BAB I
description
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama
di Indonesia. Kekurangan gizi belum dapat diselesaikan, prevalensi masalah
gizi lebih dan obesitas mulai meningkat khususnya pada kelompok sosial
ekonomi menengah ke atas di perkotaan. Dengan kata lain, saat ini Indonesia
tengah menghadapi masalah gizi ganda. Hal ini sangat merisaukan karena
mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan di
masa mendatang (Depkes RI, 2007).
Sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas merupakan modal
utama atau investasi dalam pembangunan kesehatan. Ukuran kualitas SDM
dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran
kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan
dan status gizi masyarakat. Upaya pengembangan kualitas SDM dengan
mengoptimalkan potensi tumbuh kembang anak dapat dilaksanakan secara
merata apabila sistem pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat dapat
dilakukan secara efektif dan efisien dan dapat menjangkau semua sasaran
yang membutuhkan layanan (Depkes RI, 2006).
1
Kekurangan gizi pada umumnya terjadi pada balita karena pada umur
tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat. Balita termasuk kelompok
yang rentan gizi di suatu kelompok masyarakat di mana masa itu merupakan
masa peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola makan orang
dewasa (Adisasmito, 2007).
Diperkirakan masih terdapat sekitar 1,7 juta balita terancam gizi buruk
yang keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok Indonesia. Jumlah balita di
Indonesia menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) Tahun 2007 mencapai 17,2% dengan laju pertumbuhan penduduk
2,7% per tahun. United Nations Children’s Fund (UNICEF) melaporkan
Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah anak
yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7
juta balita (Depkes RI, 2007). Di beberapa provinsi seperti di Nusa Tenggara
Barat (NTB) selama Bulan Januari hingga Oktober 2009 tercatat lebih dari
600 kasus gizi buruk yang pada umumnya menimpa balita dan 31 kasus di
antaranya mengakibatkan kematian (Rio, 2009).
Pemerintah terus berupaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat khususnya menangani masalah gizi balita karena hal itu
berpengaruh terhadap pencapaian salah satu tujuan Millennium Development
Goals (MDGs) pada Tahun 2015 yaitu mengurangi dua per tiga tingkat
kematian anak-anak usia di bawah lima tahun. Prevalensi kekurangan gizi
2
pada anak balita menurun dari 25,8 % pada Tahun 2004 menjadi 18,4 % pada
Tahun 2007, sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2010-2014 menargetkan penurunan prevalensi kekurangan
gizi (gizi kurang dan gizi buruk) pada anak balita adalah <15,0% pada Tahun
2014 (Sarjunani, 2009).
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan
tujuan penyusunan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG)
Tahun 2006-2010 antara lain meningkatkan pemahaman peran pembangunan
pangan dan gizi sebagai investasi untuk SDM berkualitas, meningkatkan
kemampuan menganalisis perkembangan situasi pangan dan gizi, dan
meningkatkan koordinasi penanganan masalah secara terpadu (Depkes RI,
2007).
Upaya pemerintah tersebut harus didukung oleh berbagai komponen
masyarakat karena masalah gizi di Indonesia bukan hanya masalah kesehatan
masyarakat tetapi menyangkut pembangunan bangsa.Berdasarkan Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2009, pembangunan kesehatan perlu
digerakkan oleh masyarakat di mana masyarakat mempunyai peluang dan
peran yang penting dalam pembangunan kesehatan, oleh karena itu
pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting atas dasar untuk
menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuannya sebagai pelaku
pembangunan kesehatan. Tinuk dalam Iskandar (2006) menyatakan
pemberdayaan masyarakat adalah upaya peningkatan kemampuan masyarakat
3
untuk berpartisipasi aktif, berperan aktif, bernegosiasi, memengaruhi dan
mengendalikan kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung gugat demi
perbaikan kehidupannya. Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, masyarakat berperan serta baik secara per orangan maupun
terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam
rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya.
Pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan berbasis masyarakat secara
optimal oleh masyarakat seperti Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
merupakan salah satu pendekatan untuk menemukan dan mengatasi persoalan
gizi pada balita. Posyandu adalah salah satu bentuk Upaya Kesehatan
Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan
dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar
(Depkes RI, 2006).
Posyandu meliputi lima program prioritas yaitu Keluarga Berencana
(KB), Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), gizi, imunisasi, dan penanggulangan
diare terbukti mempunyai daya ungkit besar terhadap penurunan angka
kematian bayi dan balita (Adisasmito, 2007). Posyandu erat sekali kaitannya
dengan peran serta aktif masyarakat. Sejak diperkenalkan Tahun 1980-an,
posyandu diakui memberikan kontribusi yang besar terhadap keberhasilan
4
pembangunan kesehatan dan gizi. Balita merupakan salah satu sasaran
posyandu yang cukup penting oleh karena balita merupakan proporsi yang
cukup besar dari komposisi penduduk Indonesia (Depkes RI, 2006).
Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat yang dimanfaatkan oleh
ibu untuk memperoleh pelayanan dan sebagai sumber informasi untuk
meningkatkan pengetahuannya dalam hal gizi dan kesehatan. Pemantauan
status gizi dan kesehatan anak dapat dilakukan dengan baik melalui kegiatan
di posyandu (Madanidjah, 2007).
Menurut Depkes RI, 2006, perubahan berat badan balita dari waktu ke
waktu merupakan petunjuk awal perubahan status gizi balita. Anak balita
sehat, gizi kurang atau gizi lebih (obesitas) khususnya di daerah perkotaan
dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan. Upaya
pemantauan terhadap pertumbuhan balita dilakukan melalui kegiatan
penimbangan balita di posyandu secara rutin tiap bulannya yang hasilnya
dicatat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) .
Ibu yang tidak menimbang balitanya ke posyandu dapat menyebabkan
tidak terpantaunya pertumbuhan dan perkembangan balita dan berturut-turut
berisiko keadaan gizinya memburuk sehingga mengalami gangguan
pertumbuhan (Depkes RI, 2006). Penelitian Ariana dalam Nasution (2007)
menyatakan bahwa balita yang rutin setiap bulan datang dan ditimbang di
posyandu sebagian besar mempunyai status gizi baik dan yang tidak rutin
datang dan ditimbang mempunyai status gizi kurang.
5
Strauss et al. yang dikutip oleh Trias (2007) menyatakan bahwa
bentuk peran serta (partisipasi) masyarakat di posyandu diukur melalui
cakupan penimbangan balita yaitu jumlah anak bawah lima tahun (balita)
yang ditimbang dalam suatu wilayah posyandu dibandingkan dengan jumlah
anak balita yang ada dalam suatu wilayah posyandu tersebut (D/S). Partisipasi
masyarakat dalam masalah kesehatan sangat diperlukan sebagaimana
masyarakat tersebut ikut menjadi peserta yang efektif.
Kegiatan penimbangan di posyandu dimaksudkan untuk memantau
status gizi balita dan melihat tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi
masyarakat ke posyandu dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan yang
cukup signifikan. Secara nasional tingkat partisipasi masyarakat ke posyandu
hanya mencapai 50,5%. Data yang paling kuat diperoleh dari temuan
Indonesian Family Life Survey (IFLS) di mana terjadi penurunan sebesar 12%
terhadap penggunaan posyandu baik oleh balita laki-laki maupun perempuan
dalam rentang Tahun 1997 hingga Tahun 2000.
Strauss et al. selanjutnya menyatakan dari data IFLS diketahui bahwa
pada saat terjadi penurunan cakupan posyandu, pemanfaatan terhadap layanan
kesehatan pribadi atau swasta meningkat dengan cukup signifikan.
Penggunaan bidan praktek meningkat sebesar 10% antara Tahun 1997-2000
yang mengindikasikan kecenderungan preference masyarakat untuk
mendapatkan layanan kesehatan hanya saat mereka merasa membutuhkan
utamanya saat mereka sakit, bukan untuk mendapatkan layanan monitoring
kesehatan dan gizi seperti yang diberikan di posyandu (Trias, 2007).
6
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2007 menunjukkan bahwa status gizi kurang balita di Sumatera Utara
pada Tahun 2007 mencapai 22,7%. Sebagian besar balita ditimbang di
posyandu yaitu sebesar 63%, sedangkan ditimbang di puskesmas sebesar
15%. Secara umum 32% balita tidak mempunyai KMS, 51% mempunyai
KMS tetapi tidak dapat menunjukkan. Persentase anak yang ibunya dapat
menunjukan KMS turun seiring naiknya umur anak (40% anak umur 6-11
bulan, dan 8% anak umur 48-59 bulan). Hal ini dapat disebabkan KMS yang
dimiliki anak yang lebih tua sudah banyak yang hilang atau dibuang.
Cakupan penimbangan balita (D/S) di Kota Medan dalam Profil
Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2007 masih tergolong sangat rendah yaitu
dari 137.396 balita yang ada hanya 34.470 balita yang ditimbang (25,09%).
Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Medan (2008), Balita Bawah Garis Merah
(BGM) di Kota Medan Tahun 2008 berjumlah 1.572 orang, sedangkan Tahun
2007 berjumlah 625 orang yang berarti terjadi peningkatan kasus. Hal ini
disebabkan pada Bulan Mei Tahun 2008 dilaksanakan operasi timbang yang
wajib dilaksanakan oleh seluruh puskesmas dan puskesmas pembantu
sehingga balita yang selama ini tidak pernah datang ke posyandu dapat
terjaring pada saat operasi ini.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 Tahun 2008
Tentang Standard Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan Kabupaten/Kota,
cakupan pelayanan anak balita yaitu 90% pada Tahun 2010. Puskesmas Desa
7
Binjai menargetkan cakupan penimbangan balita mencapai 75%. Berdasarkan
Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2008, diketahui bahwa dari 5.105 balita
di wilayah kerja Puskesmas Desa Binjai terdapat 51 balita BGM (3,51%) dan
balita gizi buruk sebanyak 14 balita (0,96%).
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara
kepada salah seorang petugas gizi puskesmas yang juga bertugas di posyandu
diketahui bahwa kesadaran masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Desa
Binjai Kecamatan Medan Denai dalam kegiatan posyandu khususnya
membawa balitanya untuk ditimbang masih kurang sehingga puskesmas
mengalami kesulitan dalam mendata balita. Sebagian besar ibu bayi/balita
hanya membawa anaknya untuk imunisasi dan menimbang anaknya hingga
usia tiga tahun, kemudian mereka tidak datang lagi membawa anaknya ke
posyandu. Laporan cakupan penimbangan di posyandu adalah cakupan
penimbangan bayi hingga usia bawah tiga tahun (batita) dan keadaan ini
menunjukkan pertumbuhan anak balita tidak terpantau, oleh karena itu
petugas puskesmas terus mengingatkan ibu bayi/balita pada saat pelaksanaan
posyandu untuk rutin memantau pertumbuhan anaknya ke posyandu hingga
usia lima tahun.
Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup
yang sangat luas. Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam
bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Pengetahuan atau kognitif
8
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (overt behaviour) karena berdasarkan pengalaman dan penelitian
ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Hasil penelitian Hanafiah dalam Sari (2009) di Desa Matang Tepah
Kabupaten Aceh Tamiang dapat dilihat tingginya frekuensi pemanfaatan
posyandu (12 kali dalam satu tahun) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain faktor karakteristik ibu bayi/balita yang meliputi pengetahuan dan
pendidikan ibu bayi/balita dan faktor persepsi yang meliputi persepsi tentang
penampilan kader dan jarak posyandu.
Razali (2004) menyatakan bahwa faktor penyebab cakupan
penimbangan balita di Kabupaten Bengkalis pada Tahun 2002 berada pada
posisi paling bawah di tingkat provinsi yaitu sebesar 33,1% antara lain
menurunnya kinerja posyandu dan kurang mendukungnya perilaku
masyarakat. Widiastuti (2006) menyatakan ibu balita yang tidak mau datang
ke posyandu karena tidak mengetahui manfaat posyandu dan tujuan ibu balita
berkunjung ke posyandu untuk memantau perkembangan balitanya dan
mendapatkan makanan tambahan serta dapat berkumpul dengan ibu balita
yang lain.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh karakteristik ibu balita (paritas,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan dan sikap) terhadap
9
partisipasi dalam penimbangan balita (D/S) di Posyandu Desa Binjai
Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2010.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas,
maka yang menjadi perumusan masalah penelitian adalah apakah ada
pengaruh karakteristik ibu balita (paritas, pendidikan, pekerjaan, pendapatan,
pengetahuan dan sikap) terhadap keteraturan ke posyandu di Kelurahan
Mandalika Kota Mataram Tahun 2013
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh karakteristik
ibu balita (paritas, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan dan sikap)
terhadap partisipasi keteraturan ke posyandu di Kelurahan Mandalika Kota
Mataram Tahun 2013
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan kepada kantor Dinas Kesehatan Kota Mataram dalam
rangka pembinaan Posyandu.
2. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Puskesmas Cakranegara Posyandu
Kecamatan Mandalika dalam rangka menyusun strategi pembinaan yang
efektif dan efisien terhadap posyandu, inovatif dan menarik perhatian
masyarakat di wilayah kerjanya.
3. Menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan peneliti dalam bidang
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Posyandu
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan salah satu bentuk Upaya
Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan
diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat
dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh kesehatan
dasar, utamanya untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi
(Depkes RI, 2006).
Posyandu merupakan garda depan kesehatan balita di mana pelayanan
yang diberikan posyandu sangat dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dan
keuntungan bagi kesehatan masyarakat khususnya bayi dan balita (Airin, 2010).
Upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia dengan mengoptimalkan
potensi tumbuh kembang anak dapat dilaksanakan secara merata apabila sistem
pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat seperti posyandu dapat dilakukan
secara efektif dan efisien dan dapat menjangkau semua sasaran yang
membutuhkan layanan tumbuh kembang anak, ibu hamil, ibu menyusui dan ibu
nifas (Depkes RI, 2006).
Tujuan posyandu adalah menunjang percepatan penurunan Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia melalui
upaya pemberdayaan masyarakat. Sasaran pelayanan kesehatan di posyandu
11
adalah seluruh masyarakat utamanya bayi, anak balita, ibu hamil, ibu
melahirkan, ibu nifas dan ibu menyusui, serta Pasangan Usia Subur (PUS).
Kegiatan posyandu terdiri dari Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga
Berencana (KB), imunisasi, gizi dan pencegahan dan penanggulangan diare.
Pada hakikatnya posyandu dilaksanakan dalam 1 (satu) bulan kegiatan,
baik pada hari buka posyandu maupun di luar hari buka posyandu. Hari buka
posyandu sekurang-kurangnya satu hari dalam sebulan. Hari dan waktu yang
dipilih sesuai dengan kesepakatan. Hari buka posyandu dapat lebih dari satu kali
dalam sebulan apabila diperlukan. Kegiatan rutin posyandu diselenggarakan dan
dimotori oleh kader posyandu dengan bimbingan teknis dari puskesmas dan
sektor terkait. Jumlah minimal kader untuk setiap posyandu adalah 5 (lima)
orang. Jumlah ini sesuai dengan jumlah kegiatan utama yang dilaksanakan oleh
posyandu, yakni yang mengacu pada sistem 5 meja (Depkes RI, 2006).
Indikator yang digunakan dalam pengukuran pelaksanaan posyandu ini
antara lain frekuensi kunjungan (penimbangan) setiap bulan yang bila teratur
akan ada 12 kali penimbangan setiap tahun. Dalam kenyataan tidak semua
posyandu dapat berfungsi setiap bulan sehingga frekuensinya kurang dari 12 kali
setahun. Untuk ini diambil batasan 8 kali penimbangan setahun di mana bila
frekuensi penimbangan di atas 8 kali setahun, maka pemanfaatan posyandu
dianggap sudah baik ( Zulkifli, 2003).
Berdasarkan Depkes RI (2006), perkembangan masing-masing posyandu
tidak sama, dengan demikian pembinaan yang dilakukan untuk masing-masing
12
posyandu juga berbeda. Untuk mengetahui tingkat perkembangan posyandu,
telah dikembangkan metode dan alat telaahan perkembangan posyandu yang
dikenal dengan nama Telaah Kemandirian Posyandu.
Tingkat
Perkembangan
Kriteria
Posyandu Pratama Posyandu yang masih belum mantap
kegiatannya, masih belum bisa rutin
setiap bulan, dan kader aktifnya terbatas
kurang dari 5 orang
Posyandu Madya Sudah dapat melaksanakan kegiatan
lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-
rata jumlah kader tugas 5 orang atau
lebih, akan tetapi cakupan program
utamanya masih rendah yaitu kurang dari
50. Intervensi untuk Posyandu madya
antara lain :
a. Pelatihan tokoh masyarakat
b. Penggarapan dengan Pendekatan
Pembangunan Kesehatan Masyarakat
13
Desa (PKMD) untuk menentukan
masalah dan mencari penyelesaian situasi
dan kondisi setempat.
Posyandu Purnama Posyandu yang frekuensinya lebih dari
8x setahun, rata-rata jumlah kader tugas
5 orang atau lebih dan cakupan 5
program utamanya lebih dari 50% sudah
ada program tambahan bahkan mungkin
sudah ada dana sehat yang masih
sederhana.
Posyandu Mandiri Sudah dapat melaksanakan kegiatan
secara teratur, dengan jumlah kader rata-
rata 5 orang atau lebih cakupan 5
program utama sudah bagus, ada
program
Posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya sebagai unit pemantau tumbuh
kembang anak serta menyampaikan pesan kepada ibu sebagai agen pembaharuan dan
anggota keluarga yang memiliki bayi dan balita dengan mengupayakan bagaimana
memelihara anak secara baik yang mendukung tumbuh kembang anak sesuai
potensinya. Kurang berfungsinya posyandu sehingga kinerjanya menjadi rendah
antara lain disebabkan oleh rendahnya kemampuan kader dan pembinaan dari unsur
pemerintah desa/kelurahan dan dinas/instansi/lembaga terkait yang kemudian
14
mengakibatkan rendahnya minat masyarakat untuk menggunakan posyandu. Upaya
revitalisasi posyandu telah dilaksanakan sejak krisis ekonomi timbul agar posyandu
dapat melaksanakan fungsi dasarnya, namun diakui bahwa meskipun sejak Tahun
1999 telah diprogramkan upaya revitalisasi posyandu di seluruh Indonesia tetapi
fungsi dan kinerja posyandu secara umum masih belum menunjukkan hasil yang
optimal. Oleh karena itu, upaya revitalisasi posyandu perlu terus ditingkatkan dan
dilanjutkan agar mampu memenuhi kebutuhan pelayanan terhadap kelompok sasaran
yang rentan (Depdagri RI, 2001).
2.2. Balita
2.2.1. Pertumbuhan dan Perkembangan Balita
Menurut Sulistijani dalam Bumi (2005), masa balita merupakan fase
terpenting dalam membangun fondasi pertumbuhan dan perkembangan
manusia. Rusmil (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah
bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan interseluler yang berarti
bertambahnya ukuran fisik dan struktur sebagian atau keseluruhan sehingga
dapat diukur dengan satuan panjang dan berat, sedangkan perkembangan
adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dengan
kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan
kemandirian. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah pada masa
balita, pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan
memengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya.
15
Sulistijani dalam Bumi (2005) selanjutnya menyatakan bahwa proses
tumbuh kembang anak sangat berkaitan dengan faktor kesehatan atau dengan
kata lain hanya pada anak yang sehat dapat terjadi proses tumbuh kembang
yang normal. Proses tersebut sangat bergantung pada orang tua meskipun
proses tumbuh kembang anak berlangsung secara alamiah. Apalagi masa lima
tahun pertama setelah anak lahir (bayi dan balita) merupakan masa yang akan
menentukan pembentukan fisik, psikis, maupun intelegensinya.
2.2.2. Pemantauan Pertumbuhan Balita
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
155/Menkes/Per/I/2010 Tentang Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS)
Bagi Balita, perubahan berat badan merupakan indikator yang sangat sensitif
untuk memantau pertumbuhan anak. Bila kenaikan berat badan anak lebih
rendah dari yang seharusnya, pertumbuhan anak terganggu dan anak berisiko
akan mengalami kekurangan gizi, sebaliknya bila kenaikan berat badan lebih
besar dari yang seharusnya merupakan indikasi risiko kelebihan gizi.
Menurut Departemen Kesehatan RI yang dikutip oleh Siahaan (2005),
pemantauan pertumbuhan balita di Indonesia telah dilaksanakan sejak Tahun
1975 melalui penimbangan bulanan di posyandu dengan menggunakan Kartu
Menuju Sehat (KMS). Dengan penimbangan setiap bulannya diharapkan
gangguan pertumbuhan setiap anak dapat diketahui lebih awal sehingga dapat
ditanggulangi secara cepat dan tepat. Pembinaan perkembangan anak yang
dilaksanakan secara tepat dan terarah menjamin anak tumbuh kembang secara
16
optimal sehingga menjadi manusia yang berkualitas, sehat cerdas, kreatif,
produktif, bertanggung jawab dan berguna bagi bangsa dan negara.
Pemantauan pertumbuhan adalah serangkaian kegiatan yang terdiri
dari : (1) Penilaian pertumbuhan anak secara teratur melalui penimbangan
berat badan setiap bulan, pengisian KMS, menentukan status pertumbuhan
berdasarkan hasil penimbangan berat badan; dan (2) Menindaklanjuti setiap
kasus gangguan pertumbuhan.
Pada saat ini pemantauan pertumbuhan merupakan kegiatan utama
posyandu yang jumlahnya mencapai lebih dari 260 ribu yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 yang
dikutip dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
155/Menkes/Per/I/2010 Tentang Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS)
Bagi Balita menunjukkan bahwa sebanyak 74,5% (sekitar 15 juta) balita
pernah ditimbang minimal 1 kali selama 6 bulan terakhir, 60,9% di antaranya
ditimbang lebih dari 4 kali, dan sebanyak 65% (sekitar 12 juta) balita
memiliki KMS. Tindak lanjut hasil pemantauan pertumbuhan biasanya berupa
konseling, pemberian makanan tambahan, pemberian suplementasi gizi dan
rujukan.
2.2.3. Cakupan Penimbangan Balita
Menurut Supariasa dalam Sagala (2005), penimbangan adalah
pengukuran anthropometri (pengukuran bagian-bagian tubuh) yang umum
digunakan dan merupakan kunci yang memberikan petunjuk nyata dari
perkembangan tubuh yang baik maupun yang buruk. Pengukuran
17
anthtropometri merupakan salah satu metode penentuan status gizi secara
langsung. Berat badan merupakan ukuran suatu pencerminan dari kondisi
yang sedang berlaku.
Berat badan anak ditimbang sebulan sekali mulai umur 1 bulan hingga
5 tahun di posyandu (Depkes RI, 2008). Supariasa dalam Sagala (2005)
menyatakan cakupan penimbangan balita (D/S) di posyandu adalah jumlah
anak balita yang datang ke posyandu dan baru pertama sekali ditimbang pada
periode waktu tertentu yang dibandingkan dengan jumlah anak balita yang
berada di wilayah posyandu pada periode waktu yang sama. Hasil cakupan
penimbangan merupakan salah satu alat untuk memantau gizi balita yang
dapat dimonitor dari berat badan hasil penimbangan yang tercatat di dalam
KMS.
2.2.4. Kartu Menuju Sehat (KMS) Bagi Balita
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
155/Menkes/Per/I/2010 Tentang Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS)
Bagi Balita, KMS Bagi Balita merupakan kartu yang memuat kurva
pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks antropometri berat badan
menurut umur yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. KMS adalah alat
yang sederhana dan murah, yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan
18
dan pertumbuhan anak, oleh karena itu KMS harus disimpan oleh ibu balita di
rumah dan harus selalu dibawa setiap kali mengunjungi posyandu atau
fasilitas pelayanan kesehatan termasuk bidan dan dokter. Dengan KMS,
gangguan pertumbuhan atau risiko kelebihan gizi dapat diketahui lebih dini,
sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan secara lebih cepat dan tepat
sebelum masalahnya lebih berat.
Keberhasilan posyandu tergambar melalui cakupan SKDN, yaitu:
S : Jumlah seluruh balita di wilayah kerja posyandu
K : Jumlah balita yang memiliki KMS di wilayah kerja posyandu
D : Jumlah balita yang ditimbang di wilayah kerja posyandu
N : Balita yang ditimbang 2 bulan berturut-turut dan garis pertumbuhan pada
KMS naik.
Adapun tindak lanjut penimbangan berdasarkan hasil penilaian
pertumbuhan balita yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 155/Menkes/Per/I/2010 Tentang Penggunaan
Kartu Menuju Sehat (KMS) Bagi Balita adalah sebagai berikut:
1. Berat badan naik (N)
a. Berikan pujian kepada ibu yang telah membawa balita ke posyandu
b. Berikan umpan balik dengan cara menjelaskan arti grafik
pertumbuhan anaknya yang tertera pada KMS secara sederhana
19
c. Anjurkan kepada ibu untuk mempertahankan kondisi anak dan
berikan nasihat tentang pemberian makan anak sesuai golongan
umurnya.
d. Anjurkan untuk datang pada penimbangan berikutnya.
2. Berat badan tidak naik 1 kali
a. Berikan pujian kepada ibu yang telah membawa balita ke posyandu.
b. Berikan umpan balik dengan cara menjelaskan arti grafik
pertumbuhan anaknya yang tertera pada KMS secara sederhana.
c. Tanyakan dan catat keadaan anak bila ada keluhan (batuk, diare,
panas, rewel dan lain-lain) dan kebiasaan makan anak.
d. Berikan penjelasan tentang kemungkinan penyebab berat badan
tidak naik tanpa menyalahkan ibu.
e. Berikan nasehat kepada ibu tentang anjuran pemberian makan anak
sesuai golongan umurnya
f. Anjurkan untuk datang pada penimbangan berikutnya.
3. Berat badan tidak naik 2 kali atau berada di Bawah Garis Merah (BGM)
a. Berikan pujian kepada ibu yang telah membawa balita ke posyandu
dan anjurkan untuk datang kembali bulan berikutnya.
b. Berikan umpan balik dengan cara menjelaskan arti grafik
pertumbuhan anaknya yang tertera pada KMS secara sederhana
c. Tanyakan dan catat keadaan anak bila ada keluhan (batuk, diare,
panas, rewel dan lain-lain) dan kebiasaan makan anak
20
d. Berikan penjelasan tentang kemungkinan penyebab berat badan
tidak naik tanpa menyalahkan ibu.
e. Berikan nasehat kepada ibu tentang anjuran pemberian makan anak
sesuai golongan umurnya
f. Rujuk anak ke puskesmas/pustu/poskesdes.
2.3. Pengaruh Karakteristik Ibu Balita terhadap Partisipasi dalam
Penimbangan Balita (D/S) di Posyandu
Mantra dalam Soeryoto (2000) menyatakan bahwa cakupan
penimbangan balita di posyandu dipengaruhi oleh faktor internal ibu balita
(karakteristik ibu) antara lain pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, jumlah
anggota keluarga, dan pengetahuan ibu mengenai posyandu.
Karakteristik ibu yang merupakan bagian dari karakteristik individu
seseorang mempunyai peranan penting terhadap pertumbuhan balita. Hal ini
sesuai dengan beberapa pernyataan dan pendapat para peneliti.
1. Paritas
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang
wanita. Tingkat paritas telah menarik perhatian para peneliti dalam hubungan
kesehatan si ibu maupun si anak (Notoatmodjo, 2003). Hasil penelitian
Junaidi dalam Soeryoto (2000) menyatakan bahwa penggunaan posyandu
dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga.
Menurut Pusat Studi Kependudukan Universitas Andalas yang dikutip
oleh Soeryoto (2000), keluarga dengan jumlah besar mempunyai kesempatan
21
kecil untuk datang memanfaatkan pelayanan di posyandu atau dalam hal ini
kesempatan untuk menimbangkan anaknya.
2. Pendidikan
Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian dan
mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, jasmani dan rohani yang
berlangsung seumur hidup, baik di dalam maupun di luar sekolah dalam
rangka pembangunan persatuan Indonesia dan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila (Hasibuan, 2005).
Hasil studi kuantitatif yang dilakukan Pusat Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat Depkes RI dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia yang dikutip oleh Soeryoto (2000), menyatakan faktor pendidikan
ibu balita yang baik akan mendorong ibu-ibu balita untuk membawa anaknya
ke posyandu.
3. Pekerjaan
Pekerjaan adalah kegiatan atau aktivitas utama yang dilakukan secara
rutin sebagai upaya untuk membiayai keluarga serta menunjang kebutuhan
rumah tangga. Salah satu alasan yang paling sering dikemukakan bila ibu
tidak membawa balitanya ke posyandu adalah karena mereka harus bekerja.
Hasil penelitian Sihotang yang dikutip oleh Soeryoto (2000)
menyatakan bahwa penggunaan posyandu terkait dengan status pekerjaan ibu.
Ibu balita yang mempunyai pekerjaan tetap akan memengaruhi kesempatan
untuk menimbangkan anaknya ke posyandu.
22
4. Pendapatan
Faktor pendapatan atau penghasilan sangat berhubungan erat dengan
kesehatan. Soetjiningsih dalam Khalimah (2007) menyatakan bahwa
pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak,
karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer
maupun yang sekunder.
5. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan dalam Notoatmodjo (2007) adalah hasil ‘tahu’ dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan ibu balita
yang baik mengenai posyandu tentunya akan terkait dengan cakupan
penimbangan balita.
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkat,
yakni :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
23
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut
secara benar.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di
sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
24
berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-
kriteria yang telah ada.
6. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang
bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu
perilaku (Notoatmodjo, 2003). Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri
dari berbagai tingkatan, yakni :
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
2. Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang
lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
25
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
risiko yang paling tinggi.
2.4. Partisipasi Masyarakat
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan oleh negara-negara yang
sedang berkembang termasuk Indonesia dengan dana dan daya yang minimal
untuk dapat memecahkan masalah kesehatan yang demikian kompleks adalah
melibatkan masyarakat konsumer (community participation). Partisipasi
masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat. Partisipasi masyarakat
di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam
memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Setiap anggota masyarakat
dituntut suatu kontribusi atau sumbangan di dalam partisipasi yang
diwujudkan dalam 4M, yaitu manpower (tenaga), money (uang), material
(benda-benda lain seperti kayu, bambu, beras, dan sebagainya), mind (ide atau
gagasan) (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Mikkelsen (2009) yang mengutip berbagai kajian Food
Agriculture Organization (FAO) terdapat beragam arti kata partisipasi, antara lain
:
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada program
tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.
26
2. Partisipasi adalah ‘pemekaan’ (membuat peka) pihak masyarakat untuk
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi
program-program pembangunan.
3. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif yang mengandung arti bahwa
orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan
menggunakan kebebasannya untuk menggunakan hal itu.
4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan
para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring agar
memperoleh informasi mengenai konteks sosial dan dampak-
dampaknya.
5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan
yang ditentukan sendiri.
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri,
kehidupan dan lingkungan mereka.
Craig dan Mayo dalam Yustina (2005) mengatakan empowerment is
road to participation. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu
partisipasi dalam masyarakat. Belum adanya partisipasi aktif dalam
masyarakat untuk menciptakan kondisi yang kondusif pada proses
pembangunan mengisyaratkan belum berdayanya sebagian masyarakat kita.
Keberdayaan memang menjadi syarat untuk berpartisipasi karena merupakan
sesuatu yang sulit bagi masyarakat ketika mereka dikehendaki berpartisipasi.
namun tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang segala aktivitas
yang mendukung proses pembangunan.
27
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2009 menyatakan bahwa
tujuan subsistem pemberdayaan masyarakat adalah meningkatnya
kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat, mampu mengatasi
masalah kesehatan secara mandiri, berperanserta dalam setiap upaya
kesehatan serta dapat menjadi penggerak dalam mewujudkan pembangunan
berwawasan kesehatan.
Mikkelsen dalam Soetomo yang dikutip oleh Sari (2009) mengembangkan
asumsi teoritik sebagai berikut :
1. Tujuan pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik antara
kelompok –kelompok masyarakat dapat diredam melalui pola
demokrasi setempat. Oleh karena itu partisipasi masyarakat adalah hal
yang memungkinkan.
2. Pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat.
3. Pemberdayaan masyarakat mutlak perlu mendapatkan partisipasinya
karena pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya untuk program
pembangunan yang ditetapkan masyarakat, kecuali masyarakat itu
sendiri mempunyai kemampuan untuk memaksa pemerintahnya.
4. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti
adanya penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat itu
sendiri dan secara eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana
program.
28
Notoatmodjo (2007) mengatakan syarat-syarat tumbuhnya partisipasi
dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu : Pertama, adanya kesempatan
untuk membangun dalam pembangunan; Kedua, adanya kemampuan untuk
memanfaatkan. kesempatan itu; Ketiga, adanya kemauan untuk berpartisipasi.
Untuk meningkatkan partisipasi, maka kesempatan, kemampuan dan kemauan
untuk berpartisipasi dalam pembangunan itu perlu ditingkatkan. Peningkatan
partisipasi masyarakat adalah suatu proses di mana individu, keluarga dan
masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program
pembangunan kesehatan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meyakinkan
masyarakat bahwa program tersebut perlu dilaksanakan oleh masyarakat untuk
mengatasi masalah kesehatan yang ada di lingkungannya.
Kegiatan ini dapat meningkatkan rasa percaya diri masyarakat untuk ikut
melaksanakan pembangunan. Peningkatan partisipasi masyarakat menumbuhkan
berbagai peluang yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat untuk secara
aktif berkontribusi dalam pembangunan, sehingga dapat menghasilkan manfaat
yang merata bagi seluruh warga.
2.5. Kerangka Konsep Penelitian
Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah :
Variabel Independen Variabel
Dependen
29
30
Partisipasi Ibu dalam Penimbangan Balita (D/S) di Posyandu
Karakteristik Ibu Balita : - Paritas - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan - Pengetahuan - Sikap
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survei penjelasan atau explanatory yang
bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik ibu balita (paritas,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan dan sikap) terhadap
keteraturan keposyandu di kelurahan Mandalika tahun 2013.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Madalika Kota Mataram.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai balita (usia 12-59 bulan)
yang tinggal di Kelurahan Mandalika. Berdasarkan data yang diperoleh dari posyandu
di wilayah kerja Puskesmas Cakranegara, jumlah ibu yang mempunyai balita di
Kelurahan Desa Binjai adalah 1033 orang.
3.3.2. Sampel
Mengingat tidak tersedianya kerangka sampel (sampling frame) dan berbagai
keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti baik berupa tenaga, waktu, maupun biaya
maka peneliti menetapkan sampel dengan teknik cluster sampling. Teknik cluster
sampling dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama menentukan sampel daerah
31
yang dalam hal ini adalah lingkungan. Wilayah kerja Puskesmas Cakranegara
mencakup 8 lingkungan.
Tahap berikutnya adalah penarikan sampel ibu balita yang ada pada daerah itu
dengan simple random sampling. Jumlah seluruh ibu balita di 8 lingkungan yang
telah dipilih tersebut adalah 91 orang.
Rumus menetapkan besar sampel yang terdapat pada Notoatmodjo (2003) :
Rumus slovin
Dan di abil sampel di tiap –tiap lingkungan dengan rumus p
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu :
1. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden yang
berpedoman pada kuesioner penelitian.
2. Data sekunder diperoleh dengan cara melihat catatan/dokumen (file) yang
berhubungan dengan penelitian, di Puskesmas Desa Binjai, dari Dinas Kesehatan
Kota Medan.
3.5. Definisi Operasional
Untuk memudahkan penelitian serta memiliki persepsi yang sama, maka definisi
operasional penelitian ini adalah :
a. Ibu balita adalah ibu yang mempunyai balita umur 12-59 bulan.
b. Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita (Glossary,
Statistics Indonesia, 2010). Berdasarkan Kamus Istilah BKKBN dalam Gunawan
32
(2009), jumlah anak dalam satu keluarga dibedakan atas keluarga kecil dan keluarga
besar.
1. Keluarga kecil : bila keluarga memiliki 1-2 orang anak
2. Keluarga besar : bila keluarga memiliki >2 orang anak
c. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh
responden yang dinyatakan berdasarkan ijasah terakhir, dengan kategori :
a. Rendah, bila responden tidak sekolah/ tidak tamat SD/ SD
b. Sedang, bila responden SMP/SMA
c. Tinggi, bila responden Diploma/Sarjana
d. Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktifitas yang dilakukan responden untuk
memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, yang
dibedakan atas :
a. Tidak bekerja (termasuk Ibu Rumah Tangga (IRT))
b. Bekerja (Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Swasta, Tani, Pedagang, dan
lainnya)
e. Pendapatan adalah penghasilan atau seluruh penerimaan baik barang atau uang dari
pihak lain atau hasil sendiri dengan jumlah uang atau harga yang berlaku saat
ini. Pendapatan dalam penelitian ini diukur memakai skala ordinal dan
berdasarkan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) sesuai Surat Keputusan
Gubernur Sumatera Utara No. L 561/032K/Tahun 2008 yaitu sebesar
Rp.1.020.000,- per bulan. Pendapatan dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu:
1. Penghasilan di bawah UMSK (< UMSK) atau < Rp. 1.020.000,- per bulan
33
2. Penghasilan di atas atau sama dengan UMSK ( ≥ UMSK) ≥ Rp. 1.020.000,-
per bulan.
f. Pengetahuan adalah hasil tahu responden tentang penimbangan balita, baik yang
diperoleh dari penyuluhan oleh petugas kesehatan maupun media cetak/elektronik.
Digali berdasarkan kemampuan menjawab tentang kegiatan posyandu, pertumbuhan,
penimbangan dan KMS.
g. Sikap adalah kecenderungan responden untuk berespon (secara positif atau negatif)
dalam program pemantauan pertumbuhan balita melalui penimbangan balita.
34