Bab i
-
Upload
fitriwirnamasari -
Category
Documents
-
view
466 -
download
0
Transcript of Bab i
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kuliah teknik lapangan merupakan salah satu matakuliah wajib bagi mahasiswa
jurusan biologi FMIPA UNIB. Untuk memenuhi perkuliahan tersebut, maka dosen pengampu
dan mahasiswa terjun langsung ke lapangan untuk mengaplikasikan ilmu dan materi yang
telah didapatkan dari perkuliahan sebelumnya. Pada kuliah lapangan untuk teknik lapangan
ini dilakukan praktek langsung mengenai teknik-teknik pengambilan sampel yang akan
dianalisis di laboratorium. Dengan terjun ke lapangan secara langsung dan mempraktekkan
ilmu yang telah diperoleh dari kuliah sehingga kita dapat terlatih dan memperoleh bekal
untuk penelitian nanti.
Pada kuliah lapangan ini dilaksanakan serangkaian kegiatan observasi lapangan
berupa observasi biota air dan debit sungai.
I.2 Tujuan pengamatan
Tujuan diadakannya kegiatan ini antara lain:
Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam pelaksanaan studi observasi lapangan
sehingga kedepannya dapat melaksanakannya secara mandiri.
Mahasiswa dapat menggunakan alat-alat yang digunakan untuk pengambilan sampel
di lapangan.
Dapat menghitung kelimpahan spesies makhluk hidup di suatu tempat.
Untuk mengetahui dan mengenal karakteristik atau ciri-ciri morfologi dari beberapa
jenis aves.
Untuk mengetahui dan mengenal karakteristik atau ciri-ciri morfologi dari beberapa
jenis plankton
Untuk mengetahui dan mengenal karakteristik atau ciri-ciri morfologi dari beberapa
jenis mamalia
Untuk mengetahui keragaman bentos dalam ekosistem perairan berdasarkan Indeks
Perbandingan Sekuensial.
Mengenalkan dan melatih keterampilan mahasiswa dalam menggunakan peralatan
yang berhubungan dengan keragaman bentos dalam perairan.
I.3 Waktu dan Tempat Percobaan
Percobaan ini dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 5 Desember 2013, pengambilan
sampel dilakukan pada pukul 08.00-02.30 WIB, bertempat di Sungai yang terdapat di
kawasan wisata Taman Hutan Raya (TAHURA) dan praktikum dalam laboratorium
dilakukan pada pukul 08.00-10.00 WIB, bertempat di Laboratorium Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aves
Burung atau aves adalah salah satu kelompok yang paling banyak dan paling terkenal
di dunia. Mereka berdarah panas seperti mamalia tetapi lebih dekat kekerabatannya dengan
reptil, mereka berkembang sejak 135 juta tahun yang lalu. Semua burung lebih dulu bernenek
moyang dari fosil burung pertama, yaitu Archaeopteryx (Mac Kinnon, 1991).
Kelas Aves adalah kelas hewan vertebrata yang berdarah panas dengan memiliki bulu
dan sayap. Tulang dada tumbuh membesar dan memipih, anggota gerak belakang beradaptasi
untuk berjalan, berenang dan bertengger. Mulut sudah termodifikasi menjadi paruh, punya
kantong hawa, jantung terdiri dari empat ruang, rahang bawah tidak mempunyai gigi karena
gigi-giginya telah menghilang yang digantikan oleh paruh ringan dari zat tanduk dan
berkembang biak dengan bertelur. Kelas ini dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber
makanan, hewan ternak, hobi dalam peliharaan. Dalam bidang industri bulunya dapat
dimanfaatkan contohnya baju, hiasan dinding, dan lainnya. (Mukayat, 1990).
Kelas aves memiliki kemajuan bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang
mendahuluinya dalam hal; 1. Tubuh mempunyai penutup yang bersifat isolasi, 2. Darah vena
dan arteri terpisah secara sempurna dalam sirkulasi pada jantung, 3. Pengaturan suhu tubuh,
4. Rata-rata metabolisme aves tinggi, 5. Mempunyai kemampuan untuk terbang, 6. Suaranya
berkembang dengan baik, 7. Menjaga anaknya dengan baik dan cara khusus (Jasin, 1992) .
Bulu adalah ciri khas kelas aves yang tidak dimiliki oleh vertebrata lain. Hampir
seluruh tubuh aves ditutupi oleh bulu, yang secara filogenetik berasal dari epidermal tubuh,
yang pada reptile serupa dengan sisik. Secara embriologis bulu aves bermula dari papil
dermal yang selanjutnya mencuat menutupi epidermis. Dasar bulu itu melekuk ke dalam pada
tepinya sehingga terbentuk folikulus yang merupakan lubang bulu pada kulit. Selaput
epidermis sebelah luar dari kuncup bulu menanduk dan membentuk bungkus yang halus,
sedang epidermis membentuk lapisan penyusun rusuk bulu.Sentral kuncup bulu mempunyai
bagian epidermis yang lunak dan mengandung pembuluh darah sebagai pembawa zat-zat
makanan dan proses pengeringan pada perkembangan selanjutnya (Jasin, 1992).
Pada bagian mulut terdapat bagian yang terproyeksi sebagai paruh ( Rostrum) yang
terbentuk oleh maxila pada ruang bagian atas dan mandibula pada ruang bagian bawah.
Pada bagian luar dari rostrum dilapisi oleh pembungkus zat tanduk dan pada kelompok
burung Neornithes tidak bergigi. Tubuhnya dibungkus oleh kulit, pada kulit terdapat bulu
yang merupakan hasil derivat epidermis menjadi bentuk yang ringan, fleksibel, dan sebagai
sebagai pembungkus tubuh yang sangat resisten (Jasin, 1992).
Burung pada umumnya mempunyai kulit yang tipis, mengandung keratin sedikit
sekali. Hubungan dengan jaringan yang ada disebelahnya tidak erat. Struktur tambahan dari
kulit ialah bulu mengalami penandukan kuat sekali. Bagian bawah kaki dan jari, ditutupi oleh
sisik tanduk yang terdapat pada Archosauria dan ini mengelupas. Paruh juga mengalami
penandukan (Djuhanda, 1983).
Burung berkembang biak dengan bertelur. Telur burung mirip telur reptil, hanya
cangkangnya lebih keras karena berkapur. Beberapa jenis burung seperti burung maleo dan
burung gosong, menimbun telurnya di tanah pasir yang bercampur serasah, tanah pasir pantai
yang panas, atau di dekat sumber air panas. Alih-alih mengerami, burung-burung ini
membiarkan panas alami dari daun-daun membusuk, panas matahari, atau panas bumi
menetaskan telur-telur itu. persis seperti yang dilakukan kebanyakan reptil. Akan tetapi
kebanyakan burung membuat sarang, dan menetaskan telurnya dengan mengeraminya di
sarangnya itu. Sarang bisa dibuat secara sederhana dari tumpukan rumput, ranting, atau batu
atau sekedar kaisan di tanah berpasir agar sedikit melekuk, sehingga telur yang diletakkan
tidak mudah terguling. (Anonimous, 2010).
Walaupun kebanyakan burung mampu terbang, terdapat beberapa spesies yang tidak
mapu terbang seperti burung penguin, unta, rea, emu, kiwi, dan lain-lain. Burung adalah
oviparous atau bertelur, kadang kala kedua pasangan akan bergilir (penguin) dan dalam
setengah spesies burung hanya burung jantan yang akan mengerami telur. Terdapat juga
spesies burung yang bertelur dalam sarang burung burung lain untuk dieramkan oleh burung
lain (Jasin, 1992).
Burung ada pula yang memiliki cakar tajam untuk mencengkram mangsanya, cakar
pemanjat pohon, cakar penggali tanah dan sarasah, cakar berselaput untuk berenang, cakar
kuat untuk berlari dan merobek mangsa. Tipe-tipe cakar ini merupakan adaptasi dari
pengaruh habitat dan fungsinya. Burung berkembang biak dengan bertelur. Telur burung
mirip telur reptil, hanya saja cangkangnya lebih keras karena mengandung zat kapur. Burung
kebanyakan mengerami telurnya, tapi ada beberapa jenis burung yang menimbunnya dalam
pasir atau sarasah seperti burung Maleo dan burung Gasong. Sebagai ganti mengerami telur
burung-burung ini mengandalkan panas bumi dan fermentasi dari sarasah/sampah yang
membusuk persis seperti yang dilakukan kebanykan reptil (Djuhanda, 1983).
Untuk mengidentifikasi burung, warna merupakan cara identifikasi utama, kemudian
dilanjutkan dengan melihat pola warna bulu-bulu burung tersebut. Pengklasifikasian lebih
lanjut perlu diketahui ukuran, keistimewaannya, ciri-ciri khusus, tingkah laku, cara terbang,
dan tempat burung tersebut ditemukan (Mackinnon et.al, 1998).
1. Habitat Burung
Secara umum, habitat satwa didefinisikan sebagai tempat hidup satwa. Habitat satwa
harus dapat menyediakan keperluan dasar bagi satwa yaitu pakan, air, dan pelindung
(Morrison et al. 1992). Habitat merupakan hasil interaksi antara berbagai komponen seperti
komponen fisik dan komponen biologis (Alikodra 2002). Habitat yang baik akan mendukung
perkembangbiakan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Bailey (1984)
menyatakan bahwa kelengkapan habitat terdiri dari berbagai jenis termasuk makanan,
perlindungan dan faktor lain yang diperlukan oleh jenis satwa untuk bertahan hidup.
Beberapa faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan makanan, tempat
untuk beristirahat, bermain, berkembang biak, bersarang, bertengger, dan berlindung. Untuk
hidup di dalam suatu habitat, burung memerlukan syarat-syarat tertentu seperti kondisi
habitat yang cocok, baik, dan aman dari segala gangguan (Ontario et al. 1991). Komposisi
dari suatu profil habitat sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan tentang suatu
hubungan antara derajat kelimpahan satwaliar dengan tipe habitatnya (Alikodra,2002).
Anggota kelas aves memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap
lingkungannya, sehingga hewan ini mampu bertahan dan berkembang biak pada suatu
tempat. Struktur dan fisiologi burung diadaptasikan dalam berbagai cara untuk penerbangan
yang efisien. Yang paling utama di antara semuanya adalah sayap. Meskipun sekarang sayap
itu memungkinkan burung untuk terbang jauh mencari makanan yang cocok dan berlimpah,
mungkin saja sayap itu dahulu timbul sebagai adaptasi yang membantu hewan ini lolos dari
pemangsanya. Adanya burung-burung yang tidak memiliki sayap yang hidup di Antartika,
Selandia Baru dan daerah-daerah lain yang jarang ada pemangsanya membuktikan hal ini
(Kimball, 1983).
2. Keanekaragaman Jenis
Pada tingkat yang paling sederhana, keanekaragaman didefinisikan sebagai jumlah
jenis yang ditemukan dalam komunitas (Primack et al. 2007). Pengukuran terhadap
keanekaragaman merupakan dugaan atas jenis-jenis penting pada suatu komunitas
berdasarkan jumlah, biomassa, cover, dan produktivitas. Menurut Desmukh (1992)
keanekaragaman lebih besar jika kelimpahan populasi satu sama lain merata. Keragaman
jenis tidak hanya menyangkut kekayaan jenis, tetapi juga kemerataan dari kelimpahan
individu tiap jenis. Menurut Mardiastuti (1999) keanekaragaman hayati (biodiversity) adalah
kelimpahan berbagai jenis sumberdaya alam hayati (tumbuhan dan hewan) yang terdapat di
muka bumi. Keanekaragaman hayati dapat dikelompokkan menjadi tiga tingkat yaitu
keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman komunitas. Ketiga
tingkatan keanekaragaman hayati tersebut diperlukan untuk kelanjutan kelangsungan hidup di
bumi dan penting bagi manusia.
Kekayaan jenis burung di suatu tempat tidak tersebar merata tetapi tinggi di
beberapa habitat tertentu dan rendah di habitat lainnya (Sujatnika et al. 1995). Krebs (1978)
menyebutkan bahwa ada 6 faktor penting yang berkaitan dengan keanekaragaman jenis suatu
komunitas yaitu waktu, keragaman, ruang, persaingan, pemangsaan dan kestabilan
lingkungan serta produktivitas. Selain itu, stratifikasi tajuk juga merupakan faktor yang
mempengaruhi keanekaragaman jenis burung (Sayogo 2009). Penutupan tajuk, tinggi tajuk,
dan keanekaragaman jenis pohon juga menentukan keanekaragaman jenis burung di suatu
tempat.
3. Pola Sebaran Burung
Pergerakan adalah strategi dari individu ataupun populasi untuk menyesuaikan dan
memanfaatkan keadaan lingkungannya agar dapat hidup dan berkembang biak secara normal.
Pergerakan berfungsi untuk mencari pakan, sumber air, untuk berkembang biak ataupun
untuk menghindarkan diri dari pemangsaan dan gangguan lainnya (Alikodra, 1990).
Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan
penyebarannya dapat secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari
tife habitat yang dihuni burung, sedangkan secara vertikal dari stratifikasi profil hutan yang
dimanfaatkan oleh burung. Keberadaan jenis-jenis burung dapat dibedakan menurut
perbedaan strata, yaitu strata semak, strata pohon, dan starta tajuk. Setiap strata mempunyai
kemampuan untuk mendukung kehidupan jenis-jenis burung.
Struktur dan fisiologi burung diadaptasikan dalam berbagai cara untuk penerbangan
efisien. Yang paling utama dari semua ini tentu saja adalah sayap. Meskipun sekarang sayap
itu bisa memungkinkan burung untuk terbang jarak jauh untuk mencari makanan yang cocok
dan berlimpah. Mungkin saja sayap itu dahulu timbul sebagai adaptasi yang membantu
mereka meloloskan diri dari pemangsanya (Kimball, 1999).
Adanya bulu pada burung merupakan karakter spesifik yang menunjukkan jenis
burung. Sayap merupakan adaptasi dari burung yang jelas untuk terbang. Merupakan airfoil
yang menggambarkan prinsip aerodinamika. Sisik pada kaki burung merupakan sisa evolusi
dari reptil. Bulu adalah salah satu adaptasi vertebrata yang paling luar biasa karena sangat
ringan dan kuat. Bulu terbuat dari keratin, protein yang juga menyusun rambut dan kuku pada
mammalia dan sisik pada reptilia. Pertama kali, burung merupakan hewan yang memiliki
sayap sebagai penyekat selama evolusi hewan endoterm, setelah itu baru dimanfaatkan
sebagai peralatan terbang. Selain itu bulu juga dapat dimanipulasi untuk mengntrol
pengerukan udara di sekitar sayap (Kimball, 1999).
4. Gangguan Terhadap Burung
Manusia mempunyai peranan yang sangat besar terhadap timbulnya gangguan
terhadap burung (Alikodra 2002). Penyebab utama masalah gangguan terhadap satwa liar
termasuk burung yaitu pertumbuhan penduduk yang membutuhkan lahan hutan lebih banyak
untuk pembangunan sehingga mendesak kehidupan burung. Sutopo (2008) menambahkan
bahwa terdapat empat jenis ancaman terhadap burung diantaranya (1) perusakan dan
perubahan habitat, (2) perburuan dan perdagangan, (3) perusakan tempat berkembang biak,
dan (4) pencemaran dan pestisida. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Sujatnika et al. (1995)
bahwa meningkatnya tekanan terhadap hidupan liar dan ekosistem alami antara lain
disebabkan oleh terus meningkatnya jumlah penduduk, ketidakpastian tata guna dan
pengelolaan lahan, dan kebijakan ekonomi serta pembangunan.
Selain itu, erat kaitannya dengan kemiskinan, tekanan penduduk, pemanfaatan
sumberdaya dan lahan hutan serta pengembangan pertanian. Van Balen (1999) menjelaskan
bahwa gangguan terhadap burung disebabkan oleh tekanan pertumbuhan populasi manusia
sehingga berpengaruh juga terhadap kelimpahan dan distribusi burung-burung di hutan.
Besarnya jumlah penduduk dan meningkatnya eksploitasi terhadap sumberdaya yang
memiliki nilai ekonomi, maka tidak dapat dipungkiri bahwa hutan didesak sampai ke puncak
gunung yang paling tinggi, burung-burung diburu untuk dimakan, untuk olahraga atau dijual
(MacKinnon et al. 1998).
B.Bentos
Bentos adalah semua organisme air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu
perairan, baik yang bersifat sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas). Berdasarkan
tempat hidupnya, bentos dapat dibedakan menjadi epifauna yaitu bentos yang hidupnya di
atas substrat dasar perairan dan infauna,yaitu bentos yang hidupnya tertanam di dalam
substrat dasar perairan. Berdasarkan siklus hidupnya bentos dapat dibagi menjadi holobentos,
yaitu kelompok bentos yang seluruh hidupnya bersifat bentos dan merobentos, yaitu
kelompok bentos yang hanya bersifat bentos pada fase-fase tertentu dari siklus hidupnya
(Barus, 2004).
Menurut Lalli dan Pearsons (1993), hewan bentos dapat dikelompokkan berdasarkan
ukuran tubuh yang bisa melewati lubang saring yang dipakai untuk memisahkan hewan dari
sedimennya.
Berdasarkan kategori tersebut bentos dibagi atas :
a. Makrozoobentos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini adalah
hewan bentos yang terbesar, jenis hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca,
annelida, crustaceae, beberapa insekta air dan larva dari diptera, odonata dan lain sebagainya.
b. Mesobentos, kelompok bentos yang berukuran antara 0,1 mm -1,0 mm. Kelompok ini
adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur. Hewan yang termasuk
kelompok ini adalah molusca kecil, cacing kecil, dan crustaceae kecil.
c. Mikrobentos, kelompok bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Kelompok ini
merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk ke dalamnya adalah protozooa
khususnya cilliata.
Rosenberg dan Resh (1993) menyatakan bahwa hewan bentos yang relatif mudah
diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis yang tergolong
ke dalam kelompok makroinvertebrata air. Makroinvertebrata air dikenal juga dengan istilah
makrozoobentos.
Hewan ini memegang peranan penting dalam perairan seperti dalam proses
dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan. Hewan bentos,
terutama yang bersifat herbivor dan detrivor dapat menghancurkan makrofit akuatik yang
hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-
potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi
nutrien bagi produsen perairan (Lind, 1985).
Odum (1994) menyatakan makroinvertebrata air (makrozoobenthos) memegang
peranan penting dalam ekosistem perairan dan menduduki beberapa tingkatan trofik pada
rantai makanan. Kedudukan makroinvertebrata air di dalam tingkatan trofik digolongkan ke
dalam kelompok :
a. Grazers dan Serapers, adalah herbivor pemakan tumbuhan air dan periphyton. Taksa yang
termasuk ke dalam golongan ini adalah Ecdyonurus sp. (Ephemeroptera), Gastropoda, Elmis
sp. dan Latelmis sp. (Coleoptera).
b. Shredders adalah detritivor pemakan partikel organik kasar. Takson yang tergolong ke
dalam golongan ini adalah Tipula sp. (Diptera), Neumora sp. (Plecoptera).
c. Collector adalah detritivor pemakan organik halus. Berdasarkan cara pengambilan
makanannya collector dapat dibagi dua yaitu filter feeder dan deposit feeder. Golongan filter
feeder adalah collector yang mengambil makanan dengan cara menyaring materi yang
terlarut di dalam air. Karakteristik collector dari golongan ini adalah mempunyai fila di
daerah mulut atau kaki sebagai alat pengumpul makanan. Taksa yang termasuk golongan
filter feeder adalah Simulidae (Diptera), Rheotanytarsus sp., Hydropsyche sp. Golongan
deposit feeder adalah collector yang mengambil makanan yang ada di permukaan dasar
perairan. Taksa yang termasuk golongan ini adalah Chiromonidae, Orthoeladine, Diamesiae.
d. Predator adalah carnivor pemakan hewan lain. Taksa yang termasuk golongan ini adalah
Tanypodidae (Diptera), Perla sp.,(Plecoptera) dan Hirudinae.
Sebagai organisme dasar perairan, bentos memiliki habitat yang relatif tetap. Dengan
sifat yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat
mempengaruhi komposisi maupun kemelimpahannya. Komposisi maupun kemelimpahan
makroinvertebrata tergantung kepada kepekaan/ toleransinya terhadap perubahan lingkungan.
Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara
penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi
dan kemelimpahan makroinvertebrata air relatif tetap ( APHA, 1992 ).
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozobentos berdasarkan
kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik ke dalam kelompok :
a. Intoleran, yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi
lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini
tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas.
b. Fakultatif, yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi lingkungan
yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini
dapat bertahan hidup diperairan yang banyak bahan organik namun tidak dapat mentolerir
tekanan lingkungan.
c. Toleran, yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi
lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai diperairan yang berkualitas
jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan
dan kelimpahannya dapat bertambah diperairan yang tercemar oleh bahan organik.
3. Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Air
Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan
analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisis fisika
dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya akan kualitas perairan, sedangkan
analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat memberikan
gambaran yang jelas tentang kualitas perairan. Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga
baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah
yang masuk ke habitatnya. Di antara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka
terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk makrozoobentos
(Pradinda, 2008).
Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaannya dan
perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi perubahan
kualitas air maka akan berpengaruh terhadap keberadaan dan perilaku organisme tersebut,
sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas lingkungan (Triadmodjo, 2008).
2.4 Faktor Fisika - Kimia yang Mempengaruhi Komunitas Makrozoobentos
Menurut Nybakken (1992), sifat fisika-kimia perairan sangat penting dalam ekologi.
Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti
makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisika- kimia)
perairan, karena antara faktor abiotik dan biotik saling berinteraksi. Menurut Barus (2004),
dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor-faktor
abiotiknya maka akan diperoleh gambaran tentang kondisi dan kualitas perairan.
Faktor abiotik (fisika-kimia) perairan yang mempengaruhi komunitas makrozoobentos antara
lain:
2.4.1 Kecepatan arus
Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian antara bagian hilir dan hulu
(topografi) badan air, dimana semakin tinggi perbedaan ketinggian (elevasi) tersebut maka
arus semakin kuat. Kecepatan arus akan mempengaruhi komposisi substrat dasar (sedimen)
dan juga akan mempengaruhi aktifitas makrozoobentos yang ada. Kaitannya dengan
kecepatan arus Odum (1971) dalam Suradi (1993) menyebutkan tujuh bentuk adaptasi yang
dilakukan makrozoobentos, yaitu:
a. Membentuk kait dan alat pelekat
b. Melekat pada substrat yang kokoh.
c. Bentuk tubuh yang sesuai.
d. Tubuh pipih.
e. Reotaksis positif.
f. Tigmotaksis positif.
g. Bagian tubuh melekat.
Kecepatan arus merupakan salah satu faktor penentu kemelimpahan dan
keanekaragaman makrozoobentos. Pada perairan yang relatif tenang dan banyak ditumbuhi
tumbuhan air biasanya banyak ditemukan kelompok Molusca sedangkan perairan dengan
arus kuat atau jeram banyak ditemukan makrozoobentos dari kelompok Insekta dan
Hirudinae (Koesbiono, 1979).
Organisme yang ada di dasar sungai bergantung kepada sifat dasar sungainya. Dasar
sungai tergantung kepada kecepatan arus air jika aliran sungai deras, maka dasar sungai
mengandung kerikil dan pasir. Jika arus hampir diam, maka dasar sungai adalah lumpur
(Sastrawidjaya, 1991).
2.4.2 Temperatur Air
Dalam setiap penelitian pada ekosistem akuatik, pengukuran temperatur air
merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis
gas di air serta semua aktivitas biologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh
temperatur. Menurut hukum Van’ Hoffs kenaikan temperatur sebesar 100 C (hanya pada
kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme
sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi
oksigen meningkat. Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya,
ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan
yang tumbuh di tepi (Brehm dan Meijering, 1990 dalam Barus, 2004).
Temperatur air pada suatu perairan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan
distribusi makroinvertebrata air. Pada umumnya temperatur di atas 300C dapat menekan
populasi makroinvertebrata air (Odum, 1994). Welch (1980) menyatakan bahwa hewan
makroinvertebrata air pada masa perkembangan awal sangat rentan terhadap temperatur
tinggi dan pada tingkatan tertentu dapat mempercepat siklus hidup sehingga lebih cepat
dewasa. James dan Evison (1979)
menyatakan bahwa temperatur yang tinggi menyebabkan semakin rendahnya kelarutan
oksigen yang menyebabkan sulitnya organisme akuatik dalam melakukan respirasi karena
rendahnya kadar oksigen terlarut.
2.4.3 Penetrasi Cahaya
Kemampuan penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga akan
mempengaruhi distribusi dan intensitas fotosintesis tumbuhan air dibadan perairan (Brower et
al., 1990). Menurut Koesbiono (1979), pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan
penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktifitas fotosintesis fitoplankton
dan alga, akibatnya menurunkan produktivitas perairan.
Muatan padatan tersuspensi dan kekeruhan, menurut Sandy (1985) sangat dipengaruhi oleh
musim. Pada waktu musim penghujan kandungan lumpur relatif lebih tinggi karena besaran
laju erosi yang terjadi; sedangkan pada musim kemarau tingkat kekeruhan air sungai
dipengaruhi oleh laju aliran air yang terbatas menoreh hasil-hasil endapan sungai.
Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan
jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Berkurangnya cahaya matahari
disebabkan karena banyaknya faktor antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu,
tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi keruh.
2.4.4 Intensitas Cahaya
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis
dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan
dipantulkan ke luar dari permukaan air. Vegetasi yang ada disepanjang aliran air juga dapat
mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke mengabsorbsi cahaya matahari. Efek ini
terutama akan terlihat pada daerah hulu yang aliran airnya umumnya masih kecil dan sempit.
Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan
mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Larva dari Baetis rhodani akan
bereaksi terhadap perubahan intensitas cahaya, dimana jika intensitas cahaya matahari
berkurang, hewan ini akan ke luar dari tempat perlindungannya yang terdapat pada bagian
bawah dari bebatuan didasar perairan, bergerak menuju ke bagian atas bebatuan untuk
mencari makanan (Barus, 2004).
2.4.5 DO (Disolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air,
yaitu untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat
dipengaruhi temperatur, dimana kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada temperatur
00 C sebesar 14,16 mg/l O2, kelarutan ini akan menurun jika temperatur air meningkat (Barus,
2004).
Menurut Sanusi (2004), nilai DO yang berkisar di antara 5,45 – 7,00 mg/l cukup bagi
proses kehidupan biota perairan. Barus (2004), menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di
perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l, makin rendah nilai DO maka makin tinggi
tingkat pencemaran ekosistem tersebut.
Kadar organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan
makrozoobentos, dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobentos
tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan
meningkatnya jumlah populasi hewan bentos dan sebagai organisme dasar, bentos menyukai
substrat yang kaya akan bahan organik. Maka pada perairan yang kaya bahan organik,
umumnya terjadi peningkatan populasi hewan bentos (Koesbiono, 1979).
2.5 Indeks Keanekaragaman
Penggunaan bentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk
indeks biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat
kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar. Jenis-jenis organisme ini
berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di perairan tidak tercemar. Kemudian oleh
para ahli biologi perairan, pengetahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan
komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator
kualitas perairan (Rosenberg, 1993).
C.Plankton
Menurut Gusrina dalam BSE menyatakan plankton adalah organisme renik yang
hidup melayang-layang mengikuti pergerakan air. Plankton didalam perairan dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu phytoplankton dan zooplankton. Phytoplankton adalah
organisme renik yang hidup melayang-layang mengikuti pergerakan air yang berasal dari
jasad nabati sedangkan zooplankton adalah organisme renik yang hidup melayang-layang
mengikuti pergerakan air yang berasal dari jasad hewani. Sedangkan bentos adalah organisme
air yang hidup didasar perairan .Jenis-jenis phytoplankton dan zooplankton yang dapat
dibudidayakan dapat dikelompokkan berdasarkan habitatnya adalah plankton air tawar dan
plankton air laut. Plankton air tawar hidup diperairan tawar sedangkanplankton air laut hidup
diperairan laut. Dalam siklus hidupnya phytoplankton melakukan proses fotosintesa dan
berukuran kecil yaitu terdiri dari satu sel atau beberapa sel. Bentuk phytoplankton antara lain:
oval, bulat dan seperti benang. Phytoplankton yang hidup di dalam perairan ini akan
memberikan warna yang khas pada perairan tersebut seperti berwarna hijau, biru atau coklat.
Hal ini dikarenakan didalam tubuh phytoplankton terdapat zat warna atau pigmen. Zat warna
atau pigmen ini dapat diklasifikasikan yaitu :
1. Warna biru (Fikosianin)
2. Warna hijau (Klorofil)
3. Warna pirang (Fikosantin)
4. Warna merah (Fikoeritrin)
5. Warna kuning (Xantofil)
6. Warna keemasan (Karoten)
Plankton adalah kelompok-kelompok organisme yang hanyut bebas dalam laut dan
daya renangnya sangat lemah. Kemampuan berenang organisme-organisme planktonik
demikian lemah sehingga mereka sama sekali dikuasai oleh gerakan air, hal ini berbeda
dengan hewan laut lainnya yang memiliki gerakan dan daya renang yang cukup kuat untuk
melawan arus laut( Nybakken,1992).
Plankton adalah suatu organisme yang terpenting dalam ekosistem laut, kemudian
dikatakan bahwa plankton merupakan salah satu organisme yang berukuran kecil dimana
hidupnya terombang-ambing oleh arus perairan laut (Hutabarat dan Evans, 1988)
Menurut ukurannya, plankton dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu
makroplankton (lebih besar dari 1 mm), mikroplankton (0,06–1 mm) dan nanoplankton
(kurang dari 0,06 mm) meliputi berbagai jenis fitoplankton. Diperkirakan 70 % dari semua
fitoplankton di laut terdiri dari nanoplankton dan inilah yang memungkinkan terdapatnya
zooplankton sebagai konsumer primer (Sachlan, 1972).
Berdasarkan daur hidupnya, plankton terbagi dalam dua golongan yaitu holoplankton
yang merupakan organisme akuatik dimana seluruh hidupnya bersifat sebagai plankton,
golongan kedua yaitu meroplankton yang hanya sebagian dari daur hidupnya bersifat sebagai
plankton (Bougis, 1976; Nybakken, 1992).
Berdasarkan keadaan biologisnya menggolongkan plankton sebagai berikut : (a)
Fitoplankton yang merupakan tumbuhan renik, (b) Zooplankton yang merupakan hewan-
hewan yang umumnya renik (Newel,1963).
Zooplankton merupakan anggota plankton yang bersifat hewani, sangat beraneka
ragam dan terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh
filum hewan. Zooplankton memiliki ukuran yang lebih besar dari fitoplankton (Nontji, 1987).
Effendi (1997) membagi ukuran zooplankton dengan ketentuan khusus, yaitu
makrozooplankton yang berukuran lebih besar dari 2 cm, dan mesozooplankton yang
berukuran 200 – 20.000 m. Larva ikan maupun ikan-ikan muda yang bersifat planktonik
disebut ichtyoplankton umumnya berukuran besar. Umumnya zooplankton mempunyai alat
gerak seperti flagel, cilia atau kaki renang, namun tidak dapat melawan pergerakan air
(Raymont, 1963).
Komposisi jenis zooplankton sangat bervariasi di berbagai wilayah laut. Bagian
terbesar dari organisme zooplankton adalah anggota filum Arthropoda dan hampir semuanya
termasuk kelas Crustacea. Holoplankton yang paling umum ditemukan di laut adalah
Copepoda. Copepoda merupakan zooplankton yang mendominasi di semua laut dan
samudera, serta merupakan herbivora utama dalam perairan-perairan bahari dan memiliki
kemampuan menentukan bentuk kurva populasi fitoplankton. Copepoda berperan sebagai
mata rantai yang amat penting antara produksi primer fitoplankton dengan para karnivora
besar dan kecil (Nybakken,1992).
Romimohtarto dan Juwana (1998) menyatakan bahwa Crustacea merupakan jenis
zooplankton yang terpenting bagi ikan-ikan, baik di perairan tawar maupun di perairan laut.
Diantara anggota filum Arthropoda, hanya Crustacea yang dapat hidup sebagai plankton
dalam perairan. Menurut Davis (1955), kelimpahan zooplankton sangat ditentukan oleh
adanya fitoplankton, karena fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton. Silvania
(1990) mengemukakan bahwa di perairan fitoplankton mempunyai peranan sebagai produsen
yang merupakan sumber energi bagi kehidupan organisme lainnya. Hal ini juga didukung
oleh Arinardi (1977) yang menyatakan bahwa kepadatan zooplankton sangat tergantung pada
kepadatan fitoplankton, karena fitoplankton adalah makanan bagi zooplankton, dengan
demikian kuantitas atau kelimpahan zooplankton akan tinggi di perairan yang tinggi
kandungan fitoplanktonnya.Zooplankton merupakan organisme penting dalam proses
pemanfaatan dan pemindahan energi karena merupakan penghubung antara produsen dengan
hewan-hewan pada tingkat tropik yang lebih tinggi. Dengan demikian populasi yang tinggi
dari zooplankton hanya mungkin dicapai bila jumlah fitoplankton tinggi. Namun dalam
kenyataannya tidak selalu benar dimana seringkali dijumpai kandungan zooplankton yang
rendah meskipun kandungan fitoplankton sangat tinggi. Hal ini dapat diterangkan dengan
adanya “The Theory of Differential Growth Rate” (Teori Perbedaan Kecepatan Tumbuh)
yang dikemukakan oleh Steeman dan Nielsen (1973) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan
zooplankton tergantung pada fitoplankton tetapi karena pertumbuhannya lebih lambat dari
fitoplankton maka populasi maksimum zooplankton akan tercapai beberapa waktu setelah
populasi maksimum fitoplankton berlalu( Sachlan, M. 1982).
Kualitas suatu perairan terutama perairan menggenang dapat ditentukan berdasarkan
fluktuasi populasi plankton yang akan mempengaruhi tingkatan trofik perairan tersebut.
fluktuasi dari populasi plankton sendiri dipengaruhi terutama oleh perubahan berbagai faktor
lingkungan .salah satu faktor yang dapat mempengaruhi populasi plankton adalah
ketersediaan nutrisi di suatu perairan. unsur nutrisi berupa nitrogen dan fosfor yang
terakumulasi dalam suatu perairan akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi
fitoplankton dan proses ini akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi yang dapat menurunkan
kualitas suatu perairan (Uun, 2006).
Plankton mempunyai massa yang aktif yang mirip dengan organisme tingkat tinggi,
dimana untuk phytoplankton akan terdapat dalam jumlah besar pada siang hari dan
zooplankton pada malam hari. (Fajri, 2013).
Penyumbang oksigen planet Bumi selama ini yang kita tahu adalah pohon, tapi pada
kenyataannya ternyata plankton lah ayang merupakan penyumbang oksigen terbesar di planet
Bumi. Pohon hanya menumbang oksigen sebesar 20% untuk Planet Bumi. Pohon berguna
untukNmitigasiN(mengurangi)NkarbondioksidaNyangNadaNdiNbumi.
(http://adityaaqbari.blogspot.com/2010/12/penyumbang-oksigen-terbesar-bagi-bumi.html).
Plankton adalah organisme yang hidupnya melayang atau mengambang di dalam air.
Kemampuan geraknya, kalaupun ada, sangat terbatas hingga organisme tersebut terbawa oleh
arus namun, mempunyai peranan penting dalam ekosistem laut, karena plankton menjadi
bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut lainnya. Selain itu hampir semua hewan laut
memulai kehidupannya sebagai plankton terutama pada tahap masih berupa telur dan larva
( Nontji,2005).
Klasifikasi dalam biologi membedakan plankton dalam dua kategori utama yaitu
fitoplankton yang meliputi semua hubungan renik dan zooplankton yang meliputi hewan
yang umumnya renik (Rutter, 1973 dalam Sahrainy, 2001).
Walaupun Plankton potensial berbahaya menyebar luas secara geografis dan hal ini
mengidentifikasikan adanya kisaran yang luas terhadap toleransi suhu, tetapi spesies alga
potensial berbahaya daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan
suhu. Kisaran suhu optimal bagi spesies alga potensial berbahaya adalah 250–300 C dan
kemampuan proses fotosintesis akan menurun tajam apabila suhu perairan berada di luar
kisaran optimal tersebut (Gross dan Enevoldsen, 1998 dalam Gosari, 2002).
D.Mamalia
Mamalia adalah vertebrata yang tubuhnya tertutup rambut. Yang betina mempunyai
kelenjar mamae (air susu) yang tumbuh baik. Anggota gerak depan pada mamalia dapat
bermodifikasi untuk berlari, menggali lubang, berenang, dan terbang. Pada jari-jarinya
terdapat kuku, cakar, atau tracak.pada kulit banyak terdapat kelenjar minyak dan kelenjar
keringat. Gigi umumnya terbagi menjadi 4 tipe: gigi seri, gigi taring, premolar, dan molar.
Dibanding dengan kondisi vertebrata lainnya, jumlah tulang tengkorak mamalia banyak
tereduksi. Ada 2 kondil oksipital. Vertebrae servikal biasanya ada 7 buah. Dalam sabuk
pektoral tidak terdapat tulang korakoid, dan klavikula vestigial atau tidak ada sama sekali.
Ekor jika ada, panjang dan dapat digerakan. Ada 3 buah osikel auditori, yaitu malleus, inkus,
dan stapes. Akhir organ pendengaran (koklea) berstruktur sangat kompleks dan sedikit
banyak bergelung. Pada telinga terdapat suatu auditori eksternal dan pinna (telinga luar) pada
tiap sisi lateral kepala ( Brotowidjoyo, 1990).
Mamalia merupakan kelompok tertinggi derajatnya dalam dunia hewan. Termasuk
dalam kelas ini adalah tikus, kelelawar, kucing, kera, ikan paus, kuda, kijang, manusia, dan
lain-lain. Hampir semua tubuhnya tertutup dengan kulit yang berambut banyak atau sedikit
dan berdarah panas (homoiotherm). Sebutan mamalia berdasar adanya kelenjar mamae pada
hewan betina untuk menyusui anaknya yang masih muda. Mamalia hidup di berbagai habitat
mulai dari kutub sampai daerah ekuator, dari dasar laut sampai hutan lebat dab gurun pasir.
Banyak yang hidup secara nocturnal dan banyak juga yang hidup secara diurnal. Species
tertentu sebagai hewan buas yang diburu, species lainnya jinak. Beberapa pemakan daging
(carnivora), sebagai hewan pengerat, sebagai hewan pemakan biji-bijian dan buah-buahan,
dan beberapa sebagai sumber penyakit. Tubuh diisolasi oleh pembungkus (bulu atau rambut
dan sub cutan yang berlemak); darah vena dan darah arteriil terpisah secara sempurna. Oleh
karenanya suhu tubuh dapat diatur. Dengan sistem itu maka rata-rata metabolismenya tinggi
dan akibatnya dibutuhkan banyak makanan. Gigi kompleks dan berdeferensiasi. Cerebellum
dan cerebrum yang besar berfungsi sebagai koordinator dalam semua aktivitas dan untuk
belajar dan menyimpan ingatan (Jasin, 1992).
Mamalia hidup pada berbagai tipe habitat, mulai dari habitat teresterial sampai habitat
akuatik, mamalia teresterial tersebar luas mulai dari kutub sampai ke kawasan tropis Mamalia
teresterial dapat menempati tipe habitat yang beraneka ragam, baik hutan maupun bukan
hutan seperti kawasan pertanian, perkebunan, gua dan padang rumput .Kebanyakan jenis
mamalia di Indonesia hidup di hutan hujan dipterocarpacea, dengan agak lebih sedikit spesies
di hutan rawa dan hutan kerangas. Banyak spesies mampu bertahan hidup di habitat yang
berubah-ubah, dan sering mudah terlihat di hutan yang baru ditebang dan hutan sekunder
bahkan perkebunan, dimana vegetasinya lebih jarang. Mamalia juga banyak menggunakan
lahan pertanian sebagai habitat, sehingga dapat menjadi hama pertanian karena mencari
makan di lahan pertanian dan berlindung di hutan-hutan sekitarnya. Kawasan pinggiran hutan
yang berbatasan dengan perkebunan atau lahan pertanian penduduk sering mendukung
berbagai spesies binatang dengan kepadatan yang relatif lebih tinggi (Priyono, 1991).
Mamalia dibagi menjadi dua sub kelas berdasarkan sifat perkembangbiakannya. Kedua sub
kelas ini selanjutnya di bagi menjadi 18 ordo. Anggota ordo primates mempunyai ciri-ciri
tubuh tertutup oleh rambut, tungkai-tungkainya sedikit, banyak bersifat prehensil, kelima jari
dilengkapi kuku yang pipih, ibu jari lebih pendek daripada yang lain, cara berjalan plantigrad,
kelenjar susu sepasang terletak di daerah dada, hidup aboreal. Ordo rodentia (mamalia
pangerat), anggota-anggota ini mempunyai ciri-ciri: tubuh kecil, tungkai-tungkai berjari-jari
lima masing-masing bercakar gigi seri pada rahang atas hanya sepasang berbentuk seperti
pahat tanpa taring. Ordo carnivora, anggota-anggotanya mempunyai ciri-ciri: gigi dengan
tepi yang tajam, taring besar, gigi seri kecil berjumlah 6 pada tiap rahang, jumlah jari pada
tiap kaki tidak kurang dari 4, ujungnya bercakar runcing dan tajam kelenjar susu
abdominal. Ordo proboscidea, anggota-anggotanya mempunyai ciri-ciri: tubuh besar,
mempunyai belalai lubanghidung di ujung belalai, kulit tebal, rambut tersebar, mata kecil,
telinga besar, tungkai besar menyerupai tiang, kaki berjari lima, gigi seri rahang atas berubah
menjadi gading, tidak bertaring, mamae satu pasang di daerah pectoral. Ordo perissodactyla,
anggota-anggotanya mempunyai ciri-ciri: mempunyai ukuran besar, jari-jari teracak, jari
tengah, kaki-kakinya tumbuh membesar dan menjadi tumpuan berat badannya, mammae di
daerah inguinal. Ordo artiodactyla, anggota-anggotanya mempunyai ciri-ciri: kaki depan atau
kaki belakang mempunyai jari-jari sedikitnya satu pasang umumnya dua pasang masing-
masing jari teracak, mamae satu pasang, atau beberapa pasang bila satu pasang terdapat di
daerah inginal, bila beberapa pasang di daerah (Tim Pembina mata kuliah, 2012).
Berdasarkan ukurannya, mamalia dibagi menjadi dua, yakni mamalia besar dan
mamalia kecil. International Biological Program mendefinisikan mamalia besar sebagai jenis-
jenis mamalia yang memiliki ukuran berat badan dewasa > 5Kg, sedangkan mamalia kecil
dengan ukuran berat badan dewasa < 5Kg. Jenis-jenis mamalia besar, dicontohkan sebagai
berikut: rusa, harimau, dan kerbau air. Mamalia kecil, antara lain tikus, bajing, dan kelelawar
(Jasin, 1992).
Dalam pemanfaatan waktu aktivitas, mamalia juga dibagi menjadi mamalia diurnal
dan mamalia nokturnal. Mamalia diurnal merupakan jenis-jenis mamalia yang melakukan
aktivitasnya pada pagi dan sore hari, seperti orangutan, rusa, dan beberapa jenis bajing.
Mamalia nokturnal merupakan jenis-jenis mamalia yang melakukan aktivitasnya mulai
menjelang malam hari hingga menjelang pagi hari, seperti kelelawar, tenggalung malaya,
serta musang. Selain itu, terdapat juga jenis-jenis yang beraktivitas sepanjang hari seperti
babi hutan (priyono, 1991).
Mamalia dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan habitatnya , yakni mamalia darat
dan mamalia laut. Mamalia darat merupakan mamalia yang sebagian besar aktivitasnya
dilakukan di darat, sedangkan mamalia laut melakukan aktivitasnya sebagian besar di laut.
Contoh dari mamalia darat, yakni monyet-ekor panjang, macan tutul, tikus, serta kuda.
Mamalia laut, antara lain pesut, dugong, dan paus (anonim c, 2012).
Sebagian besar tubuh mamalia memiliki bagian utama yaitu caput (kepala), truncus
(badan), cauda (ekor) dan extrimitas liberae (alat gerak). Pada bagian caput terdapat
auriculae (telinga), porus acusticus externa, organon visus, nares (lubang hidung), fibrisae
dan rima oris. Auricularae telah berkembang dengan sempurna memiliki daun telinga yang
membantu untuk proses pendengaran. Organon visusnya terdapat palpebra superior (pelupuk
mata atas) dan inferior (pelupuk mata bawah), selain itu juga terdapat plica semilunaris yang
terletak di sudut mata sebelah medial. Rima oris dibatasi oleh labium superius, serta terdapat
palantum durum (langit-langit keras) dan palantum molle (langit-langit lunak). Rima oris
pada Rattus norvegicus terdapat insisivus (gigi seri) yang termodifikasi sebagai hewan
pengerat (Radiopoetra, 1996).
Mamalia merupakan salah satu kelas dari kingdom animalia yang memiliki sejarah
evolusi hampir sempurna dibandingkan dengan kelas yang yang lain. Mammalia adalah
organisme yang memiliki kelenjar susu (glandula mammae) yang dapat menghasilkan susu
dan memiliki daun telinga untuk membantu pendengaran. Mammalia juga mempunyai
rambut yang menutupi seluruh bagian tubuhnya (Kant, 2001).
Bagian internal mamalia sebagian besar memiliki struktur yang hampir sama yaitu
terdapat organ-organ vital yang meliputi hepar, cor, ren, vesica fellea, ventriculus, lien,
intestinum tenue, intestinum crasum, coccum, dan vesica urinaria. Hepar mamalia memiliki 5
lobi, 3 lobi hepar dexter dan 2 lobi hepar sinister. Cor terletak di dekat pulmo dan pada posisi
sebelah thorax bagian sinister. Vesica fellea dan ventriculus terletak di caudal hepar. Lien
berbentuk pipih lonjong dan menempel pada ventriculus. Intestinum merupakan saluran yang
panjang berbelit-belit dengan dindingnya yang sangat tebal dan mengandung vili-vili.
Terdapat dua macam intestinum yaitu intestinum tenue (usus halus) dan intestinum crasum
(usus besar). Intestinum crasum biasanya disebut coecum yang terdiri dari incisurae (kolon
naik), haustrae (kolon mendatar), dan taeniae (kolon menurun). Untuk proses ekskresinya
yang berupa urine terdapat organ vesica urinaria (Kardong, 2002).
System pencernaan pada mamalia dibedakan menjadi dua yaitu Tractus digestivus (saluran
pencernaan) dan Glandula digestoria (kelenjar pencernaan). Tractus digestivus disusun oleh
cavum oris, lingua, pharynk, esophagus, ventrikulus, intestinum tenue, coecum, intestinum
crasum, dan anus. Cavun oris terdiri dari palantum durum (langit-langit keras), palantum
molle (langit-langit lunak)dan dentes. Dentes terdapt empat macam yaitu dens insisivus, dan
caninus yang berkembang tereduksi, dens praemolare, dan dens molare. Diantara dens
insisivus dan praemolare terdapat celah yang dinamakan diastema. Pada lingua terdapat
lingua yang mempunyai banyak papillae (tonjolan kecil) yang berfungsi sebagai indra perasa.
(lytle dan John, 2005).
Mamalia mempunyai tubuh berbentuk bilateral simetris dengan tulang rangka yang
mempunyai kendio okspital, pada rahangya terdapat gigi yang bentuk dan besarnya berbeda
untuk setiap individu. Kaki teradaptasi untuk berjalan, memanjat, menggali tanah, serta
berenang sehingga kakinya mempunyai cakar, kuku, dan telapak. Jantung mempunyai empat
ruang dengan sekat yang sempurna, aortanya hanya terdapat di sebelah kiri. Ukuran paru-
paru relatif besar, kompak dan kenyal yang terdapat pada rongga dada. (Djuhanda, 1982).
Mamalia mempunyai glandula mamae yang menghasilkan kelenjar susu untuk
diberikan pada anaknya sebagai minuman pertama setelah lahir. Mamalia dapat dibedakan
bagian-bagiannya dengan nyata yaitu, kepala (caput), badan (truncus), dan ekor (cauda) pada
umumnya. Sistem pencernaan pada mamalia dimulai dari rima oris, di dalam rima oris
bermuara glandula salives diantaranya yang terbesar adalah glandula parotis. Ventrikulus
mempunyai kelenjar yang menghasilkan HCl, dan pepsin. Intestinum dibagi menjadi
intestinum tinue dan intestinum crassum. Intestinum tinue dibagi lagi menjadi colon dan
rectum, di dalam duodenum bermuara dua kelenjar, yaitu hepar dan pankreas.
Hepar sebagai kelenjar empedu yang disimpan di dalam vesica felea. Fase setelah
melalui hepar, kemudian melewati ductus pancreaticus yang kemudian bersatu dengan ductus
systicus yang datang dari vesica felea dan menjadi ductus choleductus yang bermuara
bersama dengan ductus pancreaticus yang datang dari pankreas ke dalam duodenum. Colon
dimulai dari caecum dimana pada ujungnya bermuara appendiks vermiformis. (Radiopoetro,
1977).
Debit Air
Debit aliran merupakan satuan untuk mendekati nilai-nilai hidrologis proses yang
terjadi di lapangan. Kemampuan pengukuran debit aliran sangat diperlukan untuk mengetahui
potensi sumberdaya air di suatu wilayah DAS. Debit aliran dapat dijadikan sebuah alat untuk
memonitor dan mengevaluasi neraca air suatu kawasan melalui pendekatan potensi
sumberdaya air permukaan yang ada. Perlu diingat bahwa distribusi kecepatan aliran di
dalam alur tidak sama arah horisontal maupun arah vertikal. Dengan kata lain kecepatan
aliran pada tepi alur tidak sama dengan tengah alur, dan kecepatan aliran dekat permukaan air
tidak sama dengan kecepatan pada dasar alur.
Ada beberapa metode pengukuran debit aliran sungai yaitu :
Area-velocity method
Tracer method
Slope area method
Weir dan flume
Volumetric methodArea
Pada prinsipnya adalah pengukuran luas penampang basah dan kecepatan aliran.
Penampang basah (A) diperoleh dengan pengukuran lebar permukaan air dan pengukuran
kedalaman dengan tongkat pengukur atau kabel pengukur. Kecepatan aliran dapat diukur
dengan metode-metode current-meter dan metode apung. Current meter adalah alat untuk
mengukur kecepatan aliran (kecepatan arus). Ada dua tipe current meter yaitu tipe baling-
baling (proppeler type) dan tipe canting (cup type).
Oleh karena distribusi kecepatan aliran di sungai tidak sama baik arah vertikal
maupun horisontal, maka pengukuran kecepatan aliran dengan alat ini tidak cukup pada satu
titik. Debit aliran sungai dapat diukur dengan beberapa metode. Tidak semua metode
pengukuran debit cocok digunakan. Pemilihan metode tergantung pada kondisi (jenis sungai,
tingkat turbulensi aliran) dan tingkat ketelitian yang akan dicapai.
Pengukuran Debit dengan Cara Apung (Float Area Methode)
Prinsip pengukuran debit air yaitu :
kecepatan aliran (V) ditetapkan berdasarkan kecepatan pelampung (U)
luas penampang (A) ditetapkan berdasarkan pengukuran lebar saluran (L) dan
kedalaman saluran (D)
debit sungai (Q) = A x V atau A = A x k dimana k adalah konstanta
Q=AxkxU
Q = debit (m3/det)
U = kecepatan pelampung (m/det)
A = luas penampang basah sungai (m2)
k = koefisien pelampung
Pengukuran Debit dengan Metode Kontinue
Current meter diturunkan kedalam aliran air dengan kecepatan penurunan yang
konstant dari permukaan dan setelah mencapai dasar sungai diangkat lagi ke atas dengan
kecepatan yang sama(Radiopoetro, 1977).
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
Alat :
Pipet tetes
Botol film
Plankton net
Piring secchi
Saringan
Kertas label
Botol sample
Meteran
Eickmen grab
Tali
Teropong
Camera
Buku panduan pengenalan jenis burung,mamalia,plankton(File guide)
Alat tulis
Buku tabel pengamatan
plastik
Bahan :
Formalin 4%
3.2 langkah kerja
Plankton
- Rangkaian mulut plankton net (yang berbentuk kerucut) dengan silinder
penampungan air sample.
- Pasangkan penyumbatan pada silinder penampung.
- Air dapat disaring memalui mulut plankton net, volume air contoh yang akan
disaring diambil dengan ember dan air yang disaring harus diketahui.
- Dengan membuka penyumbat silinder tampunglah sample plankton kedalam
botol-botol kecil.
- Berikan label untuk setiap botol tersebut dan lakukan segera pengawetan. Proses
pengawetan plankton akan sangat membantu dalam mempertahankan dan menjaga
eksistensi hasil sampling dilapangan sebelum dalakukan analisis lebih lanjut.
Bentos
- Menentukan titik tempat penelitian
- Mengambil sedimen dengan menggunakan Ekman grab
- Meletakkan sedimen yang didapat di atas ayakan
- Mencuci sedimen tersebut dan mengambil hewan-hewan yang ada dan
dimasukkan ke dalam botol koleksi yang telah diisi alkohol atau formalin 4%
- Memberi label di setiap botol dan dibawa ke laboratorium
- Identifikasi hewan-hewan makroinvertebrata yang didapat
- Menghitung jumlah hewan dan setiap jenis dan keseluruhan jenis
- Kemudian dapat diketahui jumlah makroinvertebrata keseluruhan dan masing-
masing jenis.
Burung
- Dengan menentukan titik pengamatan,jarak dari satu titik ke titik lainnya dengan
jarak 30 meter,dalam satu titik kita mengamati dengan waktu 15-30menit.
- jalan mengendap-endap
- mencari tempat yang baik untuk bersembunyi
- menggunakan atribut/pakaian yang tidak mencolok
- tidak melakukan kegiatan yang dapat mengganggu burung
- tidak melepaskan binokuler sampai deskripsi jenis burung dapat tergambarkan
ketika melakukan identifikasi
- membuat sketsa burung yang terlihat dan mendeskripsikan ciri-cirinya.
Metode pengamatan mamalia yang digunakan dalam pengumpulan data dilapangan
adalah:
1), Metode Transek Garis (Line Transcek)
Perlakuan metode ini yaitu pengamat berjalan di sepanjang jalur yang telah
ditentukan kemudian mencatat semua satwa mamalia. Data yang dikumpulkan
berdasarkan pada perjumpaan langsung maupun tidak langsung dengan satwa
mamalia. Tiap tipe vegetasi dibuat satu jalur pengasmatan. Lebar jalur transek
untuk pengamtan ditetapkan 50 meter dengan panjang jalur 1000 meter.
2). Concentration Count (Fokus Area)
Khusus untuk pengamatan primata, pengamatan dilakukan secra terkonsentrasi
pada suatu titik yang diduga sebagai tempat dengan peluang perjumpaan yang
tinggi. Misalnya tempat tersedianya pakan, pohon tidur dan sebagainya.
Pencatatan data melalui kontak langsung ataupun tidak langsung antara lain
meliputi perjumpaan jejak kaki, tempat untuk bersarang, maupun kotoran atau
feses.
Debit air
- Ukur lebar sungai.
- Dilakukan pengukuran kedalaman sungai pada 1 titik saja, selebar sungai.
- Hitung kecepatan arus sungai, dan Catat hasilnya.
- Analisis hasil yang didapatkan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil pengamatan dilapangan
Lokasi I
Suhu : 29o
Kedalaman : 67 cm
Daftar Identifikasi
1. Gymnodinium sp = 1
2. Sp 1 = 225
3. Sp 2 = 1
Lokasi II
Suhu : 26o
Kedalaman : 43 cm
Daftar Identifikasi : -
Lokasi III
Suhu : -
Kedalaman : -
Daftar Identifikasi : -
Lokasi IV
Suhu : 27o
Kedalaman : 36cm
Kelimpahan :
𝑘 =D x B x E
C x F x A
𝑘 =0 , 0660185 m2 x 0,11 x 57,1
1,776.10 − 6 x 3.10 − 3x660 ,185
𝑘 =0,3769
3,5174
𝑘 = 0,107 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢/𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟
Indeks Diversitas
1. Gymnodinium sp = 1
2. Sp 1 = 225
3. Sp 2 = 1
1.Gymnodinium sp
H’ = -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= - Ʃ(1/227) log (1/227)
= -(-0,0103)
= 0,0103
2. Sp 1
H’ = -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(225/227) log (225/227)
= -(-0,0038)
= 0,0038
3.Sp 2
H’ = -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= - Ʃ(1/227) log (1/227)
= -(-0,0103)
= 0,0103
Penghitungan debit air
Lebar Penampang sungai : 10 meter
Kedalaman Penampang : 1,2 meter
Pengulangan 1 : r= 5 meter
T (waktu): 9.25 detik
Pengulangan 2 : r : 5 meter
T(waktu ) : 10 detik
Pengulangan 3 : r = 5 meter
T(waktu) : 7,10 detik
T rata –rata = 9.25+10+7.10= 35.05/3 = 8.76
Rumus Debit : Q= V.a
V=s/t…
V= 5 meter/ 8,7625
V= 0.57 m/detik
A= lebar * kedalaman
= 10 * 1.2
= 12
Q=V.a
= 0.57*12
= 6.84 m2/detik
Data mamalia dan Aves
Titik 1
1. Elang Bondol = 1 ekor
Ciri : warna coklat , ekor kuncup ke bawah, dada kuning, lagi betengger
2. Ceriti = 10 ekor
Ciri : warna hitam, bawah sayap putih, sayap lancip, lagi terbang
3. Merbah = 1 ekor
Ciri : identifikasi dari pendengaran
4. Perenjak jawa = 2 ekor
Cirri : atas zaitu, perut kuning , 2 garis sayap putih
Titik 2
1. Mamalia : monyet 2 ekor
Cirri : ekor panjang , putih kekuningan
2. Ceriti = 10 ekor
3. Lencurak = 1 ekor
Titik 3
1. mamalia : lutung hitam , ekor panjang = 2 individu
2. burung kruok = 5 individu
3. tupai = 1
4. sinpai = 2
5. ceriti = 5
6. merbah = 1
7. perenjak = 2
8. terocok = 1
9. mamalia :monyet = 2
titik 4
1. terocok =2
2. monyet =3
3. tupai =2
4. ceriti= 5
5. burung madu = 1
6. canius sp = 1
7. bentet = 1
8. lonchura magal =1
9. elang hitam = 1
titik 5
1. wallet : 2
2. cabe : 1
3. merbah :1
4. burung madu = 2
5. elang ular bido =2
6. cinenen = 1
7. hirundo sp =1
DATA UNTUK AVES
No Spesies Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5
1 Elang bondol 1
2 Ceriti 10 10 5 5
3 Merbah 1 1 1
4 Perenjak
Jawa
2 2
5 Lencurak 1
6 Truok 5
7 Terocok 1 2
8 Burung
madu
1 2
9 Canius sp 1
10 Bentet 1
11 Walet 2
12 Cabe 1
13 Elang ular
bido
2
14 Cinenen 1
15 Hirundo sp 1
16 Lonchura
magal
1
17 Elang hitam 1
Penghitungan Kelimpahan masing-masing jenis
Jumlah seluruh burung (aves) = 61 individu
Jumlah titik = 5 titik
Jumlah waktu = 15 x 5 = 75 menit
Jumlah spesies 17 spesies
Perhitungan
1. Elang bondol
Kelimpahan : 1/5 = 0.2 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(1/61) log (1/61)
= -(-0,0285)
= 0,0285
2. Ceriti
Kelimpahan : 30/5= 6 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(30/61) log (30/61)
= -(-0,151)
= 0,151
3. Merbah
Kelimpahan : 3/5 = 0,6 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(3/61) log (3/61)
= -(-0,0641)
= 0,0641
4. Perenjak Jawa
Kelimpahan : 4/5 = 0,8 individu/titik
Indeks divesitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(4/61) log (4/61)
= -(-0,0769)
= 0,0769
5. Lencurak
Kelimpahan : 1/5 = 0.2 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(1/61) log (1/61)
= -(-0,0285)
= 0,0285
6. Truok
Kelimpahan : 5/5 = 1 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(5/61) log (5/61)
= -(-0,089)
= 0,089
7. Terocok
Kelimpahan : 3/5 = 0,6 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(3/61) log (3/61)
= -(-0,0641)
= 0,0641
8. Burung Madu
Kelimpahan : 3/5 = 0,6 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(3/61) log (3/61)
= -(-0,0641)
= 0,0641
9. Canius Sp
Kelimpahan : 1/5 = 0.2 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(1/61) log (1/61)
= -(-0,0285)
= 0,0285
10. Bentet
Kelimpahan : 1/5 = 0.2 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(1/61) log (1/61)
= -(-0,0285)
= 0,0285
11. Walet
Kelimpahan : 2/5 = 0.4 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(2/61) log (2/61)
= -(-0.0486)
= 0.0486
12. Cabe
Kelimpahan : 1/5 = 0.2 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(1/61) log (1/61)
= -(-0,0285)
= 0,0285
13. Elang ular bido
Kelimpahan : 2/5 = 0.4 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(2/61) log (2/61)
= -(-0.0486)
= 0.0486
14. Cinenen
Kelimpahan : 1/5 = 0.2 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(1/61) log (1/61)
= -(-0,0285)
= 0,0285
15. Hirundo Sp
Kelimpahan : 1/5 = 0.2 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(1/61) log (1/61)
= -(-0,0285)
= 0,0285
16. Lonchura magal
Kelimpahan : 1/5 = 0.2 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(1/61) log (1/61)
= -(-0,0285)
= 0,0285
17. Elang Hitam
Kelimpahan : 1/5 = 0.2 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(1/61) log (1/61)
= -(-0,0285)
= 0,0285
DATA UNTUK MAMALIA
No Spesies Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5
1 Monyet 2 2 3
2 Lutung 2
3 Tupai 1 2
4 Sinpai 2
Perhitungan untuk mamalia
Jumlah seluruh individu : 14
Jumlah titik : 5 titik
Jumlah spesies : 4 spesies
Perhitungan
1. Monyet
Kelimpahan : 7/5 = 1,4 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(7/14) log (7/14)
= -(-0,15)
= 0,15
2. Lutung
Kelimpahan : 2/5 = 0,4 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(2/14) log (2/14)
= -(-0,12)
= 0,12
3. Tupai
Kelimpahan : 3/5 = 0,75 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(3/14) log (3/14)
= -(-0,143)
= 0,143
4. Sinpai
Kelimpahan : 2/5 = 0,4 individu/titik
Indeks diversitas : H’= -Ʃ(ni/N) log (ni/N)
= -Ʃ(2/14) log (2/14)
= -(-0,12)
= 0,12
4.2 Pembahasan
Plankton adalah setiap organisme hanyut seperti hewan, tumbuhan, archaea, atau
bakteri yang menempati zona pelagik samudera, laut, atau air tawar. Jumlah plankton yang
kami temukan berjumlah 257 terdiri atas beberapa spesies diantaranya Gymnodinium sp ,Sp
1 dan Sp 2.Pada Spesies Gymnodinium sp memiliki indeks diversitas sebesar
0,0103,sedangkan pada Sp 1 memiliki indeks diversitas sebesar 0,0038 dan pada Sp2
memiliki indeks diversitas sebesar 0,0103. Kelimpahan jenis plankton tersebut sebesar 0,107
individu/liter.Kondisi lingkungan jelas sangat berpengaruh pada keadaan zooplankton dala
perairan. Lingkugan dapat menjadi sumber kehidupan phytoplanton dimana phytoplankton
tersebut merupakan sumber makanan bagi zooplankton yang ada disekitarnya.
Dalam pengamatan tentang aves kami mengidentifikasi burung didaerah Tahura
dengan menggunakan metode point count dengan menggunakan 5 titik.Jarak antara satu titik
dengan titik lainnya dengan jarak 30 meter,dalam satu titik kami membutuhkan waktu 15-20
menit dengan menngunakan terepong dan kamera.Dari semua titik kami mendapatkan 17
spesies burung dengan jumlah total keseluruhan 61 individu.Nama spesies,nilai
kelimpahan,dan indeks diversitas burung yang kami dapatkan sebagai berikut :
Elang bondol,Lencurak,Canius sp,Bentet,Cabe,Cinenen,Hirudo sp,Lonchura
magal,dan Elang hitam memiliki kelimpahan yang sama yaitu sebesar 0,2
individu/titik dan indeks diversitasnya sebesar 0,0285.
Ceriti memiliki nilai kelimpahan sebesar 6 individu/titik dan indeks diversitasnya
sebesar 0,151.
Merbah,Terocok,Burung madu memiliki nilai kelimpahan sebesar 0,6 individu/titik
dan indeks diversitasnya sebesar 0,0641.
Perenjak jawa memiliki nilai kelimpahan sebesar 0,8 individu/titik dan indeks
diversitasnya sebesar 0,0769.
Teruwok memiliki nilai kelimpahan sebesar 1 individu/titik dan indeks diversitasnya
sebesar 0,089.
Walet dan Elang ular bido memiliki nilai kelimpahan sebesar 0,4 individu/titik dan
indeks diversitasnya sebesar 0,0486.
Kendala yang kami alami dalam pengamatan burung ini yaitu ributnya suasana ditempat
pengamatan dikarenakan banyaknya pengamat,padahal untuk meneliti burung maksimal
dilakukan sebanyak 3 orang/kelompok. Selain itu kurangnya pengetahuan tentang nama dari
jenis-jenis burung juga membuat kami sulit untuk menentukan nama dari jenis burung yang
kami temui dilapangan.
Pada pengamatan mamalia dari 5 titik yang telah ditentukan, kami mendapatkan 4 spesies
mamalia diantaranya :Monyet,Lutung,Tupai,dan Sinpai.Jumlah seluruh mamalia dari
keempat spesies tersebut berjumlah 14 individu.Setelah kami lakukan perhitungan didapatkan
nilai kelimpahan dan indeks diversitas yang kami dapatkan yaitu,pada spesies Monyet
didapatkan nilai kelimpahannya 1,4 individu/titik dan indeks diversitasnya 0,15. Pada spesies
Lutung didapatkan nilai kelimpahannya 0,4 individu/titik dan indeks diversitasnya 0,12. Pada
spesies Tupai didapatkan nilai kelimpahannya 0,75 individu/titik dan indeks diversitasnya
0,143. Pada Simpai didapatkan nilai kelimpahannya 0,4 individu/titik dan indeks
diversitasnya 0,12.
Untuk pengukuran debit air kami memperoleh data dan hasil dari perhitungan tersebut
diperoleh debit air sungai =6,84m2/detik
Untuk hasil penelitian bentos,kami belum mendapatkannya,dikarenakan saat hendak
mengidentifikasi,kami tidak menemukan buku identifikasi bentos.
BAB V
KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
Jumlah plankton yang kami temukan berjumlah 257 terdiri atas 3 spesies.
Pada Spesies Gymnodinium sp memiliki indeks diversitas sebesar 0,0103,sedangkan
pada Sp 1 memiliki indeks diversitas sebesar 0,0038 dan pada Sp2 memiliki indeks
diversitas sebesar 0,0103. Kelimpahan jenis plankton tersebut sebesar 0,107
individu/liter.
Dari semua titik kami mendapatkan 17 spesies burung dengan jumlah total
keseluruhan 61 individu.
Elang bondol,Lencurak,Canius sp,Bentet,Cabe,Cinenen,Hirudo sp,Lonchura
magal,dan Elang hitam memiliki kelimpahan yang sama yaitu sebesar 0,2
individu/titik dan indeks diversitasnya sebesar 0,0285,Ceriti memiliki nilai
kelimpahan sebesar 6 individu/titik dan indeks diversitasnya sebesar
0,151.Merbah,Terocok,Burung madu memiliki nilai kelimpahan sebesar 0,6
individu/titik dan indeks diversitasnya sebesar 0,0641.Perenjak jawa memiliki nilai
kelimpahan sebesar 0,8 individu/titik dan indeks diversitasnya sebesar
0,0769.Teruwok memiliki nilai kelimpahan sebesar 1 individu/titik dan indeks
diversitasnya sebesar 0,089.Walet dan Elang ular bido memiliki nilai kelimpahan
sebesar 0,4 individu/titik dan indeks diversitasnya sebesar 0,0486.
Pada pengamatan mamalia dari 5 titik yang telah ditentukan, ditemukan 4 spesies
mamalia diantaranya:Monyet,Lutung,Tupai,dan Sinpai,dan jumlah seluruhnya 14
individu.
Pada spesies Monyet didapatkan nilai kelimpahannya 1,4 individu/titik dan indeks
diversitasnya 0,15. Pada spesies Lutung didapatkan nilai kelimpahannya 0,4
individu/titik dan indeks diversitasnya 0,12. Pada spesies Tupai didapatkan nilai
kelimpahannya 0,75 individu/titik dan indeks diversitasnya 0,143. Pada Simpai
didapatkan nilai kelimpahannya 0,4 individu/titik dan indeks diversitasnya 0,12.
Nilai debit air sungai =6,84m2/detik
Untuk hasil penelitian bentos,kami belum mendapatkannya,dikarenakan saat hendak
mengidentifikasi,kami tidak menemukan buku identifikasi bentos.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, S. 2008. Pertumbuhan Mikroalgae (nitzchia closterium) dengan Perlakuan pupuk.
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan Jakarta
Anonimous. 2010. http://iptek-aves.blogspot.com/2010. 8 Mei 2011.
Anonim. 2010. Satwa. http://alamendah.wordpress.com/ (diakses 21 Juni 2013)
Anonim. 2013. Burung Merbah Cerucuk, http://id.wikipedia.org/wiki/ Merbah_cerucuk,
(diakses 21 Juni 2013)
Anonim. 2013. Perenjak Jawa. https://id.wikipedia.org/wiki/Perenjak_jawa, (diakses 22 Juni
2013)
Anonim. 2013. Takur Tulung Tumpuk, http://id.wikipedia.org/wiki/Takur_tulung-tumpuk,
(diakses 22 Juni 2013)
Anonim.2012.hewanvertebrata/.tutorialkuliah./blogspot.com/…/tentang-hewan-Vertebrata
mamalia.html. Tanggal akses 03 Desember 2012.
Brotowidjoyo, Mukayat Djarubito. 1990. ZOOLOGI DASAR. Erlangga. Jakarta.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.USU Press.
Medan.
Boyd, C E. 1988.Water Quality in Warmwater Fish Pound FourthPrinting.Auburn
University Agricultural Experiment Station. Alabama.
Djuhanda, T. 1983. Anatomi dari Empat Spesies Hewan Vertebrata. Armico. Bandung
Djuhanda, T. 1983. Analisa Struktur Vertebrata Jilid I. Armico. Bandung.
Djuhanda, Tatang. 1982. Pengantar Anatomi Perbandingan 1. Amrico, Bandung.
Effendie, H. 2003.Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Dayadan Lingkunga
Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Fajri, Nur El dan Agustina. 2013. Penuntun Praktikum dan Lembar Kerja Praktikum Ekologi
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UR. Pekanbaru.
Fardiaz, S. 1992.Polusi Air dan Udara. Kanisus. Yogyakarta.
Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan
Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali.Biodiversitas,
(7): 67-72.
Gosling, E. 2003. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News
Books, Blackwell Publishing. Great Britain. 455p
Hutabarat, S dan Evans, M., 1985.Pengantar Oseanografi. VC Press. Jakarta.
http://adityaaqbari.blogspot.com/2010/12/penyumbang-oksigen-terbesar-bagi bumi.html
Jasin, M. 1992. Zoologi Vertebrata Untuk Perguruan Tinggi. Sinat Jaya : Surabaya
Jasin, Maskoeri. 1992. ZOOLOGI VERTEBRATA untuk Perguruan Tinggi. Sinar Wijaya.
Surabaya.
Kant, G. C., R. K. Carr.2001. Comparative of the Anatomy Vertebrates Ninth Edition. New
York: Mc Graw Hill Companies Inc
Kardong, K.V. 2002. Vertebrates Comparative Anatomy, Function, Evolution. North
America: Mc Graw Hill-Companies Inc
Lingga, Pinus. 1999.Ikan Mas Kolam Air Deras. Penebar Swadaya. Jakarta.
Lytle, C.F., J. R. Meyer. 2005. General Zoology. New York: McGraw-Hill Companies.
Mackinnon, J. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung di Jawa dan
Bali.Gadjahmada University Press: Yogyakarta.
Mackinnon, J.K, Philips and B.V. Balkh. 1998. Burung-Burung di Sumatra, Jawa, Bali dan
Kalimantan (termasuk Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam). Seri Panduan
Lapangan. Puslitbang Biologi-LIPI. Jakarta.
Mukayat, D. 1990. Zoologi Vertebrata. Jakarta. Erlangga.
Mahanal, S. 2008.Pengembangan Perangkat Pembelajaran Deteksi Kualitas Sungai dengan
Indikator Biologi Berbasis Konstruktivistik untuk Memberdayakan Berpikir Kritis
dan Sikap Siswa SMA terhadap Ekosistem Sungai di Malang. Disertasi tidak
diterbitkan. Malang:Program Pasca sarjana Universitas Negeri Malang.
Nybakken, JW. 1992. Biologi Laut satu Pendekatan Ekologis. Jakarta. PT Gramedia.
Nontji, Anugrah. 2005. Laut Nusantara Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan dari Marine
Biology : An Ecological Approach. Alih Bahasa : M. Eidman, Koesoebiono, D.G.
Bengen dan M. Hutomo. Gramedia, Jakarta. 459 p
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunder Com. Philadelphia 125 pp.
Pescod. 1973.Investigation of Rational Effluent and StreamStandar for Tropical Countries.
Asean institute of Technologi. Bangkok.
Prihantini, N. B. 2005. Pertumbuhan Chlorella spp. dalam medium ekstrak tauge(MET)
dalam variasi pH awal. Vol 9: 1-6 diakses pada Sabtu, 14 April2012 pkl 20:06
Setiadi, Dede. 1989. Dasar-dasar Ekologi.IPB Press. Bogor.
Soeseno, S. 1970.Limnologi untuk Sekolah Perikanan Menengah Atas. IPB. Bogor.
Sumich, J. L., 1999. An Introduction to The Biology of Marine Life. 7 th. ed. McGraw-Hill.
New York. pp: 73 – 90; 239 – 248; 321 – 329
Suripin.2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air.Yogyakarta. Andi Yogyakarta.
Suin NM. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas.Padang.
Wardoyo, S. T. H. 1981.Kriteria Kualitas Air untuk KeperluanPertanian dan Perikanan.
Training Analisa dampak lingkunganPPLH, UNDP- PUS DPSL. IPB. Bogor.
Welch, P. S. 1952.Limnology . McGraw-Hill Book Company. New York.
Wetzel, RG. And GE. Likens. 1995.Limnology Analysis. SpringerVerlag. New York.
Wibisono, M.S. 2004. Pengantar Ilmu Kelautan Edisi 2. UI Press. Jakarta.
Wirakusumah, Sambas. 2003. Dasar-dasar Ekologi. UI Press. Jakarta.
Musa dan Uun. 2006. Diktat Limnologi. UB. Malang
Sahriany, S. 2001. Studi Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Karbino
Kepulauan Sembilan Kabupaten Sinjai. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Radiopoetro. 1977. Zoology. Erlangga, Jakarta.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat Jenderal
Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Umar, C. 2003. Struktur Komunitas dan Kelimpahan Fitoplankton dalam Kaitannya dengan
Kandungan Unsur Hara (Nitrogen dan Fosfor) dari Budidaya Ikan dalam Keramba
Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda Jatiluhur Jawa Barat. Tesis. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 94 p
Yuliana dan Tamrin. 2005. Fluktuasi dan Kelimpahan Fitoplankton di Danau Laguna
Ternate, Maluku Utara. 11 p (belum dipublikasikan).
Radiopoetra. 1996. Zoology. Erlangga: Jakarta
Priyono, S. M. and Subiandono. 1991. Identification of Live Mammals, Live Birds and
Reptiles In Procording The Cities Plants and Animals Seminar for Asia and Oceania
Region. PHPA. Jakarta
Tim Pembina Mata Kuliah. 2012. Penuntun Praktikum Lapangan Zoologi Vertebrata. FKIP
UNTAD. Palu
LAMPIRAN GAMBAR
sp1 sp 2
Gymnodinium sp