BAB I

42
1 SKENARIO V PERSARAFAN “KEJANG DEMAM” Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun tiba di IGD RSUP dalam kondisi kejang. Kejang ini telah berlangsung selama >15 menit, dalam satu hari ini pasien telah mengalami kejang, riwayat kejang sebelumnya pernah dialami pasien sewaktu berumur 1 ahun, pada saat itu pasien kejang dalam kondisi demam. Saat ini pasien mengalami demam tinggi yang telah dialami selama 2 hari ini keluhan dari si ibu anaknya terlihat kesakitan setiap kali menelan makanan dan minuman selama 2 hari. Learning objektif : Kejang demam 1.Definisi

description

jhefgcbaiurvqioytrvqyqiwitybwiquyeytcbqoieynpocuqtoiumqtyb ;troiwruhbo;ircopqiutrvhqniutqoitrybo kmqweicuqiwoivurqp8eutpqvepirybrqie9rtqyriuoirtpbubyqyhefgcbaiurvqioytrvqyqiwitybwiquyeytcbqoieynpocuqtoiumqtyb ;troiwruhbo;ircopqiutrvhqniutqoitrybo kmqweicuqiwoivurqp8eutpqvepirybrqie9rtqyriuoirtpbubyqy

Transcript of BAB I

1

SKENARIO V PERSARAFAN

“KEJANG DEMAM”

Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun tiba di IGD RSUP dalam

kondisi kejang. Kejang ini telah berlangsung selama >15 menit, dalam

satu hari ini pasien telah mengalami kejang, riwayat kejang sebelumnya

pernah dialami pasien sewaktu berumur 1 ahun, pada saat itu pasien

kejang dalam kondisi demam. Saat ini pasien mengalami demam tinggi

yang telah dialami selama 2 hari ini keluhan dari si ibu anaknya terlihat

kesakitan setiap kali menelan makanan dan minuman selama 2 hari.

Learning objektif :

Kejang demam

1. Definisi

2. Klasifikasi

3. Etiologi

4. Patofisiologi

5. Gejala klinis

6. Diagnosa

7. Pemeriksaan

8. Penatalaksanaan

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang adalah kejadian paroxysmal atau sawan yang disebabkan oleh

pelepasan yang abnormal, berlebihan dan hypersynchronous oleh agregasi neuron

pada sistem syaraf pusat. Kejang atau perkataan Seizure dalam Bahasa Ingris

datangnya dari bahasa latin Sacire yang bermaksud dikuasai atau possessed.

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

(suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium

(diluar rongga kepala). Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980)

kejang demam ini biasanya terjadi bayi atau anak-anak antara umur 3 bulan dan 5

tahun yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi

intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi

yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dibedakan

dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.

Amerika Serikat antara 2% sampai 5% anak mengalami kejang demam

sebelum usianya yang ke 5. Sekitar 1/3 dari mereka paling tidak mengalami 1 kali

rekurensi. Internasional Kejadian kejang demam seperti di atas serupa di Eropa.

Kejadian di Negara lain berkisar antara 5 sampai 10% di India, 8.8% di Jepang, 14%

di Guam, 0.35% di Hong Kong, dan 0.5-1.5% di China.

Kejang demam biasanya tidak berbahaya. Anak dengan kejang demam

memiliki resiko epilepsy sedikit lebih tinggi dibandingkan yang tidak (2% : 1%).

Faktor resiko untuk epilepsy di tahun-tahun berikutnya meliputi kejang demam

kompleks, riwayat epilepsy atau kelainan neurologi dalam keluarga, dan hambatan

pertumbuhan. Pasien dengan 2 faktor resiko tersebut mempunyai kemungkinan 10%

mendapatkan kejang demam.

3

Epilepsi yang merupakan penyakit kronik masih tetap merupakan masalah

medik dan sosial. Masalah medik yang disebabkan oleh gangguan komunikasi neuron

bisa berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Dilain pihak obat-obatan anti

epilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif dan behavior.

Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting

mengingat efek obat yang bertujuan untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga

bisa berefek pada gangguan kognitif dan behavior.

Epilepsi terjadi di seluruh dunia, hampir di seluruh daerah tidak kurang dari

tiga kejadian tiap 1000 orang. Setiap tahunnya, diantara setiap 100.000 orang akan

terdapat 40-70 kasus baru. Epilepsi mempengaruhi 50 juta orang diseluruh dunia, dan

80% dari mereka tinggal di negara berkembang.

Epilepsi lebih sering timbul pada usia anak-anak atau orang tua diatas 65

tahun, namum epilepsi dapat muncul kapan saja. Pada systemic review terkini, angka

prevalensi untuk epilepsi aktif bervariasi dari 1,5-14 per 1.000 orang/tahun di Asia,

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sedikit lebih besar kemungkinan terkena epilepsi

daripada perempuan.

Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia

data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain

dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar

0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk Indonesia sekitar 220 juta maka sekitar 1,5-2 juta

orang kemungkinan mengidap epilepsi dan kasus baru sekitar 250.000 pertahun.

Epilepsi diterapi dengan obat-obatan anti epilepsi jangka panjang dimana akan

dititrasi hingga berhenti jika minimal selama 2 tahun bebas kejang.

4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kejang Demam

2.1.1 Definisi

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan gejala demam dan usia,

serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam

adalah kenaikan suhu tubuh lebih dari 380C rektal atau lebih 37,80C aksila. Kejang

demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 380C

(suhu rektal) disebabkan suatu proses ekstrakranium yang paling sering dijumpai

pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Mengenai definisi kejang demam ini

masing-masing peneliti membuat batasan sendiri-sendiri, tetapi pada garis besarnya

hamper sama.

Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah

bangkitan kejang pada bayi dan anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5

tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial

atau penyebab lain. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang

dari 4 minggu tidak termasuk kejang demam. Kejang demam terjadi pada anak

berumur dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak

berumur antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam

yang paling sering pada usia 18 bulan.

2.1.2 Manifestasi Klinis

Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Umumnya serangan

kejang tonik-klonik, awalnya dapat berupa menangis, kemudian tidak sadar dan

timbul kekakuan otot. Selama fase tonik, mungkin disertai henti nafas dan

inkontinensia. Kemudian diikuti fase klonik berulang, ritmik dan akhirnya anak

5

setelah kejang letargi atau tidur. Bentuk kejang lain dapat juga terjadi seperti mata

terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang

tanpa didahului kekakuan, atau hanya hentakan atau kekakuan fokal. Serangan kejang

terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat

bengkitan dapat berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal atau akinetik.

Pada kejang demam sederhana, umumnya kejang berhenti sendiri, setelah

kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah

beberapa detik atau menit anak akan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.

Sedangkan pada kejang demam kompleks dapat disertai hemiparesis, kemudian dapat

pula berkembang menjadi status epileptikus.

2.1.3. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan

suatu energi dari metabolisme. Bahan baku metabolisme otak yang penting ialah

glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan

perantaraan fungsi paruparu dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler.

Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam (lipid) dan

permukaan luar (ion).

Pada keadaan normal membran sel neuron dilalui dengan mudah oleh ion

Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya

kecuali Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan

konsentrasi ion Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan

sebaliknya.

Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan luar sel maka

terdapat potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial

membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATP-ase yang terdapat pada

permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran dapat dirubah oleh adanya:

- Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.

6

- Rangsangan mendadak berupa mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari

sekitarnya.

- Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan menaikan metabolisme basal

10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak yang berumur 3

tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan orang dewasa

yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan

keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion

Kaliun maupun Natrium melalui membran. Perpindahan ini mengakibatkan lepas

muatan listrik yang besar, sehingga meluas ke membran sel lain melalui

neurotransmitter, dan terjadilah kejang.

Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,

jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Pireksia akan menyebabkan

kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang

lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder

akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan

iskemia neuron karena kegagalan metabolism di otak.

Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan

anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di daerah yang peka

seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan di daerah ini merupakan prekursor

timbulnya epilepsi lobus temporalis yang berlatar belakang kejang demam.

2.1.4. Klasifikasi

Kejang demam dibagi atas 2 bentuk :

a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)

1) Kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit).

2) Umumnya kejang akan berhenti sendiri.

3) Kejang umum tonik-klonik yang terjadi sekali dalam 24 jam.

7

4) Tidak ditemukan defisit neurologis.

5) Sembuh spontan.

b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

1) Kejang berlangsung lama (> 15 menit).

2) Bentuk kejang bersifat fokal atau parsial.

3) Berlangsung beberapa kali (multipel) dalam 24 jam.

Kejang demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan, meninggal atau

mengganggu kepandaian. Risiko untuk menjadi epilepsi dikemudian hari juga sangat

kecil, sekitar 2% hingga 3%. Risiko terbanyak adalah berulangnya kejang demam,

yang dapat terjadi pada 30 sampai 50% anak. Risiko-risiko tersebut lebih besar pada

kejang demam kompleks.

2.1.5. Diagnosis

Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam

akut, berupa serangan kejang klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada

tanda-tanda neurologi post iktal, pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat

memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering

asimetris, kadang-kadang unilateral. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang

demam kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi.

Elektroensefalogram (EEG) yang dikerjakan 1 minggu setelah kejang demam

dapat abnormal, biasanya berupa perlambatan diposterior. 95% kasus kejang demam

EEGnya abnormal bila dikerjakan segera setelah kejang demam. Kira-kira 30%

penderita akan memperlihatkan perlambatan di posterior dan akan menghilang 7

sampai 10 hari kemudian.

Pemeriksaan EEG tidak dianjurkan dilakukan secara rutin. Indikasi

pemeriksaan EEG pada suatu kejang demam kompleks adalah: demam <38,5°C, usia

awitan < 1 tahun, ditemukan paralisis Todd atau adanya defisit neurologik.

Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang

8

demam untuk menyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan

subaraknoid atau gangguan demielinasi. Pemeriksaan pungsi lumbal dianjurkan pada

anak-anak yang berusia < 18 bulan, dan mutlak perlu pada bayi usia < 12 bulan (pada

usia ini sulit ditemukan suatu gejala perangsangan meningeal sehingga kemungkinan

suatu meningitis atau ensefalitis dapat lolos dari pemeriksaan).

2.1.6. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah : Mencegah kejang

demam berulang, mencegah status epilepsi, mencegah epilepsi dan/ atau retardasi

mental, normalisasi kehidupan anak dan keluarga. Pada penatalaksanaan kejang

demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu :

a. Pengobatan Fase Akut

Prioritas utama pada anak yang sedang mengalami kejang adalah menjaga

agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk

mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga

berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus

dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi.

Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu

tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik

(asetaminofen oral 10 mg/kg BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB, 4

kali sehari). Diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut,

karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Efek terapeutiknya sangat

cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius hampir tidak

dijumpai apabila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg per

suntikan.

Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika pemberian secara

intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB,

diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut

sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang,

9

diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari

10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Bila diazepam tidak tersedia,

dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk

neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1

tahun.

Efek samping diazepam adalah mengantuk, hipotensi, penekanan pusat

pernafasan, laringospasme dan henti jantung. Penekanan pada pusat pernafasan dan

hipotensi terutama terjadi bila sebelumnya anak telah mendapat fenobarbital.

Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk

mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke

aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik; namun efek

terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.

b. Mencari dan Mengobati Penyebab

Penyebab dari kejang demam baik itu kejang demam sederhana maupun

epilepsi yang diprovokasi oleh demam biasanya infeksi traktus respratorius bagian

atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat perlu untuk

mengobati infeksi tersebut. Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk

mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit.

Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi

oleh demam dan pertama kali terjadi, terutama jika kejang atau pemeriksaan post iktal

menunjukkan abnormalitas fokal.

c. Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang

Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan

keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang

menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu :

1) Profilaksis intermittent pada waktu demam. Pengobatan profilaksis

intermittent dengan antikonvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam

10

(suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan

bekerja ke otak. Antipiretik saja dan fenobarbital tidak mencegah timbulnya

kejang berulang. Diazepam oral efektif untuk mencegah kejang demam

berulang dan bila diberikan intermittent hasilnya lebih baik karena

penyerapannya lebih cepat.

Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Dosis per rektal tiap 8

jam adalah 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10

mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg. Dosis oral diberikan 0,5

mg/kgBB perhari dibagi dalam 3 dosis, diberikan bila pasien menunjukkan

suhu 38,50C atau lebih. Menggunakan klonazepam sebagai obat anti

konvulsan intermittent (0,03 mg/kg BB per dosis tiap 8 jam) selama suhu

diatas 380C dan dilanjutkan jika masih demam. Efek samping klonazepam

yaitu mengantuk, mudah tersinggung, gangguan tingkah laku, depresi, dan

salivasi berlebihan.

Kloralhidrat supositoria berkhasiat untuk mencegah kejang demam

berulang. Dosis yang diberikan adalah 250 mg untuk berat badan kurang dari

15 kg, dan 500 mg untuk berat badan lebih dari 15 kg, diberikan bila suhu

diatas 380C. Kloralhidrat dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan

ginjal, hepar, penyakit jantung, dan gastritis.

2) Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari. Indikasi

pemberian profilaksis terus menerus adalah:

- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan

perkembangan neurologis.

- Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang

tua atau saudara kandung.

- Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan

neurologis sementara atau menetap.

11

- Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi

kejang multipel dalam satu episode demam.

Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1–2 tahun

setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1–2

bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah

berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya

epilepsi dikemudian hari. Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB perhari

dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang

bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam.

Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan

agresif ditemukan pada 30-50% kasus. Efek samping fenobarbital dapat

dikurangi dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah

asam valproat, obat ini lebih baik dibandingkan dengan fenobarbital. Dosis

asam valproat adalah 15-40 mg/kgBB perhari dibagi 2-3 dosis. Efek samping

yang ditemukan adalah hepatotoksik, pankreatitis, tremor dan alopesia.

Fenitoin dan karbamazepin tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.

2.1.7. Prognosis

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik. Dari

penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang

umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat umur, jenis kelamin dan

riwayat keluarga, lennoxbuchthal mendapatkan:

a. Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada

wanita 50% dan pria 33%.

b. Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat

keluarga adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada

tanpa riwayat kejang 25%.

12

Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang

menjadi :

a. Kejang demam berulang.

b. Kelainan motorik.

c. Gangguan mental dan belajar.

d. Epilepsi.

Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian,

misalnya Lumbantobing pada penelitannya mendapatkan 6%, sedangkan Livingston

mendapatkan dari kejang demam sederhana hanya 2,9% menjadi epilepsi dan epilepsi

yang di provokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsi. Epilepsi yang terjadi

setelah kejang demam bermacam-macam, yang paling sering adalah epilepsi motorik

umum yaitu kira-kira 50%.

2.2 Epilepsi

2.2.1 Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang

muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas

muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal

dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang

dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan

berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok

sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut

(“unprovoked”).

Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan

sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung

untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi

dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif),

gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan

13

perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus

epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenal lah

bermacam jenis epilepsi.

2.2.2 Etiologi

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.

Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai

epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi

simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan

peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai

simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan

Lennox Gastaut syndrome.

Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%

anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan

anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.

Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon

estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan

terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid

dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita

ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan

hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan

menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan

epilepsi.

Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah:

a. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam

pertama

b. Kejang demam kompleks

c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.

14

Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsy 4-6%; kombinasi

faktor resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsy menjadi 10-49%. Epilepsi

diartikan sebagai kejang berulang dan multipel. Anak dengan riwayat kejang demam

mempunyai risiko sedikit lebih tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun

dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam.

2.2.3 Klasifikasi

Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada

tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada

tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe

serangan epilepsi):

1. Serangan parsial

a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)

Dengan gejala motorik

Dengan gejala sensorik

Dengan gejala otonom

Dengan gejala psikis

b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran

Gangguan kesadaran saat awal serangan

c. Serangan umum sederhana

Parsial sederhana menjadi tonik-klonik

Parsial kompleks menjadi tonik-klonik

Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik

2. Serangan umum

a. Absans (Lena)

b. Mioklonik

c. Klonik

d. Tonik

15

e. Atonik (Astatik)

f. Tonik-klonik

3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang

lengkap).

Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para

klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu

Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang

terlokalisir di otak.

Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih

luas pada kedua belahan otak.

Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989

adalah:

1. Berkaitan dengan letak fokus a. Idiopatik

- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal spike)

- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital b. Simptomatik

- Lobus temporalis - Lobus frontalis - Lobus parietalis - Lobus oksipitalis

2. Umum a. Idiopatik

- Kejang neonatus familial benigna - Kejang neonatus benigna - Kejang epilepsi mioklonik pada bayi - Epilepsi Absans pada anak - Epilepsi Absans pada remaja - Epilepsi mioklonik pada remaja - Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga - Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak

a. Simptomatik - Sindroma West (spasmus infantil) - Sindroma Lennox Gastaut

16

3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2) - Serangan neonatal

4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi - Kejang demam - Berkaitan dengan alkohol - Berkaitan dengan obat-obatan - Eklampsia - Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)

Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung

terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh

dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis.

Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang

diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas,

sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat

serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan

diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).

2.2.4 Patofisiologi

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling

berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan

bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan

normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila

mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan

breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara

abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:

- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter

- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s

inhibitory neurotransmitter.

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan

asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,

17

dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan

epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.

Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di

area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang

disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok

kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh

neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut

terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi

yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.

Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang

optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,

disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata

memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus

oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post

sinaptik.

- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat

normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan

ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada

penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai

tempat di otak.

- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk

mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.

18

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada

tiga kejadian yang saling terkait :

- Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk

menimbulkan bangkitan.

- Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.

- Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,

bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis

(fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron

akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu

sesaat menimbulkan serangan kejang.

Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,

stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat

terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan

menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia,

hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.

Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus

epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,

subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan

serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya

eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia

basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.

Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi

spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap

berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan

glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa

terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.

19

Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik)

depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan

yang berkepanjangan disebut status epileptikus.

2.2.5 Diagnosis

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:

a. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal

merupakan bangkitan epilepsi.

b. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka

tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana.

c. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh

bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan

tentukan etiologinya.

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang

(minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform

pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah

sebagai berikut :

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan

perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi

gejala dan merupakan kunci diagnosis.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan

a. Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/berdiri/berbaring

/tidur/berkemih.

b. Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speecharrest).

c. Apa yang tampak selama bangkitan (Pola/bentuk bangkitan) : gerakan

tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,

pucat, berkeringat, maupun deviasi mata.

20

d. Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh

gelisah, atau Todd’s paresis.

e. pakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat perubahan

pola bangkitan.

2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit

neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang

mungkin menjadi penyebab.

3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar

bangkitan.

4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.

Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan

menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak,

pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,

organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan

awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium

Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum

dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia,

dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang.

Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium,

Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan

petunjuk yang sangat berguna.

2) Elektro ensefalografi (EEG)

Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui

elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai

21

pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity.

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan

diagnosis epilepsi.

Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi

struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan

abnormal ditentukan atas dasar adanya :

a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di

kedua hemisfer otak.

b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat

dibanding seharusnya misal gelombang delta.

c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,

misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,

dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.

3) Rekaman video EEG

Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh

karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara

terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat

menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.

4) Pemeriksaan Radiologis

CT-Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance

Imaging) kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah

neuroimaging yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan

struktural di otak dan melengkapi data EEG. CT Scan kepala ini dilakukan bila

pada MRI ada kontraindikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini

merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsy dengan sensitivitas

22

tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat

mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan

hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin

dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan

hipokampus kanan dan kiri.

5) Pemeriksaan neuropsikologi

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan

pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya

memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga

dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang

yang bukan epilepsy.

2.1.6 Prognosis

Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,

faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis

epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat

dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat

berhenti minum obat.

Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik

dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.

Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang)

dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus

dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.

Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas

serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas

serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk

menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu

mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor

23

prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada

remaja/dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG.

Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko

kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling

tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit

kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan

oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.

24

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan :

Kejang Demam

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan gejala demam dan usia,

serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam

adalah kenaikan suhu tubuh lebih dari 380C rektal atau lebih 37,80C aksila. Kejang

demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 380C

(suhu rektal) disebabkan suatu proses ekstrakranium yang paling sering dijumpai

pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Mengenai definisi kejang demam ini

masing-masing peneliti membuat batasan sendiri-sendiri, tetapi pada garis besarnya

hamper sama.

Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah

bangkitan kejang pada bayi dan anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5

tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial

atau penyebab lain. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang

dari 4 minggu tidak termasuk kejang demam. Kejang demam terjadi pada anak

berumur dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak

berumur antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam

yang paling sering pada usia 18 bulan.

Epilepsi

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang

muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas

muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal

dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang

25

dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan

berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok

sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut

(“unprovoked”).

Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan

sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung

untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi

dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif),

gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan

perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus

epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenal lah

bermacam jenis epilepsi.

26

DAFTAR PUSTAKA

Sidharta, P: Neurologi klinis dalam praktek umum. Ed 7th. Jakarta: Penerbit dian

rakyat; 2009.

Mardjono, M. Sidharta, P: Neurologi klinis dasar. Ed 16th. Jakarta: Penerbit dian

rakyat; 2013.

Lumbantobing, S.M: Neurologi klinik, pemeriksaan fisik dan mental. Ed 18 th. Badan

penerbit FK UI; 2015.

Schweich PJ, Zempsky WT. Selected topic in emergency medicine. Dalam: McMilan

JA, DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB, Ed. Oski’s pediatrics.

Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins, 1999, h, 566-89.

Roth HI, Drislane FW. Seizures. Neurol Clin 1998; 16:257-84.

Smith DF, Appleton RE, MacKenzie JM, Chadwick DW. An Atlas of epilepsy. Edisi

ke-1. New York: The Parthenon Publishing Group, 1998. h. 15-23.

Westbrook GL. Seizures and epilepsy. Dalam: Kandel ER, Scwartz JH, Jessel TM,

ed. Principal of neural science. New York: MCGraw-Hill, 2000. h. 940-55.

Najm I, Ying Z, Janigro D. Mechanisms of epileptogenesis. Neurol Clin North Am

2001; 19:237-50.

Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am

2001;48:683-94.

Commission on Classification and Terminology of the International League Against

Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic

classification of epileptic seizures. Epilepsia 1981; 22:489-501.

27

Bradford JC, Kyriakedes CG. Evidence based emergency medicine; Evaluatin and

diagnostic testing evaluation of the patient with seizures; An evidence based

approach. Em Med Clin North Am 1999; 20:285-9.

Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The

treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000;

83:415-19