BAB I
-
Upload
tresnanda-bellawana -
Category
Documents
-
view
216 -
download
4
description
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu kebiasaan masyarakat yang dapat ditemui hampir di setiap
kalangan adalah perilaku merokok, saat ini konsumsi rokok terus meningkat
di seluruh dunia. Data badan kesehatan dunia World Health Organisation
(WHO) dari seluruh perokok di dunia, 84% (1,09 milyar orang) berada di
negara berkembang. Akibatnya beban penyakit dan kematian yang
berhubungan dengan konsumsi rokok meningkat di negara berkembang
(WHO, 2008).
Rokok, yang saat ini merupakan salah satu kebutuhan sehari-hari
untuk sebagian besar individu, pada mulanya hanya sebagai alat pendukung
untuk kegiatan ritual upacara adat dan sihir Bangsa Indian di Amerika
Serikat. Peran rokok tersebut mulai berubah, semenjak Bangsa Eropa yang
dipimpin Christopher Columbus menemukan Benua Amerika Serta
memperkenalkannya ke seluruh bangsawan Eropa. Sejak saat itu, rokok
mulai menyebar ke seluruh dunia dan sampai sekarang sudah menjadi
kebutuhan untuk beberapa individu yang prioritasnya hampir menyaingi
kebutuhan primer (Triswanto, 2007).
Indonesia merupakan negara terbesar ke-7 didunia yang memproduksi
tembakau. Dari segi konsumsi, Indonesia merupakan negara ke-5 di dunia
setelah Cina, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia, dengan 31,5% prevalensi
merokok, dan lebih dari 60% berada di daderah pedesaan dengan jumlah
rokok yang dihisap penduduk indonesia mencapai lebih dari 200 miliar
batang per tahun (Depkes RI, 2008).
Perilaku merokok merupakan hal yang biasa bagi kebanyakan
masyarakat Indonesia khususnya kaum lelaki dewasa. Dalam sepuluh tahun
terakhir, konsumsi rokok di indonesia mengalami peningkatan sebesar
1
44,1% dan jumlah perokok mencapai 70% dari penduduk indonesia
(Fatmawati, 2006).
Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa kebiasaan merokok
telah dimulai sejak remaja, bahkan dari tahun ke tahun menunjukan usia
awal merokok semakin muda. Hasil riset Lembaga Menanggulangi Masalah
Merokok (LM3) melaporkan bahwa anak-anak di Indonesia sudah ada yang
mulai merokok pada usia 9 tahun (Komalasari, 2006). Dari analisis data
Susenas tahun 2001 diperoleh data umur mulai merokok kurang dari 20
tahun cenderung meningkat dan lebih dari separuh perokok mengkonsumsi
lebih dari 10 batang per hari, bahkan yang berumur 10-14 tahun pun sudah
didapat sebesar 30,5% yang mengkonsumsi lebih dari 10 batang per hari
diantaranya 2,6% yang mengkonsumsi lebih dari 20 batang per hari. (Sirait,
2005). Kondisi ini menyebabkan mereka akan sulit berhenti merokok dan
membuat mereka mempunyai risiko tinggi mendapatkan penyakit yang
berhubungan dengan rokok pada usia pertengahan. Ketika seseorang
merokok maka dia akan menghirup lebih dari 4000 unsur kimia beracun,
unsur ini dapat meningkatkan risiko penyakit kanker, penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), kardiovaskuler (WHO, 2008).
Menurut PDPI (2006). Derajat merokok seseorang dapat diukur
dengan Indeks Brinkman, dimana perkalian antara jumlah batang rokok
yang dihisap dalam sehari dikalikan dengan lama merokok dalam satu
tahun, akan menghasilkan pengelompokan sebagai berikut:
1) Perokok ringan : 0-200 batang per tahun
2) Perokok sedang : 200-600 batang per tahun
3) Perokok berat : lebih dari 600 batang per tahun.
Penyakit paru obsrtuktif kronik atau yang biasa disebut PPOK
merupakan penyakit kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible parsial
yang terdiri dari bronkhitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya
(PDPI, 2006). Sehingga PPOK berhubungan dengan dengan jumlah total
2
partikel yang telah dihirup oleh seseorang selama hidupnya (GOLD, 2007).
Merokok merupakan faktor risiko utama dalam menyebabkan
perkembangan dan peningkatan PPOK (GOLD, 2007).
Derajat berat PPOK menurut GOLD, 2007:Stadium I (ringan),
biasanya terjadi sumbatan ringan pada jalan napas (VEP1/KPV<70%:>80
prediksi) dan kadang disertai batuk kronis dan produksi sputum. Pada
stadium ini individu biasanya tidak menyadari adanya suatu abnormalitas
dari fungsi paru.
Stadium II (sedang), sumbatan yang terjadi bertambah berat
(VEP1/KVP < 70 % ; 50% ≤ VEP1, < 80 % prediksi) dengan pemendekan
napas yang diikuti penggunaan tambahan usaha dalam bernapas. Pada
stadium ini biasanya pasien mulai mencari bantuan medis karena timbul
gejala klinis penyakit pernapasan kronis atau terjadi suatu eksaserbasi dari
penyakit mereka.
Stadium III (berat), sumbatan pada jalan napas tersebut semakin
bertambah berat (VEP1/KVP < 70 % ; 30 % ≤ VEP1< 50 % prediksi), napas
semakin pendek, kemampuan dalam beraktivitas menurun, dan terjadi
serangan berulang yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.
Stadium IV (sangat berat), sumbatan jalan napas lebih berat dari
sebelumnya (VEP1/KVP < 70 %VEP1< 50% prediksi, ditambah gagal napas
kronis). Pasien dapat masuk ke dalam stadium ini walaupun VEP1> 30 %
prediksi, jika terjadi suatu komplikasi. Pada stadium ini kualitas hidup
terjadi suatu kecacatan dan biasanya menjalani pengobatan seumur hidup.
PPOK merupakan suatu masalah kesehatan yang bersifat global
karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat. (Sudoyo,
2009). PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung,
kanker dan penyakit serebro vaskular sebagai penyebab kematian, World
Health Organisation (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020
revalensi PPOK akan meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 sebagai penyebab
kematian dan akan meningkat dari ke-6 menjadi ke-3 (Sudoyo, 2009).
3
Hasil survey penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM
dan PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004,
menunjukan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka
kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%), dan
lainnya (2%). (Depkes RI, 2004).
Hasil pengamatan di 6 propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa
Tengah, Lampung, Bengkulu, Sulawesi Utara dan Sulawesi Utara dan
Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan oleh Subdit Penyakit Kronik dan
Degeneratif lainnya pada awal tahun 2006, menunjukan bahwa belum
semua dinas kesehatan propinsi mempunyai struktur organisasi atau
penanggung jawab program penyakit tidak menular (PTM) termasuk PPOK,
walaupun sebagian telah melaksanakan kegiatan pengendalian penyakit
tidak menular secara terbatas, antara lain dalam bentuk kegiatan Surveilans
Epidemiologi kasus untuk penyakit jantung, diabetes mellitus, dan
neoplasma bronkhial. (Depkes RI, 2008).
Sebagaimana latar belakang diatas, maka penulis tertarik melakukan
penelitian untuk mengetahui hubungan kejadian penyakit paru obstruktif
kronik dengan pengaruh kebiasaan merokok
1.2Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas dapat disimpulkan satu pertanyaan
pada penelitian ini yaitu “Apakah ada hubungan antara kejadian penyakit
paru obstruktif kronik dengan pengaruh kebiasaan merokok ?”
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kejadian penyakit paru obstruktif
kronik dengan pengaruh kebiasaan merokok
4
1.3.2Tujuan Khusus
1. Mendapatkan data pasien PPOK di Rumah Sakit Paru Sidawangi
Cirebon
2. Mengidentifikasi adanya riwayat kebiasaan merokok pada pasien
terdiagnosa PPOK
3. Menganalisis hubungan antara kejadian penyakit paru obstruktif
kronik dengan pengaruh kebiasaan merokok
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian tentang
kejadian PPOK dengan kebiasaan merokok
1.4.2Manfaat bagi klinisi
1. Dari penelitian ini akan di dapatkan data mengenai penyakit paru
obstruktif kronik
2. Memberikan informasi tentang rokok serta bahanya bagi
kesehatan
3. Memberikan informasi mengenai mekanisme penyakit paru
obstruktif kronik yang disebabkan oleh kebiasaan merokok
4. Mendapatkan informasi mengenai data pasien terdiagnosa
penyakit paru obstruktif kronik yang mempunyai kebiasaan
merokok.
1.4.3Manfaat bagi pasien
Pasien dapat menambah pengetahuan tentang penyakit paru
obstruktif kronik.
5
1.4.4Manfaat bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang
penyakit obstruktif kronik dan bahaya kebiasaan merokok
1.4.5 Manfaat bagi dokter dan Rumah Sakit
Digunakan sebagai bahan edukasi tentang bahaya merokok yang
merupakan faktor risiko utama penyebab penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).
1.4.6 Manfaat bagi peneliti lain
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar
modalitas penelitian yang lain tentang penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK).
1.5 Orisinilitas Penelitian
Penelitian “Hubungan kejadian penyakit paru obstruktif kronik
dengan pengaruh kebiasaan merokok” menurut sepengetahuan peneliti
sudah pernah dilakukan sebelumnya, namun terdapat perbedaan pada
penelitian yang akan dilakukan peneliti kali ini, adapun beberapa perbedaan
dan hubungan antara penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan
penelitian ini adalah.
Tabel I Orisinilitas Penelitian
Nama dan Judul
Penelitian
Metode Penelitian Hasil Penelitian
Octaria
Prabaningtyas,
(2010) Hubungan
Derajat Merokok
dengan Kejadian
Penyakit Paru
Menggunakan
rancangan
Cross sectional
Terdapat hubungan
yang signifikan antara
derajat meroko dengan
kejadian PPOK.
6
Obstruktif Kronik
di RSUD Dr
Moewardi
Surakarta
Trisna Sentia,
(2011)Hubungan
Riwayat
Kebiasaan
merokok Dengan
Derajat PPOK di
RSUD Aceh
Tamiang
Menggunakan
rancangnan
Cross sectional
Tidak terdapat
hubungan antara
riwayat kebiasaan
merokok dengan
derajat PPOK.
Perbedaan penelitian:
1. Berbeda tempat dan waktu penelitian
2. Berbeda populasi dan sampel
3. Hubungan yang dicari adalah kejadian penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) dengan pengaruh kebiasaan merokok.
7