BAB I

download BAB I

of 12

Transcript of BAB I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Latar Belakang Panggul wanita adalah bagian tubuh wanita yang sangat sering mengalami masalah. Panggul wanita dan bagian-bagiannya seperti dasar panggul adalah salah satu bagian yang rawan masalah. Masalah kesehatan panggul pada wanita jarang mendapat perhatian yang serius. Hal ini diakibatkan oleh pemikiran sebagian besar wanita yang menganggap disfungsi dasar panggul adalah suatu konsekuensi yang wajar akibat proses kehamilan, persalinan, dan pertambahan usia. Selain itu terkadang wanita merasa malu untuk menceritakan keluhannya. Padahal jika permasalahan ini tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan penurunan kualitas hidup seorang wanita (Gant, 1993 dan Garshasbi, 2009). Dasar panggul merupakan kompleks jaringan yang terdiri dari jaringan ikat dan otot yang berfungsi menyangga organ-organ yang ada di panggul maupun di dalam perut. Dasar panggul membuat organ-organ panggul seperti vesica urinaria, uretra, uterus, usus, dan rectum tetap pada posisinya yaitu di atas dasar panggul sehingga dapat berfungsi dengan normal. Yang dimaksud dengan disfungsi dasar panggul adalah kelainan-kelainan yang mengenai dasar panggul. Panggul terdiri dari bagian lunak dan keras. Kelainan dasar panggul terjadi pada bagian yang lunak, terdiri dari otot-otot dan jaringan ikat (Gant, 1993 dan Roger, 2003). Disfungsi dasar panggul adalah suatu kelainan yang terjadi pada 1 diantara 11 wanita. Disfungsi dasar panggul dapat menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu kualitas hidup seperti inkontinensia urin, inkontinensia alvi, prolaps organ panggul, dan disfungsi seksual. Kebanyakan disfungsi dasar panggul dihubungkan dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan pervaginam, terutama pada persalinan yang pertama. Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan dasar panggul melemah atau rusak sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik. Hampir 50% wanita yang pernah melahirkan akan menderita prolaps organ genitourinaria dan 40% disertai inkontinensia urin.

Inkontinensia urin merupakan salah satu yang paling tinggi prevalensinya. Satu dari tiga wanita akan mengalami inkontinensia selama hidupnya dan > 65% wanita ini mengatakan bahwa hal tersebut dimulai saat kehamilan maupun sesudah melahirkan (Lenan, 2007 dan Marshall, 2009). Dalam laporan tahunannya pada tahun 2001, perkumpulan Obstetri dan Ginekologi pantai Pasifik memperkirakan bahwa kebutuhan akan pelayanan bagi perempuan yang mengalami kerusakan dasar panggul akan meningkat sampai 45% sampai 30 tahun ke depan. Survei yang dilakukan Mac Lenan tahun 2000 pada wanita usia 15-57 tahun menyatakan bahwa setengah dari mereka mengalami disfungsi dasar panggul yang menimbulkan kelainan seperti stress atau urge inkontinensia, gangguan flatus, gejala prolaps vagina dan uterus. Persalinan pervaginam menyebabkan perubahan neurologis pada dasar panggul yang menimbulkan efek langsung pada konduksi nervus pudendus, kekuatan kontraksi vagina dan tekanan velositas penutupan uretra. Hal ini menyebabkan menetapnya angka kejadia stres inkontinensia pada wanita setelah melahirkan. Sedangkan pada wanita yang melahirkan secara sektio caesaria perubahan patofisiologis ini jauh lebih sedikit (Lenan, 2007 dan marshall, 2009). B. Definisi Disfungsi dasar panggul adalah kelainan-kelainan yang mengenai dasar panggul dimana merupakan kompleks jaringan yang terdiri dari jaringan ikat dan otot yang berfungsi menyangga organ-organ yang ada di panggul maupun di dalam abdomen (Gant, 1993). C. Anatomi Dasar Panggul Dasar panggul adalah diafragma muskuler yang memisahkan cavum pelvis di sebelah atas dengan ruang perineum di sebelah bawah. Sekat ini dibentuk oleh m. Levator ani, serat m. Coccigeus dan seluruhnya ditutupi oleh fascia parietalis. Otot dasar panggul terdiri dari beberapa otot yang fungsinya saling mendukung satu sama lainnya yang terdiri dari :

1. Muskulus Levator ani, yang terdiri dari m. Pubococcigeus dengan tiga bagian otot yaitu pubovaginalis, puborectalis, dan pubococcigeus propia, dan muskulus illiococcigeus. 2. Muskulus Coccigeus. Otot dasar panggul khususny m. Levator ani mempunyai peranan penting dalam menyangga organ visera pelvis dan peran integral pada fungsi berkemih, defekasi, dan seksual (Roger, 2003; Garshasbi, 2009; dan Kari, 2009). Otot pubococcigeus dari posterior inferior ramus pubis dan masuk ke garis lengan organ viseral dari anococcigeal raphe. Puborektalis juga berasal dari tulang pubis, tetapi serabutnya melewati bagian posterior dan membentuk tali gantungan di sekeliling vagina, rektum, dan perineum, membentuk sudut anorektal dan menutup urogenital. Illiococcigeus berasal dari arcus tendineus levator ani (ATLA). Penebalan dari fasia yang meliputi obstruktor internus yang berjalan dari spina ischiadika ke permukaan posterior dari ramus pubis superior ipsilateral, masuk ke garis tengah melalui raphe anococcigeal. Ruangan antra muskulus levator ani dimana dilalui oleh uretra, vagina, dan rektum disebut sebagai hiatus urogenital. Fusi dari levator ani dimana mereka bergabung pada garis tengah disebut sebagai lempeng levator. Dasar panggul mempunyai tiga fungsi utama, yaitu suport, sfingter, dan fungsi seksual (Roger, 2003 dan Kari, 2009).

D. Faktor Risiko Kekuatan otot dasar panggul dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya kelemahan atau kekendoran terhadap otot dasar panggul itu sendiri, faktor risiko tersebut adalah :1. Usia otot akan cenderung mengalami penurunan kekuatan sesuai dengan

pertambahan usia. Hal ini tidak dapat dihindari. Masalah lain yang terjadi dengan bertambahnya usia adalah hilang / berkurangnya mobilitas dari otot. Demikian juga halnya dengan otot dan jaringan penyokong organ-organ genitalia akan mengalami hal yang sama. Dari beberapa penelitian

mengatakan bahwa terdapat peningkatan 12% kejadian prolaps organ pelvis dengan bertambahnya usia. Ada penelitian yang mendapatkan hasil peningkatan kejadian prolaps organ pelvis sampai dua kali pada usia antara 20-59 tahun.2. Hormonal peningkatan hormon dalam sirkulasi pada saat persalinan

menyebabkan terjadinya relaksasi otot panggul. Diantaranya hormon progesteron, prostaglandin, relaxin. Hormon ini akan berkurang sampai menghilang enam minggu setelah melahirkan. Ini berarti kekuatan otot dasar panggul baru dapat kembali ke posisi normal setelah 6 minggu pascamelahirkan.3. Kehamilan akibat tekanan beban yang terus menerus terhadap otot dasar

panggul mengakibatkan terjadinya peregangan yang pada akhirnya menyebabkan kelemahan otot dasar panggul.4. Persalinan 7% wanita yang melahirkan 4 kali atau lebih akan mengalami

SUI (Stress Urinary Incontinence). Setiap kelahiran dapat menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul. Pada saat kepala bayi keluar dari vagina tekanan yang terjadi pada vesica urinaria, uretra dan terlebih pada otot dasar panggul serta penyokongnya dapat merusak struktur ini. Sobekan atau tekanan yang berlebihan pada otot, ligamentum, jaringan penyambung, dan jaringan saraf akan menyebabkan kelemahan yang progresif akibat kelahiran bayi. Wanita yang melahirkan dengan forcep, vacuum ekstraksi atau berat badan bayi > 4000 gr akan mengalami peningkatan risiko inkontinensia urin. Persalinan seperti ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan kerusakan saraf dasar panggul.5. Kelainan neurologik Persalinan pervaginam dapat menyebabkan

kerusakan nervus pudendus baik tekanan secara langsung maupun akibat penarikan.6. Kelainan kongenital Beberapa kelainan kongenital pada saraf spinalis

dan jalur yang menghubungkan persarafan pada otot-otot pelvis yang turut mempengaruhi kekuatan otot dasar panggul seperti : muscular dystrophy, myelodysplasia, meningomyelocele, bladder extropi dan spina bifida. Kelainan ini menyebabkan flaccid paralysis pada otot dasar panggul.

7. Penyakit infeksi dan keganasan pada rongga panggul dapat mengurangi kekuatan kontraksi otot dasar panggul.8. Penyakit kronis seperti hipertensi, DM, penyakit paru kronik, secara tidak

langsung dapat menyebabkan kelemahan otot dasar panggul (Pauls, 2007; Garshasbi, 2009; dan Lenan, 2007). E. Tanda dan Gejala Pada prinsipnya tanda dan gejala disfungsi dasar panggul muncul ketika ada keadaan yang meningkatkan tekanan intra abdomen ke bawah atau ke daerah panggul dapat menyebabkan terjadinya disfungsi dasar panggul. Beberapa gejala dan tanda yang muncul antara lain inkontinensia urin, frekuensi, urge, urgensi, prolaps organ panggul (prolaps uteri, sistokel, rectokel), inkontinensia alvi, dan disfungsi seksual. Inkontinensia urin ditandai dengan keluarnya air seni saat meningkatnya tekanan intra abdomen ketika batuk, bersin, tertawa keras, maupun beraktivitas. Kondisi seperti inilah yang disebut sebagai keadaan disfungsi dasar panggul (Wijma, 2009; Cuningham, 2005; dan Chaliha, 2009). F. Patofisiologi Disfungsi dasar panggul terjadi karena adanya kerusakan pada otot levator ani, otot ini sebenarnya bisa meregang sampai 200%, tapi jika lebih dari itu ia akan robek. Diperkirakan 15-35% persalinan vagina menyebabkan trauma pada otot levator ani. Persalinan pertama berkontribusi terbesar dalam menyebabkan kerusakan dasar panggul, meski penyebabnya multifaktorial. Kerusakan ini bisa menurunkan kualitas hidup seorang perempuan (Barber, 2008). Proses kehamilan dan persalinan terlibat dalam terjadinya disfungsi dasar panggul. Berbagai penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa disfungsi dasar panggul tersebut melibatkan kerusakan jaringan otot, jaringan syaraf, jaringan ikat, termasuk jaringan penyokong pada daerah dasar panggul. Disfungsi dasar panggul yang dapat terjadi setelah persalinan antara lain

inkontinensia urin, prolaps organ panggul, inkontinensia alvi dan disfungsi seksual (Isherwood, 2008). Selama dekade terakhir diyakini defek pada dasar panggul berhubungan erat dengan trauma yang terjadi di dasar panggul pada suatu persalinan pervaginam, namun sampai saat ini penelitian mengenai hal tersebut masih terus dilakukan. Faktor yang terlibat dalam terjadinya disfungsi dasar panggul bersifat multifaktorial dan bergantung pula pada genetik, kondisi fisik dan kondisi lingkungan, karena pada kenyataannya defek pada otot dasar panggul juga ditemukan pada perempuan yang tidak mengalami kehamilan dan persalinan (Marshall, 2009). Trauma terhadap daerah dasar panggul akibat penurunan kepala janin melalui jalan lahir pada persalinan pervaginam tidak terjadi pada persalinan dengan seksio sesarea, sehingga berkembang suatu persepsi di masyarakat bahwa persalinan dengan seksio sesarea akan melindungi seorang perempuan dari trauma dasar panggul sehingga terjadi peningkatan permintaan dari masyarakat untuk dilakukan persalinan dengan seksio sesarea. Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Marshall dkk bahwa di Amerika Serikat pada tahun 2009 pernah terjadi peningkatan insidensi seksio sesarea paling tinggi yaitu 29,1% dari 1,2 juta persalinan. Perdebatan tentang persalinan seksio sesarea merupakan persalinan yang paling baik untuk seorang perempuan agar terhindar dari disfungsi dasar panggul, sampai saat ini masih terus diteliti (Marshall, 2009; Chaliha, 2009; dan Goldberg, 2007). Mengingat hal-hal tersebut di atas maka timbul suatu pemikiran bahwa pemeriksaan otot dasar panggul pada seorang perempuan yang telah mengalami persalinan sangat penting untuk dilakukan. Pada saat melakukan pemeriksaan otot dasar panggul, secara tidak langsung kita dapat menilai fungsi otot levator ani yang meliputi kekuatan kontraksi maksimal otot levator ani, kontraksi minimal (resting tone) otot levator ani dan ketahanan otot levator ani (endurance). Otot levator ani mempunyai suatu resting tone yang konstan, memelihara sfingter uretra dan sfingter ani tetap menutup, menjaga ukuran hiatus urogenital, dan menyokong organ pelvis secara konstan. Baik otot levator dan komponen yang membentuk uretra serta sfingter ani memiliki kemampuan

untuk berkontraksi cepat terhadap suatu tekanan (contohnya ketika batuk atau bersin) dalam rangka mempertahankan kontinensia. Menurunnya resting tone otot levator ani dapat menyebabkan kelemahan hiatus urogenital, levator plate akan berubah dari posisi horisontal dan bentuknya akan berubah seperti mangkuk (a bowl like configuration) (Isherwood, 2008 dan Goldberg, 2007). Persalinan pervaginam zaman dulu kalau tidak dilakukan episiotomi maka akan lebih susah, tapi sebenarnya episiotomi hanya dilakukan pada kasuskasus tertentu yang kalau tidak diepisiotomi maka robekannya menjadi tidak terkontrol atau berantakan sehingga menjahitnya kembali sulit (Lenan, 2007). Tapi ada juga yang perineumnya elastis sehingga tidak perlu diepisiotomi. Jika panjang perineum (jarak dari anus sampai tepi bawah vagina) yang dimiliki oleh perempuan tersebut kurang dari 2,5 cm, maka mau tidak mau harus dilakukan episiotomi. Dengan senam hamil biasanya bisa mengatur elastisitas dari otot dasar panggul, serta mengatur pernapasan saat mengedan (Lal, 2010). G. Evaluasi dan Pengukuran Otot Dasar Panggul Terdapat berbagai metode yang dapat dipakai untuk mengevaluasi fungsi dan kekuatan otot dasar panggul, yang dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: 1. Metode untuk menilai kontraksi Observasi klinik Pada tahun 1948, Kegel memperkenalkan bagaimana cara melihat atau menilai kontraksi otot dasar panggul yang benar, yaitu dengan cara squeeze (memeras) di sekeliling uretra, vagina, pembukaan dan penutupan anus yang dilihat pada perineum. Shull, dkk mengatakan bahwa observasi klinik yang diamati berupa kontraksi otot superficial perineum dimana dianggap bahwa kontraksi otot levator ani berespon secara bersamaan dengan kontraksi otot superficial perineum. Palpasi Vagina Teknik ini seringkali digunakan oleh kebanyakan terapis untuk mengevaluasi kontraksi otot dasar panggul dan pertama kali diperkenalkan oleh Kegel sebagai suatu metode untuk mengevaluasi

fungsi otot dasar panggul. Caranya dengan menempatkan satu jari pada 1/3 distal vagina dan meminta ibu untuk mengkontraksikan vagina seperti cara memeras (squeeze). Palpasi vagina ini digunakan untuk melatih wanita mengkontraksikan otot dasar panggul USG dan MRI Saat ini USG dan MRI dapat dipakai untuk mengevaluasi otot dasar panggul saat berkontraksi. Dengan menempatkan probe USG pada suprapubik, perineum, intravaginal atau pada rectum. Elektromiografi (EMG) EMG dapat dipakai untuk menilai aktivitas listrik pada otot skelet dan gambaran langsung dari aliran motorneuron dan medula spinalis bagian ventral ke otot yang merupakan hasil volunter atau refleks kontraksi otot dasar panggul. Ada beberapa tipe alat dan perbedaan teknik penggunaan EMG yang telah digunakan untuk menilai aktivitas otot dasar panggul, yaitu EMG berbentuk kawat, jarum yang konsentris (Goh, 2010; Marshall, 2009; dan Lal, 2010). 2. Metode untuk Menilai Kuantitas Kekuatan Otot Tes Manual Metode ini menggunakan sistem tingkatan dan oxford yang telah dimodifikasi oleh Laycock. Untuk menilai kekuatan otot dasar panggul dengan cara palpasi pada vagina. Hasil yang diperoleh dikategorikan ke dalam 6 skalapoin, yaitu 0 : tidak ada kontraksi, 1 : hanya berupa denyutan, 2 : lemah, 3 : sedang, 4 : baik, 5 : kuat. Manometer Cara ini telah dilakukan oleh Kgel menggunakan alat yang dimasukkan ke vagina untuk mengukur kekuatan otot dasar panggul, alat ini disebut perineometer. Alat ini memiliki skala 0-12 mmHg, dimana otot dasar panggul dikatakan baik bila pada pengkuran didapatkan kekuatan otot dasar panggul 8 mmHg. Dinamometer Sampselle, dkk adalah orang yang pertama kali melaporkan pemakaian spekulum dinamometer untukmenilai kekuatan otot dasar panggul. Alat

ini mengukur secara langsung kekuatan otot di daerah dorsoventral. Namun sampai sejauh ini belum ada laporan benar yang dapat dipercaya tentang penggunaan alat ini. Dinamometer ini terdiri dari 2 aluminium bercabang yang sejajar, satu terfiksir dan yang satu dapat diatur sesuai diameter vagina. Alat ini dihubungkan dengan computer. Vaginal Weights / cones Vaginal cones dikembangkan oleh Plevnik pada tahun 1985. Cones ini dapat dipakai sebagai alat untuk menilai otot dasar panggul dan untuk latihan otot dasar panggul. Cones ini terdiri dari 9 macam dengan volume yang sama tapi beratnya bertambah mulai 20-100 gr. Pada versi terbaru cones yang biasa digunakan terbuat dari 3-5 cones, dan terdiri dari ukuran dan bentuk yang berbeda. Cara menggunakan alat ini adalah dengan memasukkan ke dalam vagina kemudian sebisa mungkin ditahan selama 1 menit (Marshall, 2009; Kari, 2009; dan Goldberg, 2007). H. Diagnosis Adanya disfungsi dasar panggul dapat diketahui dari anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan adanya keluhan inkontinensia urin, prolaps organ panggul, inkontinensia alvi dan disfungsi seksual. Keluhan-keluhan tersebut sering terjadi setelah melahirkan per vaginam terutama pada kelahiran anak pertama. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda sesuai dengan gejala yang dikeluhkan pasien. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menilai sejauh mana kekuatan kontraksi otot dasar panggul (Pauls, 2007 dan Kari, 2009). I. Penatalaksanaan Prinsip terapi untuk disfungsi dasar panggul adalah menghilangkan keluhan, memperbaiki kelainan anatomis, mengembalikan fungsi organ, dan mempertahankan estetika. Pada penderita prolaps organ panggul yang menolak dilakukan operasi dapat dipasang penyangga organ panggul yang disebut pessarium. Bentuknya berupa cincin dengan diameter 5-10 cm yang dipasangkan ke dalam rongga vagina. Alat ini berguna untuk menahan organ

panggul agar berada pada tempatnya. Pemasangan pessarium harus dikontrol setiap bulan. Pada penderita yang memasuki masa menopause dapat ditambahkan terapi hormon dengan menggunakan hormon estrogen. Pilihan pengobatan yang lain adalah tindakan operasi (Kari, 2009; Marshall, 2009; dan Goldberg, 2007). J. Pencegahan Untuk mencegah terjadinya disfungsi dasar panggul dapat dilakukan dengan :-

Olahraga teratur yang menguatkan otot dasar panggul Pertolongan persalinan yang baik dan memadai Penanggulangan trauma / cedera persalinan yang adekuat (Lal,

2010). K. Komplikasi Wanita yang mengalami disfungsi dasar panggul akan sangat terganggu dalam kehidupan sosial sehari-harinya, merasa rendah diri, kuatir kelainannya diketahui orang lain, serta menimbulkan rasa depresi. Hal ini akan sangat mengganggu produktifitas seorang wanita sehingga akan menurunkan kualitas hidup wanita tersebut (Lenan, 2007 dan Marshall, 2009).

BAB III KESIMPULAN 1. Dasar panggul merupakan kompleks jaringan yang terdiri dari jaringan ikat dan otot yang berfungsi menyangga organ-organ yang ada di panggul maupun di dalam perut, seperti vesica urinaria, uretra, uterus, usus, dan rectum tetap pada posisinya, sehingga dapat berfungsi dengan normal.2. Disfungsi dasar panggul adalah kelainan-kelainan yang mengenai dasar

panggul, yang terjadi pada bagian yang lunak, terdiri dari otot-otot dan jaringan ikat.3. Kekuatan otot dasar panggul dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, yaitu

Usia, Hormonal, Kehamilan, Persalinan, Kelainan neurologik, Kelainan kongenital, Penyakit infeksi dan keganasan pada rongga panggul.4. Beberapa gejala dan tanda disfungsi dasar panggul antara lain inkontinensia

urin, frekuensi, urge, urgensi, prolaps organ panggul (prolaps uteri, sistokel, rectokel), inkontinensia alvi, dan disfungsi seksual. 5. Prinsip terapi untuk disfungsi dasar panggul adalah menghilangkan keluhan, memperbaiki kelainan anatomis, mengembalikan fungsi organ, dan mempertahankan estetika.