BAB I
-
Upload
muhammad-solikin -
Category
Documents
-
view
23 -
download
0
Transcript of BAB I
BAB I
PENDIDIKAN KEBENCANAAN
A. Konsep dan Definisi Bencana
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dan memiliki potensi alam
yang besar pula, potensi alam yang terkandung di dalamnya meliputi potensi
laut, perikanan laut, perairan darat, pegunungan, daratan, dan banyak lainnya.
Akan tetapi selain potensi alam serta kekayaaan yang ada, Indonesia juga
merupakan negara yang memiliki potensi bencana, bencana yang sering terjadi
di Indonesia adalah Tsunami, Gempa Bumi, Tanah Longsor, Banjir, Angin
Puting Beliung, dan letusan Gunung berapi. Bencana ini tergolong bencana
tahunan, karena tiap tahun Indonesia mengalaminya.
Indonesia merupakan negara yang luas dengan jumlah pulau sebanyak
13.700 pulau, dengan jumlah penduduk mencapai 230 juta jiwa. Terjadi
ketimpangan distribusi penduduk, yaitu akumulasi 60 % jumlah penduduk
yang tinggal dipulau Jawa, dan sebesar 80% GDP negara terkonsentrasi di
pulau Jawa. Asumsi tersebut menunjukkan terjadinya ketimpangan distribusi
penduduk dan distribusi pembangunan di Indonesia. Peningkatan jumlah
penduduk cenderung menurunkan kualitas lingkungan. Terlepas dari
ketimpangan yang ada, Indonesia juga mengalami beberapa jenis bencana
yakni banjir, tanah longsor, gempa bumi, pergerakan lempeng, letusan gunung
api, epidemik penyakit, kebakaran hutan, kekeringan, angin ribut dan masih
banyak lagi. (provetionweb, 2010).
Bencana merupakan fenomena yang dapat terjadi setiap saat, secara tiba-
tiba atau melalui proses yang berlangsung secara perlahan dimanapun dan
kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi
kehidupan masyarakat. Banyaknya daerah yang rawan terkena bencana di
Indonesia tidak terlepas dari faktor geologis Indonesia, dimana terdapat tiga
pertemuan Lempeng besar yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan
Lempeng Indo-Australia.
United Nation Internasional Strategy Of Disaster Reduction (UN-ISDR)
membedakan bencana menjadi lima kelompok:
1. Bahaya aspek Geologi, antara lain: Gempa Bumi, Tsunami, Gunung
meletus, Landslide (tanah longsor). Daerah rawan gempa bumi yang ada di
Indonesia tersebar pada wilayah dekat dengan zona penunjaman lempeng
tektonik dan sesar aktif. Gempa yang berpengaruh memicu terjadinya
tsunami yakni gempa yang memiliki kekuatan skala di atas 6 SR, dan
memiliki kedalaman kurang dari lima puluh kilometer.
2. Bahaya aspek Hidrometeorologi, diantaranya: banjir, kekeringan, angin
puting beliung dan gelombang pasang. Banjir umumnya terjadi ketika
tingginya curah hujan di atas rata-rata yang berakibat melebihi daya
tampung sungai dan jaringannya. Perilaku manusia sepanjang dari hulu,
sepanjang aliran sungai, hingga bagian bawah system sungai.
3. Bahaya aspek Lingkungan antara lain kebakaran hujan, kerusakan
lingkungan, dan pencemaran limbah.
4. Bahaya beraspek Biologi, antara lain wabah penyakit, hama dan penyakit
tanaman, hewan/ternak. Beberapa indikasi awal terjadinya endemik
misalnya, Avian Influenza/flu burung, antraks, serta beberapa penyakit
hewan lainnya yang mengakibatkan kerugian bahkan kematian.
5. Bahaya beraspek teknologi antara lain kecelakaan transportasi, kecelakaan
industri dan kegagalan teknologi. Dari beberapa klasifikasi yang
disampaikan oleh UN-ISDR, secara keseluruhan, pernah terjadi dan dialami
negara Indonesia, tentu kita masih ingat bencana tsunami di Aceh tahun
2004, bencana banjir dan tanah longsor di Wasior, kebakaran hutan yang
terjadi belum lama ini, semburan lumpur panas dan lainnya. (Indiyanto,
2012).
Bahaya alam yang diakibatkan oleh proses-proses alam merupakan
kejadian yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan lingkungan,
kerusakan lingkungan maupun kerugian material lainnya ini yang dinamakan
bencana.
Menurut WHO bencana yakni segala kejadian yang menyebabkan
kerusakan lingkungan, gangguan geologis, hilangnya nyawa manusia atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan skala tertentu, yang
memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah tertentu (Indiyanto,
2012).
Undang-undang NO. 24 tahun 2007 mengenai penanggulangan bencana,
bencana dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: bencana alam, bencana non
alam serta bencana sosial. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempabumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. Bencana non alam adalah Bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat, dan teror (UU 24/2007). Selain definisi bencana menurut UU NO.
24 tahun 2007 ada beberapa definisi bencana lainnya.
Bencana adalah suatu peristiwa alam yang mengakibatkan dampak besar
bagi populasi manusia. Peristiwa alam dapat berupa banjir, letusan gunung
berapi, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, badai salju, kekeringan, hujan es,
gelombang panas, huricane, badai tropis, taifun, tornado, kebakaran liar dan
wabah penyakit. Beberapa bencana alam terjadi tidak secara alami. Contohnya
adalah kelaparan, yaitu kekurangan bahan pangan dalam jumlah besar yang
disebabkan oleh kombinasi faktor manusia dan alam. Dua jenis bencana alam
yang diakibatkan dari luar angkasa jarang mempengaruhi manusia, seperti
asteroid dan badai matahari (wikipedia.com).
Beberapa definisi mengenai bencana yang telah disampaikan di atas,
maka dapat disampaikan bahwa yang dimaksud dengan bencana adalah suatu
kerusakan ekologi, sosial, material serta yang lainnya, dan terjadi oleh aktifitas
abnormal alam maupun perilaku manusia dan menyebabkan kerugian baik
secara material fisik, ataupun korban jiwa.
Kondisi alam dan keragaman budaya di Indonesia adalah kekayaan dan
sekaligus potensial bencana jika tidak dilakukan penanganan dan pengelolaan
yang tepat. Kondisi indonesia yang terdiri dari puluhan ribu pulau dan
memiliki kawasan pesisir yang terpanjang memiliki kerentanan terhadap
ancaman bencana. Salah satu penyebab rentannya daerah pesisir terkena
dampak bencana adalah perubahan cuaca dalam beberapa tahun terakhir,
perubahan cuaca yang terjadi sangat memungkinkan mempengaruhi kualitas
hidup manusia, serta mempengaruhi lingkungan, tentu kita masih ingat banjir
bandang yang terjadi di China pada tahun 2013, kemudian badai Catharina
yang menyerang Amerika sepanjang tahun 2013 juga akibat pengaruh
perubahan cuaca dan iklim atau istilah lainnya Climate Change. Isu perubahan
iklim ini telah menjadi fokus perhatian di beberapa negara-negara di dunia, tak
terkecuali Indonesia. Pada tahun 2014 Indonesia mempunyai andil penting
dilaksanakananya Konferensi Tingkat Tinggi Green Climate Fund atau Badan
Pembiayaan perubahan iklim Dunia diikuti oleh ratusan Negara. Forum ini
berlangsung di BTDC Nusa Dua Bali, sejak 19 sampai dengan 21 Februari
2014. Isi dari KTT ini adalah bagaimana negara-negara maju mau membantu
negara-negara berkembang dalam mengatasi persoalan bencana dengan
komitmen, bantuan dana, adaptasi, mitigasi dan pendanaan bagi negara
berkembang sebagai negara yang terkena dampak perubahan iklim. Tentu
bantuan yang diberikan oleh negara-negara maju untuk mengatasi persoalan
bencana belum optimal jika masyakarat di negara berkembang belum
sepenuhnya sadar akan permasalahan bencana tersebut, jadi perlu diadakannya
pendidikan kebencanaan.
B. Pengklasifikasian Bencana
Berdasarkan penyebabnya bencana diklasifikasikan menjadi dua yakni
bencana alam dan bencana oleh non alam atau biasa disebut bencana oleh
aktifitas manusia. Bencana yang dikategorikan bencana alam adalah seluruh
bencana yang terjadi akibat aktivitas atau fenomena alam yang menimbulkan
kerugian baik lingkungan maupun material. Sedangkan bencana yang non alam
atau yang diakibatkan oleh ulah manusia yakni segala aktifitas manusia baik
yang menyangkut kegiatan ekonomi maupun yang lainnya dan mengakibatkan
rusaknya lingungan hidup disebut bencana oleh manusia.
Klasifikasi bencana alam berdasarkan penyebabnya dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu:
1. Bencana alam Geologis
Bencana alam ini disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal dari dalam bumi
(gaya endogen). Atau biasa disebut bencana alam yang terjadi akibat
bergeraknya lempeng bumi, yang termasuk dalam bencana alam geologis
adalah gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami. Bencana yang
diakibatkan oleh faktor geologis biasanya banyak menelan korban dan
kerusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian baik secara material
maupun kerugian non material. Bencana alam geologis merupakan bencana
alam yang paling banyak menelan korban jiwa di Indonesia.
2. Bencana alam Klimatologis
Bencana alam klimatologis merupakan bencana alam yang disebabkan oleh
faktor cuaca dan iklim, Contoh bencana alam klimatologis adalah banjir,
badai, banjir bandang, angin puting beliung, kekeringan, dan kebakaran
alami hutan (bukan oleh manusia) kebakaran alami biasa terjadi ketika
musim kemarau dan sangat kering. Gerakan tanah (longsor) termasuk juga
bencana alam, walaupun pemicu utamanya adalah faktor klimatologis
(hujan), tetapi gejala awalnya dimulai dari kondisi geologis (jenis dan
karakteristik tanah serta batuan dan sebagainya). Bencana alam klimatologis
yang terjadi belakangan ini diakibatkan oleh perubahan iklim global yang
terjadi di seluruh dunia.
3. Bencana alam Ekstra-Terestrial
Bencana alam Ekstra-Terestrial adalah bencana alam yang terjadi di luar
angkasa, contoh: hantaman/impact meteor. Bila hantaman benda-benda
langit mengenai permukaan bumi maka akan menimbulkan bencana alam
yang dahsyat bagi penduduk bumi. Gejala alam yang dapat menimbulkan
bencana alam pada dasarnya mempunyai karakteristik umum, yaitu gejala
awal, gejala utama, dan gejala akhir. Dengan demikian, jika kita dapat
mengetahui secara akurat gejala awal suatu bencana alam, kemungkinan
besar kita dapat mengurangi akibat yang ditimbulkannya.
Kemudian bencana Berdasarkan cakupan wilayahnya diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang
berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan
sekitarnya, akibat dari kelalaian manusia seperti kebakaran, terorisme,
kebocoran bahan kimia, keruntuhan bangunan disebabkan pembebanan
yang melebihi daya dukung optimal bangunan tersebut dan sebagainya.
Misal: kebakaran Pasar Klewer pada tahun 2013 yang merupakan bencana
lokal.
2. Bencana Regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh berbagai bencana
alam sebagai fenomena pemanasan global merupakan dampak dari
degradasi hutan. Dikhawatirkan jika degradasi dan deforesasi hutan terus
berlanjut diperkirakan 20% pulau di wilayah Indonesia akan tenggelam
seiring dengan naiknya suhu sekitar 2 derajad celcius dan cuaca disekitar
akibat pemanasan global. Demikian juga krisis air yang terjadi saat ini akan
semakin parah. Ketersediaan air permukaan di pulau Jawa dan Bali sudah
berada pada titik kritis dengan perbandingan tingkat pengguna dan
ketersediaan air lebih dari 50% pada area geografis yang cukup luas dan
biasanya disebabkan oleh faktor alam seperti banjir, letusan gunung api,
badai dan sebagainya.
3. Bencana Internasional
Bencana internasional adalah bencana alam yang melanda dua atau lebih
negara karena bencana alam ini mencakup wilayah yang lebih luas dari
bencana regional. Bencana alam yang termasuk bencana alam internasional
misalnya, gempa bumi, tsunami, badai dan sebagainya. Masih ingat tentu
kita, dengan bencana badai Catharina yang merupakan bencana
internasional atau kejadian Topan Haian pada akhir tahun 2013.
C. Data Bencana yang Terjadi di Indonesia Triwulan 1 tahun 2013
Selama bulan Maret 2013, BNPB mencatat 95 kali kejadian terjadi di
seluruh Indonesia. Data ini dikumpulkan dari berbagai sumber, baik dari media
maupun Pusdalops. Kejadian bencana di bulan ini tetap didominasi oleh
kejadian Hidrometeorologi, yaitu angin puting beliung, banjir, serta tanah
longsor. Ketiga kejadian tersebut mengambil porsi sebanyak 91% dari seluruh
kejadian yang terjadi di bulan Maret. Korban jiwa yang timbul akibat bencana
di bulan Maret ini yaitu sebanyak 40 jiwa meninggal dan hilang, 70.897 jiwa
menderita dan mengungsi. Sebanyak 744 rumah rusak berat, 377 rumah
lainnya rusak sedang, dan 2.000 rumah rusak ringan. Fasilitas umum yang
mengalami kerusakan akibat bencana yaitu 3 unit fasilitas pendidikan, 2
fasilitas peribadatan, dan 7 fasilitas kesehatan. Jika dilihat dari jumlah
kejadiannya, sejak Januari hingga Maret menunjukkan trend penurunan.
Namun demikian, pola dari tahun‐tahun sebelumnya menunjukkan bahwa trend
yang menurun ini tidak berlangsung hingga akhir tahun. Berdasarkan data
tahun 2000‐2012, terlihat bahwa rata‐rata kejadian bencana terus menurun
sejak awal hingga pertengahan tahun dan kembali meningkat di akhir tahun.
Pola ini kembali terlihat di tahun 2013 sehingga patut diwaspadai bahwa
bencana akan mulai meningkat sejak pertengahan hingga akhir tahun. Jika
dibandingkan dengan rata‐rata jumlah kejadian tahun 2000‐2012 per bulan,
terlihat bahwa jumlah kejadian bencana pada bulan Januari‐Maret 2013 ini
masih lebih kecil, artinya bencana di awal tahun 2013 ini masih tergolong
dalam kondisi normal (BNPB, 2013). Berikut adalah grafik terjadinya bencana
alam di tahun 2013, pada triwulan pertama bencana yang memperlihatkan
bahwa bencana yang masih sering terjadi adalah bencana angin puting beliung,
banjir serta tanah longsor yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Jumlah Kejadian Bencana triwulan pertama 2013Sumber: bnpb.go.id
Berdasarkan uraian dan data yang diambil penulis dari BNPB maka, masih
bisa disimpulkan bahwa bencana yang ada di Indonesia masih tinggi, dan
umumnya pada akhir tahun jumlah bencana mengalami peningkatan, maka untuk
mengatasi atau mempersiapkan agar tidak menelan banyak korban, baik material
maupun korban jiwa, dibutuhkan pendidikan kebencanaan di seluruh lapisan
masyarakat. Pendidikan kebencanaan ini diharapkan mampu memberikan
perubahan perilaku yang ada di masyarakat yakni perilaku tangguh akan bencana
atau kalau boleh penulis memakai istilah “melek bencana”.
D. Pendidikan Kebencanaan
1. Konsep
Belajar dari pengalaman dalam menangani bencana yang terjadi di
beberapa daerah di Indonesia, penangangan bencana yang ada saat ini masih
dihadapkan pada beberapa kendala, baik di tingkat pemerintah maupun
masyarakat. Di tingkat pemerintah, masih lemahnya koordinasi antara
pemerintah dan stakeholder lainnya, baik dalam tahap prabencana, pada saat
terjadi bencana maupun setelah terjadinya bencana. Sementara itu di tingkat
masyarakat penanganan bencana masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari
rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai kebencanaan dan
penanggulangan yang akan dilakukan. Peran pemerintah dalam penanganan
bencana belum maksimal hal ini karena belum sepenuhnya undang-undang
NO. 24 tahun 2007 tentang penangulangan bencana dilaksanakan secara
optimal. Sehingga beberapa kejadian penanganan bencana yang telah terjadi
di Indonesia masih dilakukan secara eksternal oleh pihak-pihak diluar
komunitas masyarakat. Sampai sejauh ini, penanggulangan bencana di
Indonesia dilakukan oleh campur tangan pihak luar yang berlebihan,
sementara masyarakat setempat hanya dijadikan objek dari suatu program.
Kiranya perlu dikembangkan mekanisme manajemen internal atau
sering dikenal dengan pendekatan penanggulangan bencana berbasis
masyarakat atau istilah kerennya pendidikan kebencanaan. Di buku ini akan
diuraikan beberapa pendekatan yang bisa dijadikan salah satu solusi
penanganan bencana.
2. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanganan Bencana
Pemberdayaan sebenarnya terjemahan bebas dari empowerment, yang
merupakan konsep perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan
barat. Pemahaman konsep ini secara tegas memerlukan upaya pemahaman
latar belakang kontekstual yang melahirkannya. Pemberdayaan masyarakat
merupakan suatu konsep bagaimana mengajak suatu kelompok masyarakat
agar mampu melakukan tindakan yang terbaik bagi kepentingan bersama.
Prinsip sederhananya adalah perlunya pemberian kekuasaan kepada pihak-
pihak yang yang pertama-tama dan terutama akan menanggung suatu akibat
dari aktifitas pembangunan (Rachman, 2011). Pemberdayaan masyarakat
adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai
sosial. Konsep ini mencerminkan adanya paradigma baru mengenai
pembangunan yang bersifat people centered, participatory, empowering dan
sustainable. Dengan demikian, konsep pemberdayaan lebih luas dari
sekedar upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau sekedar upaya
mencegah proses pemiskinan lebih lanjut.
Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu; (1)
proses pemberdayaan yang mencoba menekankan kepada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau
kemampuan kepada masyarakat agar individu atau masyarakat agar individu
atau masyarakat menjadi lebih berdaya: dan (2) menekankan pada proses
menstimulasi, mendorong, dan memotivasi individu agar memiliki
kemampuan dan keberdayaan untuk menentukan apa yang telah menjadi
pilihan hidupnya melalui proses dialog. Masyarakat dituntut untuk
malakukan inovasi atau pembaharuan untuk menemukan kemampuan diri
sendiri, menentukan prioritas kebutuhannya. Serta penguasaan atas sumber
daya yang ada. Prinsip ini mengandaikan bahwa suatu pekerjaan sudah
dapat dilakukan oleh lapisan masyarakat, hendaknya tidak diambil alih oleh
pemerintah atau birokrasi.
Memberdayakan masyarakat harus didahului dengan empat tahap
pendekatan penting yakni (1) sosialisasi permasalahan untuk mengantar
masyarakat agar makin mengetahui dan terampil; (2) pengorganisasian diri
oleh masyarakat itu sendiri; (3) motivasi yang kontinyu oleh fasilitator; (4)
internalisasi nilai-nilai oleh masyarakat yang bersangkutan. Namun untuk
menumbuhkan atau mensukseskan pembangunan harus memperhatikan
kultur masyarakat setempat dan siapa model partisipasinya. Sebuah ilustrasi
bagaimana dikatakan oleh Taruna (1997) yang mengutip pendapat Cocrane
pada kasus masyarakat di India, yaitu mereka diberdayakan untuk mendiami
rumah sehat. Ketika pengembang membangun dapur di luar rumah induk.
Maka masyarakat setempat tidak sepakat karena kultur mereka dapur adalah
di dalam rumah induk. Padahal pembangunan dapur itu hanya bonus saja
dari pengembang. Singkatnya pemberdayaan adalah kemampuan
masyarakat dalam mengambil keputusan dan peran partisipan atau
pemerintah hannya sekedar fasilitator saja (Eka, 2012).
Pemberdayaan masyarakat akan lebih mudah berhasil jika: (1)
dilakukan sosialisasi dan dialog kecil dalam skala kecil serta sederhana atau
mudah dipahami; (2) ada manajemen politik yang orientasinya semata-mata
ditujukan kepada kepentingan masyarakat; dan (3) masyarakat bebas
menentukan pilihannya, dan fasilitator menginspirasinya, artinya nilai-nilai
yang sudah berkembang di masyarakat, jika positif terus dikembangkan dan
didorong maju, kalau negatif dihilangkan secara perlahan.
Pandangan diatas dapat dipahami karena, sesederhana apapun
kelompok masyarakat mereka memiliki nilai-nilai rasional yang objektif.
Secara umum, masyarakat seperti ini akan sulit menerima suatu inovasi baru
meskipun sudah terasa manfaatnya. Beberapa faktor psikis dan non psikis
lainnya yang sering berpengaruh terhadap inovasi, karenanya peran
fasilitator diharapkan dengan tekun, giat, aktif, niat, dan kejujuran amat
menentukan sikap itu. Dengan kata lain latar belakang budaya, gaya hidup,
adat-istiadat, tipe wilayah, kondisi wilayah, dan sebagainya harus
diperhatikan para fasilitator jika menginginkan perubahan sikap suatu
kelompok masyarakat.
Pemberdayaan dapat dikatakan adalah suatu proses dan tujuan.
Sebagai proses pemberdayaan merupakan serangkaian kegiatan untuk
memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam
masyarakat. Termasuk individu-individu yang mengalami masalah
kemiskinan. Sebagai tujuan, pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau
hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial. Yaitu masyarakat
yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik,
ekonomi, maupun sosial, seperti memiliki kepercayaan diri, mampu
menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpatisipasi dalam
kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan tugas kehidupan (Marfai,
2012).
Dari uraian diatas maka dapat diambil benang merah yakni kegiatan
pemberdayaan masyarakat untuk penanganan bencana adalah upaya yang
dilakukan secara sadar oleh stakeholder, baik dari fasilitator maupun
masyarakat untuk turut serta ambil bagian dari keseluruhan kegiatan
kebencanaan dimulai dari kegiatan sosialisasi, kegiatan pada saat bencana,
maupun kegiatan setelah bencana terjadi atau pascabencana. Pemberdayaan
penanganan bencana ini juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan
kultur atau budaya lokal setempat. Agar keberhasilan di dalam sosialisasi
dapat sepenuhnya dirasakan dan dinikmati seluruh lapisan atau stakeholder.
3. Pendidikan kebencanaan
Pendidikan kebencanaan adalah salah satu solusi internal di masyarakat
untuk mengurangi dampak bencana, serta membiasakan masyarakat untuk
tanggap dan sigap terhadap bencana yang terjadi. Pendidikan kebencanaan
bermacam-macam bentuknya dimulai dari penangulangan bencana berbasis
masyarakat, pendidikan kebencanaan untuk menuju masyarakat sadar
bencana, serta kearifan lokal masyarakat dalam menangani bencana.
a. Penanggulangan bencana berbasis masyarakat.
Pendekatan yang dilakukan dengan mekanisme mengajak seluruh
lapisan masyarakat di lokasi bencana, baik keluarga, organisasi sosial
maupun masyarakat lokal. Metode ini dilakukan dengan pendampingan
oleh universitas atau perguruan tinggi yang berkompeten di bidang
kebencanaan, program ini harus dilaksanakan secara berkesinambungan
antar waktu dan antar generasi.
Penanggulangan bencana berbasis masyarakat dalam hal ini
dipahami sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat atau
mengurangi kerentanan masyarakat, agar mampu menolong diri sendiri
dan kelompoknya dalam menghadapi ancaman dan bahaya bencana.
Metode ini meliputi seluruh kegiatan tahapan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan. Penanggulangan bencana
berbasis masyarakat intinya merupakan sebuah cara penanggulangan yag
berbasis masyarakat lokal dengan menggunakan konsep-konsep lokal
yang mudah dipahami oleh mereka. Cara ini mensyaratkan adanya sikap
politik yang memberikan keberpihakan kepada kepentingan komunitas
lokal. pendekatan ini juga menggunakan pendekatan lokal dan jenius
lokal, di latar depan. Dalam praktiknya, pendekatan ini mengakomodasi
potensi dan modal sosial yang ada di masyarakat sebagai sumber daya
dalam melaksanakan program penanggulangan bencana. Sehingga
diharapkan masyarakat akan tanggap dan sadar bahwa mereka hidup di
daerah rawan bencana.
Proses pemberdayaan ini menghendaki adanya kemauan politik,
dari pemerintah untuk berperan sebagai fasilitator dalam rangka
mendorong berkembangnya kelompok masyarakat sadar, tanggap dan
tangguh bencana akan bencana. Implementasi pendekatan
penanggulangan bencana berbasis masyarakat dipandang sangat perlu,
mengingat hampir seluruh wilayah di Indonesia merupakan daerah rawan
bencana. masyarakat yang berada di daerah rawan bencana hendaknya
diposisikan sebagai subjek yang aktif dengan berbagai kemampuan dan
kapasitasnya. Mereka mempunyai potensi berupa pengetahuan lokal dan
kearifan lokal yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi
dan melakukan penanganan apabila terjadi bencana. Masyarakat dan
pemerintah perlu bersinergi agar lebih siap dalam menghadapi bencana.
sejak awal harus dipersiapkan, agar tanggap darurat dapat dilaksanakan
secara cepat dan tepat sasaran dengan memperhatikan dampak jangka
panjang. Masyarakat perlu ditingkatkan pemahaman dan kapasitasnya
dalam hal kebencanaan dan penanganannya tanpa meninggalkan
gagasan, potensi, dan kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat
(Retnowati, 2012).
Peningkatan kesadaran masyarakat di daerah rawan bencana adalah
agenda mendesak, sehingga mereka dapat cepat dan tanggap untuk
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Namun, kapasitas
masyarakat tidak akan dapat berkembang jika tanpa dukungan dari
pemerintah dan stakeholder lainnya. Peningkatan kesadaran ini akan
memberikan habit yang baik bagi generasi selanjutnya untuk sadar dan
tangguh bencana.
b. Pendidikan kebencanaan untuk menuju masyarakat sadar bencana.
Pendidikan kebencanaan untuk menuju masyarakat sadar bencana
adalah metode atau pendekatan dengan pemahaman konsep-konsep yang
berkaitan dengan kebencanaan, dalam rangka mengembangkan
pengertian dan kesadaran yang diperlukan untuk mengambil sikap dalam
melakukan adaptasi kehidupan di daerah rawan bencana. Arti dari
pendidikan kebencanaan yakni sebagai upaya sadar untuk menciptakan
suatu masyarakat yang peduli, memiliki pengetahuan, dan keterampilan
dalam mengatasi permasalahan kebencanaan, serta menghindari
permasalahan kebencanaan yang mungkin akan muncul di saat
mendatang.
Pemahaman masyarakat akan karakter bencana merupakan modal
awal keselamatan hidup di masa depan, mengingat pengalaman sejarah
dan peristiwa bencana lebih banyak menyisakan kepiluan dan
penderitaan. Kejadian bencana yang terjadi di Indonesia merupakan
kejadian yang berulang hampir tiap tahunnya, akan tetapi masyarakat
mudah untuk melupakan kejadian yang terkadang menghancurkan dan
mengakibatkan kerugian baik material, fisik, maupun korban jiwa.
Agaknya masyarakat Indonesia belum mampu menghadapi bencana
dengan sadar dan terkesan panik serta tidak pernah siap untuk
menghadap bencana. Kesiapan menghadapi bencana di Indonesia harus
telah terpatri oleh seluruh lapisan masyarakat dan terbiasa untuk
menghadapi bencana tahunan, kebiasaan tangguh bencana ini telah
dimiliki warga Jepang, dan patut kita contoh bagaimana mereka
menghadapi bencana serta cara mereka mengurangi dampak dan
kerugian akibat bencana.
Pembahasan bencana tidak dapat dilakukan secara sepihak, hal ini
disebabkan oleh sifat interdependensi yang melekat pada lingkungan
hidup manusia yang menuntut kerjasama multipihak secara serentak, dan
menyangkut seluruh lapisan masyarakat. Pentingnya pemahaman tentang
bencana untuk masa sekarang hingga masa yang akan datang secara
eksplisit menunjukkan bahwa manusia untuk menyelamatkan diri dari
ancaman bencana harus dilakukan secara berkesinambungan, dengan
jaminan estafet antar generasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian fondasi awal kegiatan pendidikan kebencanaan sejak
dini menjadi bekal menuju masyarakat yang sadar akan bencana dari
masa ke masa, mengacu pendapat (Soetaryono, 1999) tentang pendidikan
lingkungan, pendidikan kebencanaan juga mampu disebut long life
education. Dikatakan pembelajaran seumur hidup karena kita tinggal
memang di zone yang rawan bencana yang menuntut kita untuk siap
siaga serta tangguh menghadapi bencana selama kita hidup.
Pendidikan kebencanaan merupakan aspek fundamental bangsa
Indonesia untuk membangun moral manusia Indonesia agar mampu
menjunjung tinggi nilai etika lingkungan, serta mau bertindak dan
berpartisipasi dalam mencari jawab yang fundamental tentang
penanggulangan bencana. mengacu pada konsep pendidikan yang
dikemukakan oleh The Ministry of Education (2003) bahwa pendidikan
kebencanaan tidak boleh terlepas dari empat konsep kunci pendekatan,
yaitu (1) Saling ketergantungan (Interdependency) (2) Keberlanjutan
(Sustainability) (3) Keanekaragaman (Diversity) (4) Tanggung jawab
personal dan sosial aksi (Personal And Sosial Responsibility For Action).
Keempat kunci tersebut menyatakan bahwa ketika membahas
lingkungan kehidupan, kita harus berpijak pada basis ekosentris, yang
menjunjung tinggi nilai interdependensi, yaitu nilai ekologis yang
menyatakan bahawa mahluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya
saling terkait satu sama lain. Menurut Keraf (2002), salah satu teori
ekosentrisme yang populer disebut dengan deep ecology tidak hanya
memusatkan perhatian pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka
panjang. Inilah kunci keberlanjutan, pemahaman dari ketiga konsep
tersebut. Secara bersama-sama menjadi bekal manusia sebagai nilai etik
dalam bertindak dan bertangung jawab dengan antisipasi terhadap risiko
terjadinya bencana. Pendidikan kebencanaan pada hakikatnya merupakan
salah satu aspek dari kehidupan lingkungan. Konsepsi dari pendidikan
kebencanaan merupakan proses pendidikan tentang hubungan manusia
dengan alam dan lingkungan binaan, termasuk tata hubungan manusia
dengan dinamika alam, pencemaran, alokasi pengurasan sumber daya
alam, pelestarian alam, transportasi, teknologi perencanaan kota dan
pedesaan (Soetaryono, 1999).
Adapun sasaran pendidikan kebencanaan sesuai dengan yang
disampaikan Resolusi Belgrad International Conference On
Environmental Education.
1) Kesadaran, membantu individu ataupun kelompok untuk memiliki
kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan keseluruhan berikut
permasalahan yang terkait.
2) Pengetahuan, membantu individu atau kelompok sosial memiliki
pemahanam terhadap lingkungan total, permasalahan yang terkait
serta kehadiran, manusia yang menyandang peran dan tanggung jawab
penting di dalamnya.
3) Sikap, membantu individu atau kelompok sosial memiliki nilai-nilai
sosial, rasa kepedulian, yang kuat terhadap lingkungannya, serta
motivasi untuk berperan aktif dalam upaya perlindungan dan
pengembangan lingkungan.
4) Ketrampilan, membantu individu atau kelompok sosial mengevaluasi
persyaratan-persyaratan lingkungan dengan program pendidikan dari
segi ekologi, politik, ekonomi, sosial, estetika dan pendidikan.
5) Peran serta, membantu individu atau kelompok sosial untuk dapat
mengembangkan rasa tanggng jawab, dan urgensi terhadap suatu
permasalahan lingkungan sehingga dapat mengambil tindakan relevan
untuk pemecahannya.
Bagi para pemerhati kebencanaan, pendidikan kebencanaan
merupakan bagian dari gerakan guna mengatasi efek bencana, di
antaranya dengan cara mempersiapkan generasi yang sadar dan arif
melalui sebuah proses pendidikan yang memiliki muatan-muatan
penyadaran terhadap bencana.
Sosialisasi sebagai media pendidikan kebencanaan bagi
masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menyampaikan
informasi mengenai bencana dan pendidikan kebencanaan adalah
sosialisasi bencana. Kegiatan ini mempunyai kunci yakni dengan adanya
komunikasi massa, yang melibatkan interaksi antara komunikator dan
media komunikan. Menurut Candra Kirana (2001) melalui komunikasi
dapat ditampilkan gambaran mengenai keadaan lingkungan lengkap
dengan segala argumen ilmiah. Argumentasi legal dan argumentasi
moral. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi perubahan perilaku
manusia yang lebih baik. Bagaimanapun manusia dan masyarakat
memiliki nilai-nilai dan akal sehat yang mampu diajak bekerja sama
memikirkan dan mempratekkan pola perilaku yang lebih kondusif di
dalam lingkungannya yang rawan akan bencana. hal-hal yang perlu
diperhatikan agar sosialisasi efektif adalah:
1) Kenali setiap sasaran dengan baik: hal ini dimaksudkan bahwa ketika
kegiatan sosialisasi akan dilakukan hendaknya kita mengenali subjek
dan objek yang akan kita beri informasi, ini penting karena semakin
kita mengenalinya maka akan mempermudah dilakukan kegiatan
sosialisasi. Tentunya ini akan berbeda jika kita tidak mengenal objek
dan subjek sasaran sosialisasi.
2) Fokuskan pada upaya merubah perilaku: sosialisai yang baik adalah
berusaha untuk merubah perilaku dari yang sebelumnya kurang atau
belum baik menuju ke perilaku yang lebih baik dari sebelumnya,
kaitannya dengan kebencanaan yakni perubahan perilaku ke arah
sadar dan tanggap terhadap bencana.
3) Kembangkan pesan-pesan yang mudah dimengerti, dalam sosialisasi
hendaknya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh semua
kalangan, hal ini akan mempermudah penyampaian pesan, karena
dengan bahasa yang mudah dimengerti mereka, subjek sasaran
sosialisasi juga akan semakin mudah faham dan akhirnya mampu
menafsirkan isi sosialisasi dan melaksanakan pesan tersebut, bahkan
mampu menularkan pesan kepada pihak lain dan mengahbituasi
generasi selajutnya.
4) Sampaikan pesan terus-menerus, penyampaian pesan dan informasi
mengenani bencana dan pendidikan bencana hendaknya dilakukan
secara kontinu dan berkesinambungan, hal ini dimaksudkan agar
sasaran sosialiasi tidak mudah lupa, yang akan mengakibatkan
pengulangan sosialisasi.
5) Gunakan keanekaragaman media, keanekaragaman media dapat
membantu terlaksananya sosialisasi dengan lancar, karena dengan
penggunaan media yang beragam maka sasaran sosialiasi tidak mudah
bosan.
Cakupan dimensi yang ada di pendidikan kebencanaan sangatlah
luas dan merupakan pendidikan seumur hidup, serta menyangkut
kepentingan semua orang. Maka sebenarnya sosialiasi bencana
merupakan kegiatan membentuk peran serta atau partisipasi publik dalam
upaya penanggulangan bencana. hal penting selajutnya adalah upaya
mencari cara-cara untuk menciptakan serta memberi ruang publik
sebagai wadah pemberdayaan penanggulangan bencana yang
berkelanjutan. Maka kegiatan sosialisasi ini diarahkan untuk memotivasi
masyarakat agar lahirnya ruang publik yang memunculkan suatu lembaga
komunitas masyarakat tangguh bencana.
c. Pengurangan risiko bencana, berdialog dengan kearifan lokal (local
wisdom).
Berangkat dari tingginya tingkat kerawanan bencana yang dihadapi
oleh masyarakat, menarik untuk dilakukan kajian bagaimana masyarakat
mampu beradaptasi dengan alam dan lingkungan sekitarnya. pada titik
ini, kearifan lokal dijadikan objek kajian yang mempunyai peran besar di
masyarakat. Kearifan lokal masyarakat di dalam perancangan
penanganan bencana sangatlah penting, karena transfer pengetahuan
mengenai kebencanaan akan sangat mudah jika memanfaatkan kearifan
lokal.
Berbagai macam perubahan lingkungan sebagai akibat dari
bencana akan memberikan dampak terhadap keberlangsungan hidup
mereka, baik positif maupun negatif. Maka kearifan lokal muncul sebagai
upaya mengelola perubahan yang mungkin akan dihadapi, baik
memperbesar peluang memperoleh keuntungan maupun memperkecil
dampak negatif yang diperoleh.
Kearifan lokal mempunyai tiga proses adaptasi yaitu; (1)
mewariskan pengetahuan mengenai bencana; (2) kontrol sosial
masyarakat; (3) tindakan nyata. Ketiga proses tersebut beriringan dan
saling melengkapi, dan menjadi catatan yang menyertai kehidupan
masyarakat. (Marfai, 2012).
Selain melalui transfer pengalaman, pengetahuan bencana dan
fenomena alam yang dimiliki oleh masyarakat seringkali dibingkai dalam
sebuah konsensus atau kesepakatan. Kesepakatan-kesepakatan tertentu
disepakati bersama oleh komponen masyarakat, munculnya kesepakatan
secara tidak langsung memunculkan kontrol sosial di dalam masyarakat,
baik norma yang secara formal dilembagaan maupun sekedar nilai yang
harus ditaati bersama. Berbagai pihak dapat berperan dalam proses
tersebut, bukan hanya wewenang tokoh tertentu yang diberikan mandat,
kontrol sosial juga seringkali dilakukan secara langsung antar anggota
masyarakat. Hal ini berdasar pada keyakinan bahwa mereka hidup di
alam dan lingkungan yang sama. Pelanggaran terhadap alam tidak hanya
berdampak pada individu yang melanggar akan tetapi juga dialami oleh
masyarakat sekitar secara keseluruhan.
Urgensi kajian budaya dalam memahami bencana, seperti kearifan
lokal, didasarkan pada fakta bahwa bencana merupakan proses panjang,
pengurangan risiko bencana tidak semata-mata dimaknai sebagi upaya-
upaya preventif atau tanggap darurat semata, namun juga sampai pada
tahap perencanaan dan rekonstruksi dan rehabilitasi fisik, ekonomi, lain-
lain yang kesemuanya mebutuhkan pertimbangan-pertimbangan sosial
budaya (Winarna, 2012).
Bencana dalam hal ini dibagi kedalam 6 tahap yang berurutan
dimana setiap tahapnya terdapat pertanyaan-pertanyaan penting terkait
keadaan sosial budaya masyarakat yang harus dilihat (Marsella et all,
2008).
1) Tahap prabencana, dibutuhkan pengetahuan mengenai sejarah bencana
disebuah daerah. Hal tersebut tidak hanya berhenti pada catatan
sejarah bencana yang pernah terjadi, namun bagaimana bencana
tersebut berpengaruh terhadap lingkungan, masyarakat, dan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya.
2) Tahap peringatan dan ancaman bencana, dalam kejadian bencana
dibutuhkan pengetahuan seberapa cepat bencana akan datang, dalam
proses ini dibutuhkan analisis tentang peluang mengoptimalkan
segenap sumber daya yang ada. Selain itu, tahap ini dibutuhkan pula
pengetahuan mengenai sistem sosial yang dipercaya oleh masyarakat.
Hal tersebut akan berpengaruh terhadap sikap dan tanggapan
masyarakat atas peringatan bencana yang akan diberikan.
3) Kejadian bencana dan dampaknya, pengetahuan yang dibutuhkan
dalam hal ini adalah kemampuan untuk mengidentifikasi jenis
bencana yang dihadapi, bagaimana dampak yang diperoleh, seberapa
besar sumber daya manusia, sosial, teknis dan ekonomi yang dimiliki.
Serta pengetahuan masyarakat terhadap bencana dan dampaknya.
4) Tanggap darurat, perlu untuk melakukan analisis mengenai respons
apa yang pertama kali harus dilakukan, seberapa besar sumber daya
masyarakat yang tersedia, apakah respons yang diberikan oleh
masyarakat cukup untuk menciptakan respons positif terhadap
bencana, ataukah mereka membutuhkan bantuan pada pihak luar.
5) Tahap rekonstruksi, dalam proses ini, pertanyaan penting yang harus
dijawab adalah bagaimana mengimplementasikan kebijakan
rekonstruksi harus dijalankan. Seringkali kegagalan dalam
penanganan bencana akibat gagalnya rekonstruksi dan rehabilitasi.
Tahap rekonstruksi dan tahap rehabilitasi ini merupakan tahap yang
membutuhkan fokus lebih, baik dana maupun perhatian pemerintah
dalam percepatan pembangunan pascabencana.
6) Tahap pembelajaran bencana, Kejadian bencana akan memberikan
pengalaman terhadap suatu masyarakat di suatu wilayah. Dibutuhkan
usaha untuk mengembangkan aktifitas mitigasi bencana yang
beroientasi pada masa depan, dengan melibatkan peran serta
masyarakat.
Pemahaman bencana tidak hanya dimaknai sebatas bagaimana
bencana itu terjadi, apa dampaknya, dan bagaimana harus mengatasinya,
namun perlu melihat juga faktor yang ada dimasyarakat. Dalam konteks
ini masyarakat tidak dapat terhenti dan harus menempatkan mereka
sebagai korban saja, melainkan mereka harus ikut diberdayakan untuk
memegang peranan penting dalam menangulangi bencana. oleh itu
strategi yang komprehensif yang mampu merangkul kearifan lokal dan
pengetahuan pemerintah menjadi penting untuk rumusan sebagai usaha
pengurangan risiko bencana, maka sinergi antara pemerintah, masyarakat
dan stakeholder lainnya akan mempunyai dampak signifikan dalam
penanggulangan bencana.
4. ProgramPerspektif, Preventif, dan Pro-Aktif Penanggulangan Bencana
Penyampaian informasi dan pengetahuan tentang bencana dapat
dilakukan dan disalurkan lewat beberapa media. Antara lain media sekolah
formal maupun sekolah informal, media industri, maupun media sosial publik.
Komponen yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa setiap materi
diharapkan mempertimbangkan usia dan dijadikannya paket sesuai dengan usia
perkembangan yang berbeda-beda. Misalnya usia anak-anak, remaja, dewasa.
Dengan demikian akan sangat efektif jika penyampaian informasi dan
pendidikan kebencanaan disajikan sesuai paket umur atau jenjang usia subjek.
Perlu penyusunan matriks jenis bencana alam, usia perkembangan, dan
media sosiokulturalnya. Penyusunan matriks ini sangat penting bila dilakukan
bersama para ahli dan orang-orang lokal yang nantinya menjadi barisan
pertama dalam implementasi program. Salah satu kendala untuk tindakan
preventif dan pro-aktif dalam menghadapi bencana tampaknya adalah biaya
yang tidak murah. Akan tetapi jika program ini dilaksanakan akan mempunyai
pengaruh yang sangat besar dan signifikan.
Ada beberapa hal penting, belajar dari pegalaman bencana di Indonesia,
yang harus diperhatikan adalah saat pembuatan dan perencanaan program siaga
bencana berbasis preventif dan pro-aktif.
Pertama sampai saat ini tampaknya belum ada lembaga khusus dari
pemerintah yang mewadahi profesional yang sangat dibutuhkan saat terjadi
bencana, mungkijn hanya BNPB saat ini dan BPBD. Profesioanal yang
diharapkan adalah seperti dokter, terapis, psikolog, dan sebagainya secara
sukarela. Baik atas nama pribadi atau lembaga tertentu. Bertindak ketika terjadi
bencana. akan lebih baik jika sejak sekarang ada lembaga yang secara sukarela
mewadahi para profesional untuk mau mengabdikan jasanya saat terjadi
bencana.
Program pembelajaran bencana yang terintegrasi pada sekolah formal
maupun non formal yang disesuaikan usia dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
1. Masa Anak-Anak
Masa anak-anak adalah masa pada saat usia manusia dua tahun hingga
sebelas tahun, dilihat dari tingkatan sekolahnya dibedakan menjadi tingkat
pra sekolah, PAUD, TK, SD. Masa anak-anak adlah masa perkembangan
awal manusia yang biasa disebut fase emas perkembangan otak manusia.
Infromasi yang di dapat pada masa ini akan lebih cepat masuk, terjaga dan
bertahan lama. Dibandingkan ketika manusia telah melewati masa dewasa.
Hal ini disebabkan perkembangan kognitifpada mas ini sangatlah cepat.
Bahkan Freud ahli psikologi perkembangan mengungkapkan bahwa lima
tahun awal manusia akan menentukan hidupnya di masa depan. Maka masa
emas penanaman sikap tangguh bencana adalah saat anak-anak. Penanaman
nilai-nilai budaya sadar akan bencana atau melek bencana oleh masyarakat
dimulai dari penanaman dan kebiasaan orangtua kepada anak-anaknya.
Nilai-nilai ini secara keseluruhan dan berkelanjutan akan terus menerus
diturunkan kepada anak-anak dan generasi berikutnya.
Mengingat hal tersebut, program pembudayaan sadar bencana pada
anak-anak tentunya harus melibatkan peran pola asuh orang tua, di samping
peran pemodelan dari masyarakat serta pendidikan formal disekolah.
Program-program tersebut dapat dilakukan melalui beberapa media, seperti
dongeng, atau cerita rakyat, komik, dan permainan traditional anak, drama,
atau kegiatan-kegiatan yang terintegrasi dalam kurikulum pendidikan formal
disekolah. Dongeng merupakan cara yang sangat efektif untuk menyelipkan
pesan sadar akan bencana, serta menanamkan nilai-nilai moral pada anak.
Program yang dapat dilaksanankan oleh pemerintah untuk
menanamkan sikap sadar akan bencana, yakni dengan bekerjasama denga
oenulis fiksi untuk membuat cerita terkait sadar akan bencana, kemudian
dongeng atau cerita yang dibuat harus disesuaikan dengan muatan lokal atau
budaya lokal, agar pemahaman nilai-nilai yang disampaiakan cepat terserap
olah anak-anak. Selain dongeng atau cerita fiksi bisa juga dibuat cerita
bergambar atau komik yang dapat dijadikan media penyampaian nilai-nilai
sadar bencana, komik atau cerita bergambar ini akan sangat efektif karena
menarik bagi anak-anak untuk membacanya.
Sekali lagi program penanaman nilai-nilai sadar bencan yang
ditujukan untuk anak-anak harus disesuaikan dengan konteks budaya lokal.
pembuatan cerita dan dongeng ini disesuaikan dengan potensi bencana yang
ada di daerah mereka.
2. Masa Remaja
Masa remaja adalah masa dimana manusia berusia sebelas hingga dua
puluh satu tahun, yang terbagi menjadi tiga tahap yakni pra remaja, remaja
awal, dan remaja akhir. Masa ini dihadapkan pada pilihan keputusan
mereka. Mau jadi apa, mau dibawa kemana hidup mereka. Kegagalan dalam
menentukan identitas mereka serigkali menimbulkan kebingungan identitas
diri atau disebut krisis identitas. Pada fase ini remaja sangat senang
melakukan aktifitas yang mendukung pencarian diri mereka, aktifitas-
aktifitas bermusik olahraga dan hobi lainnya. Penyampaian nilai-nilai sadar
bencana kepada remaja dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan-
kegiatan kebencanaan yang melibatkan remaja dengan masuk kedunia
mereka, misalnya membuat musik atau konser yang pengisi acaranya adalah
remaja-remaja namun tema kegiatan tersebut masih sama yakni tentang
bencana. Pengembangan musik ini sangatlah bermanfaat untuk
pembudayaan atau menghabituasi remaja untuk sadar akan bencana. di
sekolah-sekolah formal juga harus memasukan kurikulum bencana serta
simulasi menghadapi bencana yang sudah dibiasakan terhadpa para siswa
agar mereka menjadi manusia yang tangguh akan bencana.
3. Masa Dewasa
Masa dewasa adalah masa rentag usia dua puluh satu tahun hingga
enam puluh tahun yang terbagi pada dewasa awal, dewasa madya atau akhir
yakni empat puluh tahun hingga enam puluh tahun. Program penyampaian
informasi dan tanggap ataupun siaga bencana hendaknya disesuaikan
dengan pekerjaan tiap individu, sekaligus kegiatan-kegiatan keagamaan di
lingkungan tempat tinggalnya. Peran pemerintah baik pusat dan daerah
sangat penting untuk mensosialisasikan program-program mereka mengenai
siaga bencana.
Penting yaitu program-program pembentukan budaya siaga bencana preventif, dan proaktif adalah program terintegrasi. Artinya seluruh komponen masyarakat, termasuk pemerintah harus terlibat aktif dalam pelaksanaan program. Dukungan pemerintah tidak akan optimal tanpa dukungan masyarakat.