BAB I
-
Upload
lailapurnamasari -
Category
Documents
-
view
16 -
download
1
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian
Saat ini sering terjadi kekeliruan pengertian akan seks, termasuk istilah-istilah seks
yang kemudian karena minimnya pemahaman, banyak yang menggunakan istilah-istilah
tersebut sebagai lelucon, padahal apabila mereka mengerti dengan jelas, mereka pun tidak
akan menggangap hal-hal tersebut lucu. Hingga persepsi yang keliru mengenai apa yang
dianggap porno. Misalnya istilah ‘sesimpel’ heteroseksual pun masih banyak yang suka
keliru. Padahal bila dikaji ulang, mudah sekali untuk diartikan. Kata “heteros” dalam
bahasa Yunani yang berarti beda, lawannya “homo” yang berarti sama. Pada intinya
heteroseksual adalah orientasi seksual yang tertarik pada lawan jenis. Namun tetap saja
masih ada yang keliru. Kejadian-kejadian seperti itu seyogianya perlu ditindak lanjuti
secara menyeluruh, karena anak tidak dapat sepenuhnya disalahkan dan dihakimi begitu
saja.
Perlu ditekankan bahwa minimnya pemahaman akan seks dan istilah-istilah seks tidak
dapat sepenuhnya dibebankan pada anak atau remaja semata. Masih banyak pihak yang
sebenarnya turut ikut andil dalam pendidikan seks bagi mereka, mulai dari orangtua,
keluarga, guru dan pihak sekolah hingga institusi ataupun komunitas yang berperan dalam
‘membesarkan’ dan mendidik anak dan remaja.
Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh dengan kesukaran. Bukan saja
kesukaran bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi orang tua, masyarakat,
1
bahkan sering kali bagi polisi. Hal ini disebabkan masa remaja merupakan masa transisi
antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (12-21 tahun). Masa transisi ini sering kali
menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan. Di satu
pihak masih kanak-kanak, tetapi di lain pihak ia sudah harus bertingkah laku seperti orang
dewasa.
Ada banyak definisi mengenai remaja, namun menurut Hurlock (1992), remaja
berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.
Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan
mental, emosional sosial dan fisik. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas
karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua
Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja
menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihannya, karena remaja belum
memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini & Siti
Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa
yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa.
Pendapat umum menyatakan bahwa masa remaja adalah periode “badai dan stress”
yang ditandai oleh kemurungan, kekacauan di dalam diri, dan pemberontakan. Tetapi riset
tidak mendukung pandangan pesimistik ini. Penelitian terakhir yang diikuti oleh lebih dari
300 remaja di sekolah menengah pertama melakukan penelitian dua kali setiap tahun
terhadap siswa dan orangtuanya melalui wawancara dan tes psikologi. Mereka dinilai
kembali selama tahun terakhir sekolah lanjutan atas (Petersen, 1998a). data menyatakan
2
bahwa pubertas memang memiliki efek yang bermakna pada citra tubuh, harga diri, mood,
dan hubungan dengan orangtua dan lawan jenis.
Salah satu hal yang menarik dan terjadi dalam dunia remaja adalah trend pacaran
yang digemari sebagian remaja walau tidak sedikit juga orang dewasa gemar
melakukannya. Bahkan ada rumor yang menarik, bahwasanya bila ada remaja yang belum
punya pacar berarti belum mempunyai identitas diri yang lengkap. Awal dari pacaran
bermula ketika remaja masuk dalam tahap pubertas.
Pada umumnya, perubahan pubertas merupakan pengalaman positif untuk anak laki-
laki, tetapi merupakan pengalaman negatif untuk anak perempuan. Namun, untuk dua jenis
kelamin ini, masa remaja awal relatif bebas dari masalah pada lebih dari separuh penelitian
tersebut. Sekitar 30% kelompok hanya mengalami masalah intermiten. 15% terperangkap
dalam “perputaran kekacauan dan masalah yang semakin buruk” yaitu masalah emosional
dan akademik yang menonjol terus berlangsung atau memburuk (Petersen, 1998a).
Penelitian menyimpulkan bahwa pada remaja yang kehidupannya telah terganggu,
perubahan yang terjadi pada masa remaja awal menambahkan beban lebih lanjut sehingga
masalah mereka lebih besar kemungkinannya untuk menetap.
Tugas utama yang menghadapi remaja adalah membentuk identitas individualitas
untuk menemukan jawaban “Siapa saya?” dan “Kemana saya akan pergi?”. Proses ini juga
melibatkan perasaan tentang kompetensi dan harga diri. Walaupun perkembangan konsep
diri dimulai pada awal masa anak-anak dan terus berlangsung seumur hidup. Masa remaja
adalah periode yang kritis.
3
Erik Erikson yang merupakan tokoh psikologi telah mengajukan delapan stadium
yang merupakan karakteristik perkembangan seumur hidup. Ia menamakannya stadium
psikososial, karena ia yakin bahwa perkembangan psikologis seorang individu tergantung
pada hubungan sosial yang ditegakkan pada berbagai saat kehidupan mereka.
Ada sudut pandang lain yang menyatakan bahwa masa remaja dimulai bukan dengan
pencarian identitas, tetapi dengan kebutuhan akan keintiman dan bahwa pembentukan
identitas diri dapat diperoleh dari berperan serta dalam hubungan interpersonal yang intim
(Sullivan, 1953). Tidak cukup banyak riset untuk memutuskan antara kedua sudut pandang
tersebut, kemungkinan terbesar keintiman dan identitas berinteraksi di seluruh periode
masa remaja dan dewasa awal.
Keadaan emosional merupakan satu reaksi kompleks yang berkaitan dengan kegiatan
dan perubahan-perubahan secara mendalam yang dibarengi dengan perasaan kuat atau
disertai dengan keadaan afektif (J.P.Chaplin. 2005). English and English (Syamsu Yusuf,
2003) menyebut emosi ini sebagai “A complex feeling state accompanied by characteristic
motor and grandular activities”. Menurut Abin Syamsuddin Makmun (2003) bahwa aspek
emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu: (1)
rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus); (2) perubahan–perubahan fisiologis yang
terjadi pada individu; dan (3) pola sambutan. Dalam situasi tertentu, pola sambutan yang
berkaitan dengan emosi seringkali organisasinya bersifat kacau dan mengganggu,
kehilangan arah dan tujuan.
Setiap orang memiliki pola emosional masing-masing yang berupa ciri-ciri atau
karakteristik dari reaksi-reaksi perilakunya. Ada individu yang mampu menampilkan
4
emosinya secara stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengontrol emosinya
secara baik dan memiliki suasana hati yang tidak terlau variatif dan fluktuatif. Sebaliknya,
ada pula individu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki stabilitas emosi,
biasanya cenderung menunjukkan perubahan emosi yang cepat dan tidak dapat diduga-
duga.
Tingkat kematangan emosi (emotional maturity) seseorang dapat ditunjukkan melalui
reaksi dan kontrol emosinya yang baik dan pantas, sesuai dengan usianya. Adalah hal yang
wajar bagi seorang anak kecil usia 3-5 tahun, apabila dia merasa kecewa ketika tidak
dipenuhi keinginannya untuk dibelikan permen coklat atau mainan anak-anak dan
kemudian mengekspresikan emosinya dengan cara menangis dan berguling-guling di
lantai. Tetapi, akan menjadi hal yang berbeda, jika hal itu terjadi pada seorang remaja atau
dewasa dan jika hal itu benar-benar terjadi maka jelas dia belum menunjukkan kematangan
emosinya
Jadi, kapan seorang remaja mampu untuk berpikir seperti orang dewasa? Hal ini
bukan hanya pertanyaan akademik, melainkan dapat menjadi masalah hidup dan mati. Ada
tiga masalah yang cenderung muncul pada masa remaja dibandingkan pada masa kanak-
kanak atau dewasa, yaitu: konflik dengan orang tua, suasana hati yang berubah-ubah (mood
swings) dan depresi, serta tingginya angka perilaku ceroboh, pelanggaran hukum, dan
tindakan berisiko (Spear, 2000). Oleh karena itu, kami melakukan penelitian dengan objek
siswa dan siswi SMP di SMPN 7 Bandung, dengan tujuan untuk mengetahui pemahaman
remaja terhadap istilah dan perilaku heteroseksual, juga bagaimana dampaknya pada
kehidupan pribadi mereka.
5
1.2. Masalah Penelitian
1.2.1 Identifikasi Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana para remaja khususnya siswa dan
siswi SMPN 7 Bandung mengetahui dan paham maksud dari istilah Heteroseksual dan
bagaimana dampaknya pada kehidupan pribadi mereka.
1.2.2 Batasan Masalah
Agar masalah penelitan ini lebih terarah dan dapat diterima dengan jelas, maka perlu
dilakukan pembatasan masalah. Adapun masalah yang akan dibahas pada penelitian ini
adalah tentang pemahaman remaja pada istilah dan perilaku Heteroseksual, serta dampak
pada kehidupan pribadi mereka.
1.2.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukaan sebelumnya, maka rumusan
masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman siswa dan siswi SMPN 7 Bandung akan arti
Heteroseksual?
2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari perilaku Heteroseksual terhadap
perkembangan emosi remaja?
3. Bagaimana dampak perilaku Heteroseksual dalam kehidupan pribadi remaja?
6
1.3. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pemahaman siswa dan siswi SMPN 7 Bandung akan arti
Heteroseksual.
2. Mengetahui dampak perilaku Heteroseksual terhadap perkembangan emosi
remaja.
3. Mengetahui dampak perilaku Heteroseksual dalam kehidupan pribadi remaja.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan kegunaan baik secara
teoritis maupun praktis. Secara, teoritis penelitian ini berguna untuk pemahaman terhadap
istilah-istilah seks khususnya arti dari Heteroseksual. Secara praktis, penelitian ini
diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan serta pemahaman terhadap
istilah Heteroseksual dan dampaknya terhadap perkembangan emosi remaja.
2. Pembaca, sebagai media informasi tentang pemahaman remaja terhadap
istilah Heteroseksual dan hubungannya dengan emosi remaja.
1.5. Definisi Operasional
Untuk lebih mengetahui arti dari istilah-istilah pokok dan pengertian khusus dalam
penelitian ini, maka penulis akan memaparkannya secara operasional
7
a) emo·si /émosi/ n 1 luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu
singkat; 2 keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan,
kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subjektif); 3 cak marah;
-- keagamaan getaran jiwa yang menyebabkan manusia berlaku religius;
ke·e·mo·si·an n perihal emosi: kalau pendekatan ini yang dipakai, kita akan dapat
menggambarkan derajat ~ seseorang.
b) re·ma·ja 1 a mulai dewasa; sudah sampai umur untuk kawin: ia sekarang sudah
-- , bukan kanak-kanak lagi; 2 a muda: pengantin perempuannya masih -- benar;
3 n pemuda: Pemerintah mendirikan gelanggang -- untuk sarana kegiatan
olahraga;
-- kencur ki remaja yang belum cukup umur; me·re·ma·ja·kan v 1 memudakan
(menjadikan muda); mengganti dengan (tenaga) yang muda: ~ pegawai negeri; 2
ki memugar; memperbaharui: penduduk Jakarta sedang giat ~ kotanya dengan
melebarkan jalan-jalan kampung; pe·re·ma·ja·an n proses, cara, perbuatan
meremajakan: di daerah itu akan dilaksanakan program ~ dan intensifikasi
penanaman kelapa sawit; ~ kota usaha perbaikan kota seperti pemugaran gedung
dan sarana lain sehingga dapat lebih dimanfaatkan dan mengubah penggunaan
lingkungan yang dahulunya.
c) Heteroseksual he.te.ro.sek.su.al [a] cenderung untuk melakukan hubungan seks
dengan orang yang berbeda jenis kelamin.
8