BAB I
description
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai jam’iyyah yang menganut paham ahlussunnah Waljama’ah, NU tentu
tidak bisa dilepaskan dari persoalan global. Masalah kemanusiaan sejalan dengan
perkembangan zaman dan kini sedang masuk dalam era globalisasi, berkembang
demikian pesatnya. Di sini NU dituntut untuk mampu memberikan jawaban –
jawaban solutif dan menempatkan dirinya pada peran strategis bagi perjuangan
kemanusiaan, penegakan keadilan, persamaan dan kesetaraan. Masalah hak asasi
manusia, gender, demokrasi, dan pluralism merupakan bagian yang tak terlupakan
dan terpisahkan dari kehidupan manusia. Sejak dalam kehidupan manusia terjadi
interaksi social, sesungguahnya pada saat itulah masalah – masalahtersebut mulai
ada.
Perjuangna terus menerus untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia
sebagai puncak dan ciptaan ilahi juga merupakan bagian inti dari tugas para nabi
dan rasul. Itulah sebabnya, mengapa kisah – kisah perjuangan para rasul mempunyai
porsi terbanyak dalam ayat – ayat Al-Quran yang bertujuan agar umat islam mampu
menangkap pesan – pesan kemanusiaan yang dirisalahkan melalui para nabi dan
rasul (Zamzani, 2000:48).
Dari masa ke masa, kita bisa menyaksikan adanya pertentangan abadi antara
upaya penegakan nilai – nilai kemanusiaan dan penindasan terhadapnya: atau dalam
bahasa agama, antara haqq dan batil, yang baik dan yang benar. Ini merupakan
cermin bagi keberadaan setiap individu manusia yang oleh tuhan diberikan potensi
fujur dan taqwa (QS. Asy-Syams, 91:8). Terlepas dari segala kekurangan yang
dimilikinya, harus diakui bahwa manusia merupakan ciptaan terbaik Allah, yang
mempunyai fitrah dan naluri kesucian untuk selalu condong kepada kebenaran
( hanif ), disamping potensi fujur-nya. Fungsi islam dalam hal ini adalah
penyempurna untuk memberikan bimbingan kepada manusia agar bisa
mengaktualisasikan potensi positifnya dan meminimalisir potensi negatifnya. Itulah
sebabnya mengapa paham Ahlussunnah Waljama’ah tidak ingim melakukan
perombakan total terhadap apa yang telah berkembang dalam kehidupan manusia,
tetapi lebih mengarah pada proses penyempurnaan pada pola hidup manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu NU dan isu – isu global HAM
2. Apa itu NU dan isu – isu global JENDER
3. Apa itu NU dan isu – isu global DEMOKRASI
C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui NU dan isu – isu global HAM
2. Mahasiswa dapat mengetahui NU dan isu – isu global JENDER
3. Mahasiswa dapat mengetahui NU dan isu – isu global DEMOKRASI
BAB II
PEMBAHASAN
A. NU dan Isu-Isu Global HAM
Masalah kemanusiaan merupakan masalah global yang melampui batas-batas
etnik, ras, maupun idiologi. Sikap penolakan terhadap segala bentuk deskriminasi,
ketidak adilan, penindakasan dan pemaksaan kehendak merupakan hal yang dimiliki
oleh bangsa, suku, agama dan kelompok manapun diseluruh penjuru dunia,
Sedari awal islam menentang penindasan terhadap hak-hak kemanusiaan. Habil
putra nabi Adam AS.. disebut orang yang durhaka karena telah melakukan
pembunuhan terhadap saudaranya sendiri , Qabil. Ia telah merampas hak saudaranya
itu untuk hidup. Hal-hal semacam ini dapat kita lihat dalam renyang sejarah manusia
dari waktu ke waktu.
Feodaalisme yang pernah berkembang dieropa berabad-abad yang lalu yang
secara historis formal ditandai dengan dimulainya system fief, yang membeda-
bedakan derajat dan hak manusia atas dasar kekuasaan dan tanah, mendapatkan
penentangan secara gradual dengan timbulnya kesadaran akan nilai-nilai keadilan.
Munculnya tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas, Hobbes, John Lock, David Hume,
Jaques Rousseau, Immanuel Kant, dan lain-lain merupakan bukti adanya kesadaran
dalam diri manusia akan pentingnya persamaan derajat diantara mereka. Revolusi
inggris yang pertama (1640 M-an), disusul dengan revolusi kedua (1688 M), hingga
revolusi Prancis (1789 M) merupakan bukti adanya kesadaran umat manusia untuk
menghapus segala bentuk ketimpangan, absolutisme, penindasan dan lain
sebagainya yang membedakan derajat manusia dari segi kepemilikan kekayaan,
keturunan, kebangsawanan, kekuasaan dan lain sebagainya.
Jauh sebelum itu piagam Magna Charta (1215), deklarasi kemerdekaan amerika
(1776M) telah menyuarakan gagasan persamaan, persaudaraan dan kebebasan. Jauh
sebelum itu, Nabi Musa dengan segala pengorbanannya, berupaya membebaskan
Nabi Yunus rela terjun kelaut demi keselamatan umatnya yang ada diperahu, begitu
juga nabi-nabi sebelumnya. Akhirnya, Nabi Muhammad SAW yang dengan segala
pengorbanannya berhasil menciptakan masyarakat madani (civilized society).
Sejalan dengan pola pikir umat manusia, masalah HAM mulai menjadi perhatian
serius. Setelah lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tanggal 10
Desember 1948 terjadi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia atau
Universal Decklaration Of Human Right (UDHR), disusul kemudian dengan
International Convenant Economic and Cultural Right (31 Januari 1976), dan
International Convenant on Civil and Political Right (23 Maret 1976).
Persoalan kemudian adalah, sebagian masyarakat islam mengingat deklarasi-
deklarasi tersebut dipelopori oleh bangsa-bangsa barat, justru melihat itu sebagai al-
ghazw al-fikriy atau invasi cultural terhadap Negara-negara dunia ketiga (Said Aqil,
1999; 97). Benarkah demikian? Intuk memahami hal ini, barangkali kita perlu
melihat dinamika yang berkembang pada masyarakat islam secara global. Dinasti
islam di Spanyol (Andalus), mengalami kehancuran total ketika tidak menghormati
nilai-nilai kemanusiaan, inilah yang oleh para sejarawan dianggap sebagai titik awal
dari kemunduran umat islam dan kemajuan barat.
Pada abad ke-18 Napoleon Bonaparte dan pasukannya melakukan ekspansi ke
Mesir, umat islam seolah didasarkan oleh kondisi itu. Maka muncullah kemudian
apa yang disebut upaya pembaharuan pemahaman islam atau (tajdid). Dikalangan
umat islam, terjadi tarik-menarik tentang konsep tajdid ini, sebagian kalangan
memandang bahwa pembaharuan merupakan proses menghidupkan kembali
praktek-praktek keberagamaan lama yang telah sirna di telan zaman. Para
pembaharu (mujaddidun) bertugas mengambilkan praktek keberagamaan umat
terdahulu (tradisionalis) dan menghidupkan di zaman sekarang (modernitas) dengan
tetap mempertahankan metode-metode klasik. Sedangkan yang lainnya,
mengartikan tajdid sebagai sebuah gerakan rekonstruksi pemahaman islam dan
gerakan inovasi terhadap cara keberagamaan. Versi kedua ini lebih bersifat progresif
dan prospektif (Amin Al-Khulli, 2003:36).
Keduanya ini, mengandung kekeliruan mendasar. Yang pertama mengandalkan
bahwa islam harus ditampilkan sedemikian rupa tanpa perubahan. Menurut
kelompok ini, yang harus dilakukan adalah pemurnia (purifikasi), dan pengambilan
“tampilan islam” (Islamic performance) yang mewarnai generasi-generasi terdahulu,
tanpa berfikir tentang relevansi dan tanpa mempertimbangkan dialektika
perkembangan persoalan hidup kemanusiaan. Sedangkan yang kedua, terkesan
mengeksekusi agama untuk tampil sebagai ideology gerakan yang secara praktis
memberi jawaban-jawaban persoalan kemanusiaan. Jika pembaharuan yang over-
progressif ini di paksakan, maka universalitas dna eternitas ajaran islam semakin
kabur dari waktu ke waktu.
Disinilah paham moderat dan inklusif “al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-
shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah” yang menjadi prinsip paham Ahlussunnah
Waljama’ah menemukan relevansinya. Namun, semuanya itu tentu saja harus
didasari oleh upaya yang serius terhadap masalah-masalah yang berkembang.
Upaya-upaya penegakan HAM merupakan masalah global dan tugas manusia
secara keseluruhan yang tentu saja harus mendapat respon serius dari agama.
Kenyataan bahwa setiap kelompok, bangsa, ideology, maupun agama manapun
diseluruh penjuru dunia untuk menggaungkan perjuangan demi penegakan dan
pemenuhan HAM seharusnya menjadi momentum bersama untuk mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, yang jauh dari penindasan,
pertumpahan darah, kekerasan dan kezaliman. Al-Quran sendiri dengan tegas
menyatakan bahwa menghalang-halangi upaya penegakan keadilan merupakan
perbuatan orang-orang kafir.
“sesunggunhnya orang-orang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh
para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang
menyuruh manusia berbuat adil, maka ‘gembiralah’ mereka dengan siksa yang
pedih” (QS. Ali Imran, 3:21).
Masalah kemanusiaan merupakan tuntutan dan tangguang jawab bersama tanpa
pandang bulu. Dalam hukum islam juga di kenal lima prinsip universal yang
dijadikan pertimbangan bagi para ahli fikih dan hokum islam dalam menetapkan
produk hukum yaitu: hifzh ad-din, hifzh an-nafs, hifzh al ‘aqi, hifzh al-mal, dan
hifzh al-‘irdh wa an-nasl.
HAM yang dijelaskan dalam 30 pasal UDHR, pada dasarnya terangkum dalam 5
prinsip itu. Hak beragama terwadahi dalam hifzh ad-din Hak Hidup, terbebas dari
rasa takut, penganiyaan, penindasan dan menentukan nasib sendiri tercermin dalam
hifzh an-nafs. Hifzh al ‘aql merupakan pronsip yang menjamin kebebasan
berekspresi, menyatakan pendapat, hak pendidikan, berbudaya, berserikat dan
berkumpul. Sedangkan hak atas jaminan social, kebebasan dari kelaparan, dan upah
yang layak. Akhirnya, hifzh al-irdl wa an-nasl merupakan muara bagi persamaan
derajat di hadapan hokum, hak privacy, hak berkeluarga, hak untuk turut serta dalam
pemerintahaan, hak atas perkejaan, dan hak atas peradilan bebas. Begitu mulianya
islam menempatkan sosok manusia. Inilah cita-cita yang melandasi berdirinya
masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Perjuangan para ulama pada masa penjajahan untu merebut kemerdekaan, kalau
ita amati bukanlah disebabkan oleh tidak terakomodasinya kepentingan-kepentingan
umat islam dalam melakukan ibadah-ibadah ritual, seperti sholat, puasa dan haji.
Pada masa pemerintahan hindia belanda, justru umat islam dibuat sedemikian rupa
sehingga lebih konsentrassi pada pelaksanaan ibadah-ibadah ritual. Yang dituntut
oleh para ulama adalah agar keadilan bisa ditegakkan. Mereka menentang penjajah
bukan bertujuan agar semua orang bisa melakukan sholat, puasa dan haji, tetapi
bagaimana nilai-nilai kemanusiaan, seperti persamaan hak di depan hukum,
keadilan, kesetaraan, dan kebebasan berekspresi. Oleh sebab itu, bersama-sama
komponen bangsa lainnya, para ulama tampil membela kepentingan rakyat dan
menentang “aneksasi spiritual” yang memporak-porandakan nilai-nilai kebangsaan
dan agama masyarakat Nusantara.
B. Nu dan Isu-Isu Global Jenderb
Wacana jender selalu menampilkan wacana stereotif yang membedakan posisi
laki-laki dan perempuan. Selama berabad-abad, masalah ini agaknya kurang
mendapat perhatian dan cenderung dilupakan. Dengan segala keterbatasan dan
kekurangannya, gerakan-gerakan penentang terhadap system feodalisme menuju
pencerahan (aufkllarung) pun tidak lepas dari kondisi ni. Sehingga, dari waktu ke
waktu rentang sejarah feodalisme hingga abad pencerahan hampir tidak yterdengan
kritik para pemikir terhadap pandangan gereja yang diperkuat terutama oleh Thomas
Aquinas tentang derajat laki-laki dan perempuan. Kalaupun hal itu tidak menjadi
masalah yang cukup kurasial dalam upaya umat manusia untuk mencapai kebebasan
dan kemerdekaan.
Thomas Aquinas, filsuf skolastik abad ke 13 dalam filsafatnya menyatakan
bahwa tatanan social merupakan bagian integral dari alam semesta ciptaan Allah.
Baginya, Allah telah menciptakan dunia yang teratur sesuai dengan derajat
rasionalitas dan kesempurnaan, dan masyarakat pun diciptakan sebagai sesuatu
hierarki yang teratur sesuai dengan derajat rasionalitasa. Secara umum, kaum laki-
laki dianggap lebih rasional daripada perempuan, dan karena itu kaum laki-laki
harus memimpin kaum perempuan, demikian pula orang tua lebih rasional daripada
anaknya, dan seterusnya. Dimasa-masa berikutnya perjuangan memperoleh
kebebasan umat manusia berjalan sambil membawa “PR” (pekerjaan rumah)
kerangka berfikir yang paternalistic itu, sehingga muncul kemudian gerakan-
gerakan perlawanan yang menentangnnya.
Sejarah penyebaran islam juga bergulat juga dengan relaitas yang serupa. Seting
masyarakat Arab ketika Nabi Muhammad tampil membawa risalah islam adalah
komunitas yang tidak “memanusiakan” perempuan. Kaum laki-laki dengan
sewenang-wenang mencari pasangan perempuan sebanyak-banyaknya tanpa batas.
Anak laki-laki lebih di banggakan daripada anak perempuan, hingga menyebabkan
beberapa suku tertentu memilih untuk membunuh bayi perempuannya. Ini
diperparah lagi dengan cara mereka dalam menempatkan perempuan sebagai benda
yang bisa diwariskan secara turun menurun.
Oleh sebab itu, secara umum dapat dipahami bahwa fakta Al-Quran merupakan
peristiwa kebahasaan, kebudayaan, dengan keagamaan yang berfungsi sebagai garis
pemisah dalam sejarah Arab”pikiran primitive” (savage thinking), dalam pengertian
yang diberikan kepada istilah itu oleh Claude Lavi-Strauss, dan “pemikiran
berbudaya” (civilited thinking). Para ahli sejarah menggambarkan pemisahan itu
dalam kronologi linear. Zaman sebelum islam dikaitkan dengan tradisi jahiliah,
yaitu suatu kondisi secara keagamaan bercirikan paganisme dan secara cultural
tergolong “tidak berbudaya”. Sedangkan zaman sesudah islam dikaitkan dengan
pencerahan agama dan budaya, yang biasanya menganbil fakta “Negara islam” di
Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad pada tahun 622M, sabagai sampel
kebenarannya.
Akibat dari mapannya kultur yang sedemikian itu, masyarakat dunia secara
umum memandang bahwa peran perempuan terbatas pada urusan rumah tangga dan
keluarga, sedangkan perab public dipegang oleh kaum laki-laki. Masalah jender
memang sangat rumit, karena tidak terbatas pada jenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Lebih jauh lagi harus lebih diperjelas apa batas-batas yang bisa
dipersoalkan dalam “pembedaan” terhadap kedua jenis makhluk ini.
Kalau melihat lima prinsip hukum islam sebagaiman yang dijelaskan diatas
agaknya tidak menjadi persoalan. Artinya, setiap orang mempunyai hak-hak yang
sama untuk mendapat kebebasan, perlindungan dan jaminan keselamatan. Akan
tetapi sejauh menyangkut posisi kaum laki-laki dan perempuan, ada semacam
pemahaman yang salah kaprah.
Bagaimana islam menempatkan perempuan? Ini bisa dilihat dari berbagi
perspektif. Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa secara doctrinal ajaran
islam menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Ini merupakan buah penafsiran
atas beberapa teks agama yang seolah-olah berbicara demikian. Al-Quran
menyatakan bahwa “kaum laki-laki menguasai perempuan” (QS. An-Nisa, 4:34).
Ayat ini sesungguhnya memberikan pengertian antropologis. Menurut K.H
Abdurrahman Wahid, walaupun diputar balik, memang laki-laki itu tetap qawwam,
lebih segar, lebih bertanggaung jawab atas keselamatan perempuan, ketimbang
sebaliknya (secara fisik), dan sebagainya. Bisa juga dalam pengetian psikologis,
lelaki melindungi perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah. Akan tetapi
ada kekuatan dalam diri perempuan, yakni bisa memilih laki-laki. Ini membuktikan
bahwa di balik kelemahannya dari segi fisik, perempuan mempunyai kedudukan
yang amat kuat. Memang sudah kodratnya laki-laki mengejar perempuan.
Namun demikian penafsiran yang keliru terhadap ayat ini dapat menyebabkan
islam secara ideologis seperti membedakan posisi laki-laki dan perempuan.
Penafsiran semacam ini tidak akan pernah terjadi seandainya umat islam mau
melakukan kajian yang serius terhadap asbab an-nuzul ayat ini dengan
memperhatikan konteks social yang ada saat itu. Model pengkajian semacam ini
sudah dikembangkan berabad-abad yang lalu oleh para ilmu Al-Quran seperti As-
Suyuthi, Al-Wahidi, dan lain sebagainya.
Ditempat lain, ada hadist yang menyatakan : “jangan serahkan urusan penting
kepada perempuan”. Hadist ini sering di jadikan legitimasi ideologis oleh sebagian
kelompok umat islam untuk melakukan propaganda dalam menghalang-halangi
mereka untuk berperan dalam ruang public. Sesungguhnya akan beda
pemahamannya ketika mereka mempertimbangkan seting social masyarakat yang
selalu berkembang dari zaman ke zaman. Untu ini para ulama terdahulu
sesungguhnya telah mengembangkan ilmu asbab al-wurud yang berbicara tentang
latar belakang munculnya hadist. Ahli sejarah manapun akan menyatakan bahwa
pada masa Nabi Muhammad bangsa arab dan sekitarnya, terutama yang belum
menganut islam, menggunakan model kepemimpinan atas dasar suku, kabilah, klan
keluarga dan semacamnya. Bahkan tampil dinasti-dinasti islam pasca al-khulafa ar-
rasyidun, seperti Umawiyah, Abbasiah, Fathimiyah, dan lain sebagainya. Sering
dianggap sebagai penguatnya kembali rasa kesukuan pada bangsa Arab setelah
perekat spiritual di antara umat islam semakin memudar dengan tidak menutup mata
atas keberhasilan-keberhasilan cemerlang dinasti-dinasti tersebut.
Kembali pada soal kepemimpinan perempuan yang di isyaratkan pada hadist
tersebut, semestinya di sadari bahwa kepemimpinan atas dasar suku waktu itu
mengandaikan seorang pemimpin (suku) memegang peran penting untuk segala
macam urusan. Dengan kata lain, dia adalah pemutus hukum, pemimpin
peperangan, pengatur kebijakan ekonomi, pengatur keuangan, pengatur akhlak dan
keamanan. Bisa dibayangkan jika perempuan dalam masa itu masih disub
ordinasikan delam tingkat yang rendah, harus tampil sebagai pemimpin.
Menurut Abdurrahman Wahid, jika kita melihat islam hanya secara normative,
yaitu dari apa yang ada di fiqih, akhlak, mungkin juga taswuf atau pada I’tikad kita.
Bisa saja itu berbeda dengan HAM. Akan tetapi hal yang terpenting apakah dalam
masyarakat kaum muslim, kedudukan perempuan dan laki-laki sama di muka
maupun legal.
Fikih yang ditulis oleh para ulama kalau dipahami secara mendalam serat
dengan perubahan-perubahan sesuai dengan konteks geografis, kultrul dan sosio-
politik dimana pengambilan suatu hokum dilakukan. Sebagai ilustrasi, persyaratan
(qadhi) yang menganut Al-Mawadri dalam karya monumentalnya Al-Ahkam As-
Sulthaniyyah, harus laki-laki. Akan tetapi, seorang kiayi NU dari pesantren (K.H
Muhammad Ilyas), yang dulu pernah menjabat sebagai mentri agama, justru
membolehkan perempuan untuk memasuki gedung sekolah guru hakim agama
(SGHA) negeri. Dan kemudian mereka bisa melanjutkan ke fakultas Syari’ah ini
artinya, ia akan mendapatkan ijasah dan bisa menjadi hakim agama.
Peran penting dipegang oleh kaum perempuan banyak kita lihat contohnya
dalam sejarah. Aisyah, istri Rasulullah adalah perempuan yang amat popular dan
pandangannya dalam soal-soal agama maupun pemerintahan di jadikan rujukan oleh
para sahabat, bahkan jadi pemimpin dalam perang jamal. Syajarah ad-Dur, menjadi
ratu pada masa dinasti mamalik. Benasir Butho, tidak menemukan masalah untuk
tampil sebagai Perdana Mentri di Republik Islam Pakistan yang hampir semua
notabene Muslim.
Di lingkungan NU, pemberdayaan terhadapa kaum perempuan menjadi concern
utama bagi pembangunan masyarakat. Cita-cita ini menjadi lahirnya organisasi-
organisasi perempuan seperti IPPNU, Muslimat NU, dan Fatayat NU. NU
menentang pandangan tradisional dimana sebelum dan menjelang kemerdekaan
dimana perempuan dianggap sebagai “konco winking” (teman dibelakang). Secara
konseptual, NU pada dasarnya mengembangkan pandangan kesetaraan dengan
kodrat).
C. Nu dan Isu-Isu Global Demokrasi
Demokrasi, saat ini diakui sebagai system terbaik bagi pemerintahan sebuah
Negara. Hubungan antara islam dan demikrasi, dalam arti, potensi demokratis islam
sebagai sebuah agama, budaya dan peradaban masih tetap merupakan masalah yang
controversial. Demokrasi sebagai sebuah fenomena sejarah dalam kehidupan
manusia entah siapa yang pertama kali menciptakan istilah itu, merupakan buah dari
pergulatan yang amat panjang, dimana manusia berupaya untuk mencapai apa yang
disebut dengan kebebasan, persamaan dan hokum dalam sebuah system kehidupan
bermasyarakat (Negara).
Siapa yang seharusnya jadi pemimpin dalam suatu masyarakat bangsa dan
Negara, bagaiman pemimpin diangkat, apa saja hak yang pemimpin dan yang
dipimpin, dan seterusnya, merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang
mendasari dalam wacana demokrassi tersebut.
Pada satu sisi, umat islam meyakini bahwa islam menyediakan tatanan social,
ekonomi dan politik yang khas yang mereka harap akan terbangun. Namun di sisi
lain, tidak pernah selesai diperdebatkan seperti apa tatanan yang dimaksud oleh
islam tersebut. Sebagai sebuah produk pemikiran manusia, demokrasi telah
melahirkan system dan teknik tertentu bagi sebuah kehidupan bangsa dan Negara,
yang dengan menerimanya telah dianggap memasukkan unsure-unsur lain (barat) ke
dalam islam.
Kaum sunni, mempunyai pandangan yang berbeda dengan kaum Syi’ah
mengenai konsep kepemimpinan dan Negara. Soal Imamah (kepemimpinan) dan
Negara, merupakan bagian penting dalam system keyaninan (aqidah) dalam kaum
Syi’ah. Tidak demikian halnya dengan kaum sunni yang menempetkan persoalan ini
dalam wacana fiqih (Syari’at). Meski demikian, masalah pokoknya adalah bahwa
setiap masyarakat ‘wajib’ mendirikan ‘lembaga negara’ untuk mengatur kehidupan
masyarakat.
Di kalangan sunni sendiri, ada beberapa pandangan mengenai Negara. Hasan Al-
Banna, Sayyid Quthb, Rasyid Ridha dan Abul A’la Al-Mawdudi, kurang lebi
memberi pandangan yang sama tentang hal ini. Mereka berpendapat bahwa
penyelenggaraan Negara harus di dasarkan pada ajaran islam dan tidak boleh
meniru-niru model pemerintahan barat. Sementara itu, Ali Abdur Rasiq dan Thaha
Husain berpendapat bahwa Nabi Muhammad bertugas untuk menyeru umat manusia
agar menjalani hidup yang mulia dengan membangun karakter yang beradab, dan
tidak dimaksudkan mendirikan atau menjadi kepala Negara.
Sebagai kelompok umat islam yang ikut membidangi lahirnya kemerdekaan dan
pambentukan Republik Indonesia. NU telah melewati dinamika tersendiri dalam
melihat hubungan antara islam dan Negara. Tesis yang paling NU sebagai kelompok
Sunni adalah bahwa Nabi SAW tidak memberikan wasiat kepemimpianan kepada
siapapun, ini artinya bahwa masalah pengaturan masyarakat, Negara dan
kepemimpinan berada di tangan umat. Untuk itu perlu dilakukan musyawarah dalam
memutuskan masalah-masalah yang berkaitan dengan umat, termasuk Negara. Ini
dan lain sebagainya yang menjadi bagian penting dalam system demokrasi.
Kita tidak berada dalam posisi mengadili mana pandangan yang benar tentang
konsep kenegaraan yang di jelaskan diatas. Kita perlu melihat persoalan ini dengan
pemikiran yang jernih dan bijaksana. Bisa dijamin bahwa secara konseptual, terlepas
dari bagaimana bentuk formal teknis operasionalnya penegakan keadilan ‘al-qisht’,
menjaga “ukhuwwah” melakukan “ishlah” dan lain sebagainya akan diterima oleh
kelompok manapun, muslim atau non muslim, dan dianggap sebagai nilai-nilai
kemanusiaan universal yang harus di jaga dan di implementasikan.
Dalam lintas sejarah bangsa-bangsa, kita bisa melihat ketika terjadi atau
semacam legitimasi ‘wahyu’ dalam sebuah Negara, bisa mengakibatkan tertutupnya
akses public terhadap kekuasaan dan transparansi pemerintahan. Kita patut bersedih
bahawa di beberapa Negara yang mencoba mengikuti pola pemikiran Imam Ibnu
Taymiah yang direduksi dalam bentuk pemerintahan monarkhi. Dampaknya tidak
sederhana, warga kemudian terjangkit penyakit ‘pentaqdisan’ (pengkultusan atau
pendewaan) terhadap penguasa karena yang diyakini sebagai pihak yang
mengendalikan pemberlakuan agama melalui institusi ‘negara’ yang dipimpinnya.
Negara boleh jadi melahirkan pemerintahan yang baik, tetapi belum tentu
pemerintahan yang baik, sekedar pemerintahan yang baik dengan system
administrasi dan instrument pemerintahan yang efektif, mungkin bisa diwujudkan
dalm kediktatoran sekalipun. Akan tetapi, membangun suatu struktur politik yang
administrasi yang baik. Administrasi yang baik, kata Imanuel Kant, tidak
membuktikan apapun bagi pemerintahan yang baik.
Dengan demikian, demokrasi (dalam tataran substantive, bukan teknis) harus
dilihat sebagai frame perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai keadilan, persamaan
derajat, menghargai perbedaan suku, budaya dan agama, kemerdekaan dan
kebebasan berekspresi, solodaritas yang akhirnya akan mendorong pada terciptanya
sebuah system yang berlandaskan “syura”. Nilai-nilai itulah yang akan membuat
masyarakat mampu membangun kebersamaan, menumbuhkan sikap saling
menghormati dan menghargai atau plularis, dan akhirnya pemerintahan yang baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masalah kemanusiaan merupakan masalah global yang melampui batas-batas
etnik, ras, maupun idiologi. Sikap penolakan terhadap segala bentuk deskriminasi,
ketidak adilan, penindakasan dan pemaksaan kehendak merupakan hal yang dimiliki
oleh bangsa, suku, agama dan kelompok manapun diseluruh penjuru dunia,
Sedari awal islam menentang penindasan terhadap hak-hak kemanusiaan. Habil
putra nabi Adam AS.. disebut orang yang durhaka karena telah melakukan
pembunuhan terhadap saudaranya sendiri , Qabil. Ia telah merampas hak saudaranya
itu untuk hidup. Hal-hal semacam ini dapat kita lihat dalam renyang sejarah manusia
dari waktu ke waktu.
Wacana jender selalu menampilkan wacana stereotif yang membedakan posisi
laki-laki dan perempuan. Selama berabad-abad, masalah ini agaknya kurang
mendapat perhatian dan cenderung dilupakan. Dengan segala keterbatasan dan
kekurangannya, gerakan-gerakan penentang terhadap system feodalisme menuju
pencerahan (aufkllarung) pun tidak lepas dari kondisi ni. Sehingga, dari waktu ke
waktu rentang sejarah feodalisme hingga abad pencerahan hampir tidak yterdengan
kritik para pemikir terhadap pandangan gereja yang diperkuat terutama oleh Thomas
Aquinas tentang derajat laki-laki dan perempuan. Kalaupun hal itu tidak menjadi
masalah yang cukup kurasial dalam upaya umat manusia untuk mencapai kebebasan
dan kemerdekaan.
Demokrasi, saat ini diakui sebagai system terbaik bagi pemerintahan sebuah
Negara. Hubungan antara islam dan demikrasi, dalam arti, potensi demokratis islam
sebagai sebuah agama, budaya dan peradaban masih tetap merupakan masalah yang
controversial. Demokrasi sebagai sebuah fenomena sejarah dalam kehidupan
manusia entah siapa yang pertama kali menciptakan istilah itu, merupakan buah dari
pergulatan yang amat panjang, dimana manusia berupaya untuk mencapai apa yang
disebut dengan kebebasan, persamaan dan hokum dalam sebuah system kehidupan
bermasyarakat (Negara).
DAFTAR PUSTAKA
“Sejarah Pemikiran dan Dinamika NU di Indonesia”