BAB I
description
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pembangunan nasional yang harus terus menerus diupayakan oleh pemerintah.
Tujuan pembangunan kesehatan Indonesia diarahkan untuk meningkatkan derajat
kesehatan dan kualitas sumber daya manusia, yang dapat dilihat dengan upaya
meningkatkan usia harapan hidup, menurunkan angka kematian ibu dan anak,
meningkatkan kesejahteraan keluarga, meningkatkan produktifitas kerja, serta
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat (Depkes RI,
2010).
Salah satu upaya untuk mencapai tujuan nasional adalah menurunkan
angka kematian bayi yang saat ini masih menjadi program prioritas
pemerintah.Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator dalam
menentukan derajat kesehatan anak. Setiap tahun kematian bayi baru lahir atau
neonatal mencapai 37% dari semua kematian pada anak balita. Setiap hari 8.000
bayi baru lahir di dunia meninggal dari penyebab yang tidak dapat dicegah.
Mayoritas dari semua kematian bayi, sekitar 75% terjadi pada minggu pertama
kehidupan dan antara 25% sampai 45% kematian tersebut terjadi dalam 24 jam
pertama kehidupan seorang bayi. Penyebab utama kematian bayi baru lahir atau
neonatal di dunia antara lain bayi lahir prematur 29%, sepsis dan pneumonia 25%
dan 23% merupakan bayi lahir dengan Asfiksia dan trauma. Asfiksia lahir
menempati penyebab kematian bayi ke 3 di dunia dalam periode awal kehidupan
(WHO, 2012).
Keadaan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Neonatal
(AKN) yang diperoleh dari laporan rutin relatif sangat kecil, sehingga data AKB
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (Provinsi Jawa Timur) diharapkan
mendekati kondisi di lapangan. Berdasarkan data Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI), AKB tahun 2007 sebesar 35 per 1.000 kelahiran
hidup (kh). Sedangkan menurut data BPS Provinsi Jawa Timur, AKB tahun 2009
sebesar 31,41 per 1.000 kh; tahun 2010 mencapai 29,99 per 1.000 kh; tahun 2011
mencapai 29,24 per 1.000 kh; dan di tahun 2012 estimasi AKB telah mencapai
28,31 per 1.000 kh. Dalam kurun waktu 2 (dua) tahun ke depan, diharapkan
mencapai target MDGs yaitu 23 per 1.000 kh pada tahun 2015 .
Angka Kematian Bayi (AKB) di atas 28,31 per 1.000 kelahiran hidup
masih didominasi oleh kabupaten/kota wilayah timur, hal ini dapat disebabkan
social budaya serta ekonomi, tidak semata-mata karena ratio petugas kesehatan
dengan penduduk yang cukup besar, dan juga karena sarana/prasarana yang
kurang berkualitas. AKB tertinggi di Kabupaten Probolinggo 63,51, Kabupaten
Jember 56,33, dan Kabupaten Situbondo 54,94 per 1.000 kelahiran hidup
sedangkan terendah pada Kota Blitar 19,50 per 1.000 kelahiran hidup.
Dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan
eksogen. Kematian bayi endogen atau kematian neonatal disebabkan oleh faktor-
faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat
konsepsi (Sudariyanto, 2011).
Menurut Mochtar (1998), kematian bayi yang disebabkan dari kondisi
bayinya sendiri yaitu BBLR, bayi prematur, dan kelainan kongenital. Pendapat
Saifudin (1992), kematian bayi yang dibawa oleh bayi sejak lahir adalah asfiksia.
Sedangkan kematian bayi eksogen atau kematian postneonatal disebabkan oleh
faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar (Sudariyanto,
2011).
Kematian bayi dapat pula diakibatkan dari kurangnya kesadaran akan
kesehatan ibu. Banyak factor yang mempengaruhinya, diantaranya,ibu jarang
memeriksakan kandungannya kebidan; hamil diusia muda; jarak yang terlalu
sempit; hamil diusia tua; kurangnya asupan gizi bagi ibu dan bayinya; makanan
yang dikonsumsi ibu tidak bersih; fasilitas sanitasi dan higienitas yang tidak
memadai, (Fauziyah, 2011). Disamping itu, kondisi ibu saat hamil yang tidak
bagus dan sehat, juga dapat berakibat pada kandungannya, seperti faktor fisik;
faktor psikologis; faktor lingkungan, sosial, dan budaya (Sulistyawati, 2009).
Berdasarkan hasil survei pendahuluan pada tahun 2014 di Kecamatan
Sumberjambe ditemukan kejadian kematian bayi masih tinggi sekitar 22 dalam
satu tahun. Dari 22 kematian bayi, terdapat tiga penyebab kematian bayi tertinggi
yaitu asfiksia, berat badan lahir rendah, serta infeksi. Pada survey pendahuluan
juga ditemukan jumlah kematian bayi hanya ditemukan tiga desa dari 12 desa di
kecamatan Sumberjambe. Hal tersebut menarik perhatian peneliti untuk
melakukan penelitian tentang analisis factor penyebab kematian bayi pada desa
dengan angka kematian bayi yang tinggi serta pada desa dengan angka kematian
bayi rendah atau tidak ada.
I.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah angka kematian bayi di
kecamatan Sumberjambe masih tinggi pada dua desa dari total enam desa
sedangkan factor penyebabnya masih belum diketahui. Jadi pertanyaan pada
penelitian ini adalah apakah factor resiko yang berpengaruh terhadap angka
kematian bayi yang masih tinggi pada desa dengan angka kematian bayi tinggi
dan desa dengan angka kematian bayi rendah?
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui factor yang
berpengaruh terhadap peningkatan angka kematian bayi di kecamatan
sumberjambe. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk membandingkan
faktor resiko antara desa dengan angka kematian bayi tinggi serta desa dengan
angka kematian bayi rendah.
I.3 Manfaat Penelitian
a. Bagi institusi puskesmas Sumberjambe diharapkan dapat digunakan
sebagai data masukan dalam mengevaluasi program serta sebagai
perencanaan dan pelaksanaan program di masa yang akan datang.
b. Bagi peneliti diharapkan dapat menambah wawasan tentang penyebab
angka kematian bayi yang masih tinggi serta dapat digunakan sebagai
acuan kelak saat terjun ke puskesmas.
c. Bagi masyarakat diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk
mendapatkan wawasan tentang penyebab kematian bayi yang masih tinggi
serta dapat bekerjasama dengan puskesmas untuk bersama menangani
kematian bayi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Angka Kematian Bayi
Kematian bayi merupakan kematian bayi yang berusia kurang dari satu
tahun. Kematian bayi terbagi atas kematian neonatal dan kematian pascaneonatal.
Kematian neonatal yaitu kematian neonatus lahir hidup pada usia gestasi 20
minggu atau lebih. Neonatus lahir hidup adalah neonatus yang menunjukkan bukti
hidup setelah lahir, bahkan bila hanya sementara (pernapasan, denyut jantung,
gerakan otot volunter, atau pulsasi dalam korda umbilikalis), dan yang meninggal
dalam 28 hari. Kematian neonatal terdiri atas kematian neonatal dini dan kematian
neonatal lanjut. Kematian neonatal dini/ perinatal Kematian perinatal (perinatal
mortality) ialah jumlah bayi lahir mati atau kematian bayi lahir hidup dalam 7 hari
pertama sesudah lahir. Kematian neonatal lanjut merupakan kematian seorang
bayi yang dilahirkan hidup lebih dari 7 hari sampai kurang 29 hari
(Prawirohardjo, 2005: 786).
Angka kematian bayi adalah jumlah kematian bayi yang terjadi saat
setelah lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun per 1000 kelahiran hidup
pada satu tahun tertentu. Sebanyak 2/3 kematian bayi merupakan kematian
neonatal. Kematian neonatal dini/perinatal (bayi umur 0–7 hari) merupakan 2/3
dari kematian neonatal.
II.2 Profil Angka Kematian Bayi di Indonesia
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), Angka
Kematian Balita (AKABA) merupakan beberapa indicator status kesehatan
masyarakat. AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan
Negara ASEAN lainnya yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih
tinggi dari Filipina dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand. Menurut data Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka Kematian
Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup menurun
dari 20 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2007 dan 23 per 1000 kelahiran hidup
berdasarkan hasil SDKI 2012. Penduduk Indonesia pada tahun 2007 adalah
225.642.000 jiwa dengan CBR 19,1 terdapat 4.287.198 bayi lahir hidup. Dengan
kematian bayi sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup berarti terdapat 17 bayi
meninggal setiap jam.
Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari)
menjadi penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 56%
kematian bayi. Untuk mencapai target penurunan AKB pada MDG 2015 yaitu
sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup maka peningkatan akses dan kualitas
pelayanan bagi bayi baru lahir (neonatal) menjadi prioritas utama. Komitmen
global dalam MDGs menetapkan target terkait kematian anak yaitu menurunkan
angka kematian anak hingga dua per tiga dalam kurun waktu 1990-2015.
ProvinsiAngka Kematian Bayi
1971 1980 1990 1994 1997 2000 2002 2007 2010 2012
Aceh 143 93 58 58 46 40 - 25 28 47
Sumatera Utara 121 89 61 61 45 44 42 46 26 40
Sumatera Barat 152 121 74 68 66 53 48 47 30 27
Riau 146 110 65 72 60 48 43 37 23 24
Jambi 154 121 74 60 68 53 41 39 29 34
Sumatera Selatan 155 102 71 60 53 53 30 42 25 29
Bengkulu 167 111 69 74 72 53 53 46 28 29
Lampung 146 99 69 38 48 48 55 43 23 30Kepulauan Bangka Belitung - - - - - 53 43 39 27 27
Kepulauan Riau - - - - - - - 43 20 35
DKI Jakarta 129 82 40 30 26 25 35 28 14 22
Jawa Barat 167 134 90 89 61 57 44 39 26 30
Jawa Tengah 144 99 65 51 45 44 36 26 21 32
DI Yogyakarta 102 62 42 30 23 25 20 19 16 25
Jawa Timur 120 97 64 62 36 48 43 35 25 30
Banten - - - - - 66 38 46 24 32
Bali 130 92 51 58 40 36 14 34 20 29
Nusa Tenggara Barat 221 189 145 110 111 89 74 72 48 57
Nusa Tenggara Timur 154 128 77 71 60 57 59 57 39 45
Kalimantan Barat 144 119 81 97 70 57 47 46 28 31
Kalimantan Tengah 129 100 58 16 55 48 40 30 23 49
Kalimantan Selatan 165 123 91 83 71 70 45 58 34 44
Kalimantan Timur 104 100 58 61 51 40 42 26 21 21
Sulawesi Utara 114 93 63 66 48 28 25 35 25 33
Sulawesi Tengah 150 130 92 87 95 66 52 60 45 58
Sulawesi Selatan 161 111 70 64 63 57 47 41 31 25
Sulawesi Tenggara 167 116 77 79 78 53 67 41 40 45
Gorontalo - - - - - 57 77 52 56 67
Sulawesi Barat - - - - - na 74 48 60
Maluku 143 123 76 68 30 61 na 59 45 36
Maluku Utara - - - - - 75 na 51 40 62
Papua Barat - - - - - na 36 28 74
Papua 86 105 80 61 65 57 na 41 19 54
INDONESIA 145 109 71 66 52 47 43 39 26 34
Keadaan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Neonatal
(AKN) yang diperoleh dari laporan rutin relatif sangat kecil, sehingga data AKB
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (Provinsi Jawa Timur) diharapkan
mendekati kondisi di lapangan. Berdasarkan data Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI), AKB tahun 2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran
hidup (kh). Sedangkan menurut data BPS Provinsi Jawa Timur, AKB tahun 2009
sebesar 31,41 per 1.000 kh; tahun 2010 mencapai 29,99 per1.000 kh; tahun 2011
mencapai 29,24 per 1.000 kh; dan di tahun 2012 estimasi AKB telah mencapai
28,31 per 1.000 kh. Dalam kurun waktu 2 (dua) tahun ke depan, diharapkan
mencapai target MDGs yaitu 23 per 1.000 kh pada tahun 2015 (dapat dilihat di
gambar 3.6 di bawah ini).
Angka Kematian Bayi (AKB) di atas 28,31 per 1.000 kelahiran hidup
masih didominasi oleh kabupaten/kota wilayah timur, hal ini dapat disebabkan
social budaya serta ekonomi, tidak semata-mata karena ratio petugas kesehatan
dengan penduduk yang cukup besar, dan juga karena sarana/prasarana yang
kurang berkualitas. AKB tertinggi di Kabupaten Probolinggo 63,51 per 1.000
kelahiran hidup sedangkan terendah pada Kota Blitar 19,50 per 1.000 kelahiran
hidup.
II.3. Penyebab Kematian Bayi
Dari hasil analisis lanjut tampak bahwa pola penyebab kematian bayi (0–
11 bulan) terbanyak adalah Infeksi Saluran Pencernaan 15,8%, Asfiksia/ Aspirasi
13,8%, Pneumonia 13,1%, BBLR 12,2% dan Sepsis 6,3%. Dilihat menurut Tipe
Daerah terlihat perbedaan pola kematian bayi antara di perkotaan dan di
perdesaan. Di perkotaan pola kematian terbanyak adalah penyakit non infeksi
yaitu Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kemudian kedua baru penyakit infeksi
yaitu infeksi saluran cerna, selanjutnya asfiksia aspirasi dan radang otak masing-
masing di atas 10%. Pneumonia, sepsis, kelainan congenital dan Kekurangan
Energi Protein (KEP) ditemukan juga di perkotaan. Pola kematian bayi di
perdesaan terbanyak didominasi penyakit infeksi yaitu Infeksi saluran cerna,
pneumonia, asfiksia/aspirasi, BBLR dengan masingmasing lebih dari 10%,
kemudian disusul sepsis, malaria, radang otak, kelainan congenital, hipotermia
dan ileus/hernia, obstruksi usus. (Tabel 3)
II.3. Faktor Resiko Angka Kematian Bayi
Teori Mosley dan Chen Mosley dan Chen (1984) membagi variable
variabel yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak termasuk bayi dan
balita menjadi dua, yaitu; (1) Variabel yang dianggap eksogenous atau sosial
ekonomi (seperti budaya, sosial, ekonomi, masyarakat, dan faktor regional) dan;
(2) Variabel endogenous atau faktor biomedical (seperti pola pemberian ASI,
kebersihan, sanitasi dan nutrisi).
II.3.a Faktor endogen
Kematian neonatal tidak terlepas dari kondisi bayi ketika lahir dan
kesakitan yang dialaminya. Status kesehatan ibu berpengaruh terhadap kondisi
kesehatan bayi sampai usia 0-6 hari. Ibu hamil yang mengalami perdarahan
intapartum seperti placenta praevia atau solutio placenta, infeksi intrapartum
mudah menimbulkan infeksi pada janin.
Faktor ibu meliputi umur, paritas dan jarak kelahiran. Masing-masing
faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap hasil kehamilan dan kelangsungan
hidup bayi. Selain itu, dimungkinkan juga terdapat sinergisme diantara variable-
variabel faktor ibu, misalnya jarak kelahiran yang dekat ditambah dengan umur
ibu yang muda. Status reproduksi yang berperan penting terhadap kejadian
kematian maternal adalah usia ibu hamil, jumlah kelahiran, jarak kehamilan dan
status perkawinan ibu.
1. Usia
Usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun merupakan usia berisiko
untuk hamil dan melahirkan.41) The Fifth Annual State of the World’s Mothers
Report, yang dipublikasikan oleh The International Charity Save The Children,
melaporkan bahwa setiap tahun, 13 juta bayi dilahirkan oleh wanita yang berusia
< 20 tahun, dan 90% kelahiran ini terjadi negara berkembang. Para wanita ini
memiliki risiko kematian maternal akibat kehamilan dan kelahiran dua sampai
lima kali lebih tinggi bila dibandingkan wanita yang lebih tua.3,66) Risiko paling
besar terdapat pada ibu berusia 14 tahun. Penelitian di Bangladesh
menunjukkan bahwa risiko kematian maternal lima kali lebih tinggi pada ibu
berusia 10 – 14 tahun daripada ibu berusia 20 – 24 tahun, sedangkan penelitian
yang dilakukan di Nigeria menyebutkan bahwa wanita usia 15 tahun memiliki
risiko kematian maternal 7 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang
berusia 20 – 24 tahun. 46,66)
Komplikasi yang sering timbul pada kehamilan di usia muda adalah
anemia, partus prematur, partus macet. Kekurangan akses ke pelayanan kesehatan
untuk mendapatkan perawatan kehamilan dan persalinan merupakan penyebab
yang penting bagi terjadinya kematian maternal di usia muda. Keadaan ini
diperburuk oleh kemiskinan dan kebuta – hurufan, ketidaksetaraan kedudukan
antara pria dan wanita, pernikahan usia muda dan kehamilan yang tidak
diinginkan. Kehamilan di atas usia 35 tahun menyebabkan wanita terpapar pada
komplikasi medik dan obstetrik, seperti risiko terjadinya hipertensi kehamilan,
diabetes, penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal dan gangguan fungsi paru.
Kejadian perdarahan pada usia kehamilan lanjut meningkat pada wanita yang
hamil di usia > 35 tahun, dengan peningkatan insidensi perdarahan akibat solusio
plasenta dan plasenta previa.
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan hasil
bahwa persentase bayi yang mati pada usia neonatal dari ibu yang berusia < 20
dan > 35 tahun (55,17%), lebih besar dari jumlah bayi yang hidup pada ibu yang
berusia < 20 dan > 35 tahun (13,79%),sedangkan ibu yang berusia 20 sampai 35
tahun dengan kasus neonatal yang hidup (86,21%) lebih besar dibandingkan
dengan neonatal yang mati (44,83%) (Prabamurti, et.al, 2009).
2. Jarak kehamilan
Jarak antar kehamilan yang terlalu dekat (kurang dari 2 tahun) dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya kematian maternal.4,41) Persalinan dengan interval kurang dari 24 bulan (terlalu sering) secara nasional sebesar 15%, dan merupakan kelompok risiko tinggi untuk perdarahan postpartum, kesakitan dan kematian ibu. Jarak antar kehamilan yang disarankan pada umumnya adalah paling sedikit dua tahun, untuk memungkinkan tubuh wanita dapat pulih dari kebutuhan ekstra pada masa kehamilan dan laktasi. Jarak kehamilan yang terlalu dekat yaitu kurang dari 24 bulan merupakan jarak kehamilan yang berisiko tinggi sewaktu melahirkan (Tukiran, 2008). Pada wanita yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan (di bawah dua tahun), akan mengalami peningkatan risiko terhadap terjadinya perdarahan pada trimester ke tiga, termasuk karena alasan plasenta previa, anemia atau kurang darah, ketuban pecah awal, endometriosis masa nifas serta yang terburuk yakni kematian saat melahirkan (Dian, 2004). Selain itu wanita yang hamil dengan jarak terlalu dekat berisiko tinggi mengalami komplikasi di antaranya kelahiran prematur, bayi dengan berat badan rendah, bahkan bayi lahir mati. Meningkatnya risiko ini tidak berkaitan dengan faktor risiko lain, seperti komplikasi pada kehamilan pertama, usia ibu waktu melahirkan, dan status ekonomi ibu. jarak kehamilan terlalu dekat menyebabkan ibu punya waktu yang terlalu singkat untuk memulihkan kondisi rahimnya. Setelah rahim kembali ke kondisi semula, barulah merencanakan punya anak lagi (Ros, 2003).
b. pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan kematian neonatal tidak bersifat
langsung. Pendidikan akan memberikan pengaruh secara tidak langsung melalui
peningkatan status sosial dan kedudukan ibu di dalam masyarakat, peningkatan
pilihan mereka terhadap kehidupan dan peningkatan kemampuan untuk membuat
keputusan sendiri serta menyatakan pendapat. Wanita dengan tingkat pendidikan
rendah, menyebabkan kurangnya pengertian mereka akan bahaya yang dapat
menimpa ibu hamil terutama dalam hal kegawatdaruratan kehamilan dan
persalinan.
Pendidikan ibu berperan terhadap kejadian kematian bayi neonatal. Bayi
neonatal yang mempunyai ibu tidak berpendidikan atau tidak tamat SD
mempunyai risiko 3,4 kali untuk mati dibandingkan bayi neonatal yang
mempunyai ibu berpendidikan SMA ke atas. Bayi yang lahir dengan BBLR
mempunyai risiko 9,5 kali menyebabkan kematian neonatal dibandingkan bayi
yang lahir dengan BBLN. Ibu tidak berpendidikan SD-SMP, bayi mereka
mempunyai risiko 2 kali meninggal pada masa neonatal dibandingkan ibu
berpendidikan SMA ke atas.
d. Akses terhadap pelayanan kesehatan
Hal ini meliputi antara lain keterjangkauan lokasi tempat pelayanan
kesehatan, dimana tempat pelayanan yang lokasinya tidak strategis / sulit dicapai
oleh para ibu menyebabkan berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan
kesehatan, jenis dan kualitas pelayanan yang tersedia dan keterjangkauan terhadap
informasi. Terhadap tempat pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa
faktor, seperti lokasi dimana ibu dapat memperoleh pelayanan kontrasepsi,
pemeriksaan antenatal, pelayanan kesehatan primer atau pelayanan kesehatan
rujukan yang tersedia di masyarakat.40)
Pada umumnya kematian neonatal di negara – negara berkembang,
berkaitan dengan setidaknya satu dari tiga keterlambatan orang tua dalam
mengambil keputusan (The Three Delay Models). Keterlambatan yang pertama
adalah keterlambatan dalam mengambil keputusan untuk mencari perawatan
kesehatan apabila terjadi komplikasi obstetrik. Keadaan ini terjadi karena
berbagai alasan, termasuk di dalamnya adalah keterlambatan dalam mengenali
adanya masalah, ketakutan pada rumah sakit atau ketakutan terhadap biaya yang
akan dibebankan di sana, atau karena tidak adanya pengambil keputusan,
misalnya keputusan untuk mencari pertolongan pada tenaga kesehatan harus
menunggu suami atau orang tua yang sedang tidak ada di tempat. Keterlambatan
kedua terjadi setelah keputusan untuk mencari perawatan kesehatan diambil.
Keterlambatan ini terjadi akibat keterlambatan dalam mencapai fasilitas kesehatan
dan pada umumnya terjadi akibat kesulitan transportasi. Beberapa desa memiliki
pilihan transportasi yang sangat terbatas dan fasilitas jalan yang buruk. Kendala
geografis di lapangan mengakibatkan banyak rumah sakit rujukan tidak dapat
dicapai dalam waktu dua jam, yaitu merupakan waktu maksimal yang diperlukan
untuk menyelamatkan ibu dengan perdarahan dari jalan lahir. Keterlambatan
ketiga yaitu keterlambatan dalam memperoleh perawatan di fasilitas kesehatan.
Seringkali para ibu harus menunggu selama beberapa jam di pusat kesehatan
rujukan karena manajemen staf yang buruk, kebijakan pembayaran kesehatan di
muka, atau kesulitan dalam memperoleh darah untuk keperluan transfusi,
kurangnya peralatan dan juga kekurangan obat – obatan yang penting, atau
ruangan untuk operasi. Pelaksanaan sistem pelayanan kebidanan yang baik
didasarkan pada regionalisasi pelayanan perinatal, dimana ibu hamil harus
mempunyai kesempatan pelayanan operatif dalam waktu tidak lebih dari satu jam
dan bayi harus dapat segera dilahirkan.5)
Ketersediaan informasi, baik penyuluhan maupun konseling penting
diberikan agar ibu – ibu mengetahui bahaya yang dapat terjadi dalam kehamilan,
persalinan dan masa nifas, serta upaya menghindari masalah itu. Keterlambatan
dalam mengambil keputusan untuk dirujuk pada saat terjadinya komplikasi
obstetrik sering disebabkan oleh karena keterlambatan dalam mengenali risiko
atau bahaya, sehingga berakibat keterlambatan dalam mencapai fasilitas kesehatan
rujukan dan keterlambatan dalam memperoleh pertolongan medis di rumah sakit.
Namun diidentifikasi masih kurangnya informasi dan konseling dari tenaga
kesehatan kepada ibu. Kebanyakan petugas menitikberatkan pada pemberian
informasi / penyuluhan, akan tetapi kurang melakukan konseling untuk membantu
ibu memecahkan masalah. Hal ini disebabkan petugas pada umumnya merasa
kurang memiliki waktu untuk melakukan konseling karena banyaknya ibu hamil
yang dilayani. Selain itu pemberdayaan sarana komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE) tentang kesehatan ibu masih sangat kurang, desa – desa terpencil belum
mengenal radio dan televisi.
a. Status kesehatan ibu Status kesehatan ibu yang berpengaruh terhadap kejadian kematian neonatalmeliputi status gizi, anemia, penyakit yang diderita ibu, dan riwayat komplikasi pada kehamilan dan persalinan sebelumnya.41)
Status gizi ibu hamil dapat dilihat dari hasil pengukuran terhadap lingkar lengan atas (LILA). Pengukuran LILA bertujuan untuk mendeteksi apakah ibu hamil termasuk kategori kurang energi kronis (KEK) atau tidak. Ibu dengan status gizi buruk memiliki risiko untuk terjadinya perdarahan dan infeksi pada masa nifas.Keadaan kurang gizi sebelum dan selama kehamilan memberikan kontribusi terhadap rendahnya kesehatan maternal, masalah dalam persalinan dan masalah pada bayi yang dilahirkan.1)
Stunting yang dialami selama masa kanak – kanak, yang merupakan hasil dari keadaan kurang gizi berat akan memaparkan seorang wanita terhadap risiko partus macet yang berkaitan dengan adanya disproporsi sefalopelvik.1,22)
data Susenas tahun 2000 dan sensus penduduk tahun 2000, prevalensi ibu yang menderita KEK (LILA ibu < 23,5 cm) adalah 25%. Risiko KEK pada ibu hamil lebih banyak ditemukan di pedesaan (40%) daripada di perkotaan (26%) dan lebih banyak dijumpai pada kelompok usia ibu di bawah 20 tahun (68%).4) 62)
Berdasarkan