bentuk Morfologik

a. Hipertrofik

Terdiri atas plak yang verukosa berwarna merah coklat atau ungu terletak pada

daerah tulang kering.

b. Folikular

Kelainan terdiri atas papul seperti duri pada kulit, selaput lender dan kulit kepala

merupakan trias pada liken planopilaris. Kelainan pada kulit kepala sangat sulit

dibedakan dengan pseudopelade.

c. Vesikular dan bulosa

1. Kelainan kulit sedikit terdiri atas vesikel dan bula pada tempat-tempat bekas atau

sedang terdapat liken planus.

2. Bentuk yang jarang terjadi. Bula yang luas tiba-tiba timbul pada kulit yang

normal atau bekas lesi, diikuti oleh gejala-gejala konstitusi. Ada bentuk bula

dengan gejala ulserasi pada kaki, menyebabkan atoplesia bersikatriks dan

hilangnya kuku.

d. Erosif dan ulseratif

Dapat terjadi pada mukosa yang didahului oleh liken planus.

e. Atrofi

Jarang terdapat. Degenerasi maligna dapat terjadi beupa karsinoma epidermoid pada

mukosa karena iritasi yang menahun, trauma lokal dan pengobatsn dengan arsen atau

sinar X.

Page 16: BAB I

Pemeriksaan laboratorium

Jumlah leukosit dan limfosit menurun.

Histopatologi

Papul menunjukan penebalan lapisan granuloma, degenerasi mencair membarana

basalis dan sel basal. Terdapat pula infiltrasi seperti pita terdiri atas limfosit dan histosit pada

dermis bagian bawah yang tajam. Pelepasan epidermal kadang-kadang terlihat dan bila

bertambah akan berbentuk bula subepidermal. Strie Wickham mungkin ada hubungan

dengan bertambahnya aktivitas fokal liken planus dan tidak karena penebalan lapisan

granular. IgM dan fibrin terdapat pada dermis papilar pada lesi yang aktif.

Gambar 5 Liken planus

Page 17: BAB I

2.4.5 Diagnosis banding

Mengenai kelainan kulitnya dibedakan dengan psoariasis,granuloma anulare, nevus

unius lateris atau liken striatus. Kelainan mukosa dapat menyerupai leukoplakia, kandidosis,

lupus eritematosus, atau sifillis II. Jika pada alat kelamin hendaknya dibedakan

psoariasis ,dermatitis seboroika dan skabies. Liken planus bentuk hipertofi dibedakan dengan

neurodermitis atau amiloidosis.

2.4.6 Pengobatan

Kortikosteroid topikal dan sistemik dapat memperbaiki, bila perlu suntikan setempat atau

bebat oklusif dengan krim asam vitamin A ( asam retinoat) 0,05%. Obat topikal yang lain

ialah siklosporin, takrolimus dan pimekrolimus. Foto kemoterapi dapat menolong terutam

pada bentuk yang generalisata. Obat sistemik yang dapat dipakai ialah retinoid dan

imunosupresif (siklosporin, antimalaria).

2.5 Pitriasis rubra pilaris

2.5.1 Definisi

Pitriasis rubra pilaris ialah kelainan yang menahun dengan plak eritematosa, berskuama

dan papul keratotik folikular.

2.5.2 Etiologi dan Patogenesis

Penyakit ini herediter atau didapat, penyebab pasti belum diketahui. Bentuk yang

herediter mulai pada permulaan masa anak, dominan otosomal dan tidak disertai kelainan

sistemik, bentuk yang didapat mulai pada setiap umur dan tidak ada yang sakit seperti ini

dalam keluarganya. Diperkirakan salah satu etiologinya karena kekurangan vit A. dan

gangguan kinetik sel epidermis ( keratinisasi meningkat dan proliferasi sel epidermis).

Hiperkeratosis, parakeratosis disekeliling folikel, akantosis yang tidak teratur, lapisan

basal mengalami degenerasi mencair. Terdapat sebukan sel radang menahun pada dermis

bagian atas,terutama sekitar folikel rambut dan pembuluh darah superfisial.

Page 18: BAB I

2.5.3 Gejala klinis

Pada bentuk herediter meluasnya penyakit bertahap dan perlahan-lahan, sedangkan

bentuk yang didapat, meluasnya sangat cepat. Eritema dan skuama pada muka dan kulit

kepala umumnya terlihat terlebih dahulu, kemudian terjadi eritema dan penebalan ditelapak

tangan dan kaki. Papul folikular keratotil dikelilingi oleh eritema umumnya terdapat pada

dorsum jari tangan, siku dan pergelangan tangan. Kelainan tersebut dapat menyebar ketempat

lain sampai badan dapat diserang. Kelainan kulit berbatas tegas dan sering terlihat pulau-

pulau kulit normal. Eritema dan skuama dapat meluas keseluruh permukaan kulit. Rambut

dan gigi tidak menunjukan kelainan kecuali kuku, kuku menunjukan penebalan.

Bentuk herditer mempunyai kecenderungan untuk menetap seumur hidup. Bentuk yang

didapat mungkin mengalami remisi. Kelainan sistemik umumnya tidak terjadi, kecuali bila

kelainan sudah menyeluruh.

Gambar 6 Pitriasis rubra pilaris

Page 19: BAB I

2.5.4 Diagnosis banding

Frinoderma, keratosis folikularis Darier.

2.5.5 Pengobatan

Pengobtan topikal ialah obat keratolitik( asam salisilat, urea). Obat yang merupakan lini

pertama ialah retinoid (asitritin) 0,5-0,75 mg/kg berat badan. Obat yang lain ialah

metotreksat. Pengobatan topikal dengan asam salisil (3-20%) kemudian diberi salap

kortikosteroid dengan bebat oklusif bermanfaat. Dapat pula diobati dengan krim asam

retinoat 0,05%. Metotreksat dianjurkan karena mempunyai kemampuan menghambat sintesis

DNA dan pembelahan sel. Dosis 1,25 mg perhari intermiten 2x1 minggu. Sebagian kasus

memberi respons dengan fotokemoterapi (psoralen dengan fototerapi ultraviolet A).

.

Page 20: BAB I

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

3.4.1 Populasi Target

3.4.2 Populasi Terjangkau

3.4.3 Sampel Penelitian

3.4.2.1 Kriteria Inklusi

3.4.2.2 Kriteria Eksklusi

3.4.4 Cara Sampling

3.4.5 Besar Sampling

3.4.4.1 Besar Sampel

3.5 Variabel Penelitian

3.5.1 Variabel Bebas

Page 21: BAB I

3.5.2 Variabel Terikat

3.6 Definisi Operasional

3.7 Cara Pengumpulan Data

3.7.1 Bahan dan Alat

3.7.2 Prosedur Penelitian

3.8 Alur Penelitian

Page 22: BAB I

Skema 3.1 Alur Penelitian

3.9 Analisis Data

3.9.1 Pengolahan data

3.9.2 Analisis data

3.10 Etika Penelitian

Page 23: BAB I

3.11 Jadwal Penelitian

BAB IV

HASIL PENELITIAN

1.1 Gambaran Umum Karang Taruna Tunas Harapan Desa Bojong

a.

1.2 Karakteristik Responden

4.2.1. Analisis Univariat

a. Usia

b. Pendidikan

Page 24: BAB I

c. Pengetahuan

d. Sikap

e. Prestasi

4.2.2. Analisis Bivariat

a. Hubungan antara pengetahuan dan sikap remaja perokok aktif dengan

prestasi belajar

Page 25: BAB I

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Keterbatasan Penelitian

5.2 Hubungan Antara Variabel Bebas dan Variabel Terikat

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

6.2 Saran

Page 26: BAB I

DAFTAR PUSTAKA

Page 27: BAB I

Adolescents Health Risks And Solutions. 2014.World Health Organization.Diunduh pada

tanggal 6 Juni 2014.

Agustiani, Hendriati.2006.Psikologi Perkembangan.Bandung.Refika Aditama.

Alabama, Birmingham.2003. Patient’s Fact Sheet Smoking And Infertility .Human

Reproduction Journal.

Alamsyah, Rika Mayasari.2007.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebiasaan Merokok

Dan Hubungannya Dengan Status Penyakit Periodontal Remaja Di Kota Medan Tahun

2007.Skripsi.Sumatra Utara.Universitas Sumatra Utara.

Asolescents Health. 2008. World Health Organization .Diunduh pada tanggal 6 Juni 2014.

Bagus, Ida.2012. Analisis Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Perilaku Merokok Di Kota

Denpasar. Skripsi.Denpasar.Universitas Udayana

Fahrosi, Alfian. 2013.Perbedaan Tingkat Pengetahuan Tentang Bahaya Merokok Pada

Remaja SMP Di Pedesaan Dan Perkotaan Di Kabupaten Jember. Skripsi. Jember.

Universitas Jember.

Gender And Global Tobacco. 2007. World Health Organization .Diunduh pada tanggal 6 Juni

2014.

Health Effects Of Smoking Among Young People . 2014. World Health Organization .

Diunduh pada tanggal 6Juni 2014.

Hernowo.2007.Panduan Untuk Perokok.Jakarta.EGC.

Hurlock,Elizabeth B.2006.Psikologi Perkembangan.Jakarta.Erlangga.

Husaini,Iman.2007.Tobat Merokok.Depok.Pustaka Iman.

Kementerian Kesehatan R.I.2011.Penyakit Tidak Menular.Jakarta.Pusat Data Dan Informasi

Kesehatan.

Kementerian Kesehatan R.I. 2010. Riset Kesehatan Dasar.Jakarta.Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan.

Larasati.2014.Analysis Of Smoking Behaviour In Children.Skripsi.Lampung.Universitas

Lampung

Mubarak et al.2010.Kesehatan Remaja Problem Dan Solusinya. Jakarta. Salemba Medika.

Mutiara, Hastin.2010.Perbedaan Indeks Prestasi Antara Mahasiswa Merokok Dan Tidak

Merokok.Skripsi.Surakarta.Universitas Sebelas Maret

Page 28: BAB I

Nasution, S.2005.Berbagi Pendekatan Dalam Proses Belajar Dan Belajar.Jakarta.PT.Bumi

Aksara

Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta. PT Rineka

Cipta.

Nuclisa, Beta.2010.Hubungan Tipe Kepribadian Dengan Sikap Remaja Pria Tentang

Merokok Di SMA Negeri 1 Surakarta.Skripsi.Surakarta.Universitas Sebelas Maret.

Nurlailah.2010.Hubungan Antara Persepsi Tentang Dampak Merokok Terhadap Kesehatan

Dengan Tipe Perilaku Merokok Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.Skripsi.Jakarta.Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Pakaya, Siska.2013.Hubungan Pengetahuan Tentang Bahaya Merokok Dengan Perilaku

Merokok Pada Siswa SMP Negeri 1 Bulawa.Skripsi.Gorontalo.Universitas Negeri

Gorontalo

Price, Silvia & Lorraine M. Wilson. 2006.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Jakarta : EGC.

Santrock, John W.2007.Remaja Edisi Kesebelas.Jakarta.Erlangga.

Sarwono, Sarlito W.2011.Psikologi Remaja.Jakarta.Rajagrafindo Persada.

Sastroasmoro, S. & Ismael, S. 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta.

Binarupa Aksara.

Sastroasmoro, S. & Ismael, S. 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta.

Binarupa Aksara.

Sukmadinata, Nana S.2003.Landasan Psikologi Proses Pendidikan.Bandung.PT.Remaja

Rosdakarya