BAB I (2)
-
Upload
abelyacobratu -
Category
Documents
-
view
13 -
download
0
description
Transcript of BAB I (2)
![Page 1: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang terdiri dari ribuan pulau. Selain itu,
Indonesia terdiri dari ribuan suku, budaya, dan adat. Karena terdiri dari berbagai suku dan
budaya, Indonesia kaya akan perbedaan bahasa, budaya, adat istiadat, serta kebiasaan
dalam masyarakatnya. Namun, Indonesia memiliki semboyan yaitu “Bhinneka Tunggal
Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Sehingga, perbedaam bukanlah
sesuatu yang menjadi penghalang untuk memajukan bangsa, namun perbedaan itulah
yang menjadi pemersatu bangsa kita.
Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Di satu pihak ada yang menyatakan
bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Prof.
Amura, istilah ini berasal dari Bahasa Sanskerta karena menurutnya istilah ini telah
dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya
adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang
bersifat kebendaan.
Adat merupakan hal yang melekat pada suatu bangsa
Adat
Ada tadalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai
kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang
lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan
akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh
masyarakatsetempat terhadap pelaku yang dianggap menyimpang.
Asal kata adat
Menurut Jalaluddin Tunsam (seorang yang berkebangsaan Arab
yang tinggal di Aceh dalam tulisannya pada tahun 1660). "Adat"
berasal dari bahasa Arab عادات, bentuk jamak dari عاد*ة (adah), yang
1
![Page 2: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/2.jpg)
berarti "cara", "kebiasaan". Di Indonesia kata Adat baru digunakan
pada sekitar akhir abad 19. Sebelumnya kata ini hanya dikenal pada
masyarakat Melayu setelah pertemuan budayanya dengan agama
Islampada sekitar abad 15-an. Kata ini antara lain dapat dibaca pada
Undang-undang Negeri Melayu.
Kebudayaan
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budayaterbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk
sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan
bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat
kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan
meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Beberapa alasan mengapa
orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari
budaya lain terlihat dalam definisi budaya:
Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan
oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda
dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika,
"keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif"
2
![Page 3: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/3.jpg)
di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali
anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak
dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam
anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.Dengan demikian,
budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya
meramalkan perilaku orang lain.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville
J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan
yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu
adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun
temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian
disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
3
![Page 4: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/4.jpg)
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian
mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi
tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-
hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Peradaban
Peradabana dalah memiliki berbagai arti dalam kaitannya
dengan masyarakat manusia. Seringkali istilah ini digunakan untuk
merujuk pada suatu masyarakat yang "kompleks": dicirikan oleh
praktik dalam pertanian, hasil karya dan pemukiman, berbanding
dengan budaya lain, anggota-anggota sebuah peradaban akan disusun
dalam beragam pembagian kerja yang rumit dalam struktur hirarki
sosial.Istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang
lebih luas dari istilah "budaya" yang populer dalam kalangan
akademis.Dimana setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah
budaya, yang dapat diartikan sebagai "seni, adat istiadat, kebiasaan
/kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan kebiasaan dalam tradisi yang
merupakan sebuah cara hidup masyarakat".
Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan,
peradaban adalah istilah deskriptif yang relatif dan kompleks untuk
pertanian dan budaya kota. Peradaban dapat dibedakan dari budaya
lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial dan beragam kegiatan
ekonomi dan budaya.
4
![Page 5: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/5.jpg)
Dalam sebuah pemahaman lama tetapi masih sering
dipergunakan adalah istilah "peradaban" dapat digunakan dalam cara
sebagai normatif baik dalam konteks sosial di mana rumit dan budaya
kota yang dianggap unggul lain "ganas" atau "biadab" budaya, konsep
dari "peradaban" digunakan sebagai sinonim untuk "budaya (dan
sering moral) Keunggulan dari kelompok tertentu."
Dalam artian yang sama, peradaban dapat berarti "perbaikan
pemikiran, tata krama, atau rasa". masyarakat yang mempraktikkan
pertanian secara intensif; memiliki pembagian kerja; dan kepadatan
penduduk yang mencukupi untuk membentuk kota-kota.
"Peradaban" dapat juga digunakan dalam konteks luas untuk
merujuk pada seluruh atau tingkat pencapaian manusia dan
penyebarannya (peradaban manusia atau peradaban global). Istilah
peradaban sendiri sebenarnya bisa digunakan sebagai sebuah upaya
manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Maka, dalam
sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang
menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut
adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan IPTEK.
Perbedaan Adat,Kebudayaan,dan Peradaban
Peradaban (hadharah) adalah sekumpulan konsep (mafahim)
tentang kehidupan. Peradaban bisa berupa peradaban spiritual
ilahiyah (diniyah ilahiyyah) atau peradaban buatan manusia
(wadl’iyyah basyariyyah). Peradaban spiritual ilahiyah lahir dari sebuah
aqidah (dasar ideologi), seperti peradaban Islam yang lahir dari Aqidah
Islamiyah. Sedangkan peradaban buatan manusia bisa lahir dari
sebuah aqidah, seperti peradaban kapitalisme Barat, yang merupakan
sekumpulan konsep tentang kehidupan yang muncul dari aqidah
5
![Page 6: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/6.jpg)
sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Peradaban buatan
manusia bisa pula tidak lahir dari sebuah aqidah, semisal peradaban
Shinto, Yunani, Babilonia, dan Mesir Kuno. Peradaban-peradaban
tersebut sekedar merupakan sekumpulan konsep yang disepakati oleh
satu atau beberapa bangsa.
Jadi peradaban ini adalah sebuah sebuah peradaban yang
bersifat kebangsaan atau buatan manusia “ adat adalah kebiasaan
yang normatif ". Kalau adat dikatakan sebagai kebiasaan maka kata
adat dalam pengertian ini berasal dari bahasa arab yaitu “adat”.
Dalam ilmu kebudayaan dan kemasyarakatan konsep kebudayaan
sangat banyak sekali. Inventarisasi yang dilakukan oleh C. Kluckhohn
dan A. L Kroeber ahli atropologi pada tahun 1952 telah ditemukan
lebih kurang 179 defenisi.
Tetapi yang sifatnya dan banyak dipakai para ahli adalah
pendapat C. Kluckhohn yang memberikan batasan kebudayaan
sebagai berikut:“kebudayaan adalah keseluruhan dari gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia yang berupa satu sistem dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dibiasakan oleh manusia dengan
belajar”.
Kata kebudayaan dalam istilah inggris adalah “culture” yang
berasal dari bahasa latin “colere”yang berarti mengolah, mengerjakan,
terutama mengolah tanah atau pertanian. Dari pengertian ini
kemudian berkembang menjadi “culture”. Istilah “culture” sebagai
istilah teknis dalam penulisan oleh ahli antropologi inggris yang
bernama Edwar B. Tylor mengatakan bahwa “culture” berarti “complex
whole of ideas and thinks produced by men in their historical
experlence”. Sesudah itu pengertian kultur berkembang terus
dikalangan antroplogi dunia. Sebagai istilah umum “culture”
6
![Page 7: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/7.jpg)
mempunyai arti, kesopanan, kebudayaan, pemeliharaan atau
perkembangan dan pembiakan.(affan/red)
Di dalam lingkungan masyarakat, perbedaan kebudayaan di masyarakat
menjadikan kekhasan tersendiri bagi suku tersebut. Dimulai dari adat pernikahan hingga
adat memperingati kematian merupakan suatu tradisi yang wajib dilakukan oleh
masyarakat adat tersebut. Namun, di beberapa daerah tidak lagi melakukan kegiatan atau
prosesi adat tersebut karena pengaruh arus modern yang masuk ke Indonesia. Tapi masih
ada beberapa suku yang sangat mempertahankan keaslian kebudayaan sukunya. Seperti
suku Minangkabau dan suku Bugis. Oleh karena itu, penulis ingin membuat makalah
mengenai perbedaan kebudayaan dari suku Minangkabau dan suku Bugis.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah kebudayaan suku Minangkabau?
2. Apakah kebudayaan suku Bugis?
3. Apakah perbedaan dari kebudayaan dari suku Kajang dan suku Kajang?
7
![Page 8: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/8.jpg)
BAB II
PEMBAHASAN
A. BUDAYA SUKU MINANGKABAU
Kebudayaan Minang
Budaya Minangkabau adalah sebuah budaya yang berkembang di Minangkabau serta
daerah rantau Minang. Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan
besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Budaya ini memiliki sifat
egaliter, demokratis, dan sintetik. Hal ini menjadi anti-tesis bagi kebudayaan besar
lainnya, yakni Budaya Jawa yang bersifat feodal dan sinkretik. Sebelum kedatangan
bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem yang
mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, mulai
dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon dan Ternate. Agama Islam
pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut.
Sistem religi atau keagamaan di Minangkabau
Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, telah
menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Budaya
menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta
adat masyarakat Minang. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin,
dan Tuanku Nan Renceh mendesak kaum adat untuk mengubah pandangan budaya
Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha,
untuk berkiblat kepada syariat Islam.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah perang Paderi yang berakhir pada
tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim
ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk
mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam. Hal ini tertuang dalam adagium
Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat
bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi
budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di
Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung
atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, disamping surau yang ada di tiap-tiap
8
![Page 9: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/9.jpg)
lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk
tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa
ilmu bela diri pencak silat.
Sistem Organisasi Masyarakat
Semenjak zaman kerajaan Pagaruyung, ada tiga sistem adat yang dianut oleh suku
Minangkabau yaitu :
1. Sistem Kelarasan Koto Piliang
2. Sistem Kelarasan Bodi Caniago
3. Sistem Kelarasan Panjang
Dalam pola pewarisan adat dan harta, suku Minang menganut pola matrilineal yang mana
hal ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat dunia yang menganut pola
patrilineal. Terdapat kontradiksi antara pola matrilineal dengan pola pewarisan yang
diajarkan oleh agama Islam yang menjadi anutan orang Minang. Oleh sebab itu dalam
pola pewarisan suku Minang, dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah.
Harta pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis
keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta pencarian yang
diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum Islam.
o Sistem Kelarasan Koto Piliang
Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk
Ketumanggungan. Ciri yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah otokrasi atau
kepemimpinan menurut garis keturunan yang dalam istilah adat disebut sebagai
"menetes dari langit, bertangga naik, berjenjang turun" Sistem adat ini banyak dianut
oleh suku Minang di daerah Tanah Datar dan sekitarnya. Ciri-ciri rumah gadangnya
adalah berlantai dengan ketinggian bertingkat-tingkat.
o Sistem Kelarasan Bodi Caniago
Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Perpatih Nan
Sebatang. Sistem adatnya merupakan antitesis terhadap sistem adat Koto Piliang
dengan menganut paham demokrasi yang dalam istilah adat disebut sebagai "yang
membersit dari bumi, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi". Sistem adat ini banyak
9
![Page 10: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/10.jpg)
dianut oleh suku Minang di daerah Lima Puluh Kota. Cirinya tampak pada lantai
rumah gadang yang rata.
o Sistem Kelarasan Panjang
Sistem ini digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh di atas yang bernama Mambang
Sutan Datuk Suri Dirajo nan Bamego-mego. Dalam adatnya dipantangkang
pernikahan dalam negara yang sama. Sistem ini banyak dianut oleh luhak Agam dan
sekitarnya.Namun dewasa ini semua sistem adat di atas sudah diterapkan secara
bersamaan dan tidak dikotomis lagi.
Sistem Pengetahuan dan teknologi
Masyarakat akademik adalah masyarakat yang dalam berbagai kegiatan sosial
budayanya menggunakan berbagai macam penanda keilmuan, misalnya;penggunaan
angka-angka, dan penggunaan bahasa.Dan menurut kajian sosiologi, disebutkan bahwa
masyarakat demikian adalah masyarakat yang berpikir pragmatis, egaliter dan
metropolis.Artinya, mereka terbuka menerima sesuatu yang baru tanpa kehilangan
identitas dirinya. Berdasarkan kajian sosio-lingustik dan sosiologi tersebut, masyarakat
Minangkabau secara umum dapat dikatakan sebagai masyarakat akademis.
Beberapa indikasi untuk itu adalah sebagai berikut :
1) Penggunaan angka-angka.
Angka-angka bagi masyarakat Minangkabau tidak hanya sebagai penghitung dan
pembatas sebuah bilangan atau penjumlahan, tetapi sekaligus juga sebagai
pembedamyang satu dengan yang lain.Orang Minang mengenal sistim perimbangan
dengan angka-angka yang genap; dua, empat, delapan, duapuluh dstnya.Bilangan empat
merupakan perimbangan antara dua dan dua. Hal ini banyak ditemukan dalam sistem adat
dan bahasa yang mereka pakai sampai sekarang; koto nan ampek (untuk tempat), urang
nan ampek (untuk fungsi manusia), kato nan ampek (untuk bahasa dan hukum), indak
tahu dinan ampek (untuk etika dan moral), sahabat nan ampek (untuk agama), langkah
ampek (untuk silat), pakok ampek (untuk musik, saluang), dan banyak lagi.Sesuatu yang
empat terdiri dari suatu keseimbangan 2 dan 2. Siang dan malam akan berimbang dan
pagi dan sore.Hilir dan mudik berimbang dengan ateh dan baruah.
2) Dalam penggunaan bahasa
10
![Page 11: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/11.jpg)
Dalam sistim komunikasi, diplomasi, perundingan dan pembicaraan umum,masyarakat
Minangkabau lebih mementingkan kesamaan pengertian untuk setiap kata (vocabulary).
Mereka menyadari, bila pengertian untuk satu kata berbeda untuk masing-masing pihak
yang sedang berkomunikasi apalagi dalam suatu perundingan, akan dapat menyebabkan
kesalahan-kesalahan pengertian, maksud dan tujuan. Hal semacam itu dapat disimak
dalam pidato-pidato adat atau pasambahan. Setiap kata selalu diberikan batasan yang
jelas. Seperti misalnya, orang Minang tidak mengenal kata biru dalam kamus bahasanya,
mereka mengenal kata hijau.
Untuk biru laut, mereka harus menjelaskan dengan sebutan “ijau lauik”, hijau
seperti warna laut, ijau daun (untuk warna daun), ijau pucuak (untuk warna hijau muda),
dsbnya. Memberikan batasan yang jelas terhadap suatu kata, dalam kehidupan
masyarakat modern ditemukan saat mereka menyiapkan naskah perundang-undangan,
perjanjian-perjianjian, pernyataan-pernyataan, kertas kerja ilmiah.
Sistem sosial
Selain dua faktor di atas, masih ada beberapa kondisi sosial masyarakat Minang
yang mempercepat mereka menyerap dan mengembangkan pengetahuan, ilmu dan
teknologi. Sejarah telah mengantarkan informasi yang sangat berharga sekali kepada kita.
Orang Minang adalah masyarakat yang sangat mementingkan informasi. Selalu mereka
bertanya kepada seseorang yang datang .Bagaimana khabar. Bukan sapaan; alah makan.
Dalam sejarahnya, masyarakat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang lebih dulu
mengenal dan menerbitkan surat kabar di Indonesia. Surat kabar terbanyak yang terbit di
Indonesia, adalah di Minangkabau.
Begitu juga penerbitan buku-buku.Pembuatan senjata dan mesiu, merupakan
home industri terbesar Minangkabau . Catatan Raffles terhadap masyarakat di pedalaman
Minangkabau terhadap hal ini dapat dipelajari kembali. Menghancurkan home industri
inilah yang pertama dilakukan Belanda sebelum mereka merajalela di Minangkabau.
Begitu juga dengan adanya institusi merantau, telah menyebabkan orang Minang
menjadi sangat terbuka, menerima berbagai perkembangan keilmuan. Karenanya, sampai
sekarang “rantau” bagi orang Minang adalah “jembatan” bagi mereka untuk
11
![Page 12: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/12.jpg)
menyalurkan berbagai ilmu dan pengetahuan bagi masyarakatnya yang berada di
negerinya (nagari). Dari apa yang dibentangkan seperti di atas dapat dijadikan sebagai
indikator bahwa masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang “sesungguhnya”
adalah masyarakat yang selalu berjalan di depan dalam menyerap dan pengembangkan
pengetahuan, ilmu dan teknologi.
Bahasa
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia.
Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan
bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai
bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di
dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri
yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau
merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu
sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-
masing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya dari Sanskerta,
Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada
beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di
antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas
juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum
berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun memiliki bahasa sendiri orang Minang juga menggunakan Bahasa
Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas. Historiografi tradisional orang
Minang, Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra
Melayu atau sastra Indonesia lama. Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa
Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah Bahasa Melayu yang
dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan
untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa
Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia
Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang
12
![Page 13: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/13.jpg)
dianggap sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaya. Namun
kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam
yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.
Guru-guru dan penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa
Melayu Tinggi. Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah
di Bukittinggi merupakan salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam
masa diterimanya bahasa Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi
percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi bahasa
Indonesia itu.
B. BUDAYA SUKU BUGIS
Suku Bugis atau to Ugi’ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di
Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun, dalam
perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
Ugi bukanlah sebuah kata yang memiliki makna. Tapi merupakan kependekan dari La
Satumpugi, nama seorang raja yang pada masanya menguasai sebagian besar wilayah
Provinsi Sulawesi Selatan. La Satumpugi terkenal baik dan dekat dengan rakyatnya.
Rakyatnya pun menyebut diri mereka To Ugi, yang berarti Orang Ugi atau Pengikut Ugi.
Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan, Ugi dibahasa-Indonesiakan
menjadi Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah satu suku resmi dalam lingkup negara
Republik Indonesia.
Kebudayaan Suku Bugis
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–
hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan
tabe’ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan
orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé’ (dalam bahasa Jawa nggih),
jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang
yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis
13
![Page 14: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/14.jpg)
sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan
sehari–hari oleh masyarakat Bugis.
Suku Bugis juga kental dengan adat yang khas: adat pernikahan, adat bertamu,
adat bangun rumah, adat bertani, prinsip hidup, dan sebagainya. Meskipun sedikit
banyaknya telah tercampur dengan ajaran Islam. Adat sendiri yang dimiliki Suku Bugis
menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa
hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu
menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.
Umumnya rumah orang Bugis berbentuk rumah panggung dari kayu berbentuk
segi empat panjang dengan tiang-tiang yang tinggi memikul lantai dan atap. Konstruksi
rumah dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga bisa dipindahkan dari satu
tempat ke tempat lain.
Orang Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga
sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, kawin,
dan meninggal. Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan
kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur. Konstruksi berbentuk
panggung yang terdiri atas tingkat atas, tengah, dan bawah diuraikan yaitu :
Tingkat atas digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah,
yang digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu,
tidur, makan dan dapur. Tingkat dasar yang berada di lantai bawah diggunakan untuk
menyimpan alat-alat pertanian, dan kandang ternak. Rumah tradisional bugis dapat juga
digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan pelapisan sosial yang
berlaku.
SISTEM RELIGI
Pada mulanya, agama Suku Bugis adalah animisme yang diwariskan secara turun-
temurun. Masyarakat di sini merupakan pengikut aliran kepercayaan sure galigo, yaitu
sebuah kepercayaan pada dewa tunggal yang sering mereka sebut dengan Patoto E.
14
![Page 15: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/15.jpg)
Bahkan, sampai saat ini masih ada masyarakat Bugis yang mempercayai aliran ini.
Namun animisme itu terkikis sejak ulama asal Sumatera bernama Datuk Di Tiro
menyebarkan ajaran Islam di Sulawesi Selatan. Islam kemudian menjadi agama utama
Suku Bugis hingga kini. Islam masuk ke daerah Suku Bugis sekitar abad ke 17, melalui
para pedagang Melayu. Ajaran Islam yang mudah diterima oleh masyarakat setempat
membuat agama ini menjadi pilihan di antarakeberagaman agama lainnya. Mereka bisa
menerima Islam dengan baik karena menurut mereka ajaran Islam tidak mengubah nilai-
nail, kaidah kemasyarakatan dan budaya yang telah ada.
Walaupun demikian, beberapa komunitas Suku Bugis tidak mau meninggalkan
animisme. Ketika Pemerintah Indonesia menawarkan kepada mereka lima agama untuk
dianut, mereka lebih memilih agama Budha atau Hindu yang mereka anggap menyerupai
animisme mereka. Maka jangan heran kalau ada orang Bugis yang menunjukkan KTP-
nya bertuliskan agama Budha atau Hindu.
SISTEM ORGANISASI KEMASYARAKATAN
Suku Bugis merupakan suku yang menganut sistem patron klien atau sistem
kelompok kesetia kawanan antara pemimpin dan pengikutnya yang bersifat menyeluruh.
Salah satu sistem hierarki yang sangat kaku dan rumit. Namun, mereka mempunyai
mobilitas yang sangat tinggi, buktinya dimana kita berada tak sulit berjumpa dengan
manusia Bugis. Mereka terkenal berkarakter keras dansangat menjunjung tinggi
kehormatan, pekerja keras demi kehormatan nama keluarga.
Sedangkan sistem kekerabatan orang Bugis disebut assiajingeng yang mengikuti
sistem bilateral atau sistem yang mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak
ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua sehingga seorang anak tidak hanya
menjadi bagian dari keluarga besar ayah tapi juga menjadi bagian dari keluarga besar ibu.
Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi dua yaitu siajing mareppe(kerabat
dekat) dan siajing mabella (kerabat jauh). Kerabat dekat atau siajing mareppe adalah
penentu dan pengendali martabat keluarga. Siajing mareppe inilah yang akan menjadi tu
masiri’ (orang yang malu) bila ada perempuan anggota keluarga mereka yang ri lariang
15
![Page 16: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/16.jpg)
(dibawa lari oleh orang lain). Mereka punya kewajiban untuk menghapus siri’ atau malu
tersebut.
Anggota siajing mareppe didasarkan atas dua jalur, yaitu reppe mereppe atau
anggota kekeluargaan berdasarkan hubungan darah dan siteppang mareppe(sompung
lolo) atau anggota kekeluargaan berdasarkan hubungan perkawinan.
SISTEM PENCAHARIAN
Wilayah Suku Bugis terletak di dataran rendah dan pesisir pulau Sulawesibagian
selatan. Di dataran ini, mempunyai tanah yang cukup subur, sehingga banyak masyarakat
Bugis yang hidup sebagai petani. Selain sebagai petani, SukuBugis juga di kenal sebagai
masyarakat nelayan dan pedagang. Meskipun mereka mempunyai tanah yang subur dan
cocok untuk bercocok tanam, namun sebagian besar masyarakat mereka adalah pelaut.
Suku Bugis mencari kehidupan dan mempertahankan hidup dari laut.Tidak sedikit
masyarakat Bugis yang merantau sampai ke seluruh negeri dengan menggunakan Perahu
Pinisi-nya. Bahkan, kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal
luas hingga luar negeri, di antara wilayah perantauan mereka, seperti Malaysia, Filipina,
Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Suku Bugis memang
terkenal sebagai suku yang hidup merantau. Beberapa dari mereka, lebih suka berkeliaran
untuk berdagang dan mencoba melangsungkan hidup di tanah orang lain. Hal ini juga
disebabkan oleh faktor sejarah orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
SISTEM TEKNOLOGI DAN PERALATAN
Dengan terciptanya peralatan untuk hidup yang berbeda, maka secaraperlahan tapi
pasti, tatanan kehidupan perorangan, dilanjutkan berkelompok,kemudian membentuk
sebuah masyarakat, akan penataannya bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk hidup
tersebut. Peralatan hidup ini dapat pula disebut sebagaihasil manusia dalam mencipta.
Dengan bahasa umum, hasil ciptaan yang berupaperalatan fisik disebut teknologi dan
proses penciptaannya dikatakan ilmupengetahuan dibidang teknik.Sejak dahulu, suku
Bugis di Sulawesi Selatan terkenal sebagai pelautyang ulung. Mereka sangat piawai
16
![Page 17: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/17.jpg)
dalam mengarungi lautan dan samudera luas hingga ke berbagai kawasan di Nusantara
dengan menggunakan perahu Pinisi.
1. Perahu Pinisi
Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugisyang
sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalamnaskah
Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14M.
Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat olehSawerigading,
Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahutersebut diambil dari
pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangatkokoh dan tidak mudah rapuh.
Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara khusus
agar penunggunya bersedia pindah ke pohon lainnya. Hingga saat ini, Kabupaten
Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi.
2. Sepeda dan Bendi
Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional ini adalahbukti
sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnyamasyarakat
Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutamatanaman padi sebagai bahan
makanan pokok.
3. Koleksi peralatan menempa besi dan hasilnya
Jika anda ingin mengenali lebih jauh tentang sisi lain dari kehidupan masalampau
masyarakat Sulawesi Selatan, maka anda dapat mengkajinya melaluikoleksi trdisional
menempa besi, Hasil tempaan berupa berbagai jenis senjatatajam, baik untuk
penggunan sehari – hari maupun untuk perlengkapan upacaraadat.
4. Koleksi Peralatan Tenun Tradisional
Dari koleksi Peralatan Tenun Tradisional ini, dapat diketahui bahwabudaya
menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah,yakni
17
![Page 18: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/18.jpg)
ditemukan berbagai jenis benda peninggalan kebudayaan dibeberapa daerahseperti
leang – leang kabupaten maros yang diperkirakan sebagai pendukung pembuat
pakaian dari kulit kayu dan serat – serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan
manusia pada zaman itu mulai Berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik
yakni alat pemintal tenun dengan bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai
tercipta berbagai jenis corak kain saung dan pakaian tradisional.
BAHASA DAN LITERATUR
Dalam kesehariannya hingga saat ini orang bugis masih menggunakan bahasa
“Ugi” yang merupakan bahasa keluarga besar dari bahasa Austronesia Barat. Selain itu,
orang Bugis juga memilikis aksara sendiri yakni aksara lontara yang berasal dari huruf
Sansekerta. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap wilayahnya; ada yang
kasar dan ada yang halus. Bahasa, yang dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku
Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku
Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu
pengetahuan.
C. PERBEDAAN ANTARA SUKU KAJANG DAN SUKU BUGIS
Budaya Minangkabau adalah sebuah budaya yang berkembang di Minangkabau
serta daerah rantau Minang. Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua
kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Budaya ini
memiliki sifat egaliter, demokratis, dan sintetik. Hal ini menjadi anti-tesis bagi
kebudayaan besar lainnya, yakni Budaya Jawa yang bersifat feodal dan sinkretik.
Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-
satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-
kerajaan Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon
dan Ternate. Agama Islam pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang dipakai di
kerajaan-kerajaan tersebut.
18
![Page 19: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/19.jpg)
Sedangkan, Suku Bugis atau to Ugi’ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku
di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun, dalam
perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
Ugi bukanlah sebuah kata yang memiliki makna. Tapi merupakan kependekan dari La
Satumpugi, nama seorang raja yang pada masanya menguasai sebagian besar wilayah
Provinsi Sulawesi Selatan. La Satumpugi terkenal baik dan dekat dengan rakyatnya.
Rakyatnya pun menyebut diri mereka To Ugi, yang berarti Orang Ugi atau Pengikut Ugi.
Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan, Ugi dibahasa-Indonesiakan
menjadi Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah satu suku resmi dalam lingkup negara
Republik Indonesia.
19
![Page 20: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/20.jpg)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Suku Bugis atau to Ugi’ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di
Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan
2. Suku Minangkabau adalah sebuah suku yang berkembang di Minangkabau serta
daerah rantau Minang.
3. Suku Bugis atau to Ugi’ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di
Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Suku
Minangkabau adalah sebuah suku yang berkembang di Minangkabau serta daerah
rantau Minang.
20
![Page 21: BAB I (2)](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062516/55cf93f2550346f57b9eded7/html5/thumbnails/21.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
file:///E:/hukum%20laut/puss%20blog%20%20makalah%20kebudayaan%20minangkabau
%28softskill%29.htm
file:///E:/hukum%20laut/Kebudayaan%20Suku%20Bugis%20_%20zulfaworld.htm
file:///E:/hukum%20laut/Pengertian%20Dan%20Perbedaan%20Adat,%20Kebudayaan,%20dan
%20Peradaban%20_%20HIMMABA.htm
21