BAB I

21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai jam’iyyah yang menganut paham ahlussunnah Waljama’ah, NU tentu tidak bisa dilepaskan dari persoalan global. Masalah kemanusiaan sejalan dengan perkembangan zaman dan kini sedang masuk dalam era globalisasi, berkembang demikian pesatnya. Di sini NU dituntut untuk mampu memberikan jawaban – jawaban solutif dan menempatkan dirinya pada peran strategis bagi perjuangan kemanusiaan, penegakan keadilan, persamaan dan kesetaraan. Masalah hak asasi manusia, gender, demokrasi, dan pluralism merupakan bagian yang tak terlupakan dan terpisahkan dari kehidupan manusia. Sejak dalam kehidupan manusia terjadi interaksi social, sesungguahnya pada saat itulah masalah – masalahtersebut mulai ada. Perjuangna terus menerus untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai puncak dan ciptaan ilahi juga merupakan bagian inti dari tugas para nabi dan rasul. Itulah sebabnya, mengapa kisah – kisah perjuangan para rasul mempunyai porsi terbanyak dalam ayat – ayat Al- Quran yang bertujuan agar umat islam mampu menangkap pesan – pesan kemanusiaan yang dirisalahkan melalui para nabi dan rasul (Zamzani, 2000:48).

description

matery

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai jam’iyyah yang menganut paham ahlussunnah Waljama’ah, NU tentu

tidak bisa dilepaskan dari persoalan global. Masalah kemanusiaan sejalan dengan

perkembangan zaman dan kini sedang masuk dalam era globalisasi, berkembang

demikian pesatnya. Di sini NU dituntut untuk mampu memberikan jawaban –

jawaban solutif dan menempatkan dirinya pada peran strategis bagi perjuangan

kemanusiaan, penegakan keadilan, persamaan dan kesetaraan. Masalah hak asasi

manusia, gender, demokrasi, dan pluralism merupakan bagian yang tak terlupakan

dan terpisahkan dari kehidupan manusia. Sejak dalam kehidupan manusia terjadi

interaksi social, sesungguahnya pada saat itulah masalah – masalahtersebut mulai

ada.

Perjuangna terus menerus untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia

sebagai puncak dan ciptaan ilahi juga merupakan bagian inti dari tugas para nabi

dan rasul. Itulah sebabnya, mengapa kisah – kisah perjuangan para rasul mempunyai

porsi terbanyak dalam ayat – ayat Al-Quran yang bertujuan agar umat islam mampu

menangkap pesan – pesan kemanusiaan yang dirisalahkan melalui para nabi dan

rasul (Zamzani, 2000:48).

Dari masa ke masa, kita bisa menyaksikan adanya pertentangan abadi antara

upaya penegakan nilai – nilai kemanusiaan dan penindasan terhadapnya: atau dalam

bahasa agama, antara haqq dan batil, yang baik dan yang benar. Ini merupakan

cermin bagi keberadaan setiap individu manusia yang oleh tuhan diberikan potensi

fujur dan taqwa (QS. Asy-Syams, 91:8). Terlepas dari segala kekurangan yang

dimilikinya, harus diakui bahwa manusia merupakan ciptaan terbaik Allah, yang

mempunyai fitrah dan naluri kesucian untuk selalu condong kepada kebenaran

( hanif ), disamping potensi fujur-nya. Fungsi islam dalam hal ini adalah

penyempurna untuk memberikan bimbingan kepada manusia agar bisa

mengaktualisasikan potensi positifnya dan meminimalisir potensi negatifnya. Itulah

sebabnya mengapa paham Ahlussunnah Waljama’ah tidak ingim melakukan

Page 2: BAB I

perombakan total terhadap apa yang telah berkembang dalam kehidupan manusia,

tetapi lebih mengarah pada proses penyempurnaan pada pola hidup manusia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu NU dan isu – isu global HAM

2. Apa itu NU dan isu – isu global JENDER

3. Apa itu NU dan isu – isu global DEMOKRASI

C. Tujuan

1. Mahasiswa dapat mengetahui NU dan isu – isu global HAM

2. Mahasiswa dapat mengetahui NU dan isu – isu global JENDER

3. Mahasiswa dapat mengetahui NU dan isu – isu global DEMOKRASI

Page 3: BAB I

BAB II

PEMBAHASAN

A. NU dan Isu-Isu Global HAM

Masalah kemanusiaan merupakan masalah global yang melampui batas-batas

etnik, ras, maupun idiologi. Sikap penolakan terhadap segala bentuk deskriminasi,

ketidak adilan, penindakasan dan pemaksaan kehendak merupakan hal yang dimiliki

oleh bangsa, suku, agama dan kelompok manapun diseluruh penjuru dunia,

Sedari awal islam menentang penindasan terhadap hak-hak kemanusiaan. Habil

putra nabi Adam AS.. disebut orang yang durhaka karena telah melakukan

pembunuhan terhadap saudaranya sendiri , Qabil. Ia telah merampas hak saudaranya

itu untuk hidup. Hal-hal semacam ini dapat kita lihat dalam renyang sejarah manusia

dari waktu ke waktu.

Feodaalisme yang pernah berkembang dieropa berabad-abad yang lalu yang

secara historis formal ditandai dengan dimulainya system fief, yang membeda-

bedakan derajat dan hak manusia atas dasar kekuasaan dan tanah, mendapatkan

penentangan secara gradual dengan timbulnya kesadaran akan nilai-nilai keadilan.

Munculnya tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas, Hobbes, John Lock, David Hume,

Jaques Rousseau, Immanuel Kant, dan lain-lain merupakan bukti adanya kesadaran

dalam diri manusia akan pentingnya persamaan derajat diantara mereka. Revolusi

inggris yang pertama (1640 M-an), disusul dengan revolusi kedua (1688 M), hingga

revolusi Prancis (1789 M) merupakan bukti adanya kesadaran umat manusia untuk

menghapus segala bentuk ketimpangan, absolutisme, penindasan dan lain

sebagainya yang membedakan derajat manusia dari segi kepemilikan kekayaan,

keturunan, kebangsawanan, kekuasaan dan lain sebagainya.

Jauh sebelum itu piagam Magna Charta (1215), deklarasi kemerdekaan amerika

(1776M) telah menyuarakan gagasan persamaan, persaudaraan dan kebebasan. Jauh

sebelum itu, Nabi Musa dengan segala pengorbanannya, berupaya membebaskan

Nabi Yunus rela terjun kelaut demi keselamatan umatnya yang ada diperahu, begitu

juga nabi-nabi sebelumnya. Akhirnya, Nabi Muhammad SAW yang dengan segala

pengorbanannya berhasil menciptakan masyarakat madani (civilized society).

Page 4: BAB I

Sejalan dengan pola pikir umat manusia, masalah HAM mulai menjadi perhatian

serius. Setelah lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tanggal 10

Desember 1948 terjadi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia atau

Universal Decklaration Of Human Right (UDHR), disusul kemudian dengan

International Convenant Economic and Cultural Right (31 Januari 1976), dan

International Convenant on Civil and Political Right (23 Maret 1976).

Persoalan kemudian adalah, sebagian masyarakat islam mengingat deklarasi-

deklarasi tersebut dipelopori oleh bangsa-bangsa barat, justru melihat itu sebagai al-

ghazw al-fikriy atau invasi cultural terhadap Negara-negara dunia ketiga (Said Aqil,

1999; 97). Benarkah demikian? Intuk memahami hal ini, barangkali kita perlu

melihat dinamika yang berkembang pada masyarakat islam secara global. Dinasti

islam di Spanyol (Andalus), mengalami kehancuran total ketika tidak menghormati

nilai-nilai kemanusiaan, inilah yang oleh para sejarawan dianggap sebagai titik awal

dari kemunduran umat islam dan kemajuan barat.

Pada abad ke-18 Napoleon Bonaparte dan pasukannya melakukan ekspansi ke

Mesir, umat islam seolah didasarkan oleh kondisi itu. Maka muncullah kemudian

apa yang disebut upaya pembaharuan pemahaman islam atau (tajdid). Dikalangan

umat islam, terjadi tarik-menarik tentang konsep tajdid ini, sebagian kalangan

memandang bahwa pembaharuan merupakan proses menghidupkan kembali

praktek-praktek keberagamaan lama yang telah sirna di telan zaman. Para

pembaharu (mujaddidun) bertugas mengambilkan praktek keberagamaan umat

terdahulu (tradisionalis) dan menghidupkan di zaman sekarang (modernitas) dengan

tetap mempertahankan metode-metode klasik. Sedangkan yang lainnya,

mengartikan tajdid sebagai sebuah gerakan rekonstruksi pemahaman islam dan

gerakan inovasi terhadap cara keberagamaan. Versi kedua ini lebih bersifat progresif

dan prospektif (Amin Al-Khulli, 2003:36).

Keduanya ini, mengandung kekeliruan mendasar. Yang pertama mengandalkan

bahwa islam harus ditampilkan sedemikian rupa tanpa perubahan. Menurut

kelompok ini, yang harus dilakukan adalah pemurnia (purifikasi), dan pengambilan

“tampilan islam” (Islamic performance) yang mewarnai generasi-generasi terdahulu,

tanpa berfikir tentang relevansi dan tanpa mempertimbangkan dialektika

perkembangan persoalan hidup kemanusiaan. Sedangkan yang kedua, terkesan

Page 5: BAB I

mengeksekusi agama untuk tampil sebagai ideology gerakan yang secara praktis

memberi jawaban-jawaban persoalan kemanusiaan. Jika pembaharuan yang over-

progressif ini di paksakan, maka universalitas dna eternitas ajaran islam semakin

kabur dari waktu ke waktu.

Disinilah paham moderat dan inklusif “al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-

shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah” yang menjadi prinsip paham Ahlussunnah

Waljama’ah menemukan relevansinya. Namun, semuanya itu tentu saja harus

didasari oleh upaya yang serius terhadap masalah-masalah yang berkembang.

Upaya-upaya penegakan HAM merupakan masalah global dan tugas manusia

secara keseluruhan yang tentu saja harus mendapat respon serius dari agama.

Kenyataan bahwa setiap kelompok, bangsa, ideology, maupun agama manapun

diseluruh penjuru dunia untuk menggaungkan perjuangan demi penegakan dan

pemenuhan HAM seharusnya menjadi momentum bersama untuk mewujudkan

masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, yang jauh dari penindasan,

pertumpahan darah, kekerasan dan kezaliman. Al-Quran sendiri dengan tegas

menyatakan bahwa menghalang-halangi upaya penegakan keadilan merupakan

perbuatan orang-orang kafir.

“sesunggunhnya orang-orang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh

para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang

menyuruh manusia berbuat adil, maka ‘gembiralah’ mereka dengan siksa yang

pedih” (QS. Ali Imran, 3:21).

Masalah kemanusiaan merupakan tuntutan dan tangguang jawab bersama tanpa

pandang bulu. Dalam hukum islam juga di kenal lima prinsip universal yang

dijadikan pertimbangan bagi para ahli fikih dan hokum islam dalam menetapkan

produk hukum yaitu: hifzh ad-din, hifzh an-nafs, hifzh al ‘aqi, hifzh al-mal, dan

hifzh al-‘irdh wa an-nasl.

HAM yang dijelaskan dalam 30 pasal UDHR, pada dasarnya terangkum dalam 5

prinsip itu. Hak beragama terwadahi dalam hifzh ad-din Hak Hidup, terbebas dari

rasa takut, penganiyaan, penindasan dan menentukan nasib sendiri tercermin dalam

hifzh an-nafs. Hifzh al ‘aql merupakan pronsip yang menjamin kebebasan

berekspresi, menyatakan pendapat, hak pendidikan, berbudaya, berserikat dan

berkumpul. Sedangkan hak atas jaminan social, kebebasan dari kelaparan, dan upah

Page 6: BAB I

yang layak. Akhirnya, hifzh al-irdl wa an-nasl merupakan muara bagi persamaan

derajat di hadapan hokum, hak privacy, hak berkeluarga, hak untuk turut serta dalam

pemerintahaan, hak atas perkejaan, dan hak atas peradilan bebas. Begitu mulianya

islam menempatkan sosok manusia. Inilah cita-cita yang melandasi berdirinya

masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.

Perjuangan para ulama pada masa penjajahan untu merebut kemerdekaan, kalau

ita amati bukanlah disebabkan oleh tidak terakomodasinya kepentingan-kepentingan

umat islam dalam melakukan ibadah-ibadah ritual, seperti sholat, puasa dan haji.

Pada masa pemerintahan hindia belanda, justru umat islam dibuat sedemikian rupa

sehingga lebih konsentrassi pada pelaksanaan ibadah-ibadah ritual. Yang dituntut

oleh para ulama adalah agar keadilan bisa ditegakkan. Mereka menentang penjajah

bukan bertujuan agar semua orang bisa melakukan sholat, puasa dan haji, tetapi

bagaimana nilai-nilai kemanusiaan, seperti persamaan hak di depan hukum,

keadilan, kesetaraan, dan kebebasan berekspresi. Oleh sebab itu, bersama-sama

komponen bangsa lainnya, para ulama tampil membela kepentingan rakyat dan

menentang “aneksasi spiritual” yang memporak-porandakan nilai-nilai kebangsaan

dan agama masyarakat Nusantara.

B. Nu dan Isu-Isu Global Jenderb

Wacana jender selalu menampilkan wacana stereotif yang membedakan posisi

laki-laki dan perempuan. Selama berabad-abad, masalah ini agaknya kurang

mendapat perhatian dan cenderung dilupakan. Dengan segala keterbatasan dan

kekurangannya, gerakan-gerakan penentang terhadap system feodalisme menuju

pencerahan (aufkllarung) pun tidak lepas dari kondisi ni. Sehingga, dari waktu ke

waktu rentang sejarah feodalisme hingga abad pencerahan hampir tidak yterdengan

kritik para pemikir terhadap pandangan gereja yang diperkuat terutama oleh Thomas

Aquinas tentang derajat laki-laki dan perempuan. Kalaupun hal itu tidak menjadi

masalah yang cukup kurasial dalam upaya umat manusia untuk mencapai kebebasan

dan kemerdekaan.

Thomas Aquinas, filsuf skolastik abad ke 13 dalam filsafatnya menyatakan

bahwa tatanan social merupakan bagian integral dari alam semesta ciptaan Allah.

Baginya, Allah telah menciptakan dunia yang teratur sesuai dengan derajat

rasionalitas dan kesempurnaan, dan masyarakat pun diciptakan sebagai sesuatu

Page 7: BAB I

hierarki yang teratur sesuai dengan derajat rasionalitasa. Secara umum, kaum laki-

laki dianggap lebih rasional daripada perempuan, dan karena itu kaum laki-laki

harus memimpin kaum perempuan, demikian pula orang tua lebih rasional daripada

anaknya, dan seterusnya. Dimasa-masa berikutnya perjuangan memperoleh

kebebasan umat manusia berjalan sambil membawa “PR” (pekerjaan rumah)

kerangka berfikir yang paternalistic itu, sehingga muncul kemudian gerakan-

gerakan perlawanan yang menentangnnya.

Sejarah penyebaran islam juga bergulat juga dengan relaitas yang serupa. Seting

masyarakat Arab ketika Nabi Muhammad tampil membawa risalah islam adalah

komunitas yang tidak “memanusiakan” perempuan. Kaum laki-laki dengan

sewenang-wenang mencari pasangan perempuan sebanyak-banyaknya tanpa batas.

Anak laki-laki lebih di banggakan daripada anak perempuan, hingga menyebabkan

beberapa suku tertentu memilih untuk membunuh bayi perempuannya. Ini

diperparah lagi dengan cara mereka dalam menempatkan perempuan sebagai benda

yang bisa diwariskan secara turun menurun.

Oleh sebab itu, secara umum dapat dipahami bahwa fakta Al-Quran merupakan

peristiwa kebahasaan, kebudayaan, dengan keagamaan yang berfungsi sebagai garis

pemisah dalam sejarah Arab”pikiran primitive” (savage thinking), dalam pengertian

yang diberikan kepada istilah itu oleh Claude Lavi-Strauss, dan “pemikiran

berbudaya” (civilited thinking). Para ahli sejarah menggambarkan pemisahan itu

dalam kronologi linear. Zaman sebelum islam dikaitkan dengan tradisi jahiliah,

yaitu suatu kondisi secara keagamaan bercirikan paganisme dan secara cultural

tergolong “tidak berbudaya”. Sedangkan zaman sesudah islam dikaitkan dengan

pencerahan agama dan budaya, yang biasanya menganbil fakta “Negara islam” di

Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad pada tahun 622M, sabagai sampel

kebenarannya.

Akibat dari mapannya kultur yang sedemikian itu, masyarakat dunia secara

umum memandang bahwa peran perempuan terbatas pada urusan rumah tangga dan

keluarga, sedangkan perab public dipegang oleh kaum laki-laki. Masalah jender

memang sangat rumit, karena tidak terbatas pada jenis kelamin laki-laki dan

perempuan. Lebih jauh lagi harus lebih diperjelas apa batas-batas yang bisa

dipersoalkan dalam “pembedaan” terhadap kedua jenis makhluk ini.

Page 8: BAB I

Kalau melihat lima prinsip hukum islam sebagaiman yang dijelaskan diatas

agaknya tidak menjadi persoalan. Artinya, setiap orang mempunyai hak-hak yang

sama untuk mendapat kebebasan, perlindungan dan jaminan keselamatan. Akan

tetapi sejauh menyangkut posisi kaum laki-laki dan perempuan, ada semacam

pemahaman yang salah kaprah.

Bagaimana islam menempatkan perempuan? Ini bisa dilihat dari berbagi

perspektif. Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa secara doctrinal ajaran

islam menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Ini merupakan buah penafsiran

atas beberapa teks agama yang seolah-olah berbicara demikian. Al-Quran

menyatakan bahwa “kaum laki-laki menguasai perempuan” (QS. An-Nisa, 4:34).

Ayat ini sesungguhnya memberikan pengertian antropologis. Menurut K.H

Abdurrahman Wahid, walaupun diputar balik, memang laki-laki itu tetap qawwam,

lebih segar, lebih bertanggaung jawab atas keselamatan perempuan, ketimbang

sebaliknya (secara fisik), dan sebagainya. Bisa juga dalam pengetian psikologis,

lelaki melindungi perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah. Akan tetapi

ada kekuatan dalam diri perempuan, yakni bisa memilih laki-laki. Ini membuktikan

bahwa di balik kelemahannya dari segi fisik, perempuan mempunyai kedudukan

yang amat kuat. Memang sudah kodratnya laki-laki mengejar perempuan.

Namun demikian penafsiran yang keliru terhadap ayat ini dapat menyebabkan

islam secara ideologis seperti membedakan posisi laki-laki dan perempuan.

Penafsiran semacam ini tidak akan pernah terjadi seandainya umat islam mau

melakukan kajian yang serius terhadap asbab an-nuzul ayat ini dengan

memperhatikan konteks social yang ada saat itu. Model pengkajian semacam ini

sudah dikembangkan berabad-abad yang lalu oleh para ilmu Al-Quran seperti As-

Suyuthi, Al-Wahidi, dan lain sebagainya.

Ditempat lain, ada hadist yang menyatakan : “jangan serahkan urusan penting

kepada perempuan”. Hadist ini sering di jadikan legitimasi ideologis oleh sebagian

kelompok umat islam untuk melakukan propaganda dalam menghalang-halangi

mereka untuk berperan dalam ruang public. Sesungguhnya akan beda

pemahamannya ketika mereka mempertimbangkan seting social masyarakat yang

selalu berkembang dari zaman ke zaman. Untu ini para ulama terdahulu

sesungguhnya telah mengembangkan ilmu asbab al-wurud yang berbicara tentang

Page 9: BAB I

latar belakang munculnya hadist. Ahli sejarah manapun akan menyatakan bahwa

pada masa Nabi Muhammad bangsa arab dan sekitarnya, terutama yang belum

menganut islam, menggunakan model kepemimpinan atas dasar suku, kabilah, klan

keluarga dan semacamnya. Bahkan tampil dinasti-dinasti islam pasca al-khulafa ar-

rasyidun, seperti Umawiyah, Abbasiah, Fathimiyah, dan lain sebagainya. Sering

dianggap sebagai penguatnya kembali rasa kesukuan pada bangsa Arab setelah

perekat spiritual di antara umat islam semakin memudar dengan tidak menutup mata

atas keberhasilan-keberhasilan cemerlang dinasti-dinasti tersebut.

Kembali pada soal kepemimpinan perempuan yang di isyaratkan pada hadist

tersebut, semestinya di sadari bahwa kepemimpinan atas dasar suku waktu itu

mengandaikan seorang pemimpin (suku) memegang peran penting untuk segala

macam urusan. Dengan kata lain, dia adalah pemutus hukum, pemimpin

peperangan, pengatur kebijakan ekonomi, pengatur keuangan, pengatur akhlak dan

keamanan. Bisa dibayangkan jika perempuan dalam masa itu masih disub

ordinasikan delam tingkat yang rendah, harus tampil sebagai pemimpin.

Menurut Abdurrahman Wahid, jika kita melihat islam hanya secara normative,

yaitu dari apa yang ada di fiqih, akhlak, mungkin juga taswuf atau pada I’tikad kita.

Bisa saja itu berbeda dengan HAM. Akan tetapi hal yang terpenting apakah dalam

masyarakat kaum muslim, kedudukan perempuan dan laki-laki sama di muka

maupun legal.

Fikih yang ditulis oleh para ulama kalau dipahami secara mendalam serat

dengan perubahan-perubahan sesuai dengan konteks geografis, kultrul dan sosio-

politik dimana pengambilan suatu hokum dilakukan. Sebagai ilustrasi, persyaratan

(qadhi) yang menganut Al-Mawadri dalam karya monumentalnya Al-Ahkam As-

Sulthaniyyah, harus laki-laki. Akan tetapi, seorang kiayi NU dari pesantren (K.H

Muhammad Ilyas), yang dulu pernah menjabat sebagai mentri agama, justru

membolehkan perempuan untuk memasuki gedung sekolah guru hakim agama

(SGHA) negeri. Dan kemudian mereka bisa melanjutkan ke fakultas Syari’ah ini

artinya, ia akan mendapatkan ijasah dan bisa menjadi hakim agama.

Peran penting dipegang oleh kaum perempuan banyak kita lihat contohnya

dalam sejarah. Aisyah, istri Rasulullah adalah perempuan yang amat popular dan

pandangannya dalam soal-soal agama maupun pemerintahan di jadikan rujukan oleh

Page 10: BAB I

para sahabat, bahkan jadi pemimpin dalam perang jamal. Syajarah ad-Dur, menjadi

ratu pada masa dinasti mamalik. Benasir Butho, tidak menemukan masalah untuk

tampil sebagai Perdana Mentri di Republik Islam Pakistan yang hampir semua

notabene Muslim.

Di lingkungan NU, pemberdayaan terhadapa kaum perempuan menjadi concern

utama bagi pembangunan masyarakat. Cita-cita ini menjadi lahirnya organisasi-

organisasi perempuan seperti IPPNU, Muslimat NU, dan Fatayat NU. NU

menentang pandangan tradisional dimana sebelum dan menjelang kemerdekaan

dimana perempuan dianggap sebagai “konco winking” (teman dibelakang). Secara

konseptual, NU pada dasarnya mengembangkan pandangan kesetaraan dengan

kodrat).

C. Nu dan Isu-Isu Global Demokrasi

Demokrasi, saat ini diakui sebagai system terbaik bagi pemerintahan sebuah

Negara. Hubungan antara islam dan demikrasi, dalam arti, potensi demokratis islam

sebagai sebuah agama, budaya dan peradaban masih tetap merupakan masalah yang

controversial. Demokrasi sebagai sebuah fenomena sejarah dalam kehidupan

manusia entah siapa yang pertama kali menciptakan istilah itu, merupakan buah dari

pergulatan yang amat panjang, dimana manusia berupaya untuk mencapai apa yang

disebut dengan kebebasan, persamaan dan hokum dalam sebuah system kehidupan

bermasyarakat (Negara).

Siapa yang seharusnya jadi pemimpin dalam suatu masyarakat bangsa dan

Negara, bagaiman pemimpin diangkat, apa saja hak yang pemimpin dan yang

dipimpin, dan seterusnya, merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang

mendasari dalam wacana demokrassi tersebut.

Pada satu sisi, umat islam meyakini bahwa islam menyediakan tatanan social,

ekonomi dan politik yang khas yang mereka harap akan terbangun. Namun di sisi

lain, tidak pernah selesai diperdebatkan seperti apa tatanan yang dimaksud oleh

islam tersebut. Sebagai sebuah produk pemikiran manusia, demokrasi telah

melahirkan system dan teknik tertentu bagi sebuah kehidupan bangsa dan Negara,

yang dengan menerimanya telah dianggap memasukkan unsure-unsur lain (barat) ke

dalam islam.

Page 11: BAB I

Kaum sunni, mempunyai pandangan yang berbeda dengan kaum Syi’ah

mengenai konsep kepemimpinan dan Negara. Soal Imamah (kepemimpinan) dan

Negara, merupakan bagian penting dalam system keyaninan (aqidah) dalam kaum

Syi’ah. Tidak demikian halnya dengan kaum sunni yang menempetkan persoalan ini

dalam wacana fiqih (Syari’at). Meski demikian, masalah pokoknya adalah bahwa

setiap masyarakat ‘wajib’ mendirikan ‘lembaga negara’ untuk mengatur kehidupan

masyarakat.

Di kalangan sunni sendiri, ada beberapa pandangan mengenai Negara. Hasan Al-

Banna, Sayyid Quthb, Rasyid Ridha dan Abul A’la Al-Mawdudi, kurang lebi

memberi pandangan yang sama tentang hal ini. Mereka berpendapat bahwa

penyelenggaraan Negara harus di dasarkan pada ajaran islam dan tidak boleh

meniru-niru model pemerintahan barat. Sementara itu, Ali Abdur Rasiq dan Thaha

Husain berpendapat bahwa Nabi Muhammad bertugas untuk menyeru umat manusia

agar menjalani hidup yang mulia dengan membangun karakter yang beradab, dan

tidak dimaksudkan mendirikan atau menjadi kepala Negara.

Sebagai kelompok umat islam yang ikut membidangi lahirnya kemerdekaan dan

pambentukan Republik Indonesia. NU telah melewati dinamika tersendiri dalam

melihat hubungan antara islam dan Negara. Tesis yang paling NU sebagai kelompok

Sunni adalah bahwa Nabi SAW tidak memberikan wasiat kepemimpianan kepada

siapapun, ini artinya bahwa masalah pengaturan masyarakat, Negara dan

kepemimpinan berada di tangan umat. Untuk itu perlu dilakukan musyawarah dalam

memutuskan masalah-masalah yang berkaitan dengan umat, termasuk Negara. Ini

dan lain sebagainya yang menjadi bagian penting dalam system demokrasi.

Kita tidak berada dalam posisi mengadili mana pandangan yang benar tentang

konsep kenegaraan yang di jelaskan diatas. Kita perlu melihat persoalan ini dengan

pemikiran yang jernih dan bijaksana. Bisa dijamin bahwa secara konseptual, terlepas

dari bagaimana bentuk formal teknis operasionalnya penegakan keadilan ‘al-qisht’,

menjaga “ukhuwwah” melakukan “ishlah” dan lain sebagainya akan diterima oleh

kelompok manapun, muslim atau non muslim, dan dianggap sebagai nilai-nilai

kemanusiaan universal yang harus di jaga dan di implementasikan.

Dalam lintas sejarah bangsa-bangsa, kita bisa melihat ketika terjadi atau

semacam legitimasi ‘wahyu’ dalam sebuah Negara, bisa mengakibatkan tertutupnya

Page 12: BAB I

akses public terhadap kekuasaan dan transparansi pemerintahan. Kita patut bersedih

bahawa di beberapa Negara yang mencoba mengikuti pola pemikiran Imam Ibnu

Taymiah yang direduksi dalam bentuk pemerintahan monarkhi. Dampaknya tidak

sederhana, warga kemudian terjangkit penyakit ‘pentaqdisan’ (pengkultusan atau

pendewaan) terhadap penguasa karena yang diyakini sebagai pihak yang

mengendalikan pemberlakuan agama melalui institusi ‘negara’ yang dipimpinnya.

Negara boleh jadi melahirkan pemerintahan yang baik, tetapi belum tentu

pemerintahan yang baik, sekedar pemerintahan yang baik dengan system

administrasi dan instrument pemerintahan yang efektif, mungkin bisa diwujudkan

dalm kediktatoran sekalipun. Akan tetapi, membangun suatu struktur politik yang

administrasi yang baik. Administrasi yang baik, kata Imanuel Kant, tidak

membuktikan apapun bagi pemerintahan yang baik.

Dengan demikian, demokrasi (dalam tataran substantive, bukan teknis) harus

dilihat sebagai frame perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai keadilan, persamaan

derajat, menghargai perbedaan suku, budaya dan agama, kemerdekaan dan

kebebasan berekspresi, solodaritas yang akhirnya akan mendorong pada terciptanya

sebuah system yang berlandaskan “syura”. Nilai-nilai itulah yang akan membuat

masyarakat mampu membangun kebersamaan, menumbuhkan sikap saling

menghormati dan menghargai atau plularis, dan akhirnya pemerintahan yang baik.

Page 13: BAB I

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masalah kemanusiaan merupakan masalah global yang melampui batas-batas

etnik, ras, maupun idiologi. Sikap penolakan terhadap segala bentuk deskriminasi,

ketidak adilan, penindakasan dan pemaksaan kehendak merupakan hal yang dimiliki

oleh bangsa, suku, agama dan kelompok manapun diseluruh penjuru dunia,

Sedari awal islam menentang penindasan terhadap hak-hak kemanusiaan. Habil

putra nabi Adam AS.. disebut orang yang durhaka karena telah melakukan

pembunuhan terhadap saudaranya sendiri , Qabil. Ia telah merampas hak saudaranya

itu untuk hidup. Hal-hal semacam ini dapat kita lihat dalam renyang sejarah manusia

dari waktu ke waktu.

Wacana jender selalu menampilkan wacana stereotif yang membedakan posisi

laki-laki dan perempuan. Selama berabad-abad, masalah ini agaknya kurang

mendapat perhatian dan cenderung dilupakan. Dengan segala keterbatasan dan

kekurangannya, gerakan-gerakan penentang terhadap system feodalisme menuju

pencerahan (aufkllarung) pun tidak lepas dari kondisi ni. Sehingga, dari waktu ke

waktu rentang sejarah feodalisme hingga abad pencerahan hampir tidak yterdengan

kritik para pemikir terhadap pandangan gereja yang diperkuat terutama oleh Thomas

Aquinas tentang derajat laki-laki dan perempuan. Kalaupun hal itu tidak menjadi

masalah yang cukup kurasial dalam upaya umat manusia untuk mencapai kebebasan

dan kemerdekaan.

Demokrasi, saat ini diakui sebagai system terbaik bagi pemerintahan sebuah

Negara. Hubungan antara islam dan demikrasi, dalam arti, potensi demokratis islam

sebagai sebuah agama, budaya dan peradaban masih tetap merupakan masalah yang

controversial. Demokrasi sebagai sebuah fenomena sejarah dalam kehidupan

manusia entah siapa yang pertama kali menciptakan istilah itu, merupakan buah dari

pergulatan yang amat panjang, dimana manusia berupaya untuk mencapai apa yang

disebut dengan kebebasan, persamaan dan hokum dalam sebuah system kehidupan

bermasyarakat (Negara).

Page 14: BAB I

DAFTAR PUSTAKA

“Sejarah Pemikiran dan Dinamika NU di Indonesia”