BAB I
-
Upload
urie-haifa-auriana -
Category
Documents
-
view
218 -
download
4
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
Status Pasien
I. Identitas
Nama : Tn. R
Usia : 26 tahun
Jenis Kelamin : laki - laki
Agama : Protestan
Status : belum Menikah
Alamat : Gang Gereja, Cilincing, Jakarta Utara
No Telp : -
Pekerjaan : Pegawai swasta
Masuk RS : 6 Agustus 2015
II. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Demam sejak 3 hari yang lalu SMRS
b. Keluhan Tambahan
Menggigil, pusing, batuk berdahak, nyeri perut, pegal, nafsu makan menurun
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSIJ Sukapura dengan keluhan demam sejak 3 hari
SMRS. Demam timbul mendadak. Demam semakin lama semakin meningkat
dan menggigil. Keluhan ini disertai dengan pusing berdenyut pada seluruh
bagian kepala, batuk berdahak berwarna hijau tidak disertai pilek, mimisan,
dan sesak. Selain itu pasien mengeluh nyeri seluruh bagian perut terutama ulu
hati, tetapi tidak ada keluhan mual dan muntah. Pasien tidak mengeluh adanya
1
gusi berdarah. Pasien merasa pegal pada seluruh badan tetapi tidak nyeri pada
persendian dan nafsu makan menurun. BAB dan BAK pasien tidak ada
keluhan. Riwayat berpergian ke luar kota dalam waktu dekat disangkal.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat pernah terkena demam berdarah disangkal.
Riwayat darah tinggi, kencing manis, asma, dan jantung disangkal.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengeluh gejala yang sama seperti pasien.
Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat penyakit kencing manis, darah
tinggi, asma, dan jantung.
f. Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak memiliki alergi makanan, obat, cuaca, dan debu
g. Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke klinik dan diberi obat penurun panas dan batuk tetapi panas
tidak berkurang
h. Riwayat Psikososial
Pasien adalah seorang pekerja swasta. Pasien tinggal di asrama perusahaannya.
Keadaannya penuh dengan baju yang digantung dan kebersihan kurang
terawat. Ventilasi cukup baik dan tidak ada air yang mengenang di sekitar
tempat tersebut. Sering jajan di sembarangan. Pasien makan tidak teratur sekali
2 kali. Seringkali pasien mengonsumsi makanan pedas. Pasien tidak suka
mengonsumsi makanan asam, asin, dan manis. Pasien pernah memiliki
kebiasaan minum minuman beralkohol tetapi sejak 6 bulan terakhir sudah
berhenti. Pasien memiliki kebiasaan merokok sebanyak 20 bungkus sehari dan
minum teh 1 gelas sehari. Pasien tidak memiliki kebiasaan mengonsumsi obat-
obatan dan kopi.
2
III. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran: Komposmentis
3. Tanda vital
- Tekanan Darah: 120/70 mmHg
- Frekuensi nadi :120 kali/menit, reguler, isi, dan tegangan cukuop
- Frekuensi nafas: 20 kali/menit, reguler
- Suhu axilla : 38,2 O C
4. Status Gizi
Tinggi Badan :160 cm
Berat Badan : 70 cm
Kesimpulan : Obesitas 1
b. Pemeriksaan Khusus
1. Kepala
Bentuk : bulat, simetris, normocephal.
Rambut : pendek, warna hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, reflek
cahaya +/+, nyeri retro-orbital (-)
Hidung : tidak ada sekret, tidak berbau, perdarahan (-), septum deviasi (-)
Telinga : normotia, sekret (-)
Mulut/bibir : Bibir kering(-), lidah kotor (-), sianosis (-), stomatitis (-),
perdarahan gusi (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar tiroid (-)
2. Thorax
Paru-Paru
– Inspeksi : normochest, simetris, retraksi dinding dada (-)
– Palpasi : vokal fremitus dalam batas normal
– Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
– Auskultasi : vesikuler (+/+), kanan=kiri, wheezing (-/-), ronkhi
(-/-)
3
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : redup pada ICS IV PSL dextra
Batas kiri : redup pada ICS V MCL sinistra
Auskultasi : Suara jantung I dan II normal, Gallop (-), murmur (-)
3. Abdomen
Inspeksi : Datar, Scar (-)
Auskultasi : Bising usus (+) dalam batas normal
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen
Palpasi : Supel, Nyeri tekan di seluruh kuadran (+)
- Hepar : Inspeksi: datar, vena colateral (-)
Perkusi: pekak hati (+) pada batas bawah hepar dan batas atas
hepar di linea midclavicularis kanan dan linea sternalis
kanan
Palpasi: tidak teraba
- Spleen : Inspeksi : datar
Perkusi : timpani pada iga X kiri linea midclavicularis
Palapsi : tidak teraba
4. Ekstremitas
Superior : akral hangat +/+, edema -/-,petekie (+), RCT < 2 detik, ruam (-)
Inferior : akral hangat +/+, edema -/-,petekie (-), ruam (-)
4
IV. Pemeriksaan Penunjang
6 Agustus 2015
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi (Darah Rutin)
Hemoglobin 15,3 g/dL 13,8 – 17,0
Leukosit 13.900 /ul 4.5 – 10,8
Hematokrit 43,1% 35 – 47 %
Trombosit 192.000u/L 185.000 – 402.000
Serologi dan Uji Widal
S. typhosa H 1/160 Negatif
S. paratyphosa AH Negatif Negatif
S. paratyphosa BH Negatif Negatif
S. typhosa O Negatif Negatif
S. paratyphosa AO Negatif Negatif
S. paratyphosa BO Negatif Negatif
8 Agustus 2015
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
KARBOHIDRAT
Gula Darah Sewaktu 76 mg/dL <20
ENZYM
SGOT 21u/L <35
SGPT 40u/L <41
FAAL GINJAL
Ureum 17mg/dl 19-44
Creatinin 1.2 mg/dl 0.9-1.3
HEMATOLOGI
5
Laju Endap Darah 32 mm/1jam 0-15
Hemoglobin 14.7 g/dl 13.9-17.0
Leukosit 4.000/ul 4.5-10.8
Differential:
- Basofil 0% 0-0.3%
- Eosinofil 0% 2-4%
- Batang 1 1-5%
- N.Segmen 72 51-67%
- Limfosit 17 20-30%
- Monosit 9 2-6%
Hematokrit 41.9 40.0-54.0
Trombosit 136.000 185.000-402.000
SEROLOGI DAN
SALMONELLA IgM
NEGATIF NEGATIF
- Uji Rumple Leed : negatif
V. Resume
Pasien laki-laki 26 tahun, datang dengan keluhan demam sejak 3 hari
SMRS. Demam timbul mendadak. Demam semakin lama semakin
meningkat dan menggigil. Keluhan ini disertai dengan pusing berdenyut
pada seluruh bagian kepala, batuk berdahak berwarna hijau, nyeri seluruh
bagian perut terutama ulu hati, pegal pada seluruh badan dan nafsu makan
menurun.
Pemeriksaan Fisik:
- Keadaan umum: tampak sakit ringan
- Kesadaran: compos mentis
- Tanda Vital : - Tekanan darah 120/70 mmHg
6
- Frekuensi nadi 120 kali/menit, reguler, isi, dan tegangan
cukup
- Frekuensi nafas 20 kali/menit, reguler
- Suhu axilla 38,2 oC.
nyeri tekan pada seluruh kuadran abdomen(+).
- Hasil pemeriksaan penunjang di dapatkan Leukosit 139.000/Ul, S. typhosa
H 1/160, dan uji rumple leed negatif.
VI. Daftar masalah
• Diganosis klinis : Demam Dengue (active)
• Riwayat pasti : -
Riwayat penunjang : -
VI. PEMBAHASAN
DEMAM DENGUE
Pada kasus ini didapatkan gejala demam yang timbul mendadak.
Demam semakin lama semakin meningkat dan menggigil. Keluhan ini
disertai dengan pusing berdenyut pada seluruh bagian kepala, batuk
berdahak berwarna hijau, nyeri seluruh bagian perut terutama ulu hati,
pegal pada seluruh badan dan nafsu makan menurun. Tidak didapatkan
gejala : mual, muntah, lidah kotor, konstipasi, diare, hepatomegaly,
spelnomegali, bradikardi relatif, perdarahan spontan, nyeri retro-orbital,
dan artralgia
WD : Demam Dengue
DD : Demam Tifoid
7
VII.PLANNING
Planning Diagnostik
• Diagnostik etiologik
• Pemeriksaan IgM dan IgG
• Diagnostik komplikasi
• SGOT/SGPT, protein/albumin, foto thoraks, NS 1, pemantauan suhu, trombosit, dan hematokrit samapai fase konvalensens
• Diagnostik komorbid
• -
• Diagnostik gawat darurat
• -
Planning Terapi
• Klasifikasi perawatan
• Perawatan biasa
• Karena tidak ada kegawatan, KU baik
• Hidrasi
• Parenteral : IVFD : kristaloid (RL)
• Nutrisi
• Makanan lunak
• Farmakologi
• Paracetamol 500 mg 3x1
• Ranitidin 150 mg 2x1
VII. Prognosis
Dubia ad bonam
8
VIII. Follow up
Tanggal 7 Agustus 2015
Pemeriksaan Terapi
S: demam (+), menggigil (+), pusing
(+),batuk berdahak (+) berwarna hijau,
nyeri seluruh bagian perut (terutama
ulu hati) (+), pegal (+) dan nafsu
makan menurun (+)
O:
TD= 110/80 mmHg RR =
20x/menit
N = 100 x/menit S = 38,4° C
A: Observasi Febris H4 ec susp. DD
Infus RL
Paracetamol 500 mg 3x1
Ranitidin 150 mg 2x1
Tanggal 8 Agustus 2015
Pemeriksaan Terapi
S: Lemas, Nyeri epigastrikum,
Pusing(-), mual(+), muntah (-)
O:
TD= 120/70 mmHg RR =
20x/menit
N = 93 x/menit S = 39,7° C
Ureum : 17 mg/dl
LED: 32 mm/1jam
Leukosit : 4.000/ul
Eosinofil : 0%
N.Segmen : 1-2%
Limfosit : 17%
Paracetamol 500 mg 3x1
Ranitidin 150 mg 2x1
APS
9
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
Dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arbovirus) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan
memepunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den 2, Den-3, Den-4 dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan /atau nyeri sendi, trombositopenia,
dan diatesis hemoragik. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sehingga tidak dapat
memeberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
Seorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4
serotipe selama hidupnya.
2.2 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue di sebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe
terbanyak.
2.3 Epidemiologi
World Health Organization mengestimasi bahwa 2,5 miliar
manusia tinggal di daerah virus dengue. Penyebaran secara geografi dari kedua
vector nyamuk dan virus dengue menyebabkan munculnya epidemi demam
dengue dan demam berdarah dengue dalam dua puluh lima tahun gterakhir,
sehingga berkembang hiperendemisistas di perkotaan di negara tropis. Pada tahun
2007 di Asia Tenggara, dilaporkan peningkatan kasus dengue yang meninggal
sekitar 15% dibanding tahun 2006.
Di Indonesia demam berdarah dengue masih merupakan masalah
kesehatanmasyarakat yang penting. Infeksi dengue terjadi secara lendemis di
11
Indonesia selam dua abad terakhir dari gejala yang ringan dan self limiting
disease. Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi yang padat
mencapai 245 juta penduduk. Hampir 60% penduduk tinggal di pulau jawa,
daerah kejadian luar biasa infeksi dengue terjadi.
2.2 Patogenesis
Patogenesis DBD masih kontroversial. Dua teori yang banyak dianut
adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan
hipotesis immune enhancement. Menurut hipotesis infeksi sekunder, akibat infeksi
sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien
akan terpicu dan menyebabkan kenaikan titer tinggi IgG antidengue. Replikasi
virus dengue mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang
selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar
hematokrit (Ht), penurunan natrium (Na) dan terdapatnya cairan dalam rongga
serosa. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam dan bila tidak ditangani secara
adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia yang dapat berakibat fatal.1,2
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi
heterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran
leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok.1,2
2.3 Perjalanan Penyakit
12
Setelah masa inkubasi, penyakit ini diikuti oleh tiga fase, yaitu febris, kritis, dan
recovery (penyembuhan) (gambar-1).5
Gambar-1. Perjalanan Penyakit DBD.5
a. Fase Febris
Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang
suhu tubuh sangat tinggi hingga 40oC dan tidak membaik dengan obat penurun
panas. Fase ini biasanya akan bertahan selama 2-7 hari dan diikuti dengan muka
kemerahan, eritema, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan nyeri kepala.
Beberapa pasien mungkin juga mengeluhkan nyeri tenggorokan atau mata merah
(injeksi konjungtiva). Sulit untuk membedakan dengue dengan penyakit lainnya
secara klinis pada fase awal demam. Hasil uji torniquet positif pada fase ini
meningkatkan kemungkinan adanya infeksi dengue. Demam juga tidak dapat
dijadikan parameter untuk membedakan antara kasus dengue yang gawat dan
tidak gawat. Oleh karena itu, memperhatikan tanda-tanda peringatan (warning
signs) dan parameter lain sangat penting untuk mengenali progresi ke arah fase
kritis.2,5,10Warning signs meliputi:5
Klinis: nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, perdarahan
mukosa, pembesaran hati >2 cm
13
Laboratorium: peningkatan Ht dengan penurunan trombosit.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran
mukosa (hidung dan gusi) dapat terjadi. Petekie dapat muncul pada hari-hari
pertama demam, namun dapat juga dijumpai pada hari ke-3 hingga hari ke-5
demam. Perdarahan vagina masif pada wanita usia subur dan perdarahan
gastrointestinal (hematemesis, melena) juga dapat terjadi walau lebih
jarang.2,5,10Bentuk perdarahan yang paling ringan, uji torniquet positif,
menandakan adanya peningkatan fragilitas kapiler. Pada awal perjalanan penyakit
70,2% kasus DBD mempunyai hasil positif.2
Hati sering ditemukan membesar dan nyeri dalam beberapa hari demam.
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit,
bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah arcus costae.
Pada sebagian kecil dapat ditemukan ikterus. Penemuan laboratorium yang paling
awal ditemui adalah penurunan progresif leukosit, yang dapat meningkatkan
kecurigaan ke arah dengue.2,5
b. Fase Kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat demam
mulai cenderung turun dan pasien tampak seakan-akan sembuh, maka hal ini
harus diwaspadai sebagai awal kejadian syok. Saat demam mulai turun hingga
dibawah 37,5-38oC yang biasanya terjadi pada hari ke 3-7, peningkatan
permeabilitas kapiler akan terjadi dan keadaan ini berbanding lurus dengan
peningkatan hematokrit. Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis
biasanya terjadi selama 24-48 jam.2,5
Leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang cepat
merupakan tanda kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma dapat bervariasi.
Temuan efusi pleura dan asites secara klinis bergantung pada derajat kebocoran
plasma dan volume terapi cairan. Derajat peningkatan hematokrit sebanding
dengan tingkat keparahan kebocoran plasma.2,5
Keadaan syok akan timbul saat volume plasma mencapai angka kritis
akibat kebocoran plasma. Syok hampir selalu diikuti warning signs. Terdapat
14
tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari
dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah,
kecil sampai tak teraba.Saat terjadi syok berkepanjangan, organ yang mengalami
hipoperfusi akan mengalami gangguan fungsi (impairment), asidosis metabolik,
dan koagulasi intravaskula diseminata (KID). Hal ini menyebabkan perdarahan
hebat sehingga nilai hematokrit akan sangat menurun pada keadaan syok hebat. 1,2,5
Pasien yang mengalami perbaikan klinis setelah demam turun dapat
dikatakan menderita dengue yang tidak gawat. Beberapa pasien dapat berkembang
menjadi fase kritis kebocoran plasma tanpa penurunan demam sehingga pada
pasien perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya
kebocoran plasma.5
c. Fase Penyembuhan ( Recovery )
Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis, reabsorpsi
gradual cairan ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum
pasien membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal berkurang, status
hemodinamik meningkat, dan diuresis normal. Beberapa pasien akan mengalami
ruam kulit putih yang dikelilingi area kemerahan disekitarnya dan pruritus
generalisata. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi juga sering ditemukan
pada fase ini. Hematokrit akan stabil atau lebih rendah karena efek dilusi yang
disebabkan reabsorpsi cairan. Jumlah leukosit biasanya akan meningkat segera
setelah demam turun, namun trombosit akan meningkat kemudian. Pemberian
cairan pada fase ini perlu diperhatikan karena bila berlebihan akan menimbulkan
edema paru atau gagal jantung kongestif.5
2.4 Manajemen Kasus DBD
Manajemen kasus DBD meliputi beberapa tahap yakni:5
1. Penilaian:
Riwayat penyakit sekarang, riwayat pengobatan lalu, dan riwayat
keluarga
Pemeriksaan fisik, termasuk fisik umum dan mental
15
Investigasi, termasuk laboratorium rutin dan spesifik-dengue
2. Diagnosis, penilaian fase penyakit, dan keparahan
3. Manajemen: menetapkan tatalaksana berdasarkan manifestasi klinis dan
hal-hal terkait lainnya:
Rawat jalan (kelompok A)
Rawat inap (kelompok B)
Membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi (kelompok C)
2. 5 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis harus meliputi:5 (1) Onset demam/penyakit, (2) Jumlah intake
oral, (3) Warning signs, (4) Diare, (5) Perubahan status
mental/kejang/ketidaksadaran, (6) Urin output (frekuensi, volume, dan waktu
terakhir kencing), (7) Riwayat keluarga atau tetangga yang mengalami DBD,
riwayat bepergian ke daerah endemis, kondisi penyerta (bayi, kehamilan, obesitas,
diabetes mellitus, hipertensi), bepergian ke hutan dan berenang di air terjun
(mengarahkan leptospirosis, tipus, malaria), riwayat penggunaan narkoba dan seks
bebas (HIV serokonversi akut).
Sedangkan pemeriksaan fisik harus meliputi:5 (1) Status mental, (2) Status
hidrasi, (3) Status hemodinamik, (4) Takipnoe/pernapasan asidosis/efusi pleura,
(5) Nyeri abdomen/ hepatomegali/asites, (6) Ruam dan manifestasi perdarahan,
(7) Uji torniquet.
2.6 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin (Hb), kadar
hematokrit (Ht), jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3).1
Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel
neutrofil. Pada akhir demam, jumlah leukosit, dan sel neutrofil bersama-sama
menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat.1,2,10
Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/µl. Pada umumnya
trombosit terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu
16
turun. Jumlah trombosit <100.000/µl biasanya ditemukan antara hari sakit 3-7.
Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit
dalam batas normal atau menurun.1,2
Peningkatan kadar hematokrit (>20%) yang menggambarkan
hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan
terjadinya perembesan plasma sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit
secara berkala. Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh penggantian cairan dan
perdarahan.1,2
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.1,2,5
2.7 Pemeriksaan Radiologi
Pada foto toraks (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II)
didapatkan efusi pleura, terutama di hemitoraks sebelah kanan. Pemeriksaan foto
toraks sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.1
2.8 Pemeriksaan Antigen dan Antibodi Virus
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.1,11
Pada infeksi primer, antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari kelima
setelah onset penyakit, yakni setelah jumlah virus dalam darah berkurang. Kadar
IgM meningkat dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam 2 minggu dan
menurun hingga tak terdeteksi lagi setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG muncul
beberapa hari setelah IgM dan pada infeksi primer, produksi IgG lebih rendah
17
dibandingkan IgM, namun dapat bertahan beberapa tahun dalam sirkulasi, bahkan
seumur hidup.11 Sedangkan pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat lebih
banyak dibandingkan IgM dan muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM. IgG
merupakan antibodi predominan pada infeksi sekunder.11
Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen
spesifik virus dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan
metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari
pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer dengue atau sampai hari ke
5 pada infeksi sekunder dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena itu, WHO
menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk
pelayanan primer.
2.9 Diagnosis
Diagnosis DBD dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris.
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD secara klinis dapat ditegakkan
bila semua hal di bawah ini terpenuhi:1,9
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis, dan
melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
dan hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:1,9
• Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
18
• Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdarahan lain.
• Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
• Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.
Sedangkan menurut WHO 2009, berdasarkan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan/atau darah lengkap dan hematokrit, diagnosis DBD
ditegakkan dengan melihat fase penyakit (febris, kritis, atau penyembuhan),
menentukan adanya warning signs, hidrasi, dan status hemodinamik pasien, serta
apakah pasien memerlukan rawat.5
Kriteria sugestif untuk mengetahui kasus tersangka DBD adalah pasien
tinggal atau baru bepergian dari daerah endemis dengue, adanya riwayat demam
lebih dari tiga hari, jumlah leukosit rendah atau menurun, dan/atau
trombositopenia ± uji torniquet positif.
2.9 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip terapi utama adalah
terapi suportif. Pemeliharaan cairan sirkulasi merupakan hal terpenting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan, terutama melalui oral, harus
dipertahankan. Jika tidak bisa, maka diperlukan suplemen cairan melalui jalur
intravena.1,4 Menurut WHO 2009, berdasarkan manifestasi klinis dan kondisi
lainnya, pasien dapat dibagi tiga kategori: rawat jalan (kelompok A),
membutuhkan penanganan di rumah sakit/rawat inap (kelompok B), dan
membutuhkan penanganan emergensi atau urgensi (kelompok C).5
Kelompok-A 5
Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang dapat dimotivasi
untuk minum secara adekuat, masih dapat berkemih setidaknya sekali tiap enam
jam, dan tidak mempunyai warning signs, khususnya saat demam mereda.
19
Pasien rawat jalan harus diobservasi setiap hari untuk mencegah progresi
hingga melewati periode kritis. Pasien dengan Ht stabil dapat dipulangkan setelah
dirawat dan diberikan edukasi untuk segera kembali ke rumah sakit apabila
warning signs muncul. Apabila warning signs muncul maka tindakan selanjutnya
adalah:
Memotivasi minum oral rehydration solution (ORS), jus buah, dan cairan
lain yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan yang
hilang akibat demam.
Memberikan parasetamol bila pasien merasa tidak nyaman akibat demam.
Interval pemberian parasetamol sebaiknya tidak kurang dari enam jam.
Petugas kesehatan harus setiap hari memantau temperatur, asupan dan
keluaran cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, tanda
perembesan plasma atau perdarahan, hematokrit, jumlah leukosit, dan
trombosit (kelompok-B).
Kelompok-B 5
Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase
kritis. Kriteria rawat pasien DBD adalah:5
1. Adanya warning signs
2. Terdapat tanda dan gejala hipotensi: dehidrasi, tidak dapat minum,
hipotensi postural, berkeringat sedikit, pingsan, ekstremitas dingin.
3. Perdarahan
4. Gangguan organ: ginjal, hepar (hati membesar dan nyeri walaupun tidak
syok), neurologis, kardiak (nyeri dada, gangguan napas, sianosis).
5. Adanya peningkatan Ht, efusi pleura, atau asites
6. Kondisi penyerta: hamil, DM, hipertensi, ulus peptikum, anemia
hemolitik, overweight/ obese, bayi, dan usia tua
7. Kondisi sosial: tinggal sendiri, jauh dari pelayanan kesehatan tanpa
transpor memadai.
Apabila pasien memiliki warning signs maka hal yang harus dilakukan adalah:
Periksa Ht sebelum pemberian cairan. Berikan larutan isotonik seperti
normosalin 0,9%, RL. Mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu
20
kurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kurangi lagi menjadi
2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai respon klinis.
Nilai kembali status klinis, ulangi Ht. Bila Ht sama atau meningkat sedikit,
lanjutkan dengan jumlah sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam. Bila tanda
vital memburuk dan Ht meningkat drastis, tingkatkan pemberian cairan 5–
10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai kembali status klinis, ulang Ht, dan
periksa kecepatan cairan infus berkala.
Berikan volume intravena minimum untuk menjaga perfusi dan urin
output 0,5 ml/kg/jam selama 24-48 jam. Kurangi jumlah cairan infus
berkala saat kebocoran plasma berkurang, yakni saat akhir fase kritis. Hal
ini bisa diketahui dari urin output dan/atau asupan minum cukup dan Ht
menurun.
Pasien dengan warning signs harus diobservasi hingga fase kritis lewat.
Parameter yang harus dimonitor adalah tanda vital dan perfusi perifer (tiap
1-4 jam hingga lewat fase kritis), urin output (tiap 4-6 jam), Ht (sebelum
dan setelah pemberian cairan, selanjutnya tiap 6-12 jam), glukosa darah,
dan fungsi organ sesuai indikasi.
Pada pasien tanpa warning signs, hal berikut harus dilakukan:
Motivasi minum. Jika tidak bisa, mulai infus intravena dengan NS 0,9%
atau RL dengan atau tanpa dekstrosa dengan dosis pemeliharaan. Untuk
pasien obese atau overweight digunakan dosis sesuai berat ideal. Berikan
volume minimum untuk memelihara perfusi dan urine output selama 24-
48 jam.
Pasien harus dimonitor: temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin
output (volume dan frekuensi), warning signs, hematokrit, leukosit, dan
trombosit. Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan sesuai indikasi.
Kelompok-C 5
Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila
mengalami DBD berat untuk memudahkan akses intensif dan transfusi darah.
Resusitasi cairan dengan kristaloid isotonik secepatnya sangat penting untuk
menjaga volume ekstravaskular saat periode kebocoran plasma atau larutan koloid
21
pada keadaan syok hipotensi. Pantau nilai Ht sebelum dan sesudah resusitasi.
Tujuan akhir resusitasi cairan adalah meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer
(takikardia berkurang, tekanan darah dan nadi meningkat, ekstremitas tidak pucat
dan hangat, dan CRT <2 detik) dan meningkatkan perfusi organ (level kesadaran
membaik, urin output >0,5 ml/kg/jam, asidosis metabolik menurun).
Indikasi Pulang Pasien DBD
Pasien dapat pulang apabila memenuhi semua kriteria berikut:5
Klinis:
o Bebas demam selama minimal 48 jam
o Terdapat perbaikan status klinis (keadaan umum baik, nafsu makan
makan membaik, status hemodinamik stabil, urine output normal, tidak
ada gangguan pernapasan)
Laboratoris:
o Peningkatan jumlah trombosit
o Hematokrit stabil tanpa cairan intravena
Terapi pada Pasien Syok Terkompensasi
22
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue.
Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2009.p.2773-9.
2. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2004.
3. Situation update of dengue in the SEA Region, 2007 diunduh dari
www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_dengue-SEAR-2008.pdf
4. Chen K, Pohan HT, Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicines 2009:22;1.
5. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. World
Health Organization, 2009. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf
6. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. 2nd
edition. Geneva : World Health Organization. 1997. Diunduh dari
http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication/en/
print.html
7. Guidelines for Treatment of Dengue Fever/Dengue Haemorrhagic Fever in
Small Hospitals. 1999. diunduh dari
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_Guideline-dengue.pdf
8. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses. In: Braunwald,
et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 th ed. USA: McGraw Hill
Companies, 2008.
9. Anonim. Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam: Sastroasmoro S, et.al.
(editor). Panduan Pelayanan Medis. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, 2007.p.156-7.
10. Fact Sheet on Dengue and Dengue haemorrhagic fever. World Health
Organization Sudan, 2005. Diunduh dari
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
25
11. World Health Organization. Dengue Fever. Diunduh dari
www.emro.who.int/sudan/pdf/cd_trainingmaterials_dengue.pdf
12. Estuningtyas A, Arif A. Obat Lokal. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R,
Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2007. P.522.
26