BAB I
-
Upload
aiiu-lonelyy -
Category
Documents
-
view
218 -
download
4
description
Transcript of BAB I
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Hipertensi dikenal sebagai salah satu penyebab utama kematian di
Amerika Serikat. Sekitar seperempat jumlah penduduk dewasa menderita
hipertensi, dan insidensinya lebih tinggi di kalangan Afro-Amerika setelah
usia remaja. Penderita hipertensi tidak hanya berisiko tinggi menderita
penyakit lain seperti penyakit saraf, ginjal, dan pembuluh darah. Makin tinggi
tekanan darah, makin besar risikonya. (Price Sylvia A., Wilson Lorraine M,
2005).
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-
10% sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi
sekitar 14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai
penyebab penyakit jantung di Indonesia. (Sudoyo Aru W., dkk, 2007)
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik
sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Istilah
tradisional tentang hipertensi “ringan” dan “sedang” gagal menjelaskan
pengaruh utama tekanan darah tinggi pada penyakit kardiovaskular. Sehingga
The joint National Committe on Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure membuat suatu klasifikasi baru. (Price Sylvia A.,
Wilson Lorraine M, 2005)
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi
mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna. Bila terdapat gejala maka biasanya bersifat non spesifik, misalnya
sakit kepala atau pusing. Apabila hipertensi tetap tidak diketahui dan tidak
dirawat, mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium,
stroke, atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan perawatan hipertensi yang
efektif dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas. Dengan
demikian, pemeriksaan tekaan darah secara teratur mempunyai arti penting
dalam perawatan hipertensi. (Price Sylvia A., Wilson Lorraine M, 2005)
2
I.2 TUJUAN
I.2.1 Tujuan umum
1. Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengelolaan terkini hipertensi.
2. Diajukan untuk kegiatan belajar mandiri dan sebagai syarat
mengikuti Ujian Akhir Blok (UAB).
I.2.2 Tujuan khusus
Mengetahui tentang definisi hipertensi, etiologi, klasifikasi tekanan
darah, faktor yang mempengaruhi risiko hipertensi, patogenesis,
keluhan dan gejala, komplikasi, pengelolaan terkini hipertensi,
penatalaksanaan diet, dan pencegahan.
I.3 MANFAAT
I.3.1 Manfaat bagi diri penulis
Penulis lebih mendalami tentang pengelolaan terkini hipertensi.
I.3.2 Manfaat bagi mahasiswa lain
Memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas tentang
pengelolaan terkini hipertensi.
I.3.3 Manfaat bagi institusi
Menambah bahan pustaka.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah arterial yang tetap tinggi, dapat tidak
memiliki sebab yang diketahui (essential, idiopathic, atau primary) atau
berkaitan dengan penyakit lain (secondary). (Dorland,W.A.N, 2010)
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik
sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. (Price
Sylvia A., Wilson Lorraine M, 2005)
Menurut Wardoyo (1980:41) memberikan definisi bahwa pengelolaan
adalah suatu rangkaian kegiatan yang berintikan perencanaan,
pengorganisasian, pengerakan dan pengawasan dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya .
Jadi pengelolaan terkini hipertensi dilakukan untuk mengurangi
dampaknya hipertensi terhadap kesehatan manusia dan dilakukan untuk
memulihkan kesehatan manusia. (Bustan, MN, 2007)
II.2. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan
sebagai berikut :
1. Hipertensi Esensial (Hipertensi Primer)
Adalah hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui. Terjadi pada sekitar
90% penderita hipertensi.
2. Hipertensi Sekunder
Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit
ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau
pemakaian obat tertentu. (Arvin., Kliegman., Behrman, 2000)
4
II.3. Klasifikasi Tekanan Darah
The joint National Committe on Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure membuat suatu klasifikasi baru. Klasifikasi tekanan
darah untuk dewasa usia 18 tahun atau lebih sebagai berikut :
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <130 <85
Normal Tinggi 130-139 85-89
Hipertensi
Tingkat 1 (ringan) 140-159 90-99
Tingkat 2 (sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (berat) >180 >110
Tabel.1. Klasifikasi Tekanan Darah
(Price Sylvia A., Wilson Lorraine M, 2005)
II.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Hipertensi
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi risiko hipertensi sebagai berikut :
1) Jenis Kelamin
Jenis kelamin dalam hubungannya dengan sifat keterpaparan dalam
tingkat kerentangan perenan sendiri dan harus selalu diperhitungkan pada
peristiwa penyakit tertentu. Bia dijumpai pada perbedaan atas penyakit
menurut jenis kelamin apakah karena faktor kebiasaan hidup saja. Pria
pada umumnya lebih mudah terserang hipertensi dibandingkan dengan
wanita. Hal itu mungkin disebabkan kaum pria lebih banyak mempunyai
faktor yang mendorong terjadinya hipertensi seperti stress, kelelahan,
makan tidak terkontrol, dan lain-lain. Sementara risiko wanita akan
mengalami kenaikan setelah mengalami masa menopause (45 tahun).
2) Obesitas
Obesitas adalah keadaan dimana terjadi penumpukan lemak
didalam tubuh, sehingga Body Mass Indeks atau Indeks Masa Tubuh
(IMT) ³ 25 kg/m² dan dapat diapresiasikan dengan perbandingan berat
badan serta tinggi badan yang berlebihan, dimana rumus yang digunakan
yaitu IMT = BB/(TB)². Seseorang dikatakan obesitas bila nilai IMT ³ 25,0
kg/m². Orang gemuk lebih sering menderita hipertensi dari pada orang
5
normal. Bagaimana kegemukan menimbulkan hipertensi belum jelas
benar. Ada bermacam teori yang berusaha menjelaskannya, tapi penurunan
berat badan jelas menurunkan tekanan darah, penurunan ini tentunya
dilakukan dengan mengurangi masukan makanan / kalori, dan olahraga
(mengeluarkan energi/kalori). Sebaiknya tidak memakai obat-obatan,
karena obat yang dapat membuat kurus badan pada umumnya adalah obat
perangsang yang akan menaikkan tekanan darah. Penyebab obesitas ada
yang bersifat exofagus, yaitu konsumsi energi yang berlebihan dan
penyebab endogenous yang berarti adanya gangguan metabolik didalam
tubuh, misalnya adanya tumor pada hipotalamus sehingga penderita
mengalami hiperphagia atau nafsu makan berlebihan. Obesitas diduga ikut
menjadi penyebeb hipertensi, jantung koroner, diabetes melitus, dan
penyakit pernafasan. Selain itu penderita obesitas sering mengalami
gangguan emosional. (Price Sylvia A., Wilson Lorraine M, 2005).
3) Hiperkolestrol
Tekanan darah yang meninggi antara lain akibat adanya
penyempitan pembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah erat
kaitannya dengan kebiasaan makan enak. Makanan enak berkalori tinggi,
umumnya juga mengandung kadar kolesterol yang tinggi pula. Kadar
lemak yang tinggi di dalam menu sehari-hari akan berakibat meningkatkan
tekanan darah. Kita dianjurkan untuk mengkonsumsi lemak kurang dari
30% total kalori. Tetapi lebih penting dari itu ialah kita harus membatasi
lemak jenuh yang banyak terkandung dalam minyak kelapa. Apabila ada
pilihan sebaiknya gunakan minyak jagung atau minyak sayur yang
kandungan lemak jenuhnya lebih rendah, selain itu dianjurkan untuk
mengurangi konsumsi makanan yang kaya akan kandungan asam lemak
jenuh dan kolesterol tinggi, serta memperbanyak konsumsi sayuran, ikan,
polong-polongan dan kacang-kacangan sebagai sumber asam lemak tak
jenuh. Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol darah
tidak terlalu tinggi. Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat
mengakibatkan terjadinya endapan kolesterol didalam dinding pembuluh
darah. Lama-kelamaan, jika endapan kolesterol bertambah akan
menyumbat pembuluh nadi dan mengganggu peredaran darah. Dengan
6
demikian, akan memperberat kerja jantung dan secara tidak langsung
memperparah hipertensi. (Sudoyo Aru W., dkk, 2007)
4) Gangguan Ginjal
Gangguan ginjal adalah terjadinya penurunan fungsi ginjal dalam
membersihkan darah dari bahaya-bahaya racun yang menyebabkan
penimbunan limbah metabolik didalam darah. Fungsi utama ginjal ialah
mengatur keseimbangan cairan tubuh dan takanan darah, memproses
sekitar 200 liter darah setiap hari, dan membuang zat-zat yang sudah tidak
dibutuhkan lagi oleh tubuh dalam bentuk urine. Selain itu fungsi lain dari
ginjal ialah membersihkan obat-obatan dan toksin dalam tubuh,
mengeluarkan hormon, dan menguatkan tulang-tulang badan.
Gangguan pada ginjal dapat berupa Gangguan Ginjal Akut (GGA)
maupun Gangguan Ginjal Kronik (GGK). Pada GGA terjadi penurunan
fungsi ginjal secara cepat, sebaliknya penurunan ginjal secara perlahan
atau bertahap disebut GGK. Gangguan fungsi ginjal baru terlihat secara
nyata setelah lebih dari setengah bagian ginjal mengalami kerusakan.
Adanya gangguan fungsi ginjal dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan air dan elektrolit, yang akibatnya dapat menimbulkan
gangguan pada pengaturan tekanan darah jangka panjang. Hipertensi
berkaitan erat dengan ginjal. Ginjal berperan pada pengaturan tekanan
darah dan salah satu komplikasi hipertensi adalah terjadinya gangguan
pada ginjal. Adanya hipertensi dapat menyebabkan pembuluh darah pada
ginjal mengkerut, sehingga aliran nutrisi ke ginjal terganggu dan akibatnya
sel-sel pada ginjal akan rusak. Pada akhirnya akan terjadi gangguan fungsi
ginjal, sebaliknya adanya kelainan tertentu pada ginjal dapat menyebabkan
hipertensi, misalnya penyempitan pembuluh arteri di ginjal.
Gejala-gejala yang sering muncul pada penderita ginjal :
a. Tidak bisa bersemangat dan selalu merasa lelah.
b. Perhatian menurun, nafsu makan berkurang, gangguan tidur.
c. Kejang atau kram pada malam hari.
d. Bengkak pada bagian kaki dan tumit.
e. Sekitar mata bengkak, khusus pada pagi hari.
f. Kulit kering dan sering merasa gatal-gatal.
7
g. Banyak buang air kecil, khususnya pada malam hari.
5) Riwayat Keluarga
Manusia adalah makhluk yang sangat unik. Mereka berbeda satu
sama lain dalam ciri normal fisik, fisiologis dan mentalnya. Mereka juga
berbeda dalam kemungkinan menderita penyakit-penyakit tertentu atau
abnormalitas lain. Keanekaragaman ini sebagian disebabkan karena
perbedaan kondisi lingkungan tempat mereka hidup, tetapi
keanekaragaman ini tergantung juga pada perbedaan bawaan. Memang
kecuali kembar satu telur, sangat boleh jadi tidak ada dua individu yang
memiliki susunan genetis yang serupa. Pada umumnya disepakati bahwa
gen sebetulnya adalah bagian-bagian dari molekul deoxyribonucleic acid,
atau DNA. DNA adalah molekul yang kompleks dengan bentuk yang tidak
biasa, lebih menyerupai dua utas tali yang saling membelit. Cara molekul-
molekul yang lebih kecil tersusun dalam molekul raksasa, ini sebenarnya
merupakan sebuah kode yang mengandung intruksi untuk mengarahkan
sintesis protein, pada tingkat inilah terjadi pertumbuhan sifat-sifat tertentu.
Kode ini misalnya mengarahkan pembentukan protein yang memberi
warna iris mata dan dengan demikian menentukan warna mata, kode itu
juga mengarahkan pembentukan molekul hemoglobin sel dalam darah
merah. Hipertensi diketahui bersifat poligenik dan multifaktorial dan
berhubungan dengan riwayat keluarga yang hipertensi. Diketahui bahwa
faktor hereditas merupakan salah satu unsur yang penting dalam
redisposisi hipertensi, dimana ayah mempunyai konstribusi genetik lebih
kuat dibanding ibu. (Bustan, MN, 2007)
II. 5. Patogenesis
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung
menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang
ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik).
Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi
ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi
eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu
mekanisme Frank Straling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel
8
sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan kontraksi
miokard (penurunan atau gangguan fungsi sistolik). (Sudoyo Aru W., dkk,
2006)
Iskemia miokard 9asimtomatik, angina pektoris, infark jantung dll)
dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses ateosklerosis dengan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat dari HVK. HVK, iskemia
miokard dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan
miosit ada hipertensi.
Evaluasi pasien hipertensi atau penyakit jantung hipertensi ditujukan
untuk:
a. Meneliti kemungkinan hipertensi sekunder,
b. Menetapkan keadaan pra pengobatan,
c. Menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan atau faktor
yang akan berubah karena pengobatan,
d. Menetapkan kerusakan organ target, dan
e. Menetapkan faktor risiko PJK lainnya. (Sudoyo Aru W., dkk, 2006)
II.6. Keluhan dan Gejala
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien
tidak ada keluhan. Bila simtomatik, maka biasanya disebabkan oleh :
1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa
melayang (dizzy) dan impoten.
2. Penyakit jantung/hipertensi vaskular seperti cepat capek, sesak napas,
sakit dada, (iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau
perut. Gangguan vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria,
pandangan kabur karena perdarahan retina, transient serebral ischemic.
3. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder : polidipsia, poliuria, dan
kelemahan otot pada aldosteronisme primer, peningkatan BB dengan
emosiyang labil pada sindrom Cushing. Feokromositoma dapat muncul
dengan keluhan episode sakit kepala, palpitasi, banyak keringat dan rasa
melayang saat berdiri (postural dizzy). (Sudoyo Aru W., dkk, 2006)
II.7. Komplikasi
9
Organ tubuh sering terserang akibat hipertensi antara lain mata
berupa perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,
gagal jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak. (Sudoyo Aru W.,
dkk, 2007)
II.8. Pengelolaan Terkini Hipertensi
Telah dibuktikan oleh beberapa penyelidik, bahwa dengan
mengendalikan tekanan darah, angka mortalitas dan morbiditas dapat
diturunkan, oleh karena itu walaupun etiologinya belum dapat dibuktikan,
pengobatan hipertensi boleh dimulai. Yang masih menjadi masalah yaitu
menentukan saat dimulainya pengobatan. Hal ini penting karena pada
kenyataannya pengobatan hipertensi merupakan pengobatan seumur hidup.
(Arvin., Kliegman., Behrman, 2000)
Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis
penatalaksaan, yaitu :
1. Penatalaksanaan non farmakologis
2. Penatalaksanaan farmakologis
(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)
II.8.1. Penatalaksanaan non farmakologis
Menurut beberapa ahli, pengobatan cara ini sama pentingnya dengan
pengobatan farmakologis, dan mempunyai keuntungan lain, terutama pada
pengobatan hipertensi ringan. Pada hipertensi ringan, pengobatan non
farmakologis kadang-kadang dapat mengontrol tekanan darah, sehingga
pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan atau sekurang-kurangnya
ditunda. Sedangkan pada keadaan di mana obat anti hipertensi diperlukan,
pengobatan non farmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk
mendapatkan efek pengobatan yang lebih baik.
(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)
Di negara yang sedang berkembang, asupan garam per hari kira-kira
150-200 mmol. Dengan pengurangan garam sepertiganya, atau mendapat
asupan garam sebanyak 90-100 mmol per hari, dibuktikan cukup efektif
dalam menurunkan tekanan darah dan masih dapat diterima.
Pengurangan garam dalam makanan, mengakibatkan pengurangan
natrium, yang akan menyebabkan peningkatan asupan kalium, karena akan
10
dipilih makanan tertentu yang sudah diproses lebih dahulu, yang pada
umunya banyak mengandung kalium. Penambahan kalium, akan menurunkan
natrium intrasel, dengan aktivasi pompa Na-K-ATP (sodium poassium
adenosinetriphotase pump) dan akan mengurangi efek hipertensi akibat
asupan natrium yang banyak. Walaupun demikian, cara ini tidak dipakai
sebagai pengobatan, karena bahaya yang timbul akibat penambahan kalium
cukup besar. (Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)
Efek ion kalsium dan magnesium juga kurang meyakinkan
manfaatnya dalam pengobatan hipertensi, sehinga rekomendasi khusus
sebagai pengobatan hipertensi tidak dibuat. Pada beberapa penyelidikan,
didapatkan bahwa dengan diet rendah lemak jenuh, dapat mengurangi faktor
risiko penyakit kardiovaskular, waaupun efektivitas terhadap penurunan
tekanan darah belum terbukti. Olahraga yang teratur, dibuktikan dapat
menurunkan berat badan, sehngga dapat menurunkan tekanan darah. Yang
perlu diingatkan kepada penderita ialah bahwa olahraga saja tidak dapat
digunakan sebagai pengobatan hipertensi. (Soeparman., Waspadji Sarwono,
1996)
Pengobatan non farmakologis yang lain, yaitu menghindarkan faktor
risiko seperti merokok, minum alkohol, hiperlipidemia, dan stress. Merokok
dapat meningkatkan tekanan darah, walaupun beda beberapa survei
didapatkan pada kelompok perokok, tekanan darahnya lebih rendah daripada
kelompok yang tidak merokok. Alkohol diketahui dapat meningkatkan
tekanan darah, sehingga menghindari alkohol berarti menghindari
kemungkinan hipertensi.
Oleh karena diketahui bahwa aktivitas simpatetik susunan saraf pusat
dapat megakibatkan dan mempertahankan tekanan darah tetap meninggi pada
hipertensi esensial, maka bila respons susunan saraf pusat terhadap stres
dapat dimosifikasi, kemungkinan tekanan darah dapat diturunkan. Berbagai
cara untuk mendapatkan keaddan relaksasi seperti meditasi, yoga, atau
hipnosis dikatakan dapat mengontrol sistem saraf autonom degan
kemungkinan dapat pula menurunkan tekanan darah. Mengenai hal ini masih
diperlukan penyelidikan untuk membuktikan efektivitasnya dalam
pengobatan hipertensi. (Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)
11
II.8.2. Penatalaksanaan farmakologis
Selain cara pengobatan non farmakologis, penatalaksanaan dengan
obat merupakan hal yang utama. Sejarah pengobatan hipertensi belum lama,
baru dimulai sejak tahun 1950 an. Sebelum tahun tersebut tidak terdapat
pengobatan farmakologis terhadap hipertensi. Dalam perkembangannya,
komplikasi akibat hipertensi seperti payah jantung, perdarahan otak, infark
miokard sering dijumpai dan banyak menimbulkan kesulitan. Penderita
hipertensi maligna hanya dapat hidup untuk 1-2 tahun sebelum terjadi
komplikasi perdarahan otak atau gagal ginjal. Dengan kenyataan tersebut,
mulailah dikembangkan pengobatan farmakologis untuk hipertensi.
Pengobatan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, sebagai berikut :
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan
kausal.
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan
darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi
timbulnya komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
anti hipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
kemungkinan seumur hidup.
5. Pengobatan dengan menggunakan standard triple therapy (STT)
menjadi dasar pengobatan hipertensi.
Skema pengobatan STT terdiri dari diuretik, betabloker, atau
golongan penghambat simpatetik, dan vasodilator. Untuk tahap pertama
pengobatan dilakukan dengan diuretik atau betabloker saja. Pemilihan obat
tergantung dari masing-masing dokter dengan memperhatikan kontra indikasi
penggunaan obat tersebut. Diuretik merupakan pilihan pertama karena murah,
pemakaiannya sederhana, cukup efektif dan mudah dikombinasi dengan obat
lain. Betabloker merupakan alternatif lain pada tahap pertama bahkan
beberapa sarjana memilik betabloker untuk pengobatan tahap pertama. Jika
dengan pengobatan langkah pertama tidak berhasil, diberikan obat tahap
kedua, betabloker atau golongan peghambat simpatetik bila terdapat kontra
indikasi penggunaan betabloker. Apabila pada tahap pertamadigunakan
betabloker, maka tahap kedua dapat ditambahkan diuretik, dan kalau dengan
12
pengobatan tersebut tekanan darah belum terkontrol, dapat dikombinasi
dengan vasodilator.
(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)
Apabila dengan pengobatan langkah ketiga tersebut belum berhasil
dapat ditambahkan obat golongan guanetidin monosulfat yang dimasukkan ke
dalam obat langkah keempat. Apabila tekanan darah telah turun dan dosis
anti hipertensi stabil dalam waktu 6-12 bulan, dosis obat dapat dicoba
diturunkan (step down) dengan pengawasan ketat, dan tidak dihentikkan
dengan segera. Di dalam klinik hal ini jarang sekali ditemukan dan hampir
seluruh penderita memerlukan pengobatan terus menerus bahkan seumur
hidup.
Telah diuraikan sebelumnya, bahwa dengan menurunkan tekanan
darah, angka mortalitas dan morbiditas dapat dikurangi, sehingga upaya
untuk menemukan obat anti hipertensi yang memenuhi harapan terus
dikembangkan. Di indonesia, banyak seklai beredar obat anti hipertensi yang
mempunyai sifat farmakologis yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk
dapat menentukan pilihan obat yang tepat diperlukan pengetahuan tentang
farmokologi masing-masing jenis obat tersebut. Secara garis besar, terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan obat antihipertensi,
yaitu :
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2. Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau
minimal.
3. Memungkinkan penggunana obat secara oral.
4. Tidak menimbulkan intoleransi.
5. Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh penderita.
6. Memungkinkan penggunaan dalam jangka panjang.
Oleh karena faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan
tekanan darah pada hipertensi esensial sangat luas, obat anti hipertensi yang
dikembangkan tentu saja berdasarkan pengetahuan patofisiologi tersebut.
Obat-obat golongan diuretik, betabloker, antagonis kalsium dan
penghambat konversi enzim angiotensin, merupakan anti hipertensi yang
sering digunakan pada pengobatan.
1) Diuretik
13
Diuretik mempunyai efek anti hipertensi dengan cara
menurunkan volume ekstraseluler dan plasma, sehingga terjadi
penurunan curah jantung.
Tiazid bekerja menghambat reabsorbsi natrium di segmen kortikal
ascending limb, loop Henle dan pada bagian awal tubulus distal. Jenis
lain golongan tiazid, yaitu klortalidon mempunyai cara kerja yang
sama, hanya masa kerjanya yang lebih lama.
Hidroklorotiazid merupakan jenis yang sering dipakai dalam
pengobatan hipertensi dan pada pemberian oral obat ini mulai bekerja
setelah 1 jam dan mempunyai masa kerja selama 8-12 jam. Dosis
yang sering dipakai adalah 25-50 mg, 1-2 kali per hari. Jarang
digunakan dosis yang lebih tinggi karena tidak akan meghasilkan efek
yang lebih baik. Apabila diharapkan efek jangka panjang dapat
digunakan klortalidon yang dapat diberikan dengan dosis 25-100 mg
per hari. Efek anti hipertensi obat ini tidak mutlak karena efek
hipovolemia, akan tetapi pada pemberian jangka panjang akan
menurunkan tahanan perifer.
Efek samping yang sering dijumpai adalah hipokalemia,
hiponatremia, hiperurisemia dan gangguan lain seperti kelemahan oto,
muntah, dan pusing. Hipokalemia merupakan efek samping yang
banyak dijumpai dan hipokalemia diketahui meningkatkan faktor
risiko aritmia jantung. Efek samping yang tidak ada hubungannya
dengan efek diuretiknya adalah kemerahan kulit, leukopenia,
trombositopenia, dan hiperglikemua. Mengingat berbagai efek
samping yang membahayakan, pada masa sekarang terdapat
kecenderungan menggunakan diuretik dengan dosis yang rendah
disertai dengan pengurangan asupan garam. Penggunaan diuretik pada
orangtua, meurut beberapa ahli lebih banyak efek samping
dibandingkan efektivitasnya.
(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)
2) Golongan penghambat simpatetik
Penghambatan aktivitas simpatis dapat terjadi pada pusat
vasomotor otak seperti metildropa dan klonidin atau pada akhir saraf
perifer, seperti golongan reserpin dan guanetidin.
14
Metildropa mempunyai efek anti hipertensi dengan
menurunkan tonus simpatis secara sentral. Mekanisme kerja yang lain
dengan cara mengganti norepinefrin di saraf perifer dengan metabolit
metildopa yang kurang poten. Efek hipotensinya lambat dan baru
mencapai puncaknya pada hari ke 2-4. Dosis yang biasanya dipakai
adalah 250 mg, 2-3 kali per hari dan apabila diperlukan dapat
dinaikkan sampai dosis maksimal 2000 mg per hari.
Efek samping dapat berupa anemia hemolitik, gangguan faal
hati dan kadang-kdang dapat timbul hepatitis kronik. Kelainan
hematologik daat berupa leukopenia dan pemeriksaan Coombs test
positif pada 20% kasus. Keuntungan obat ini dapat diberikan pada
kehamilan tanpa banyak menimbulkan efek samping. (Soeparman.,
Waspadji Sarwono, 1996)
3) Betabloker
Betabloker pertama kali dikemukakan oleh Ahlquist pada
tahun 1948 dan Pichard pada tahun 1963, serta dibuktikan mempunyai
efek anti hipertensi. Obat golongan ini banyak dipakai dalam
pengobatan hipertensi, bahkan di beberapa negara, merupakan saingan
anti hipertensi tahap pertama.
Mekanisme kerja anti hipertensi obat ini adalah melalui penurunan
curah jantung dan efek penekanan sekresi renin. Di indonesia, banyak
beredar obat golongan ini, dan seara garis besar dibedakan menjadi 2
jenis yaitu :
1. Yang menghambat reseptor beta 1
2. Yang menghambat reseptor beta 1 dan 2
Betabloker yang kardioselektif, berarti hanya menghambat
reseptor beta 1 saja. Akan tetapi, dengan dosis tinggi, reseptro beta 2
dapat pula dihambat sehingga betabloker tidak dianjurkan pada
penderita, yang telah diketahui mengidap gangguan pernafasan,
seperti asma bronkial.
Oleh karena mekanisme anti hipertensi betabloker melalui sistem
renin angiotensin, maka keadaan renin penderita dpaat dipakai sebagai
15
prediktor respons anti hipertensinya. Akan tetapi dari segi praktis
pengobatan, tidak perlu menunggu kadar renin plasma lebih dahulu.
Berdasarkan kelarutannya dalam air dan lemak, betabloker
dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Golongan yang larut dalam lemak seperti asebutolol, alprenolol,
metoprolol, oksprenolol, pindolol, propranolol, dan timolol.
Golongan ini mempunyai waktu paruh yang relatif pendek yaitu 2-
6 jam, akan tetapi apabila diberikan dengan dosis yang tinggi, obat
ini dapat digunakan sebagai anti hipertensi dengan dosis harian
tunggal.
2. Golongan ini lebih larut dalam air dan dieliminasi melalui ginjal.
Golongan ini mempunyai waktu paruh yang lebih panjang yaitu 6-
24 jam, sehingga dapat diberikan satu kali per hari. Yang
termasuk golongan ni adalah atenolol, nadolol, praktolol, dan
sotalol.
Efek samping yang timbul lebih banyak disebabkan karena
efel blokade terhadap reseptor beta dan tidak berhubungan dengan
dosis. Betabloker mempunyai indikasi kontra pada penderita asma
bronkial, payah jantung, blok atrioventrikular. Pada penderita diabetes
melitus harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia.
Pada orangtua, terdapat kecenderungan bronkospasme dengan
betabloker, sehingga harus berhati-hati.
Efek samping bradikardia dapat diperkecil apabila dipilih obat
yang mengandung intrinsic sympathomimetic activity (ISA).
Betabloker yang mengandung ISA, misalnya pindolol, menurunkan
tekanan darah dengan megurangi tahanan perifer karena efek
vasodilatasi tanpa mempengaruhi curah jantung.
(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)
4) Vasodilator
Yang termasuk golongan ini adalah prasosin, hidralasin,
minoksidil, diazoksid dan sodium nitroprusid. Obat golongan ini
bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos
16
dan akan mengakibatkan penurunan resistensi vaskular. Prasosin,
minoksidil, dan diasoksid bekerja pada arteriol, sehingga penurunan
resistensi vaskular akan diikuti oleh aktivitas simpatis dan akan timbul
takikardia dan peninggian kontraktilitas otot miokard dengan hasil
meningkatnya curah jantung.
Sodium nitroprusid selain bekerja pada arteriol juga bekerja pada vena
sehingga efek samping yang timbul adalah hipotensi ortostatik akibat
penumpukan darah pada vena.
Dengan pemberian oral, dosis hidralasin sebanyak 10-25 mg
per hari yang dapat dinaikkan tiap kali dengan 10-25 mg sampa
tercapai penuruan tekanan darah yang diinginkan. Doss maksimal
adalah 2000 mg diberikan secara terbagi. Dengan pemebrian oral,
absorbsi sangat baik dan efek anti hipertensinya tampak setelah 1 jam.
Obat ini dimetabolisme di hati, waktu paruhnya 3-4 jam. Pemberian
intravea biasanya dengan dosis 10-20 mg dan bila diperlukan dapat
dinaikkan mencapai dosis 40 mg. Efek vasodilatasi pada tahanan
perifer, portal hepatik, dan aliran pembuluh koroner lebih besar bila
dibandingkan efek vasodilatasi pada otak, otot dan kulit.
Dahulu obat ini merupakan obat pilihan pada hipertensi
dengan kehamilan karena diketahui dapat meningkatkan perfusi gijal
dan serebral, dan tidak menggangg janin. Untuk hipertensi pada
kehamilan dosis yang dipakai adalah 3 kali 10 mg, dan bila dengan
hidralasin tidak ada efeknya, dapat diganti dengan metildopa.
(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)
5) Penghambat ensim konversi angiotensin
Obat golongan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan
tentang pengaruh sistem renin angiotensin pada hipertensi esensial.
Ensim konversi angiotensisn, mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II yang aktif dan mempunyai efek vasokontriksi
pembuluh darah. Penyelidikan dilakukan untuk mendapatkan pbat
yang dapat menghambat angiotensin II. Saralasin adalah analog
dengan oktapeptid angiotensin II, mempunyai efek anti hipertensi
akan tetapi efek kerja pendek. Perhatian lebih ditujukan pada
17
kaptopril dan enalapril. Enalapril menurunkan tekanan darah, baik
pada normotensi maupun hipertensi, dnegan watktu kerja yang lama,
sedangkan potensinya sama dengan kaptorpil.
Kaptopril dapat diberikan oral dengan penurunan tekanan
darah yang terjadi akibat efek penghambatan ensim konversi
angiotensin, sehingga terjadi penurunan kadar angotensin II, yang
mengakibatkan penurunan aldosteron dan terjaadi dilatasi arteriol.
Selain itu obat ini membantu degradasi bardikinin, sehingga terjadi
akumulasi bradikinin yang merupakan vasodilator kuat yang akan
membantu efek anti hipertensi.
Pada hipertensi ringan dan sedang, dapat diberikan dengan
dosis rendah, mulai 12,5 mg, 1-2 kali per hari yang dapat dinaikkan
setela 1-2 minggu. Pada tahap tertentu penambahan dosis tidak diikuti
oleh penurunan tekanan darah yang vertambah. Dosis yang biasanya
adalah 50-150 mg, per hari. Penggunaan dosis yang lebih tinggi dari
150 mg, padapenderita dengan kreatinin serum yang melebihi 1,5 mg
%, perlu berhati-hati.
Efek samping yang timbul berupa kemerahan kulit, gangguan
pengecap, agranulositosis, proteinuria dan gagal ginjal. Sidabutar R.P.
dalam penelitiannya mendapatkan kemerahan kulit, pada 11,65%
kasus yang diobati dengan kaptopril.
(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)
6) Antagonis kalsium
Hubungan antara kalium dengan sistem kardiovaskular telah
lama diketahui. Aktivitas kontraksi otot polos pembuluh darah, siatur
oleh kadar ion kalsium (Ca2+) intra selular bebas, yang sebagian besar
berasal dari ekstra selular dan pertukarannya melalui saluran kalsium
(calcium channels). Peningkatan kontraktilitas otot jantung akan
mngakibatkan peningkatan curah jantung. Hormon presor seperti
angiotensin, juga akan meingkat efeknya oleh pengaruh kalsium.
Keadaan tersebut semuanya berpengaruh terhadap peningkatan
tekanan darah.
18
Antagonis kalsium menghambat perpindahan kalsium melalui
saluran kalsium, menghambat pengeluaran kalsium dari pemecahan
retikulum sarkoplasma, dan pengikatan kalsium pada otot polos
pembuluh darah. Golongan obat ini menurunkan curah jantung
dengan cara menghambat kontraktlitas dan dengan menggunakan
antagonis kalsium seperti nifedin, diltiasem atau verapamil,
diharapkan tekanan darah dapat turun. Efek kerja obat tergantung dari
dosis yang diberikan.
Sidabutar R.P. dan kawan-kawan pada penyelidikannya
dengan menggunakan diltiasem, dosis 3 kali 30 mg, pada pengobatan
hipertensi ringan mendapatkan hasil yang baik dan tidak dijumpai
efek samping yang berarti.
Verapamil mempunyai efek pada jantung dan vaskular yang
berupa efek anti hipertensi yang sedang, pada penggunaan akut
maupun jangka panjang. Kombinasi dengan diuretik akan
meningkatkan efek anti hipertensinya. Verapamil tidak dianjurkan
untuk kombinasikan dengan betabloker karena dapat timbul
bradikardia dan gangguan atrioventrikular.
(Soeparman., Waspadji Sarwono, 1996)
Tabel.2. Obat-obat Anti Hipertensi
ObatMekanis
me KerjaKisaran Dosis
Rut
eLama Efek Samping
Vasodilator
Hidralazin Relaksasi
otot polos
arteriolar
0,4-0,8
mg/kg/dosis
0,5-2 mg/kg
dan naik
sampai
maksimum 200
mg/24 jam
IV
PO
2-4 jam
6-8 jam
Takikardia,
nausea
Lupus akibat
otot
Diazoksid Relaksasi
otot polos
2,5
mg/kg/dosis,
maksimum 100
IV 6-24
jam
Takikardia,
hipotensi,
19
mg hiperglikemia
Nitroprusid Dilatasi
arteriole
dan venule
0,5-8,0μg/kg/
men
IV Dengan
infus
Produksi
tiosianat,
jarang
hipotiroidisme
Minoksidil Dilatasi
arterioler
0,2-1,0
mg/kg/24 jam,
maksimum 50
mg/24 jam
PO 12-24
jam
Hipertrikosis,
retensi cairan
Blokade Adrenik
Fentolamin Blokade
reseptor –
α
0,1
mg/kg/dosis,
maksimum 5
mg
IV 1 jam Takikardia
refleks
Fenoksibenzamin Blokade
reseptor –
α
2,5 mg/24 jam PO 6-12
jam
Takikardia
yang dapat
menjelek
menjadi
aritmia
Prazosin Blokade
reseptor –
α
Dosis inisial 1
mg, dapat naik
sampai 15
mg/24 jam
PO 8-12
jam
Hipotensi
orthostatik
dosis-pertama
Propanolol Blokade
reseptor –
β
Menguran
gi
pelepasan
renin
0,025-0,1
mg/kg/dosis
0,25-1,0
mg/kg/dosis
IV
PO
6-8 jam Bronkospasme
, bradikardia,
mimpi-mimpi
bersemangat
Labetalol Blokade
α-β
Titrasi 0,2-2
mg/kg/jam
(didasarkan
pada dosis
IV Dengan
infus
20
dewasa)
100-400 mg
(dewasa) PO 12 jam
Agen Simpatotik
α-Metildopa Menguran
gi tonus
simpatis
10 mg/kg/24
jam dan
bertambah
PO 6-8 jam Sedasi,
disfungi hati,
reaksi Coomb
positif
Klonidin Agonis 2-
α pada
SSS
3-5 μg/kg/dosis PO 6-8 jam Sedasi,
konstipasi,
rebound
penghentian,
hipertensi
Renin-
angiotensin
Kaptopril Penghamb
at
pengubah
enzim
sintesis
angiotensi
n II
0,1-0,3
mg/kg/dosis
dan menambah
sampai
maksimum 2
mg/kg/dosis
PO 8 jam Proteinuria,
neutropenia,
ruam,
disgeusia
(perubahan
kecap yang
tidak normal)
Enalaprilat Sama
seperti
kaptopril
0,005-0,010
mg/kg/dosis
IV Hipotensi
sementara
Enalapril Sama
seperti
kaptopril
Tidak
ditentukan
PO 12-24
jam
Hipotensi
Saluran Kalsium
Nifedipin Penyekat
saluran
kalsium
0,2-0,5 mg/kg,
maksimum 10-
20 mg
PO Ulangi
q 30-60
menit
Muka merah,
takikardia
Veramil Penyekat
saluran
120-240 mg Sub 12-24 Pengalaman
pediatri
21
kalsium (dewasa) jam terbatas
Obat-obat
diuretik
Hidroklorotiazid Diuresis 1-2 mg/kg/24
jam
PO 12-24
jam
Furosemid Diuresis 1 mg/kg/dosis
2 mg/kg/dosis
IV 4-6 jam
4-6 jam
Hipokalemia,
hipernatremia,
hiperkalsemia
Hipokalemia,
alkalosis
II.9. PENATALAKSANAAN DIET
· Tujuan Akhir
a. Menurunkan resiko
b. Meminimalkan kebutuhan akan obat untuk mengontrol tekanan darah
c. Mencapai dan menjaga status gizi baik.
· Tujuan Diet
a. Menurunkan tekanan darah (diastole) ≤ 90 mmHg
b. Menghilangkan retensi garam atau air dalam jaringan tubuh
c. Mencapai dan menjaga BB dengan IMT 18.5 – 25.
· Syarat Diet
Menerapkan diet garam rendah, yaitu sebagai berikut:
a. Cukup energi, protein, mineral dan vitamin
b. Komsumsi karbohidrat kompleks
c. Bentuk makanan sesuai dengan keadaan penyakit
d. Jumlah konsumsi natrium disesuaikan dengan berat tidaknya
hipertensi
e. Hindari bahan makanan yang tinggi natrium
f. Konsumsi bahan makanan yang mengandung tinggi kalium, tinggi
serat. (Almatsier, Sunita, 2004)
· Jenis Diet
22
1. Diet Garam Rendah I (200-400 mg Na)
Diberikan pada pasien dengan edema, asites, dan atau hipertensi berat.
Tidak ditambahkan garam dapur dalam pengolahan makanannya. Hindari
juga bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.
2. Diet Garam Rendah II (600-800 mg Na)
Diberikan pada pasien dengan edema, asites, dan atau hipertensi tidak
terlalu berat. Boleh menggunakan . sdt (2 gr) garam dapur dalam
pengolahan makanannya. Hindari juga bahan makanan yang tinggi kadar
natriumnya.
3. Diet Garam Rendah III (1000-1200 mg Na)
Diberikan pada pasien dengan edema, asites, dan atau hipertensi ringan.
Boleh menggunakan 1 sdt (4 gr) garam dapur dalam pengolahan
makanannya.
Bahan Makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan sebagai berikut :
Dianjurkan : bahan makanan yang tidak menggunakan garam dapur,
soda, atau baking powder dalam pengolahannya. Bahan makanan segar
tanpa diawetkan, daging dan ikan maksimal 100 gr sehari, dan untuk
telur 1 butir sehari.
Dihindari : bahan makanan yang diolah dengan garam dapur, soda,
baking powder, asinan, dan bahan makanan yang diawetkan dengan
natrium benzoat, soft drinks, margarin dan mentega biasa, bumbu yang
mengandung garam dapur (kecap, terasi, tomato ketchup, tauco, dan lain
sebagainya).
(Almatsier, Sunita, 2004)
· Contoh Menu
Pagi
a. Nasi
b. Telor Mata Sapi
c. Tumis Garlic Caisim
d. Soup Tahu Seledri
Pukul 10.00
23
Bubur Kacang Hijau
Siang
a. Nasi
b. Tim kembung jahe
c. Sayur bayam jagung manis
d. Tempe Orek
e. Pisang
Snack 16.00
Jus jeruk
Malam
a. Nasi
b. Ayam Goreng
c. Tahu Pepes
d. Pepaya
II.10. Pencegahan
Sesuai dengan prinsip pencegahan penyakit secara umum, maka
tingkat pencegahan secara umum selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut :
1) Pencegahan Primary
Ditujukkan untuk pencegahan hipertensi pada individu yang
mempunyai resiko besar untuk terjadinya hipertensi dikemudian hari,
maka sebagai usaha yang dilakukan pada tingkat primer adalah
menerapkan perilaku hidup sehat. Pencegahan primary meliputi :
a. Primodial
Pencegahan primordial pada penderita hipertensi dilakukan
dengan cara mengubah kebiasaan-kebiasaan atau perlaku-perilaku
hidup agar tidak mempunyai gaya hidup yang dapat meningkatkan
resiko terkena hipertensi.
b. Promosi
Pencegahan promosi dapat dilakukan dengan cara memberikan
penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat atau membuat iklan-iklan
tentang bahaya hipertensi serta cara-cara pencegahannya.
c. Preventif
24
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan melakukan gaya hidup
yang sehat dan menghindari kebiasaan-kebiasaan yang dapat
menyebabkan hipertensi serta membiasakan diri untuk berolahraga.
2) Pencegahan Sekundary
Dilakukan terhadap individu yang telah diketahui menderita
hipertensi. Dilakukan secara menyeluruh terhadap penderita hipertensi
baik dengan obat-obatan maupun tindakan-tindakan seperti yang
dilakukan pada pencegahan sekunder ini timbul, dengan cara
mengendalikan tekanan darah agar tetap terkontrol dan stabil.
3) Pencegahan Tertiary
Pencegahan tersier pada tahap rehabilitasi yaitu suatu usaha
untuk mengembalikan fungsi organ yang rusak akibat hipertensi.
Demikian diharapkan agar tubuh yang terkena komplikasi tersebut
diusahakan semaksimal sehingga ketergantungan akibat hipertensi dapat
dikurangi.
Adapun upaya pencegahan lain yang muda dimengerti dan
dilaksanakan antara lain :
a. Mengurangi konsumsi garam
b. Menghindari kegemukan (obesitas)
c. Membatasi konsumsi lemak
d. Olahraga teratur
e. Makan banyak buah da sayuran segar
f. Tidak merokok dan tidak minum alkohol
g. Latihan relaksasi
h. Berusaha membina hidup yang positif.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
25
1. Hipertensi adalah tekanan darah arterial yang tetap tinggi; dapat tidak
memiliki sebab yang diketahui (essential, idiopathic, atau primary ) atau
berkaitan dengan penyakit lain (secondary).
2. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
peningkatan tekanan darah di atas normal yang mengakibatkan
peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian
(mortalitas). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko hipertensi
yaitu jenis kelamin, obesitas, hiperkolestrol, gangguan ginjal dan riwayat
keluarga penderita.
3. Pencegahan hipertensi dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu
pencegahan primary, pencegahan sekundary dan pencegahan tertiary.
Pengobatannya dapat dilakukan dengan non farmakologi dan
farmokologi.
III.2 SARAN
1. Untuk mencegah jatuhnya seseorang kepada krisis hipertensi, maka
faktor resiko haruslah dihindari, terutama dalam hal kepatuhan minum
obat. Edukasi dari dokter kepada pasien hipertensi sangatlah penting
terutama mengenai komplikasi dan pengaturan pola akan serta gaya
hidup yang sehat..
2. Setelah umur 30 tahun, periksa tekanan darah setiap tahun.
3. Jangan merokok atau minum alkohol.
4. Kurangi berat badan bila berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta. Gramedia. 2004
26
Arvin., Kliegman., Behrman. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2.
Jakarta. EGC.2000.
Bustan, MN. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta. 2007
Dorland,W.A.N. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta. EGC. 2010
Jeff S. Healey, M.D., Stuart J. Connolly, M.D., Januari 12,2012. N Engl J Med 2012.
Subclinical Atrial Fibrillation and the Risk of Stroke (on line). The New
England Journal of Medicine. Diakses 17 Maret 2012.
Kusmana, Dede. Pentingnya Olahraga Tehadap Kesehatan. Jakarta. FKUI. 1997
Price Sylvia A., Wilson Lorraine M. Patofiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Volume 1. Jakarta. EGC. 2005.
Soeparman., Waspadji Sarwono. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta. FKUI. 1996.
Stump, Kathleen Mahan, Sylvia Escoot. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy.
9th edition. W. B. Saunders Company. 1996
Sudoyo Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid III.
Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
Sudoyo Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid II. Jakarta.
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007.