BAB I

9
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Antioksidan memiliki peranan penting untuk menjaga kesehatan. Hal ini disebabkan oleh kemampuan antioksidan dalam menangkap radikal bebas. Radikal bebas dapat dihasilkan oleh tubuh secara alami misalnya pada proses pernafasan. Radikal bebas dapat diartikan sebagai molekul kimia yang kekurangan elektron atau tidak memiliki elektron berpasangan. Sehingga, membuat radikal bebas bersifat sangat reaktif untuk mencari pasangan elektron agar konfigurasinya menjadi stabil. Radikal bebas terdiri dari berbagai macam spesies oksigen reaktif yang mampu menyerang membran lipid, asam nukleat, protein dan enzim. Hal ini dapat menghancurkan struktur sel-sel tubuh serta mengubah ukuran dan bentuknya. Kerusakan sel-sel tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak merugikan bagi kesehatan (Shivaprasad dkk, 2005). Serangan radikal bebas terhadap molekul sekelilingnya akan menyebabkan terjadinya reaksi berantai, yang kemudian menghasilkan senyawa radikal baru. Dampak reaktivitas senyawa radikal bebas bermacam-macam, mulai dari kerusakan sel atau jaringan, penyakit autoimun, penyakit degeneratif, hingga kanker (Sadikin, 2001). 1

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Antioksidan memiliki peranan penting untuk menjaga kesehatan. Hal ini

disebabkan oleh kemampuan antioksidan dalam menangkap radikal bebas.

Radikal bebas dapat dihasilkan oleh tubuh secara alami misalnya pada proses

pernafasan. Radikal bebas dapat diartikan sebagai molekul kimia yang

kekurangan elektron atau tidak memiliki elektron berpasangan. Sehingga,

membuat radikal bebas bersifat sangat reaktif untuk mencari pasangan elektron

agar konfigurasinya menjadi stabil. Radikal bebas terdiri dari berbagai macam

spesies oksigen reaktif yang mampu menyerang membran lipid, asam nukleat,

protein dan enzim. Hal ini dapat menghancurkan struktur sel-sel tubuh serta

mengubah ukuran dan bentuknya. Kerusakan sel-sel tersebut pada akhirnya

menimbulkan dampak merugikan bagi kesehatan (Shivaprasad dkk, 2005).

Serangan radikal bebas terhadap molekul sekelilingnya akan menyebabkan

terjadinya reaksi berantai, yang kemudian menghasilkan senyawa radikal baru.

Dampak reaktivitas senyawa radikal bebas bermacam-macam, mulai dari

kerusakan sel atau jaringan, penyakit autoimun, penyakit degeneratif, hingga

kanker (Sadikin, 2001).

Tanpa disadari radikal bebas secara terus menerus terbentuk dalam tubuh,

baik melalui proses metabolisme sel normal peradangan, kekurangan gizi, dan

akibat respons terhadap pengaruh dari luar tubuh, seperti polusi lingkungan,

ultraviolet (UV), asap rokok, dan lain-lain. Berdasarkan hal ini, dapat diyakini

bahwa dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukkan radikal bebas juga

semakin meningkat. Faktor yang mempengaruhi radikal bebas dari dalam tubuh

misalnya berkaitan dengan laju metabolisme seiring bertambahnya usia.

Bertambahnya glikolisis dalam siklus asam sitrat sehingga radikal bebas akan

terbentuk lebih banyak. Sedangkan faktor dari luar tubuh, kemungkinan tubuh

terpapar dengan polutan juga semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya umur

seseorang. Konsumsi antioksidan dalam jumlah yang memadai diketahui dapat

menurunkan terjadinya penyakit degeneratif, seperti kardiovaskuler, kanker,

1

Page 2: BAB I

2

osteoporosisi, dan lain-lain. Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan

juga disebut-sebut dapat meningkatkan imun dan menghambat timbulnya penyakit

degeneratif akibat penuaan. Oleh sebab itu kecukupan asupan antioksidan secara

optimal diperlukan pada semua kelompok umur (Winarsi, 2011).

Antioksidan berdasarkan sumbernya terdiri dari dua golongan yaitu

antioksidan sintetik dan antioksidan alami yang merupakan hasil isolasi bahan

alam. Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping dari antioksidan

sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif yang sangat

dibutuhkan (Rohdiana, 2001).

Indonesia memiliki beragam tanaman yang dapat digunakan sebagai

antioksidan alami, diantaranya adalah jenis tanaman cabai. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Bagus dan Suada (2007), diketahui bahwa dalam cabai merah

(Capsicum Annum L.) terdapat kandungan nutrisi vitamin A, C, karotenoid dan

zat kapsaikin yang bermanfaat sebagai senyawa antioksidan.

Salah satu upaya mengoptimalkan pemanfaatan bahan alam dari cabai

merah perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai sejauh mana aktivitas

antioksidan yang terdapat pada cabai merah besar dengan menggunakan variasi

jenis pelarut pada proses ekstraksi. Variasi pelarut perlu dilakukan karena

senyawa aktif yang berpotensi sebagai antioksidan dalam sayuran cabai merah

belum diketahui sifat kepolarannya. Pelarut dipilih berdasarkan tingkat kepolaran

dengan tujuan memperoleh pelarut terbaik yaitu pelarut dapat mengekstrak dalam

jumlah besar dan dapat mengekstrak golongan senyawa antioksidan yang

mempunyai aktivitas tertinggi. Sayuran cabai merah yang jenisnya berbeda

dimungkinkan mempunyai kandungan senyawa aktif yang berbeda pula. Ekstraksi

dengan pelarut yang berbeda umumnya dapat mengekstrak jenis golongan

senyawa yang berbeda. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian kuantitatif

dengan menguji aktivitas antioksidannya. Pelarut terpilih tersebut adalah etanol

70% (polar), etil asetat p.a (semi polar), kloroform p.a (semi polar), petroleum

eter p.a (non polar), dan heksana p.a (non polar) (Husnah, 2009).

Salah satu uji untuk menentukan aktivitas antioksidan penangkap radikal

pada cabai merah adalah dengan metode DPPH (1,1 Diphenyl-2-picrylhidrazyl).

Metode DPPH dipilih karena sederhana, mudah, cepat dan peka serta hanya

Page 3: BAB I

3

memerlukan sedikit sampel walaupun terbilang harganya mahal. Metode DPPH

digunakan untuk mengukur daya antioksidan yang diperoleh dengan menghitung

jumlah pengurangan atau peluruhan warna ungu DPPH yang sebanding dengan

pengurangan konsentrasi larutan DPPH melalui pengukuran absorbansi larutan

uji. Metode DPPH juga merupakan metode yang tidak terbatas untuk mengukur

komponen yang larut dalam pelarut yang digunakan dalam analisa (dapat

mengukur aktivitas total antioksidan baik dalam pelarut polar maupun nonpolar)

(Hafid, 2003).

1.2 Identifikasi Masalah

Mengacu pada latar belakang, masalah yang dapat diidentifikasi adalah

belum diketahuinya aktivitas antioksidan pada hasil ekstrak bubuk cabai merah

besar berdasarkan variasi pelarut dengan metode DPPH (1,1 Diphenyl-2-

picrylhidrazyl).

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antioksidan

pada hasil ekstrak bubuk cabai merah besar berdasarkan variasi pelarut dengan

metode DPPH (1,1 Diphenyl-2-picrylhidrazyl).

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi akademik

kepada masyarakat tentang manfaat cabai merah besar bagi kesehatan yaitu sebagai

antioksidan dan memberikan informasi pada lembaga akademis tentang pelarut

terbaik yang digunakan dalam mengekstrak golongan senyawa antioksidan yang

mempunyai aktivitas tertinggi pada ekstrak cabai merah besar.

1.5 Kerangka Pemikiran

Cabai merah (Capsicum annum. L) merupakan salah satu jenis sayuran

komersial yang sejak lama telah dibudidayakan di Indonesia, karena produk ini

memiliki nilai ekonomis yang tinggi (Sembiring, 2009). Namun, pemanfaatan

cabai merah selama ini masih terbatas pada penggunaannya sebagai bumbu

Page 4: BAB I

4

penyedap rasa saja. Padahal, cabai merah memiliki banyak kandungan gizi dan

vitamin yang diperlukan oleh tubuh manusia, terutama kalori, protein, lemak,

karbohidrat, kalsium, serta vitamin A, B1, dan C (Harpenas, 2011). Cabai merah

juga berfungsi sebagai antioksidan, Hernani dan Rahardjo (2006), menjelaskan

antioksidan merupakan senyawa yang penting menjaga kesehatan tubuh dan

memiliki fungsi sebagai penangkap radikal bebas yang banyak terdapat dalam

tubuh. Juga dapat memperlambat oksidasi dalam bahan (Cahyadi, 2006).

Penelitian yang dilakukan di Universitas Texas A&M, Amerika Serikat

menyebutkan bahwa buah cabai mengandung flavonoid dan antioksidan yang

dapat melindungi tubuh dari kanker (Harpenas, 2011).

Penggunaan senyawa antioksidan juga anti radikal saat ini semakin meluas

seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang peranannya

dalam menghambat penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, kanker, serta

gejala penuaan. Masalah-masalah ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan

untuk bekerja sebagai penghambat reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang

menjadi salah satu pencetus penyakit-penyakit di atas (Tahir dkk, 2003).

Pemilihan cabai juga menentukan kandungan senyawa antioksidan yang akan

dihasilkan. Cabe merah dipilih karena kandungan zat-zat gizi yang sangat

diperlukan untuk kesehatan manusia. Kandungan gizi yang terdapat pada cabai

merah segar antara lain kalsium, karbohidrat, air, dan mengandung senyawa-

senyawa alkaloid, flavonoid, kapsaisin, dan minyak esensial (Prajnanta, 2003).

Uji aktivitas antioksidan dilakukan untuk mengetahui seberapa besar

kandungan antioksidan yang terdapat pada cabai merah. Dengan menggunkan

variasi jenis pelarut yang dipilih berdasarkan tingkat kepolaran dengan tujuan

memperoleh pelarut terbaik yaitu pelarut dapat mengekstrak dalam jumlah besar

dan dapat mengekstrak golongan senyawa antioksidan yang mempunyai aktivitas

tertinggi (Husnah, 2009).

Menurut Taufik (2010), sebelum diekstraksi, cabai perlu dikeringkan

sampai kadar air 10% basis basah, namun pengeringan yang terlalu lama dapat

menurunkan kandungan minyak atsiri. Menurut Purseglove et al. (1981),

pengeringan cabai dapat dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari

atau dengan menggunakan oven pada suhu 48,8oC selama 36 jam. Penggunaan

Page 5: BAB I

5

suhu pengeringan yang lebih tinggi mempersingkat waktu pengeringan, tetapi

suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terdegradasinya pigmen dan

hilangnya komponen volatile lainnya. Sedangkan menurut penelitian Komara

(1991), pengeringan dilakukan pada suhu 50 – 60oC sampai mencapai kadar air

akhir 8 – 10% basis basah.

Selanjutnya, bahan yang akan diekstraksi diseragamkan ukurannya agar

memudahkan saat proses ekstraksi. Proses penyeragaman ukuran ini dilakukan

dengan penggilingan dan penyaringan menggunakan saringan dengan ukuran 40

mesh. Menurut Purseglove et al. (1981), untuk menghasilkan ekstraksi yang

sempurna dan agar antara cabai dan pelarut mudah terjadi kontak maka cabai yang

akan diekstraksi sebaiknya berukuran seragam. Menurut hasil penelitian Komara

(1991), ukuran bubuk cabai terbaik yaitu 30 – 40 mesh; sedangkan menurut Yusuf

dkk (1985), ukuran partikel optimal untuk ekstraksi cabai merah adalah 40 mesh.

Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi bubuk cabai ini adalah etanol 70%

(polar), etil asetat p.a (semi polar), kloroform p.a (semi polar), petroleum eter p.a

(non polar), dan heksana p.a (non polar) yang akan memberikan efek

penangkapan radikal bebas dan aktivitas antioksidan yang berbeda. Menurut

Husnah (2009), variasi pelarut perlu dilakukan karena senyawa aktif yang

berpotensi sebagai antioksidan dalam sayuran cabai merah belum diketahui sifat

kepolarannya. Perbandingan pelarut dengan cabai yang akan digunakan yaitu 1 :

6. Menurut hasil penelitian Komara (1991), pada ekstraksi cabai rawit dengan

perbandingan 1 : 6 memberikan total solid yang optimal yaitu 15%.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Husnah (2009), dengan

menggunakan buah pepino (Solanum muricatum Aiton) diketahui aktivitas

antioksidan ekstrak kasar buah pepino (Solanum muricatum Aiton) berdasarkan

variasi pelarut dengan metode DPPH (1,1-difenil-2- pikrilhidrazil) ditunjukkan

dari nilai IC50. Nilai IC50 merupakan konsentrasi yang dibutuhkan untuk

menurunkan sebesar 50 % dari konsentrasi radikal DPPH awal. Aktivitas

antioksidan tertinggi dari berbagai ekstrak yang digunakan adalah ekstrak heksana

sedangkan aktivitas antioksidan terendah menggunakan ekstrak etanol 70%.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2012), dengan

menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan metanol pada tanaman cincau

Page 6: BAB I

6

menunjukkan ekstrak teraktif yaitu pada ekstrak metanol yang mempunyai nilai

IC50 74,32 µg/ml.