BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3...

49
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada Apa Dengan Cinta?/AADC (sutradara Rudy Soedjarwo, 2001) memang hanyalah film remaja yang struktur dunia naratifnya 1 bercerita tentang perempuan remaja bernama Cinta yang berjuang mendapatkan cinta Rangga, teman satu SMA- nya. Meskipun demikian, menurut saya, film ini layak disebut sebagai “tonggak kebangkitan” film remaja/kaum muda di era 2000-an dengan beberapa alasan, bukan semata-mata karena pemeran Cinta—Dian Sastro Wardoyo—dipilih sebagai “Pemeran Terbaik Perempuan” dalam Festival Film Indonesia 2002. Pertama, keberhasilan AADC secara finansial karena menjadi box office 2 telah mendorong para sineas lainnya memproduksi film-film dengan pola tematik dan struktur dunia naratif serupa, seperti Eiffel I’m in Love, 30 Hari Mencari Cinta, dan lain-lain. Akibatnya, industri film kembali bangkit setelah sempat mati suri pada akhir 1990-an. Kedua, secara naratif AADC menghadirkan makna-makna tentang perempuan remaja yang berhak menikmati dunia dan cintanya, tanpa harus dibebani oleh kehadiran fungsi integratif keluarga atau generasi tua (Setiawan, 2008). 1 Struktur dunia naratif dalam kajian ini, mengikuti pendapat Stam, Bourgoyne, & Flitterman-Lewis (1999: 70-71) saya maknai sebagai rangkaian dua atau lebih peristiwa filmis—babak dalam film yang melibatkan tokoh, latar, kostum, sudut pengambilan gambar, dan lain-lain—yang terhubung satu sama lain sebagai kesatuan secara logis, melewati batasan waktu, serta dikaitkan oleh subjek makna. 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira Lesmana, berhasil menyedot 1,3 juta penonton. Ini hasil dari pemutaran di 24 layar bioskop (kemudian bertambah menjadi 76 layar) di 12 kota Indonesia. Bisa diperkirakan bahwa hasil yang didapat oleh produser paling tidak Rp. 4,5 milyar. Lihat Kristanto, 2006: 184.

Transcript of BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3...

Page 1: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ada Apa Dengan Cinta?/AADC (sutradara Rudy Soedjarwo, 2001) memang

hanyalah film remaja yang struktur dunia naratifnya1 bercerita tentang perempuan

remaja bernama Cinta yang berjuang mendapatkan cinta Rangga, teman satu SMA-

nya. Meskipun demikian, menurut saya, film ini layak disebut sebagai “tonggak

kebangkitan” film remaja/kaum muda di era 2000-an dengan beberapa alasan, bukan

semata-mata karena pemeran Cinta—Dian Sastro Wardoyo—dipilih sebagai “Pemeran

Terbaik Perempuan” dalam Festival Film Indonesia 2002. Pertama, keberhasilan AADC

secara finansial karena menjadi box office 2 telah mendorong para sineas lainnya

memproduksi film-film dengan pola tematik dan struktur dunia naratif serupa, seperti

Eiffel I’m in Love, 30 Hari Mencari Cinta, dan lain-lain. Akibatnya, industri film kembali

bangkit setelah sempat mati suri pada akhir 1990-an. Kedua, secara naratif AADC

menghadirkan makna-makna tentang perempuan remaja yang berhak menikmati

dunia dan cintanya, tanpa harus dibebani oleh kehadiran fungsi integratif keluarga

atau generasi tua (Setiawan, 2008).

1 Struktur dunia naratif dalam kajian ini, mengikuti pendapat Stam, Bourgoyne, & Flitterman-Lewis (1999: 70-71) saya maknai sebagai rangkaian dua atau lebih peristiwa filmis—babak dalam film yang melibatkan tokoh, latar, kostum, sudut pengambilan gambar, dan lain-lain—yang terhubung satu sama lain sebagai kesatuan secara logis, melewati batasan waktu, serta dikaitkan oleh subjek makna. 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira Lesmana, berhasil menyedot 1,3 juta penonton. Ini hasil dari pemutaran di 24 layar bioskop (kemudian bertambah menjadi 76 layar) di 12 kota Indonesia. Bisa diperkirakan bahwa hasil yang didapat oleh produser paling tidak Rp. 4,5 milyar. Lihat Kristanto, 2006: 184.

Page 2: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

2

Dengan demikian, dalam konteks film remaja/kaum muda, era 2000-an bisa

dikatakan sebagai “babak baru” industri film karena selain mengkomodifikasi

dinamika hidup generasi muda sebagai formula untuk mendapatkan keuntungan

finansial para sineas juga menghadirkan makna-makna baru terkait narasi-diri tanpa

harus memberi penekanan pentingnya kehadiran orang tua sebagai metafor kekuatan

integratif. Hal ini tentu berbeda dengan narasi film remaja/kaum muda pada masa

Orde Baru—khususnya di era 1970-an sampai dengan 1990-an—di mana orang tua

berperan penting untuk mengintegrasikan tokoh remaja ke dalam konsep

keharmonisan keluarga (Sen & Hill, 2002: 153). Perubahan representasi keluarga

dalam narasi film era 2000-an bisa dibaca sebagai kecenderungan para sineas untuk

membaca dan memaknai-ulang persoalan “budaya” 3 dalam praktik komodifikasi.

Mereka berusaha melampaui model komodifikasi keluarga sebagai metafor budaya

bangsa yang pada masa-masa sebelumnya menjadi bentuk kontrol rezim negara

terhadap industri perfilman.4

3 Budaya dalam konteks kajian ini, mengikuti pemikiran Raymond Williams, dipahami sebagai cara hidup partikular yang mengeskpresikan makna dan nilai tertentu—tidak hanya dalam seni dan pembelajaran, tetapi juga dalam organisasi dan kehidupan sehari-hari—serta tidak terlepas dari struktur dan praktik sosial di masyarakat. Kajian tentang budaya dalam media, termasuk film di dalamnya, membutuhkan usaha untuk menganalisis teks guna menemukan makna sebagai cara hidup yang dipengaruhi oleh praktik sosial (konteks) yang bersifat dinamis. Lihat, Turner, 2003: 45-46.

4 Rezim Soekarno menerapkan kebijakan perfilman yang berwarna nasionalisme anti-kolonial. Para sineas komunis mendukung kebijakan tersebut dengan memproduksi realisme sosialis yang mengekspos permasalahan keseharian rakyat kecil—seperti kehidupan keluarga semasa revolusi fisik—dan mengutamakan kepentingan revolusioner, bukan cerita yang mengharu-biru seperti model Hollywood (Sen, 2003: 149-151; Roberts, 2000: 164; Siagian, 1957). Sementara, rezim Soeharto membuat kebijakan perfilman yang mengutamakan kepribadian dan budaya bangsa—dalam semangat ketertiban dan integrasi (Novi Kurnia, dkk, 2007)—agar para sineas tidak mewacanakan hal-hal yang bisa mengganggu pembangunan dan kekuasaan rezim. Dalam konteks itulah, ketertiban dan integrasi keluarga menjadi elemen penting dalam film Indonesia di era Orde Baru, termasuk dalam film remaja yang mewacanakan kehidupan modern (Sen & Hill, 2000: 153).

Page 3: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

3

Kalau kemudian keluarga diposisikan sebagai bentuk ketradisionalan, maka

dengan menarasikan kaum remaja/kaum muda tanpa harus dikontrol oleh orang tua

para sineas era 2000-an lebih memilih mengkomodifikasi dan mengartikulasikan

kebebasan individual sebagai salah satu aspek penting modernitas (Setiawan, 2010).

Secara ekonomis, pilihan itu diharapkan bisa menarik minat penonton karena narasi

yang mereka suguhkan mendekati realitas yang berkembang dalam kehidupan kaum

remaja/kaum muda, dari masalah percintaan sampai dengan gaya hidup. Secara

ideologis, para sineas bisa menegosiasikan makna dan wacana tentang bagaimana

menjadi modern kepada para penonton di tengah-tengah dinamika kultural yang

berlangsung.

Modernitas 5 dalam kehidupan masyarakat pascakolonial 6 seperti Indonesia

memang masih menjadi permasalahan kultural tersendiri. Di satu sisi, masyarakat

sejak zaman kolonial sudah terbiasa dengan budaya modern yang berorientasi ke

Barat.7 Mereka ingin menjadi maju dan menempati posisi setara dengan masyarakat di

negara-negara maju (Lombard, 2000; Alisjahbana, 1998: 7-9). Di sisi lain, mereka tetap

5 Modernitas merupakan kondisi kehidupan yang menekankan pentingnya kebebasan, rasionalitas, kemajuan, dan kedaulatan individu, serta pembebasan diri dari doktrin agama, tradisi, dan kekuasaan yang menghambat kemajuan. Meskipun berkaitan erat dengan kolonialisme, masyarakat di seluruh dunia tetap menjadikannya orientasi utama. Pengetahuan modernitas diproduksi secara ajeg dalam praktik pemerintahan, pendidikan, ekonomi, media, dan budaya. Inilah yang menjadikan modernitas sebagai pengetahuan paling berpengaruh dalam kehidupan manusia. Lihat, Venn, 2006: 55-57; 2000: 17-19. 6 Dalam kajian ini istilah “pascakolonial” merujuk kepada periode historis selepas kemerdekaan, sedangkan istilah “poskolonial” merujuk kepada perspektif teoretis (poskolonialisme) atau kondisi kultural pascakolonial (poskolonialitas).

7 Istilah Barat dalam kajian ini bukan dimaksudkan sebagai kategori geografis, tetapi konstruksi wacana dan praktik kultural yang berasal dari negara-negara Eropa dan berkembang pesat di Amerika, seperti modernitas, kapitalisme, dan liberalisme. Barat menjadi bentuk peradaban yang mengendalikan perkembangan umat manusia. Wacana Barat masih kuat dalam pikiran masyarakat poskolonial, karena ia bersemayam sebagai figur imajiner yang terus dibayangkan. Lihat Venn, 2000: 44-45; Chakrabarty, 2000: 3-4; Hesse, 2002: 161-162.

Page 4: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

4

ingin menjalankan sebagian budaya lokal,8 sehingga mengakibatkan dualisme kultural

(Faruk, 2007). Artinya, masyarakat di masa kolonial dan pascakolonial sudah terbiasa

hidup dalam keberantaraan dan ambivalensi sebagai strategi kedirian untuk merasakan

modernitas tanpa harus larut sepenuhnya dalam kuasa Barat (Bhabha, 1994).

Dalam tataran ideal, praktik budaya modern dalam kehidupan sehari-hari tidak

akan menjadi masalah ketika masyarakat masih bisa menegosiasikan budaya lokal

mereka di tengah-tengah poskolonialitas. 9 Kondisi ideal inilah yang oleh Bhabha

disebut vernacular cosmopolitanism.10 Dalam konteks masyarakat Indonesia, kondisi ideal

ini menjadi problematis karena, di satu sisi, kuatnya hasrat kebebasan dan

keterbukaan di tengah-tengah semangat Reformasi serta globalisasi yang menghadirkan

tawaran-tawaran baru dalam hal konsumsi, gaya hidup, maupun ideologi bisa

memperlemah eksistensi budaya lokal. Di sisi lain, kebebasan menjanjikan “ruang dan

kesempatan baru” bagi aktualisasi diri setiap individu untuk menjalani kehidupan dan

mengoptimalisasikan kemampuan demi mewujudkan impian tanpa dibebani rasa

takut seperti yang berlangsung di masa Orde Baru.

8 Budaya lokal dalam konteks ini saya maksudkan sebagai nilai, keyakinan, aturan, dan praktik ritual, yang berkembang dalam masyarakat. Karena sudah biasa dilakukan secara turun-temurun, maka budaya lokal merupakan tradisi yang membedakan masyarakat di satu wilayah dengan masyarakat di wilayah lain.

9 Poskolonialitas merupakan kondisi kultural masyarakat pascakolonial yang diwarnai ambivalensi. Kesadaran untuk mentransformasi yang modern ke dalam yang tradisional sebenarnya bisa menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk mengganggu kemapanan epistemologis Barat (Radhakrisnan, 2003: 1-2). Namun, poskolonialitas bisa menjadi makna dan praktik yang menyulitkan, ketika masyarakat sulit melepaskan diri dari kuasa Barat (Gandhi, 1998: 5-7).

10 Vernacular cosmpolitanism merupakan praktik kultural yang berlangsung dalam masyarakat pascakolonial di mana mereka berusaha menerjemahkan beragam budaya dan melintasi mereka sebagai cara untuk bertahan hidup. Masyarakat pascakolonial berada dalam proses “menjadi modern”, namun tidak menerima sepenuhnya konsep individualisme liberal—ambivalensi. Jadi, poskolonialitas membuka peluang hadirnya artikulasi hibrid, seperti “yang suci-di dalam-yang sekuler”, “fantasi psikis sebagai bagian dari rasionalitas sosial”, serta “yang lampau dalam yang kontemporer”. Lihat, Bhabha & Comaroff, 2002: 24.

Page 5: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

5

Dalam produksi film, perubahan formasi kultural dalam masyarakat merupakan

konteks yang menjadi basis bagi para sineas untuk memproduksi beragam narasi

dengan makna-makna yang tidak hanya sesuai dengan kepentingan ekonomis, tetapi

juga kepentingan ideologis pemodal dan sineas.11 Agar tampak sebagai kewajaran dan

mendekati realitas, mobilisasi makna-makna untuk kepentingan ekonomis dan

ideologis tentu membutuhkan struktur dunia naratif yang bisa mengkomodifikasi,

mengartikulasikan, dan merepresentasikan beragam bentuk kultural, seperti budaya

lokal (“yang Timur, yang tradisional, maupun “yang komunal”), budaya modern (“yang

Barat, yang progresif, maupun yang bebas”), maupun budaya hibrid sebagai

karakteristik poskolonialitas dalam masyarakat. Representasi ketradisionalan,

modernitas, dan hibriditas kultural dalam struktur dunia naratif film itulah yang saya

sebut sebagai budaya poskolonial.

“Membuka layar impian”, dengan demikian, merupakan usaha untuk membaca

dan menganalisis dinamika dan kompleksitas struktur dunia naratif film-film populer

Indonesia era 2000-an dalam mengkomodifikasi dan merepresentasikan budaya

poskolonial yang berjalin-kelindan dengan kondisi sosio-historis serta disesuaikan

dengan kepentingan ekonomi-politik sineas dan pemodal. Dengan mengetahui makna-

makna ideal yang dianggit oleh sineas dalam struktur dunia naratif, akan bisa

diketahui wacana dan pengetahuan seperti apa yang sedang dinegosiasikan oleh para

11 Saya mengembangkan pendapat ini dari argumen Louw (2001: 29) yang menggunakan logika Foucauldian tentang subjek diskursif. Ia mengatakan bahwa pekerja media (termasuk di dalamnya sineas) ditentukan oleh konteks mereka. Mereka bekerja dalam mesin produksi-makna, sehingga harus berperilaku dan bekerja dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan institusi (dalam hal ini perusahaan film). Setiap perusahaan film sebagai institusi, tentu, mengembangkan serangkaian aturan dan wacana. Setiap sineas harus menghubungkan diri dengan praktik dan wacana yang sesuai dengan situs institusional tersebut.

Page 6: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

6

sineas dalam memandang persoalan kultural—termasuk di dalamnya masalah

nasionalisme—yang berjalin-kelindan dengan kondisi masyarakat di era 2000-an.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebelumnya, saya mengasumsikan film

Indonesia era 2000-an—dalam hal ini film populer 12—menghadirkan makna-makna

terkait kebebasan dan perjuangan individual sebagai kekuatan untuk berkompetisi

dalam kehidupan yang semakin dinamis dan cepat.

Untuk membaca kompleksitas budaya poskolonial dalam narasi film, perspektif

kajian budaya, kajian media/film, dan kajian poskolonial—tanpa meninggalkan

pertimbangan ekonomi-politik—akan saya gunakan untuk analisis dalam ranah teks dan

konteks. Teks merupakan struktur dunia naratif film yang tersusun dari peristiwa-

peristiwa filmis sebagai praktik penandaan dan diskursif yang merepresentasikan dan

memproduksi pengetahuan partikular. Teks tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi

berjalin-kelindan dengan konteks, yakni kondisi sosio-historis berupa pengaruh

gerakan Reformasi 1998, globalisasi, penerapan ekonomi-politik yang mengarah ke

pasar bebas—baik dalam ranah industri budaya maupun kebijakan negara—serta

dinamika industri perfilman pada era 2000-an. Dengan alur berpikir demikian,

kepentingan ideologis yang hadir dalam industri perfilman sebagai praktik

komodifikasi yang merepresentasikan budaya poskolonial akan bisa dibaca secara

kritis, khususnya terkait keterhubungan wacana kebebasan dan perjuangan individual

dengan relasi kuasa dalam kehidupan nyata, baik dalam lingkup nasional maupun

internasional.

12 Terkait film-film populer yang saya analisis bisa dilihat pada sub-subbab 1.7.1 Tentang Pilihan Data.

Page 7: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

7

1.2 Permasalahan

Berdasarkan argumentasi-argumentasi di atas, permasalahan utama yang akan

saya bahas adalah representasi budaya poskolonial dalam narasi film-film Indonesia era 2000-

an. Untuk membahas permasalahan tersebut secara komprehensif, beberapa sub-

masalah berikut akan mendapatkan penekanan:

1. Bagaimana struktur dunia naratif film Indonesia era 2000-an menempatkan

representasi “yang Barat” dan “yang Timur” beserta konsep turunannya seperti

“yang modern” dan “yang tradisional”, serta “yang metropolitan/global” dan

“yang lokal”, dalam dunia imajiner?

2. Makna-makna ideologis dan wacana apa yang dimobilisasi dan dinaturalisasi

untuk mendapatkan legitimasi secara naratif dan diskursif sebagai usaha untuk

memproduksi budaya poskolonial melalui struktur dunia naratif film?

3. Pengetahuan ideologis apa yang dinegosiasikan dalam representasi budaya

poskolonial? Konteks sosio-historis apa yang menjadi latar dari perkembangan

industri film dan ikut berkontribusi dalam memproduksi pengetahuan

ideologis tersebut?

4. Kebijakan ekonomi-politik perfilman apa yang dibuat rezim negara pada era

2000-an? Bagaimana tanggapan insan perfilman terhadap kebijakan tersebut?

Bagaimana tegangan yang terjadi antara rezim negara dan insan perfilman?

5. Apa implikasi dari budaya poskolonial dan pengetahuan ideologis yang ada di

dalamnya terhadap konsep budaya nasional dan nasionalisme Indonesia di era

2000-an?

Page 8: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

8

6. Bagaimana terbentuknya blok historis berbasis budaya poskolonial dan

pengetahuan ideologis yang ada di dalamnya? Kepentingan ideologis siapa yang

muncul dalam blok historis serta menggerakkan relasi kuasa hegemonik?

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis representasi budaya poskolonial dalam narasi film Indonesia di

era 2000-an sebagai usaha untuk menunjukkan bagaimana makna-makna dan

kepentingan ideologis yang diidealisasikan dalam masyarakat beroperasi.

2. Menghasilkan kerangka teoretis dan metodologis baru yang menyandingkan

kajian budaya, kajian media/film, dan kajian poskolonial dengan tetap

menimbang kajian ekonomi-politik.

3. Memunculkan konsepsi teoretis terkait budaya poskolonial Indonesia berbasis

pada pembacaan struktur dunia naratif film dan konteks sosio-historis dan

kultural masyarakat pada era 2000-an yang dipengaruhi oleh gerakan

Reformasi dan penerapan sistem ekonomi-politik pasar oleh negara dan

industri budaya.

1. 4 Tinjauan Pustaka

Sebagian besar kajian tentang film Indonesia memang lebih banyak mengambil

latar waktu Orde Baru, meskipun sebagian kecil ada yang menggunakan periode

kolonial, rezim Soekarno, dan era 2000-an. Terdapat beberapa kecenderungan tematik

kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti, baik dari dalam negeri maupun luar

Page 9: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

9

negeri. Pertama, berorientasi pada pendekatan sosio-historis yang membicarakan

perkembangan film dari waktu ke waktu; baik dalam konteks industri, kebijakan

negara dan konflik politik yang terjadi, model narasi dan genre, dan para sineas (Salim

Said, 1982). Kedua, fokus kajian kepada film di masa kolonial, utamanya tentang

kontribusinya dalam menghadirkan pesona budaya Barat serta kebijakan rezim

kolonial untuk mengendalikan industri film (Antariksa, 2005; Saputro, 2005). Ketiga,

kajian lebih mengarah kepada pengaruh kuasa negara atau budaya masyarakat

terhadap wacana-wacana yang dikembangkan dalam narasi film, baik dalam latar Orde

Baru maupun pasca Reformasi (Sen & Hill, 2000; Sen, 2010; Sen, 1990; Setiawan,

2008; Irawanto, 1999; Heider, 1991; Clark, 2008; Heryanto, 2008; Van Heeren,

2012). Meskipun demikian, dalam beberapa kajian tersebut juga muncul pembicaraan

persoalan kultural yang bisa saya gunakan sebagai perbandingan agar tidak terjebak

dalam model kajian yang sama.

Salim Said dalam bukunya Profil Perfilman Indonesia (1982) membicarakan

perkembangan film Indonesia—dari masa kolonial, rezim Soekarno, dan rezim Orde

Baru—dengan menekankan pada proses produksi dan jumlah film yang diproduksi

serta pelaku industri film. Ia juga mengupas kecenderungan para sineas—dari zaman

Hindia Belanda hingga zaman awal kemerdekaan—untuk meniru film-film Hollywood,

Bollywood, ataupun film-film asing lainnya sebagai formula untuk mengeruk

keuntungan; baik dalam struktur naratif maupun tematik, walaupun sudah

disesuaikan dengan konteks lokal. Fokus terhadap aspek industri perfilman

menjadikan kajian Said kurang menyentuh persoalan kultural seperti pengaruh

budaya asing di dalam narasi dan praktik diskursif film.

Page 10: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

10

Dengan menggunakan latar kolonial, Antariksa melalui tulisannya, “Bioskop dan

Kemajuan Indonesia Awal Abad XX” (2005), membahas kehadiran bioskop dan film

pada awal abad ke-20 yang menjadi salah satu tonggak zaman kemajuan Hindia-

Belanda. Bioskop dan film menjadi “gairah budaya baru” yang menandakan masuknya

rakyat ke dalam jejaring modernitas. Kajian Antariksa, paling tidak, bisa menjadi bukti

akademik bahwa persoalan “memandang dan meniru Barat” yang terjadi hari ini

merupakan kelanjutan dari proses yang terjadi pada masa kolonial. Apa yang masih

kurang diungkapkan oleh Antariksa adalah konteks kehidupan kultural dalam

masyarakat kolonial Hindia-Belanda, utamanya terkait bagaimana mereka memaknai,

meniru, dan mempraktikkan modernitas yang dibawa penjajah.

Saputro melalui tulisannya “Melihat Ingatan Buatan, Menonton Film Indonesa

1900-1964” (2005) menelaah kehadiran penonton dari zaman kolonial hingga era

kepemimpinan Soekarno. Penonton merupakan pihak yang harus tetap dikontrol,

diawasi, dan diarahkan, sehingga institusi sensor sejak zaman kolonial hingga rezim

pascakemerdekaan di bawah Soekarno tetap dibutuhkan. Di samping itu, Saputro juga

menjelaskan tegangan politik berbasis budaya bangsa yang menyertai perkembangan

film Indonesia di masa Soekarno. Film-film Hollywood dianggap membahayakan nalar

penonton karena mengumbar kebebasan individual. Sayangnya, kajian Saputro kurang

mengekspos lebih jauh lagi persoalan diskusif yang berlangsung dalam narasi film dan

kondisi kultural masyarakat.

Berbeda dengan ketiga penulis sebelumnya, Karl Heider dalam bukunya

Indonesian Cinema: National Culture On Screen (1991), menggunakan analisis

antropologis untuk melihat bagaimana budaya direfleksikan dalam film-film

Page 11: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

11

Indonesia, dengan titik tekan pada film-film di era Orde Baru. Heider menawarkan

dua pola dalam melihat persoalan budaya dalam narasi film Indonesia. Pertama,

pertentangan antara orientasi individual dan kelompok. Pola ini merupakan satu cara

pandang dalam narasi film yang menentang budaya individual dan tetap memimpikan

tipe budaya tradisional yang lebih mengedepankan kolektivitas kelompok. Kedua,

pertentangan antara keberaturan dan ketidakberaturan (order vs disorder). Pertentangan

dua kutub ini merefleksikan pola pikir dan orientasi kultural masyarakat yang tidak

menyukai pertentangan dan konflik terbuka, sehingga memilih pada keberaturan

hidup yang akan membahagiakan. Meskipun tidak menjelaskan mengapa

pertentangan orientasi kultural itu muncul dan ada tidaknya relasi kuasa yang coba

membatasi munculnya stereotipisasi pola kultural tersebut, kajian Heider, paling tidak,

bisa memberikan satu konsep awal terkait kehadiran “yang tradisional” dan “yang

modern” yang bisa saya kembangkan lebih lanjut dalam kajian ini, tentu dengan

menimbang aspek kontekstual yang berbeda dari masa Orde Baru.

Budi Irawanto dalam bukunya, Film, Ideologi, dan Militer (1999), menggunakan

analisis semiotika untuk membahas representasi militerisme dalam film-film bergenre

militer yang berlatar perjuangan tentara pada masa-masa revolusi bersenjata.

Menurutnya, film-film bergenre militer merupakan aparatus hegemonik rezim Orde

Baru yang menegaskan superioritas faksi militer dalam sistem kepemerintahan dan

kebangsaan. Meskipun masih kurang dalam menjelaskan kompleksitas tegangan

militer-sipil dalam film, kajian Irawanto bisa dijadikan perbandingan untuk melihat

militerisme yang mungkin masih muncul dalam genre non-militer dalam film

Indonesia era 2000-an.

Page 12: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

12

Khrisna Sen dan David T. Hill, pada Bab “National Cinema: Global Image,

Contested Meaning” dalam Media, Culture, and Politics in Indonesia (2000), secara

singkat menjelaskan peran Lembaga Sensor Film (LSF) sebagai kepanjangan tangan

rezim Orde Baru dalam menentukan layak atau tidaknya sebuah film ditayangkan

secara luas, khususnya terkait pilihan tema dan struktur dunia naratifnya. Pelaku

industri film diharuskan memproduksi film yang merepresentasikan kehidupan moral

dan kultural untuk menghindari benih-benih disintegrasi sehingga film menjadi

medium untuk mengendalikan pola pikir dan perilaku masyarakat. Akibatnya, film-

film yang menghadirkan konflik serius di antara para tokoh akan „disesuaikan‟—

dipotong atau diganti—oleh LSF sehingga bisa berubah menjadi narasi yang bersifat

normatif dengan mengedepankan aspek solusi bijak. Meskipun tidak membicarakan

pengaruh modernitas dalam kehidupan masyarakat, karya akademik Sen dan Hill bisa

menjadi contoh bagaimana kajian naratif bisa bersanding dengan kajian ekonomi-

politik (dalam hal ini kekuasaan rezim negara melalui kebijakan perfilman).

Meskipun diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia setelah 15 tahun

penerbitan pertamanya dalam edisi bahasa Inggris, buku Krishna Sen, Kuasa dalam

Sinema: Negara, Masyarakat (2010) merupakan karya akademis yang sangat berharga

dalam kajian film Indonesia. Dengan menggunakan perspektif kajian komunikasi

massa/media, cultural studies, dan ekonomi-politik, Sen mengungkapkan dinamika,

tegangan, dan kepentingan ideologis dalam industri film Indonesia. Warna kental dari

kajiannya adalah pembacaan terhadap kuasa rezim dalam mengendalikan struktur

dunia naratif dan makna-makna ideologis yang harus disesuaikan dengan kepentingan

nasional. Beberapa wacana konsensual tentang keluarga, jender, integrasi, dan

Page 13: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

13

keharmonisan selalu mewarnai narasi film Indonesia di masa Orba. Kajian

mendalamnya tentang stereotipisasi peran domestik perempuan menjadi kontribusi

tersendiri dalam kajian jender dengan objek material film/media. Selain itu, Sen juga

menganalisis film-film yang menampilkan kritik terhadap kemiskinan dan

ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat. Secara jeli, Sen melihat kritik-kritik

tersebut berjalin-kelindan dengan tumbuhnya kelas menengah Indonesia yang bersikap

kritis terhadap rezim, namun masih menggunakan perspektif elitis. Akibatnya,

persoalan pemerataan ekonomi belum banyak diungkap. 13 Meskipun kurang

mengungkapkan bagaimana kapitalisme beroperasi di level negara dan industri film,

model analisis Sen yang menyandingkan beberapa pendekatan kritis, paling tidak, bisa

menjadi rujukan awal bagi cara kerja untuk melihat kepentingan ideologis yang

beroperasi dalam narasi film Indonesia era 2000-an.

Ikwan Setiawan (2008) dalam tesis S-2, berjudul Perempuan dalam Layar Bergerak:

Representasi Perempuan dan Pertarungan Ideologis dalam Film Indonesia Era 2000-an

(Analisis Semiotika Barthesian dan Wacana Foucauldian), menyinggung sedikit persoalan

poskolonialitas dalam kaitannya dengan perempuan dan peran serta perjuangan jender

yang mereka jalani. Dengan menggunakan beberapa film populer era 2000-an,

Setiawan memang tidak memfokuskan kajiannya pada representasi budaya poskolonial

dalam film, tetapi melihat persoalan poskolonialitas sebagai bagian kecil dari

pertarungan ideologis yang melibatkan para perempuan Indonesia. Banyak pengaruh

diskursif dari Barat yang mulai dilakoni oleh tokoh perempuan dalam film, meskipun

13 Paparan tentang perilaku rezim Orde Baru terhadap narasi film dan munculnya makna-makna kritis dengan sudut pandang kelas menengah terhadap persoalan sosial di masyarakat juga diungkap oleh Sen dalam artikelnya, “Persoalan-persoalan Sosial dalam Film Indonesia”, dalam Prisma, 4, 1990.

Page 14: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

14

ada juga film yang mewacanakan keberantaraan yang memadukan perspektif Barat dan

Timur dalam relasi perempuan dan laki-laki. Karena terlalu memfokuskan kajian pada

aspek representasi perempuan dan pertarungan ideologis dengan laki-laki, kajian ini

masih sangat kurang dalam memposisikan kehadiran pengaruh kebebasan perempuan

berperspektif Barat yang mulai menguat dalam kehidupan perempuan Indonesia saat

ini. Pembicaraan tentang tegangan kehadiran “yang Barat” di tengah-tengah

perempuan dan budayanya serta kemungkinan munculnya hibriditas kultural terkait

anggitan jender dalam film masih belum dieksplorasi secara maksimal.

Masih dalam latar era 2000-an, Marshall Clark dalam artikelnya “Indonesian

cinema: exploring cultures of masculanity, censorship, and violence” (2008),

mengeksplorasi bagaimana makna maskulinitas dihadirkan dalam film Indonesia era

2000-an. Argumen yang ia kembangkan adalah bahwa sedikit longgarnya rezim sensor

oleh negara—meskipun tidak demikian dengan sensor oleh kelompok sosial-

keagamaan—ikut mempengaruhi produksi maskulinitas dan kekerasan dalam film

Indonesia. Hal tersebut berjalin-kelindan dengan budaya endemik kekerasan yang

masih berlangsung dalam masyarakat serta menegaskan dominasi kekerasan maskulin

dalam ruang privat dan publik, baik yang terkait persoalan ekonomi, politik, dan

agama. Kajian Clark, meskipun dilakukan dengan pembacaan yang kurang detil

terhadap aspek penandaan, berhasil menghubungkan pembacaan tekstual dengan

praktik kekerasan maskulin yang terus meningkat pasca gerakan Reformasi.

Dengan lokus berbeda, Ariel Heryanto dalam artikelnya “Citizenship and

Indonesian ethnic Chinese in post-1998 films” (2008) mengkaji perkembangan baru

penggambaran etnis minoritas, khususnya Cina, dalam film-film Indonesia selepas

Page 15: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

15

gerakan Reformasi. Dengan menelusuri secara kontekstual persoalan ke-Cina-an pada

masa Orde Baru dan kelanjutannya di masa Reformasi, Ariel menggunakan beberapa

film yang menggambarkan tokoh Cina-Indonesia—Ca-bau-kan (sutradara Nia Dinata,

2002) dan Gie (sutradara Riri Riza, 2005)—untuk melihat bagaimana subjektivitas

kewarganegaraan mereka dibentuk dalam narasi film. Lebih jauh Ariel menjelaskan

bahwa kedua film tersebut berusaha membuat gambaran yang menyimpang dari dan

menentang terhadap konsepsi stereotip minoritas Cina, tetapi dalam beberapa aspek

masih terjebak ke dalam stereotipisasi yang selama ini berkembang. Selain itu, Gie

lebih menekankan bagaimana etnis Cina mengakomodasi proyek kebangsaan di dalam

subjektivitas mereka yang secara umum masih dipermasalahkan. Paling tidak, film-film

Indonesia era 200-an memberikan gambaran yang beragam terkait warga Cina dalam

formasi kebangsaan Indonesia. Hal tersebut berjalin-kelindan dengan perjuangan

masyarakat Cina untuk mendapatkan legitimasi dan pengakuan dalam kebijakan

negara, ketimbang mendekonstruksi keseluruhan ide etnisitas, ke-Cina-an, ke-pribumi-

an, dan konsepsi resmi kebangsaan. Tulisan Ariel, meskipun tanpa menyentuh

persoalan ekonomi-politik film secara spesifik, mampu memberikan gambaran, betapa

persoalan etnisitas tetap menjadi permasalahan aktual yang berlangsung dalam

masyarakat dan dalam produksi film di era ketika rezim otoriter sudah ambruk.

Buku Katinka Van Heeren, Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and

ghost from the past (2012), menurut saya, merupakan karya akademis termutakhir yang

bisa menandingi karya akademis Khrisna Sen. Dengan menggunakan analisis wacana

kritis yang dikembangkan Fairclough, Van Heeren memfokuskan kajiannya pada

praktik mediasi, praktik diskursif, dan praktik naratif film yang berlangsung dalam

Page 16: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

16

film Indonesia di era Orde Baru dan era Reformasi. Dalam analisis terhadap praktik

mediasi, Van Heeren menganalisis aspek produksi, distribusi, penayangan, dan

konsumsi, termasuk di dalamnya, aspek sensor yang melibatkan negara maupun yang

melibatkan kelompok sosial-keagamaan. Sementara, untuk praktik diskursif, ia

memfokuskan kepada struktur naratif, strategi retorik, serta moda distribusi dan

penayangan film di masa Orde Baru dan Reformasi. Adapun untuk urusan praktik

naratif, ia memfokuskan kepada sirkulasi genre-genre populer dan komposisi cerita

dalam genre film. Sayangnya, buku ini lebih banyak memfokuskan kepada dua genre

yang berkembang dalam industri perfilman Indonesia pada era Reformasi, yakni film

hantu dan islami, sehingga untuk film-film bergenre lain seperti anak-anak dan kaum

remaja kurang mendapatkan penekanan. Selain itu, beban konteks sosio-historis

menjadikan Van Heeren tidak memberikan penekanan kepada struktur naratif dan

praktik diskursif, tetapi lebih banyak mengeksplorasi praktik di luar narasi—persoalan

sensor dan tanggapan sineas serta maupun pertentangan sineas dan kelompok sosial-

keagamaan—sehingga ia kehilangan fokus kepada produksi subjek, wacana, serta relasi

kuasa yang berlangsung di dalamnya. Namun, paling tidak, karya akademis ini bisa

menjadi model, meskipun harus banyak dikritisi dan dimodifikasi, ketika seorang

pengkaji hendak menggunakan analisis wacana kritis dengan model yang

dikembangkan Fairclough, khususnya untuk melihat bagaimana wacana terhubung

dengan praktik kultural.

Paling tidak, kajian-kajian di atas bisa memberikan gambaran bahwa sampai saat

ini masih belum ada usaha akademis untuk membicarakan persoalan budaya

poskolonial dalam film Indonesia era 2000-an. Realitas itulah yang, sekali lagi,

Page 17: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

17

mendorong saya mengkaji representasi budaya poskolonial dalam narasi film dengan

menekankan pembacaan tekstual-kontekstual/ulang-alik. Model pembacaan tekstual-

kontekstual akan membantu dalam membuka kompleksitas persoalan kultural dan

ideologis dalam struktur dunia naratif film yang berjalin-kelindan dengan persoalan-

persoalan serupa dalam kehidupan masyarakat saat ini.

1.5 Kerangka Teoretis

Untuk bisa menjawab permasalahan dan memenuhi tujuan dalam kajian ini

serta menghasilkan analisis dan temuan yang berbeda dari kajian-kajian sebelumnya,

saya akan menggunakan kerangka konseptual yang berasal dari beberapa pendekatan—

kajian budaya dan media/film, dan kajian poskolonial dengan tetap menimbang

ekonomi-politik—sebagai acuan dalam kerja-kerja analitik. Paling tidak, terdapat tiga

argumen mengapa saya menggunakan pendekatan-pendekatan tersebut. Pertama,

budaya poskolonial yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah anggitan makna dan

wacana dalam struktur dunia naratif film Indonesia era 2000-an yang menormalisasi

kepentingan ideologis partikular dan relasi kuasa melalui praktik representasi—produksi

makna melalui bahasa (Hall, 1997a). Kedua, representasi budaya poskolonial

merupakan kompleksitas yang dibangun melalui praktik representasi—penandaan dan

diskursif—yang menghadirkan “yang tradisional” dan “yang modern” yang

memungkinkan berlangsungnya proses saling melintasi dalam peristiwa naratif

sehingga menghadirkan ambivalensi dan menghasilkan hibriditas kultural sebagai

karakteristik poskolonialitas. Ketiga, produksi budaya poskolonial dalam struktur

dunia naratif tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosio-historis dalam masyarakat, yakni

Page 18: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

18

pengaruh diskursif gerakan Reformasi, penerapan sistem ekonomi-politik negara dan

industri budaya, dan arus globalisasi yang semakin mengarah ke mekanisme pasar

bebas. Berikut saya paparkan beberapa teori yang akan memperkuat penerapan

keempat pendekatan tersebut dalam analisis.

1.5.1 Film dan Politik Representasi: Eks-nominasi Ideologi dan Normalisasi Kuasa

Film merupakan seni audio-visual yang menyampaikan cerita tentang

kompleksitas dunia yang direka-ulang kepada para penonton melalui dialog dan

peristiwa yang melibatkan para pemain di dalamnya (Cavell, 2006; Spharshott, 2006;

Arnheim, 1957). Implikasinya, film adalah struktur dunia naratif yang di dalamnya

berlangsung proses penandaan audio-visual dengan teknik-teknik filmis—semisal

pengadeganan pemain, sudut pandang kamera, teknik editing, tata cahaya, tata musik,

dan lain-lain—yang menyampaikan dan memapankan makna-makna partikular yang

berjalin-kelindan dengan persoalan dalam masyarakat (Turner, 1988: 56-58; Ponech,

2009; Andrew, 1984: 64-65). Persoalan-persoalan dalam masyarakat tentu tidak

ditampilkan apa adanya, tetapi melalui proses representasi; praktik penandaan yang

memproduksi makna-makna atau realitas baru yang lebih menarik dan mudah

diterima oleh khalayak yang lebih luas (Hall, 1997a: 15-19, 1982: 64). Pemahaman

tersebut menjadikan representasi filmis, mengikuti pemikiran Hall (1982: 65-66),

sebagai proses ideologis yang memobilisasi dan menegosiasikan makna-makna terkait

permasalahan partikular melalui praktik penandaan yang menjadikan mereka tampak

wajar; seolah-olah tanpa kepentingan.

Teori semiotika mitos yang dikembangkan Roland Barthes bisa menjadi piranti

untuk membaca penandaan filmis yang menghadirkan makna-makna kultural. Mitos

Page 19: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

19

merupakan moda penandaan atau sistem komunikasi yang menggunakan penandaan

level denotatif sebagai titik-pijak untuk membaca pesan atau konsep yang dihadirkan

secara natural; seolah-olah sudah begitu adanya, tanpa kepentingan (Barthes, 1983:

109-116). Produk-produk budaya populer seperti film merupakan medium yang

berkontribusi secara signifikan bagi perkembangan masyarakat kontemporer karena

sifatnya yang massif dan bisa menampilkan penandaan mitis yang mendepolitisasi

makna atau konsep yang bersifat ideologis. Proses itulah yang Barthes disebut sebagai

eks-nominasi, proses pengaburan kepentingan ideologis dari kelompok atau kelas

partikular dalam masyarakat melalui bermacam praktik representasi dalam budaya

populer (Barthes, 1983: 138-139; Fiske, 2002: 43).

Dalam perspektif mitos-Barthesian, film bisa dikonseptualisasikan sebagai

“struktur dunia naratif audio-visual sebagai praktik penandaan yang menaturalisasi

dan mendepolitisasi—dalam praktik eks-nomisasi—makna-makna ideologis agar tampak

menjadi sebuah kewajaran, seolah-olah tanpa kepentingan politis”. Dalam konsep

tersebut, ideologi bukan lagi menjadi konsep deterministik ataupun kesadaran palsu,

tetapi “menyebar sebagai praktik representasi” (Althusser, 1971: 162-177; Hall, 1997b;

van Dijk, 1995: 284; Heck, 2005: 110) yang terstruktur dalam narasi film berupa

peristiwa-peristiwa naratif adegan dalam babak dengan partikularitas latar, dialog,

konflik, sudut pengambilan gambar, dan lain-lain.

Mobilisasi makna-makna ideologis yang disebarkan melalui struktur dunia

naratif film, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari persebaran wacana terkait

permasalahan partikular yang berkembang dalam masyarakat pada periode historis

partikular. Dalam hal itulah, pemikiran wacana Foucauldian bisa menjadi titik-hubung

antara teks/struktur dunia naratif dan konteks sosio-historis, termasuk poskolonialitas

Page 20: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

20

kultural dalam masyarakat dan penerapan sistem ekonomi-politik. Sementara,

semiotika mitos-Barthesian memosisikan film sebagai struktur dunia naratif yang

menyampaikan dan memobilisasi makna-makna ideologis, wacana Foucauldian

memosisikan makna-makna tersebut sebagai pembentuk subjek—wacana, individu, dan

pengetahuan—dalam praktik diskursif yang berjalin-kelindan dengan formasi diskursif

dalam masyarakat.

Dalam pandangan Foucault (2002: 177), paling tidak, terdapat dua pengertian

terkait wacana. Pertama, wacana merupakan sekelompok pernyataan—bisa berupa teks

maupun gambar dengan beragam variannya—yang membicarakan sebuah objek

bermakna, semisal wacana klinis, wacana ekonomi, wacana tentang sejarah alamiah,

dan wacana psikiatris. Kedua, wacana sebagai sekelompok pernyataan terbatas yang

berkaitan dengan formasi diskursif yang sama. Pengertian tersebut mengimplikasikan

adanya keberagaman—persamaan dan perbedaan—dalam hal wacana tetapi masih

terhubung dalam kesamaan objek/topik (Foucault, 2002: 52-58; Hall, 1997a: 44).

Proses pembentukan wacana mensyaratkan beberapa elemen yang saling terkait

satu sama lain. Pertama, person yang berhak dan mampu membicarakan persoalan-

persoalan partikular—dalam artian menamai, mengklasifikasi, menganalisis, dan

memecahkan permasalahan yang muncul—dan institusi sebagai medan penyemai

wacana (Foucault, 2002: 72-83). Kedua, praktik diskursif, yakni seperangkat prosedur

atau sistem dalam proses produksi wacana yang menentukan batasan ataupun aturan

yang menjadikan wacana-wacana sebagai kerangka pikir bagi subjek individu maupun

masyarakat sehingga siapa yang tidak mengikuti mereka akan diposisikan sebagai liyan

(Foucault, 1981; Young, 1981: 48-49). Praktik diskursif yang digerakkan person-person

Page 21: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

21

tertentu—akademisi, sastrawan, seniman, sineas, dan lain-lain—akan terkait dengan

praktik diskursif lain dalam sebuah formasi yang menghasilkan pengetahuan serta

membentuk subjek-subjek diskursif di dalam wacana (Foucault, 1980: 194-196).

Kapasitas wacana dan pengetahuan untuk membentuk subjek diskursif melalui

beragam batasan dan argumen-argumen yang bisa terterima oleh nalar itulah yang

melahirkan dan mendukung kuasa. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kuasa tidak

ikut menentukan pengetahuan. Kuasa juga mempunyai peran yang sangat kuat untuk

menentukan dalam kondisi apa sebuah pengetahuan bisa diaplikasikan atau tidak;

kuasa dan pengetahuan saling berhubungan serta tidak dapat dipisahkan—

kuasa/pengetahuan (Hall, 1997a: 49; McHoul & Grace, 1993: 59). Bisa dikatakan,

relasi kuasa—dalam kaitannya dengan pengetahuan—berlangsung dalam pola menyebar

karena memiliki beragam mekanisme yang mampu menjadikannya sebagai sesuatu

yang normal dalam periode dan masyarakat partikular (Foucault, 1998: 94-95).

Dengan mekanisme yang demikian, kuasa tidak lagi dipahami sebagai paksaan

karena subjek masyarakat mendapatkan wacana dan pengetahuan yang bersifat

menjelaskan terkait permasalahan tertentu dengan pertimbangan-pertimbangan

ilmiah, sehingga mereka akan memposisikannya sebagai kebenaran dan kebutuhan.

Dengan kata lain, kuasa dibangun melalui mekanisme “pendisiplinan” dengan rujuan-

rujukan wacana dan pengetahuan yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang

ada dalam masyarakat pada periode historis partikular (Wickman, 2008; Widder 2004:

412). Individu-individu dalam masyarakat, dengan demikian, diciptakan sebagai

subjek-subjek manusia yang berada dalam relasi kuasa melalui wacana dan

Page 22: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

22

pengetahuan yang menyebar di semua titik—keluarga maupun institusi-institusi

lainnya—dengan mengedepankan rasionalitas (Focault, 1989).

Mengikuti alur pemikiran Foucauldian, film bisa didefinisikan sebagai “struktur

dunia naratif yang diproduksi para sineas dalam institusi industri perfilman di mana

di dalamnya berlangsung praktik diskursif yang memproduksi wacana dan

pengetahuan tentang permasalahan-permasalahan partikular yang berjalin-kelindan

dengan permasalahan-permasalahan dalam masyarakat pada latar historis partikular,

sekaligus sebagai bentuk mekanisme kuasa”. Dengan kerangka film sebagai wacana dan

kuasa/pengetahuan yang menekankan praktik diskursif dalam pembentukan subjek

dan mekanisme kuasa dalam rentang historis partikular, perlu pula dibaca

permasalahan-permasalahan yang berlangsung dalam masyarakat, termasuk di

dalamnya persoalan sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang menjadi sumber

material bagi para sineas dalam memproduksi narasi film. Maka, sekali lagi, wacana

merupakan jembatan yang menghubungkan struktur dunia naratif yang diproduksi

para sineas dengan konteks sosio-historis dari produksi film, yakni permasalahan-

permasalahan riil dalam masyarakat dan kepentingan ekonomi-politik yang melibatkan

rezim negara dan pemodal. Artinya, sebagai person-person yang berhak berbicara dan

bersuara melalui film, para sineas akan membuat struktur dunia naratif yang

memobilisasi makna-makna sebagai pembentuk subjek yang berhubungan dengan

permasalahan-permasalahan riil dalam masyarakat tanpa melupakan pertimbangan

ideologis dan komersil.

Page 23: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

23

1.5.2 Poskolonialitas Kultural dalam Pusaran Neoliberalisme

Salah satu permasalahan aktual dalam ranah kebudayaan yang berimplikasi pada

permasalahan-permasalahan lain seperti ekonomi, sosial, dan politik adalah

poskolonialitas. Mengapa demikian? Karena dalam poskolonialitas masyarakat bekas

jajahan diwarnai secara dominan oleh dualitas tragis (Mbembe, 2001: 12) atau

kegandaan psiko-kultural (Quayson, 2000: 16-17). Di satu sisi, masyarakat pascakolonial

berusaha mengapropriasi budaya modern dari bekas penjajah dengan bermacam

turunannya karena menjanjikan aspek-aspek kemajuan—dari persoalan pendidikan,

politik negara, hingga ekonomi (Baxi, 2005: 540-544; Venn, 2006: 69). Lebih jauh

lagi, modernitas dilembagakan dalam sistem pemerintahan dan direpresentasikan

dalam narasi media sebagai sebuah rezim kebenaran, sehingga sebagai subjek ia

menjadi visi dan idealisasi bagi subjek masyarakat pascakolonial untuk terus

mendamba dan mengharapkan diri mereka menjadi modern (Venn, 2000: 49; 2006:

55). Di sisi lain, mereka masih belum bisa lepas sepenuhnya dari ikatan komunal dan

budaya lokal sebagai kekuatan kolektif yang diwariskan secara turun-temurun.

Dualitas psiko-kultural merupakan subjektivitas baru yang menandai dan

menjadi karakteristik masyarakat pascakolonial di mana tidak mungkin lagi ditemukan

jalan untuk kembali ke sebuah kemurnian atau kemasalampauan genius, meskipun

tidak sepenuhnya pula budaya residual ditinggalkan. Kegandaan psiko-kultural

memunculkan kompleksitas permasalahan dalam praktik kebangsaan dan budaya di

masa pascakolonial apabila tidak bisa disiasati secara strategis. Dalam membincang

tentang budaya nasional, misalnya, Fanon (1963: 232-233) mengingatkan bahwa

konsep budaya nasional memang bisa menggunakan masa lampau, tetapi menuntut

Page 24: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

24

pemikiran emansipatoris modern untuk membuka masa depan yang lebih baik bagi

masyarakat pascakolonial, bukannya menggunakan secara mentah-mentah budaya

tradisional.

Sementara, terkait konsep nasionalisme, Chateerje (1993: 41-51) menjelaskan

bahwa nasionalisme tidak bisa semata-mata digerakkan oleh kepentingan anti-kolonial,

tetapi harus dibangun secara jeli, liat, dan kritis di tengah-tengah subjektivitas

pascakololonial yang berlangsung—perang posisi. Kekuatan nasionalis harus bisa

membaca secara objektif struktur kelas dalam negara—baik borjuis, militer, petani,

buruh, maupun intelektual—beserta kepentingan mereka untuk kemudian

memformulasikan agenda politik dan wacana ideologis yang bisa menjadi konsensus

baru secara nasional dan membentuk aliansi strategis dalam negara. Sebagai proyek

ideal, nasionalisme pascakolonial memang akan berhadapan dengan perkembangan

kapitalisme yang menghadirkan banyak kontradiksi. Dalam kondisi itu, pemikir

nasionalis harus bersiasat dalam “momen manuver” yang menuntut kemampuan

konsolidasi historis dari “yang nasional” dengan cara mengkritisi “yang modern”;

sebuah persiapan untuk memperluas produksi kapitalis dengan mengambil jalan

ideologi anti-kapitalisme; “pengembangan sebuah tesis dengan cara menginkorporasi

bagian yang menjadi antitesis”.

Dalam kajian poskolonial/poskolonialisme, kompleksitas kultural dalam

masyarakat pascakolonial—baik dalam ranah diskursif maupun praksis—yang

dihasilkan dari perjumpaan dengan “yang Barat” atau “yang modern” mendapatkan

tempat utama. Kuatnya kehendak untuk menjadi modern bukan berarti meniadakan

kemampuan subversif mereka terhadap modernitas yang diasumsikan bisa

Page 25: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

25

memusnahkan secara menyeluruh aspek-aspek tradisional dalam masyarakat

pascakolonial. Beberapa konsep kunci yang memungkinkan kemampuan bersiasat

masyarakat pascakolonial, sebagaimana dijelaskan Bhabha, adalah ambivalensi, mimikri,

dan hibriditas.

Mimikri merupakan proses kultural yang memberi peluang berlangsungnya

agensi subjek pascakolonial untuk memasuki kuasa dominan sekaligus bermain-main

di dalamnya dengan menunjukkan subjektivitas kultural yang menyerupai budaya

dominan tetapi tidak sepenuhnya sama (Bhabha, 1984: 126). Sebagai artikulasi ganda,

mimikri memunculkan ambivalensi terus-menerus sebagai bentuk kesadaran agensi

yang memunculkan apropriasi dan inapropriasi subjektivitas dalam medan kuasa

dominan. Dengan cara tersebut, liyan melakukan perbaikan diri dengan cara belajar

dalam institusi pendidikan maupun membiasakan diri dengan gaya hidup modern,

tetapi mereka tetap bisa menegosiasikan kedirian kultural yang berbeda. Kondisi itulah

yang menjadikan mimikri sebagai ancaman sekaligus ejekan terhadap budaya dan

kuasa dominan karena ia hadir dalam visi ganda dan ambivalensi yang mengganggu

kebenaran epistemologis kekuasaan berbasis binerisme (Bhabha, 1984: 129-130).

Ketika mimikri berlangsung dalam produk-produk representasional yang

mengganggu konstruksi keutuhan wacana dan pengetahuan sebagai dalam sebuah

relasi kekuasaan berbasis oposisi biner, efek lanjutnya adalah ketidakadaan atau

ketidakhadiran budaya yang bersifat otentik atau murni. Bhabha menyebut produk

budaya yang demikian sebagai “hibriditas”. Namun, apa yang harus dipahami adalah

bahwa hibriditas bukan sekedar wacana tentang percampuran antarbudaya—seperti

dalam pengertian asimilasi, sinkretisme, ataupun kreolisasi. Lebih dari itu, konsep

hibriditas merupakan proyek untuk mensubversi secara diskursif budaya dan kuasa

Page 26: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

26

dominan (Bhabha 1994: 112-115). Dengan hibriditas kultural, masyarakat

pascakolonial bisa keluar dari asumsi-asumsi stereotip tentang subjektivitas mereka

yang bersifat diskriminatoris yang di masa lampau menjadi siasat kolonial untuk bisa

menguasai mereka. Selain itu hibriditas juga menjadi situs untuk mempermainkan

tanda-tanda kultural dari kuasa dominan melalui peniruan dan percampuran yang

tidak sepenuhnya. Dengan cara seperti itu, mereka bisa melakukan pemaknaan-

pemaknaan ulang terhadap budaya ataupun kuasa—dalam orientasi perlawanan—

karena tidak mengakui budaya dan kuasa tersebut secara sepenuhnya.

Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, subjektivitas hibrid bisa dibaca

sebagai negosiasi gagasan dan praktik kultural yang mengartikulasikan lokalitas dan

modernitas dalam ruang ketiga demi kepentingan politiko-kultural masyarakat

pascakolonial. Mereka bisa menarasikan sebagian budaya tradisional, meskipun harus

masuk dan bermain dalam formasi diskursif budaya dominan (Huddart, 2007).

Hibriditas mempunyai fungsi politiko-kultural sebagai usaha untuk mengkontestasi

budaya dominan melalui “operasi ganda yang ganjil”, yakni percampuran elemen-

elemen kultural dari budaya dominan (Barat/modern) dan budaya lokal yang semula

saling berkonflik menjadi struktur-struktur baru dalam produksi kultural yang diulangi

secara terus-menerus; sebuah repetisi struktural (Young, 1995: 23-25). Konsep peniruan,

pengejekan, kegandaan, keberantaraan, hibriditas kultural, dan potensi-potensi

politisnya banyak mempengaruhi formasi diskursif kajian poskolonial (Bhabha, 1995;

Loomba, 2000; López, 2001; Leela Gandhi, 1998; Young, 2003; Huggan, 2008: 6;

Ahluwalia, 2002: 196-197; Sankaran Krishna, 2009).

Page 27: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

27

Konsep-konsep teoretis di atas tentu harus diuji secara kritis karena wacana

poskolonialitas yang diproduksi dalam praktik diskursif sastra maupun media populer

tidak bisa dilepaskan dari kondisi kontekstual. Apakah benar hibriditas masih bisa

menjadi kekuatan strategis ketika masyarakat semakin terbiasa dengan arus budaya

modern dari negara-negara maju yang menawarkan bermacam nilai-nilai ideal bagi

kehidupan dalam globalisasi dan neoliberalisasi? Apakah benar wacana hibriditas bisa

menjadi bentuk resistensi terhadap kuasa dominan ketika industri budaya yang

memiliki kepentingan komersil dan ideologis mengartikulasikan mereka dalam

produk-produk naratif? Dua pertanyaan tersebut menuntut pemahaman lebih

terhadap kondisi kontekstual berupa glonbalisasi dan penerapan ekonomi-politik

dalam ranah kebijakan negara maupun industri budaya, khususnya industri film.

Globalisasi dalam sektor ekonomi-politik menunjukkan bahwa negara-negara

maju dengan ditopang korporasi transnasional serta institusi finansial dan politik

internasional melakukan praktik imperialisme sehingga sebagian besar negara

pascakolonial mengalami eksploitasi sekaligus ketergantungan terhadap mereka,

utamanya dalam hal kebijakan nasional—mengedepankan fungsi pasar dan

mengurangi wewenang pemerintah (Steger, 2006: 38-40; Edwards, 2007: 262-263;

Stallings, 2007: 214; Kien, 2004: 473-477; Gills, 2002: 164-171; Pieterse, 2004).

Dalam konteks kultural globalisasi neoliberal memunculkan tesis tentang imperialisme

kultural di mana industri budaya menyebabkan “homogenisasi kultural”—utamanya

komodifikasi dalam bentuk, model, dan representasi—di negara-negara Dunia

Ketiga/pascakolonial (Banerjee, 2002: 519-520; Sparks, 2007: 145-147; Wise, 2008:

34-35).

Page 28: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

28

Dalam kondisi tersebut, neoliberalisme yang secara genealogis memodifikasi

liberalisme yang berprinsip pada kebebasan pasar menjadi sistem ekonomi-politik

utama yang digerakkan oleh negara-negara maju dan disebarluaskan kepada negara-

negara pascakolonial serta membawa pengaruh-pengaruh diskursif dan praksis dalam

kehidupan masyarakat. Menurut Rachel S. Turner (2008: 4-5), terdapat empat prinsip

ekonomi-politik neoliberalisme dalam kehidupan bernegara. Pertama, kemutlakan

aturan pasar bebas yang diasumsikan menjamin efisiensi dan efektifitas sumber

ekonomi serta menjamin kebebasan individual. Kedua, berkomitmen kepada

penguatan Rechtsstaat yang menekankan aturan negara hukum sebagai instrumen

regulasi yang mengatur relasi-relasi konfliktual di antara individu-individu otonom

dalam masyarakat pasar di mana fungsi negara hanylah mengamankan kohesi dan

stabilitas sosial melalui pelestarian kemerdekaan individual. Ketiga, minimalisasi peran

dan regulasi negara. Keempat, kepemilikan pribadi yang memberi penghormatan

mutlak terhadap hak intelektual ataupun kekayaan individual yang tidak bisa

digunakan secara semena-mena untuk kepentingan kolektif.

Dari keempat prinsip tersebut, individualisme merupakan pengetahuan kunci

yang menjadi landasan diskursif dan praksis dari neoliberalisme. Individualisme yang

berkembang dalam neoliberalisme merupakan modifikasi dan transformasi dari

konsep otonomi-individual yang dikembangkan dalam liberalisme. Menurut Stopford

(2009: 1 & 30-31), konsep diri-otonom akan menjadikan individu-individu

berkemampuan menilai, bersikap kritis, dan mempermasalahkan nilai-nilai komunitas

yang mengikat mereka, sehingga mereka akan memiliki pilihan-pilihan otonom dalam

menjalani hidup—apakah harus menggunakan sebagian budaya komunitas yang sesuai

Page 29: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

29

dengan situasi terkini atau menggunakan budaya baru yang lebih bisa

mensejahterakan. Menguatnya kebebasan dan diri-otonom dalam masyarakat akan

memberikan individu peluang baru untuk memaknai subjektivitas mereka di tengah-

tengah kuasa modernitas dengan menggunakan pilihan-pilihan yang bisa diterima

nalar dan bisa mendukung capaian ideal.

Selain itu, agar individu bisa mendapatkan keuntungan maksimal, ia harus

mengembangkan diri-otonomnya sebagai diri-penuh-skill. Stopford (2009: 115-116)

menjelaskan bahwa kondisi penuh-skill bisa dicapai melalui tindakan-tindakan

rasional, yakni pendidikan, sehingga seorang individu bisa menguasai kompetensi

tertentu dan menjadikannya pribadi unggul.14 Dengan penguasaan tersebut, ia akan

menjadi fokus bagi tindakan-tindakan rasional yang diarahkan dan diproyeksikan bagi

pencerahan kehidupan individualnya, bukan komunitasnya. Kalaupun komunitas

merasakan akibat positif dari tindakan rasionalnya, itu merupakan akibat dari

bertemunya tindakan-tindakan antarindividu dalam masyarakat yang diberikan

kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan yang masuk akal dan berdaya-guna.

Adapun modifikasi yang dilakukan adalah individualisme yang lebih dilekatkan

kepada mekanisme pasar sebagai rezim kebenaran. Dalam kapitalisme neoliberal,

individu dituntut memiliki “speasialisasi” skill yang memudahkannya untuk

melakukan “kompetisi” dengan individu-individu lain dalam sebuah mekanisme pasar

yang menjamin “kebebasan” dan “efisiensi” untuk memperoleh keuntungan finansial

yang menjadi kepemililikan pribadi. Untuk bisa mencapai kondisi tersebut, setiap

individu dituntut untuk tidak terlalu terikat dengan aturan-aturan negara karena akan

14 Terima kasih kepada Prof. Dr. Faruk, S.U., yang memberikan masukan tentang konsep pribadi unggul yang menjadi salah satu karakteristik dari individualisme dalam pemikiran liberalisme.

Page 30: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

30

merusak kemampuan kompetisi dan menghalangi mereka masuk ke dalam budaya

korporasi, khususnya yang dihadirkan oleh korporasi transnasional yang memang

melampaui batas-batas geopolitis negara (Peter Dicken, 2007). Meskipun demikian,

kehadiran negara tetap penting bagi keberlangsungan individualisme untuk

memperkuat kebijakan yang mempermudah dan menjamin kebebasan semua individu

untuk berkompetisi serta menjamin keberlangungan pasar bebas, baik dalam lingkup

domestik/nasional maupun transnasional (Munck, 2005: 63; Clarke, 2005: 50-51;

Lapavitsas, 2005; Duménil & Lévy, 2005: 9; Palley, 2005: 20-24; Harvey, 2007: 64-87;

England & Ward, 2007: 12; Howard & King, 2008: 219-220).

Formasi diskursif individualisme yang mengutamakan kebebasan, pendidikan,

penghormatan terhadap hak-hak individual, skill-tinggi, dan kompetensi yang sesuai

dengan mekanisme pasar dan budaya korporasi diyakini sebagai rezim kebenaran yang

diwacanakan dan dipraktikkan secara ajeg di dalam banyak institusi pendidikan,

perusahaan, maupun media; tidak hanya pada level transnasional tetapi juga nasional.

Selain itu, sebagian besar negara pascakolonial juga sudah menerapkan neoliberalisme

sebagai sistem ekonomi-politik mereka.15 Akibatnya, neoliberalisme menjadi ideologi

dan sistem ekonomi-politik yang diidealisasi bisa menjamin tercapainya kesejahteraan

karena memungkinkan setiap individu bebas berkompeteisi dan berinvestasi berbasis

aturan pasar. Dalam realitas demikian, poskolonialitas kultural yang menjadi penanda

kekuatan masyarakat pascakolonial berada dalam “pusaran neoliberalisme” di mana 15 Ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan neoliberalisme sebagai ekonomi-politik global, yakni: [a] kesiapan aparatus intelektual, institusi, dan strategi gerakan untuk penyebarannya secara internasional (Plehwe & Walpen, 2006: 27-45; Hull, 2006: 142-154; Harvey, 2007: 22; Carroll & Carson, 2006: 52-68; Weller & Singleton, 2006: 71-85); [b] eksploitasi ekonomi dan ketergantungan teknologi dan kultural menciptakan elit-elit nasional yang berada dalam kuasa institusi kapitalisme internasional serta memperkuat mekanisme pasar bebas, sehingga menyebabkan amnesia historis dan politis (Bhabha & Comaroff, 2002: 16; Kapoor, 2008: 4-6); dan, [c] desakan institusi keuangan internasional kepada negara-negara pascakolonial untuk mengadopsi neoliberalisme karena diasumsikan lebih menjanjikan kesejahteraan bagi warga negara (Hindess, 2005; 2004).

Page 31: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

31

endapan terhadap ketradisionalan dan impian terhadap modernitas bisa

diinkorporasi, dikomodifikasi, dan dipasarkan secara luas dalam produk-produk

industri budaya, termasuk film. Inkorporasi dan komodifikasi terhadap budaya

tradisional merupakan salah satu karakteristik neoliberalisme yang membedakannya

dengan liberalisme yang menolak budaya tradisional.

1.5.3 Ekonomi-Politik Film

Formasi diskursif poskolonialitas masyarakat yang ditandai oleh hibriditas

kultural dan menguatnya nilai-nilai individualisme merupakan sumber wacana yang

akan dibaca dan dimaknai-kembali oleh para kreator film dalam praktik komodifikasi

serta direpresentasikan ke dalam struktur dunia naratif. Artinya, bisa jadi

poskolonialitas mendapatkan pemaknaan-pemaknaan baru oleh para sineas yang

disesuaikan dengan kepentingan ekonomis dan ideologis industri perfilman sebagai

bagian dari kapitalisme pasar, meskipun mereka juga harus bersiasat dengan kebijakan

perfilman yang dibuat oleh rezim negara. Dengan kata lain, wacana dan pengetahuan

yang dihadirkan dalam struktur dunia naratif film tidak hanya menormalisasi

kepentingan ekonomi-politik pemodal, tetapi juga sebagai bentuk „siasat diskursif‟

dalam menghadapi idealisasi negara terhadap produksi pengetahuan melalui film

sebagaimana dituangkan dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dalam

konteks itulah, pertimbangan ekonomi-politik film tetap dibutuhkan dalam kajian ini.

Kajian ekonomi-politik film ataupun media mendasarkan konsepsi-konsepsi

teoretisnya pada tesis base/superstructure Marxisme. Tesis utama yang diusung adalah

bahwa basis ekonomi dan produksi akan menentukan superstructure—ideologi, agama,

relasi sosial, politik maupun budaya. Kelas pemodal dengan kemampuan modal dan

Page 32: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

32

alat produksinya menggerakkan mekanisme dan moda produksi yang melibatkan

kreator dan buruh dalam organisasi dan praktik kerja untuk menciptakan benda-

benda industrial yang mempunyai nilai tukar dan nila guna serta bisa memenuhi

kebutuhan konsumen melalui proses sirkulasi, distribusi, dan konsumsi yang

menyebabkan perubahan orientasi ideologi masyarakat sehingga mengakibatkan

perubahan pada struktur dan praktik sosio-kultural (Marx, 1991, 1992; Lebowitz,

2002; Wood, 2003).

Mengikuti tesis tersebut, kajian ekonomi-politik film memosisikan produk film

tidak semata-mata sebagai representasi yang mewacanakan pengetahuan partikular,

tetapi ia terhubung dengan sistem organisasi produksi dan distribusi kapitalis,

perubahan sosial, termasuk peran negara di dalamnya. Wasko (2004: 227),

mengelaborasi pemikiran Mosco, memosisikan film sebagai bagian integral dari sistem

industri dan masyarakat kapitalis, baik dalam produksi maupun distribusinya. Dalam

proses produksi terdapat formula-formula komersil maupun diskursif yang menjadi

acuan sineas dan pemodal agar sebuah film bisa diterima oleh pasar. Dalam proses

distribusi perlu dilihat mekanisme-mekanisme apa yang digunakan untuk menjadikan

film bisa meraup keuntungan dari segi komersil dan bagaimana peran dan keterlibatan

negara. Yang tidak kalah pentingnya untuk dikaji adalah implikasi politiko-ideologis

dari proses produksi dan kebijakan negara karena ia tidak pernah terlepas dari konteks

ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang berkontribusi bagi keberlangsungan dan

reprodukis struktur dan relasi kuasa dalam sebuah negara.

Berdasarkan pemahaman tersebut, pembacaan terhadap cara pandang negara

dan industri dalam memahami produksi dan distribusi film menjadi penting.

Page 33: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

33

Termasuk di dalamnya adalah bagaimana respons para sineas terhadap kebijakan

perfilman serta artikulasi mereka terhadap persoalan budaya dan kebangsaan

sebagaimana diidealisasi negara. Namun demikian, dalam kajian ini saya tidak akan

masuk ke dalam sistem organisasi, produksi, dan distribusi film, tetapi bukan berarti

mengabaikannya. Titik ekonomi-politik film akan diarahkan pada bagaimana formasi

diskursif poskolonialitas kultural dalam masyarakat di tengah-tengah sistem pasar yang

memunculkan tegangan antara idealisasi pemodal dan sineas dengan idealisasi rezim

negara. Dalam bingkai normatif, di tengah-tengah keinginan mereka untuk

mendapatkan keuntungan dari industri perfilman, rezim negara masih memosisikan

film sebagai medium untuk menyebarkan kekuatan budaya bangsa dan nasionalisme—

sebuah idealisasi film pascakolonial16—di tengah-tengah popularitas budaya individual.

Sementara, para pemodal dan sineas sebagai bagian dari sistem organisasi industri

budaya kapitalis, tentu saja, menginginkan film yang mereka produksi bisa

mendatangkan keuntungan komersil sekaligus bisa berfungsi untuk menyebarkan

kepentingan ideologis mereka.17

16 Secara ideal, film bagi bangsa pascakolonial memiliki kontribusi strategis untuk menyebarkan gagasan-gagasan kolektif tentang bagaimana menjadi bangsa dengan subjektivitas baru yang terlepas dari pengaruh-pengaruh ideologis kolonialisme (Berry dikutip dalam Zhang, 2004: 6). Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan para sineas untuk menyukseskan proyek kebangsaan tersebut. Pertama, merepresentasikan nostalgia masa lampau yang penuh keemasan dan budaya lokal sebagai kekuatan kolektif (McMillin, 2007: 77-78; Higson, 2000: 60-61). Kedua, menarasikan semangat kebangsaan, pembangunan, penguatan kedaulatan dan integrasi, serta mempersiapkan bangsa untuk berpartisipasi dalam kehidupan antarbangsa (Hallin, 1998: 155-157). Ketiga, membicarakan persoalan kultural dalam konteks yang tidak kaku, tetapi dinamis dan terkadang penuh kontestasi di tengah-tengah pengaruh ragam budaya dan teknik filmis dari luar, meskipun secara naratif tetap menegaskan identitas kolektif melalui pola dan rangkaian narasi bersifat lokal (Berry & Farquhar, 2006: 1-8; Yearwood, 1987). 17 Secara umum para pemodal dan sineas berada dalam satu faksi ketika membicarakan kepentingan komersil dan ideologis, meskipun tetap ada hirarki yang berbeda di antara mereka. Menurut Louw (2001: 32-34), penyebaran pengetahuan ideologis tertentu terjadi karena (1) kuatnya patronase terhadap kepentingan pemodal dalam industri budaya yang hanya menghendaki wacana tertentu; (2) kecenderungan wacana dari para kreator dan pekerja; dan (3) tekanan dari relasi kuasa lainnya, semisal negara maupun institusi agama. Terkait tekanan negara ataupun institusi agama, hal itu akan

Page 34: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

34

Itulah mengapa kajian poskolonial yang mengunggulkan wacana hibriditas

dalam praktik representasi maupun diskursif perlu diuji secara kritis karena bisa jadi

industri perfilman mempunyai logika yang berbeda dengan idealisasi poskolonialisme.

Poskolonialitas dalam masyarakat yang ditandai dengan impian terhadap budaya

modern tanpa meninggalkan sepenuhnya budaya tradisional, perkembangan

kapitalisme pasar, maupun proyek budaya bangsa dan nasionalisme tentu akan

menjadi sumber diskursif yang akan diartikulasikan dalam struktur naratif film yang

berbeda dengan cara pandang negara. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari posisi industri

film sebagai bagian dari kapitalisme pasar itu sendiri. Menurut Fulton (2005: 5-7),

narasi formulaik media pada abad kapitalisme akhir berusaha menaturalisasi

kepentingan ideologis neoliberal dengan cara menciptakan subjek-subjek yang koheren

dengan tawaran akan pembebasan dan kebebasan untuk menentukan pilihan dalam

jejaring pasar. Sebagai produk yang sangat dekat dengan kehidupan, tentu saja para

pemodal dan sineas memiliki prinsip-prinsip artikulasi untuk mengakomodasi

beragam kecenderungan wacana dan pengetahuan dalam masyarakat, termasuk

idealisasi negara, meskipun tetap menegosiasikan pengetahuan ideal berkebudayaan

dan berkebangsaan di tengah pasar.

Pembacaan terhadap kompleksitas struktur naratif film, praktik dan formasi

diskursif, serta ekonomi-politik, pada akhirnya, akan membantu untuk membaca relasi

kuasa yang berlangsung. Dalam kerangka pikir demikian, film merupakan “sebuah

menjadikan para sineas bersiasat secara naratif dan diskursif untuk menetralisir persoalan yang terjadi. Pembatasan kreativitas dalam film termasuk produksi pengetahuan partikular, juga terjadi karena sistem industri budaya tetap menempatkan kreator dalam posisi subsistem. Para kreator bertugas untuk membuat film yang bisa memenuhi kebutuhan estetik masyarakat sehingga bisa mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Lihat Backer, 1982: 122; Granham, 1997; Hesmondhalgh, 2007.

Page 35: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

35

media untuk menciptakan konsensus dan kuasa melalui artikulasi beragam

kepentingan kelompok/kelas, wacana, dan permasalahan yang berlangsung dalam

masyarakat”. Mengikuti pemikiran Kellner (1995: 1) tentang budaya media, struktur

naratif film bukan hanya menyediakan bermacam materi dan citra tentang

permasalahan sehari-hari, tetapi juga menegosiasikan pengetahuan yang bisa

membantu pemahaman penonton dalam memaknai budaya dan menciptakan

identitas ideal di tengah-tengah kapitalisme pasar saat ini.

Dengan memproduksi pengetahuan ideal berbasis permasalahan kultural dalam

masyarakat, struktur naratif dan praktik diskursif film, mengikuti pemikiran Hall

(1997b: 425-426), akan mempertemukan kepentingan ideologis bermacam

kelompok/kelas—termasuk di dalamnya negara—dalam sebuah blok historis.

Terbentuknya blok hitoris dalam narasi film menjadikan perbedaan-perbedaan kelas

lebur. Namun, kelas penguasa tidaklah hilang, tetapi bertransformasi menjadi kelas

pemimpin. Tentu saja, kategori kelas dalam narasi tidak dimunculkan secara vulgar,

tetapi lebih dihadirkan melalui tokoh tertentu dengan wacana-wacana yang ia

sampaikan. Kehadiran blok historis yang diikat oleh pengetahuan ideal sebagai

konsensus akan mempermudah berlangsungnya relasi kuasa-hegemonik. Hegemoni

merupakan relasi kuasa yang dibangun dengan kepemimpinan intelektual, kultural,

dan moral, sehingga prinsip artikulasi dan negosiasi menjadi lebih dominan karena

kelas pemimpin mengutamakan penerimaan kuasa secara konsensual (Gramsci, 1981:

191-192; Laclau & Mouffee, 1981: 226; Boggs; 1984: 161; Bennet, 1986: xv; Williams,

2006: 134-137; Hall, 1997c: 425-426; Howson & Smith, 2008; Boothman, 2008;

Fontana, 2008; Hall, 1982: 87-88).

Page 36: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

36

1.6 Hipotesis

Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan landasan teoretis di atas, hipotesis yang

akan saya uji secara kritis dalam kajian ini adalah bahwa di dalam kompleksitas

representasi budaya poskolonial yang menghadirkan budaya modern dan budaya lokal dalam

struktur dunia naratif film beoperasi individualisme yang dianggit sebagai orientasi ideal bagi

masyarakat di tengah-tengah pengaruh ekonomi-politik neoliberalisme.

1.7. Kerangka Metodologis

Untuk melakukan analisis yang bisa menjawab permasalahan, memenuhi tujuan,

dan membuktikan hipotesis berdasarkan landasan teoretis di atas, saya akan

menggunakan kerangka metodologis multiperspektif yang bersiat ulang-alik, tekstual-

kontekstual. Mengikuti pemikiran Saukko (2003: 25), pilihan untuk menggunakan

beberapa pendekatan teoretis sebagai kerangka metodologis merupakan kesengajaan

agar bisa menganalisis secara kritis representasi budaya poskolonial dalam struktur

dunia naratif film Indonesia era 2000-an. Selain itu, dialog antarpendekatan saya

harapkan memunculkan “terobosan baru” dalam hal metodologi. Apa yang saya

maksud sebagai terobosan baru adalah bagaimana mendialogkan pendekatan-

pendekatan untuk menghasilkan sintesa metodologis baru yang akan menjadi

panduan dalam melakukan analisis.

1.7.1 Tentang Pilihan Data

Untuk kepentingan analisis yang lebih fokus dan terarah, saya akan

menggunakan film-film Indonesia populer era 2000-an sebagai sumber data. Film-film

Page 37: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

37

populer saya pilih karena mereka—mengikuti pemikiran cultural studies (Hall, 1986,

2002; Cardiff & Scannell, 1986; Davies, 1995: 113-114; Walton, 2008: 203-204;

O‟Shaughnessy, 1990: 90-104)—merupakan tempat berlangsungnya proses relasi kuasa

dan kemungkinan tegangan di dalam proses tersebut. Selain itu, karena ditujukan

untuk kepentingan komersil, narasi film populer menghadirkan cerita dan tema yang

mudah dipahami, sehingga makna-makna yang disuguhkan tampak sebagai kewajaran.

Adapun alasan saya memilih era 2000-an adalah karena para era tersebut

terdapat kondisi sosio-historis berupa gerakan Reformasi 1998 dan penerapan sistem

ekonomi-politik neoliberalisme yang berpengaruh pada poskolonialitas kultural—dari

persoalan pendidikan, olah raga, gairah kebebasan kaum remaja/muda, menguatnya

hasrat untuk sukses secara ekonomi, perkembangan media, hingga isu-isu masyarakat

di wilayah pedalaman—dalam masyarakat sebagai sumber kreatif produksi film.

Poskolonialitas tersebut misalnya bisa dijumpai dalam „gairah‟ nasionalisme melalui

budaya populer, seperti olah raga. Para produser dan sineas menangkap peluang dari

gairah tersebut melalui produksi film yang memiliki pola tematik “anak-anak/remaja,

olah raga, dan nasionalisme”, seperti King, Garuda di Dadaku dan Tendangan dari

Langit. Isu pendidikan bagi masyarakat pedalaman juga menjadi pola tematik yang

menghasilkan beberapa film seperti Denias Senandung di Atas Awan dan Serdadu

Kumbang. Belum lagi popularitas film-film remaja yang memiliki pola tematik “narasi

diri dalam atmosfer kebebasan metropolitan”.

Pemilihan judul film akan menimbang kecenderungan mobilisasi makna

ideologis dalam narasi yang saya pandang sesuai dengan “permasalahan” dan

“hipotesis” dalam kajian ini. Pertama, permasalahan sosio-kultural di masyarakat lokal—

Page 38: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

38

desa dan kampung—terkait tegangan antara tradisionalisme dan modernisme, semisal

perbedaan pandangan antara anak-orang tua, terkait kebebasan, pendidikan, dan

capaian-capaian kemajuan lainnya. Kedua, bagaimana individualisme mempengaruhi

narasi-diri dan perspektif kaum remaja/kaum muda terhadap institusi sosial seperti

keluarga serta perilaku mereka dalam menikmati kehidupan dan bagaimana

kecenderungan individualisme mempengaruhi kebebasan narasi-diri di tengah-tengah

modernitas. Keempat, sudut pandang baru dalam memaknai identitas bangsa dan

nasionalisme di tengah-tengah pengaruh diskursif gerakan Reformasi dan peradaban

pasar saat ini. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka film-film yang

saya analisis adalah Denias, Senandung Di Atas Awan (sutradara John De Rantau, 2006),

Garuda Di Dadaku (sutradara Ifa Isfansyah, 2009), Not for Sale (sutradara Nayato Fio

Nuala, 2011), Susahnya Jaga Keperawanan di Jakarta (sutradara Joko Nugroho, 2010),

dan Tiga Pejantan Tanggung (sutradara Iqbal Rais, 2011). Terdapat beberapa argumen

yang menjadi landasan untuk memilih kelima film tersebut.

Film pertama, misalnya, mengangkat persoalan pendidikan modern di

pedalaman Papua yang bersanding dengan persoalan nasionalisme dan uluran tangan

pemodal internasional. Film kedua menarasikan persoalan olah raga dan nasionalisme

yang disematkan ke dalam pikiran anak remaja serta menghadirkan institusi olah raga

internasional untuk mewujudkan cita-cita si anak. Dari kedua film tersebut akan bisa

dilihat bagaimana impian untuk menjadi modern dalam hal pendidikan dan menjadi

sukses dalam olah raga, di satu sisi, harus berhadapan dengan budaya dan kuasa

tradisional dan, di sisi lain, bersandingan dengan isu nasionalisme yang semakin cair

di mana kehadiran pemodal internasional ikut berperan.

Page 39: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

39

Film ketiga menghadirkan kebebasan hidup kaum remaja di metropolitan yang

didorong oleh bermacam persoalan, dari hasrat untuk budaya konsumsi hingga

persoalan keluarga, sehingga memunculkan tegangan antara yang komunal dan yang

individual. Film keempat secara spesifik mengangat persoalan migrasi perempuan

muda dari desa ke kota untuk merasakan kesuksesan ekonomi. Siasat kultural

dilakukan para tokoh dalam film ini di mana mereka berusaha meniru cara-cara

metropolitan untuk sukses, tetapi tidak meninggalkan sepenuhnya kearifan lokal.

Meskipun demikian, kota tetap menjadi orientasi dominan sedangkan yang desa harus

ditinggalkan. Adapun film kelima menghadirkan cerita tentang pemuda metropolitan

yang masuk ke dalam kehidupan pedalaman Kalimantan dengan permasalahan-

permasalahannya. Para tokoh dengan segala nalar dan gaya hidup metropolitan harus

menghadapi kehidupan pedalaman dan berjuang untuk ikut menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi warga.

Dari aspek industrial, partikularitas persoalan tersebut sangat sesuai dengan

persoalan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia di era 2000-an,

sehingga mendorong produser dan sineas untuk memfilmkannya dengan harapan

untuk mendapatkan keuntungan komersil sekaligus menyebarkan pengetahuan ideal

kepada penonton. Film Garuda di Dadaku, misalnya, ditonton oleh 1.371.131

penonton.18 Dengan aturan dari setiap karcis produser mendapatkan keuntungan Rp.

5.000,-, maka estimasi keuntungan berkisar Rp. 6.855.655.000. Besarnya jumlah

18 Lihat, “10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2007-2013 berdasarkan tahun edar film”, tersedia di http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2007-2013#.UeYA26zSOho, diunduh 16 Juli 2013.

Page 40: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

40

penonton juga semakin memperluas penyebaran pengetahuan ideal yang dianggit oleh

para sineas.

Saya memosisikan beberapa babak dalam film-film tersebut sebagai data primer

yang membutuhkan „perlakuan khusus‟ agar sesuai dengan kepentingan analisis.

Perlakuan khusus yang saya maksudkan adalah memilih secara teliti dan jeli “adegan-

adegan visual” dan “adegan percakapan antartokoh” berdasarkan alur cerita (awal-

tengah-akhir) yang merepresentasikan permasalahan utama kajian ini. Tujuannya adalah

untuk melihat dinamika artikulasi kultural dan negosiasi makna ideologis dalam

struktur dunia naratif dan kemungkinan-kemungkinan dekonstruktif dalam struktur

serta naturalisasi dan normalisasi pengetahuan individualisme yang disampaikan.

Karena penekanan analisis adalah pada relasi teks-konteks, maka pembacaan

secara kritis terhadap kepentingan politis dalam narasi membutuhkan data penunjang

atau sekunder untuk melihat kondisi sosio-historis masyarakat Indonesia pada era

2000-an. Data-data sekunder tersebut lebih berkaitan dengan impian kebebasan dan

keterbukaan di era Reformasi, keberantaraan kultural, orientasi terhadap modernitas

dan mekanisme pasar dalam kehidupan masyarakat, dan penerapan sistem ekonomi-

politik neoliberalisme dalam negara dan industri film. Data-data tersebut diperoleh

dari artikel ilmiah (majalah/surat kabar/jurnal), berita-berita media (surat kabar

cetak/on line), maupun hasil-hasil penelitian yang bisa diakses.

1.7.2 Metode Analisis

1.7.2.1 Membaca Poskolonialitas dalam Struktur Dunia Naratif

Struktur dunia naratif film dibentuk dari relasi antarbabak yang terdiri dari

banyak adegan. Dalam masing-masing adegan terdapat peristiwa naratif yang terdiri

Page 41: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

41

dari dialog/konflik antar tokoh, latar, sudut pengambilan gambar, kostum dan make

up, maupun ilustrasi musik. Kesatuan dari masing-masing elemen dalam satu adegan

akan membentuk proses penandaan yang berhubungan dengan adegan lainnya sehingga

membentuk struktur sebuah babak. Saya tidak akan menelaah semua babak, tetapi

hanya memilih beberapa babak sesuai dengan alur narasi. Dalam konteks kajian ini,

adegan dikategorikan ke dalam dua model: (1) visualitas dan (2) perpaduan antara

visualitas dan percakapan (atau bisa juga monolog).

Visualitas berasal dari adegan dalam film yang diubah dalam bentuk rangkaian

beberapa still photo. Meskipun dalam bentuk foto diam (gambar), visualitas yang

dihadirkan diusahakan tidak menghilangkan aspek dinamika dan keutuhan

penandaan yang terkait elemen tokoh (ekspresi wajah, gerak tubuh, dll), gesture

komunikasi/konflik yang terjadi antartokoh, setting (tempat dan waktu), sudut

pengambilan gambar, pencahayaan, dan kostum. Masing-masing gambar tidak berada

dalam relasi penandaan mitis mandiri, meskipun masing-masing dari mereka adalah

penanda mitis. Rangkaian gambar tersebut diposisikan berkorelasi dengan satu

petanda (konsep): sebuah visualitas babak.19 Dalam babak yang penandaan mitis-nya

membutuhkan pembacaan resiprokal—saling mendukung dan mempengaruhi satu

sama lain—analisis akan saya arahkan pada visualitas dan percakapan/monolog.

19 Konsepsi ini dikembangkan dari pendapat Metz (dikutip dalam Stam, Burgoyne, Flitterman-Lewis, 1999: 46) ketika membicarakan tentang babak. Menurutnya, satu babak dalam film terdiri lebih dari satu pengambilan gambar (shot), tetapi bersifat kronologis, saling mengikuti, dan linear. Penanda dipecah-pecah ke dalam bermacam pengambilan gambar, tetapi petanda bersifat kontinyu. Sebagai contoh, adegan sepasang kekasih yang sedang melakukan candle light dinner di sebuah restoran mewah akan terdiri dari beberapa gambar, seperti situasi ruangan yang remang-romantis, long shot (LS) yang menampilkan dua tokoh secara bersama-sama, maupun close up (CU) yang menampilkan secara bergantian wajah mereka untuk memberikan penekanan pada ekspresi muka. Penekanan kepada makna-makna yang dianggit dalam pertemuan kedua tokoh tersebut menjadikan elemen-elemen visual lainnya dibaca menyatu dengan adegan yang dilakukan oleh mereka.

Page 42: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

42

Mengikuti cara kerja strukturalis (Faruk, 2012; Barthes, 1989, 1977; Allen,

2003:53-61; Edgar & Sedgwick, 2002: 16-18), pemilihan babak-babak yang akan

dianalisis lebih didasarkan pada pertimbangan kehadiran oposisi biner antarsubjek

tokoh atau subjek makna, baik yang berlangsung dalam satu babak, atau antara babak

satu dengan babak lainnya. Oposisi-oposisi biner itulah yang akan membentuk narasi

film sebagai struktur penandaan mitis. Subjek kaum remaja atau anak-anak dengan

segenap hasrat kebebasan, misalnya, akan beroposisi dengan subjek orang tua dengan

segenap paradigma konservatifnya.

Dengan cara berpikir strukturalis, saya memosisikan babak sebagai submitos.

Logikanya, mitos adalah keseluruhan rangkaian babak yang membentuk struktur film

dengan pengetahuan ideologis yang dinaturalisasikan, sehingga babak adalah submitos

yang di dalamnya terdapat oposisi biner atau beroposisi dengan submitos lainnya.

Berikut adalah skema analisis dengan kerangka submitos dan mitos.

Adegan-adegan/ Penanda

Petanda

Adegan-adegan/ Penanda

Petanda

Babak/Tanda filmis Penanda mitis: Makna & Bentuk

Konsep

Babak/Tanda filmis Penanda mitis: Makna & Bentuk

Konsep

Penandaan Mitis (sub-mitos 1)

Penandaan Mitis (sub-mitos 1)

Penandaan Mitis (Mitos)/Keseluruhan narasi: film

Alur analisis semiotika mitos-Barthesian berdasarkan skema tersebut bisa diuraikan

sebagai berikut. Pertama, mengkaji adegan-adegan yang ada dalam setiap babak secara

Page 43: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

43

linguistik/denotatif dan memposisikannya sebagai “tanda global”. Kedua, memosisikan

tanda global tersebut sebagai “makna/bentuk” (penanda mitis) yang berhubungan

dengan “konsep” dalam proses “penandaan mitis” atau “submitos”. Ketiga, analisis

berlanjut dengan membaca rangkaian submitos-submitos yang sudah ada untuk

menemukan kecenderungan pengetahuan ideologis yang dinaturalisasi melalui mitos.

Analisis terhadap masing-masing babak akan menjadi „pintu masuk‟ untuk

melihat dinamika artikulasi dan negosiasi yang berlangsung dalam struktur dunia

naratif film. Konsepsi tersebut bisa memungkinkan terjadinya proses saling menunda

keutuhan struktur, serta, tentunya juga, kemapanan masing-masing makna-ideologis

yang dibayangkan utuh. Dalam fase ini cara baca dekonstruksi akan digunakan. Hal

itu, mengikuti cara baca Derridean (Derrida, 1997, 1989; Lucy, 2004; Culler, 1985;

Borradori, 2000; Leledakis, 2000; Saul, 2001; Cilliers, 2005, bukan dimaksudkan

untuk mengatakan bahwa dalam film tidak ada struktur, tetapi lebih kepada

munculnya proses saling menunda antarbabak dan antarmakna-ideologis sebagai

akibat dinamika artikulasi dan negosiasi yang menjadi karakteristik poskolonialitas

kultural. 20

20 Faruk (2002: 30) memberi contoh bagaimana analisis dekonstruksi terhadap karya sastra: “Sebagai contoh dapat dilihat oposisi antara desa dengan kota, Timur dengan Barat, Rapiah/Kerabat dengan Corrie/Kekasih, dalam Salah Asuhan. Gerakan Hanafi ke kota, ke Barat, ke Corrie, hanya membuat lelaki itu menderita, berada dalam keterpecahan, keterpisahan, dari “Sang Sumber”, “pusat”, yang...menentramkan. Untuk meniadakan penderitaan tersebut, Hanafi harus pulang. Itulah sebabnya setelah mati, mayatnya dibawa kembali ke desanya, ke “Sang Sumber”. Akan tetapi, kembalinya mayat Hanafi ke desa tidak dengan sendirinya berarti tersatukan dan terleburkana seluruh dirinya ke tempat asalnya…Ia membunuh diri karena ingin menyusul Corrie yang sudah mati mendahuluinya. Karena itu, sementara “tubuh”-nya kembali ke Rapiah, ke Kerabat; “roh”-nya tetap tinggal di kota, pada diri Corrie. Kesatuan antara Hanafi dan “pusat” dengan “Sang Sumber”, dengan tempat asalnya merupakan kesatuan yang “tertunda” karena “Sang Sumber” merupakan “petanda” yang tidak pernah ada walau perlu ada, merupakan “jejak” belaka.”

Page 44: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

44

Pembacaan dekonstruksi terhadap kemapanan submitos, berguna untuk melihat

bagaimana struktur dunia naratif di dalam proses artikulasi beragam bentuk kultural

dan kepentingan ideologis dalam masyarakat bisa memunculkan tegangan yang saling

menunda keutuhan makna ideologis. Tegangan tersebut berguna untuk mendekatkan

narasi film dengan poskolonialitas masyarakat yang memang sangat kompleks.

Pemunculan peristiwa-peristiwa yang saling menunda makna-ideologis antarbabak

merupakan strategi untuk mewajarkan negosiasi pengetahuan-ideologis film (mitos)

yang dibangun dari rangkaian makna-ideologis pada masing-masing babak (submitos).

1.7.2.2. Membaca Poskolonialitas dalam Praktik Diskursif

Setelah membaca kompleksitas struktur dunia naratif film dan makna-makna

ideologis di dalamnya, analisis berikutnya akan diarahkan kepada praktik diskursif

dalam narasi film dan formasi diskursifnya, sesuai dengan kerangka metodologis

Foucauldian. Untuk menganalisis praktik diskursif, metode yang akan digunakan

adalah analisis kritis. Dalam pandangan Foucault (1981: 70), analisis kritis dikerjakan

melalui prinsip pembalikan, yakni usaha untuk menemukan bentuk-bentuk eksklusi,

pembatasan, dan apropriasi, khususnya terkait bagaimana mereka dibentuk, untuk

merespons kebutuhan apa, bagaimana mereka dimodifikasi dan diganti atau diubah,

hambatan-hambatan yang mereka kerahkan secara efektif, dan pada tingkatan apa

mereka dihindarkan. Dalam kerangka metode demikian, saya akan menggunakan

peristiwa-peristiwa naratif film yang sudah dijelaskan dengan strukturalisme mitos

Barthesian dan dekonstruksi Derridean sebagai basis untuk mengungkap bentuk-

Page 45: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

45

bentuk eksklusi, pembatasan, dan apropriasi dalam pembentukan wacana

individualisme di tengah-tengah poskolonialitas.

Analisis akan diarahkan, pertama-tama, kepada bagaimana eksklusi terhadap

wacana dan subjek yang bertentangan dengan wacana ideal dalam narasi, hambatan-

hambatan untuk mengeksklusi wacana dan subjek tersebut, serta bagaimana ia

dimunculkan sebagai praktik yang lebih sesuai. Kedua, melihat bagaimana modifikasi

terhadap bentuk-bentuk eksklusi yang disesuaikan atau diubah berdasarkan latar

tempat dan waktu serta tingkatan atau peristiwa tertentu di mana mereka dihindarkan,

atau tidak harus dilakukan. Ketiga, kebutuhan atau kepentingan apa yang melahirkan

praktik diskursif tersebut. Dengan model analisis tersebut, akan diketahui bagaimana

individualisme dibentuk dan dioperasikan dalam narasi film secara wajar, sebagai

pengetahuan ideologis yang menjadi rezim kebenaran. Analisis terhadap beberapa film

akan memungkinkan munculnya variasi sistem eksklusi dalam membentuk

individualisme yang disesuaikan dengan keinginan individual tokoh, masyarakat,

negara, maupun kekuatan modal.

Sementara, untuk menganalisis formasi diskursif, metode yang akan digunakan

adalah analisis genealogis. Menurut Foucault (1981: 70), analisis genealogi diarahkan

kepada: bagaimana serangkaian wacana dibentuk, melintasi ranah seperti apa atau

dengan bantuan sistem hambatan, norma spesifik apa dari masing-masing wacana, dan

dalam kondisi apa wacana-wacana tersebut muncul, tumbuh, dan bervariasi. Analisis

genealogis dalam kajian ini akan saya arahkan pada proses terbentuknya wacana

individualisme, khususnya ranah-ranah apa saja dalam film—apakah itu pendidikan,

ekonomi, olah raga, maupun kebangsaan. Selanjutnya, analisis diarahkan kepada

Page 46: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

46

norma-norma spesifik yang dimunculkan dalam masing-masing wacana tersebut. Pada

akhirnya, saya akan melihat kondisi sosio-historis seperti apa yang memungkinkan

wacana-wacana tersebut hadir/muncul, tumbuh, dan bervariasi dalam film dan

masyarakat.

Sama dengan yang berlangsung dalam analisis struktur naratif, analisis

poskolonial juga akan masuk ke dalam analisis praktik diskurif. Analisis diskursif

terhadap pembentukan subjek tradisional dan subjek modern—baik dalam bentuk

wacana maupun individu tokoh—yang dipadukan dengan analisis dekonstruksi yang

biasa digunakan kajian poskolonial bisa digunakan untuk melihat kemungkinan

terjadinya pertemuan di ruang antara yang menghasilkan subjektivitas hibrid serta

kepentingan ideologis yang menyertainya.

1.7.2.3. Membaca Ekonomi-Politik Film

Kehadiran wacana atau pengetahuan apapun dalam narasi film, tentu, harus

dilihat juga keterkaitannya dengan aspek kebijakan yang diambil negara dan

kepentingan pemodal film. Dalam konteks demikian, analisis ekonomi-politik,

pertama-tama, akan saya fokuskan pada bagaimana pandangan negara terhadap

industri film pada era 2000-an, bagaimana anggitan-anggitan ideal rezim negara terkait

persoalan kebangsaan dan kebudayaan dalam narasi film, dan bagaimana batasan-

batasan yang diatur oleh rezim negara melalui kebijakan-kebijakan perfilman yang

mereka buat.

Analisis berikutnya akan saya arahkan kepada pernyataan atau komentar yang

diberikan oleh para pelaku industri film (pemodal/produser dan sineas) dan gerakan

Page 47: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

47

praksis yang dilakukan oleh para sineas dalam menanggapi kebijakan film, serta

wacana-wacana kebudayaan dan kebangsaan seperti apa yang diinginkan oleh para

sineas dan produser. Dari analisis kebijakan negara dan respons diskursif para sineas

dan produser film akan bisa dilihat bagaimaana tegangan diskursif dalam

mempersoalkan wacana-wacana ideal kebudayaan dan kebangsaan. Bisa jadi,

pertentangan dua faksi tersebut akan menghasilkan penyandingan, diskontinyuitas,

modifikasi, ataupun perubahan wacana terkait kedua persoalan tersebut.

Pembacaan ulang-alik antara pandangan negara dan sineas/produser, kondisi

sosio-historis, dan persoalan diskursif dalam struktur naratif menjadi penting. Dengan

cara itu, akan bisa diketahui anggitan budaya poskolonial seperti apa yang diidealisasi

para pemodal melalui para sineas dengan cara pandang rezim negara dan konteks

masyarakat Indonesia era 2000-an. Ketika anggitan yang muncul merupakan bentuk

modifikasi dari cara pandang negara terhadap persoalan kebudayaan maupun

kebangsaan di tengah-tengah hukum pasar, akan bisa ditemukan titik-temu antara

kepentingan negara dan kepentingan pemodal. Artinya, para sineas bisa menarasikan

wacana yang tampak „melayani‟ kampanye negara. Dari sini, analisis dekonstruksi akan

kembali dijalankan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya relasi kuasa beroperasi

melalui narasi film yang memunculkan pengetahuan yang dianggit berkesesuaian

dengan kepentingan rezim negara. Maka, analisis terkait hegemoni menjadi bagian

akhir dari kajian ini, khususnya untuk menentukan subjek siapa sebenarnya yang

menggerakkan blok historis dan mengarahkan kepemimpinan kultural melalui

pengetahuan terkait bagaimana menjadi subjek pascakolonial di tengah-tengah

mekanisme pasar saat ini.

Page 48: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

48

1.8 Sistematika Disertasi

Dalam bab ini saya telah memaparkan latar belakang, permasalahan dan tujuan,

tinjauan pustaka, landasan teoretis, hipotesis, dan kerangka metodologis sebagai basis

untuk melakukan kajian representasi budaya poskolonial dalam film Indonesia era

2000-an. Adapun bahasan utama dalam bab-bab selanjutnya saya paparkan secara

singkat sebagai berikut.

Memasuki Bab II, saya akan memulai kerja analisis dengan fokus pada struktur

dunia naratif film Indonesia era 2000-an. Analisis dalam bab ini saya fokuskan pada

anggitan makna-makna kultural dengan menggunakan cara kerja strukturalis yang

disandingkan dengan analisis dekonstruksi. Pertama-tama, saya akan membahas

representasi makna kultural terkait budaya tradisional dan budaya modern serta

kompleksitas di dalamnya, termasuk kemungkinan berlangsungnya hibriditas kultural.

Analisis selanjutkan difokuskan kepada produksi makna-makna kultural baru berbasis

poskolonialitas yang dianggit menjadi makna-makna ideal bagi kehidupan para tokoh

utama.

Bab III membahas akan praktik diskursif dalam narasi film dan keterkaitannya

dengan konteks sosio-historis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara pada era 2000-an. Sama dengan prinsip kerja pada Bab III, pertama-tama

saya akan mengkaji bagaimana praktik diskursif dalam narasi film memproduksi

budaya tradisional dan budaya modern. Selanjutnya, saya akan menganalisis produksi

individualisme dan kelenturan subjektivitas dalam poskolonialitas yang dianggit

sebagai pengetahuan ideal. Penelusuran terhadap konteks sosio-historis menjadi

penting untuk melihat bagaimana keterkaitakan produksi budaya poskolonial dalam

Page 49: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65897/potongan/S3-2013... · 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira ... remaja/kaum muda, dari

49

narasi film berjalin-kelindan dengan persoalan-persoalan yang berkembang dalam

masyarakat.

Sementara, pembicaraan pada Bab IV difokuskan kepada aspek ekonomi-politik

film Indonesia era 2000-an. Adapun fokusnya adalah bagaimana kebijakan negara

dalam mengatur industri perfilman, khususnya terkait proyek kebangsaan dan aspek

ekonomi-kreatif film yang cukup menjanjikan. Saya juga akan membahas bagaimana

tegangan antara negara dan para insan perfilman terkait kebijakan tersebut. Untuk

bisa melihat bagaimana para sineas menyiasati kebijakan negara terkait proyek

kebangsaan, saya akan menggunakan dua wacana, yakni budaya nasional dan

nasionalisme, berdasarkan cara pandang budaya poskolonial yang dihadirkan dalam

narasi film. Dari analisis tersebut akan bisa diketahui blok historis seperti apa yang

terbentuk melalui narasi dan siapa yang mengendalikan relasi kuasa-hegemonik,

apakah rezim negara ataukah rezim pemodal.

Adapun Bab V merupakan simpulan dari semua kajian yang telah saya kerjakan

dalam disertasi. Selain itu, dalam bab ini saya juga akan memunculkan konsepsi

teoretis terkait budaya poskolonial dalam film Indonesia era 2000-an serta implikasi

teoretis dan metodologisnya bagi perkembangan kajian film, pada khususnya, serta

kajian budaya/media dan kajian poskolonial pada umumnya.