BAB I

53
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Kekurangan gizi belum dapat diselesaikan, prevalensi masalah gizi lebih dan obesitas mulai meningkat khususnya pada kelompok sosial ekonomi menengah ke atas di perkotaan. Dengan kata lain, saat ini Indonesia tengah menghadapi masalah gizi ganda. Hal ini sangat merisaukan karena mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan di masa mendatang (Depkes RI, 2007). Sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas merupakan modal utama atau investasi dalam pembangunan kesehatan. Ukuran kualitas SDM dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), 1

description

kes

Transcript of BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama

di Indonesia. Kekurangan gizi belum dapat diselesaikan, prevalensi masalah

gizi lebih dan obesitas mulai meningkat khususnya pada kelompok sosial

ekonomi menengah ke atas di perkotaan. Dengan kata lain, saat ini Indonesia

tengah menghadapi masalah gizi ganda. Hal ini sangat merisaukan karena

mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan di

masa mendatang (Depkes RI, 2007).

Sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas merupakan modal

utama atau investasi dalam pembangunan kesehatan. Ukuran kualitas SDM

dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran

kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan

dan status gizi masyarakat. Upaya pengembangan kualitas SDM dengan

mengoptimalkan potensi tumbuh kembang anak dapat dilaksanakan secara

merata apabila sistem pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat dapat

dilakukan secara efektif dan efisien dan dapat menjangkau semua sasaran

yang membutuhkan layanan (Depkes RI, 2006).

1

Kekurangan gizi pada umumnya terjadi pada balita karena pada umur

tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat. Balita termasuk kelompok

yang rentan gizi di suatu kelompok masyarakat di mana masa itu merupakan

masa peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola makan orang

dewasa (Adisasmito, 2007).

Diperkirakan masih terdapat sekitar 1,7 juta balita terancam gizi buruk

yang keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok Indonesia. Jumlah balita di

Indonesia menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN) Tahun 2007 mencapai 17,2% dengan laju pertumbuhan penduduk

2,7% per tahun. United Nations Children’s Fund (UNICEF) melaporkan

Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah anak

yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7

juta balita (Depkes RI, 2007). Di beberapa provinsi seperti di Nusa Tenggara

Barat (NTB) selama Bulan Januari hingga Oktober 2009 tercatat lebih dari

600 kasus gizi buruk yang pada umumnya menimpa balita dan 31 kasus di

antaranya mengakibatkan kematian (Rio, 2009).

Pemerintah terus berupaya meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat khususnya menangani masalah gizi balita karena hal itu

berpengaruh terhadap pencapaian salah satu tujuan Millennium Development

Goals (MDGs) pada Tahun 2015 yaitu mengurangi dua per tiga tingkat

kematian anak-anak usia di bawah lima tahun. Prevalensi kekurangan gizi

2

pada anak balita menurun dari 25,8 % pada Tahun 2004 menjadi 18,4 % pada

Tahun 2007, sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) Tahun 2010-2014 menargetkan penurunan prevalensi kekurangan

gizi (gizi kurang dan gizi buruk) pada anak balita adalah <15,0% pada Tahun

2014 (Sarjunani, 2009).

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan

tujuan penyusunan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG)

Tahun 2006-2010 antara lain meningkatkan pemahaman peran pembangunan

pangan dan gizi sebagai investasi untuk SDM berkualitas, meningkatkan

kemampuan menganalisis perkembangan situasi pangan dan gizi, dan

meningkatkan koordinasi penanganan masalah secara terpadu (Depkes RI,

2007).

Upaya pemerintah tersebut harus didukung oleh berbagai komponen

masyarakat karena masalah gizi di Indonesia bukan hanya masalah kesehatan

masyarakat tetapi menyangkut pembangunan bangsa.Berdasarkan Sistem

Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2009, pembangunan kesehatan perlu

digerakkan oleh masyarakat di mana masyarakat mempunyai peluang dan

peran yang penting dalam pembangunan kesehatan, oleh karena itu

pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting atas dasar untuk

menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuannya sebagai pelaku

pembangunan kesehatan. Tinuk dalam Iskandar (2006) menyatakan

pemberdayaan masyarakat adalah upaya peningkatan kemampuan masyarakat

3

untuk berpartisipasi aktif, berperan aktif, bernegosiasi, memengaruhi dan

mengendalikan kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung gugat demi

perbaikan kehidupannya. Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, masyarakat berperan serta baik secara per orangan maupun

terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam

rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat

yang setinggi-tingginya.

Pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan berbasis masyarakat secara

optimal oleh masyarakat seperti Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

merupakan salah satu pendekatan untuk menemukan dan mengatasi persoalan

gizi pada balita. Posyandu adalah salah satu bentuk Upaya Kesehatan

Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan

dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan

pembangunan kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan memberikan

kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar

(Depkes RI, 2006).

Posyandu meliputi lima program prioritas yaitu Keluarga Berencana

(KB), Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), gizi, imunisasi, dan penanggulangan

diare terbukti mempunyai daya ungkit besar terhadap penurunan angka

kematian bayi dan balita (Adisasmito, 2007). Posyandu erat sekali kaitannya

dengan peran serta aktif masyarakat. Sejak diperkenalkan Tahun 1980-an,

posyandu diakui memberikan kontribusi yang besar terhadap keberhasilan

4

pembangunan kesehatan dan gizi. Balita merupakan salah satu sasaran

posyandu yang cukup penting oleh karena balita merupakan proporsi yang

cukup besar dari komposisi penduduk Indonesia (Depkes RI, 2006).

Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat yang dimanfaatkan oleh

ibu untuk memperoleh pelayanan dan sebagai sumber informasi untuk

meningkatkan pengetahuannya dalam hal gizi dan kesehatan. Pemantauan

status gizi dan kesehatan anak dapat dilakukan dengan baik melalui kegiatan

di posyandu (Madanidjah, 2007).

Menurut Depkes RI, 2006, perubahan berat badan balita dari waktu ke

waktu merupakan petunjuk awal perubahan status gizi balita. Anak balita

sehat, gizi kurang atau gizi lebih (obesitas) khususnya di daerah perkotaan

dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan. Upaya

pemantauan terhadap pertumbuhan balita dilakukan melalui kegiatan

penimbangan balita di posyandu secara rutin tiap bulannya yang hasilnya

dicatat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) .

Ibu yang tidak menimbang balitanya ke posyandu dapat menyebabkan

tidak terpantaunya pertumbuhan dan perkembangan balita dan berturut-turut

berisiko keadaan gizinya memburuk sehingga mengalami gangguan

pertumbuhan (Depkes RI, 2006). Penelitian Ariana dalam Nasution (2007)

menyatakan bahwa balita yang rutin setiap bulan datang dan ditimbang di

posyandu sebagian besar mempunyai status gizi baik dan yang tidak rutin

datang dan ditimbang mempunyai status gizi kurang.

5

Strauss et al. yang dikutip oleh Trias (2007) menyatakan bahwa

bentuk peran serta (partisipasi) masyarakat di posyandu diukur melalui

cakupan penimbangan balita yaitu jumlah anak bawah lima tahun (balita)

yang ditimbang dalam suatu wilayah posyandu dibandingkan dengan jumlah

anak balita yang ada dalam suatu wilayah posyandu tersebut (D/S). Partisipasi

masyarakat dalam masalah kesehatan sangat diperlukan sebagaimana

masyarakat tersebut ikut menjadi peserta yang efektif.

Kegiatan penimbangan di posyandu dimaksudkan untuk memantau

status gizi balita dan melihat tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi

masyarakat ke posyandu dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan yang

cukup signifikan. Secara nasional tingkat partisipasi masyarakat ke posyandu

hanya mencapai 50,5%. Data yang paling kuat diperoleh dari temuan

Indonesian Family Life Survey (IFLS) di mana terjadi penurunan sebesar 12%

terhadap penggunaan posyandu baik oleh balita laki-laki maupun perempuan

dalam rentang Tahun 1997 hingga Tahun 2000.

Strauss et al. selanjutnya menyatakan dari data IFLS diketahui bahwa

pada saat terjadi penurunan cakupan posyandu, pemanfaatan terhadap layanan

kesehatan pribadi atau swasta meningkat dengan cukup signifikan.

Penggunaan bidan praktek meningkat sebesar 10% antara Tahun 1997-2000

yang mengindikasikan kecenderungan preference masyarakat untuk

mendapatkan layanan kesehatan hanya saat mereka merasa membutuhkan

utamanya saat mereka sakit, bukan untuk mendapatkan layanan monitoring

kesehatan dan gizi seperti yang diberikan di posyandu (Trias, 2007).

6

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2007 menunjukkan bahwa status gizi kurang balita di Sumatera Utara

pada Tahun 2007 mencapai 22,7%. Sebagian besar balita ditimbang di

posyandu yaitu sebesar 63%, sedangkan ditimbang di puskesmas sebesar

15%. Secara umum 32% balita tidak mempunyai KMS, 51% mempunyai

KMS tetapi tidak dapat menunjukkan. Persentase anak yang ibunya dapat

menunjukan KMS turun seiring naiknya umur anak (40% anak umur 6-11

bulan, dan 8% anak umur 48-59 bulan). Hal ini dapat disebabkan KMS yang

dimiliki anak yang lebih tua sudah banyak yang hilang atau dibuang.

Cakupan penimbangan balita (D/S) di Kota Medan dalam Profil

Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2007 masih tergolong sangat rendah yaitu

dari 137.396 balita yang ada hanya 34.470 balita yang ditimbang (25,09%).

Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Medan (2008), Balita Bawah Garis Merah

(BGM) di Kota Medan Tahun 2008 berjumlah 1.572 orang, sedangkan Tahun

2007 berjumlah 625 orang yang berarti terjadi peningkatan kasus. Hal ini

disebabkan pada Bulan Mei Tahun 2008 dilaksanakan operasi timbang yang

wajib dilaksanakan oleh seluruh puskesmas dan puskesmas pembantu

sehingga balita yang selama ini tidak pernah datang ke posyandu dapat

terjaring pada saat operasi ini.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 Tahun 2008

Tentang Standard Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan Kabupaten/Kota,

cakupan pelayanan anak balita yaitu 90% pada Tahun 2010. Puskesmas Desa

7

Binjai menargetkan cakupan penimbangan balita mencapai 75%. Berdasarkan

Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2008, diketahui bahwa dari 5.105 balita

di wilayah kerja Puskesmas Desa Binjai terdapat 51 balita BGM (3,51%) dan

balita gizi buruk sebanyak 14 balita (0,96%).

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara

kepada salah seorang petugas gizi puskesmas yang juga bertugas di posyandu

diketahui bahwa kesadaran masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Desa

Binjai Kecamatan Medan Denai dalam kegiatan posyandu khususnya

membawa balitanya untuk ditimbang masih kurang sehingga puskesmas

mengalami kesulitan dalam mendata balita. Sebagian besar ibu bayi/balita

hanya membawa anaknya untuk imunisasi dan menimbang anaknya hingga

usia tiga tahun, kemudian mereka tidak datang lagi membawa anaknya ke

posyandu. Laporan cakupan penimbangan di posyandu adalah cakupan

penimbangan bayi hingga usia bawah tiga tahun (batita) dan keadaan ini

menunjukkan pertumbuhan anak balita tidak terpantau, oleh karena itu

petugas puskesmas terus mengingatkan ibu bayi/balita pada saat pelaksanaan

posyandu untuk rutin memantau pertumbuhan anaknya ke posyandu hingga

usia lima tahun.

Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup

yang sangat luas. Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam

pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam

bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Pengetahuan atau kognitif

8

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (overt behaviour) karena berdasarkan pengalaman dan penelitian

ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng

daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Hasil penelitian Hanafiah dalam Sari (2009) di Desa Matang Tepah

Kabupaten Aceh Tamiang dapat dilihat tingginya frekuensi pemanfaatan

posyandu (12 kali dalam satu tahun) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara

lain faktor karakteristik ibu bayi/balita yang meliputi pengetahuan dan

pendidikan ibu bayi/balita dan faktor persepsi yang meliputi persepsi tentang

penampilan kader dan jarak posyandu.

Razali (2004) menyatakan bahwa faktor penyebab cakupan

penimbangan balita di Kabupaten Bengkalis pada Tahun 2002 berada pada

posisi paling bawah di tingkat provinsi yaitu sebesar 33,1% antara lain

menurunnya kinerja posyandu dan kurang mendukungnya perilaku

masyarakat. Widiastuti (2006) menyatakan ibu balita yang tidak mau datang

ke posyandu karena tidak mengetahui manfaat posyandu dan tujuan ibu balita

berkunjung ke posyandu untuk memantau perkembangan balitanya dan

mendapatkan makanan tambahan serta dapat berkumpul dengan ibu balita

yang lain.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang pengaruh karakteristik ibu balita (paritas,

pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan dan sikap) terhadap

9

partisipasi dalam penimbangan balita (D/S) di Posyandu Desa Binjai

Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2010.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas,

maka yang menjadi perumusan masalah penelitian adalah apakah ada

pengaruh karakteristik ibu balita (paritas, pendidikan, pekerjaan, pendapatan,

pengetahuan dan sikap) terhadap keteraturan ke posyandu di Kelurahan

Mandalika Kota Mataram Tahun 2013

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh karakteristik

ibu balita (paritas, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan dan sikap)

terhadap partisipasi keteraturan ke posyandu di Kelurahan Mandalika Kota

Mataram Tahun 2013

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan kepada kantor Dinas Kesehatan Kota Mataram dalam

rangka pembinaan Posyandu.

2. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Puskesmas Cakranegara Posyandu

Kecamatan Mandalika dalam rangka menyusun strategi pembinaan yang

efektif dan efisien terhadap posyandu, inovatif dan menarik perhatian

masyarakat di wilayah kerjanya.

3. Menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan peneliti dalam bidang

Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat.

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Posyandu

Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan salah satu bentuk Upaya

Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan

diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam

penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat

dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh kesehatan

dasar, utamanya untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi

(Depkes RI, 2006).

Posyandu merupakan garda depan kesehatan balita di mana pelayanan

yang diberikan posyandu sangat dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dan

keuntungan bagi kesehatan masyarakat khususnya bayi dan balita (Airin, 2010).

Upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia dengan mengoptimalkan

potensi tumbuh kembang anak dapat dilaksanakan secara merata apabila sistem

pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat seperti posyandu dapat dilakukan

secara efektif dan efisien dan dapat menjangkau semua sasaran yang

membutuhkan layanan tumbuh kembang anak, ibu hamil, ibu menyusui dan ibu

nifas (Depkes RI, 2006).

Tujuan posyandu adalah menunjang percepatan penurunan Angka

Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia melalui

upaya pemberdayaan masyarakat. Sasaran pelayanan kesehatan di posyandu

11

adalah seluruh masyarakat utamanya bayi, anak balita, ibu hamil, ibu

melahirkan, ibu nifas dan ibu menyusui, serta Pasangan Usia Subur (PUS).

Kegiatan posyandu terdiri dari Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga

Berencana (KB), imunisasi, gizi dan pencegahan dan penanggulangan diare.

Pada hakikatnya posyandu dilaksanakan dalam 1 (satu) bulan kegiatan,

baik pada hari buka posyandu maupun di luar hari buka posyandu. Hari buka

posyandu sekurang-kurangnya satu hari dalam sebulan. Hari dan waktu yang

dipilih sesuai dengan kesepakatan. Hari buka posyandu dapat lebih dari satu kali

dalam sebulan apabila diperlukan. Kegiatan rutin posyandu diselenggarakan dan

dimotori oleh kader posyandu dengan bimbingan teknis dari puskesmas dan

sektor terkait. Jumlah minimal kader untuk setiap posyandu adalah 5 (lima)

orang. Jumlah ini sesuai dengan jumlah kegiatan utama yang dilaksanakan oleh

posyandu, yakni yang mengacu pada sistem 5 meja (Depkes RI, 2006).

Indikator yang digunakan dalam pengukuran pelaksanaan posyandu ini

antara lain frekuensi kunjungan (penimbangan) setiap bulan yang bila teratur

akan ada 12 kali penimbangan setiap tahun. Dalam kenyataan tidak semua

posyandu dapat berfungsi setiap bulan sehingga frekuensinya kurang dari 12 kali

setahun. Untuk ini diambil batasan 8 kali penimbangan setahun di mana bila

frekuensi penimbangan di atas 8 kali setahun, maka pemanfaatan posyandu

dianggap sudah baik ( Zulkifli, 2003).

Berdasarkan Depkes RI (2006), perkembangan masing-masing posyandu

tidak sama, dengan demikian pembinaan yang dilakukan untuk masing-masing

12

posyandu juga berbeda. Untuk mengetahui tingkat perkembangan posyandu,

telah dikembangkan metode dan alat telaahan perkembangan posyandu yang

dikenal dengan nama Telaah Kemandirian Posyandu.

Tingkat

Perkembangan

Kriteria

Posyandu Pratama Posyandu yang masih belum mantap

kegiatannya, masih belum bisa rutin

setiap bulan, dan kader aktifnya terbatas

kurang dari 5 orang

Posyandu Madya Sudah dapat melaksanakan kegiatan

lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-

rata jumlah kader tugas 5 orang atau

lebih, akan tetapi cakupan program

utamanya masih rendah yaitu kurang dari

50. Intervensi untuk Posyandu madya

antara lain :

a. Pelatihan tokoh masyarakat

b. Penggarapan dengan Pendekatan

Pembangunan Kesehatan Masyarakat

13

Desa (PKMD) untuk menentukan

masalah dan mencari penyelesaian situasi

dan kondisi setempat.

Posyandu Purnama Posyandu yang frekuensinya lebih dari

8x setahun, rata-rata jumlah kader tugas

5 orang atau lebih dan cakupan 5

program utamanya lebih dari 50% sudah

ada program tambahan bahkan mungkin

sudah ada dana sehat yang masih

sederhana.

Posyandu Mandiri Sudah dapat melaksanakan kegiatan

secara teratur, dengan jumlah kader rata-

rata 5 orang atau lebih cakupan 5

program utama sudah bagus, ada

program

Posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya sebagai unit pemantau tumbuh

kembang anak serta menyampaikan pesan kepada ibu sebagai agen pembaharuan dan

anggota keluarga yang memiliki bayi dan balita dengan mengupayakan bagaimana

memelihara anak secara baik yang mendukung tumbuh kembang anak sesuai

potensinya. Kurang berfungsinya posyandu sehingga kinerjanya menjadi rendah

antara lain disebabkan oleh rendahnya kemampuan kader dan pembinaan dari unsur

pemerintah desa/kelurahan dan dinas/instansi/lembaga terkait yang kemudian

14

mengakibatkan rendahnya minat masyarakat untuk menggunakan posyandu. Upaya

revitalisasi posyandu telah dilaksanakan sejak krisis ekonomi timbul agar posyandu

dapat melaksanakan fungsi dasarnya, namun diakui bahwa meskipun sejak Tahun

1999 telah diprogramkan upaya revitalisasi posyandu di seluruh Indonesia tetapi

fungsi dan kinerja posyandu secara umum masih belum menunjukkan hasil yang

optimal. Oleh karena itu, upaya revitalisasi posyandu perlu terus ditingkatkan dan

dilanjutkan agar mampu memenuhi kebutuhan pelayanan terhadap kelompok sasaran

yang rentan (Depdagri RI, 2001).

2.2. Balita

2.2.1. Pertumbuhan dan Perkembangan Balita

Menurut Sulistijani dalam Bumi (2005), masa balita merupakan fase

terpenting dalam membangun fondasi pertumbuhan dan perkembangan

manusia. Rusmil (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah

bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan interseluler yang berarti

bertambahnya ukuran fisik dan struktur sebagian atau keseluruhan sehingga

dapat diukur dengan satuan panjang dan berat, sedangkan perkembangan

adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dengan

kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan

kemandirian. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah pada masa

balita, pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan

memengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya.

15

Sulistijani dalam Bumi (2005) selanjutnya menyatakan bahwa proses

tumbuh kembang anak sangat berkaitan dengan faktor kesehatan atau dengan

kata lain hanya pada anak yang sehat dapat terjadi proses tumbuh kembang

yang normal. Proses tersebut sangat bergantung pada orang tua meskipun

proses tumbuh kembang anak berlangsung secara alamiah. Apalagi masa lima

tahun pertama setelah anak lahir (bayi dan balita) merupakan masa yang akan

menentukan pembentukan fisik, psikis, maupun intelegensinya.

2.2.2. Pemantauan Pertumbuhan Balita

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

155/Menkes/Per/I/2010 Tentang Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS)

Bagi Balita, perubahan berat badan merupakan indikator yang sangat sensitif

untuk memantau pertumbuhan anak. Bila kenaikan berat badan anak lebih

rendah dari yang seharusnya, pertumbuhan anak terganggu dan anak berisiko

akan mengalami kekurangan gizi, sebaliknya bila kenaikan berat badan lebih

besar dari yang seharusnya merupakan indikasi risiko kelebihan gizi.

Menurut Departemen Kesehatan RI yang dikutip oleh Siahaan (2005),

pemantauan pertumbuhan balita di Indonesia telah dilaksanakan sejak Tahun

1975 melalui penimbangan bulanan di posyandu dengan menggunakan Kartu

Menuju Sehat (KMS). Dengan penimbangan setiap bulannya diharapkan

gangguan pertumbuhan setiap anak dapat diketahui lebih awal sehingga dapat

ditanggulangi secara cepat dan tepat. Pembinaan perkembangan anak yang

dilaksanakan secara tepat dan terarah menjamin anak tumbuh kembang secara

16

optimal sehingga menjadi manusia yang berkualitas, sehat cerdas, kreatif,

produktif, bertanggung jawab dan berguna bagi bangsa dan negara.

Pemantauan pertumbuhan adalah serangkaian kegiatan yang terdiri

dari : (1) Penilaian pertumbuhan anak secara teratur melalui penimbangan

berat badan setiap bulan, pengisian KMS, menentukan status pertumbuhan

berdasarkan hasil penimbangan berat badan; dan (2) Menindaklanjuti setiap

kasus gangguan pertumbuhan.

Pada saat ini pemantauan pertumbuhan merupakan kegiatan utama

posyandu yang jumlahnya mencapai lebih dari 260 ribu yang tersebar di

seluruh wilayah Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 yang

dikutip dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

155/Menkes/Per/I/2010 Tentang Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS)

Bagi Balita menunjukkan bahwa sebanyak 74,5% (sekitar 15 juta) balita

pernah ditimbang minimal 1 kali selama 6 bulan terakhir, 60,9% di antaranya

ditimbang lebih dari 4 kali, dan sebanyak 65% (sekitar 12 juta) balita

memiliki KMS. Tindak lanjut hasil pemantauan pertumbuhan biasanya berupa

konseling, pemberian makanan tambahan, pemberian suplementasi gizi dan

rujukan.

2.2.3. Cakupan Penimbangan Balita

Menurut Supariasa dalam Sagala (2005), penimbangan adalah

pengukuran anthropometri (pengukuran bagian-bagian tubuh) yang umum

digunakan dan merupakan kunci yang memberikan petunjuk nyata dari

perkembangan tubuh yang baik maupun yang buruk. Pengukuran

17

anthtropometri merupakan salah satu metode penentuan status gizi secara

langsung. Berat badan merupakan ukuran suatu pencerminan dari kondisi

yang sedang berlaku.

Berat badan anak ditimbang sebulan sekali mulai umur 1 bulan hingga

5 tahun di posyandu (Depkes RI, 2008). Supariasa dalam Sagala (2005)

menyatakan cakupan penimbangan balita (D/S) di posyandu adalah jumlah

anak balita yang datang ke posyandu dan baru pertama sekali ditimbang pada

periode waktu tertentu yang dibandingkan dengan jumlah anak balita yang

berada di wilayah posyandu pada periode waktu yang sama. Hasil cakupan

penimbangan merupakan salah satu alat untuk memantau gizi balita yang

dapat dimonitor dari berat badan hasil penimbangan yang tercatat di dalam

KMS.

2.2.4. Kartu Menuju Sehat (KMS) Bagi Balita

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

155/Menkes/Per/I/2010 Tentang Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS)

Bagi Balita, KMS Bagi Balita merupakan kartu yang memuat kurva

pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks antropometri berat badan

menurut umur yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. KMS adalah alat

yang sederhana dan murah, yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan

18

dan pertumbuhan anak, oleh karena itu KMS harus disimpan oleh ibu balita di

rumah dan harus selalu dibawa setiap kali mengunjungi posyandu atau

fasilitas pelayanan kesehatan termasuk bidan dan dokter. Dengan KMS,

gangguan pertumbuhan atau risiko kelebihan gizi dapat diketahui lebih dini,

sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan secara lebih cepat dan tepat

sebelum masalahnya lebih berat.

Keberhasilan posyandu tergambar melalui cakupan SKDN, yaitu:

S : Jumlah seluruh balita di wilayah kerja posyandu

K : Jumlah balita yang memiliki KMS di wilayah kerja posyandu

D : Jumlah balita yang ditimbang di wilayah kerja posyandu

N : Balita yang ditimbang 2 bulan berturut-turut dan garis pertumbuhan pada

KMS naik.

Adapun tindak lanjut penimbangan berdasarkan hasil penilaian

pertumbuhan balita yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 155/Menkes/Per/I/2010 Tentang Penggunaan

Kartu Menuju Sehat (KMS) Bagi Balita adalah sebagai berikut:

1. Berat badan naik (N)

a. Berikan pujian kepada ibu yang telah membawa balita ke posyandu

b. Berikan umpan balik dengan cara menjelaskan arti grafik

pertumbuhan anaknya yang tertera pada KMS secara sederhana

19

c. Anjurkan kepada ibu untuk mempertahankan kondisi anak dan

berikan nasihat tentang pemberian makan anak sesuai golongan

umurnya.

d. Anjurkan untuk datang pada penimbangan berikutnya.

2. Berat badan tidak naik 1 kali

a. Berikan pujian kepada ibu yang telah membawa balita ke posyandu.

b. Berikan umpan balik dengan cara menjelaskan arti grafik

pertumbuhan anaknya yang tertera pada KMS secara sederhana.

c. Tanyakan dan catat keadaan anak bila ada keluhan (batuk, diare,

panas, rewel dan lain-lain) dan kebiasaan makan anak.

d. Berikan penjelasan tentang kemungkinan penyebab berat badan

tidak naik tanpa menyalahkan ibu.

e. Berikan nasehat kepada ibu tentang anjuran pemberian makan anak

sesuai golongan umurnya

f. Anjurkan untuk datang pada penimbangan berikutnya.

3. Berat badan tidak naik 2 kali atau berada di Bawah Garis Merah (BGM)

a. Berikan pujian kepada ibu yang telah membawa balita ke posyandu

dan anjurkan untuk datang kembali bulan berikutnya.

b. Berikan umpan balik dengan cara menjelaskan arti grafik

pertumbuhan anaknya yang tertera pada KMS secara sederhana

c. Tanyakan dan catat keadaan anak bila ada keluhan (batuk, diare,

panas, rewel dan lain-lain) dan kebiasaan makan anak

20

d. Berikan penjelasan tentang kemungkinan penyebab berat badan

tidak naik tanpa menyalahkan ibu.

e. Berikan nasehat kepada ibu tentang anjuran pemberian makan anak

sesuai golongan umurnya

f. Rujuk anak ke puskesmas/pustu/poskesdes.

2.3. Pengaruh Karakteristik Ibu Balita terhadap Partisipasi dalam

Penimbangan Balita (D/S) di Posyandu

Mantra dalam Soeryoto (2000) menyatakan bahwa cakupan

penimbangan balita di posyandu dipengaruhi oleh faktor internal ibu balita

(karakteristik ibu) antara lain pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, jumlah

anggota keluarga, dan pengetahuan ibu mengenai posyandu.

Karakteristik ibu yang merupakan bagian dari karakteristik individu

seseorang mempunyai peranan penting terhadap pertumbuhan balita. Hal ini

sesuai dengan beberapa pernyataan dan pendapat para peneliti.

1. Paritas

Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang

wanita. Tingkat paritas telah menarik perhatian para peneliti dalam hubungan

kesehatan si ibu maupun si anak (Notoatmodjo, 2003). Hasil penelitian

Junaidi dalam Soeryoto (2000) menyatakan bahwa penggunaan posyandu

dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga.

Menurut Pusat Studi Kependudukan Universitas Andalas yang dikutip

oleh Soeryoto (2000), keluarga dengan jumlah besar mempunyai kesempatan

21

kecil untuk datang memanfaatkan pelayanan di posyandu atau dalam hal ini

kesempatan untuk menimbangkan anaknya.

2. Pendidikan

Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian dan

mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, jasmani dan rohani yang

berlangsung seumur hidup, baik di dalam maupun di luar sekolah dalam

rangka pembangunan persatuan Indonesia dan masyarakat adil dan makmur

berdasarkan Pancasila (Hasibuan, 2005).

Hasil studi kuantitatif yang dilakukan Pusat Penyuluhan Kesehatan

Masyarakat Depkes RI dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia yang dikutip oleh Soeryoto (2000), menyatakan faktor pendidikan

ibu balita yang baik akan mendorong ibu-ibu balita untuk membawa anaknya

ke posyandu.

3. Pekerjaan

Pekerjaan adalah kegiatan atau aktivitas utama yang dilakukan secara

rutin sebagai upaya untuk membiayai keluarga serta menunjang kebutuhan

rumah tangga. Salah satu alasan yang paling sering dikemukakan bila ibu

tidak membawa balitanya ke posyandu adalah karena mereka harus bekerja.

Hasil penelitian Sihotang yang dikutip oleh Soeryoto (2000)

menyatakan bahwa penggunaan posyandu terkait dengan status pekerjaan ibu.

Ibu balita yang mempunyai pekerjaan tetap akan memengaruhi kesempatan

untuk menimbangkan anaknya ke posyandu.

22

4. Pendapatan

Faktor pendapatan atau penghasilan sangat berhubungan erat dengan

kesehatan. Soetjiningsih dalam Khalimah (2007) menyatakan bahwa

pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak,

karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer

maupun yang sekunder.

5. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan dalam Notoatmodjo (2007) adalah hasil ‘tahu’ dan ini

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan ibu balita

yang baik mengenai posyandu tentunya akan terkait dengan cakupan

penimbangan balita.

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkat,

yakni :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini

merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

23

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut

secara benar.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di

sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,

prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur

organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi

baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu

24

berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-

kriteria yang telah ada.

6. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup

terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat dilihat,

tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.

Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap

stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang

bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu

tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu

perilaku (Notoatmodjo, 2003). Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri

dari berbagai tingkatan, yakni :

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek).

2. Merespons (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas

yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang

lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

25

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

risiko yang paling tinggi.

2.4. Partisipasi Masyarakat

Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan oleh negara-negara yang

sedang berkembang termasuk Indonesia dengan dana dan daya yang minimal

untuk dapat memecahkan masalah kesehatan yang demikian kompleks adalah

melibatkan masyarakat konsumer (community participation). Partisipasi

masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam

memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat. Partisipasi masyarakat

di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam

memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Setiap anggota masyarakat

dituntut suatu kontribusi atau sumbangan di dalam partisipasi yang

diwujudkan dalam 4M, yaitu manpower (tenaga), money (uang), material

(benda-benda lain seperti kayu, bambu, beras, dan sebagainya), mind (ide atau

gagasan) (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Mikkelsen (2009) yang mengutip berbagai kajian Food

Agriculture Organization (FAO) terdapat beragam arti kata partisipasi, antara lain

:

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada program

tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.

26

2. Partisipasi adalah ‘pemekaan’ (membuat peka) pihak masyarakat untuk

meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi

program-program pembangunan.

3. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif yang mengandung arti bahwa

orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan

menggunakan kebebasannya untuk menggunakan hal itu.

4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan

para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring agar

memperoleh informasi mengenai konteks sosial dan dampak-

dampaknya.

5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan

yang ditentukan sendiri.

6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri,

kehidupan dan lingkungan mereka.

Craig dan Mayo dalam Yustina (2005) mengatakan empowerment is

road to participation. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu

partisipasi dalam masyarakat. Belum adanya partisipasi aktif dalam

masyarakat untuk menciptakan kondisi yang kondusif pada proses

pembangunan mengisyaratkan belum berdayanya sebagian masyarakat kita.

Keberdayaan memang menjadi syarat untuk berpartisipasi karena merupakan

sesuatu yang sulit bagi masyarakat ketika mereka dikehendaki berpartisipasi.

namun tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang segala aktivitas

yang mendukung proses pembangunan.

27

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2009 menyatakan bahwa

tujuan subsistem pemberdayaan masyarakat adalah meningkatnya

kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat, mampu mengatasi

masalah kesehatan secara mandiri, berperanserta dalam setiap upaya

kesehatan serta dapat menjadi penggerak dalam mewujudkan pembangunan

berwawasan kesehatan.

Mikkelsen dalam Soetomo yang dikutip oleh Sari (2009) mengembangkan

asumsi teoritik sebagai berikut :

1. Tujuan pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik antara

kelompok –kelompok masyarakat dapat diredam melalui pola

demokrasi setempat. Oleh karena itu partisipasi masyarakat adalah hal

yang memungkinkan.

2. Pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat.

3. Pemberdayaan masyarakat mutlak perlu mendapatkan partisipasinya

karena pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya untuk program

pembangunan yang ditetapkan masyarakat, kecuali masyarakat itu

sendiri mempunyai kemampuan untuk memaksa pemerintahnya.

4. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti

adanya penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat itu

sendiri dan secara eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana

program.

28

Notoatmodjo (2007) mengatakan syarat-syarat tumbuhnya partisipasi

dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu : Pertama, adanya kesempatan

untuk membangun dalam pembangunan; Kedua, adanya kemampuan untuk

memanfaatkan. kesempatan itu; Ketiga, adanya kemauan untuk berpartisipasi.

Untuk meningkatkan partisipasi, maka kesempatan, kemampuan dan kemauan

untuk berpartisipasi dalam pembangunan itu perlu ditingkatkan. Peningkatan

partisipasi masyarakat adalah suatu proses di mana individu, keluarga dan

masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program

pembangunan kesehatan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meyakinkan

masyarakat bahwa program tersebut perlu dilaksanakan oleh masyarakat untuk

mengatasi masalah kesehatan yang ada di lingkungannya.

Kegiatan ini dapat meningkatkan rasa percaya diri masyarakat untuk ikut

melaksanakan pembangunan. Peningkatan partisipasi masyarakat menumbuhkan

berbagai peluang yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat untuk secara

aktif berkontribusi dalam pembangunan, sehingga dapat menghasilkan manfaat

yang merata bagi seluruh warga.

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah :

Variabel Independen Variabel

Dependen

29

30

Partisipasi Ibu dalam Penimbangan Balita (D/S) di Posyandu

Karakteristik Ibu Balita : - Paritas - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan - Pengetahuan - Sikap

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei penjelasan atau explanatory yang

bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik ibu balita (paritas,

pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan dan sikap) terhadap

keteraturan keposyandu di kelurahan Mandalika tahun 2013.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Madalika Kota Mataram.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai balita (usia 12-59 bulan)

yang tinggal di Kelurahan Mandalika. Berdasarkan data yang diperoleh dari posyandu

di wilayah kerja Puskesmas Cakranegara, jumlah ibu yang mempunyai balita di

Kelurahan Desa Binjai adalah 1033 orang.

3.3.2. Sampel

Mengingat tidak tersedianya kerangka sampel (sampling frame) dan berbagai

keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti baik berupa tenaga, waktu, maupun biaya

maka peneliti menetapkan sampel dengan teknik cluster sampling. Teknik cluster

sampling dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama menentukan sampel daerah

31

yang dalam hal ini adalah lingkungan. Wilayah kerja Puskesmas Cakranegara

mencakup 8 lingkungan.

Tahap berikutnya adalah penarikan sampel ibu balita yang ada pada daerah itu

dengan simple random sampling. Jumlah seluruh ibu balita di 8 lingkungan yang

telah dipilih tersebut adalah 91 orang.

Rumus menetapkan besar sampel yang terdapat pada Notoatmodjo (2003) :

Rumus slovin

Dan di abil sampel di tiap –tiap lingkungan dengan rumus p

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu :

1. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden yang

berpedoman pada kuesioner penelitian.

2. Data sekunder diperoleh dengan cara melihat catatan/dokumen (file) yang

berhubungan dengan penelitian, di Puskesmas Desa Binjai, dari Dinas Kesehatan

Kota Medan.

3.5. Definisi Operasional

Untuk memudahkan penelitian serta memiliki persepsi yang sama, maka definisi

operasional penelitian ini adalah :

a. Ibu balita adalah ibu yang mempunyai balita umur 12-59 bulan.

b. Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita (Glossary,

Statistics Indonesia, 2010). Berdasarkan Kamus Istilah BKKBN dalam Gunawan

32

(2009), jumlah anak dalam satu keluarga dibedakan atas keluarga kecil dan keluarga

besar.

1. Keluarga kecil : bila keluarga memiliki 1-2 orang anak

2. Keluarga besar : bila keluarga memiliki >2 orang anak

c. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh

responden yang dinyatakan berdasarkan ijasah terakhir, dengan kategori :

a. Rendah, bila responden tidak sekolah/ tidak tamat SD/ SD

b. Sedang, bila responden SMP/SMA

c. Tinggi, bila responden Diploma/Sarjana

d. Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktifitas yang dilakukan responden untuk

memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, yang

dibedakan atas :

a. Tidak bekerja (termasuk Ibu Rumah Tangga (IRT))

b. Bekerja (Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Swasta, Tani, Pedagang, dan

lainnya)

e. Pendapatan adalah penghasilan atau seluruh penerimaan baik barang atau uang dari

pihak lain atau hasil sendiri dengan jumlah uang atau harga yang berlaku saat

ini. Pendapatan dalam penelitian ini diukur memakai skala ordinal dan

berdasarkan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) sesuai Surat Keputusan

Gubernur Sumatera Utara No. L 561/032K/Tahun 2008 yaitu sebesar

Rp.1.020.000,- per bulan. Pendapatan dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu:

1. Penghasilan di bawah UMSK (< UMSK) atau < Rp. 1.020.000,- per bulan

33

2. Penghasilan di atas atau sama dengan UMSK ( ≥ UMSK) ≥ Rp. 1.020.000,-

per bulan.

f. Pengetahuan adalah hasil tahu responden tentang penimbangan balita, baik yang

diperoleh dari penyuluhan oleh petugas kesehatan maupun media cetak/elektronik.

Digali berdasarkan kemampuan menjawab tentang kegiatan posyandu, pertumbuhan,

penimbangan dan KMS.

g. Sikap adalah kecenderungan responden untuk berespon (secara positif atau negatif)

dalam program pemantauan pertumbuhan balita melalui penimbangan balita.

34