BAB I

download BAB I

of 77

Transcript of BAB I

77

1BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang PenelitianPada tanggal 19 Desember 1948 Belanda telah melakukan Agresi Militer yang ke II. Dengan penyerangan ter-hadap Maguwo dan pendudukan terhadap Yogyakarta, Belanda bermaksud menghancurkan dan meniadakan Republik Indonesia.Dengan perbuatannya yang serba mendadak itu, jelas Belanda menginjak-injak perjanjian gencatan senjata yang telah disaksikan Komisi Tiga Negara.Bengsa Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai kehormatan, bangkit mempertahankan kemerdekaan dengan melaksanakan perang gerilya dan serangan umum terhadap kedudukan Belanda. Hal ini membuktikan bahwa Belanda tidak berhasil menumpas dan menghancurkan Republik Indonesia hasil Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, meskipun para pemimpinnya yaitu Presiden, Wakil Presiden dan beberapa orang menterinya tertawan Belanda.Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desem-ber 1948 yang mendapat reaksi dari bangsa Indonesia ini, tnalahan menjadi dorongan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk lebih cepat menjadi bangsa yang berdaulat, justru dengan peristiwa tersebut perhatian dunia menjadi lebih tertumpah terhadap Indonesia.Bangsa-bangsa Asia yang diseponsori oleh India bangkit menyelenggarakan Konperensi Asia di New Delhi yang menghasilkan resolusi tentang masalah Indonesia di PBB. Dengan resolusi PBB tentang tindakan Belanda yang melakukan agresi Militernya yang ke II tersebut, maka mulailah dirintis lagi perundingan-perundingan yang kita kenal dengan Roem-Royen, Konperensi Antar Indonesia dan KMB. Dan akhirnya melalui Konperensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag maka pada tanggal 27 Desember 1949 terjadilah peristiwa penting bagi bangsa Indonesia, yaitu Belanda menandatangani Nota Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia.

1.2 Rumusan MasalahPeristiwa Agresi Militer Belanda II Tanggal 19 Desember 1948 telah menimbulkan reaksi, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, Kejadian tersebut telah menimbulkan pengaruh bagi Belanda untuk melaksanakan perundingan dalam rangka penyelesaian perang menuju ke arah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949.Agar tidak terlalu luas dan kabur masalahnya dalam uraian materi ini, penulis akan membatasi ruang lingkup sekitar permasalahan yang ada kaitannya dengan judul Pengaruh Perang Kemerdekaan II Terhadap Pengakuan Kedaulatan RI Tanggal 27 Desember 1949. Adapun masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:1. Apakah latar belakang yang mendorong Bangsa Indonesia melakukan Perang Kemerdekaan II ?2. Apakah maksud Belanda melancarkan serangan terhadap ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta ?3. Bagaimanakah reaksi Indonesia terhadap Agresi Militer Belanda II Tanggal 19 Desember 1948 tersebut ?4. Bagaimanakah pengaruh Perang Kemerdekaan II dengan beberapa peristiwa penting yang menuju pengakuan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 ?

1.3 Tujuan PenelitianBerdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :1. Latar belakang yang mendorong Bangsa Indonesia melakukan Perang Kemerdekaan II ?2. Maksud Belanda melancarkan serangan terhadap ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta ?3. Reaksi Indonesia terhadap Agresi Militer Belanda II Tanggal 19 Desember 1948 tersebut ?4. Pengaruh Perang Kemerdekaan II dengan beberapa peristiwa penting yang menuju pengakuan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 ?

1.4 Kegunaan/Manfaat PenelitianHasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi para pembaca dan peminat sejarah, serta dapat memberikan manfaat dan sumbangan bagi sumber sejarah Indonesia. Bagi penulis sendiri hal ini dapat dijadikan pelajaran dalam mengembangkan dan menafsirkan peristiwa sejarah dalam bentuk penulisan sejarah.

1.5 Metode PenelitianDalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode historis, yaitu metode yang digunakan untuk mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, digunakan pula metode analisis dokumenter, yaitu suatu telaah sistematis atau catatan atau dokumen-dokumen sebagai sumber data (John W. Best, 1982: 133), hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ismaun (1984: 93-94) tentang metode penelitian sejarah, yang terdiri dari:1. Heuristik, yaitu jejak-jejak dari sejarah sebagai peristiwa merupakan sumber-sumber sebagai sejarh sebagai kisah2. Kritik, yaitu metode untuk menilai sumber-sumber yang kita butuhkan guna mengadakan penulisan sejarah.3. Interpretasi, yaitu menafsirkan keterangan sumber-sumber sejarah.4. Historiografi, yaitu menyusun cerita sejarah.

Adapun teknik yang digunakan untuk memperoleh data adalah melalui studi kepustakaan yaitu mempelajari dan menelaah bahan-bahan yang ada kaitannya dengan pokok bahasan, sehingga penulis dapat membahas lebih jauh sesuai dengan judul penelitian.

1.6 Sistematika PembahasanPembahasan skripsi ini tersusun atas beberapa bab, yang tiap-tiap bab itu terbagi lagi atas beberapa sub bab yang pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang membahas seluruh persoalan. Dengan pembagian ini penulis mengharapkan dapat lebih memperjelas arah pembicaraan dan pembahasan masalah, sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan. Untuk mendekati pokok permasalahan, penulis susun sistimatika penulisan sebagai berikut:BAB IPENDAHULUANBab ini memuat pokok-pokok pendahuluan, yaitu latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan/ manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.BAB IIPERANG KEMERDEKAAN IIDalam bab ini penulis kemukakan peristiwa Perang Kemerdekaan II yang disusun dalam 2 sub babA. Latar Belakang Perang Kemerdekaan IIDalam sub bab ini penulis kemukakan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Perang Kemerdekaan II yang dimulai sejak Belanda melakukan Agresi Militer II Tanggal 19 Desember 1948.Disini penulis kemukakan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang menggambarkan jalannya serangan Belanda pada saat terjadinya Agresi Militer yang ke II Dalam Agresi ini Belanda berusaha untuk melumpuhkan dan meniadakan Republik beserta tentaranya dengan melakukan serang-an mendadak terhadap Maguwo yang dilanjutkan ke Yogyakarta dan berusaha untuk mendudukinya.B. Reaksi Terhadap Agresi Militer Belanda IIDisini penulis kemukakan beberapa reaksi setelah Belanda melakukan agresinya yang ke II tanggal 19 Desember 1948, diantaranya reaksi dari tentara Nasional Indonesia yang berupa perang gerilya dan serangan umum 1 Maret 1949 dimana Tentara Republik Indonesia berhasil me-rebut kembali Ibukota Republik Indonesia beberapa jam lamanya.Selain reaksi dari pihak Republik Indonesia, juga disini penulis kemukakan reaksi-reaksi dari luar Indonesia seperti halnya dari bangsa-bangsa Asia yang mengada-kan Konperensi di New Delhi dan juga dari negara-negara Barat dan negara-negara lainnya yang membawa masalah agresi Belanda II tersebut ke dalam Sidang Dewan Keamanan PBB yang akhirnya menghasilkan resolusi PBB.BAB IIIPENGARUH PERANG KEMERDEKAAN IIDisini penulis kemukakan sejauh mana pengaruh Perang Kemerdekaan II terhadap peristiwa-peristiwa penting yang timbul sesudah itu. Diantaranya penulis kemulcakan pengaruh Perang Kemerdekaan II terhadap: Persetujuan Roem-Royen; Konperensi Antar Indonesia; Konperensi Meja Bundar; dan Pengakuan Kedaulatan RI.BAB IVKESIMPULAN DAN SARANBab ini merupakan bagian terakhir dari tulisan skripsi yang berjudul "Pengaruh Perang Kemerdekaan II Terhadap Pengakuan Kedaulatan RI Tanggal 27 Desember 1949". Disini penulis mencoba mengambil kesimpulan dari pokok permasalahan yang diuraikan mulai dari bab II dan bab III.Untuk lebih mantafnya khususnya bagi penulis ataupun bagi pembaca yang berkenan membacanya, penulisan hasil penelitian ini juga diakhiri dengan saran-saran.Demikianlah sistimatika pembahasan skripsi yang penulis buat, kiranya a lean dapat memberikan gambaran me-ngenai masalah yang penulis bahas dalam penelitian ini.

8BAB IIPERANG KEMERDEKAAN II

2.1 Latar Belakang Perang Kemerdekaan IISebelum penulis membahas lebih jauh mengenai Perang Keraerdekaan II yang terjadi akibat Agresi Militer Belanda ke II yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948. Disini penulis akan kemukakan dulu peristiwa yang melatar belakangi timbulnya peristiwa Agresi Militer Belanda ke II pada tanggal tersebut.

2.1.1 Agresi Millier Belanda IIUntuk memudahkan pembahasan yang diajukan mengenai latar belakang Perang Kemerdekaan II, penulis mencoba menyoroti salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya Agresi Militer Belanda ke II. Yaitu atas ketidak puasan Belanda dari persetujuan Renville yang dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan tanggal 17 Januari 1948. (Sudharmono, 1981: 55)Ketidak puasan Belanda tersebut sebenarnya telah kita lihat sejak awal perundingan, dimana pihak Belanda banyak menolak saran dari KTN untuk melaksanakan keputusan Dewan Keamanan PBB. Pihak Belanda tidak mau merundingkan soal-soal politik selama masalah gencatan senjata belum beres. Perundingan mengalami kemacetan dan akhirnya Pemerintah Indonesia mengeluarkan keterangan-keterangan sebab terjadinya kemacetan tersebut. Sedangkan Belanda hanya menyatakan persetujuannya pada hal-hal yang menguntungkan saja. (Kartodirdjo, 1975: 51)Adapun hasil perundingan Renville yang ditanda tangani tanggal 17 Januari 1948 tersebut, terdiri dari 12 pasal prinsip politik, 6 pasal prinsip tambahan dan 10 pasal persetujuan gencatan senjata. (Kartodirdjo, 1975: 359)Menurut bangsa Indonesia perundingan Renville itu jelas sangat merugikan. Karena isi perjanjian tersebut menempatkan Republik Indonesia kepada kedudukan yang makin bertambah sulit. Wilayah Republik Indonesia makin sempit, sebab dikurung oleh daerah-daerah kedudukan Belanda. Tapi untuk selanjutnya bahwa Belanda selalu berpendapat untuk memojokkan bangsa Indonesia. Menurut laporan Buurman Van Vreeden, para pembesar Republik Indonesia sering kali melanggar keteatuan-ketentuan perjanjian gencatan senjata. Menurut Belanda bahwa pelanggaran tersebut sesuai dengan perintah-perintah para komandan tentara kepada orang-orang Indonesia yang berada di daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Aksi tersebut diantaranya ialah berupa aksi-aksi subversif,ancaman dan terterhadap orang-orang Indonesia yang bekerja sama dengan Belanda. Selain itu juga bahwa pidato-pidato yang berupa hasutan sering disiarkan oleh radio RI. Itu semuanya menurut Belanda sangat bertentangan dengan ketentuan-ketentuan gencatan senjata. Sedangkan menurut pihak RI bahwa tuduhan-tuduhan Belanda tersebut tidak berhubung an dengan pemerintah Republik Indonesia, karena hal ini dilakukan oleh orang-orang yang tak termasuk tentara RI dan mereka bertindak atas nama dan tanggungjawab sendiri. (Agung, 1985: 85)Pemerintah Belanda berpendapat bahwa selama pelanggaran-pelanggaran gencatan senjata terus berlangsung dan Pemerintah RI tak mampu untuk mengakhirinya, maka Belanda tak dapat menjamin berskesinambungannya perundingan. (Agung, 1985: 90)Alasan lain yang diajukan pemerintah Belanda atas ketidak puasan dengan persetujuan Renville ialah bahwa RI dianggap telah mengadakan suatu persetujuan atau hubungan dengan Uni Soviet. Menurutnya bahwa wakil RI di Praha yaitu Soeripno telah mengadakan suatu persetujuan konsuler dengan Uni Soviet yang isinya mengadakan tukar menukar pejabat-pejabat konsuler antara Hoskow Yogya. Meurut Pemerintah Kerajaan Belanda ini merupakan pelanggaran kasar terhadap ayat 1 ke 6 asas tambahan persetujuan Renville. Padahal menurut Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan nota yang diserahkan oleh ketua delegagasi Republik Indonesia yaitu Roep dan Sultan Yogya kepada delegasi Belanda tanggal 10 Juni 1948 yang isinya sama dengan jawaban tanggal 28 Mei 1948 dengan tambahan bahwa menurut RI tidak ada pelanggaran terhadap ayat 1 ke 16 tambahan persetujuan Renville. Karena asas ini tak dipandang suatu persetujuan, melainkan hanya dipandang sebagai suatu sarana untuk mencapai persetujuan politik. Republik Indonesia tidak bersedia melepaskan dan menghentikan hubungan-hubungan luar negerinya, sebelum tercapai persetujjian politik. (Kartodirdjo, 1975: 55)Alasan lain yang diajukan Perdana Menteri Beel pada Menteri Daerah Seberang, bahwa pembicaraan-pembicaraan antara Republik Indonesia dan Negeri Belanda tidak berjalan lancar. Belanda telah menuduh RI menolak plebisit. RI berpendapat bahwa plebisit harus dilaksanakan terutama di daerah-daerah yang dipersengketakan.Selain dari hal-hal tersebut tadi, juga Belanda menuduh bahwa keadaan Militer di Jawa semakin buruk, dan jumlah pelanggaran bersenjata semakin banyak (Kartodirdjo, 1975: 60). Dari uraian tersebut jelas bahwa Belanda tidak puas dengan hasil perundingan Renville, Hal itu terbukti bahwa da tanggal 11 Desember 1948, Pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan maklumat resmi tentang perabicaraan antara Indonesia dan Belanda. Adapun isi maklumat tersebut ialah, agar Republik mengubah sikapnya secara radikal dalam pelaksanaan perjanjian Renville. Tindakan lebih jauh dari Belanda ialah Pemerintahan Kerajaan Belanda memberi tahu kepada komisi Tiga Negara, bahwa perundingan antara Indonesia dengan Belanda tidak akan ada hasilnya selama Republik Indonesia tidak menjunjung tinggi persetujuan gencatan senjata (Mulyana, 1969: 272).Adapun isi nota tanggal 11 Desember 1948 menurut penjelasan Kolonel Nugroho Notosusanto sebagai berikut:1. Dalam perundingan di Kali Urang ternyata Rl tidak mempunyai kekuasaan yang nyata terhadap negaranya, karena itu tidak dapat diharapkan kerja sama yang sungguh-sungguh untuk mencegah pelanggaran persetujuan gencatan senjata.2. Pendirian terhadap Wakil Tinggi Mahkota, terutama mengenai kekuasaan terhadap tentara di masa peralihan, bertentangan dengan kedaulatan Belanda yang ditetapkan dalam bagian pertama pokok-pokok azasi persetujuan Renville, yang berarti berlangsungnya keadaan yang tak dapat dipertahankan, dimana ada dua tentara yang saling berhadapan dibawah pimpinan yang terpisah.3. Penolakan mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan menyebabkan tidak adanya RI menerima naskah persetujuan yang direncanakan KTN dan Amerika Serikat pada tanggal 10 September sebagai bahan perbandingan.4. Pemerintah Belanda harus bertindak melaksanakan keputusan pembentukan Pemerintahan Interin yang direncanakan atas dasar persetujuan wakil-wakil daerah vederal. (Notosusanto, 1985: 32)

Pada tanggal 13 Desember 1948, PM Hatta meminta kepada KTN agar diadakan kembali perundingan dengan pihak Belanda dengan syarat "Kesediaan Republik Indonesia mengakui sepenuhnya kedaulatan Belanda selama masa peralihan". Namun pada hari itu juga Pemerintahan Kerajaan Belanda menjawab bahwa perundingan tidak akan diadakan lagi. (Notosusanto, 1985: 32)Sesuai dengan telegram yang dikirimkan Beel pada tanggal 10 Desember 1948 kepada Menteri wilayah Seberang Lautan dimana ia mendesak agar dilancarkan segera aksi militer Belanda terhadap Indonesia. Adapun maksud dari Beel dengan mengusulkan suatu aksi militer tersebut dengan tujuan sebagai berikut:1. Agar Republik Indonesia sebagai suatu kesatuan ketatanegaraan harus dihancurkan sehingga habis riwayatnya. Karena itu aksi yang dilaksanakan harus secara total dan jangan merupakan aksi sebagian-sebagian.2. Beel bermaksud membentuk Pemerintah Interin Vederal yang didasarkan atas peraturan pemerintahan dalam peralihan, dimana wakil-wakil dari daerah-daerah Vederal dan unsur-unsur Kooperatif dan Moderat dari bekas Republik harus mengambil bagian.Sasen mengirimkan telegram kepada Beel dengan keputusan dari Pemerintah Kerajaan Belanda untuk melaksanakan aksi pada malam tanggal 18 Desember pukul 00.1. Jika mungkin laksanakan pada tanggal 16 Desember 1948. Tapi sehubungan ada surat dari Hatta tadi maka sempat menimbulkan keraguan dan bahan pertimbangan pemerintah Belanda tentang pelaksanaan agresi. Tapi karena desakan dari Beel maka akhirnya pada tanggal 17 Desember 1948 Pemerintah Belanda melalui Beel mengirimkan nota kepada KTN di Kaliurang. Nota tersebut diterima pukul 15.15. dan Elink Schuurman mengirim telegram kepada Cochran bahwa paling lambat hari Sabtu tanggal 18 Desember 1948 sebelum jam 10 pagi jawaban Hatta harus sudah diterima. Sehubungan dengan batas waktu yang sangat singkat itu, maka nota Belanda tersebut merupakan ultimatum, sehingga Cochran sangat marah dan menjawab surat dari Belanda tersebut dengan rasa kesal dan jengkel. Belanda yang memang sudah mengetahui keadaan Republik yang sudah begitu lemah akibat pemberontakan PKI bulan September 1948, maka sesudah mengadakan ultimatum Belanda melakukan agresi militernya yang ke II kepada Republik Indonesia pada tanggal 19 De-sember 1943. (Reksodipuro, 1982: 82).Pada tanggal 19 Desember 1948, kira-kira jam 05.30 bergemuruhlah deru pesawat pembom Mithell B-25 memecah ketenangan di pagi hari itu. Pesawat-pesawat pembom itu makin lama makin banyak saja, dan berputar-putar mengelilingi kota Yogyakarta, yaitu Ibukota Republik Indonesia. Belanda menjatuhkan berpuluh-puluh bom di lapangan terbang Maguwo dan tentu saja hal itu merupakan malapetaka dan menimbulkan maut yang tidak sedikit di pihak Republik. Selain itu juga dibarengi dengan meluncurnya kendaraan-kendaraan perang dengan merk perdagangan Ford. Kendaraan-kendaraan itu muat serdadu yang diperlengkapi dengan alat-alat perang Amerika Serikat dan Inggris menerobos garis-garis demarkasi dari segenap penjuru menyerbu pedalaman-pedalaman Republik yang menimbulkan malapetaka. (Dinas Sejarh Militer TNI Angkatan Darat, 1972: 157)Sebagaimana penjelasan Nasution dalam bukunya sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid IX, yang berbunyi sebagai berikut:PERINTAH KILATNo. I/P.B/DA81. Kita diserang.2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerbu Kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata.4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.

Dikeluarkan di tempat Tanggal: 19 Desember 1948 Jam: 08.00Panglima Besar Angkatan PerangRepublik IndonesiaTtd(Letnan Jenderal Sudirman)

Kutipan di atas merupakan cuplikan dari perintah kilat Panglima Besar Sudirman tanggal 19 Desember 1948. (Nasution, 1979: 85)Sebagaimana keterangan di atas maka jelaslah, bahwa pada tanggal 19 Desember 1948 pagi-pagi pesawat-pesawat musuh telah ramai di atas kota Yogyakarta. Bom-bom dijatuhkan di komplek Markas Besar Komando Jawa dan AURI untuk kemudian dilanjutkan dengan tembakan-tembakan senapan mesin terhadap lalu lintas dan kompleks ketentaraan untuk menekan segala gerakan dari pihak tentara Nasional Indonesia. Pesawat-pesawat pengangkut menerjunkan boneka-boneka para di berbagai tempat di pinggiran kota, maksudnya untuk mengelabui TNI tentang pendaratan yang sebenarnya. Semetara itu pasukan-pasukan para tentara Belanda yang sebenarnya telah diterjunkan disekitar lapangan terbang Maguwo. Pangkalan Maguwo baru saja berganti komando ke tangan Kapten E. Sutoyo, sedangkan pimpinan AURI sedang bersiap-siap untuk berangkat bersama-sama Presiden berkunjung ke India. (Nasution, 1979: 203)Pemboman atas bangunan-bangunan terpenting di Maguwo sebetulnya telah dimulai pukul 05.30. sebagaimana keterangan pada bagian terdahulu tadi, Menara peninjau, kantor penerbangan dan asrama, hancur akibat serangan Belanda tersebut. Belanda menerjunkan Batalyon pasukan payung di Maguwo. Pesawat bermotor 4 "De Havilland" dari AURI yang disiapkan untuk pengangkutan darurat Kepala Negara, yang ada di landasan Maguwo berhasil dikuasai oleh Belanda. Pasukan-pasukan Belanda terus menduduki pos penting di atas dan sekitar lapaggan terbang Maguwo. Pertempuran terus berkobar di sekitar Maguwo tetapi pada saat itu keunggulan ada di pihak Belanda. Maguwo berhasil mereka kuasai dan terus mereka duduki, serdadu-serdadu baret hijau terus menjelajahi seluruh lapangan terbang, mereka mencari sisa prajurit yang mungkin masih bertahan.Pada saat Belanda sedang sibuk untuk melaksanakan jembatan udara ke Yogyakarta kira-kira pukul 10.00 pagi mendaratlah pesawat Katalina RI-006 yang dikemudikan James Planing. Ia baru saja pulang dari tugasnya di Sumatera. (Tjondronegoro, 1980: 125).Pesawat itu juga berhasil dikuasai Belanda. Penguasaan dan pendudukan lapangan terbang Maguwo itu dilakukannya hanya beberapa menit setelah terjadinya pemboman dan penghancuran di lapangan tersebut. Dalam waktu yang relatip singkat Maguwo-berhasil dikuasai Belanda. Di daerah-daerah lain pasukan Belanda bergerak melintasi semua demarkasi dan berhasil menguasai kota-kota dan jalan-jalan raya. (Notosusanto, 1985: 33)Pada saat Belanda menghancurkan Maguwo tersebut, masyarakat sekitar Yogyakarta mengira sedang ada latihan-latihan saja dari TNI. Tapi lama kelamaan mereka juga sadar bahwa pesawat terbang yang terlihat cukup banyak, sedangkan mereka tahu sendiri bahwa Republik Indonesia pada saat itu hanya mempunyai beberapa pesawat terbang saja. Maka dengan keadaan yang tiba-tiba itu, akhirnya rakyat Yogyakarta dapat mengambil kesimpulan bahwa pada tanggal 19 Desember 1948 itu bukan latihan-latihan dari TNI sebagaimana mereka tahu dari berita sebelumnya. Tapi saat itu adalah serangan secara besar-besaran dari pihak Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia (Nasution, 1983: 75)Setelah Belanda berhasil menduduki Maguwo, maka pada hari itu juga pasukan Belanda terus bergerak ke seluruh kota, sambil menembaki dan menghancurkan segala apa yang menjadi rintangan bagi serangan pendadakan mereka. Sementara itu pesawat-pesawat mustang dan Spitfire menembaki kota Yogyakarta dengan roket-roket dan senapan-senapan mesin berat. Belanda mendaratkan Marine Brigade-nya yang kemudian menggabungkan diri dengan pasukan baret hijau yang telah mendarat terlebih dahulu di Maguwo. Mereka bergerak menuju Yogyakarta, sehingga pada hari itu juga tentara Belanda berhasil merebut kota Yogyakarta. ((Dinas Sejarh Militer TNI Angkatan Darat, 1972: 162)

2.1.2 Pendudukan Kota Yogyakarta oleh BelandaTentara Belanda dalam perjalanannya dari Maguwo menuju kota Yogyakarta itu tidak mendapatkan perlawanan yang berat, karena sebagian besar TNI sedang berada di luar kota. Kekuatan senjata RI yang ada di kota hanya dua seksi saja. Satu seksi deking stap Brigade dan satu seksi deking stap Batalyon. Polisi Negara dan Corps Polisi Militer yang ada di kota hanya terdiri dari tiga kompi. Dua seksi Angkatan Bersenjata yang ada di kota diperuntukkan untuk mengadakan hambatan terhadap gerakan tentara Belanda. Tentara Belanda terus bergerak ke arah Barat dengan maksud menduduki kota, dengan demikian tak ada tentara Republik yang bisa lolos. (Mulyana, 1969: 278)Dalam suasana genting pada tanggal 19 Desember 1948 Presiden mengundang para Menteri untuk bersidang. Pengikut sidang tersebut termasuk wakil Presiden Bung Hatta meskipun sedang sakit di Kaliurang dijemputnya. Sidang tersebut juga dihadiri oleh beberapa pembesar TNI. Sidang mempertimbangkan dua kemungkinan. Sebagaimana penjelasan Kolonel Nugroho Notosusanto adalah sebagai berikut: Presiden dan Wakil Presiden mengungsi ke luar kota Yogya, tetapi harus dikawal oleh satu Batalyon Tentara, Ternyata tentara yang mengawal itu tidak ada karena tentara yang ada di Yogya sudah ke luar semua. Tetap tinggal di kota dan membiarkan diri ditawan Belanda, tetapi dekat dengan KTN. (Notosusanto, 1985: 33)

Sebagaimana penjelasan di atas tadi, akhirnya sidang memutuskan bahwa pimpinan-pimpinan negara serta pejabat Pemerintan tetap tinggal di kota. Presiden memberikan mandat kepada Mr. Sjafrudin Prawiranegara yang pada saat itu berada di Sumatera untuk memimpin pemerintahan dan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Mandat tersebut dikirimkan melalui radiogram yang bunyinya sesuai dengan penjelasan Purnawan Tjondronegoro diantaranya:Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas ibukota Yogyakarta. Kita dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Republik Darurat di Sumatera.

Presiden,ttdSoekarnoYogyakarta, 19 Desember 1948Wakil Presiden,ttdMoh. Hatta

Demikianlah surat mandat yang dikirimkan kepada Mr. Sjafrudin Prawiranegara pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948. (Tjondronegoro, 1980: 189)Sesuai dengan keputusan sidang tadi, maka Kabinet memutuskan atas pertimbangan politik dan militer untuk tidak berbuat sesuai dengan rencana semula. Kepala Negara bersama menteri akan menunggu di tempat masing-masing dan tidak akan menggabungkan diri dengan kaum gerilya, dengan pertimbangan bila Soekarno Hatta turut bergerilya, mungkin dunia internasional tidak akan mengakui RI lagi. (Nasution, 1983: 207)Kira-kira jam 13.00 kapal terbang Belanda terus mengelilingi Istana tapi tidak menembakinya. Setelah lewat jam 15.00 rupanya tentara Belanda makin dekat ke Istana. Bung Karno memerintahkan pada semua tentara yang ada di Istana supaya tidak melakukan perlawanan. Bung Karno ke luar bersama Tobing sambil memegang Bendera Putih yang diikatkan pada sebatang kayu kecil dan Bung Karno memberi isyarat agar pengawal Istana menyimpan senjatanya di halaman depan dibawah tiang bendera. (Sardjono, 1982: 9)Bung Karno bersama opsir Belanda ke luar dari Istana menuju jalan Malioboro. Opsir Belanda yang bernama Van Langen menyatakan kepada para wartawan bahwa Bung Karno telah tertangkap dan menyerah, dan langsung diumumkan lewat radio. Van Langen mengemukakan peraturan-peraturan dan larangan-larangan terhadap semua tawanan selama tinggal di Istana, termasuk terhadap Wakil Presiden (Bung Hatta) yang sudah dijemput Mr. A. G. Pringgodigdo atau suruhan Bung Karno sendiri. Adapun jumlah tawanan yang ada di Istana pada saat itu ada 120 orang (Nasution, 1979: 124).Pada tanggal 21 Desember 1948 jam 15.00 Bung Karno diperlihatkan kepada rakyat di Yogyakarta bahwa Bung Karno telah menyerah. Pada tanggal 22 Desember 1948, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Mr. A. G. Pringgodigdo, Mr. Asaat, Suridarma, dan H. Agus Salim diangkut dari Istana dan di bawa ke luar Jawa, yaitu mula-mula ke Prapat Sumatera dan kemudian dipindahkan ke Bangka. Sepeninggal Bung Karno, akhirnya Istana Yogyakarta tersebut dijadikan tempat tawanan para Pemimpin yang diantaranya: Dr. Leimena, Moh. Natsir, Kihajar Dewantara, Ir. Juanda, Dr. Batulangi, Sewaka, Mr. Yusuf Wibisono, Sunarto, Emma Puradiredja, Muh. Roem serta istrinya. Tawanan-tawanan itu jumlahnya tidak tetap, karena ada yang dikeluarkan dan ada yang baru masuk. Sesudah seminggu penghuni Istana yang bukan tawanan politik harus ke luar. Lama kelamaan ada pengamuman dari Belanda bahwa istri Bung Karno dan Bung Hatta diperbolehkan ikut ke Bangka, karena Istana akan diduduki Belanda paling lambat tanggal 1 Maret 1949. Maka pada tanggal 20 Pebruari 1949 keluarga dari wakil Presiden RI dipindahlcan ke Terbantam, dan keluarga Bung Karno dipindahkan ke rumah dijalan Code 31-A, hanya sayang saja kepala rumah tangga Istana tidak ikut. (Nasution, 1979: 215)Penyerbuan Belanda terhadap Istana dan terhadap kota Yogyakarta ini, merupakan bagian penting dalam sejarah Perang Kemerdekaan II Akibat Agresi Militer Belanda II yang bertujuan untuk menghancurkan dan meniadakan Pimpinan Negara Republik Indonesia dan Pimpinan TNI dan sekaligus meniadakan ibukota perjuangan Indonesia, yaitu kota Yogyakarta. (Nasution, 1979: 221)Dengan berhasilnya menduduki Istana Yogyakarta, maka dengan mudah Belanda merebut semua kota Yogyakarta dan sekaligus mendudukinya. Tiap hari ramailah pengangkutan udara dari Semarang ke Yogyakarta untuk mengangkut tentara-tentara Belanda. Sehingga dalam jangka satu minggu lengkaplah Brigade Belanda dalam menduduki kota Yogyakarta.2.2 Reaksi Terhadap Agresi Militer Belanda IISebagaimana penulis kemukakan pada bagian terdahulu bahwa Belanda telah melakukan serangan-serangan secara mendadak terhadap Maguwo, juga melakukan pendudukan terhadap kota Yogyakarta dan melakukan penahanan terhadap pimpinan negara. Serangan tersebut yang terkenal dengan nama Agresi Militer Belanda II. Sesuai dengan pidato Presiden Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 yang berbunyi sebagai berikut:Rakyat Indonesia, Bangsaku tercinta !Pada hari ini, Minggu tanggal 19 Desember 1948 pada jam 6 pagi, Belanda telah mulai dengan serangan atas kota Yogyakarta dan sekitarnya. Dengan tindakan ini nyata bahwa Belanda mulai lagi perang kolonialnya untuk menghancurkan pemerintah dan negara RI agar mereka dapat menjajah kembali seluruh tanah air dan bangsa Indonesia.Setelah berbulan-bulan kita berusaha dengan segala kebulatan hati untuk menyelesaikan pertikaian dengan Belanda secara damai, sekonyong-konyong mereka dengan tanpa memberikan tahu terlebih dahulu mempergunakan alat senjatanya yang ada pada mereka untuk melakukan kehendak mereka itu dengan paksaan. Dengan tidak memperdulikan adanya perjanjian gencatan senjata, mereka terus memutuskan segala kemungkinan untuk mencapai penyelesaian secara damai.Kami percaya, bahwa seluruh rakyat Indonesia, maupun yang berada di daerah Republik maupun di daerah yang diduduki Belanda serentak akan berdiri di belakang pemerintah republik untuk menentang dengan segala alat lahir maupun batin yang ada pada kita, tindakan yang melanggar prikemanusiaan ini.Kami mengetahui, bahwa dengan kekuatan senjata mereka, Belanda mungkin akan dapat merebut dan menduduki beberapa tempat yang penting, akan tetapi tidak mungkin mereka dapat mematahkan semangat perjuangan kita, tidak menghilangkan atau mengurangkan kemerdekaan kita. Bangsa Indonesia yang telah kita insapkan dan pertahankan selama tiga tahun ini.Kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan meresap dalam jiwa kita, mustahil dapat ditindas dengan kekerasan.Marilah bangsaku, kita pertahankan tanah air dan kemerdekaan kita dengan segala tenaga yang ada pada kita.Teruskanlah perjuangan kita dan percayalah bahwa kemenangan akan ada pada kita, Insya Alloh.

Yogyakarta, 19 Desember 1948Presiden Republik Indonesia

(Sukarno)

Begitulah bunyi pidato Presiden Sukarno pada tanggal 19 Desember 1948, sebagaimana dijelaskan oleh DR. A.H. Nasution. (Nasution, 1979: 208)Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa pimpinan Indonesia pada saat itu tidak berkecil hati meskipun mendapat serangan dari Belanda. Malah mereka memberikan semangat terhadap rakyat Indonesia untuk terus membela kehormatan sebagai bangsa yang telah merdeka. Maka begitu para pemimpin Indonesia ditahan dan ditawan Belanda, Jenderal Sudirman dengan semua pasukan TNI ke luar meninggalkan ibukota RI untuk melaksanakan perang gerilya secara total terhadap Belanda.

2.2.1 Perang GerilyaSeperti penulis kemukakan, bahwa meskipun sakit Jenderal Sudirman berangkat saja untuk memimpin gerilya secara total. Sebelum pergi Jenderal Sudirman memberikan instruksi dulu kepada Kapten Suparjo untuk menyampaikan perintah kilat kepada segenap anggota angkatan perang RI yaitu TNI. Adapun perintah kilat tersebut, sebagimana dijelaskan oleh Drs. V. Sardjono yang berbunyi sebagai berikut:Perintah KilatNo. I/P.B/DA81. Kita diserang.2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerbu Kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata.4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.

Dikeluarkan di tempat Tanggal: 19 Desember 1948 Jam: 08.00Panglima Besar Angkatan PerangRepublik IndonesiaTtd(Letnan Jenderal Sudirman)

Sesuai dengan perintah kilat tersebut, angkatan perang Republik Indonesia (TNI) melakukan perlawanan gerilya terhadap serbuan pasukan Belanda pada agresinya yang ke II guna mempertahankan kemerdekaan Negara RI. (Sardjono, 1982: 13)Bagi TNI serbuan tentara Belanda pada agresinya yang ke II itu telah diramalkan jauh sebelumnya. Karena itu para pemimpin TNI telah mengadakan persiapan untuk menyusun rencana guna menghadapi serbuan Belanda tersebut, rencana perlawanan tersebut telah diputuskan oleh pucuk pimpinan TNI yakni perlawanan sepanjang masa, Perlawanan secara prontal harus dihindari, berhubung dengan penghematan tenaga dan amunisi. Perlawanan terhadap orang Belanda harus dilakukan dimanapun pada orang Belanda. Ini berarti bahwa di setiap. pelosok, dijadikan medan pertempuran. Perang gerilya harus bertahan sampai cita-cita kemerdekaan tercapai. Perang gerilya tidak mengenal batas waktu. Tentara gerilya harus mampu hidup diantara rakyat dan sanggup menggunakan alat apapun untuk mengadakan perlawanan dan sanggup makan dari yang paling sederhana. (Mulyana, 1969: 280)Perang gerilya yang dilakukan seperti tersebut di atas sesuai dengan pokok-pokok gerilya seperti diuraikan oleh Jenderal A.H. Nasution yang berbunyi sebagai berikut:Perang gerilya tidak dapat secara sendiri membawa kemenangan terakhir, perang gerilya hanyalah untuk memeras darah musuh. Kemenagan terakhir hanyalah dapat dengan tentara yang teratur dalam perang yang biasa, karena hanya tentara yang demikianlah yang dapat mengadakan opensip dan hanya opensiplah yang dapat menaklukan musuh. (Nasution, 1980: 7)

Pokok perang gerilya yang diterapkan seperti tersebut itu juga berdasarkan pengalaman-pengalaman siliwangi yang diolah oleh pemimpin-pemimpin TNI di Markas Besar Yogyakarta. Hasil pengolahan itu dijadikan patokan garis kebijaksanaan dalam rangka kita menghadapi agresi militer Belanda II, yang telah diperhitungkan oleh pemimpin Angkatan Perang RI. Garis kebijaksanaannya terkenal dengan nama "Perintah Siasat No 1". Perintah tersebut merupakan intruksi Panglima Besar Sudirman tanggal 9 Nopember 1948 yang berbunyi sebagai berikut:1. Tidak lagi akan menggelarkan pertahanan linair di dalam menanggulangi agresi militer Belanda.2. Menindakkan politik bumi hangus.3. Menindakkaji pengungsian yang ditulang-punggungi oleh politik non-kompromi sepenuhnya.4. Pembentukan Wehrkreise-wehrkreise sebagai basis perlawanan gerilya.5. Kesatuan-kesatuan yang telah berhijrah, harus bergerak menyusun kembali kedudukan-kedudukannya sebelum dihijrahkan, untuk disitu menyusun Wehrkreise-wehrkreisenya. (Dinas Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi, 1968: 274)

Dalam Perintah Siasat No 1 tersebut telah dijalankan tentang tugas-tugas daerah dan tiap-tiap pasukan mulai dari aksi Wingate kemudian membentuk Wehrkreise, sampai kepada pertahanan rakyat dan perang gerilya dalam arti seluas-luasnyaSejak tanggal 20 Desember 1948 pimpinan Angkatan Bersenjata berkeliling mengumpulkan anak buahnya. Dalam waktu lima hari dan dengan perantaraan kurir berhasil menghubungi kesatuan-kesatuan yang masih ada ditepi kota. Dengan kekuatan kurang lebih dua batalyon tentara, tentara mengadakan serangan-serangan pembalasan yang dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 1948. Serangan tersebut bertujuan memperoleh kembali kepercayaan rakyat. Adanya serangan membuktikan bahwa TNI tidak menyerahkan rakyat mentah-mentah kepada Belanda. Setelah tentara Gerilya menduduki tempat-tempat yang telah ditentukan yaitu: Ngabean, Setodiningrat, Patuk, Pakuningratan, Sentul, Gondokeman, dan Pengok, maka penyeranganpun dimulai. Akibat serangan tersebut, maka timbul kembali kepercayaan dari rakyat, tapi sebaliknya juga timbul kerusakan pada rakyat akibat pembersihan dari pihak Belanda. (Mulyana, 1969: 281)Tentara Belanda pada saat penyerangan tersebut menggunakan sistim benteng stelsel, mereka bermaksud menahan gerakan gerilya masuk kota. Akibatnya tentara Belanda menduduki terapat-tempat kecil bekas pabrik gula, kota kewedanaan dan Kecamatan di luar kota. Dengan adanya hal semacam ini gerilyawan kota semakin hebat, para gerilyawan kota sering mengadakan serangan mendadak di waktu malam. Baik di dalam maupun di luar kota tidak pernah terjadi serangan secara besar-besaran, karena kewajiban pokok tentara gerilya adalah mengadakan perlawanan sepanjang masa. Taktik yang digunakan dalam perang gerilya, adalah menghilang jika diserang, muncul menyerang jika musuh diam. Dengan demikian maka musuh terus menerus dalam keadaan tidak aman. Serangan mendadak itulah yang membuat kalangkabut musuh dan sangat ditakuti oleh musuh. (Mulyana, 1969: 282)Untuk memantafkan pelaksanaan perang gerilya ini, sehubungan dengan adanya pemerintah darurat tersebut tadi, maka supaya adanya pemerintah yang dapat membiming rakyat guna mengadakan segala apa yang dibutuhkan, perlu dibentuknya pemerintah militer. Maksudnya supaya ada pemerintahan yang tegas yang dapat membantu kalangan militer dalam melaksanakan tugas menghadapi Belanda. Pemerintah militer ini harus dapat mengisi pacumnya pemerintah sipil. Pemerintahan militer mengadakan gerilya yang totaliter sebagai suatu syarat untuk mengadakan pertahanan dan perlawanan rakyat semesta. Untuk memenuhi maksud dan tujuan tersebut, maka pada tanggal 25 Desember 1948 diberangkatkanlah oleh 25 orang perwira ker seluruh tanah Jawa dan membawa maklumat tentang berlakunya pemerintah militer Jawa.Adapun bunyi maklumat tersebut, sebagaimana keterangan dari Dinas Sejarah Militer TNI-AD yang berbunyi sebagai berikut:

MARKAS BESAR KOMANDO JAWAMAKLUMATNo. 2/MBKD.

Berhubung dengan keadaan perang maka berdasarkan peraturan pemerintah No. 30 dan 70 kami maklumkan berlakunya Pemerintah Militer untuk seluruh Pulau Djawa.

Dikeluarkan : Ditempat Pada tanggal: 22 Desember 1948 Pada jam : 08.00 Panglima Tentara dan Territorium DjawaTtd(Kolonel A. H. Nasution)

Kepada :1.Semua Div.2.Semua Be.3.Semua STC.Keterangan :Untuk diteruskan kepada bawahannya.(Dinas Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi, 1968: 170)

Berdasarkan maklumat tersebut, jelaslah bahwa perang gerilya yang dilakukan dalam rangka menghadapi Belanda tersebut tidak dilakukan sembarangan. Perang gerilya yang dilakukan di Indonesia pada saat itu sungguh-sungguh bersifat perang rakyat semesta. Perang gerilya yang betul-betul mantaf dan teratur, menyusun pemerintahan gerilya yang totaliter, pemerintah kelurahan, pemerintah militer onderdistrik, pemerintah militer Kabupaten, pemerintah militer daerah dan kegubernuran militer. Dalam hal ini lurah, KODM, KIM, KMD dan Gubernur militer kecuaii selaku Komandan Pertempuran juga menjadi Kepala Pemerintahan gerilya yang totaliter dengan bantuan badan-badan sipil lainnya yang ada di Jawa. (Nasution, 1980: 19)

2.2.2 Serangan Umum 1 Maret 1949Setelah memakan waktu satu bulan sejak peristiwa Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, TNI telah selesai dengan konsolidasinya. TNI mulai melakukan pukulan-pukulan terhadap tentara dan kedudukan Belanda. Yang menjadi sasaran misalnya alat-alat komunikasi Belanda diantaranya kawat-kawat telepon diputuskan, jalan-jalan kereta api dirusak, bahkan konfoi-konfoi Belanda pun jadi sasaran TNI pada siang hari. Dengan tindakan yang berani dari TNI tersebut, akhirnya Belanda meninggalkan pos-posnya yang ada disepanjang jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang didudukinya. (Kartodirdjo, 1975: 62)Sesudah pasukan-pasukan tentara Republik Indonesia tersebar disekitar kota Yogyakarta cukup mantap, maka TNI siap melakukan serangan secara besar-besaran terhadap kota Yogyakarta yang telah diduduki Belanda. Letnan Kolonel Soeharto sebagai penanggungjawab wilayah kota Yogyakarta sangat prihatin menghayati keadaan pada tanggal 19 Desember 1948 itu, dimana pihak Belanda berhasil merebut ibukota Republik Indonesia dari tangan TNI. Sejak itu timbullah tekad dari Letnan Kolonel Soeharto selaku Komandan Brigade 10/Komandan Wehrkreise III untuk segera membersihkan diri bila keadaan memungkinkan uatuk melapoarkan serangan umum sebagai serangan balasan untuk merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan Belanda. (Dinas Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi, 1968: 195)Adapun serangan umum ke kota Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia yang telah diduduki Belanda itu, sesuai dengan penjelasan Dinas Sejarah TNI-AD yang berbunyi sebagai berikut:1. Politik memberikan dukungan yang kuat kepada usaha diplomatik Republik Indonesia di Dewan Keamanan PBB/Dunia Internasional.2. Pasychologis supaya rakyat dan daerah-daerah lain yang sedang berjuang, merasa bahwa ibu-kotanya masih dipertahankan, dengan demikian morilnya akan bertambah tinggi.3. Menimbulkan kerugian/mematahkan moril pasukan-pasukan Belanda. (Dinas Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi, 1968: 197)

Serangan umum terhadap ibukota Republik Indonesia itu merupakan puncak perjuangan dari tentara nasional Indonesia dalam melakukan perang gerilya. Berkat keuletan dan semangat juang yang tinggi dan ditopang oleh siasat perang gerilya yang tepat, akhirnya berangsur-angsur tentara nasional Indonesia dan para pejuang dapat menguasai daerah-daerah tertentu untuk persiapan serangan umum 1 Maret yang sebentar lagi siap dilaksanakan. (Setiawan, dkk., tt: 111)Merencanakan serangan umum itu tidak dianggap sulit sebab serangan-serangan terhadap kedudukan Belanda tersebut sudah sering dilaksanakan. Hanya yang menjadi ciri dalam serangan tersebut adalah serangan yang dilaksanakan pada siang hari pada tanggal 1 Maret 1949. Meskipun hanya dua atau tiga jam, namun ibukota Yogyakarta harus direbutnya dan diduduki oleh TNI. Yang menjadi pemikiran adalah kemungkinan balas-dendam pihak Belanda terhadap rakyat disekitar Yogyakarta.Pasukan telah siap, maka mulai sore hari tanggal 28 Pebruari, pasukan-pasukan TNI telah menyusup ke jurusan-ke jurusan yang telah ditentukan. Serangan akan dilakukan dari jurusan Utara, Barat, dan Selatan, sedangkan dari Timur mempunyai tugas untuk mengikat pasukan-pasukan Belanda yang ada di Maguwo, agar tidak memberikan bantuan ke kota (Sudharmono, 1981: 207). Sektor Barat dipimpin oleh Mayor Ventje Sumual, Sektor Selatan dan Timur dipimpin o-leh Mayor Sardjono, Sektor U.tara dipimpin oleh Mayor Kusno. Untuk Sektor kota ditunjuk Letnan Amir Murtopo dan Letnan Masduki. (Setiawan, dkk., tt: 111)Letnan Kolonel Soeharto sendiri sebagai Komandan Wehrkreise telah masuk kota sore itu dengan satu pos komando kecil di Barat. Sekitar jam 12 malam Letnan Soeharto telah mulai memeriksa pasukan-pasukan yang telah di tempatkan di tenpatnya masing-masing (Dinas Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi, 1968: 197). Pada jam 12 malam seluruh pasukan ternyata telah berada di tempatnya, yaitu pasukan SWK 1-2 ada di Selatan, pasukan SWK 1-0-3 ada di Barat, pasukan SWK 1-0-4 di Utara dan pasukan SWK 1-0-5 di Timur. (Tjondronegoro, 1980: 476Pagi-pagi sekali pasukan itu maju ke garis tembakan yang telah ditentukan, sedangkan aba-aba serangan umum itu menunggu komando yang dibuat oleh Belanda sendiri. Tanda serangan itu ialah bunyi sirene sebagai habisnya waktu jam malam. Jadi begitu sirene berbunyi maka dari segenap penjuru, TNI bersama ribuan pejuang yang telah menunggu mulailah mengadakan serangan terhadap pos-pos Belanda yang telah ditentukan.Syukur Alhamdulillah bahwa serangan Umum 1 Maret 1949 berjalan dengan baik sesuai dengan rencana Komandan Wehrkreise Letnan Kolonel Soeharto. Kota Yogyakarta dapat dikuasai oleh tentara Nasional Indonesia sampai jam 10 siang. Serangan yang dilaksanakan ini membuat semua rakyat di Yogyakarta merasa bangga, karena mereka bisa berjumpa dengan prajurit-prajurit yang dicintainya. Belanda ternyata tidak berkutik, akhirnya mereka meminta bantuan dari Semarang. Balabantuan Belanda yang dikirim lewat udara dari Semarang baru datang sekitar jam 12.00. Begitu balabantuan Belanda datang, maka Komandan Wehrkreise III memerintahkan semua pasukannya untuk mundur kembali ke kedudukan masing-masing, kecuali sub Wehrkreise 101 yang memang berkedudukan di kota Yogyakarta (Dinas Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi, 1968: 199)Serangan Umum yang dilancarkan secara serempak dan serentak itu ditujukan kepada konsentrasi-konsentrasi pertahanan Belanda di Ibukota Yogyakarta, seperti Benteng Vredenburg, Tangsi Kota Baru, Kantor Pos, Hotel Merdeka, dan lain-lain. Serangan yang dilaksanakan sebagai reaksi dari Agresi Militer Belanda II itu cukup menggemparkan dunia. Serangan ini telah menyembuhkan moril perjuangan bangsa Indonesia yang telah terpukul oleh gerakan ofesif Militer Belanda II pada bulan Desember 1948 hingga bulan Pebruari 1949. Sejak saat itu semangat perjuangan bangsa Indonesia menjadi pulih kembali seperti di tahun-tahun 1945 sehingga mampu membekukan ofensif Belanda di seluruh pelosok tanah air, yang mengakibatkan terpakunya Belanda pada pos-posnya. Dengan terselenggaranya serangan Umum 1 Maret 1949 ini, dengan serta merta meruntuhkan hasil-hasil perang propaganda Belanda bahwa pemerintah RI beserta TNI nya telah hancur (Dinas Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi, 1968: 121)

2.2.3 Konferensi Asia di New DelhiAgresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada tanggal 19 Desember 1948 yang mengakibatkan timbulnya reaksi dari bangsa Indonesia yang kita namakan Perang Kemerdekaan II itu, juga menimbulkan kecaman dari segenap penjuru dunia yang menyatakan bahwa Belanda itu adalah bangsa yang tidak tahu diri.Reaksi dari penjuru dunia tersebut termasuk diantaranya dari bangsa-bangsa Asia. Reaksi dari bangsa Asia diseponsori oleh Pandit Yawaharlal Nehru. Beliau sebagai pemimpin India mengundang negara-negara di Asia untuk mengadakan Konperensi di New Delhi dengan acara tunggal yaitu membahas tentang Agresi Militer Belanda II di Indonesia. Konperensi tersebut dilaksanakan pada pertengahan Januari 1949 (Roem, 1977: 44Konperensi New Delhi tersebut dapat dihadiri oleh wakil-wakil negara yang ada di Asia, diantaranya ialah: Birma, Irak, Iran, Pakistan, Suriah, India, Mesir, Libanon, Pilipina, Saudi Arabia, Yaman dan Ethopia. Selain itu, juga hadir peserta dari negara Australia. Konperensi New Delhi tersebut tepatnya diselenggarakan pada tanggal 20 hingga tanggal 23 Januari tahun 1949. Sebagai peninjau pada konperensi New Delhi itu, hadir beberapa utusan dari negara Nepal, Selandia Baru, Cina dan Muang Thai. (Setiawan, dkk., tt: 122)Konperensi New Delhi tersebut menghasilkan suatu resolusi yang akan diajukan kepada Dewan Keamanan PBB. Adapun mengenai isi konperensi tersebut sebagaimana dijelaskan dalam buku PDRI adalah sebagai berikut:1. Pemulihan pemerintah Indonesia ke Yogya.2. Pembentukan Pemerintahan Interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negerinya.3. Penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia.4. Penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Januari 1950. (Sardjono, dkk., 1982: 90)

Dalam Konperensi Asia tersebut ada lagi hal yang sangat baik kedengarannya, karena pada saat itu Birma mengusulkan dibentuknya suatu tentara sukarela Asia dalam memecahkan situasi yang sedang buruk di Indonesia. Yang jelas tentara tersebut diperuntukkan untuk membantu Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah direbutnya sejak tanggal 17 Agustus 1945 (Setiawan, dkk., tt: 123)Dengan terselenggaranya konperensi antara bangsa-bangsa di New Delhi, jelaslah membuktikan kepada dunia internasional bahwa perjuangan rakyat Indonesia itu bukanlah perjuangan yang sia-sia. Melainkan suatu perjuangan yang suci dan benar. Adapun bukti dari perjuangan tersebut adalah dengan tertariknya simpati dunia Asia dan sekitarnya, yang akhirnya rasa simpati tersebut berubah menjadi rasa solidaritas antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Mereka berjuang dalam menghadapi segala bentuk kolonialisme dan imperialisme. Selain itu mereka juga siap bahu membahu dalam urusan politik, sosial, budaya dan ekonomi di Asia Afrika. Resolusi yang telah dihasilkan Konperensi New Delhi tersebut, kemudian diajukan kepada Dewan Keamanan PBB yang ternyata dapat diterima oleh pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa.Konperensi New Delhi tersebut jelas telah menguntungkan pihak Indonesia, dimana bunyi resolusi itu sangat memberikan dorongan pada perjuangan rakyat Indonesia, meskipun Resolusi New Delhi itu tidak sekuat Resolusi Dewan Keamanan PBB. Sebagaimana penjelasan DR.A.H. Nasution bahwa Resolusi tersebut mengandung pasal-pasal sebagai berikut:

1. Dibebaskannya dengan segera semua tawanan-tawanan politik;2. Kemerdekaan sepenuhnya bagi semua pembesar-pembesar pemerintah Republik;3. Dikembalikan semua daerah-daerah di Jawa Sumatera, Madura yang sejak tanggal 18 Desember diduduki oleh Belanda, kepada Republik;4. Dihapuskannya blokade ekonomi Belanda;5. Pembentukan pemerintah interim Indonesia pada tanggal 1 Maret 1949;6. Pemilihan untuk badan pembentuk UUD pada tanggal 1 Oktober 1949. (Nasution, 1983: 133)

Selain Konperensi New Delhi yang menghasilkan Resolusi sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, sikap lain yang dilakukan bangsa-bangsa Asia dalam penyampaian rasa solidaritas terhadap Indonesia akibat peristiwa Agresi Militer Belanda II dinyatakan pula dalam bentuk lain. Pemerintah-pemerintah Birma, India, Srilangka, Pakistan, Arab Saudi memutuskan, bahwa Pemerintahan Belanda untuk selanjutnya kelak dikemudian hari tidak boleh mempergunakan rute-rute darat, laut, dan udara melalui wilayah mereka masing-masing. Dengan ditiadakannya rute udara melalui Pakistan, India, Srilangka, merupakan pukulan besar bagi Pemerintah Belanda, karena hubungan udara dari bandara Amsterdam Jakarta dipersulit. Terpaksa perusahaan penerbangan Belanda harus mendapatkan rute lain. (Agung, 1985: 200)

2.2.4 Resolusi Dewan Keamanan PBBSebagaimana penulis kemukakan pada bagian terdahulu, bahwa reaksi akibat peristiwa Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948, bukan saja dari pihak Asia tapi juga dari negara-negara Barat, seperti Negara Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat menugaskan kepada pemimpin delegasi tetap AS pada PBB yang bernama Yesup, untuk mengajukan soal Indonesia pada sidang Dewan Keamanan PBB. Inisiatif Amerika Serikat seperti di atas tadi, mendapat dukungan dari pihak Australia (Agung, 1985: 207). Selain adanya reaksi dari negara-negara Asia dan Barat, pihak PBB pun tidak tinggal diam. PBB yang sedang bersidang di Paris, dapat mengetahui kejadian itu melalui berita surat kabar, sehingga Komisi Tiga Negara yang ada di Indonesia diminta supaya mengirimkan laporannya kepada Dewan Keamanan PBB. Laporan mengenai peristiwa Agresi militer Belanda II tersebut, segera dikawatkan ke Paris. Laporan itu ditandatangani oleh Wakil AS Merle Cochran dan wakil anggota Australia T. W. Cutts, karena anggota-anggota lainnya sedang berada di Kaliurang. Adapun mengenai isi laporan yang dikawatkan itu, jelas menyalahkan pihak Belanda. Diantaranya dilaporkan bahwa pihak Belanda telah melancarkan aksi militer dan telah melanggar Persetujuan Renville.Dari pihak Indonesia sendiri mengenai Agresi Militer Belanda II ini telah mengutus suatu delegasi dibawah pimpinan Palar. Mereka diberi kuasa untuk mewakili RI di Dewan Keamanan PBB dalam perdebatan nanti mengenai soal Indonesia Belanda. (Sardjono, 1982: 90)Pada tanggal 24 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB segera mengadakan sidang. Adapun secara lengkapnya, sidang mengenai masalah Indonesia Belanda itu, sebetulnya berlangsung sejak tanggal 22 Desember 1948 hingga tanggal 28 Januari 1949. (Kartodirdjo, 1975: 62)Dalam sidang tersebut hampir semua anggota, juga utusan negara-negara Asia diperkenankan menghadiri sidang sebagai pihak yang berkepentingan. Meskipun tidak mempunyai hak suara, tapi mereka menyatakan mencela aksi militer tersebut, dan mereka mencela dengan keras permusuhan-permusuhan yang terjadi. Putaran pertama sidang itu, Van Royen mendapat kesempatan pertama untuk menerangkan tujuan aksi militer atas nama Pemerintah Belanda. Ia menerangkan bahwa politik Belanda mengenai Indonesia bertujuan untuk memulihkan tata tertib dan ketentraman dalam proses pembentukan RIS yang merdeka, sebagai sekutu yang sederajat dalam Uni Belanda Indonesia. Bahwa asas-asas politik persetujuan Linggarjati dan persetujuan Renville harus dipatuhi. Tapi karena unsur-unsur yang tidak bertanggungjawab berhasil menghalang-halangi perwujudan politik ini, sehingga RIS tidak terwujud. Selain itu juga karena sering terjadi pelanggaran gencatan senjata dan penyusupan-penyusupan sehingga tata tertib dan ketentraman diganggu oleh para pengikut RI yang bersenjata. Janji-janji yang telah dibuat tidak disepakati. Karena situasi yang tidak tertahankan itu maka pemerintah Belanda mengambil keputusan untuk melakukan aksi militer di Jawa dan di Sumatera. (Agung, 1985: 208)Dari pihak Indonesia, Palar juga menyampaikan pidatonya pada hari yang sama. Ia menuduh Pemerintah Belanda dengan menyatakan bahwa aksi militer itu merupakan bagian suatu politik yang mencakup segala-galanya yang bertujuan untuk membinasakan Republik. Untuk melemahkan RI, pertama-tama Belanda mengadakan pengepungan ekonomi, selanjutnya dengan tanpa diketahui KTN, Belanda dengan diam-diam mengadakan perundingan-perundingan dengan pemerintah-pemerintah negara bagian, untuk membentuk Pemerintah Federal sementara, tanpa mengikut sertakan Republik. Politik tersebut sangat mencekik Republik, dan kini disusul dengan aksi militer yang harus mengawali pembubaran Republik secara politik. Menurut Palar bahwa sepak terjang Belanda tersebut merupakan ancaman bagi perdamaian di Asia Tenggara, dan bagian dunia. Karena itu ia mendesak kepada Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan permusuhan segera mungkin. Agar Belanda ditarik kembali ke tempat-tempat kedudukan semula digaris demarkasi, dan agar para pembesar pemerintah yang ditawan dibebaskan.Selain itu juga Palar menyampaikan sebagaimana kawat dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera dihadapan sidang yang isinya antara lain:1. Pembebasan tahanan politik,2. Penarikan tentara Belanda sampai ke kedudukan pada tanggal 18 Desember 1948,3. Pengakuan de facto atas Sumatera, Jawa, dan Madura4. Pembentukan pemerintah yang merdeka dan demokrasi tanpa perantaraan Belanda.5. Penarikan tentara Belanda selekas-lekasnya dari Indonesia. (Mulyana, 1969: 286)Tuntutan Syafrudin Prawiranegara yang disampaikan lewat Palar ini lebih banyak dari tuntutan Amerika yang ditolak oleh Dewan Keamanan. Amerika banyak memihak Republik karena Amerika melihat bahwa Republik Indonesia mampu menumpas pemberontakan PKI Madiun. Hal ini dapat meyakinkan Amerika bahwa Republik Indonesia tidak belok ke Komunis.Pada tanggal 2,1 Januari 1949 sebuah usul Resolusi bersama yang diajukan pada Dewan Keamanan PBB oleh Cina, Cuba, Norwegia, dan Amerika Serikat, selama lima hari usul itu diperdebatkan dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Selama pembicaraan tersebut juga usul Resolusi Konperensi New Delhi dipelajari oleh anggota-anggota dewan. Usul Resolusi yang dimajukan oleh empat negara itu dinamakan Omnibus Proposal karena sifat lengkapnya memuat pokok-pokok seperti tersebut di bawah ini sebagimana penjelasan Mohamad Roem yang bunyinya sebagai berikut:Ia menyerukan kepada Nederland agar segera menghentikan semua operasi militernya, dan kepada republik untuk memerintahkan kepada pengikutnya untuk menghentikan perang gerilya.Tahanan Republik harus dibebaskan "segera dan tanpa syarat" dan dibolehkan "kembali sekaligus ke Yogyakarta ....... agar mereka dapat menja lankan tugasnya dalam kebebasan penuh, termasuk pemerintahan kota Yogyakarta."Perundingan agar diselenggarakan secepat mungkin" oleh Nederland dan Republik "dengan bantuan" Komisi PBB untuk Indonesia (United Nation Commission for Indonesia) berdasarkan pokok-po-kok yang terdapat dalam persetujuan Linggarjati dan Renville, khususnya berkenaan dengan:1. Pemerintah peralihan akan dibentuk sebelum tanggal 15 Maret 1949.2. Pemilihan Konstituante akan diselesaikan pada tanggal 1 Oktober 1949.3. Penyerahan kedaulatan kepada Indonesia Serikat tidak lewat dari tanggal 1 Juli 1950.Panitia jasa-jasa baik (Commttee of Qood Offices) selanjutnya akan disebut komisi PBB untuk Indonesia (United Nation's Commission for Indonesia) yang akan "bertindak sebagai wakil Dewan Keamanan", dan dengan dasar suara terbanyak:1. Dalam membantu kedua pihak dalam perundingan, Komisi diberi wewenang memajukan usul-usul kepada kedua belah pihak dan kepada Dewan Keamanan, yang berada dalam wewenangnya.2. Ia dapat mengadakan konsultasi dengan kaum federalis, yang dapat "diizinkan ikut serta" dalam perundingan.3. Ia (atau perwakilan lain dari PBB) diberi wewenang untuk mengawasi pemilihan umum di seluruh Indonesia dan untuk memajukan usul-usul untuk menjamin., bahwa pemilihan umum itu bebas dan demokratis dan bahwa kebebasan berserikat, berbicara dan penerbitan dijamin.4. Ia akan memajukan usul-usul sampai sejauh mana daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik menurut Persetujuan Renville "harus dikembalikan secara berangsur-angsur kepada kekuasaan Pemerintah Republik", dan ia akan mengawasi penyerahan itu.Sebagai tambahan, ia akan mengusulkan "berapa jika perlu, dari pasukan Belanda akan dipertahankan di suatu daerah untuk sementara dengan maksud membantu memelihara ketertiban hukum". Jika satu pihak tidak menerima usul-usul dimaksud di atas, maka Komisi Negara akan melaporkan hal itu kepada Dewan disertai usul-usul selanjutnya bagi mengatasi kesulitan. (Roem, 1977: 33)

Demikianlah usul resolusi dari empat negara yang diperdebatkan selama lima hari itu. Sidang Dewan Keamanan PBB yang terjadi mulai ,tanggal 22 Desember hingga tanggal 28 Januari 1949 yang dilaksanakan di Paris itu cukup seru juga. Dimana pada tanggal 28 Januari 1949, pada hari usul itu akan diambil suara, Van Royen mengajukan keberatan-keberatan yang fundamentil, Van Royen menolak usul itu dengan alasan "Kami harus mengorbankan yang belum diminta dari anggota-anggota dewan sebelumnya ( Roem, 1977: 33)Tapi meskipun cukup seru, akhirnya pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan PBB mengeluarkan sebuah Resolusi. Adapun Resolusi Dewan Keamanan PBB sebagaimana penjelasan Sudharmono. SB sebagai berikut:1. Penghentian semua operasi militer dengan segera oleh Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya oleh republik; kedua pihak harus bekerja bersama untuk mengadakan perdamaian kembali.2. Pembebasan dengan segera dengan tidak bersyarat semua tahanan politik di dalam daerah Republik oleh Belanda sejak tanggal 19 Desember 1948.3. Belanda harus memberikan kesempatan kepada pembesar-pembesar pemerintah Republik untuk kembali ke Yoryakarta dengan segera agar mereka dapat melaksanakan Pasal 1 tersebut di atas dan supaya pembesar-pembesar Republik itu dapat melakukan kewajiban mereka dengan bebas; pada tingkat yang pertama pemerintahan di dalam kota Yogyakarta dan daerah sekelilingnya, sedangkan kekuasaan Republik di daerah-daerah Republik menurut batas-batas persetujuan Renville dikembalikan dengan berangsur-angsur kepada Republik.4. Perundingan-perundingan akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan dasar persetujuan Linggarjati, Persetujuan Renville, dan terutama berdasarkan-berdasarkan pembentukan suatu Pemerintahan interim Federal paling lambat pada tanggal 15 Maret 1949; pemilihan untuk Dewan pembuat Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada tanggal 1 Juni 1949.5. Mulai sekarang Komisi Jasa-jasa Baik (Komisi Tiga Negara) ditukar namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Indonesia (United Nation Commission for Indonesia atau UNCI) dan tugasnya adalah membantu melancarkan perundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan Republik untuk mengamat-amati pemilihan dan berhak memajukan usul-usul mengenai berbagai-bagai hal yang dapat membantu tercapainya penyelesaian. (Agung, 1985: 220)

Dengan keluarnya Resolusi PBB tersebut, Palar sebagai utusan Pemerintah Indonesia merasa puas, sebab asas-asasnya sesuai dengan pendirian Republik yang telah dikemukakan Palar kepada Dewan Keamanan PBB. Dengan diterimanya Resolusi Dewan Keamanan PBB itu, maka Resolusi tersebut merupakan sebuah batu tonggak di dalam perkembangan selanjutnya mengenai persoalan Indonesia.

47BAB IIIPENGARUH PERANG KIMERDEKAAN II

Perang Kemerdekaan II yang terjadi akibat Agresi Millter Belanda II tanggal 19 Desember 1948, ternyata telah membuntukan Belanda dalam menghancurkan dan meniadakan Republik Indonesia hasil Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Kaum Kolonialis Belanda telah gagal dalam melaksanakan praktek kekerasan senjata, mereka tidak maMpu menghadapi perlawanan rakyat semesta di bawah bimbingan TNI. Terpaksa Belanda mencari jalan lain yaitu membuka kembali perundingan dengan Pemerintah Indonesia, setelah perbuatannya dikecam dunia internasional umumnya dan bangsa Asia Afrika pada khususnya.Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, maka uluran tangan Belanda untuk mengajak berunding kita terima. Dengan diawali oleh persetujuan Roem-Royen, ternyata akhirnya kita dapat menyelesaikan persoalan-persoalan pelik akibat Agresi Militer Belanda II dengan cukup berhasil.

3.1 Persetujuan Roem- YoyenPada bulan-bulan pertama setelah terjadinya Agresi Militer Belanda II, Belanda raengadakan pendekatan-pendekatan politik. Perdana Menteri Belanda Dr. Drees mengundang Prof.DR. Supomo salah seorang anggota Delegasi RI dalam perundingan lanjutan Renville untuk berunding. Undangan tersebut diterima oleh Indonesia dan merupakan pertemuan pertama setelah terjadinya Agresi Militer Belanda II. (Kartodirdjo, 1975: 63).Untuk menutupi kekalahannya dalam perdebatan internasional, pihak Belanda mengadakan kontra usul sebagai usaha untuk melepaskan diri dari pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan. Pemerintah Belanda mengirimkan undangan kepada Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk menghadiri KMB yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Maret 1949 di Negeri Belanda. Adapun maksud dari Konperensi tersebut adalah untuk menyerahkan kedaulatan Indonesia selekas-lekasnya kepada suatu pemerintah pederal yang dianggap mewakili Indonesia. Dalam KMB tersebut akan dibahas Uni Indonesia Belanda dan peraturan peralihan sampai saat penyerahan. Komisi Perserkatan Bangsa Bangsa diminta agar memberikan jasa baiknya untuk pelaksanaan cita-cita tersebut. Untuk memenuhi Resolusi Dewan Keamanan, para pemimpin yang ditawan akan dibebaskan. (Mulyana, 1969: 288)Bersamaan itu juga pemerintah Belanda mengutus Dr. Koets sebagai wakil tinggi Mahkota Belanda untuk me-nemui Bung Karno bersama para pembesar lainnya yang se-dang ditawan di Bangka. Dr. Koets pergi ke Bangka pada tanggal 28 Pebruari 1949 kedatangannya untuk menjelaskan maksud Pemerintah Belanda mengundang Bung Karno untuk menghadiri KMB di Den Haag. Isi penjelasan yang disampaikan kepada Bung Karno, menurut penjelasan Kolonel Nugroho Notosusanto adalah sebagai berikut:1. Pemerintah Belanda akan mengadakan KMB di Den Haag guna membahas "Penyerahan" kedaulatan dipercepat.2. Penarikan pasukan-pasukan Belanda secepat-cepatnya setelah Penyerahan kedaulatan.3. Tentang pengembalian Pemerintah RI ke Yogya, dinyatakan bahwa hal itu mungkin dilaksanakan (Notosusanto, 1985: 36)Sebelum hal itu terjadi, pada tanggal 21 Januari 1949 terjadi pertemuan antara delegasi BPO yang terdiri dari Mr. Djumhana serta Dr. Ateng dengan Presiden Sukarno dan wakil Presiden Moh. Hatta. Menurut Moh. Hatta, bahwa perundingan dapat saja dimulai dengan syarat dikembalikannya pemerintah RI ke Yogyakarta dan pemunduran pasukan Belanda dari wilayah RI sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan. Keinginan Moh. Hatta itu akhirnya disetujui dan didukung oleh BFO. (Kartodirjo, 1975: 64)Pada perinsipnya Presiden Sukarno yang masih ada dalam tawanan di Banggka itu menerima undangan tersebut, tetapi undangan itu hanya bersifat perorangan dan bukan sebagai Kepala Negara RI. Yang menjabat Kepala Pemerintah Darurat RI adalah Syatfrudin Prawiranegara, maka menurut Bung Karno segala kekuasaan mengenai Negara ada di tangannya. Dalam urusan kenegaraan Sukarno dan Syafrudin Prawiranegara selalu mengadakan kunjungan untuk menghindari segala kemungkian kesulitan dimasa depan. Syafrudin Prawiranegara cukup menunjukkan kesetiaannya kepada Presiden Sukarno, sehingga beliau selalu berpendapat sama dengan Bung Karno, bahwa untuk ikut serta dalam perundingan Meja Bundar itu harus didahului oleh Pembebasan tanpa syarat para pembesar RI yang di tawan di Bangka dan pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta, sesuai dengan bunyi resolusi Dewan Keamanan PBB. (Mulyana, 1969: 288)Pada tanggal 3 Maret 1949 Presiden Sukarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung BFO, dan beliau menegaskan tentang perlunya kedudukan Pemerintah RI di pulihkan sebagai syarat dilangsungkannya perundingan yang selaras dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 4 Maret 1949, Presiden Sukarno membalas undangan Wakil Tinggi Mahkota Belanda yang berisi penolakan menghadiri KMB, kecuali dengan syarat sebagai berikut:1. pengembalian kekuasaan RI adalah syarat mutlak untuk memulai perundingan.2. kedudukan dan kewajiban komisi PBB untuk Indonesia dalam membantu pelaksanaan resolusi PBB tidak tergang. (Kartodirjo, 1975: 65).

Jawaban Presiden tersebut mendorong pemerintah Belanda menunda pelaksanaan KMB, serta meninjau kembali tentang penolakan kembalinya Pemerintah Republik di Yogyakarta. Dari BFO juga dikeluarkan pernyataan yang berisi:1. Supaya Pemerintiahan RI dikembalikan ke Yogyakarta. Korftisi PBB untuk Indonesia agar membantu raelaksanakan Resolusi.2. RI memerintahkan gencatan senjata. (Notosusanto, 1986: 36)

Dari pihak Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 23 Ma ret 1949 PBB mengirimkan kawat kepada Pemerintah Belanda, yang menyatakan bahwa Komisi PBB untuk Indonesia telah bekerja sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949. Menurut Dewan Keamanan PBB bahwa hal tersebut tidak merugikan kedua belah pihak. Komisi PBB. akan memberikan bantuan tentang tercapainya persetujuan sebagai pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari paragraf 1 dan 2 yakni penghentian aksi Militer oleh Belanda dan pengembalian Pemimpin RI ke Yogyakarta. Selain itu juga Dewan Keamanan PBB menetapkan tanggal dan waktu untuk mengadakan KBS di Den Haag dan agar diselenggarakan selekasnya. (Notosusanto, 1986: 65)Dewan Keamanan PBB pada bulan Maret 1949 telah mengadakan Sidang, dan atas usul Kanada bahwa Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa mempunyai kewajiban membantu kedua belah pihak untuk mencapai persetujuan dalam usaha melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949. Berdasarkan keputusan tersebut di atas, maka segera diadakan undangan untuk pembicaraan pendahuluan di bawah pengawasan Dewan Keamanan PBB melalui Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa. Adapun bunyi surat tersebut menurut penjelasan Prof. DR. Slamet Mulyana adalah sebagai berikut adalah:1. Menerima baik undangan tersebut, pertemuan di-adakan di Jakarta dibawah Pengawasan Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa.2. Karena pihak Belanda belum menyatakan kesediaannya untuk mengendalikan pemerintah Republik di Yogyakarta, mungkin penerimaan baik itu akan menimbulkan salah faham pada pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dan di luar Indonesia serta dikalangan rakyat.3. Oleh karena itu akan mempersulit penyelesaian pertikaian, turut sertanya dalam pembicaraan bersifat terbatas.4. Pada tanggal 19 Desember 1948 kekuasaan Republik telah diserahkan kepada Pemerintah Darurat di Sumatera yang harus bertindak atas nama Pemerintah Republik sampai saat Pemerintah Republik merdeka untuk berkumpul lagi, Sebagaimana tersebut dalam laporan Komisi kepada Dewan Keamanan tanggal 1 Maret dan seperti pula ditegaskan oleh sejumlah pembicara dalam Dewan Keamanan, pengembalian Republik adalah syarat penting untuk dapat mengadakan pembicaraan yang akan berhasil, karena hanya dengan demikian Pemerintah Republik dapat memutuskan sesuatu secara Merdeka, lepas dari suatu tekanan,5. Oleh karena itu pembicaraan pada permulaan hanya mengenai pengembalian Pemerintah Republik ke Yogya sampai ke-detail 2 yang praktis.6. Untuk memperoleh keterangan-keterangan sebagai bahan perundingan diperlukan bantuan Sri Sultan Hamengkubowono IX. (Mulyana, 1969: 290)

Dengan adanya surat dari Roem maka Dewan Keamanan memberikan petunjuk baik kepada Republik maupun kepada Belanda. Sesudah adanya pendekatan politis antara pihak Republik Indonesia dan Belanda, maka pada tanggal 14 April 1949 atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia diadakan perundingan antara RI-Belanda. Perundingan tersebut dilakukan di Hotel Des Indes Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran. Delegasi Republik dipimpin oleh Mr. Moh. Roem sebagai ketua Mr. Ali Sastroamidjoyo sebagai wakil ketua, dan anggotanya ialah: Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Mr. Dr. Supomo, Mr. Latuhaihary disertai 5 penasihat. Dari Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. T. H. Van Royen dengan anggota-anggotanya; Mr. U. S. Blom, Mr. A. S. Jacob, Dr. J. J. Van der Velde dan empat orang penasihat. (Notosusanto, 1986: 37)Pada kesempatan ini Merle Cochram, yang memimpin perundingan berpidato dengan singkat tentang gambaran tujuan Konperensi dan tugas yang harus dilaksanakan oleh Komisi dalam Konperensi tersebut. Beliau mengingatkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan bahwa pertama-tama harus tercapai persetujuan mengenai paragraf 1 dan 2 Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949, juga setelah itu harus dirundingkan mengenai syarat-syarat dan tanggal KMB yang akan dilaksanakan di Denhag (Agung, 1985: 268)Selanjutnya ketua Delegasi Belanda, Pam-Royen berpidato. Adapun isi pidatonya sebagaimana yang diutarakan oleh Ide Agung Anak Agung adalah berbunyi sebagai berikut:1. Pemerintah Belanda telah menerima undangan komisi untuk Konperensi persiapan ini tanpa syarat .2. Pemerintah Belanda bersedia menempatkan soal kembalinya Pemerintah Republik ke Yogya sebagai pasal pertama acara yang akan dibicarakan dengan syarat bahwa hasil-hasil perundingan ini hanya akan mengikat seandainya tercapai kata sepakat mengenai kedua pokok acara, yakni soal penghentian permusuhan dan pemiilihan ketertiban dan ketentraman, serta syarat-syarat dan tanggal untuk mengadakan Konperensi Meja Bundar di Den Haag.3. Kembali kepada usul Belanda mengenai penyerah-xan kedaulatan yang dipercepat, Pan-Royen me-ngatakan, bahwa ini akan bersifiat tanpa sarat nyata dan lengkap, sedangkan Uni-Indonesia-Belanda tak lean menjadi Paramanagara (Super State) melainkan hanya merupakan suatu bentuk kerja sama antara negara-negara yang berdaulat, Indonesia dan Belanda atas dasar persamaan dan kesukarelaan sepenuhnya. (Agung, 1985: 269)

Setelah itu, kemudian ketua delegasi dari Indonesiapun berpidato pula. Adapun bunyi pidato daro Mr.Moh. Roem adalah sebagai berikut:1. Pemerintah Republik dengan menyesal harus menyatakan bahwa aksi militer Belanda yang ke II, telah menggoyahkan kepercayaan pada itikad baik Pemerintah Belanda, reaksi negatif ini tidak saja terlihat di dalam Republik, melainkan terlihat pula di luar Republik, seperti telah ternyata diletakkannya jabatan oleh Pemerintah Indonesia Timur dan Pemerintah Pasundan serta dari Resolusi badan-badan Perwakilan Madura, Jawa Timur dan lain-lain yang menyalahkan tindak tanduk Militer itu. Tambahan pula terdapat pula reaksi keras dari luar negeri, yakni Konperensi New Delhi yang oleh negara-negara Asia Selatan dan Tenggara.2. Pemerintah Republik tidak berpendatat, bahwa pokok-pokok hal yang disebut dalam intruksi Dewan Keamanan tanggal 23 Maret sebagai pokok-pokok untuk dibicaraltan dalam Konperensi ini, merupakan kesatuan utuh. Harus dibicaraltan terlebih dahulu tentang kembalinya pemerintah Republik ke Yogya. Setelah tercapainya kata sepakat tentang hal ini, maka mudahlah untuk membicarakan pokok-pokok hal yang lain untuk suatu pemecahan menyeluruh. Keputusan-keputusan yang hakiki kemudian akan diambil oleh pemerintah Republik di Yogya. Pemerintah Republik dengan tulus mengharap agar, bila tercapai kata sepakat tentang kembalinya Pemerintah Republik, jalan akan terbuka untuk mengadakan perundingan-perundingan mendasar dan kepercayaan yang tergoyah akan dipulihkan. (Agung, 1985: 30)

Setelah perundingan pertama, ternyata jalannya perundingan sangat lamban, karena masing-masing pihak berpegang pada pendiriannya. Perundingan hampir mengalami jalan buntu, untunglah pada tanggal 24 April Drs. Moh. Hatta datang ke Jakarta. Akhirnya pihak Republik menempuh cara lain, yakni megadakan pertemuan informal dan langsung dengan pihak Belanda yang disaksikan oleh Merle Cochram. Pada tanggal 25 April 1949 diadakan pertemuan antara Drs. Moh. Hatta dengan ketua delegasi Belanda Dr. Pan-Royen dan hasilnya tidak diumumkan. Perundingan semacam itu juga dilakukan oleh Ketua Delegasi RI dengan Ketua Delegasi Belanda sebanyak 2 kali yakni tanggal 28 April dan 4, 5 Mei 1949. (Kartodirjo, dkk., 1975: 66)Berkat kerja keras dari UNCI, akhirnya pada tanggal 6 Mei 1949 mulailah tampak tahap terakhir perundingan Roem Royen. Dan akhirnya tercapailah persetujuan yang kemudian terkenal dengan persetujuan Roen-Royem. Adapun isi dari perundingan Roen-Royen sebagaimana dikemukakan Drs. Sardjono dkk adalah sebagai berikut:

1. Statemen Delegasi Republik Indonesia (Diucapkan oleh Mr. Roem)Sebagai ketua delegasi Republik saya diberi kuasa oleh Presiden Sukarno dan wakil Presiden Moh. Hatta, untuk menyatakan kesanggupan mereka sendiri, sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 28 Janua-ri 1949 untuk memudahkan tercapainya:a. Pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.b. Kerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.c. Turut serta dalam Konperensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengjkap kepada negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.2. Statement Delegasi Belanda (Diucapkan oleh Ban-Royen)a. Delegasi Belanda diberi kuasa menyatakan bahwa, berhubung dengan kesanggupan yang baru saja diucapkan oleh Mr. Moh. Roem ia menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.Delegasi Belanda selanjutnya menyetujui pembentukan satu panitia bersama atau di bawah perlindungan UNCI dengan maksud:1) Mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.2) Mempelajari dan memberi nasihat tentang tindakan-tindakan yang diambil untuk melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerja sa-ma dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.b. Pemerintah Belanda setuju bahwa Pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melakukan jabatannya yang sepatutnya dalam satu daerah yang meliputi Kepresidenan Yogyakarta dan bahwa ini adalah satu langkah yang dilakukan sesuai dengan maksud prtunjuk Dewan Keamanan tanggal 23 Maret 1949.c. Pemerintah Belanda menguatkan sekali lagi kesanggupannya untuk menjamin penghentian segera dari pada semua gerakan-gerakan militer dan membebaskan dengan segera dan tidak bersyarat semua tahanan politik yang ditangkap sejak 19 Desember 1948 dalam Republik Indonesia.d. Dengan tidak mengurangi hak bagian-bagian bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai yang diakui dalam azas-azas Linggarjati dan Renville. Pemerintah Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara atau daerah-daerah di atas yang dikuasai oleh Republik sebelumnya tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan daerah Republik Indonesia tersebut.e. Pemerintah Belanda menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai staat yang nanti akan duduk dalam negara Indonesia Serikat. Apabila suatu badan perwakilan sementara untuk Indonesia dibentuk dan karena itu perlu ditetapkan jumlah perwakilan Republik dalam badan tersebut, jurnlah itu ialah separoh dari pada jumlah anggota-anggota semua di luar anggota-anggota Republik.f. Sesuai dengan maksud dalam petunjuk Dewan Keamanan tanggal 23 Maret 1949 yang mengenai Konperensi Meja Bundar di Den Haag supaya perundingan-perundingan yang dimaksud oleh resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949 dapat diadakan selekas-lekasnya, maka Pemerintah Belanda akan berusaha sesungguhnya agar Konperensi itu segera diadakan sesudah Pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta. Pada Konperensi itu perundingan akan diadakan tentang cara bagaimana mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat sesuai dengan azas-azas Renville.g. Berhubung dengan keperluan kerja sama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan Pemerintah Belanda setuju bahwa dalam segala daerah di luar keresidenan Yogyakarta dimana pegawai Sipil, Polisi dan pegawai Pemerintah Indonesia (Pemerintah Belanda di Indonesia) lainnya sekarang tidak bekerja maka pegawai Sipil, Polisi dan pegawai Republik Indonesia lainnya masih terus bekerja, akan tetiapi dalam jabatan mereka. Dengan sendirinya pembesar-pembesar Belanda membantu pemerintah Republik dalam hal keperluan-keperluan yang dikehendaki menurut pertimbangan yang pantas untuk perhubungan dan Konsultasi dengan segala orang Indonesia terhitung juga mereka yang bekerja dalam jabatan Sipil dan Militer Republik, dan detail-detail teknik akan diselenggarakan oleh kedua belah pihak di bawah pengawasan UNCI. (Sardjono, dkk., 1982: 95)

Demikianlah isi dari perundingan Roem-Royen sebagai hasil perjuangan para Delegasi Republik, yang telah membawa Republik ke ambang pintu yang setarap dengan negara-negara merdeka lainnya di dunia. Dengan disepakatinya prinsip-prinsip Roem-Royen tersebut, Pemerintah Darurat RI di Sumatera memerintahkan kepada Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari pihak Belanda. (Notosusanto, 1986: 159)

3.2 Konferensi Antar IndonesiaSetelah adanya pernyataan Roem-Royen, maka diadakan persiapan-persiapan untuk kembalinya Pemerintah Republik ke Yogyakarta dan mengambil tindakan-tindakan untuk menghentikan permusuhan-permusuhan. Persiapan-persia pan itu suduh sedemikian maju hingga Pemerintah Belanda memberikan perintah-perintah kepada pasukannya untuk mengosongkan Keresidenan Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 1949.Pada tanggal 6 Juli 1949 Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta tiba di Yogyakarta dari tempat pengasingannya di Bangka (Mulyana, 1969: 258). Setelah para Pemim-pin Republik berkumpul kembali di Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diadakanlah Sidang Kabinet yang perta-ma. Pada kesempatan tersebut Mr. Spaf-rudin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden yaitu Moh. Hatta. Dan dalam Sidang Kabinet itu, diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Pertahanan Koordinator Keamanan. (Notosusanto: 1985: 43)Sejak timbul Perang Kemerdekaan II tanggal 19 Desember 1948, kehidupan politik di Yogyakarta telah beralih ke Wilayah di luar Republik. Komosi BFO sibuk meng-adakan pertemuan-pertemuan raembahas penetapan Pemerintah Belanda dalam hal pembentukan Pemerintah Federal Nasio-nal untuk seluruh Indonesia dalam mass peralihan sebelum terbentuk Indonesia Serikat. Komisi BFO tersebut telah mengadakan hubungan dengan para pemimpin Indonesia yang ditahan di Prapat maupun di Bangka.Sejak tanggal 6 Juli 1949 dimana para Pemimpin Republik Indonesia telah dikembalikan, maka diadakan kem-bali perundingan-perundingan antara pemimpin BFO dan pemimpin Republik mengenai pembentukan sementar^ Negara Indonesia Serikat. Dan pada tanggal 16 Juli 1949 BFO menerima baik usul Presiden Sukarno untuk melakukan Konperensi antar Indonesia, demi pembentukan Pemerintah sementara dalam masa peralihan. Perundingan diadakan dua kali, perundingan pertama di Yogyakarta pada tanggal 19 s.d. 22 Juli 1949 dan yang lcedua berlangsung di Jakarta sejak tanggal 31 Juli 1949. (Mulyana, 1969: 297)Adapun isi pertemuan pertana yang dilakukan di kota perjuangan tersebut adalah tentang pertahanan. Konperensi antar Indonesia itu merupakan Konperensi pendahuluan sebelum dilangsungkannya Konperensi Meja Bundar. Adapun tujuan Konperensi antar Indonesia ini adalah untuk mengadakan 11 Dialog Indonesia" antar para pemimpin Republik dan para Kepala Pemerintah daerah-daerah yang bekerja sama dalah hubungan pertemuan musyawarah Federal agar tercapai kata sepakat tentang persoalan-persoalan yang sangat mendasar yang akan dibicarakan dalam KMB yang akan datang. Dengan cara ini maka pasal-pasal sengketa yang mungkin ada dapat dibicarakan dahulu antara Republik dengan pertemuan musyawarah Federal. Adapun tujuan Konperensi antar Indonesia menurut Anak A-gung Gde Agung adalah sebagai berikut:1. Menghubungkan Pemerintah-pemerintah, seandainya kasus ini timbul (casu quo) tata pra-ja daerah-daerah yang terorganisasi secara ketata negaraan di luar Republik, yang bekerja sama di dalam pertemuan musyawarah Federal dengan Pemerintah Republik, agar tercapai kerja sama antara Indonesia secara umura mengenai perkembangan politik selanjutnya, terutama pembicaraan pada KMB.2. Membicarakan garis-garis pokok tata negara se-mentara RIS, agar setelah KMB, Pemerintah Indonesia pertama akan disusun, dan Pemerintah itulah yang akan mengambil alih kedaulatan Indonesia.3. Melakukan musyawarah-musyawarah tentang ke-mungkinan menyusun pemerintah Indonesia yang akan datang. (Agung, 1985: 284)

Menurut kutipan di atas jelaslah, bahwa tujuan diadakannya Konperensi antar Indonesia itu adalah untuk mengadakan "Dialog Indonesia" seperti dijelaskan penulis pada bagian di atasDengan berjalannya Konperensi antar Indonesia antara BFO dengan Republik Indonesia hal ini memperlihat-kan bahwa politik devide et impera Belanda dalam memi-sah-misahkan daerah-daerah di luar Indonesia akhirnya mengalami kegagalan Pada Konperensi antar Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta itu dapat dihasilkan mengenai bentuk dan hal-hal yang tertalian dengan ketatamegaraan Indonesia Serikat (Kartodirdjo, 1975: 70). Adapun isi Konperensi antar Indonesia tersebut untuk. lebih jelasnya penulis paparkan sebagaimana penjelasan Sartono Kartodirdjo dkk sebagai berikut:1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan na-ma Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasar-kan demokrasi dan Federalisme.2. RIS akan dikepalai seorang Presiden dibantu oleh Menteri-menteri yang bertanggungjawab kepada Presiden.3. Akan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Semen-tara Di bidang Militer juga telah tercapai persetujuan:1. Angkatan Perang RIS adalah Angkatan Perang Nasional. Presiden RIS adalah Panglima ter-tinggi Angkatan Perang.2. Pembentukan Angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia. Angkatan Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan inti Angkatan Perang RI (TNI), bersama-sama dengan bangsa Indonesia yang ada dalam KNIL, ML, KM, VB dan Territoriale Bataljons.3. Bada permulaan RIS,' Menteri Pertahanan dapat merangkap sebagai Panglima Besar APRIS. (Kartodirdjo, 1975: 71)

Melihat kutipan di atas, maka jelaslah sekarang, bahwa antara Republik dengan BFO terjalin saatu kerja sama yang menggambarkan kesatuan pendapat dalam hal me-nentukan nasib Indonesia dimasa yang akan datang. Konperensi antar Indonesia dilanjutkan kembali di Jakarta pada tanggal 30 Juli 1949 yang dipimpin oleh Mohamad Hatta yang membahas masalah pokok-pokok persetujuan yang telah diambil di Yogyakarta. Kedua pihak setuju untuk membentuk panitia persiapan nasional yang bertugas menyelenggarakan suasana tertib sebelum dan sesudah Konperensi Meja Bundar. (Notosusanto, 1985: 43)Pada pembukaan ditandaskail bahwa Indonesia hanya akan dapat mempertahankan diri atas dasar-dasar demokrasi dan dengan cara pemerintahan yang didukung oleh rasa tanggungjawab seluruh bangsa Indonesia. Konperensi babak ke dua ini telah membahas dasar-dasar yang telah dicapai dalam babak ke satu di Yogya dan merumuskan secara terperinci mengenai; Ketata negaraan, keuangan, perekonomian, keamanan, agama, kebudayaan, pengajaran, dan pendidikan. Telah ditetapkan bahwa bendera Republik Indonesia Serikat ialah sang Merah Putih, lagu kebangsaannya ialah lagu Indonesia Raya, dan bahasa resrainya adalah bahasa Indonesia. (Mulyana, 1985: 300)Konperensi antar Indonesia ini kalau dilihat hasilnya, pada intinya merupakan persiapan untuk mencari kata sepakat antara Republik Indonesia dengan negara-negara yang tergabung dengan BFO dalam mebghadapi Konperensi Meja Bundar.

3.3 Konferensi Meja BundarSebagaimana penulis kemukakan pada bagian terda-hulu, bahwa akibat perang kemerdekaan II yang terjadi sebagai reaksi dari Agresi Militer Belanda II itu, mernbawa pengaruh terhadap situasi politik maupun keamanan yang berlangsung di Indonesia. Selain itu juga aksi militer Belanda II tersebut mendapat reaksi dari luar negeri Indonesia. Turut campurnya Dewan Keamanan PBB dalam menyelesaikan masalah Indonesia-Belanda tersebut, membuktikan bahwa persoalan Indonesia-Belanda itu sudah menjadi persoalan dunia. Beberapa perundingan berhasil diselenggarakan, seperti halnya perundingan Roem-Royen, Konperensi anrtar Indonesia dan akhirnya terlaksana pula perundingan yang paling menentukan yaitu Konperensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag.Pada tanggal 3 Agustus 1949, Menteri Seberang Lautan Belanda yaitu Van Marseven berpidato di Majelis Rendah Belanda. Di sana ia memaparkan bahwa Konperensi pendahuluan yang dilaksanakan di Jakarta berhasil dengan baik pada tanggal 1 Agustus 1949. Tentang ketiga pasal acara Konperensi itu yakni tentang kembalinya dan di pulihkannya kekuasaan Pemerintah Republik di Yogyakarta, perintah penghentian tembak menembak untuk mengakhiri permusuhan serta persiapan-persiapan dalam menentukan waktu KMB telah tercapai kata sepakat sepenuhnya. Demikian pula tentang syarat-syarat untuk mengikuti dan melaksanakan KMB telah mencapai kata sepakat pula Dokumen-dokumen mengenai. diakhirinya permusuhan telah di sahkan oleh Pemerintah Republik dan pada tanggal 3 Agustus telah diumumkan serentak di Yogyakarta. (Agung, 1985: 287)Delegasi dari tiap-tiap negara telah bersiap-siap untuk pergi ke Den Haag. Untuk Delegasi Indonesia telah tersusun dengan baik pada tanggal 4 Agustus 1949. Delegasi Indonesia terdiri dari Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr .Mr. Supomo, Dr. Leimena, Mr. Ali Sostroamijoyo, Ir. Juanda, Dr. Sukiman, Mr. Sujono Hadinoto, Dr. Sumitro, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel Simatupang, Mr. Sumardi. (Agung, 1985: 287)Selain Kolonel Simatupang dari pihak Militer juga Komodor Surjadarma. Kolonel Subyapto dari Angkatan Laut dan Sukamto sebagai Kepala polisi Negara juga ikut menjadi Delegasi RI. (Nutosusanto, 1985: 43)Demikian juga dari pihak BFO telah terbentuk dan telah siap berangkat ke Den Haag. Ada pun wakil dari BFO adalah Sultan Hamid XI, Kolonel Sugondo, Kapten Tahya, dan Mr. Maksum Sumadipraja (Mulyana, 1969: 43)Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hfstta bertolak dari Indonesia tanggal 6 Agustus 1949. Rombongan akan singgah dulu di New Delhi karena ingin bertemu dulu dengan Perdana Menteri India Yawa Harlal Nehru yang banyak jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, baik dalam sidang Dewan Keamanan PBB maupun dalam Konperensi di New Delhi. Atas nama Pemerintah Republik Indonesia Ketua Delegasi akan menyampaikan dulu ungkapan rasa terima kasih (Agung, 1985: 289)Pada tanggal 15 Agustus 19^-9 semua perutusan telah hadir di Den Haag. Meneka diberi tempat menginap sesuai dengan Hotel-hotel yang ada yang telah dipersiapkan oleh Pemerintah Belanda. Komisi PBB untuk Indonesia pun tidak pasif, sambil menunggu pembukaan KMB maka para ketua dan Wakil Ketua Delegasi Republik, Belanda dan pertemuan musyawarah Federal telah mengadakan pembicaraan yang tidak resrai dengan ketiga Komisi PBB untuk Indonesia. Hal itu diantaranya membicarakan masalah Orga-nisasi dan Pimpinan Konperensi Meja Bundar yang akan dimulai tanggal 23 Agustus 1949.Pada tanggal 23 Agustus 1949 Konperensi Meja Bundar dimulai di Den Haag. Sidang pembukaan resmi KMB diakhiri dengan menerima baik peraturan tata tertib dan pemilihan seorang ketua, wakil ketua dan Sekretaris Jenderal Konperensi dalam KMB nanti. Adapun yang terpilih sebagai ketua adalah Perdana Menteri Drees dan untuk Sekjen KMB adalah Dr.M. Prinsen, seorang Pejabat Tinggi Kementrian dalam negeri Belanda (Agung, 1985: 292). Pada tanggal 24 Agustus Komisi Pusat mengadakan rapat untuk membentuk Komisi-komisi, diantaranya telah diputuskan untuk membentuk lima Komisi yaitu: a. Untuk urusan politik dan kontitusional; b. Untuk urusan Keuangan dan Ekonomi; c. Untuk urusan Kebudayaan; e. Untuk urusan Sosial. (Agung, 1985: 295)Akhirnya melalui perundingan yang berlarut-larut, yang ada kalanya lancar dan adakalanya seret, perundingan berjalan pula. Supaya lebih berhasil dan peleerjaan lebih efesien, Komisi urusan politik dan Kontitusional dibagi dalam tiga sub Kombisi. Sub Komisi satu membahas urusan. Konstitusi sementara RIS Kebangsaan dan kewarga negaraan serta hal untuk menentukan sendiri dan membahas mengenai soal Irian Barat dan kontrak-kontrak dengan daerah Swapraja. Sub Kombisi dua membahas dan membicarakan mengenai status Uni Indonesia Belanda dan paagam penyerahan kedaulatan, sedang sub Komisi tiga membahas hubungan-hubungan Luar Negeri dan ketentuan-ketentuan untuk pertukaran Komisi-komisi Agung.Dalam mata acara pembahasan mengenai Irian Barat rumit juga, karena Belanda tidak mau melepaskannya. Delegasi Republik dan BFO dalam hal ini tidak seia sekata, meskipun kalangan BFO diantaranya Anak Agung Gde Agung bertahan menuntut agar Irian Barat juga dilepaskan karena menjadi bagian Indonesia yang tidak terpisahkan. (Roem, 1977: 69)Masalah Irian Barat itu sebetulnya sebelum maju ke KMB juga sudah dipersoalkan. Mulai dari Konperensi Malino sampai ke Konperensi Den Pasar, sudah ada tanda-tanda dari pihak Belanda bahwa mereka hendak memisahkan Irian Barat dari wilayah Negara Indonesia bagian Timur. Maka ketika dalam KMB Belanda mempertahankan dengan keras mengenai Irian Barat di Indonesia terutama dibagian Timur timbul berbagai reaksi dari masyarakat yang menuntut agar Irian Barat tidak dipisahkan dari wilayah bagian Indonesia lainnya. Dalam Pariemen NIT telah di-terima mosi dengan suara bulat pada tanggal 26 Oktober 1949 yang menuntut agar Irian Barat tetap berada dalam wilayah RIS. (Nalenan, 1981: 195)Mengenai Komisi keuangan dan ekonomi, komisi ini juga dibagi dalam beberapa sub kombisi yang mendapat tugas untuk mengurus berbagai hal seperti utang piutang, kewajiban-kewajiban timbal balik hak-hak, penanaman modal, azas-azas politik ekonomi pada umumnya, perjan