BAB I

10
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem pembelajaran Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), program pendidikan dan pelatihan teknik meknik otomotif merupakan salah satu program keahlian yang termasuk dalam rumpun Keahlian Teknik Mesin. Berdasarkan tutuntan kompetensi yang di tetapkan oleh kurikulum, siswa harus melaksanakan pembelajaran praktek di bengkel sekolah ataupun di industri. Selama melaksanakan pembelajaran di bengkel tersebut, siswa berhubungan dengan pemakaian berbagai alat, perkakas, media, dalam lingkup Keahlian Teknik Mekanik Otomotif. Peluang terjadi kecelakaan kerja pada pembelajaran praktek di bengkel sekolah bisa lebih besar dari pada di industri. Hal ini karena alat-alat di bengkel sekolah banyak yang sama mutakhirnya dengan yang ada di industri, sementara yang mengoperasikannya adalah para siswa yang relatif belum cakap (terampil) untuk menguasai benda-benda tersebut. Dalam pembelajaran di sekolah, baik di kelas maupun di bengkel sekolah, guru memegang peranan penting penciptaan dalam kondisi proses pembelajaran. Penciptaan kondisi ini terkait dengan peran guru sebagai motivator, fasilitator, dan perancang proses pembelajaran. Guru menjadi unsur penting dalam membangun pemahaman, sikap dan perilaku siswa selama proses belajar di bengkel sekolah. Perilaku dan sikap siswa ini mencakup bagaimana berinteraksi dengan berbagai

description

bab1

Transcript of BAB I

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Dalam sistem pembelajaran Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), program

    pendidikan dan pelatihan teknik meknik otomotif merupakan salah satu program

    keahlian yang termasuk dalam rumpun Keahlian Teknik Mesin. Berdasarkan tutuntan

    kompetensi yang di tetapkan oleh kurikulum, siswa harus melaksanakan pembelajaran

    praktek di bengkel sekolah ataupun di industri. Selama melaksanakan pembelajaran di

    bengkel tersebut, siswa berhubungan dengan pemakaian berbagai alat, perkakas,

    media, dalam lingkup Keahlian Teknik Mekanik Otomotif.

    Peluang terjadi kecelakaan kerja pada pembelajaran praktek di bengkel

    sekolah bisa lebih besar dari pada di industri. Hal ini karena alat-alat di bengkel

    sekolah banyak yang sama mutakhirnya dengan yang ada di industri, sementara yang

    mengoperasikannya adalah para siswa yang relatif belum cakap (terampil) untuk

    menguasai benda-benda tersebut.

    Dalam pembelajaran di sekolah, baik di kelas maupun di bengkel sekolah,

    guru memegang peranan penting penciptaan dalam kondisi proses pembelajaran.

    Penciptaan kondisi ini terkait dengan peran guru sebagai motivator, fasilitator, dan

    perancang proses pembelajaran. Guru menjadi unsur penting dalam membangun

    pemahaman, sikap dan perilaku siswa selama proses belajar di bengkel sekolah.

    Perilaku dan sikap siswa ini mencakup bagaimana berinteraksi dengan berbagai

  • 2 peralatan, perkakas, media belajar yang ada di bengkel atau laboratorium teknik di

    sekolah.

    Sejalan dengan peran tersebut, dapat diasumsikan bahwa guru juga sebagai

    penentu pelaksanaan aspek dan unsur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada

    proses pembelajaran di bengkel sekolah. Petunjuk dan arahan guru baik lisan maupun

    tulisan menjadi acuan bagi siswa dalam melaksanakan belajar praktek yang

    berinteraksi dengan alat dan perkakas di bengkel. Kegiatan siswa di bengkel sekolah,

    termasuk menggunakan alat dan mengoperasikan berbagai perkakas/ mesin, apakah

    telah menerapkan prosedur K3 atau justru memperbesar potensi bahaya dipengaruhi

    oleh sekenario pembelajaran yang dibuat oleh guru.

    Dengan demikian, selain menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai

    dengan kompetensi yang diajarkan, guru harus memahami aspek-aspek K3 dan

    bersikap proaktif untuk menerapkannya dalam pembelajaran di bengkel sekolah. Hal

    ini akan melatih dan membiasakan siswa yang nantinya menjadi tenaga kerja, untuk

    bekerja dengan memperhatikan dan mematuhi prosedur K3.

    Di dunia industri dan dunia usaha, kecelakaan sangat sering terjadi. Data

    kecelakaan kerja dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertran)

    menunjukkan tingginya angka kecelakaan kerja di Indonesia dan besarnya jumlah

    korban yang ditimbulkan. Tahun 2003 jumlah kecelakaan kerja sebanyak 105.646

    kasus dengan akibat sebanyak 1.748 orang tenaga kerja meninggal, 7.228 orang

    mengalami cacat, dan 93.703 orang pekerja terluka. Sepanjang tahun 2004 tercatat

    telah terjadi 95.418 kasus kecelakaan kerja yang memakan korban 1.736 orang

    meninggal, 9.106 orang menderita cacat, dan 84.576 orang terluka (Yanri, 2005).

    Data lebih baru yang dirilis Depnakertran, selama tahun 2007 terjadi 65.474 kecela-

    kaan kerja dengan memakan jumlah korban 6.777 orang terdiri dari 1451 orang

  • 3 meninggal, 5.326 orang cacat, 631 orang luka-luka bisa disembuhkan (Depnaker-

    trans, 2008). Meskipun terlihat angka jumlah kasus kecelakaan kerja cenderung

    menurun namun jumlah tersebut masih tergolong tinggi.

    Kecelakaan bukan merupakan sesuatu yang terjadi secara kebetulan tetapi ada

    sebabnya, oleh karena itu kecelakaan dapat dicegah (Sumamur, 1994:212).

    Dijelaskan juga oleh Sumamur, dari penyelidikan menunjukkan bahwa 85% sebab-

    sebab kecelakaan bersumber dari faktor manusia. Sejalan dengan pernyataan itu,

    menurut Santoso (2004: 11), antara 80% sampai 85% kecelakaan disebabkan oleh

    faktor manusia. Mengenai faktor manusia sebagai penyebabab kecelakaan, Ghoetsch

    (2005) yang mengutip kesimpulan Heinrich menjelaskan bahwa 88 persen kecelakaan

    kerja disebabkan oleh perilaku atau tidakan tidak aman (unsafe act) oleh pekerja.

    Penyebab timbulnya tindakan tidak aman adalah karena kecenderungan-

    kecenderungan sikap dan perilaku yang tidak diinginkan dalam melaksanakan

    pekerjaan (Dessler, 1998). Sedangkan ahli keselamatan kerja lainnya menyatakan

    bahwa tindakan tidak aman biasanya dihasilkan oleh rendahnya sikap mengutamakan

    keselamatan kerja (Kustono, 2003). Salah satu cara untuk mengurangi/menghilangkan

    tindakan tidak aman adalah melalui pendidikan atau pelatihan. Melalui pelatihan ini

    diberikan pemahaman dan ditanamkan kesadaran untuk bersikap dan berperilaku

    sesuai intruksi/prosedur yang aman.

    Faktor lain yang dapat mendorong terjadinya kecelakaan adalah kurangnya

    pengetahuan siswa tentang keselamatn kerja. Penelitian yang dilakukan Kadir (2000)

    menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja

    (K3) siswa SMK di 6 propinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa

    Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan, secara umum masih kurang, yaitu

    sebanyak 46,1 % (2221 siswa) dari jumlah responden sebanyak 4815 siswa yang

  • 4 menjadi sampel penelitian. Lebih jauh disebutkan bahwa sebanyak 55,5% siswa

    jurusan teknik mesin termasuk dalam klasifikasi kurang. Data lain yang disajikan oleh

    Departemen Tenaga Kerja menyebutkan bahwa kecelakaan kerja banyak dialami oleh

    pekerja yang berusia muda, antara 20 sampai 30 tahun.

    Berdasar diskusi lisan bersama kawan sejawat, yaitu beberapa guru dari

    beberapa SMK di Kota Malang yang membina Program Keahlian Teknik Mekanik

    Otomotif diperoleh gambaran mengenai pelaksanaan K3 pada pembelajaran praktek

    di bengkel otomotif masing-masing. Keterangan yang diperoleh mengindikasikan

    bahwa pelaksanaan K3 dalam proses pembelajaran di beberapa sekolah tersebut

    belum mendapat perhatian yang optimal. Guru sering terfokus pada materi

    pembelajaran sehingga aspek-aspek keselamatan kerja kurang terakomodasi dalam

    proses belajar. Beberapa guru bersikap seolah mengabaikan potensi bahaya karena

    merasa bahwa alat-alat, perkakas, mesin yang ada di bengkel sudah sangat diakrabi

    dan dipahami teknis operasionalnya. Hal lain yang mewarnai pelaksanaan K3 di

    bengkel sekolah adalah pengetahuan (pemahaman) guru tentang K3 masih relatif

    beragam.

    Program keselamatan kerja direncanakan dengan maksud mengembangkan

    sikap mengutamakan keselamatan kerja. Terkait dengan sikap terhadap keselamatan

    kerja tersebut, pemahaman menjadi faktor yang penting dalam upaya mewujud-

    kannya. Menurut ahli psikologi industri Solita dalam Kustono (2007) bahwa perilaku

    dimunculkan oleh sikap dan sikap dibangun oleh pengetahuan. Teori psikologi

    menyatakan bahwa sikap dapat dibentuk melalui pemahaman dan penerimaan

    terhadap suatu objek (Azwar, 1995). Hovland dalam Azwar (1995) menyatakan

    bahwa terjadinya perubahan pendapat atau perubahan sikap merupakan fungsi

    probabilitas dari pemahaman oleh individu. Sejalan dengan pandangan tersebut,

  • 5 dalam lingkup keselamatan kerja ditegaskan oleh Winarsunu (2008) bahwa

    kemampuan mempersepsi dan mengenal bahaya adalah sesuatu yang sangat penting

    dalam keselamatan kerja. Kemampuan mempersepsi dan mengenal bahaya akan

    menjadi faktor penting dalam usaha seseorang untuk mengambil keputusan memilih

    melakukan pekerjaan dengan cara-cara aman sehingga memperkecil kemungkinan

    atau bahkan terhindar sama sekali dari kecelakaan kerja.

    Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengkaji pemahaman dan sikap

    dalam hubungannya dengan perilaku ataupun kondisi tertentu. Winarsunu (2008)

    mengkaji sejumlah penelitian dan menyimpulkan bahwa tipe kesalahan yang paling

    dominan yang menimbulkan kecelakaan kerja adalah kegagalan dalam memahami

    dan mempersepsi peringatan terhadap bahaya dan sikap memandang remeh bahaya

    (underestimations of hazards). Adiratna dan kawan-kawan (2003) yang melakukan

    penelitian tentang pelaksanaan K3 di perusahaan dalam Wilayah Kota Yogyakarta

    menyimpulkan bahwa K3 belum dilaksanakan sepenuhnya dengan salah satu

    penyebabnya adalah tingkat pengetahuan dan pemahaman tenaga kerja tentang K3

    masih rendah. Indikator lain ditunjukkan oleh Kardjani (1995) dengan hasil

    penelitiannya yang menyimpulkan adanya pengaruh signifikan antara sikap, minat,

    partisipasi dengan pengetahuan dalam pelaksanaan keselamatan kerja las bagi tenaga

    kerja las di Kodya Malang.

    Lulusan SMK bidang teknologi akan bekerja sebagai pekerja pelaksana atau

    supervisor tingkat pemula, yang mana pekerjaan tersebut berhubungan langsung

    dengan berbagai peralatan, perkakas, mesin-mesin bertenaga, bahan-bahan tertentu

    berbahaya, dan berada di beragam situasi tempat kerja yang mengandung unsur

    bahaya (hazard). Posisi pekerjaan tersebut menuntut penguasaan kemampuan teknis

    di bidang masing-masing. Misalnya seorang operator sebuah mesin gerinda tidak

  • 6 hanya mampu menjalankannya melainkan juga harus mampu memahami karakteristik

    bagian-bagian alat dan fungsinya. Memahami karakteristik alat berarti juga mengenali

    potensi bahaya yang dikandung oleh alat itu. Dengan demikian operator tersebut tidak

    sekedar menjalankan alat melainkan mampu menjalankan dengan cara yang aman.

    Kompetensi semacam ini membutuhkan proses pembelajaran yang mengintegrasikan

    unsur ketrampilan, pengetahuan dan pembentukan sikap. Pengalaman belajar di SMK

    diharapkan mampu menanamkan pemahaman dan membiasakan diri berperilaku

    aman dan sehat dalam melaksanakan pekerjaan sesuai bidang keahliannya.

    Berangkat dari pemikiran bahwa guru memegang peran dominan dalam

    menciptakan kondisi pembelajaran, dirasa perlu melakukan penelitian tentang

    pemahaman dan sikap guru mengenai keselamatan kerja. Dalam hal ini, peneliti ingin

    mengetahui bagaimana tingkat pemahaman guru tentang K3, bagaimana sikap guru

    mengenai K3, dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan K3 dalam proses pembelajaran

    praktek di bengkel otomotif.

    B. Rumusan Masalah

    Berpijak pada uraian di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai

    berikut.

    1. Bagaimana pemahaman guru tentang K3 dalam pelaksanaan pembelajaran di

    bengkel otomotif SMK se-Kota Malang?

    2. Bagaimana sikap guru terhadap K3 dalam pelaksanaan pembelajaran di bengkel

    otomotif SMK se-Kota Malang?

    3. Bagaimanakah pelaksanaan K3 pada pembelajaran di bengkel otomotif SMK se-

    Kota Malang?

  • 7 4. Adakah kontribusi pemahaman guru tentang K3 terhadap pelaksanaan K3 pada

    pembelajaran di bengkel otomotif SMK se-Kota Malang?

    5. Adakah kontribusi sikap guru terhadap K3 kepada pelaksanaan K3 dalam

    pembelajaran di bengkel otomotif SMK se-Kota Malang?

    6. Adakah kontribusi secara bersama pemahaman dan sikap guru terhadap K3

    kepada pelaksanaan K3 dalam pembelajaran di bengkel otomotif SMK se-Kota

    Malang?

    C. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk :

    1. Mengetahui tingkat pemahaman guru bidang keahlian mekanik otomotif di SMK

    se-Kota Malang tentang K3 di bengkel otomotif.

    2. Mengetahui sikap guru bidang keahlian mekanik otomotif di SMK se-Kota

    Malang tentang pelaksanaan K3 pada pembelajaran di bengkel otomotif.

    3. Mengetahui pelaksanaan K3 pada pembelajaran di bengkel otomotif di SMK se-

    Kota Malang.

    4. Mengetahui kontribusi pemahaman guru tentang K3 terhadap pelaksanaan K3

    pada pembelajaran di bengkel otomotif di SMK se-Kota Malang.

    5. Mengetahui kontribusi sikap guru terhadap K3 kepada pelaksanaan K3 dalam

    pembelajaran di bengkel otomotif di SMK se-Kota Malang.

    6. Mengetahui kontribusi secara bersama pemahaman dan sikap guru terhadap K3

    kepada pelaksanaan K3 dalam pembelajaran di bengkel otomotif di SMK se-Kota

    Malang.

    D. Hipotesis

    Berdasarkan latar belakang masalah, hipotesis yang diajukan adalah:

  • 8 1. Ada kontribusi pemahaman guru tentang K3 terhadap pelaksanaan K3 pada

    pembelajaran di bengkel otomotif di SMK se-Kota Malang

    2. Ada kontribusi sikap guru terhadap K3 kepada pelaksanaan K3 dalam

    pembelajaran di bengkel otomotif di SMK se-Kota Malang,

    3. Ada kontribusi secara bersama pemahaman dan sikap guru terhadap K3 kepada

    pelaksanaan K3 dalam pembelajaran di bengkel otomotif di SMK se-Kota

    Malang.

    E. Manfaat Penelitian

    Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi manfaat antara lain; (1) sebagai

    masukan bagi guru/fasilitator pembelajaran Teknik Mekanik Otomotif guna

    meningkatkan kualitas proses pembelajaran di bengkel sekolah khususnya

    menyangkut aspek penerapan prosedur K3, (2) sebagai masukan bagi manajemen

    SMK yang membina program keahlian Teknik Mekanik Otomotif untuk,

    meningkatkan mutu pengelolaan bengkel/ laboratorium Teknik Otomotif agar

    pembelajaran praktek lebih memperhatikan K3, (3) sebagai masukan bagi manajemen

    dan guru SMK yang membina Program Keahlian Teknik Mekanik Otomotif dalam

    menyususun kurikulum implementatif khususnya dalam merumuskan diskripsi

    pembelajaran praktek di bengkel sekolah.

    F. Definisi Opersional

    Untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda, diberikan batasan penger-

    tian operasional yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian, sebagai berikut:

    1. Pemahaman Guru tentang K3 adalah sejauh mana guru mengetahui aspek dan

    unsur K3 yang berkaitan dengan penggunaan alat, perkakas, mesin, dan media

    belajar dalam lingkup program keahlian teknik mekanik otomotif. Pemahaman di

  • 9

    sini difokuskan pada dua aspek yaitu mengurangi kondisi tidak aman dan bekerja

    secara aman.

    2. Sikap guru tentang K3, adalah kecenderungan respon guru untuk setuju atau tidak

    setuju berdasarkan persepsi dan interpretasi terhadap butir-butir pernyataan di

    dalam kuisioner yang diberikan oleh peneliti. Sikap difokuskan pada dua aspek

    yaitu mengurangi kondisi tidak aman dan bekerja secara aman.

    3. Pelaksanaan K3 adalah segala sesuatu yang yang dilakukan guru menyangkut

    penerapan unsur-unsur K3 pada pembelajaran praktek di bengkel otomotif.

    Indikator-indikator pelaksanaan K3 dititik beratkan pada dua aspek yaitu

    mengurangi kondisi tidak aman dan bekerja secara aman.

    4. Pembelajaran Praktek; yaitu proses belajar yang dilakukan dalam bentuk siswa

    mengerjakan/mempraktekkan sesuatu dengan bantuan alat, perkakas, mesin, atau-

    pun bentuk media belajar lain di bengkel teknik mekanik otomotif.

    G. Asumsi Penelitian

    Penelitian dilaksanakan dengan asumsi bahwa responden yaitu guru TMO se-

    Kota Malang secara keseluruhan telah mempelajari atau pernah memperoleh pembe-

    kalan materi tentang K3 di bidang otomotif dengam muatan relatif sama baik melalui

    masa perkuliahan di LPTK maupun dengan cara lain.

    Terkait dengan penggunaan instrument skala sikap, diasumsikan bahwa (1)

    responden adalah orang yang paling tahu tentang kondisi pembelajaran praktek di

    bengkel sekolahnya pada aspek K3, (2) apa yang dinyatakan responden kepada

    peneliti diasumsikan benar dan obyektif, (3) responden mampu memahami substansi

  • 10 pernyataan yang diajukan sehingga interpretasinya sama dengan yang dimaksud oleh

    peneliti.

    H. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

    Bertolak pada rumusan masalah dan tujuan yang diuraikan di atas, penelitian

    ini memiliki ruang lingkup dan keterbatasan tertentu.

    1. Ruang Lingkup

    Penelitian ini dilaksanakan di Program Keahlian teknik Mekanik Otomotif

    SMK Negeri dan Swasta se-Kota Malang. Ruang lingkup penelitian ini meliputi

    keterlaksanaan unsur-unsur keselamatan kerja di dalam proses pembelajaran

    praktek di bengkel SMK pada Program Keahlian Teknik Mekanik Otomotif.

    2. Keterbatasan Penelitian

    Penelitian difokuskan pada pemahaman dan sikap guru tentang K3

    dikaitkan dengan pelaksanaan unsur-unsur keselamatan kerja di dalam proses

    pembelajaran praktek. Data masukan variabel-variabel yang diteliti adalah

    berdasarkan pada kondisi responden pada saat pengambilan data dilakukan.

    Mengingat kondisi guru dan proses pembelajaran merupakan sesuatu yang tidak

    konstan sehingga sangat mungkin penelitian lain dengan obyek yang sama namun

    dalam waktu yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Dengan

    demikian pembahasan hasil penelitian berorientasi terbatas pada keadaan pada

    saat penelitian tersebut dilakukan.