BAB I

41
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Hipertensi dikenal sebagai salah satu penyebab utama kematian di Amerika Serikat. Sekitar seperempat jumlah penduduk dewasa menderita hipertensi, dan insidensinya lebih tinggi di kalangan Afro-Amerika setelah usia remaja. Penderita hipertensi tidak hanya berisiko tinggi menderita penyakit lain seperti penyakit saraf, ginjal, dan pembuluh darah. Makin tinggi tekanan darah, makin besar risikonya. (Price Sylvia A., Wilson Lorraine M, 2005). Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10% sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung di Indonesia. (Sudoyo Aru W., dkk, 2007) Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Istilah tradisional tentang hipertensi “ringan” dan “sedang” gagal menjelaskan pengaruh utama tekanan darah tinggi pada penyakit kardiovaskular. Sehingga The joint National Committe on Detection, Evaluation, and Treatment of

description

hipertensi

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Hipertensi dikenal sebagai salah satu penyebab utama kematian di

Amerika Serikat. Sekitar seperempat jumlah penduduk dewasa menderita

hipertensi, dan insidensinya lebih tinggi di kalangan Afro-Amerika setelah

usia remaja. Penderita hipertensi tidak hanya berisiko tinggi menderita

penyakit lain seperti penyakit saraf, ginjal, dan pembuluh darah. Makin tinggi

tekanan darah, makin besar risikonya. (Price Sylvia A., Wilson Lorraine M,

2005).

Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-

10% sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi

sekitar 14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai

penyebab penyakit jantung di Indonesia. (Sudoyo Aru W., dkk, 2007)

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik

sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Istilah

tradisional tentang hipertensi “ringan” dan “sedang” gagal menjelaskan

pengaruh utama tekanan darah tinggi pada penyakit kardiovaskular. Sehingga

The joint National Committe on Detection, Evaluation, and Treatment of

High Blood Pressure membuat suatu klasifikasi baru. (Price Sylvia A.,

Wilson Lorraine M, 2005)

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi

mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa laten ini

menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang

bermakna. Bila terdapat gejala maka biasanya bersifat non spesifik, misalnya

sakit kepala atau pusing. Apabila hipertensi tetap tidak diketahui dan tidak

dirawat, mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium,

stroke, atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan perawatan hipertensi yang

efektif dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas. Dengan

demikian, pemeriksaan tekaan darah secara teratur mempunyai arti penting

dalam perawatan hipertensi. (Price Sylvia A., Wilson Lorraine M, 2005)

Page 2: BAB I

2

I.2 TUJUAN

I.2.1 Tujuan umum

1. Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengelolaan terkini hipertensi.

2. Diajukan untuk kegiatan belajar mandiri dan sebagai syarat

mengikuti Ujian Akhir Blok (UAB).

I.2.2 Tujuan khusus

Mengetahui tentang definisi hipertensi, etiologi, klasifikasi tekanan

darah, faktor yang mempengaruhi risiko hipertensi, patogenesis,

keluhan dan gejala, komplikasi, pengelolaan terkini hipertensi,

penatalaksanaan diet, dan pencegahan.

I.3 MANFAAT

I.3.1 Manfaat bagi diri penulis

Penulis lebih mendalami tentang pengelolaan terkini hipertensi.

I.3.2 Manfaat bagi mahasiswa lain

Memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas tentang

pengelolaan terkini hipertensi.

I.3.3 Manfaat bagi institusi

Menambah bahan pustaka.

Page 3: BAB I

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah arterial yang tetap tinggi, dapat tidak

memiliki sebab yang diketahui (essential, idiopathic, atau primary) atau

berkaitan dengan penyakit lain (secondary). (Dorland,W.A.N, 2010)

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik

sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. (Price

Sylvia A., Wilson Lorraine M, 2005)

Menurut Wardoyo (1980:41) memberikan definisi bahwa pengelolaan

adalah suatu rangkaian kegiatan yang berintikan perencanaan,

pengorganisasian, pengerakan dan pengawasan dalam mencapai tujuan yang

telah ditetapkan sebelumnya .

Jadi pengelolaan terkini hipertensi dilakukan untuk mengurangi

dampaknya hipertensi terhadap kesehatan manusia dan dilakukan untuk

memulihkan kesehatan manusia. (Bustan, MN, 2007)

II.2. ETIOLOGI

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan

sebagai berikut :

1. Hipertensi Esensial (Hipertensi Primer)

Adalah hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui. Terjadi pada sekitar

90% penderita hipertensi.

2. Hipertensi Sekunder

Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit

ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau

pemakaian obat tertentu. (Arvin., Kliegman., Behrman, 2000)

Page 4: BAB I

4

II.3. Klasifikasi Tekanan Darah

The joint National Committe on Detection, Evaluation, and Treatment

of High Blood Pressure membuat suatu klasifikasi baru. Klasifikasi tekanan

darah untuk dewasa usia 18 tahun atau lebih sebagai berikut :

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <130 <85

Normal Tinggi 130-139 85-89

Hipertensi

Tingkat 1 (ringan) 140-159 90-99

Tingkat 2 (sedang) 160-179 100-109

Tingkat 3 (berat) >180 >110

Tabel.1. Klasifikasi Tekanan Darah

(Price Sylvia A., Wilson Lorraine M, 2005)

II.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Hipertensi

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi risiko hipertensi sebagai berikut :

1) Jenis Kelamin

Jenis kelamin dalam hubungannya dengan sifat keterpaparan dalam

tingkat kerentangan perenan sendiri dan harus selalu diperhitungkan pada

peristiwa penyakit tertentu. Bia dijumpai pada perbedaan atas penyakit

menurut jenis kelamin apakah karena faktor kebiasaan hidup saja. Pria

pada umumnya lebih mudah terserang hipertensi dibandingkan dengan

wanita. Hal itu mungkin disebabkan kaum pria lebih banyak mempunyai

faktor yang mendorong terjadinya hipertensi seperti stress, kelelahan,

makan tidak terkontrol, dan lain-lain. Sementara risiko wanita akan

mengalami kenaikan setelah mengalami masa menopause (45 tahun).

2) Obesitas

Obesitas adalah keadaan dimana terjadi penumpukan lemak

didalam tubuh, sehingga Body Mass Indeks atau Indeks Masa Tubuh

(IMT) ³ 25 kg/m² dan dapat diapresiasikan dengan perbandingan berat

badan serta tinggi badan yang berlebihan, dimana rumus yang digunakan

yaitu IMT = BB/(TB)². Seseorang dikatakan obesitas bila nilai IMT ³ 25,0

kg/m². Orang gemuk lebih sering menderita hipertensi dari pada orang

Page 5: BAB I

5

normal. Bagaimana kegemukan menimbulkan hipertensi belum jelas

benar. Ada bermacam teori yang berusaha menjelaskannya, tapi penurunan

berat badan jelas menurunkan tekanan darah, penurunan ini tentunya

dilakukan dengan mengurangi masukan makanan / kalori, dan olahraga

(mengeluarkan energi/kalori). Sebaiknya tidak memakai obat-obatan,

karena obat yang dapat membuat kurus badan pada umumnya adalah obat

perangsang yang akan menaikkan tekanan darah. Penyebab obesitas ada

yang bersifat exofagus, yaitu konsumsi energi yang berlebihan dan

penyebab endogenous yang berarti adanya gangguan metabolik didalam

tubuh, misalnya adanya tumor pada hipotalamus sehingga penderita

mengalami hiperphagia atau nafsu makan berlebihan. Obesitas diduga ikut

menjadi penyebeb hipertensi, jantung koroner, diabetes melitus, dan

penyakit pernafasan. Selain itu penderita obesitas sering mengalami

gangguan emosional. (Price Sylvia A., Wilson Lorraine M, 2005).

3) Hiperkolestrol

Tekanan darah yang meninggi antara lain akibat adanya

penyempitan pembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah erat

kaitannya dengan kebiasaan makan enak. Makanan enak berkalori tinggi,

umumnya juga mengandung kadar kolesterol yang tinggi pula. Kadar

lemak yang tinggi di dalam menu sehari-hari akan berakibat meningkatkan

tekanan darah. Kita dianjurkan untuk mengkonsumsi lemak kurang dari

30% total kalori. Tetapi lebih penting dari itu ialah kita harus membatasi

lemak jenuh yang banyak terkandung dalam minyak kelapa. Apabila ada

pilihan sebaiknya gunakan minyak jagung atau minyak sayur yang

kandungan lemak jenuhnya lebih rendah, selain itu dianjurkan untuk

mengurangi konsumsi makanan yang kaya akan kandungan asam lemak

jenuh dan kolesterol tinggi, serta memperbanyak konsumsi sayuran, ikan,

polong-polongan dan kacang-kacangan sebagai sumber asam lemak tak

jenuh. Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol darah

tidak terlalu tinggi. Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat

mengakibatkan terjadinya endapan kolesterol didalam dinding pembuluh

darah. Lama-kelamaan, jika endapan kolesterol bertambah akan

menyumbat pembuluh nadi dan mengganggu peredaran darah. Dengan

Page 6: BAB I

6

demikian, akan memperberat kerja jantung dan secara tidak langsung

memperparah hipertensi. (Sudoyo Aru W., dkk, 2007)

4) Gangguan Ginjal

Gangguan ginjal adalah terjadinya penurunan fungsi ginjal dalam

membersihkan darah dari bahaya-bahaya racun yang menyebabkan

penimbunan limbah metabolik didalam darah. Fungsi utama ginjal ialah

mengatur keseimbangan cairan tubuh dan takanan darah, memproses

sekitar 200 liter darah setiap hari, dan membuang zat-zat yang sudah tidak

dibutuhkan lagi oleh tubuh dalam bentuk urine. Selain itu fungsi lain dari

ginjal ialah membersihkan obat-obatan dan toksin dalam tubuh,

mengeluarkan hormon, dan menguatkan tulang-tulang badan.

Gangguan pada ginjal dapat berupa Gangguan Ginjal Akut (GGA)

maupun Gangguan Ginjal Kronik (GGK). Pada GGA terjadi penurunan

fungsi ginjal secara cepat, sebaliknya penurunan ginjal secara perlahan

atau bertahap disebut GGK. Gangguan fungsi ginjal baru terlihat secara

nyata setelah lebih dari setengah bagian ginjal mengalami kerusakan.

Adanya gangguan fungsi ginjal dapat menyebabkan gangguan

keseimbangan air dan elektrolit, yang akibatnya dapat menimbulkan

gangguan pada pengaturan tekanan darah jangka panjang. Hipertensi

berkaitan erat dengan ginjal. Ginjal berperan pada pengaturan tekanan

darah dan salah satu komplikasi hipertensi adalah terjadinya gangguan

pada ginjal. Adanya hipertensi dapat menyebabkan pembuluh darah pada

ginjal mengkerut, sehingga aliran nutrisi ke ginjal terganggu dan akibatnya

sel-sel pada ginjal akan rusak. Pada akhirnya akan terjadi gangguan fungsi

ginjal, sebaliknya adanya kelainan tertentu pada ginjal dapat menyebabkan

hipertensi, misalnya penyempitan pembuluh arteri di ginjal.

Gejala-gejala yang sering muncul pada penderita ginjal :

a. Tidak bisa bersemangat dan selalu merasa lelah.

b. Perhatian menurun, nafsu makan berkurang, gangguan tidur.

c. Kejang atau kram pada malam hari.

d. Bengkak pada bagian kaki dan tumit.

e. Sekitar mata bengkak, khusus pada pagi hari.

f. Kulit kering dan sering merasa gatal-gatal.

Page 7: BAB I

7

g. Banyak buang air kecil, khususnya pada malam hari.

5) Riwayat Keluarga

Manusia adalah makhluk yang sangat unik. Mereka berbeda satu

sama lain dalam ciri normal fisik, fisiologis dan mentalnya. Mereka juga

berbeda dalam kemungkinan menderita penyakit-penyakit tertentu atau

abnormalitas lain. Keanekaragaman ini sebagian disebabkan karena

perbedaan kondisi lingkungan tempat mereka hidup, tetapi

keanekaragaman ini tergantung juga pada perbedaan bawaan. Memang

kecuali kembar satu telur, sangat boleh jadi tidak ada dua individu yang

memiliki susunan genetis yang serupa. Pada umumnya disepakati bahwa

gen sebetulnya adalah bagian-bagian dari molekul deoxyribonucleic acid,

atau DNA. DNA adalah molekul yang kompleks dengan bentuk yang tidak

biasa, lebih menyerupai dua utas tali yang saling membelit. Cara molekul-

molekul yang lebih kecil tersusun dalam molekul raksasa, ini sebenarnya

merupakan sebuah kode yang mengandung intruksi untuk mengarahkan

sintesis protein, pada tingkat inilah terjadi pertumbuhan sifat-sifat tertentu.

Kode ini misalnya mengarahkan pembentukan protein yang memberi

warna iris mata dan dengan demikian menentukan warna mata, kode itu

juga mengarahkan pembentukan molekul hemoglobin sel dalam darah

merah. Hipertensi diketahui bersifat poligenik dan multifaktorial dan

berhubungan dengan riwayat keluarga yang hipertensi. Diketahui bahwa

faktor hereditas merupakan salah satu unsur yang penting dalam

redisposisi hipertensi, dimana ayah mempunyai konstribusi genetik lebih

kuat dibanding ibu. (Bustan, MN, 2007)

II. 5. Patogenesis

Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung

menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang

ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik).

Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi

ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi

eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu

mekanisme Frank Straling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel

Page 8: BAB I

8

sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan kontraksi

miokard (penurunan atau gangguan fungsi sistolik). (Sudoyo Aru W., dkk,

2006)

Iskemia miokard 9asimtomatik, angina pektoris, infark jantung dll)

dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses ateosklerosis dengan

peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat dari HVK. HVK, iskemia

miokard dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan

miosit ada hipertensi.

Evaluasi pasien hipertensi atau penyakit jantung hipertensi ditujukan

untuk:

a. Meneliti kemungkinan hipertensi sekunder,

b. Menetapkan keadaan pra pengobatan,

c. Menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan atau faktor

yang akan berubah karena pengobatan,

d. Menetapkan kerusakan organ target, dan

e. Menetapkan faktor risiko PJK lainnya. (Sudoyo Aru W., dkk, 2006)

II.6. Keluhan dan Gejala

Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien

tidak ada keluhan. Bila simtomatik, maka biasanya disebabkan oleh :

1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa

melayang (dizzy) dan impoten.

2. Penyakit jantung/hipertensi vaskular seperti cepat capek, sesak napas,

sakit dada, (iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau

perut. Gangguan vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria,

pandangan kabur karena perdarahan retina, transient serebral ischemic.

3. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder : polidipsia, poliuria, dan

kelemahan otot pada aldosteronisme primer, peningkatan BB dengan

emosiyang labil pada sindrom Cushing. Feokromositoma dapat muncul

dengan keluhan episode sakit kepala, palpitasi, banyak keringat dan rasa

melayang saat berdiri (postural dizzy). (Sudoyo Aru W., dkk, 2006)

II.7. Komplikasi

Page 9: BAB I

9

Organ tubuh sering terserang akibat hipertensi antara lain mata

berupa perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,

gagal jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak. (Sudoyo Aru W.,

dkk, 2007)

II.8. Pengelolaan Terkini Hipertensi

Telah dibuktikan oleh beberapa penyelidik, bahwa dengan

mengendalikan tekanan darah, angka mortalitas dan morbiditas dapat

diturunkan, oleh karena itu walaupun etiologinya belum dapat dibuktikan,

pengobatan hipertensi boleh dimulai. Yang masih menjadi masalah yaitu

menentukan saat dimulainya pengobatan. Hal ini penting karena pada

kenyataannya pengobatan hipertensi merupakan pengobatan seumur hidup.

(Arvin., Kliegman., Behrman, 2000)

Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis

penatalaksaan, yaitu :

1. Penatalaksanaan non farmakologis

2. Penatalaksanaan farmakologis

(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)

II.8.1. Penatalaksanaan non farmakologis

Menurut beberapa ahli, pengobatan cara ini sama pentingnya dengan

pengobatan farmakologis, dan mempunyai keuntungan lain, terutama pada

pengobatan hipertensi ringan. Pada hipertensi ringan, pengobatan non

farmakologis kadang-kadang dapat mengontrol tekanan darah, sehingga

pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan atau sekurang-kurangnya

ditunda. Sedangkan pada keadaan di mana obat anti hipertensi diperlukan,

pengobatan non farmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk

mendapatkan efek pengobatan yang lebih baik.

(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)

Di negara yang sedang berkembang, asupan garam per hari kira-kira

150-200 mmol. Dengan pengurangan garam sepertiganya, atau mendapat

asupan garam sebanyak 90-100 mmol per hari, dibuktikan cukup efektif

dalam menurunkan tekanan darah dan masih dapat diterima.

Pengurangan garam dalam makanan, mengakibatkan pengurangan

natrium, yang akan menyebabkan peningkatan asupan kalium, karena akan

Page 10: BAB I

10

dipilih makanan tertentu yang sudah diproses lebih dahulu, yang pada

umunya banyak mengandung kalium. Penambahan kalium, akan menurunkan

natrium intrasel, dengan aktivasi pompa Na-K-ATP (sodium poassium

adenosinetriphotase pump) dan akan mengurangi efek hipertensi akibat

asupan natrium yang banyak. Walaupun demikian, cara ini tidak dipakai

sebagai pengobatan, karena bahaya yang timbul akibat penambahan kalium

cukup besar. (Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)

Efek ion kalsium dan magnesium juga kurang meyakinkan

manfaatnya dalam pengobatan hipertensi, sehinga rekomendasi khusus

sebagai pengobatan hipertensi tidak dibuat. Pada beberapa penyelidikan,

didapatkan bahwa dengan diet rendah lemak jenuh, dapat mengurangi faktor

risiko penyakit kardiovaskular, waaupun efektivitas terhadap penurunan

tekanan darah belum terbukti. Olahraga yang teratur, dibuktikan dapat

menurunkan berat badan, sehngga dapat menurunkan tekanan darah. Yang

perlu diingatkan kepada penderita ialah bahwa olahraga saja tidak dapat

digunakan sebagai pengobatan hipertensi. (Soeparman., Waspadji Sarwono,

1996)

Pengobatan non farmakologis yang lain, yaitu menghindarkan faktor

risiko seperti merokok, minum alkohol, hiperlipidemia, dan stress. Merokok

dapat meningkatkan tekanan darah, walaupun beda beberapa survei

didapatkan pada kelompok perokok, tekanan darahnya lebih rendah daripada

kelompok yang tidak merokok. Alkohol diketahui dapat meningkatkan

tekanan darah, sehingga menghindari alkohol berarti menghindari

kemungkinan hipertensi.

Oleh karena diketahui bahwa aktivitas simpatetik susunan saraf pusat

dapat megakibatkan dan mempertahankan tekanan darah tetap meninggi pada

hipertensi esensial, maka bila respons susunan saraf pusat terhadap stres

dapat dimosifikasi, kemungkinan tekanan darah dapat diturunkan. Berbagai

cara untuk mendapatkan keaddan relaksasi seperti meditasi, yoga, atau

hipnosis dikatakan dapat mengontrol sistem saraf autonom degan

kemungkinan dapat pula menurunkan tekanan darah. Mengenai hal ini masih

diperlukan penyelidikan untuk membuktikan efektivitasnya dalam

pengobatan hipertensi. (Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)

Page 11: BAB I

11

II.8.2. Penatalaksanaan farmakologis

Selain cara pengobatan non farmakologis, penatalaksanaan dengan

obat merupakan hal yang utama. Sejarah pengobatan hipertensi belum lama,

baru dimulai sejak tahun 1950 an. Sebelum tahun tersebut tidak terdapat

pengobatan farmakologis terhadap hipertensi. Dalam perkembangannya,

komplikasi akibat hipertensi seperti payah jantung, perdarahan otak, infark

miokard sering dijumpai dan banyak menimbulkan kesulitan. Penderita

hipertensi maligna hanya dapat hidup untuk 1-2 tahun sebelum terjadi

komplikasi perdarahan otak atau gagal ginjal. Dengan kenyataan tersebut,

mulailah dikembangkan pengobatan farmakologis untuk hipertensi.

Pengobatan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, sebagai berikut :

1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan

kausal.

2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan

darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi

timbulnya komplikasi.

3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat

anti hipertensi.

4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan

kemungkinan seumur hidup.

5. Pengobatan dengan menggunakan standard triple therapy (STT)

menjadi dasar pengobatan hipertensi.

Skema pengobatan STT terdiri dari diuretik, betabloker, atau

golongan penghambat simpatetik, dan vasodilator. Untuk tahap pertama

pengobatan dilakukan dengan diuretik atau betabloker saja. Pemilihan obat

tergantung dari masing-masing dokter dengan memperhatikan kontra indikasi

penggunaan obat tersebut. Diuretik merupakan pilihan pertama karena murah,

pemakaiannya sederhana, cukup efektif dan mudah dikombinasi dengan obat

lain. Betabloker merupakan alternatif lain pada tahap pertama bahkan

beberapa sarjana memilik betabloker untuk pengobatan tahap pertama. Jika

dengan pengobatan langkah pertama tidak berhasil, diberikan obat tahap

kedua, betabloker atau golongan peghambat simpatetik bila terdapat kontra

indikasi penggunaan betabloker. Apabila pada tahap pertamadigunakan

betabloker, maka tahap kedua dapat ditambahkan diuretik, dan kalau dengan

Page 12: BAB I

12

pengobatan tersebut tekanan darah belum terkontrol, dapat dikombinasi

dengan vasodilator.

(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)

Apabila dengan pengobatan langkah ketiga tersebut belum berhasil

dapat ditambahkan obat golongan guanetidin monosulfat yang dimasukkan ke

dalam obat langkah keempat. Apabila tekanan darah telah turun dan dosis

anti hipertensi stabil dalam waktu 6-12 bulan, dosis obat dapat dicoba

diturunkan (step down) dengan pengawasan ketat, dan tidak dihentikkan

dengan segera. Di dalam klinik hal ini jarang sekali ditemukan dan hampir

seluruh penderita memerlukan pengobatan terus menerus bahkan seumur

hidup.

Telah diuraikan sebelumnya, bahwa dengan menurunkan tekanan

darah, angka mortalitas dan morbiditas dapat dikurangi, sehingga upaya

untuk menemukan obat anti hipertensi yang memenuhi harapan terus

dikembangkan. Di indonesia, banyak seklai beredar obat anti hipertensi yang

mempunyai sifat farmakologis yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk

dapat menentukan pilihan obat yang tepat diperlukan pengetahuan tentang

farmokologi masing-masing jenis obat tersebut. Secara garis besar, terdapat

beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan obat antihipertensi,

yaitu :

1. Mempunyai efektivitas yang tinggi.

2. Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau

minimal.

3. Memungkinkan penggunana obat secara oral.

4. Tidak menimbulkan intoleransi.

5. Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh penderita.

6. Memungkinkan penggunaan dalam jangka panjang.

Oleh karena faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan

tekanan darah pada hipertensi esensial sangat luas, obat anti hipertensi yang

dikembangkan tentu saja berdasarkan pengetahuan patofisiologi tersebut.

Obat-obat golongan diuretik, betabloker, antagonis kalsium dan

penghambat konversi enzim angiotensin, merupakan anti hipertensi yang

sering digunakan pada pengobatan.

1) Diuretik

Page 13: BAB I

13

Diuretik mempunyai efek anti hipertensi dengan cara

menurunkan volume ekstraseluler dan plasma, sehingga terjadi

penurunan curah jantung.

Tiazid bekerja menghambat reabsorbsi natrium di segmen kortikal

ascending limb, loop Henle dan pada bagian awal tubulus distal. Jenis

lain golongan tiazid, yaitu klortalidon mempunyai cara kerja yang

sama, hanya masa kerjanya yang lebih lama.

Hidroklorotiazid merupakan jenis yang sering dipakai dalam

pengobatan hipertensi dan pada pemberian oral obat ini mulai bekerja

setelah 1 jam dan mempunyai masa kerja selama 8-12 jam. Dosis

yang sering dipakai adalah 25-50 mg, 1-2 kali per hari. Jarang

digunakan dosis yang lebih tinggi karena tidak akan meghasilkan efek

yang lebih baik. Apabila diharapkan efek jangka panjang dapat

digunakan klortalidon yang dapat diberikan dengan dosis 25-100 mg

per hari. Efek anti hipertensi obat ini tidak mutlak karena efek

hipovolemia, akan tetapi pada pemberian jangka panjang akan

menurunkan tahanan perifer.

Efek samping yang sering dijumpai adalah hipokalemia,

hiponatremia, hiperurisemia dan gangguan lain seperti kelemahan oto,

muntah, dan pusing. Hipokalemia merupakan efek samping yang

banyak dijumpai dan hipokalemia diketahui meningkatkan faktor

risiko aritmia jantung. Efek samping yang tidak ada hubungannya

dengan efek diuretiknya adalah kemerahan kulit, leukopenia,

trombositopenia, dan hiperglikemua. Mengingat berbagai efek

samping yang membahayakan, pada masa sekarang terdapat

kecenderungan menggunakan diuretik dengan dosis yang rendah

disertai dengan pengurangan asupan garam. Penggunaan diuretik pada

orangtua, meurut beberapa ahli lebih banyak efek samping

dibandingkan efektivitasnya.

(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)

2) Golongan penghambat simpatetik

Penghambatan aktivitas simpatis dapat terjadi pada pusat

vasomotor otak seperti metildropa dan klonidin atau pada akhir saraf

perifer, seperti golongan reserpin dan guanetidin.

Page 14: BAB I

14

Metildropa mempunyai efek anti hipertensi dengan

menurunkan tonus simpatis secara sentral. Mekanisme kerja yang lain

dengan cara mengganti norepinefrin di saraf perifer dengan metabolit

metildopa yang kurang poten. Efek hipotensinya lambat dan baru

mencapai puncaknya pada hari ke 2-4. Dosis yang biasanya dipakai

adalah 250 mg, 2-3 kali per hari dan apabila diperlukan dapat

dinaikkan sampai dosis maksimal 2000 mg per hari.

Efek samping dapat berupa anemia hemolitik, gangguan faal

hati dan kadang-kdang dapat timbul hepatitis kronik. Kelainan

hematologik daat berupa leukopenia dan pemeriksaan Coombs test

positif pada 20% kasus. Keuntungan obat ini dapat diberikan pada

kehamilan tanpa banyak menimbulkan efek samping. (Soeparman.,

Waspadji Sarwono, 1996)

3) Betabloker

Betabloker pertama kali dikemukakan oleh Ahlquist pada

tahun 1948 dan Pichard pada tahun 1963, serta dibuktikan mempunyai

efek anti hipertensi. Obat golongan ini banyak dipakai dalam

pengobatan hipertensi, bahkan di beberapa negara, merupakan saingan

anti hipertensi tahap pertama.

Mekanisme kerja anti hipertensi obat ini adalah melalui penurunan

curah jantung dan efek penekanan sekresi renin. Di indonesia, banyak

beredar obat golongan ini, dan seara garis besar dibedakan menjadi 2

jenis yaitu :

1. Yang menghambat reseptor beta 1

2. Yang menghambat reseptor beta 1 dan 2

Betabloker yang kardioselektif, berarti hanya menghambat

reseptor beta 1 saja. Akan tetapi, dengan dosis tinggi, reseptro beta 2

dapat pula dihambat sehingga betabloker tidak dianjurkan pada

penderita, yang telah diketahui mengidap gangguan pernafasan,

seperti asma bronkial.

Oleh karena mekanisme anti hipertensi betabloker melalui sistem

renin angiotensin, maka keadaan renin penderita dpaat dipakai sebagai

Page 15: BAB I

15

prediktor respons anti hipertensinya. Akan tetapi dari segi praktis

pengobatan, tidak perlu menunggu kadar renin plasma lebih dahulu.

Berdasarkan kelarutannya dalam air dan lemak, betabloker

dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu :

1. Golongan yang larut dalam lemak seperti asebutolol, alprenolol,

metoprolol, oksprenolol, pindolol, propranolol, dan timolol.

Golongan ini mempunyai waktu paruh yang relatif pendek yaitu 2-

6 jam, akan tetapi apabila diberikan dengan dosis yang tinggi, obat

ini dapat digunakan sebagai anti hipertensi dengan dosis harian

tunggal.

2. Golongan ini lebih larut dalam air dan dieliminasi melalui ginjal.

Golongan ini mempunyai waktu paruh yang lebih panjang yaitu 6-

24 jam, sehingga dapat diberikan satu kali per hari. Yang

termasuk golongan ni adalah atenolol, nadolol, praktolol, dan

sotalol.

Efek samping yang timbul lebih banyak disebabkan karena

efel blokade terhadap reseptor beta dan tidak berhubungan dengan

dosis. Betabloker mempunyai indikasi kontra pada penderita asma

bronkial, payah jantung, blok atrioventrikular. Pada penderita diabetes

melitus harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia.

Pada orangtua, terdapat kecenderungan bronkospasme dengan

betabloker, sehingga harus berhati-hati.

Efek samping bradikardia dapat diperkecil apabila dipilih obat

yang mengandung intrinsic sympathomimetic activity (ISA).

Betabloker yang mengandung ISA, misalnya pindolol, menurunkan

tekanan darah dengan megurangi tahanan perifer karena efek

vasodilatasi tanpa mempengaruhi curah jantung.

(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)

4) Vasodilator

Yang termasuk golongan ini adalah prasosin, hidralasin,

minoksidil, diazoksid dan sodium nitroprusid. Obat golongan ini

bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos

Page 16: BAB I

16

dan akan mengakibatkan penurunan resistensi vaskular. Prasosin,

minoksidil, dan diasoksid bekerja pada arteriol, sehingga penurunan

resistensi vaskular akan diikuti oleh aktivitas simpatis dan akan timbul

takikardia dan peninggian kontraktilitas otot miokard dengan hasil

meningkatnya curah jantung.

Sodium nitroprusid selain bekerja pada arteriol juga bekerja pada vena

sehingga efek samping yang timbul adalah hipotensi ortostatik akibat

penumpukan darah pada vena.

Dengan pemberian oral, dosis hidralasin sebanyak 10-25 mg

per hari yang dapat dinaikkan tiap kali dengan 10-25 mg sampa

tercapai penuruan tekanan darah yang diinginkan. Doss maksimal

adalah 2000 mg diberikan secara terbagi. Dengan pemebrian oral,

absorbsi sangat baik dan efek anti hipertensinya tampak setelah 1 jam.

Obat ini dimetabolisme di hati, waktu paruhnya 3-4 jam. Pemberian

intravea biasanya dengan dosis 10-20 mg dan bila diperlukan dapat

dinaikkan mencapai dosis 40 mg. Efek vasodilatasi pada tahanan

perifer, portal hepatik, dan aliran pembuluh koroner lebih besar bila

dibandingkan efek vasodilatasi pada otak, otot dan kulit.

Dahulu obat ini merupakan obat pilihan pada hipertensi

dengan kehamilan karena diketahui dapat meningkatkan perfusi gijal

dan serebral, dan tidak menggangg janin. Untuk hipertensi pada

kehamilan dosis yang dipakai adalah 3 kali 10 mg, dan bila dengan

hidralasin tidak ada efeknya, dapat diganti dengan metildopa.

(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)

5) Penghambat ensim konversi angiotensin

Obat golongan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan

tentang pengaruh sistem renin angiotensin pada hipertensi esensial.

Ensim konversi angiotensisn, mengubah angiotensin I menjadi

angiotensin II yang aktif dan mempunyai efek vasokontriksi

pembuluh darah. Penyelidikan dilakukan untuk mendapatkan pbat

yang dapat menghambat angiotensin II. Saralasin adalah analog

dengan oktapeptid angiotensin II, mempunyai efek anti hipertensi

akan tetapi efek kerja pendek. Perhatian lebih ditujukan pada

Page 17: BAB I

17

kaptopril dan enalapril. Enalapril menurunkan tekanan darah, baik

pada normotensi maupun hipertensi, dnegan watktu kerja yang lama,

sedangkan potensinya sama dengan kaptorpil.

Kaptopril dapat diberikan oral dengan penurunan tekanan

darah yang terjadi akibat efek penghambatan ensim konversi

angiotensin, sehingga terjadi penurunan kadar angotensin II, yang

mengakibatkan penurunan aldosteron dan terjaadi dilatasi arteriol.

Selain itu obat ini membantu degradasi bardikinin, sehingga terjadi

akumulasi bradikinin yang merupakan vasodilator kuat yang akan

membantu efek anti hipertensi.

Pada hipertensi ringan dan sedang, dapat diberikan dengan

dosis rendah, mulai 12,5 mg, 1-2 kali per hari yang dapat dinaikkan

setela 1-2 minggu. Pada tahap tertentu penambahan dosis tidak diikuti

oleh penurunan tekanan darah yang vertambah. Dosis yang biasanya

adalah 50-150 mg, per hari. Penggunaan dosis yang lebih tinggi dari

150 mg, padapenderita dengan kreatinin serum yang melebihi 1,5 mg

%, perlu berhati-hati.

Efek samping yang timbul berupa kemerahan kulit, gangguan

pengecap, agranulositosis, proteinuria dan gagal ginjal. Sidabutar R.P.

dalam penelitiannya mendapatkan kemerahan kulit, pada 11,65%

kasus yang diobati dengan kaptopril.

(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)

6) Antagonis kalsium

Hubungan antara kalium dengan sistem kardiovaskular telah

lama diketahui. Aktivitas kontraksi otot polos pembuluh darah, siatur

oleh kadar ion kalsium (Ca2+) intra selular bebas, yang sebagian besar

berasal dari ekstra selular dan pertukarannya melalui saluran kalsium

(calcium channels). Peningkatan kontraktilitas otot jantung akan

mngakibatkan peningkatan curah jantung. Hormon presor seperti

angiotensin, juga akan meingkat efeknya oleh pengaruh kalsium.

Keadaan tersebut semuanya berpengaruh terhadap peningkatan

tekanan darah.

Page 18: BAB I

18

Antagonis kalsium menghambat perpindahan kalsium melalui

saluran kalsium, menghambat pengeluaran kalsium dari pemecahan

retikulum sarkoplasma, dan pengikatan kalsium pada otot polos

pembuluh darah. Golongan obat ini menurunkan curah jantung

dengan cara menghambat kontraktlitas dan dengan menggunakan

antagonis kalsium seperti nifedin, diltiasem atau verapamil,

diharapkan tekanan darah dapat turun. Efek kerja obat tergantung dari

dosis yang diberikan.

Sidabutar R.P. dan kawan-kawan pada penyelidikannya

dengan menggunakan diltiasem, dosis 3 kali 30 mg, pada pengobatan

hipertensi ringan mendapatkan hasil yang baik dan tidak dijumpai

efek samping yang berarti.

Verapamil mempunyai efek pada jantung dan vaskular yang

berupa efek anti hipertensi yang sedang, pada penggunaan akut

maupun jangka panjang. Kombinasi dengan diuretik akan

meningkatkan efek anti hipertensinya. Verapamil tidak dianjurkan

untuk kombinasikan dengan betabloker karena dapat timbul

bradikardia dan gangguan atrioventrikular.

(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)

Tabel.2. Obat-obat Anti Hipertensi

ObatMekanis

me KerjaKisaran Dosis

Rut

eLama Efek Samping

Vasodilator

Hidralazin Relaksasi

otot polos

arteriolar

0,4-0,8

mg/kg/dosis

0,5-2 mg/kg

dan naik

sampai

maksimum 200

mg/24 jam

IV

PO

2-4 jam

6-8 jam

Takikardia,

nausea

Lupus akibat

otot

Diazoksid Relaksasi

otot polos

2,5

mg/kg/dosis,

maksimum 100

IV 6-24

jam

Takikardia,

hipotensi,

Page 19: BAB I

19

mg hiperglikemia

Nitroprusid Dilatasi

arteriole

dan venule

0,5-8,0μg/kg/

men

IV Dengan

infus

Produksi

tiosianat,

jarang

hipotiroidisme

Minoksidil Dilatasi

arterioler

0,2-1,0

mg/kg/24 jam,

maksimum 50

mg/24 jam

PO 12-24

jam

Hipertrikosis,

retensi cairan

Blokade Adrenik

Fentolamin Blokade

reseptor –

α

0,1

mg/kg/dosis,

maksimum 5

mg

IV 1 jam Takikardia

refleks

Fenoksibenzamin Blokade

reseptor –

α

2,5 mg/24 jam PO 6-12

jam

Takikardia

yang dapat

menjelek

menjadi

aritmia

Prazosin Blokade

reseptor –

α

Dosis inisial 1

mg, dapat naik

sampai 15

mg/24 jam

PO 8-12

jam

Hipotensi

orthostatik

dosis-pertama

Propanolol Blokade

reseptor –

β

Menguran

gi

pelepasan

renin

0,025-0,1

mg/kg/dosis

0,25-1,0

mg/kg/dosis

IV

PO

6-8 jam Bronkospasme

, bradikardia,

mimpi-mimpi

bersemangat

Labetalol Blokade

α-β

Titrasi 0,2-2

mg/kg/jam

(didasarkan

pada dosis

IV Dengan

infus

Page 20: BAB I

20

dewasa)

100-400 mg

(dewasa) PO 12 jam

Agen Simpatotik

α-Metildopa Menguran

gi tonus

simpatis

10 mg/kg/24

jam dan

bertambah

PO 6-8 jam Sedasi,

disfungi hati,

reaksi Coomb

positif

Klonidin Agonis 2-

α pada

SSS

3-5 μg/kg/dosis PO 6-8 jam Sedasi,

konstipasi,

rebound

penghentian,

hipertensi

Renin-

angiotensin

Kaptopril Penghamb

at

pengubah

enzim

sintesis

angiotensi

n II

0,1-0,3

mg/kg/dosis

dan menambah

sampai

maksimum 2

mg/kg/dosis

PO 8 jam Proteinuria,

neutropenia,

ruam,

disgeusia

(perubahan

kecap yang

tidak normal)

Enalaprilat Sama

seperti

kaptopril

0,005-0,010

mg/kg/dosis

IV Hipotensi

sementara

Enalapril Sama

seperti

kaptopril

Tidak

ditentukan

PO 12-24

jam

Hipotensi

Saluran Kalsium

Nifedipin Penyekat

saluran

kalsium

0,2-0,5 mg/kg,

maksimum 10-

20 mg

PO Ulangi

q 30-60

menit

Muka merah,

takikardia

Veramil Penyekat

saluran

120-240 mg Sub 12-24 Pengalaman

pediatri

Page 21: BAB I

21

kalsium (dewasa) jam terbatas

Obat-obat

diuretik

Hidroklorotiazid Diuresis 1-2 mg/kg/24

jam

PO 12-24

jam

Furosemid Diuresis 1 mg/kg/dosis

2 mg/kg/dosis

IV 4-6 jam

4-6 jam

Hipokalemia,

hipernatremia,

hiperkalsemia

Hipokalemia,

alkalosis

II.9. PENATALAKSANAAN DIET

· Tujuan Akhir

a. Menurunkan resiko

b. Meminimalkan kebutuhan akan obat untuk mengontrol tekanan darah

c. Mencapai dan menjaga status gizi baik.

· Tujuan Diet

a. Menurunkan tekanan darah (diastole) ≤ 90 mmHg

b. Menghilangkan retensi garam atau air dalam jaringan tubuh

c. Mencapai dan menjaga BB dengan IMT 18.5 – 25.

· Syarat Diet

Menerapkan diet garam rendah, yaitu sebagai berikut:

a. Cukup energi, protein, mineral dan vitamin

b. Komsumsi karbohidrat kompleks

c. Bentuk makanan sesuai dengan keadaan penyakit

d. Jumlah konsumsi natrium disesuaikan dengan berat tidaknya

hipertensi

e. Hindari bahan makanan yang tinggi natrium

f. Konsumsi bahan makanan yang mengandung tinggi kalium, tinggi

serat. (Almatsier, Sunita, 2004)

· Jenis Diet

Page 22: BAB I

22

1. Diet Garam Rendah I (200-400 mg Na)

Diberikan pada pasien dengan edema, asites, dan atau hipertensi berat.

Tidak ditambahkan garam dapur dalam pengolahan makanannya. Hindari

juga bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.

2. Diet Garam Rendah II (600-800 mg Na)

Diberikan pada pasien dengan edema, asites, dan atau hipertensi tidak

terlalu berat. Boleh menggunakan . sdt (2 gr) garam dapur dalam

pengolahan makanannya. Hindari juga bahan makanan yang tinggi kadar

natriumnya.

3. Diet Garam Rendah III (1000-1200 mg Na)

Diberikan pada pasien dengan edema, asites, dan atau hipertensi ringan.

Boleh menggunakan 1 sdt (4 gr) garam dapur dalam pengolahan

makanannya.

Bahan Makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan sebagai berikut :

Dianjurkan : bahan makanan yang tidak menggunakan garam dapur,

soda, atau baking powder dalam pengolahannya. Bahan makanan segar

tanpa diawetkan, daging dan ikan maksimal 100 gr sehari, dan untuk

telur 1 butir sehari.

Dihindari : bahan makanan yang diolah dengan garam dapur, soda,

baking powder, asinan, dan bahan makanan yang diawetkan dengan

natrium benzoat, soft drinks, margarin dan mentega biasa, bumbu yang

mengandung garam dapur (kecap, terasi, tomato ketchup, tauco, dan lain

sebagainya).

(Almatsier, Sunita, 2004)

· Contoh Menu

Pagi

a. Nasi

b. Telor Mata Sapi

c. Tumis Garlic Caisim

d. Soup Tahu Seledri

Pukul 10.00

Page 23: BAB I

23

Bubur Kacang Hijau

Siang

a. Nasi

b. Tim kembung jahe

c. Sayur bayam jagung manis

d. Tempe Orek

e. Pisang

Snack 16.00

Jus jeruk

Malam

a. Nasi

b. Ayam Goreng

c. Tahu Pepes

d. Pepaya

II.10. Pencegahan

Sesuai dengan prinsip pencegahan penyakit secara umum, maka

tingkat pencegahan secara umum selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut :

1) Pencegahan Primary

Ditujukkan untuk pencegahan hipertensi pada individu yang

mempunyai resiko besar untuk terjadinya hipertensi dikemudian hari,

maka sebagai usaha yang dilakukan pada tingkat primer adalah

menerapkan perilaku hidup sehat. Pencegahan primary meliputi :

a. Primodial

Pencegahan primordial pada penderita hipertensi dilakukan

dengan cara mengubah kebiasaan-kebiasaan atau perlaku-perilaku

hidup agar tidak mempunyai gaya hidup yang dapat meningkatkan

resiko terkena hipertensi.

b. Promosi

Pencegahan promosi dapat dilakukan dengan cara memberikan

penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat atau membuat iklan-iklan

tentang bahaya hipertensi serta cara-cara pencegahannya.

c. Preventif

Page 24: BAB I

24

Pencegahan ini dapat dilakukan dengan melakukan gaya hidup

yang sehat dan menghindari kebiasaan-kebiasaan yang dapat

menyebabkan hipertensi serta membiasakan diri untuk berolahraga.

2) Pencegahan Sekundary

Dilakukan terhadap individu yang telah diketahui menderita

hipertensi. Dilakukan secara menyeluruh terhadap penderita hipertensi

baik dengan obat-obatan maupun tindakan-tindakan seperti yang

dilakukan pada pencegahan sekunder ini timbul, dengan cara

mengendalikan tekanan darah agar tetap terkontrol dan stabil.

3) Pencegahan Tertiary

Pencegahan tersier pada tahap rehabilitasi yaitu suatu usaha

untuk mengembalikan fungsi organ yang rusak akibat hipertensi.

Demikian diharapkan agar tubuh yang terkena komplikasi tersebut

diusahakan semaksimal sehingga ketergantungan akibat hipertensi dapat

dikurangi.

Adapun upaya pencegahan lain yang muda dimengerti dan

dilaksanakan antara lain :

a. Mengurangi konsumsi garam

b. Menghindari kegemukan (obesitas)

c. Membatasi konsumsi lemak

d. Olahraga teratur

e. Makan banyak buah da sayuran segar

f. Tidak merokok dan tidak minum alkohol

g. Latihan relaksasi

h. Berusaha membina hidup yang positif.

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Page 25: BAB I

25

1. Hipertensi adalah tekanan darah arterial yang tetap tinggi; dapat tidak

memiliki sebab yang diketahui (essential, idiopathic, atau primary ) atau

berkaitan dengan penyakit lain (secondary).

2. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami

peningkatan tekanan darah di atas normal yang mengakibatkan

peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian

(mortalitas). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko hipertensi

yaitu jenis kelamin, obesitas, hiperkolestrol, gangguan ginjal dan riwayat

keluarga penderita.

3. Pencegahan hipertensi dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu

pencegahan primary, pencegahan sekundary dan pencegahan tertiary.

Pengobatannya dapat dilakukan dengan non farmakologi dan

farmokologi.

III.2 SARAN

1. Untuk mencegah jatuhnya seseorang kepada krisis hipertensi, maka

faktor resiko haruslah dihindari, terutama dalam hal kepatuhan minum

obat. Edukasi dari dokter kepada pasien hipertensi sangatlah penting

terutama mengenai komplikasi dan pengaturan pola akan serta gaya

hidup yang sehat..

2. Setelah umur 30 tahun, periksa tekanan darah setiap tahun.

3. Jangan merokok atau minum alkohol.

4. Kurangi berat badan bila berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta. Gramedia. 2004

Page 26: BAB I

26

Arvin., Kliegman., Behrman. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2.

Jakarta. EGC.2000.

Bustan, MN. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta. 2007

Dorland,W.A.N. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta. EGC. 2010

Jeff S. Healey, M.D., Stuart J. Connolly, M.D., Januari 12,2012. N Engl J Med 2012.

Subclinical Atrial Fibrillation and the Risk of Stroke (on line). The New

England Journal of Medicine. Diakses 17 Maret 2012.

Kusmana, Dede. Pentingnya Olahraga Tehadap Kesehatan. Jakarta. FKUI. 1997

Price Sylvia A., Wilson Lorraine M. Patofiologi: Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit Volume 1. Jakarta. EGC. 2005.

Soeparman., Waspadji Sarwono. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta. FKUI. 1996.

Stump, Kathleen Mahan, Sylvia Escoot. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy.

9th edition. W. B. Saunders Company. 1996

Sudoyo Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid III.

Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.

Sudoyo Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid II. Jakarta.

Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007.