BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama...

58
203 BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI KEUTAMAAN HABITUS DI KABUPATEN KUDUS Pendahuluan Keutamaan merupakan acuan sikap manusia terhadap hukum moral yang didasarkan atas keputusan bebasnya, maka menjadi semangat dan sikap batinnya. Karenanya, keutamaan merupakan sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki dan yang tidak dipaksa, maka tidak dapat dibuat begitu saja, misalnya seseorang hendak menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Menurut Magnis Suseno 1 , keutamaan pertama-tama adalah sebagai istilah deskriptif tentang sikap mental. Namun karena dalam melakukan pekerjaan atau profesi, dagang misalnya (keutamaan pedagang) diharapkan bahkan dituntut adanya sikap tertentu dan karena menilai sikap-sikap tertentu sebagai tidak memadai. Keutamaan mendapat arti normatif, yaitu sebagai sikap kehendak yang dituntut agar dikembangkan. Menuntut suatu keutamaan, mengandung kritik atau memuat tuduhan bahwa nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan atau sebagai budaya, mengandung kehendak yang kurang baik. Karenanya, pihak yang menuntut keutamaan ini tahu bagaimana orang lain harus bersikap supaya menjadi manusia baik. Proses ditemukannya identitas keutamaan Gus-ji-gang bagi masyarakat Kudus dalam melakukan aktivitas berdagang, di satu pihak tidak dibawa sejak lahir tetapi diperoleh melalui proses yang kompleks dalam dunia kehidupannya atau pada budaya Jawa di Kudus sesuai pada masanya. Kompleksitas memperoleh keutamaan, menurut K.Bertens 2 , sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya membaca buku-buku, instruksi, atau

Transcript of BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama...

Page 1: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

203

BAB ENAM

GUS-JI-GANG SEBAGAI KEUTAMAAN

HABITUS DI KABUPATEN KUDUS

Pendahuluan

Keutamaan merupakan acuan sikap manusia terhadap hukum

moral yang didasarkan atas keputusan bebasnya, maka menjadi

semangat dan sikap batinnya. Karenanya, keutamaan merupakan

sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki dan yang tidak dipaksa, maka

tidak dapat dibuat begitu saja, misalnya seseorang hendak

menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Menurut Magnis

Suseno1, keutamaan pertama-tama adalah sebagai istilah deskriptif

tentang sikap mental. Namun karena dalam melakukan pekerjaan atau

profesi, dagang misalnya (keutamaan pedagang) diharapkan bahkan

dituntut adanya sikap tertentu dan karena menilai sikap-sikap tertentu

sebagai tidak memadai. Keutamaan mendapat arti normatif, yaitu

sebagai sikap kehendak yang dituntut agar dikembangkan. Menuntut

suatu keutamaan, mengandung kritik atau memuat tuduhan bahwa

nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan atau sebagai budaya,

mengandung kehendak yang kurang baik. Karenanya, pihak yang

menuntut keutamaan ini tahu bagaimana orang lain harus bersikap

supaya menjadi manusia baik.

Proses ditemukannya identitas keutamaan Gus-ji-gang bagi

masyarakat Kudus dalam melakukan aktivitas berdagang, di satu pihak

tidak dibawa sejak lahir tetapi diperoleh melalui proses yang kompleks

dalam dunia kehidupannya atau pada budaya Jawa di Kudus sesuai

pada masanya. Kompleksitas memperoleh keutamaan, menurut

K.Bertens2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan

tidak bisa diperoleh dengan hanya membaca buku-buku, instruksi, atau

Page 2: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

204

mengikuti kursus saja. Namun, menurut Sonny Keraf3, metode reflektif

kritis merupakan bagian penting untuk menentukan berbagai pilihan

keutamaan sebagai cara bersikap dan bertindak benar atau baik secara

moral tentang tiga hal. Pertama, sesuai atau tidaknya keberlakuan

norma dan nilai moral yang diberikan oleh adat-istiadat (etika dan

moralitas) dalam situasi konkret pada masa kehidupannya. Kedua, masalah tersebut terhadap situasi khusus yang dihadapi dengan

keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, terhadap paham yang dianut

oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa saja: tentang

manusia, Tuhan, alam, masyarakat dengan sistem sosial-politiknya atau

sistem ekonomi, kerja, dan sebagainya.

Dari proses sampai tindakan Gus-ji-gang yang mengalir dalam

jiwa masyarakat Kudus, habitus pada pengusaha bordir menurut

Bourdieu (1977) menggambarkan sebagai habitus dalam 3 hal, yaitu (1)

matrix of perception atau matrix persepsi; (2) appreciations atau apresiasi; dan (3) action atau tindakan. Pada ranah persepsi, habitus merupakan dasar seseorang dalam berpikir dan mempersepsikan

sesuatu, misalnya banyaknya bordir baik produksi Tasikmalaya dan

daerah lain, serta bordir dari Tiongkok dan Korea. Persepsi terhadap

hal ini sangat tergantung pengetahuan terkait dengan nilai dan praktik

yang dimiliki dan terbangun lama dan terkait erat dengan latar

belakang aktor (pengusaha bordir) secara historis. Dari ranah persepsi

mengalir pada ranah apresiasi maka habitus menjadi tempat berpikir,

bertindak dan menentukan bagaimana mengapresiasi sesuatu dengan

mengembangkan kekuatan-kekuatan produk bordir. Pada ranah tindakan, habitus merupakan basis bagi individu untuk melakukan aksi

yaitu mengembangkan bordir Icik yang memiliki nilai jual tinggi.

Tiga hal tersebut akan saling terintegrasi yang merupakan

cerminan dari habitus seseorang. Secara prinsip persepsi, apresiasi, dan

tindakan memiliki kecenderungan yang berbeda-beda pada setiap

pengusaha bordir dalam menyelesaikan persepsi untuk kemajuan usaha

bordir karena tergantung pada latar belakang masing-masing individu.

Page 3: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

205

Penjelasan tersebut mengimplikasikan maksud untuk

memahami Gus-ji-gang dan habitus Bourdieu (1977) sebagai

keutamaan dagang Jawa di Kudus yang dapat dianalisis dengan teori kritis4 terhadap nilai-nilai moral budaya Jawa tentang tiga hal.

Pertama, kebaikan tingkah laku sama dengan kebagusan moral

mengacu pada kata “gus” dikembangkan pemahamannya melalui

internalisasi sebagai proses pembelajaran (learning) seperti dimaksud

pada kata “ji” dalam satu kesatuan pengalaman keagamaan yang

menentukan ciri khas keutamaan moral. Ciri khasnya diobyektifikan

melalui cara bersikap baik dalam pergaulan melalui prinsip hormat dan rukun5 kepada sesamanya baik bagi pandangan dunia atau sebagai

pendapat umum. Proses internalisasi dengan nilai moral hormat dan

rukun ini searah maksudnya pada habitus Bourdieu sebagai kekuatan

social capital. Kedua, obyektifikasi keutamaan moral pada hormat dan

rukun tersebut sebagai acuan cara bersikap kekeluargaan atau

bergotong-royong baik di pemikiran atau tindakan (teknis

pelaksanaan)6 dalam realitas sosial 7 Jawa yang modern atau sesuai di

masanya. Ketiga, acuan teknis obyektifikasi keutamaan moral yang

kedua itu dipahami sebagai keutamaan social capital dagang Jawa di

Kudus. Analisis tiga hal itu dimaksudkan untuk memahami bahwa,

antara keutamaan moral sebagai proses internalisasi dengan dunia

kehidupan sebagai proses ekternalisasi atau realitas sosial Jawa

(khususnya di Kudus) sebagai sumber social capital merupakan satu

kesatuan yang saling mempengaruhi terhadap perubahan cara bersikap

dan bertindak secara terus-menerus (dinamis) baik pada tataran

pemikiran pedagang atau cara pelaksanaannya yang sesuai (modern)

dan berlaku di masanya. Social capital, dapat dibangun secara spontan

setiap saat oleh pelaku-pelaku siapa pun (termasuk komunitas

pengusaha bordir di Kudus) yang menjalankan kehidupan sehari-hari.

Merujuk pada pemikiran para ahli, seperti Arrow (dalam

Dasgupta ed, 2000) dan Krishna serta Rose (dalam Dasgupta, 2000)

maupun Robison (2002) dalam Lawang (2005) menjelaskan bahwa

social capital memang tidak dapat dipegang atau dilihat (intangible), tetapi pada dasarnya dapat dimetaforakan sebagai benda, sehingga

Page 4: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

206

dapat diperbanyak, ditambah dan dilihat sebagai stock barang. Namun

ada pandangan yang berbeda dari Anderson (2002) yang menyatakan

bahwa, social capital itu adalah “proses yang menciptakan suatu

kondisi untuk pertukaran informasi dan sumber secara efektif”.

Pandangan ini menunjukkan pada fungsi memperlancar (lubricant) dan fungsi mempererat (glue) ikatan-ikatan sosial dalam sistem

produksi dan perdagangan.

Nilai-nilai Moral Budaya Jawa dalam Kehidupan Komunitas

Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

Sonny Keraf (2002) menjelaskan, harfiahnya etika maupun

moralitas sama-sama berarti adat-kebiasaan hidup yang baik,

diwariskan dan atau dilestarikan melalui agama atau kebudayaan serta

dianggap sebagai sumber prinsip nilai moral atau norma moral yang

baku dan dianut oleh masyarakat sebagai tradisinya8.

Hal itu seperti dalam penjelasan Peursen dan Geertz tentang

hakikat kebudayaan. Menurut Peursen (1976), hakikat kebudayaan

sama dengan hakikat manusia. Kebudayaan pada dasarnya merupakan

endapan dari berbagai kegiatan serta karya manusia9. Geertz (1965)

menjelaskan, kebudayaan adalah, susunan dinamisnya ide-ide dan

aktivitas-aktivitas yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu

sama lain secara terus-menerus10, karenanya, sebelum menganalis tiga

hal tersebut diperlukan pemahaman karakteristik budaya Jawa dalam

kontruksi teoritis para ahli sebagai kekuatan modal hubungan sosial

pedagang di Kudus. Gunawan S. (2003) menjelaskan bahwa, para ahli

kebudayaan, baik yang dari luar atau yang ada dalam negeri11, pada

prinsipnya mereka memiliki kesamaan dalam memandang inti nilai-

nilai moral budaya Jawa “yang diidealkan” atau budaya Jawa yang

dipikirkan. De Jong (dalam Endraswara, 2006) mengemukakan unsur

sentral kebudayaan Jawa (termasuk Kudus) adalah sikap rilla (rela),

nrima (menerima), dan sabar. Hal ini akan mendasari segala gerak dan

langkah orang Jawa dalam segala pesoalan. Rela yang disebut juga iklas yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan dan hasil karya

Page 5: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

207

kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban

yang telah ada, tidak memberontak, tapi mengucapkan matur nuwun

(terima kasih). Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan nafsu

yang bergolak.

Kesamaan pandangan mereka dapat ditarik sebagai central concept (inti konsep) budaya Jawa yang terakulturasi dengan agama

Islam yang terinternalisasi pada kehidupan masyarakat pada umumnya

(pendapat umum) dalam paparan berikut: Pertama, budaya Jawa

mendasarkan diri kepada kehidupan sosial harmonis. Biasanya

disebutkan bahwa budaya Jawa adalah anti-konflik karena di dalamnya

mempunyai tujuan ideal bahwa dunia ini harus ditata secara harmonis

baik antara jagad cilik (jiwa, pikiran, hati nurani manusia) maupun

jagad gede (komunitas, masyarakat). Berbagai cara untuk menjaga atau

menuju kehidupan harmonis ini, terutama dengan sikap toleransinya.

Budaya Jawa adalah budaya yang paling memberi tempat bagi

perbedaan sebagai kekayaan yang harus dipupuk bersama. Kedua, budaya dalam konteks modern yang struktural fungsional, dengan

asumsi bahwa setiap orang atau lembaga memiliki tempat masing-

masing dan ia harus berperilaku atau bekerja sesuai dengan tempat

keberadaannya tersebut. Pemahaman tentang “tempat” bukanlah

pemahaman mati atau mutlak, tetapi sebagai yang kondisional dan

relatif. Ketiga, budaya Jawa menghargai hal-hal atau nilai-nilai yang

bersifat transendental. Sifat transenden itu dilatarbelakangi oleh

keyakinan bahwa hidup selalu bergantung pada Tuhan Yang Maha

Kuasa12.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka nilai-nilai moral Gus-ji-gang yang terdiri dari saling keterkaitan antara kebagusan tingkah laku

(ahklak mulia) dan dengan proses pembelajaran (internalisasi) serta

dengan pengalaman keagamaan, mesti dianalisis terkait dengan

karakteristik budaya Jawa. Memahami obyektivikasi nilai-nilai moral

Gus-ji-gang yang ditunjukkan dengan cara bersikap baik dalam

pergaulan melalui prinsip hormat dan rukun kepada sesama dengan

mengacu pada pandangan dunia Jawa atau sebagai pendapat umum

menurut konstruksi teoritis para ahli. Prinsip hormat dan rukun telah

Page 6: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

208

diteliti oleh Geerts (1981) maupun oleh Suseno (1984) yang

menyimpulkan bahwa, setiap anggota masyarakat menyadari kaidah

tersebut sebagai prinsip hidupnya. Setiap perbuatan senantiasa

mengacu kepada kaidah tersebut. Setiap anggota masyarakat yang

menyadari akan kejawaanya senantiasa menjaga situasi rukun dan

berusaha untuk menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya.

Nilai-nilai moral pada sisi lain juga memahami Gus-ji-gang dan

habitus Bourdieu sebagai dasar pembentukan dan penguatan social capital dagang industri kecil dalam kesatuan central concept budaya

Jawa yaitu harmonis, struktural fungsional dan transendental yang

uraiannya masing-masing antara lain sebagai berikut:

Harmonis

Karakteristik inti pandangan harmonis adalah, menciptakan

dan menjaga kesesuaian atau keselarasan hubungan antara manusia,

masyarakat dan dengan alam. Ketiganya merupakan satu sistem yang

disebut “pandangan dunia Jawa”. Tolok ukur arti pandangan dunia bagi

orang Jawa adalah nilai pragmatisnya agar tercapai keadaan psikis

tertentu yaitu ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin.

Karenanya, maksud pandangan dunia ini tidak hanya terbatas bagi

agama-agama formal dan mitos, tetapi juga seperti yang dimaksud

dalam istilah kejawen13. Kejawen merupakan suatu konsep hidup yang

melingkupi lahir batin material spiritual yang merupakan kepercayaan

tentang pandangan hidup yang diwariskan para leluhur yang dianut

oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa.

Pandangan hidup orang Jawa atau filsafat Jawa terbentuk dari

gabungan alam pikir Jawa tradisional, kepercayaan Hindu atau filsafat

India, dan ajaran tasawuf atau mistik Islam (Abdul Aziz, 2011).

Niels Mulder menjelaskan, kejawen sebagai cap deskriptif bagi

unsur-unsur kebudayaan Jawa atau sebagai yang khas Jawa.14 Kejawen pada dasarnya merupakan “suatu sikap khas” terhadap kehidupan

sebagai sikap mental untuk mengatasi perbedaan agama.15 Sikap mental

kejawen antara lain condong kepada sinkretisme16 dan toleransi keduanya merupakan dasar sikap baik yang dapat menciptakan sikap

Page 7: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

209

hormat terhadap berbagai ungkapan religius (agama formal) dalam

mewujudkan kesatuan hidup Jawa17. Para pengkaji dari luar negeri dan

orang-orang Jawa yang terdidik semakin bersepaham mengenai

sebutan sinkretisme dan meresapnya sikap toleransi bagi masyarakat

Jawa ini18.

Mencermati pengertian sinkretisme dan toleransi bagi kejawen

tersebut menunjukkan adanya cara bersikap hormat dan rukun kepada

sesamanya dengan nilai-nilai moralnya seperti, merasa sesuai dengan

orang lain maka, bersedia saling kerja sama, dan bersabar dalam

perbedaan keyakinan atau pengalaman keagamaan. Nilai-nilai moral

kejawen itu sebagai habitus Bourdieu yang mendasari pembentukkan

social capital dalam kesatuan tiga central concept budaya Jawa yang

utama yaitu harmonis. Obyektivikasi nilai-nilai moral itu juga implisit

dalam pemahaman habitus Bourdieu. Menurutnya, habitus merupakan

kekuatan social capital yang ditentukan oleh berbagai akumulasi nilai

dan beragam tipe dari aspek sosial, budaya, kelembagaan dan aset yang

tidak terlihat yang mempengaruhi perilaku kerja sama19. Fukuyama

juga lebih menjelaskan bahwa, norma dan nilai bagiannya social capital kekuatan habitus yang di dalamnya terdapat hubungan saling percaya

sebagai nilai moralnya perilaku jujur dan dapat menciptakan

kehidupan yang harmonis dan dinamis20. Nilai-nilai moral kejawen itu,

di satu sisi sebagai acuan teoritis habitus Bourdieu, namun pada sisi

lainnya memerlukan obyektivikasi dengan identifikasi21 terhadap para

ahli atau tokoh Jawa yang pernah mempraktikkan nilai-nilai moral itu

sebagai acuan contoh teknis pelaksanaan dan merasakan baik bagi

dunia kehidupan atau realitas sosial Jawa yang sesuai di masanya.

Mencermati identifikasi itu, maka dalam Gus-ji-gang

mengimplikasikan suatu kekuatan moral22 yang diobyektivisikan dalam

dunia kehidupan Jawa dengan keutamaan moral yang sesuai pada

masanya. Keutamaan moralnya adalah sepi ing pamrih23 adapun

kekuatan moralnya yaitu bersikap integrasi24 dan tujuan utamanya

terungkap pada kalimat aja mitunani wong liya (jangan merugikan

orang lain). Menurut Magnis Suseno, aja mitunani wong liya

merupakan norma moral terpenting atau prinsip dasarnya etika sosial

Page 8: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

210

Jawa25. Mencermati makna sikap integrasi itu maka maksud utamanya

yaitu, agar pihak-pihak yang terlibat di dalamnya merasa terjalin dalam

satu pola kekeluargaan Jawa yang saling kasih (tresno) sehingga

tercipta suasana yang harmonis. Maksud makna itu searah dengan

Niels Mulder26 yang menjelaskan, tujuan sikap integrasi dengan

kekuatan moral aja mitunani wong liya adalah, manusia hendaknya

selalu bersikap baik satu sama lain, saling membuat bahagia, dan tidak

saling mengganggu. Nilai-nilai moral tata krama Jawa yang

ditunjukkan dalam sikap hormat dan rukun justru sebagai usaha untuk

menghasilkan suasana yang harmonis itu.

Mencermati berbagai penjelasan identifikasi tersebut maka

dalam Gus-ji-gang juga dapat mengimplikasikan dua kebaikan nilai

moral. Pertama, kebagusan tingkah laku sebagai tata krama Jawa

diimplementasikan melalui caranya bersikap hormat dan rukun

terhadap sesama. Kebaikan nilai moralnya terkandung di keutamaan

moral sepi ing pamrih dengan kekuatan moralnya aja mitunani wong liyan yang melahirkan sikap toleransi dalam masyarakat modern yang

disebut pluralisme modern27. Sebutan terakhir itu merupakan kritik

atau sebagai pembaharu pluralisme tradisional28. Kedua, mengimplikasi

kebaikan tindakan moral29 yang berprinsip sikap baik30 terhadap apa

saja dan siapa saja.

Acuan teknis obyektivikasi maksud sikap tersebut dalam tata

krama Jawa melalui bersikap hormat31dan rukun yang sesuai dengan

alam modern. Suseno (2005) menjelaskan, sikap baik atau hormat

terhadap apa saja dan siapa saja merupakan moral berharga bagi

perkembangan masyarakat yang mendorong ke arah kejujuran dan

sikap bakti nyata terhadap masyarakat. Dalam sikap itu terkandung

ajaran atau anjuran agar bersikap menahan diri, toleransi, tidak

memaksakan kehendak, serta menerima dengan simpati hukum dan

irama perkembangan dari apa yang ada. Sikap hormat ini juga

merupakan prasyarat sikap-sikap khas yang manusiawi seperti

mengagumi, memahami nilai-nilai estetis, serta peduli (bersimpati).

Berbagai sikap itulah yang telah mendasari semangat umat manusia

mencapai prestasi-prestasi tertinggi dalam bidang ilmu pengetahuan,

Page 9: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

211

seni, dan kemanusiaan32. Berdasarkan pada penjelasan itu maka

bersikap hormat terhadap apa saja dan siapa saja dapat dijadikan

sebagai acuan pertama untuk menganalisis Gus-ji-gang dan habitus Bourdieu sebagai keutamaan social capital bagi komunitas industri

kecil di Kudus yang akan dibahas pada sub-bab berikutnya.

Suseno (2001) menjelaskan, apa yang terkandung dalam prinsip

hormat tersebut juga berlaku bagi prinsip kerukunan33. Prinsip

kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam

keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun menurut Niels Mulder (1978) berarti “berada dalam keadaan yang

selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan”,

bersatu dalam maksud untuk saling membantu34”. Keadaan rukun ada

dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka

bekerja sama, saling menerima dalam suasana tenang dan sepakat.

Rukun yaitu keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan

dalam semua hubungan sosial, pada keluarga, dalam rukun tetangga, di

desa, dan dalam setiap pengelompokkan tetap. Suasana seluruh

masyarakat seharusnya bernapaskan semangat kerukunan. Penjelasan

tersebut memberikan arah acuan teknis obyektivikasi sikap rukun sebagai identifikasi kebagusan tingkah laku pada Gus-ji-gang bisa

ditentukan oleh sesuai (cocok) atau tidaknya cara masing-masing

individu memfungsikan nilai-nilai moral Jawa, di satu sisi sebagai tata

krama dalam satu kesatuan struktur realitas sosialnya dan sesuai pada

masanya pada sisi lain. Masalah tersebut terkait dengan konsep inti

budaya Jawa yang kedua yaitu struktur fungsional yang uraian

bahasannya antara lain sebagai berikut.

Struktur Fungsional

Struktur fungsional merupakan salah satu paham atau

perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu

sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu

sama lain dan bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa ada

hubungan dengan bagian lain. Namun, struktural fungsional di sini

adalah struktural sosial35 nilai-nilai moral Jawa. Maksudnya, “struktur”

Page 10: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

212

di sini adalah, bangunan ide para pujangga tentang nilai-nilai moral,

dan cara memfungsikan atau pemberdayaannya sebagai konsep

hubungan antar individu dalam dunia atau realitas sosial Jawa.

Konsepnya merupakan pedoman ajaran moral (norma moral) bagi

tingkah lakunya (perilakunya), baik secara individu atau kelompok.

Penjelasan itu secara implisit searah dengan maksud Fachry Ali bahwa,

ajaran moral pada budaya Jawa yang difungsikan sebagai ideologi,

khususnya sebagai corak hidup kalangan bangsawan (priyayi), juga

memberi arah cara bersikap bagi seluruh rakyat Jawa36.

Cara memfungsikan atau pemberdayaan pada ajaran moral

tersebut yang melahirkan berbagai sikap moral atau tindakan moral

masing-masing individu atau kelompok bisa sesuai atau tidak, baik

terhadap prinsip hormat dan rukun maupun sebagai sikap

kekeluargaan dengan nilai-nilai manusiawi yang transendental bagi

berbagai pihak yang hidup bersama. Jadi “struktur” di sini merupakan

kerangka bangunan ide para ahli/ulama tentang nilai-nilai moral, dan

cara memfungsikan atau teknis pemberdayaannya bagi konsep

hubungan individual dalam dunia atau realita sosial masyarakat Jawa.

Dalam kehidupan masyarakat Jawa (termasuk di Kabupaten Kudus)

mengharapkan agar hidupnya sesuai dengan irama kodrat alam dan

cita-cita masyarakat. Hidup seperti itu akan menciptakan kehidupan

yang aman, sejahtera, adil makmur, lahir dan batin. Orang Jawa

berkeyakinan bahwa hidup seperti tersebut dapat dicapai jika orang

dalam setiap berhubungan dan bertingkah laku perbuatan, tata tertib

dan kebiasaan hidup sehari-hari berpedoman dan bersumber pada

kaidah-kaidah moral yang berlaku di masyarakat.

Bagi orang Jawa nilai-nilai tersebut adalah: (a) kerukunan

untuk menghindari konflik terbuka, dalam setiap situasi, hendaknya

setiap anggota masyarakat bersikap dan berbuat sedemikian rupa

sehingga ia tidak menimbulkan pertentangan atau konflik. Kemudian,

Suseno (1984) dan Geertz (1983) menekankan bahwa, rukun adalah

usaha mencegah segala kelakuan yang dapat menimbulkan konflik

terbuka. Dengan rukun orang menciptakan keadaan masyarakat yang

tenang dan selaras serta terhindar dari perselisihan. Orang saling

Page 11: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

213

membantu sejauh kemampuannya, baik dalam kepentingan perorangan

maupun kepentingan umum. Hal tersebut dapat dilihat dalam kerja

sama, tukar-menukar pikiran, dalam keluarga, lingkungan Rukun

Tetangga maupun masyarakat luas (termasuk dalam berbisnis). (b)

prinsip hormat, artinya dalam setiap situasi, dimana pun orang berada,

hendaknya setiap anggota masyarakat dalam cara berbicara dan

membawakan diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang

lain, sesuai dengan derajat dan kedudukan (status)nya.

Orang Jawa harus menghormati mereka yang lebih tinggi dan

sebaliknya tidak meremehkan mereka yang lebih rendah. Sikap hormat

tersebut tertanam sejak kecil dalam keluarga dengan perasaan wedi, isin dan sungkan (Geertz, 1983). Anak dididik untuk takut dan

menghormati orang lain dan untuk malu akan apa yang tidak pantas

bagi orang lain. Perasaan malu dapat muncul dalam setiap situasi sosial

(Suseno, 1984). Mengerti kapan dan bagaimana wedi, isin dan sungkan

harus dilakukan, berarti telah menjadi orang Jawa (Geerts, 1983).

Selanjutnya Geertz (1981) dan Seseno (1984) menyimpulkan

penelitiannya bahwa setiap anggota masyarakat manyadari kaidah

kerukunan dan hormat sebagai prinsip hidupnya. Setiap perbuatan

selalu mengacu kepada kaidah tersebut menjadi sumber etika dan

terlihat dalam tatanan dan tingkah laku hidupnya.

Jadi sifat rukun dan hormat berlaku agar masyarakat mencapai

keselarasan dan bukan orang perorangan, tetapi masyarakat sebagai

keseluruhan. Dalam masyarakat Jawa orang harus sabar, kerja sama,

patuh dan rela berkorban. Manusia dan lingkungan alam ini

merupakan suatu keutuhan yang mengandung unsur-unsur dan relasi

yang teratur. Terpeliharanya relasi itu berarti tercipta keadaan yang

selaras, serasi dan seimbang, yang sering disebut sebagai keadaan tata titi tentrem kerta raharja.

Identifikasi ungkapan tersebut mengimplikasikan pola

keutamaan “ji” dalam Gus-ji-gang, di samping bersikap kritis, maka

juga hendaknya bersikap kreatif terhadapnya. Bersikap kreatif,

menurut Magnis Suseno, bergairah untuk memikirkan, mencari, dan

Page 12: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

214

menemukan, serta menciptakan yang baru (modern)37. Agar tercipta

yang baru (modern) artinya, yang sesuai dengan nilai-nilai moral

budaya Jawa: struktural fungsional, maka keutamaan “ji” sebagai

identifikasi proses pembelajaran (to learning), selain bersikap kritis dan

kreatif, diperlukan pengembangan kedalamannya. Maksud

pengembangan kedalamannya yaitu, dalam bersikap kritis dan kreatif

dimaksudkan sebagai kegiatan bermakna38 spiritual39 pada makna internalnya40. Acuan identifikasi kegiatan bermakna spiritual sebagai

makna internalnya yang sesuai bagi nilai-nilai moral budaya Jawa:

struktural fungsional adalah, bersikap momong atau ngemong41 dan

mawas diri atau tahu diri sama dengan bersikap eling42 sebagai satu

tatanan caranya bersikap hormat dan rukun (tata krama Jawa) demi

kekeluargaan dan hubungan kemasyarakatan.

Transendental

Kata transendental mempunyai pengertian menonjolkan hal-

hal yang bersifat kerohanian, atau di luar apa yang diberikan oleh

pengalaman manusia. Istilah transendental, menurut Garaudy (1986)

memiliki 3 (tiga) pengertian dengan perspektifnya. Pertama, mengakui

ketergantungan manusia kepada penciptanya. Sikap merasa cukup

dengan diri sendiri yang memandang manusia sebagai pusat dan

ukuran segala sesuatu, bertentangan dengan makna transendental.

Transendental mengatasi naluri-naluri manusia seperti keserakahan

dan nafsu berkuasa. Kedua, mengakui adanya kontinuitas dan ukuran

bersama antara Tuhan dan manusia. Artinya, transendensi

merelatifkan segala kekuasaan, kekayaan, dan pengetahuan. Ketiga,

mengakui keunggulan nilai-nilai mutlak yang melampaui akal

manusia.

Menurut Leahy (1994), kehidupan manusia mengarah ke dalam

yang transendental berarti sebagai yang mampu mengungkapkan

seluruh realita objektif yang sedang dikerjakan dan mengungkapkan

secara total sampai pada makna-makna hidup yang paling final.

Transendental secara implisit maksudnya dalam penelitian ini searah

dengan obyektivikasi pemikiran atau konkritisasi masyarakat asli Jawa,

Page 13: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

215

khususnya masyarakat Kabupaten Kudus. Dalam budaya Jawa

pandangan hidup lazim disebut ilmu kejawen atau yang dalam

kesusastraan Jawa dikenal pula sebagai Ngelmu Kesempurnaan.

Wejangan tentang Ngelmu Kesempurnaan Jawa ini termasuk ilmu

kebatinan atau dalam filsafat Islam disebut tasawuf atau sufisme. Orang

Jawa sendiri menyebutkan suluk atau mistik. Sebenarnya kejawen

bukan aliran agama, tetapi adaptasi kepercayaan, karena di sana

terdapat ajaran yang berdasarkan kepercayaan terhadap Tuhan dari

puncak-puncak teologi Islam, Hindu dan Budha. Berbagai makna yang

berkaitan dengan kata “transendental” adalah, sesuatu yang secara

kualitas teratas, atau di luar apa yang diberikan oleh pengalaman

manusia. Kehidupan yang mengarah ke dalam transendental berarti,

sebagai yang mampu mengungkap seluruh realitas obyektif yang

sedang dikerjakan dan mengungkapkan secara total sampai pada

makna-makna hidup yang paling final43 sebagai “pengalaman

keagamaan”.

Maksudnya “pengalaman keagamaan” yaitu, adanya kesadaran

akan dunia gaib, rohaniah atau spiritual, sebagai pandangan dunia dan

pembuktian fakta-fakta kerohaniannya tersebut dalam dunia

jasmaniah44. Pengertian tersebut searah dengan maksud William James

menjelaskan, “pengalaman keagamaan” merupakan acuan untuk

menguraikan fenomena realitas gaib, sebagaimana pandangan dunia

atau spiritual yang dengannya manusia mengadakan hubungan dengan

sesamanya45. Kemudian Joachim Wach (1984) mensyaratkan empat

kriteria agar dapat diakui sebagai pengalaman transendental: (1)

pengalaman tersebut merupakan tanggapan terhadap apa yang dihayati

sebagai realitas mutlak; (2) dilakukan oleh pribadi yang utuh dan

memiliki kapasitas untuk memberi tanggapan; (3) ada kedalaman

penghayatan, dan (4) adanya unsur imperatif agar pengalaman tersebut

tampil dalam wujud perbuatan konkret46. Oleh karena itu masyarakat

Kudus di dalam melaksanakan kegiatan ekonomi seperti berdagang/

industri harus selalu tetap mengingat pada Allah SWT dan selalu

membangun hubungan dengan–Nya dengan menjalankan sholat, zikir

dan puasa. Hal itu dilakukan karena tumbuh kesadaran yang kuat bagi

Page 14: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

216

masyarakat Kudus bahwa tidak logis jika dalam mencari rejeki justru

melupakan yang memiliki rejeki tersebut. Masyarakat Kudus

berkeyakinan semakin dekat dengan yang memiliki rejeki, semakin

banyak rejeki yang mereka akan terima. Maka tidak mengherankan

bila masyarakat Kudus dalam mencari rejeki dihubungkan dengan

tawakal (transendesi), karena pada dasarnya tawakal adalah proses

membangun transendensi kepada Allah.

Kebudayaan asli Jawa yang bersifat transendental lebih

cenderung pada paham animisme dan dinamisme, perubahan besar

pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-Budha

yang berasal dari India berabad-abad lamanya mempengaruhi tanah

Jawa, seperti sistem kepercayaan, kesenian, kesusasteraan, astronomi,

dan pengetahuan umum. Para wali dan ulama mendominasi

pembentukan karakter religiusitas orang Jawa, sehingga muncul

pemahaman ajaran agama Islam dengan pemahaman kejawen. Sunan

Kudus, salah satu walisanga yang memiliki pendekatan sangat toleran

dan sebagai waliyyul ilmy yang melahirkan stok tanda paradikmatik

varian masyarakat santri di Kabupaten Kudus dan tanda Sunan Kudus

sebagai wali saudagar yang melahirkan tanda paradigmatik varian

masyarakat santri yang pedagang/saudagar. Maka dengan perpektif ini,

gejala budaya paradigmatik yang bisa diserap dari pola hubungan tanda

tersebut melahirkan varian Islam di kabupaten Kudus sebagai ”santri

Saudagar”.

Gus-ji-gang sebagai bentukan dari hubungan yang lebih

menekankan nilai-nilai akulturasi agama Islam dengan budaya Jawa

sebagai nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan baik dalam suatu

komunitas atau antar komunitas. Nilai-nilai tersebut merupakan suatu

modal dalam membentuk masyarakat kuat dan berkepribadian, dimana

saat ini sangat penting karena ketika suatu komunitas atau masyarakat

mendapat suatu masalah maka akan cepat diatasi tanpa harus ada yang

dirugikan. Bourdieu, dalam tulisannya melihat bahwa posisi agen atau

aktor dalam arena sosial ditentukan oleh jumlah dan bobot modal

relatif mereka. Dalam arena sosial agen bertaruh tidak hanya

ditentukan oleh “chip hitam” yang mempresentasikan modal ekonomi,

Page 15: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

217

namun juga dengan ”chip biru” yaitu modal budaya dan juga dengan

“chip merah” yaitu social capital (Alheit,1996).

Kehidupan Sehari-hari Komunitas Pengusaha Industri Kecil

Bisnis Keluarga Bordir

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Kabupaten Kudus,

khususnya Desa Padurenan Kecamatan Gebog, rumah tempat tinggal

merupakan pusat kegiatan ekonomi (bisnis), disamping untuk tempat

tinggal keluarga. Rumah tempat tinggal bagi pengusaha bordir

bukanlah sekedar tempat berlindung atau beristirahat dari kepenatan

kerja sehari-hari, dan tempat komunikasi antar keluarga dan kerabat,

tetapi tempat bekerja dan tempat berproduksi. Oleh karena itu, rumah

bagi pengusaha bordir selalu dipenuhi barang-barang hasil produksi

atau produksi orang lain dan selalu ramai dengan para pekerja yang

datang dan pergi dari desa-desa di sekitar Kelurahan Padurenan

maupun keluarga inti (suami/isteri, anak,cucu) dari keluarga

pengusaha.

Keluarga menurut Fukuyama (2000), sebagai sumber penting

bagi social capital. Inilah merupakan alasan mendasar tentang mengapa

sebenarnya seluruh kegiatan bisnis dimulai dari keluarga. Mengutip

Putnam (dalam Fukuyama, 2000) menyebutkan bahwa, social capital menunjuk pada seperangkat sumber daya yang melekat dalam

hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas serta sangat

berguna bagi pengembangan kognitif anak. Kerja sama dalam keluarga

dimungkinkan karena terdapat fakta biologis yang alami dan itu akan

memperlancar dan memudahkan berbagai aktivitas sosial termasuk

dalam menjalankan bisnis. Namun di satu sisi ketergantungan berbisnis

secara berlebihan oleh ikatan kekerabatan ini dapat menimbulkan

konsekuensi negatif atas komunitas yang lebih luas, karena sering

terjadi misalnya, komunikasi di antara kerabat kalau tindak otoritas

dalam pengelolaan oleh salah satu yang dituakan.

Page 16: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

218

Keluarga sebagai kelompok primer, menurut Cooley (dalam

Soekanto, 2004) menyatakan kelompok yang ditandai ciri-ciri saling

mengenal antara anggota-anggotanya serta kerja sama erat yang

bersifat pribadi. Hubungan antar anggota keluarga masyarakat Kudus

umumnya saling berkomunikasi dengan bahasa ngoko (bukan bahasa

halus), baik orang tua dengan anaknya, anak dengan bapaknya,

maupun adik dengan kakak. Mereka menggunakan bahasa kromo

(halus) biasanya antara pegawai dengan majikannya, atau pembantu

rumah tangga kepada tuannya. Sebagaimana orang Jawa di daerah lain, masyarakat Kudus memanggil atau bertegur sapa kepada yang lebih tua

dengan sebutan tertentu, misal pak Haji (bagi yang sudah menunaikan

ibadah haji), tetapi kepada yang lebih muda, meskipun sebutannya ada

mereka lebih senang memanggil nama panggilannya secara langsung

atau “njangkar”, tetapi untuk memanggil yang lebih tua, seperti orang

tua laki-laki memanggil dengan Pak, atau ibunya dengan sebutan Bu.

Tetapi ada juga yang memanggil bapak dengan sebutan Bah (Abah) dan Mi (Umi) sebutan ibu dan sebutan untuk kakak laki-laki dengan Mas atau kang dan kakak perempuan dengan sebutan mbak. Panggilan

paman dengan sebutan pak Lik dan bibi adalah bu Lik. Sedangkan

sebutan kakek dan nenek, mereka menyebut dengan mbah kakung

(kakek) dan mbah putri (nenek). Sedangkan mulai turunan kedua,

istilah panggilannya sudah tidak ada, dan kebanyakan masyarakat

Kudus memanggil dengan langsung namanya, tetapi juga sering

menggunakan istilah yang dipakai untuk memanggil anak, yaitu

panggilan cucu laki-laki dengan le dan cucu perempuan dengan

sebutan nduk.

Hampir semua ibu rumah tangga di daerah penelitian

mempunyai peran dalam menambah penghasilan keluarga, baik

melalui usahanya sendiri maupun membantu usaha suaminya. Ada

perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dengan anak perempuan,

dimana anak laki-laki berkewajiban mematuhi semua perintah orang

tuanya, khususnya perintah ayah/bapak. Bekerja sesuai dengan apa

yang diperintahkan ayahnya dan jarang mendapat perintah dari

ibunya. Karena itu anak laki-laki lebih mempunyai kebebasan

Page 17: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

219

dibanding anak perempuan, karena anak laki-laki tidak dilibatkan

dalam pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan kamar, menyapu

halaman, memasak, mencuci dan lain-lain. Sedangkan anak

perempuan, karena dekat dengan ibunya, mempunyai tugas membantu

pekerjaan-pekerjaan rumah tangga setiap harinya, disamping itu

kadang-kadang kalau ada waktu longgar harus membatu pekerjaan

ayahnya yang ada di rumah sehingga tidak ada kesempatan untuk

bermain di luar rumah seperti anak laki-laki. Anak laki-laki yang

sudah dewasa memiliki tugas membantu menangani usaha bapaknya

sampai pada suatu saat diserahkan sepenuhnya untuk meneruskan

mengelola usaha orang tuanya atau membuka usaha sendiri. Kalau

sudah sampai pada taraf ini, tugasnya sudah menjadi lebih berat dan

lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.

Setiap anggota keluarga memiliki hak dan kewajiban yang

berbeda. Bapak sebagai kepala keluarga menjadi pemimpin dan

bertanggung jawab pada seluruh keluarga yang harus mencari nafkah,

disamping pengambil keputusan untuk hal-hal yang penting, misalnya

sekolah anak-anak, hubungan sosial maupun hajatan yang harus

dipatuhi dan dilayani oleh semua anggota keluarga. Sedangkan tugas

ibu memiliki kewajiban melayani kepada suami dan anak-anak sesuai

dengan kebutuhannya (memberi uang saku kepada anak-anak, masak

dan lain-lain) dan mengatur uang belanja dan memanfaatkan sesuai

kebutuhan, serta melakukan pendidikan anak-anaknya khususnya

perempuan.

Namun pada suatu keluarga yang sudah tidak utuh, misalnya

bapaknya sudah meninggal atau tidak ada (cerai), pemimpin rumah

tangga menjadi tanggung jawab ibu. Dalam keadaan demikian, anak-

anak perempuan tugasnya akan lebih berat dibanding dengan anak

laki-laki, karena ketika ibunya berperan sebagai bapak, pekerjaan ibu

menjadi tanggung jawab anak perempuan.

Hubungan kekerabatan dalam suatu keluarga, mereka saling

membantu, khususnya dalam menyelenggarakan upacara-upacara

hajatan keluarga, seperti perkawinan, sunatan, kelahiran bayi,

Page 18: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

220

pengajian dan lain sebagainya. Namun menyangkut kehidupan bisnis

(ekonomi), mereka saling bersaing, meskipun tidak secara terbuka,

misalnya ada pengusaha bordir mau membeli bahan baku di KSU

Padurenan Jaya tetapi saat bersamaan ada pengusaha lain (bahkan

masih hubungan kekerabatan) juga mau belanja bahan baku pada

tempat yang sama, maka pasti salah satu akan menunggu setelah

pengusaha pesaing bisnis (meskipun itu masih kerabat) selesai belanja

baru mereka mau membeli.

Setiap pagi, menjelang sholat subuh, semua mushola dan masjid

di Kelurahan Padurenan–Kecamatan Gebog mengumandangkan adzan

sholat subuh yang sangat ramai suaranya, membangunkan warga

supaya menjalankan sholat subuh, saat itulah kehidupan masyarakat

Kudus sudah mulai mempersiapkan kehidupan pada hari itu. Keluarga

Ibu Hj. Sri Murni‟ah dan Bp.H.Moch Anshori sebagai informan kunci

pada setiap jam 04.30 melakukan sholat subuh di rumah sendiri atau

menuju mushola terdekat untuk melaksanakan sholat subuh.

Pagi itu setelah selesai sholat subuh Ibu Sri Murni‟ah sudah

mempersiapkan keperluan keluarga yaitu masak untuk persiapan

sarapan pagi anak-anaknya yang akan ke sekolah dan suaminya

(pegawai kantor kelurahan Padurenan), setelah selesai mulai

mengelompokkan bahan-bahan yang akan dibordir oleh para pengrajin

yang akan diantar suaminya ke rumah masing-masing pengrajin atau

mengambil hasil bordir yang sudah selesai dikerjakan oleh para

pengrajin. Kemudian anak perempuan nomer dua datang dari

rumahnya (masih di sekitar Desa Padurenan) sekitar jam 09.00 terus

membuka butik/toko bordir ibu Hj.Sri Murni‟ah setelah kegiatan

rumah sudah selesai atau saat anaknya nomer 3 masih tinggal bersama

jam 8.30 toko sudah di buka. Kadang-kadang pagi-pagi sudah ada

pesanan dari konsumen datang membeli atau menerima para pengrajin

yang mengambil bahan bordir dan model disain, serta menerangkan

kepada pengrajin mengenai disain, warna atau corak dan kapan

selesainya. Dan bila ibu Hj.Sri Murni‟ah akan mengantar hasil produksi

bordir ke Pasar Klewer (Surakarta) maka selama ditinggal, anak

Page 19: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

221

perempuannya sudah bisa melaksanakan tugas ibunya mengelola bisnis

bordir.

Sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan Ibu Sri Murni‟ah

dalam menerima dan melayani para pelanggan atau calon pembeli

baru. Kemudian ditunjukkan berbagai variasi desain, corak dan warna,

maupun model bordir, beliau pasti menanyakan: “Pados nopo kemawon mbak, taken mawon mboten nopo-nopo” artinya cari apa

mbak, tanya saja nggak apa-apa. Dalam berjualan kita harus sregep

(rajin), sabar dan sumanak (ramah)”. Lebih lanjut Ibu Hj. Sri Murni‟ah

mengatakan sebagai berikut:

“Sregep ngomong, ampun kendel kemawon amargi menawi kendel kemawon ngrantos pembeli tangklet ya saget kawon kalian pengusaha bordir sanesipun amargi barang ingkang dipun wadhe sami. Amargi pembeli meniko benten-benten, wonten ingkang namun pilih wonten noponipun, lan wonten pembeli ingkang tangklet disain, corak dan warni ingkang sanesipun”. Artinya: Aktif dalam bicara, jangan diam saja sebab kalau diam saja menunggu pembeli bertanya ya bisa kalah dengan pengusaha bordir lain karena barang yang dibuat hampir sama,. Pembeli itu bermacam-macam, ada yang hanya memilih sak adanya dan ada pembeli yang menanyakan lebih detail mengenai disain, corak dan warna yang lain.

Hari Kamis tanggal 29 Januari 2015 kira-kira jam 8.30 WIB, Ibu

Hj. Sri Murni‟ah menerima telpon kalau ada pembeli dari Semarang

(rombongan pegawai Dinas Perindustrian Propinsi Jawa Tengah) akan

datang, mau membeli pakaian blouse wanita dengan pernik-pernik

bordir sebanyak 400 buah untuk keperluan pakaian dinas yang

diwajibkan memakai pakaian khas daerah, setelah kira-kira jam 10.00

mereka tiba di rumah Ibu Hj.Sri Murni‟ah, dan langsung diterima oleh

Ibu H.Sri Murni‟ah dengan ramah, gesit dan cekatan menawarkan

berbagai corak bordir. Karena kemampuan usaha Ibu Hj. Sri Murni‟ah

tidak bisa memenuhi permintaan sebanyak 400 buah pada siang itu,

kemudian beliau mengontak/menghubungi teman-teman sesama

pengusaha bordir dan konveksi supaya menyediakan kekurangan stok

Page 20: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

222

untuk pemenuhan order tersebut, dan beberapa saat pesanan datang

dengan membawa pesanan blouse dengan bordir tersebut sehingga

dapat terpenuhi 400 buah blouse bordir. Saat ditanya keuntungan hari

ini, tuturnya sebagai berikut:

“injih lumayan keuntungan ipun dinten punika,pas pikantuk rejeki saking Gusti Allah, amargi sedoyo sampun dipun atur Gusti Allah lan alhamdulilah pelanggan saking Semarang dumugi lan kawulo saget ngaturi pelayanan ingkang sae supados tetap dados lengganan kawulo” Artinya: ya lumayan dapat keuntungan hari ini, kebetulan rejeki dari Gusti Allah, karena semuanya sudah diatur Gusti Allah dan alhamdulilah pelanggan dari Semarang datang dan bisa memenuhi kebutuhan dan pelayanan baik supaya tetap menjadi pelanggan).

Kemudian beliau melanjutkan ucapannya dan titip tidak usah

diceritakan ke mana-mana kepada pengusaha bordir yang lain karena

ini merupakan rahasia usahanya, supaya tidak terjadi persaingan yang

tidak sehat, dan menumbuhkan kecemburuan antar pengusaha. Ini

menunjukkan betapa implikasi dari ajaran Gus-ji-gang telah mereka

lakukan untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan para

pengusaha bordir telah dilakukan informan, sehingga kondisi yang

baik di antara pengusaha bordir terjalin harmonis. Demikian pula Ibu

Hj.Sri Murni‟ah dalam menjalin hubungan dengan para pekerja bordir,

baik yang bekerja di rumahnya maupun pekerja bordir yang

mengerjakan di rumah masing-masing dilakukan dengan baik dan

selalu memberikan petunjuk sebelum para pekerja mengerjakan, baik

itu desain maupun kombinasi warna benang dengan dasar warna kain,

sehingga diharapkan sesuai dengan yang diharapkannya. Ungkapnya

terhadap pekerjanya sebagai berikut:

“ngene lho, dik Markonah yen kono biso gawe bordir sesuai sing takkarepke, rapi,cepet lan kombinasi warna sesuai lan biso kemadol duwur, pasti kono takwenehi bonus lan ojo nganti salah le bordir… aku biso rugi”. Artinya: begini lho, dik Markonah kalau kamu bisa membuat bordir yang sesuai yang saya harapkan yaitu rapi, cepat dan

Page 21: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

223

kombinasi warna sesuai dan bisa terjual tinggi, pasti kamu saya beri bonus dan jangan sampai salah dalam membordir… saya bisa rugi.

Demikian pula Bapak H.Moch Anshori menceritakan kebiasaan

yang dilakukan setiap hari kepada peneliti:

“setelah solat subuh, biasanya melakukan perjalanan ke luar kota setiap minggu 3 kali untuk mengirim produksi bordir tempel ke Magelang, Surakerta maupun ke Semarang. Rencana hari ini, Bp. H. Moch Anshori akan mencari bahan baku dan sekaligus mengirim hasil produksi bordir tempel ke Surakarta. Sebelum berangkat bisanya sudah memberikan pengarahan pada karyawan pengrajin bordir maupun berkoordinasi dengan isterinya yang nantinya bertugas mengawasi pekerjaan pengrajin bordir selama dia ke luar kota dan bisanya tidak menginap (langsung pulang). Malam harinya setelah di rumah, setiap ada kegiatan “kumpulan” beliau selalu mengikuti kegiatan sosial, pengajian, menghadiri hajatan tetangga”.

Para pengusaha bordir setiap ditanya berapa rupiah keuntungan

hari ini, pasti jawabannya tidak jelas dengan kata “lumayan” dan

ukurannya bisa untuk beli bahan baku, bayar tukang/pengrajin bordir

dan bisa memenuhi iuran kegiatan-kegiatan sosial (arisan, pengajian,

gotong-royong, jimpitan dan sebagainya). Seperti yang diungkapkan

Ibu Islahiyah pemilik usaha bordir „La Risma‟ kepada peneliti sebagai

berikut:

“ya untungnya lumayan lah, bisa buat beli bahan yang berkualitas baik, bayar tenaga kerja dan masih bisa untuk kebutuhan keluarga sedikit-dikit, ya harus selalu disyukuri bila masih ada sisa akan di tabung untuk keperluan yang lain misal naik haji, umroh atau punya hajat”.

Habitus Pengusaha Bordir di Kudus

Habitus merupakan nilai-nilai sosial yang dihayati oleh

manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang

berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola

Page 22: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

224

perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Bila seseorang

memiliki habitus yang begitu kuat, sampai dapat mempengaruhi tubuh

fisiknya. Habitus yang sudah demikian kuat tertanam serta mengendap

menjadi pelaku fisik disebutnya sebagai hexis.

Dengan habitus, Bourdieu merujuk pada berbagai disposisi yang

tidak disadari, skema-skema klasifikasi, pilihan-pilihan yang dianggap

benar yang tampak jelas dalam pengertian seseorang tentang ketepatan

dan validitas seleranya akan berbagai benda dan praktik budaya.

Habitus merupakan kontribusi penting bagi Bourdieu dalam usahanya

untuk mengkontruksi sebuah model yang memperhitungkan struktur

dan agen (Lash, 2004:239), dan habitus menurut Bourdieu (dalam

Malawarman, 2008:431) merupakan sebuah proses yang meng-

hubungkan antara agensi (practice) dengan struktur (melalui capital dan field/arena).

Pembentukan habitus menurut Bourdieu (1977) melalui suatu

proses dialektika yang digambarkan sebagai ”a dialectic of internalization of externality and externalization of internality.‟” Artinya proses internalisasi yang terus diterima atau dilakukan secara

terus-menerus sehingga akan membentuk habitus yang berfungsi

sebagai pola berpikir pelaku bisnis bordir (aktor) yang terekternalisasi

dalam bentuk praktik yaitu perdagangan, dan selanjutnya apa yang

terekternalisasi ini akan mengalami proses internalisasi kembali, dst.,

semuanya berlangsung dalam ranah/field. Dalam ranah inilah para

aktor melakukan tindakan atau praktik dalam bentuk berinteraksi yang

dialektis yang melibatkan capital baik ekonomi, sosial, budaya maupun

simbolik yang dimiliki untuk meraih, mempertahankan, dan

pemberdayaan sumber-sumber daya yang dimiliki agar eksis dalam

melakukan perdagangan.

Proses pembentukan habitus sebagai kerangka berpikir maka

paparan selanjutnya bagaimana habitus sebagai kerangka berpikir ini

menjadi tindakan pengusaha bordir dalam arena. Oleh karena itu

difokuskan pada posisi dan peran aktor dalam bisnis keluarga bordir

baik pada tataran mikro yaitu dalam rumah atau keluarga, tataran

Page 23: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

225

medium dalam hubungan pengusaha dengan tenaga kerja, pemasok

bahan baku maupun pemangku kepentingan dalam perekonomian.

Perbedaan habitus antar-daerah nampak pada perbedaan

tindakkan yang menurut Bourdieu (1994) digambarkan dalam

perbedaan gaya hidup atau selera, praktik-praktik dan hasil karya yang

memposisikan habitus-nya dan sekaligus menjadi pembeda perilaku

dan gaya dari suatu masyarakat. Dalam masyarakat Jawa (termasuk

masyarakat Kudus) memiliki karakteritik budaya yang khas sesuai

dengan kondisi masyarakatnya. Masyarakat Kudus memiliki pola

akulturasi antara budaya Jawa dengan budaya Islam yang merupakan

ciri khas budaya Kudus. Menurut Prabowo (2003:24), budaya secara

garis besar dibagi menjadi dua, yaitu: budaya lahir dan budaya batin.

Budaya lahir terkait dengan kedudukan seseorang sebagai mahkluk

individu dan mahkluk sosial. Sebaliknya budaya batin terkait dengan

persoalan-persoalan yang bersifat transendental atau hal-hal yang tidak

dapat dijangkau berdasarkan perhitungan empiris atau objektif, tetapi

menduduki posisi yang penting dalam sistem kehidupan masyarakat

Jawa. Pengakuan orang Jawa terhadap Tuhan Sang Pencipta dapat

diketahui dari berbagai ungkapan-ungkapan yang mengacu pada

ketergantungan manusia kepada Tuhan.

Menurut Koentjaraningrat (1982), budaya batin masyarakat

Jawa (termasuk masyarakat Kudus) dapat dimasukkan pada sistem

religi atau keagamaan Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini

terkristalisasi dalam perilaku berdagang masyarakat Kudus, ketika

memulai untuk melakukan aktivitas dagang/bisnis para orang tua

mengingatkan Gusti ora sare, Tuhan tidak tidur. Ungkapan ini

memiliki makna bahwa kita harus memulai aktivitas baik itu

berdagang atau aktivitas yang lain dengan memohon apa yang kita

inginkan kepada Tuhan. Tuhan selalu mengawasi sehingga manusia

harus memikirkan apakah tindakan yang dilakukannya berpengaruh

baik atau buruk, baik bagi dirinya maupun orang lain.

Keyakinan dan sikap budaya Jawa, termasuk masyarakat Kudus

sangat kental dengan keyakinan tentang asal mula kehidupan yang

Page 24: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

226

disebut sebagai sangkan atau “asal atau kelahiran‟” dan paran (tujuan

hidup). Disamping memiliki sikap perilaku yang sangat kental dengan

keyakinan yang dianutnya, orang Jawa (termasuk masyarakat Kudus)

juga memiliki etos kerja yang kuat dan disiplin tinggi. Etos kerja ini

diajarkan pertama kali oleh para orang tua kepada anaknya ketika

mereka sudah berumur akil baligh. Nilai-nilai yang ditanamkan orang

tua secara terus-menerus kepada anaknya terkait dengan kewajiban

dalam mencari kehidupan (memenuhi kebutuhan sehari-hari). Orang

tua terus mendorong anaknya dengan memberikan nilai-nilai yang arif

serta memberikan contoh.

Prabowo (2003), mengemukakan kata-kata arif yang sering

diucapkan oleh orang tua kepada anaknya agar mau bekerja, misal ana dina ana upo, artinya ada hari pasti ada rejeki; ajo sanggo tangan

artinya “jangan berpangku tangan”; obah mamah, untuk lebih

lengkapnya dalam sebuah nasehat sing sopo gelem obah bakal mamah,

artinya siapa yang mau berusaha (bekerja) pasti akan makan. Ketika

akan memulai melakukan aktivitas bisnis para orang tua mengingatkan

Gusti ora sare/ Tuhan tidak tidur. Ungkapan ini memiliki makna

bahwa kita harus memulai aktivitas dengan memohon apa yang kita

inginkan dan Tuhan selalu mengawasi sehingga manusia harus

memikirkan apakah tindakan yang dilakukannya berpengaruh baik

atau buruk, baik bagi dirinya maupun orang lain.

Demikian pula nilai-nilai keagamaan diberikan orang tua

kepada anak-anaknya sejak kecil, misalnya anak-anak disamping

mengikuti belajar di sekolah formal (SD, SMP, SMA) tetapi setiap sore

diwajibkan mengikuti kegiatan keagamaan melalui pengajian yang

diselengarakan di masjid atau Taman Baca Al Qur‟an. Demikian pula

bagi orang dewasa atau orang tua dalam masyarakat Kudus melakukan

kegiatan keagamaan Islam seperti pengajian, sholat berjamaah di

masjid, ziarah kubur, khaul, manaqiban, burdahan, terbangan dan lain-

lain merupakan ciri khas masyarakat Kudus dalam meningkatkan

internalisasi kehidupan keagamaanya yang dilakukan pada hari Selasa

kliwon, malam Jumat, atau hari Jumat siang maupun hari-hari lain,

sehingga bisa dikatakan, di Kudus setiap hari pasti ada kegiatan

Page 25: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

227

keagamaan (Islam). Hal ini seperti diungkapkan informan kunci Ibu

Hj. Sri Murni‟ah:

“Menawi dinten Jum‟at karyawan bordir libur lan kawulo ginakaen derek kegiatan pengajian dateng Masjid”. Artinya:

kalau hari jum‟at karyawan bordir libur dan saya gunakan

untuk mengikuti pengajian di Masjid.

Sedangkan informan Ibu Mirah mengungkapkan kebiasaan

melakukan usaha yang agak berbeda kepada peneliti:

“menawi dinten jum‟at wonten 2 karyawan ingkang tetap bekerja lan nyuwun libur ipun dinten minggu, ya kawulo manut kemawon, ingkang baku damelanipun rampung, sanesipun karyawan menawi Jum‟at nyuwun libur lan dinten minggu mlebet nyambut damel”. Artinya: kalau hari jum‟at ada 2 karyawan yang tetap bekerja dan minta liburnya hari minggu, ya saya ikuti saja, yang penting pekerjaan selesai, karyawan lainnya kalau hari Jum‟at minta libur lan hari minggu masuk kerja.

Kemudian informan kunci Bapak H.Moch Anshor menjelaskan

kepada peneliti sebagai berikuti:

“kalau hari Jum‟at saya tidak melakukan kegiatan pengiriman barang atau membeli bahan baku dan kegiatan membuat bordir berhenti karena karyawan libur dan saya gunakan untuk melakukan servis mesin, mendisain rancangan bordir dan melakukan sholat Jum‟at serta mengikuti pengajian”.

Berdasarkan ketiga informan tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa, pada Hari Jumat umumnya para pengusaha bordir di Desa

Padurenan Kecaamatan Gebog-Kabupaten Kudus kegiatan usaha bordir

libur, kalau toh ada yang tetap membuka usaha, namun baik waktu dan

volume pekerjaan dikurangi tidak seperti hari-hari biasa. Pada hari

Jumat banyak dilakukan kegiatan keagamaan yaitu sholat Jum‟at dan

pengajian-pengajian di masjid atau yang diselenggarakan keluarga

dengan mengundang para kyai atau ustad.

Page 26: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

228

Nilai-nilai Gus-ji-gang dalam kehidupan sehari-hari sudah

meresap dalam diri masyarakat Kudus, termasuk para pengusaha

bordir. Hal ini dapat dilihat dari pola berpikir, perbuatan, tindakan

baik dalam kehidupan sosial maupun bisnis/dagang, sehingga adanya

sinergi antara kehidupan dunia dan akhirat di masyarakat Kudus.

Rutinitas kegiatan keagamaan (Islam) demikian kuatnya dalam

kehidupan masyarakat Kudus untuk menjaga keseimbangan dua

kehidupan (sosial dan ekonomi) sehingga mengkristal dalam diri

masyarakat Kudus.

Perilaku “gus” artinya beraklak baik atau berperilaku bagus dan

”ji” artinya pintar mengaji, telah mendasari internalisasi perilaku

pengusaha bordir yang sering ditunjukkan dengan ungkapan paring panglilane Gusti artinya pemberian sesuai dengan kerelaan Tuhan.

Dan masyarakat Kudus masih berpegang pada prinsip hidup sak titahe

dan etika “sak titahe” akan menjadi pegangan hidup dan guidance value bagi masyarakat Kudus dalam mengarungi kehidupanya,

terutama dalam menjalankan usahanya.

Menurut Abdul Jalil (2013), etika “sak titahe” kalau dicari

padananya lebih mendekati konsep tawakal dalam Islam dan

masyarakat Kudus mampu menginternalisasi konsep tawakal dalam

Islam ke dalam etika ”sak titahe”. Hal ini seperti yang diungkapkan

oleh informan kunci Ibu Hj Sri Murni‟ah dan Bapak H.Moch Anshori

yang pada dasarnya hampir sama. Ibu Hj Sri Murni‟ah mengatakan:

“sak wanci dinten pas sepi namun pikantuk penghasilan namun cekap kagem bayar borongan bordir, injih kedah bersyukur alhamdulilah, namun pas rame injih pikantuk penghasilan cukup kagem tumbas bahan, bayar karyawan lan tasih wonten sisanipun kagem kebetahan sedinten-dinten, injih tetap disyukuri”. Artinya: Sewaktu hari pas sepi hanya mendapat penghasilan cukup kagem bayar borongan bordir, ya harus bersyukur Alhamdulilah, namun pas rame, ya mendapat penghasilan cukup buat beli bahan, bayar karyawan dan masih ada sisanya buat kebutuhan sehari-hari, ya tetap harus disyukuri.

Page 27: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

229

Sedangkan Bapak H.Moch Anshori menuturkan kepada peneliti

sebagai berikut:

“tetapi saya tetap sabar karena rejeki sudah diatur Yang Maha Kuasa dan Alhamdulilah karena pelanggan saya sangat banyak, ya lumayan lah penghasilannya bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari”.

Bagi masyarakat Jawa (termasuk masyarakat Kudus), mencari

kerelaan Tuhan menjadi tujuan utama untuk mendapat rejeki yang

berkah. Sebagai konsekuensinya akan menyisihkan sebagian rejeki

yang telah diterimannya untuk diberikan kepada yang berhak. Ada dua

bentuk balasan kebaikan yang diharapkan yang sesuai dengan ajaran

agama Islam yaitu: Pertama, kebaikan yang dengan cepat/segera akan

mendapat balasan dengan kebaikan. Kedua, kebaikan yang mendapat

balasan dalam jangka waktu yang lama, yang diibaratkan dengan

nandur pari jero. Menanam kebaikan kepada seseorang yang tidak

mampu membalas kebaikan itu dipandang sebagai nandur pari jero (menanam padi yang dalam), dan berkeyakinan bahwa akan

memperoleh kenikmatan bagi anak dan cucunya.

Demikian pula “gus” dan “ji” telah mampu memperkuat

kehidupan internal komunitas pengusaha bordir di Kudus dalam

melakukan kegiatan dagang, seperti yang sering diungkapkan para

informan sebagai sikap rendah hati yaitu tuna satak bathi sanak dalam

pergaulan komunitas pengusaha bordir. Artinya bila mendapat rugi

uang tidak apa-apa, asal mendapat untung saudara. Menurut Suratno

dan Astiyanto (2009), Bathi sanak artinya tambah sedulur (tambah

saudara; yang berarti tambah juga pelanggan). Demikian pula pendapat

Marbangun (1995) yang menjelaskan bahwa, manusia Jawa merupakan

sosok yang dapat menerima kondisi atau nasib yang terjadi dalam

hidupnya dengan dilandasi rasa percaya pada kemurahan Tuhan

sehingga segala sesuatu diterima dengan jiwa narima ing pandum tetapi

bukan tindakan fatalis.

Hal ini menunjukkan bahwa kebahagiaan pengusaha bordir

dalam bertransaksi dagang tidak selalu diukur dengan keuntungan

berupa uang, karena mendapatkan saudara atau rekanan berarti

Page 28: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

230

menambah jejaring atau pelanggan, yang dalam berusaha dihitung

sebagai keuntungan (laba). Oleh karena itu, seorang pengusaha bordir

rela menjual barang dagangannya dengan harga sedikit lebih rendah

dari penawarannya demi menjaga dan menjalin hubungan dengan

orang lain, yakni pembeli. Bagi orang Jawa (termasuk orang Kudus)

harta benda bukanlah segala-galanya dan ukuran kekayaan seseorang

tidak selalu ditentukan oleh banyaknya harta yang dimiliki. Pelanggan

merupakan aset potensial yang menghasilkan keuntungan dalam

jangka panjang dan pelanggan keberadaannya tidak berada di luar

melainkan manunggal dengan kekayaan. Sehingga pengusaha bordir

pada suatu saat mendapatkan kerugian atau tuna satak dianggap tidak

berarti apa-apa jika kekayaan yang berupa sanak “pelanggan” terus

bertambah.

Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

Berinteraksi dengan Tenaga Kerja

Berdasarkan data empiris di lapangan, komunitas IKBK bordir

di Kabupaten Kudus sebagian besar dilakukan di rumah sebagai tempat

usaha (bengkel) dan dikelola oleh suatu keluarga, dimana suami atau

isteri sebagai pemilik usaha dibantu dengan anggota keluarga yang lain

seperti isteri atau suami, anak, menantu sehingga pembagian area

publik (produktif) dan domestik (reproduktif) menjadi tidak jelas

secara fisik, usaha bukan lagi milik seseorang tetapi milik bersama dan

tidak jelas siapa juragan (suami atau isteri), tidak ada perjanjian dan

kontrak karena semuanya berlangsung karena saling menjaga

kepercayaan, saling memahami, saling membantu, dan sebagai social capital. Bourdieu (dalam Richard Jenkins, 2013) mengatakan bahwa, capital tidak selalu bermakna ekonomi tetapi capital juga bisa

bermakna sosial, budaya, politik, dan simbolik yang dapat

menghasilkan bukan hanya barang atau uang tetapi makna dan simbol.

Pekerja usaha bordir pada umumnya berasal dari lingkungan

keluarga inti (anak, saudara, menantu) maupun keluarga luar (tetangga

rumah dan tetangga desa) yang tidak mempunyai ikatan kerja formal

Page 29: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

231

dengan pengusaha, sehingga hubungan kerja di antara mereka secara

informal. Keterlibatan pekerja saling bekerja sama membantu dan

saling percaya dalam pengelolaan dan proses produksi bordir sampai

pemasarannya dan para pekerja tersebut juga berperan dalam

mendukung perekonomian keluarga, keterlibatan keluarga sebagai

pekerja mendapat upah harian atau borongan dengan kesepakatan

(majikan dan pekerja) sebelumnya dan kondisi pekerja didominasi oleh

perempuan. Para pekerja sebagian melakukan aktivitas mengerjakan

produksi bordir di rumah/bengkel pengusaha bordir dan sebagian lagi

pekerja membawa pulang bahan-bahan bordir dari majikannya dan

mengerjakan aktivitas bordir di rumah masing-masing, ini yang sering

disebut sebagai tenaga kerja rumahan (home-woker)47.

Meskipun tenaga kerja bordir sebagain besar perempuan dan

dalam mengerjakan pekerjaan bordir di bawa pulang atau dikerjakan di

rumahnya tetapi tetap dalam kendali dan pengawasan pengusaha baik

itu dalam menentukan desain, penentuan kombinasi warna benang,

penentuan jenis dan warna kain dan akan dibayar dalam satuan

tertentu (pieces) yaitu borongan atau harian.

Hubungan pekerja dengan majikan (penguaha) dapat dilihat

sebagai hubungan kekuasaan dan pertukaran yang oleh Marx (2004)

disebut sebagai hubungan eksploitatif karena majikan membayar

pekerja hanya untuk kekuatan bekerjanya tanpa membayar untuk

pengeluaran sesungguhnya atas energi dan inteligensi manusia yang

diambil dan ditransfer menjadi komoditi yang dihasilkan mereka.

Namun karena antara pekerja dan pengusaha sama-sama memiliki

hubungan kekeluargaan yang baik dan hangat, serta menjaga

kepercayaan masing-masing, maka pekerja tidak merasa dirinya

dieksploitasi karena mereka mendapat gaji yang sudah disepakati, dan

masih bisa melakukan kegiatan rumah tangganya seperti mengantar

anak sekolah, belanja, memasak untuk keluarga tetapi yang penting

kesepakatan selesainya pekerjaan bordir serta kualitas bordir yang

diharapkan pengusaha (pemberi order). Hal ini terungkap dalam

wawancara dengan informan kunci Bp. H. Moch Anshori48 sebagai

berikut:

Page 30: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

232

“para pekerja, saya beri kebebasan mau mengerjakan di bengkel atau di rumahnya, yang penting pekerjaan selesai tepat waktu, dan sudah disepakati pula dengan desain, kombinasi warna benang tertentu karena secara teknik membordir para pekerja sudah profesional, dan untuk tetap menjaga kualitas tetap saya kontrol dengan mendatangi di rumah para pekerja setiap sore hari (setelah sholat dhuhur) dan harga pekerjaan bordir sudah disepakati bersama, biasanya kalau dikerjakan di rumah pekerja dengan borongan sedangkan kalau dikerjakan di bengkel (rumah pengusaha) dengan harian, yang terpenting antara pengusaha dan pekerja menjaga kejujuran dan norma-norma yang berlaku, rata-rata pekerja ikut bekerja dengan saya rata-rata di atas 5 tahun lebih.”

Dalam memenuhi kebutuhan karyawan bordir yang dihadapi

usaha bordir ”Fadillah” dirasa cukup memadai. Dalam wawancara

secara mendalam dengan Ibu Sri Murni‟ah49 terungkap sebagai berikut:

”jumlah karyawan sameniko sampun cekap lan kualitas ipun sampun sae, injih kawulo boten nambah karyawan, namun menawi wedal pesanan katah, kawulo nembe pados karyawan pocokan, sakmenika karyawan ingkang dateng griyo 2 tiyang lan karyawan ingkang dateng griyonipun kiambak-kiambak wonten 12 tiyang ngagem sistem borongan, hanya untuk administarasi anak kulo kiyambak” Artinya: Jumlah karyawan sekarang sudah mencukupi dan kualitas sudah baik, ya saya tidak menambah karyawan, tetapi kalau pesanan banyak baru mencari karyawan “pocokan”, sekarang jumlah karyawan 2 orang di rumah dan 12 orang karyawan di rumahnya masing-masing dengan sistem borongan dan kalau tenaga administrasi anak saya sendiri).

Dari karyawan yang dimiliki Ibu Hj. Sri Murni‟ah sudah ada

pembagian pekerjaan dari masing-masing karyawan, hal ini terungkap

dari hasil cuplikan wawancara sebagai berikut:

“sampun wonten pembagian tugas ingkang jelas kagem masing-masing karyawan, wonten ingkang mengerjakan bordir Juki kemawon, bordir manual “icik” dan wonten ingkang mesin computer lan boten sisah melatih amargi

Page 31: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

233

kawolu hanya menerima ingkang sampun saget bordir,sak lajengipun dipun latih kaliyan bekerja” Artinya: sudah ada pembagian tugas yang jelas buat masing-masing karyawan, ada yang hanya mengerjakan bordir mesin Juki, bordir manual “Icik” dan mengerjakan bordir komputer dan tidak melakukan pelatihan sebab saya hanya menerima yang sudah bisa bordir dan seterusnya dilatih sambil bekerja).

Sementara itu seorang informan lainnya, Ibu Mirah pemilik

usaha bordir ”La Mirah” menyampaikan sebagai berikut:

”pembagian tugas pekerjaan boten rumit, namun tugas-tugas membordir engkang kawolu tekanaken kaliyan karyawan cekap sae lan boten ribet”. Artinya: di usaha bordir “la Mirah” pembagian tugas pekerjaan tidak rumit, namun tugas-tugas membordir yang saya tekankan bagi karyawan cukup baik dan tidak rumit.

Pada umumnya para pengusaha memberikan bonus atau hadiah

kepada para karyawannya apabila bisa bekerja sesuai target dangan

kualitas yang diharapkan komunitas pengusaha IKBK bordir, hal ini

bisa terungkap dari wawancara informan kunci maupun informan yang

lain. Seperti yang disampaikan Ibu Hj.Sri Muni‟ah dalam cuplikan

wawancara sebagai berikut:

“Kawulo ngaturi penghargaan kagem karyawan berupa uang menawi karyawan saget damel bordir ingkang sae sesuai kaliyan ingkang kawulo kersakake, sampun sami disain ipun dan reginipun sae” Artinya: Saya memberi penghargaan buat karyawan berupa uang kalau karyawan bisa membuat bordir baik sesuai dengan yang saya harapkan, sama dengan disain dan harganya baik).

Demikian pula informan Bapak Nur Syafiq50 menyatakan:

”kami memberi bonus berupa uang dan memberikan kebebasan karyawan sebagai usaha mempertahankan karyawan agar tidak pindah ke tempat lain”.

Page 32: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

234

Karyawan pada umumnya baik yang bekerja di rumah

pengusaha maupun yang mengerjakan di rumah pekerja sendiri,

memiliki hubungan informal yang sangat baik, tanpa ditandai dengan

kontrak kerja secara tertulis, hanya dengan perjanjian lisan dengan

didasarkan saling percaya, hal ini disampaikan oleh para informan yang

dijumpai dan diwawancarai peneliti. Seperti Ibu Hj.Sri Murni‟ah yang

mengungkapkan sebagai berikut:

“pekerja bordir ingkang nyambut damel dateng mriki puniko, katah ipun injih tetanggi dusun mriki kemawon, amargi sampun kados sederek injih menawi ijin wonten kebatahan sanes ipun injih monggo, contonipun dipun sambi methuk lare sekolah, belanjo dateng peken, namun ingkang penting damelanipun bordir rampung sesuai kaliyan wedal ingkang sampun kawulo tenthok-aken, disain ingkang kawulo tenthok-aken” Artinya: pekerja bordir yang bekerja di sini, kebanyakkan tetangga di sini saja, karena sudah seperti saudara sendiri sehingga kalau ada keperluan lain, ya silahkan contohnya menjemput anak sekolah, belanja di pasar), namun yang penting pekerjaan bordir selesai tepat waktu sesuai dengan disain yang telah ditentukan).

Demikian juga informan Bapak H.Hasan51 menyampaikan

kepada peneliti sebagai berikut:

“Untuk mendapatkan pekerja bagi saya sangat mudah, yang penting mereka sudah bisa menjahit, tinggal saya latih mengkombninasikan benang dan warna kain dasarnya, itu sudah kami gambarkan desainnya, dan hubungan saya dengan karyawan tidak formal, karena semua perjanjian kerja secara lesan, hanya saling percaya dan saling menguntungkan, dan saya lakukan secara fleksibel saja, yang penting hasil bordir sesuai yang saya kehendaki yaitu sesuai desain yang saya inginkan dan rata-rata mendapat upah dengan sistem borongan kalau gaji dibayar harian tanpa makan siang mendapatkan Rp.60.000, per hari”.

Mendapat rejeki yang cukup banyak mendatangkan untung

maka, kegemberiaan atas keuntungan itu diwujudkan melalui

bersyukur dengan cara, menyisihkan keuntungan tersebut

Page 33: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

235

disimpan/ditabung untuk merencanakan ibadah umroh. Hal itu

disampaikan Hj.Sri Murniah saat diwawancarai sebagai berikut:

”menawi pikantuk untung radi katah, kawulo sisihkan dipun tabung kangge rencana bade kesah ngilen “umroh” (menawi pikantuk untung cukup banyak, saya sisihkan di tabung buat pergi ke Barat untuk ”umroh”). Namun jika mendapatkan rejeki sedikit, ya harus disyukuri pula, tentunya tidak menyisihkan untuk ditabung dan tidak mengurangi untuk kulakan bahan-bahan bordir, bahaya. Nah, ini harus sesuai dengan pemasukkan dan pengeluarannya.

Jadi ukuran keuntungan, atau kinerja yang baik bagi Hj.Sri

Murni‟ah adalah ketika sekurang-kurangnya dapat menyediakan

alokasi dana untuk arisan dan mengangsur kredit pinjaman. Seperti

ucapnya ”Tasih saget kagem bayar arisan, lan bayar utang kreditan”

(masih dapat buat bayar arisan, dan bayar utang kreditan).

Bagi pengusaha bordir yang penting mendapatkan keuntungan

akan mendorong pengusaha tetap berproduksi bordir untuk memenuhi

pesanan dan menjual langsung kepada konsumen, meskipun penjualan

langsung maupun pesanan bordir sangat dipengaruhi oleh faktor

musim (dalam konteks budaya) yang secara umum dialami semua

pengusaha bordir, misalnya sebelum bulan puasa Ramadhan dan hari

raya Idhul Fitri, pesanan dan omzet penjualan bordir meningkat. Hal

ini sesuai dengan yang diungkapkan Ibu Hj.Sri Murni‟ah sebagai

berikut:

”Biasanipun wedal bade wulan pusasa Rhomadon, bisaanipun katah pelanggan ingkang pesan bordir baju Muslim, jilbab, baju Koko dengan motif bordir lan kain-kain motif bordir kagem kabayak” Artinya: Biasanya setiap waktu menjelang bulan puasa Rhamadan, biasanya banyak pelanggan yang pesan baju muslim, jilbab, baju koko dengan motif bordir dan kain-kain motif bordir untuk kebaya).

Demikian pula Ibu Nurul Hikmah52 menjelaskan kepada

peneliti bahwa:

Page 34: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

236

“Setiap musim orang punya hajat, souvenir menikahkan putra-putrinya, atau mendekati hari besar keagamaan banyak pesanan baik konsumen maupun pemilik toko yang memesan souvenir dompet, tutup gelas, tempat tisu,taplak meja dll, ya lumayan omzetnya”.

Konsep keuntungan bagi para pengusaha bordir cukup

sederhana, kadang-kadang tidak diperhitungkan oleh berbagai

komponen yang selalu dianggap biaya. Keuntungan adalah saldo selisih

antara harga jual yang yang telah dikurangi harga pokok barang,

namun dalam kisaran tidak lebih dari 15%. Pedagang tidak menafikan

untuk mendapatkan keuntungan yang banyak sehingga keluarga

sejahtera, namun pada umumnya komunitas pengusaha bordir setiap

usaha selalu dikaitkan dengan motif untuk ibadah seperti zakat, sedekah, infak maupun kegiatan sosial dilakukan secara rutin. Jadi

tidak semata-mata mencari keuntungan yang besar dan melupakan

ibadah. Indikator dan bukti secara empiris cukup banyak ditemukan,

diantaranya setiap hari Jumat pengusaha bordir menutup usahanya

atau dibuka lagi setelah lewat sholat Jumat, memberikan zakat,

sedekah meskipun permintaan bordir sepi, seperti yang diucapkan oleh

Ibu Islahiyah53 bahwa:

“Kulo, nek sepi pesanan bordir boten tentu, kadang-kadang wulan Pebruari ngatos Maret, namun sakwedal ipun bede romadhon lan dinten Riyadi injih radi rame, ningali rejekine teka Pangeran (Allah SWT), menawi nembe kesel nggih istirahat, nek rame nggih remen sanget, ngantos garapipun lembur-lembur injih tetap amal ngaturi shodakoh, zakat utawi infak injih tetap”. Artinya: kalau sepi pesanan bordir tidak tentu, kadang-kadang bulan Februari sampai April, namun sewaktu mendekati bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri ya cukup ramai, ya seneng sekali, melihar rejekinya datang dari Allah SWT, kalau baru capek ya istirahat, kalau rame ya senang sekali sampai mengerjakan lembur-lembur ya tetap beramal memberikan zakat, sedekah atau infak”.

Keberlanjutan usaha bordir dibangun dan dipelihara melalui

pengembangan disain dan corak kombinasi warna benang yang

Page 35: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

237

menarik serta memiliki keunikan tersendiri. Jadi minat untuk

mengembangkan bordir di kalangan pengusaha bordir sangat tinggi

dan bukan atas dasar permintaan pangsa pasar yang dominan

diperlukan oleh banyak konsumen, dan bukan atas harga yang

menarik, tetapi ada keinginan untuk melestarikan dan menguri-uri bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog yang sudah merupakan

warisan para orang tua, sehingga masih bertahan sampai sekarang.

Usaha bordir yang dikembangkan keluarga, tidak hanya sekedar space

tempat melakukan kegiatan bisnis tetapi sebagai tempat dalam

menimba ilmu memproduksi bordir dan menjualnya kepada

konsumen, sehingga sebagai praktik nyata (learning by doing and natural education) orang tua kepada anak-anaknya dalam menjalani

etika berdagang, memelihara dan menepati janji pembayaran, menjaga

kualitas barang, menjalin kerja sama, memberikan pelayanan yang

memuaskan kepada pelanggannya. Hal ini seperti yang diungkapkan

Bapak H.Maskan54, suami dari Ibu Hj. Sri Murni‟ah:

“Sebenarnya saya bukanlah yang menjalankan usaha ini tetapi isteri saya dan anak-anak. Saya hanyalah sebagai pendukung atau memberi masukan kepada isteri dan anak-anak saya dalam menjalankan usaha bordir. Isteri saya punya bakat dagang dari orang tuanya. Waktu masih sekolah isteri saya sudah rajin menabung, terus selalu membantu orang tuanya memproduksi bordir dan menjualnya ke pasar atau ke pengecer. Dari pengalaman itulah setelah menikah dengan isteri saya, isteri saya mencoba mulai membuka usaha sendiri sampai sekarang dan cukup berhasil…ya otodidak ya ilmu katon saja (ilmu dari melihat/mengamati saja)……”

Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

Berinteraksi dengan Konsumen

Perilaku konsumen dalam berkonsumsi, diasumsikan bahwa

seseorang konsumen merupakan sosok yang cerdas dan rasional. Dalam

artian, konsumen tersebut mengetahui secara detail tentang income

dan kebutuhan yang ada dalam hidupnya serta pengetahuan tentang

jenis, karakteristik, dan keistimewaan komoditas yang ada. Rasionalitas

Page 36: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

238

konsumen selalu mengalami perubahan dan berkembang, pada zaman

modern ini selalu mengarah pada peningkatan efisiensi, menggunakan

teknologi yang bisa memberi kemudahan, terutama dalam penggunaan

sumber daya manusia ke arah sumber daya non manusia.

Perilaku seorang komsumen terkadang dipengaruhi oleh

lingkungan sosial, budaya, politik dan ekonomi dalam menentukan

komoditas dan jasa yang harus dikonsumsi. Bahkan sekarang ini, sering

ditemukan seorang konsumen yang mengkonsumsi atau membeli

produk baru tetapi tidak dilandasi oleh pengetahuan tentang komoditas

tersebut, tetapi didasarkan karena pengaruh advertensi (iklan) yang

dapat mempengaruhi dan membuat image baru tentang sebuah produk.

Sesungguhnya antara kepentingan produsen sebagai penjual

bordir dengan konsumen adalah sama-sama ingin mendapatkan

manfaat maksimal, bagi produsen menjual bordir ingin mendapatkan

keuntungan sebesar-besarnya melaui omzet penjualan yang besar,

sedangkan konsumen ingin memperoleh kepuasan maksimal dengan

harga yang terjangkau. Sistem harga luncur, disertai dengan tawar-

menawar antara produsen dan konsumen yang ramai dan kadang-

kadang agresif menjadi ciri sistem harga luncur dalam situasi

penetapan harga yang tidak pasti. Tawar-menawar yang tidak selesai-

selesai dalam menentukan harga merupakan refleksi dari kenyataan

tidak adanya pembukuan yang baik dan perhitungan anggaran serta

biaya jangka panjang itu telah menimbulkan kesulitan, baik bagi

pembeli maupun penjual dalam menentukan harga yang “pantas”.

Produsen bordir akan menjual dalam memaksimalkan

keuntungan dengan mengambil margin harga tinggi dan mendapatkan

harga jual dengan tawar-menawar. Ketika tawar-menawar berlarut-

larut, maka sering kali hasilnya justru cenderung berupa kegagalan,

konsumen tidak jadi membeli. Oleh karena itu banyak produsen

menjual bordir dengan tidak memaksakan margin harga yang besar dan

keuntungan yang dicanangkan bersifat lentur atau elastis.

Bagi komunitas pengusaha bordir yang semakin meningkat

omzet produksi bordir dan jualnya, itu sebagai petanda semakin kuat

Page 37: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

239

kapasitas interpersonal kepercayaanya sebagai hasil dari kepercayaan

produk bordir kepada konsumen atau pelanggannya, baik personal

maupun pedagang eceran tidak terbatas pada Kota Kudus, tetapi bisa

berbagai kota yaitu Pekalongan, Surakarta, Malang bahkan Denpasar

(Bali). Demikian pula kepercayaan dari para pemasok bahan baku juga

semakin tinggi dikarenakan pengusaha bordir tersebut menjaga

kepercayaan tepat waktu melunasi bahan baku yang dibelinya, bahkan

sering digunakan caranyaur ngamek. Hal itu karena pengusaha bordir

tersebut telah mendapat semacam sertifikat “kepercayaan sosial” (social credentials) sehingga sebagai pedagang memiliki aksesibilitas peluang

sumber daya usaha lebih besar.

Menunjuk pada informan kunci Ibu Hj.Sri Murni‟ah pemilik

usaha bordir “Fadillah Embroidery” tanpa dibuat-buat, apa adanya dan

jauh daripada kesan hyperbolik, menunjukkan sikap kejujuran,

perilaku sabar, tata cara komunikasi bagus dan memelihara

kepercayaan sebagai modal usaha yang amat menentukan

berlangsungnya usaha.

Berdagang adalah interaksi antara penjual (produsen) dan

pembeli, oleh karena itu membangun kerja sama serta menjalin

komunikasi dilakukan dengan baik. Bila sudah ada kecocokan dengan

pembeli, karena telah mengenal dengan baik melalui jual beli berulang

kali, terjalinnya hubungan baik maka hubungan antara penjual

(produsen bordir) dengan pembeli yang sudah menjadi pelanggan. Cara

berkomunikasi, berinteraksi dan selalu menjaga kejujuran dengan

pembeli merupakan kekuatan modal berjualan yang dimiliki produsen

bordir, dan hubungan yang baik itu jika dipelihara sebagai norma atau

nilai-nilai yang disepakatinya. Cara yang dilakukan Ibu Hj.Sri

Murni‟ah selalu membuat terkesan bagi siapa pun yang pernah

berbelanja di rumahnya:

“Dagang meniko kedah sumeh, disiplin. Sumeh meniko ingkang dipun padosi tiyang, boten pikantuk cepet nesu menawi dipun tawar dagangan kanti murah” Artinya:

Page 38: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

240

Dagang itu harus sumeh, disipin. Sumeh itu yang dicari orang, tidak boleh marah-marah kalau dagangan ditawar murah).

Untuk melihat dan mendalami pengusaha IKBK bordir di

tempat penelitian yang dipilih, peneliti menetapkan beberapa

informan kunci, salah satunya ibu Hj.Sri Murni‟ah pemilik usaha

bordir “Fadillah”, asal mulanya merupakan usaha dari orang tuanya

(warisan) yang kemudian dikembangkan dan diberi nama usaha

“Fadillah”. Pemilik usaha “Fadillah” sangat sederhana dan tidak

mengesankan bila diperhatikan cara pandang tentang betapa

pentingnya suatu modal financial, demikian pula tidak pernah

mendapat pendidikan formal yang mengajarkan teori tentang norma

dan nilai berdagang, jaringan usaha, kepercayaan, hubungan timbal

balik sebagai model usaha. Namun berdasarkan pengalaman selama

mengikuti dan membantu orang tua dalam berbisnis bordir ternyata

menjadikan proses pembelajaran, sehingga mampu mengemukakan

pandangannya tentang bisnis bordir, tanpa dibuat-buat, apa adanya

yang menunjukan nilai kejujuran, mampu memelihara kepercayaan,

perilaku sabar, tata cara komunikasi baik, berhubungan timbal balik

dengan sesama baik sebagai modal usaha yang amat menentukan

kelangsungan usaha bordir. Sebagaimana yang diungkapan Ibu Hj.Sri

Murni‟ah55 kepada peneliti sebagai berikut:

“kejujuran lan kesabaran kuncinipun kawolu padhos pedagang kain lan batik besar dateng peken Kliwon-Kudus dan Peken Klewer Surakarta supados purun tumbas hasil produksi bordir kawulo. Alhamdulilah, wonten pengusaha pemilik toko batik lan konveksi “Toko Sinar Jaya” keturunan Cina purun tumbas ‟kulakan‟ produksi bordir kawulo lan ngantos sakmeniko dodhos jujugan menawi kentun bordir, lan pembayaranipun injih lancar. Amargi rembagan engkang sae lan kejujuran ingkang kawulo jagi ngantos sakmeniko kawulo tasih dipun pitados kaliyan pemilik Toko Sinar Jaya peken Klewer-Surakarta, ugi katah pedagang kain peken Kliwon Kudus injih katah ingkang pesen bordir kawulo, injih Alhamdulilah dipun pitados tiyang ya kedhah dipun jagi”. Artinya:

Page 39: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

241

kejujuran dan kesabaran, kuncinya saya mencari pedagang kain dan batik besar di Pasar Kliwon Kudus dan Pasar Klewer Surakarta supaya mau membeli hasil produksi bordir saya. Alhamdulilah, ada pengusaha pemilik toko batik dan konveksi “Toko Sinar Jaya” keturunan Cina mau beli ”kulakan” produksi bordir saya dan sampai sekarang menjadi tujuan mengirim bordir, dan pembayaran ya lancar. Sebab komunikasi yang baik dan kejujuran yang selalu dijaga, sampai sekarang masih dipercaya dengan pemilik Toko Sinar Jaya di pasar Klewer Surakarta, demikian juga banyak pedagang kain pasar Kliwon Kudus, ya banyak yang pesan bordir saya, ya Alhamdulillah dipercaya orang ya harus dijaga).

Kejujuran harus menjadi dasar pengusaha bordir, bila dirinya

berharap usahanya akan tetap berkelanjutan. Temuan fenomena nilai

kejujuran dalam berdagang bagi pengusaha bordir juga diperoleh dari

ungkapan Bapak H.Moch Anshori56 ketika menuturkan informasi

tentang tawar-menawar dengan konsumennya:

“saat menawarkan hasil produk bordir kadang-kadang ada pengusaha bordir yang mengatakan harga yang ditawar di bawah harga pokok padahal belum tentu benar, meskipun hanya sebagai pemanis kata saja itu tidak baik karena sudah berbohong sebab bila pembeli ternyata benar-benar mengetahui harga produksi bordir maka dapat kehilangan kepercayaan pembeli. Dan saya hanya mengatakan kepada pembeli kalau dibolehkan dinaikkan sedikit harganya, kita tidak bohong, ya seandainya pembeli menyetujui kita dapat untung sedikit, tetapi akan menambah pelanggan”

Bahkan waktu diadakan pameran produk inovatif yang

diadakan di Citraland-Semarang selama 3 hari, KSU Padurenan Jaya

bekerja sama dengan Bank Indonesia, Bank Jateng dan Dinas

Perindustrian Perdagangan dan UKM Kabupaten Kudus telah

mengirim pengusaha Bordir dari Kelurahan Padurenan-Kecamatan

Gebog, yang diwakilkan oleh antara lain Ibu Hj.Sri Muni‟ah, Ibu

Mirah, Ibu Islahiyah yang menjaga stand bordir dari hasil produksi

para pengusaha bordir di Desa Padurenan Kec.Gebog. Waktu Ibu Hj.

Sri Murni‟ah menjaga stand bazar pada sore hari, terungkap bagaimana

Page 40: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

242

cara Ibu Hj. Sri Murni‟ah dengan sumeh, ramah dan komunikatif

menyakinkan pengunjung yang berkeinginan membeli sebagai berikut:

“monggo-monggo mresani rumiyen, meniko wonten jilbab, bluse, baju koko, taplak ingkang dipun bordir utawi meniko tas,dompet, tempat tisu, tutup tatakan gelas utawi tutup air gallon semua wonten bordir ipun, dipun presani boten menopo-menopo” Artinya: mari-mari melihat dulu, ini ada jilbab, blouse, baju koko, taplak yang sudah dibordir, atau ada tas, dompet, tempat tisu, tatakan gelas atau tutup air gallon semua ada bordirnya, dilihat-lihat dulu tidak apa-apa.

Ketika ada seorang pembeli mengatakan:

“Bu disana jilbab ini hanya 25 ribu, lo bu…….

Ibu Hj.Sri Murni‟ah sambil melayani pembeli lain merespon

sebagai berikut:

“Masa sih? ya sudah beli yang lain, ini kembalikan, boleh tukar warna jilbab yang lain tidak apa-apa tetapi… tukar uang tidak boleh”.

Kejujuran, sabar dan telaten bagi pengusaha bordir itu harus

menjadi pegangan. Hal ini sering dilakukan para pengusaha bordir dari

Desa Padurenan Kecamatan Gebog–Kudus yang mengikuti bazar atau

pasar murah yang dikoordinir oleh KSU Padurenen Jasa yang bekerja

sama dengan BI atau Bank Jateng di kota Semarang atau kota-kota lain

di Jateng. Sewaktu secara bergantian menjaga stan bazar Ibu Hj.Sri

Murni‟ah tidak menawarkan barang bordir milik sendiri tetapi justru

produksi bordir titipan teman-teman yang ditawarkan dan laku terjual,

hal itupun disampaikan Ibu Hj.Sri Murni sebagai berikut:

“boten menopo-menopo, rejeki meniko saking Gusti Allah, sanajan kawulo jagi stand bordir kagungan rencang-rencang dititipkan wonten basar lan ingkang laku bordir kagungan rencang, injih kedah iklas lan jujur” Artinya: tidak apa-apa, rejeki saking Gusti Allah, jaga stand bordir milik teman-teman yang menitipkan di bazar ini, dan yang laku bordir kepunyaan kawan, ya harus iklas dan jujur)

Page 41: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

243

Menurut Ibu Hj.Sri Murni‟ah sebetulnya tawar menawar,

meskipun semua barang bordir yang dipajang itu sudah ada harganya,

tetapi kenyataannya tawar menawar sudah menjadi norma atau

kelaziman yang diterima dan sudah menjadi kebiasaan yang

berlangsung pada hubungan transaksi antar penjual dengan pembeli

sehingga mencapai keseimbangan, harga dan barang sudah disepakati

dan diterima antara pembeli dan penjual. Seperti yang disampaikan

oleh Ibu Hj.Sri Murni‟ah kepada peneliti sebagai berikut:

“Injih, kito kedah ngaturi pirso bilih barang bordir ingkang dipun wadhe meniko langkung mirah, kito paringi informasi ingkang leres mengenai bordir ingkang dipun dasaraken benten reginipun, wonten bordir “icik57”reginipun langkung awis, ketimbang bordir mesin Juki atawi mesin bordir computer, namun bisanipun kito sampun ngaturi perso sakderengipun menawi jenis bordir, lan kualitas bordir reginipun injih beda” Artinya: Kita harus memberikan informasi sebelumnya, bila bordir yang didasarkan itu beda harganya, bordir “icik” harganya lebih mahal, daripada bordir mesin Juki atau mesin bordir komputer, namun biasanya kita sudah memberitahukan sebelumnya kalau jenis bordir dan kualitas border harganya bisa berbeda).

Pengelolaan pemasaran biasanya dilakukan sendiri oleh

pengusaha bordir sendiri. Sedangkan pekerjaan membordir dilakukan

oleh karyawan yang datang dari desa di sekitarnya. Sebagian besar

tenaga kerja bekerja di rumah pekerja masing-masing dengan mesin

bordir yang mereka miliki, dan hanya sebagian kecil karyawan bekerja

membordir seharian di tempat majikannya. Majikan biasanya tidak

banyak ikut campur dengan cara kerja membordir, kecuali kontrol

pada hasil bordirannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Bapak

H.Moch Anshori58 seorang informan kunci lainnya sebagai berikut:

“Pemasaran hasil bordir kami lakukan sendiri, yang keliling ke pengepul atau ke toko-toko di Kudus, Magelang, Solo, Semarang atau Jepara, dan setiap 2 minggu sekali saya muter ke kota-kota tersebut untuk menyerahkan hasil bordir atau mengambil hasil penjualan dan keuntungannya ya yang

Page 42: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

244

penting dapat untuk usaha lagi dan dapat untuk makan se hari-hari karena “rejeki ini yang penting bukan jumlahnya, tetapi barokahnya, sehingga tidak perlu dihitung-hitung”.

Demikian pula informan Bapak Nur Syafiq59 dan Bapak

H.Hasan60 menyatakan dalam wawancaranya yang intinya hampir

sama bahwa:

“tidak bisa memperhitungkan hasil yang dicapai karena penghasilan itu terus diputar dan mengalami pasang surut terus-menerus, kadang untung banyak, tetapi keuntungan itu bisa habis untuk menutup kerugian yang telah dialami, tetapi kadang-kadang untung sedikit tetapi bisa menyisihkan untuk membeli barang-barang, begitu seterusnya dan perhitungan mereka hanya berdasarkan perkiraan sesuai dengan keuntungan normal”.

Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir dengan

Pemasok Bahan Baku

Kebutuhan bahan baku seperti berbagai corak kain, benang

jahit, benang bordir, benang bordir polos, kain keras, kancing hem,

kancing celana, bermacam-macam perlengkapan jahit lainnya

keberadaannya merupakan kunci keberhasilan pendukung bagi

seorang pengusaha bordir. Banyak toko di Kudus yang menyediakan

bahan baku tersebut antara lain toko Nufiya, toko Urip, toko Kita, toko

Novita, toko Tansur dan toko Salva, maupun KSU Padurenan Jaya yang

menyediakan kebutuhan bahan baku dan jasa bordir komputer dengan

kualitas dan harga yang bersaing.

Pada dasarnya para pengusaha bordir menyatakan cukup

mudah mencari bahan baku bordir dan hanya sebagian kecil yang

menyatakan mengalami kesulitan untuk bahan-bahan tertentu yang

akan digunakan untuk memproduksi bordir pesanan khusus. Hal ini

sesuai dengan apa yang diungkapkan informan Bapak. H. Hasan61

berikut ini:

“bahan baku diperoleh cukup mudah di Kota Kudus dan sekitar industri kecil bordir ini seperti KSU Padurenan Jaya”.

Page 43: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

245

Sementara informan Bapak H.Moch Anshori62 mengungkapkan

kepada peneliti bahwa:

“pengadaan bahan baku untuk keperluan produksi bordir cukup mudah, karena sudah ada penyuply tetap yang didatangkan dari Semarang dan Bandung secara rutin dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang bagus bahkan kadang pinjaman berupa bahan baku tertentu dengan dibayar kemudian dari penyuplay dilakukan 1(satu) bulan sekali” .

Sedangkan pengusaha bordir Ibu Islahiyah63 mengungkapkan

dalam wawancara dengan peneliti sebagai berikut:

“kalau ada pesanan khusus kami mencari bahan yang berkualitas dengan warna yang khusus dan kalau di Kudus tidak ada ya ke kota lain seperti di Semarang bahkan sampai ke Solo dan kami tidak ada toko langganan khusus dan setiap membeli berpindah-pindah hanya untuk mencari yang berkualitas baik dan kami melakukan pembelian pengadaan bahan baku dilakukan 10 hari sekali”.

Hampir semua informan pengusaha bordir mengatakan harga

bahan baku bordir masih cukup terjangkau. Seperti informasi dari

Bapak Nur Syafiq64 bahwa:

“harga bahan baku bordir relatif terjangkau dan jika ada kenaikan harga bahan baku, kami tinggal menyesuaikan dengan harga jual.”

Informan yang lain Ibu Hj.Sri Murni‟ah65 mengungkapkan

mengenai harga bahan baku sebagai berikut :

“menawi awis lan regi bahan baku tergantung kalian jenis,warna dan merk bahan baku, menawi reginipun bahan baku mindak, kawulo bade unggah aken regi wadenipun” Artinya: apabila mahal dan harga bahan baku tergantung jenis, warna dan merek bahan baku. Apabila harganya bahan baku naik, saya naikkan harga jual).

Bahkan untuk menyuply bahan baku bordir yang sering kami

terima dari toko-toko kadang-kadang kami menggunakan model

pembayaran dengan nyaur ngamek. Hal itu karena pemilik toko sudah

Page 44: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

246

memberikan kepercayaan pembayaran selalu tepat waktu. Pola

semacam ini bagi Ibu Hj. Sri Murni‟ah adalah komitmen untuk

memelihara kepercayaan, dan setiap saat diutarakan:

”bisnis meniko boten saget plin-plan” Artinya: (berbisnis itu tidak boleh ingkar janji).

Tidak semua toko penyedia bahan baku bordir menyediakan

pola pembayaran dan pengambilan bahan baku dengan nyaur ngamek- kecuali para pengusaha bordir secara tetap “ajeg” tepat waktu

membayar-melunasi utangnya. Bagi pengusaha industri bordir yang

tidak sanggup secara rutin membayar utangnya, maka agen pemasok

bahan baku atau toko penyedia bahan baku bordir tidak mau mengirim

ke pengusaha industri bordir atau bahan baku yang diberikan kepada

pengusaha industri bordir akan terbatas.

Pada saat ini, banyak toko yang sudah tidak memberikan

fasilitas nyaur ngamek seperti dulu, disebabkan ada pengusaha bordir

yang agak nakal yaitu sudah ngamek (utang) bahan baku sampai

seharga 2 juta rupiah dan tidak nyaur (melunasi) dengan semestinya,

yang kemudian membuat toko sebagai agen pemasok bahan baku tidak

dibolehkan ngamek lagi, kalau tidak dibayar kontan. Seperti yang

diungkapkan Ibu Mirah66:

“sakmeniko katah toko –toko bahan baku bordir boten saget ngagem coro “nyaur ngamek” malih lan menawi tumbas kedhah konstan” Artinya: sekarang banyak toko-toko bahan baku bordir tidak bisa dengan cara “nyaur ngamek” lagi dan kalau beli harus kontan).

Pemilik usaha bordir Bapak H.Noor Kholid67, pernah

mengalami situasi yang amat sangat memaksa yaitu pada saat kondisi

konsumen di pasar mengalami kelesuan sehingga target penjualan tidak

tercapai, maka pilihan terakhir yang dilakukan Bapak Noor Kholid

yaitu dengan semoyo yaitu janji untuk meminta penundaan pelunasan

pembayaran, didasarkan kejujuran atas kondisi pasar lesu dan bukan

Page 45: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

247

karena menyalahgunakan uang pembayaran kepada agen atau toko

bahan baku bordir. Seperti yang diungkapkan kepada peneliti:

“saya pernah terpaksa melakukan penundan pembayaran “semoyo” waktu ditagih membayar pembelian di salah satu toko bahan baku bordir minggu lalu, karena pada saat itu pas lagi sepi dan saya sangat membutuhkan bahan baku tersebut”.

Pengusaha industri kecil bordir dalam membangun jaringan

dengan pemasok bahan baku (supllier), dengan mengembangkan dan

menjaga norma atau nilai-nilai dalam mengatasi persoalan bahan baku

bordir yang mengalami kerusakan atau warna dan kualitas yang tidak

sesuai. Rusak, cacat atau ketidaksesuaian dengan yang diharapkan

pengusaha industri bordir yang dibeli dari agen pemasok atau toko

bahan baku bordir dapat ditukarkan kembali, sehingga Ibu Hj.Sri

Murni‟ah menyampaikan kesepakatan dengan pemilik toko bahan

bordir sebagai berikut:

“yen aku tuku ning kene, nek ono benang, kain utowo liyane yen ora cocok bisa dibalekno to” Artinya: Kalau saya beli di sini, apa itu benang, kain atau yang lain kalau tidak sesuai bisa dikembalikan, sehingga tidak mengalami kerugian.

Demikian pula bila palanggan atau pembeli baru, kalau

membeli bordir pengusaha bordir dan tidak cocok bisa dikembalikan

tetapi kalau bordir pesanan tidak bisa dikembalikan, ini terungkap

dalam wawancara dengan Ibu Islahiyah sebagai berikut:

”Ya, kalau ada pembeli atau langganan membeli baju blouse bordir, kebaya bordir atau yang lain, kalau ternyata setelah sampai rumah tidak cocok, diberikan garansi bisa dikembalikan dalam waktu 1 (satu) bulan, tetapi kalau pesanan tidak bisa dikembalikan”.

Konsep nyaur ngamek merupakan gejala hubungan sosial yang

menjadikan kerja sama berdasarkan norma-norma dan nilai kejujuran

yang dibangun dan saling bermanfaat secara timbal balik. Hubungan

antara pengusaha industri bordir dengan agen /toko bahan baku bordir

Page 46: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

248

sebagai pemasok bahan baku, telah terjadi ikatan ekonomi yang

didasarkan pada jaringan, hubungan timbal balik yang harmonis, yaitu

menjaga hubungan antar manusia melalui norma dan nilai “kejujuran

atau kepercayaan”, sebagai bentuk social capital yang dikembangkan

oleh Fukuyama (2005). Menurut Bourdieu (1980; 1986) erat dan tahan

lamanya ikatan sama vitalnya: social capital merepresentasikan

“agregat sumber daya aktual atau potensial yang dikaitkan dengan

kepemilikan jaringan yang bertahan lama”. Social capital dapat

dibangun secara spontan setiap saat oleh pelaku-pelaku siapapun yang

menjalani kehidupan sehari-hari.

Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir dengan

Pemangku Kepentingan

Sudah menjadi kewajibaan pemerintah untuk membina dan

meningkatkan usaha kecil seperti pengusaha Industri Kecil Bisnis

Keluarga bordir, untuk itulah pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No.17 Tahun 2013 tentang

pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha

Mikro,Kecil dan menengah terutama ketentuan Pasal 12 ayat (2), Pasal

16 ayat (3), Pasal 37, Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (3).

Berdasarkan peraturan tersebut Pemerintah Kabupaten Kudus

melakukan pembinaan dan peningkatan UKM melalui jalur Dinas

Perindag &UKM, kecamatan sampai tingkat kelurahan.

Desa Padurenan Kecamatan Gebog-Kab Kudus dikenal dengan

Desa Produktif, berkat partisipasi dan kesadaran untuk mengem-

bangkan Desa Padurenan oleh beberapa tokoh masyarakat seperti

Bapak H.Moch Anshori, Bapak H.Gufron, Bapak Muh Sholichan,

Bapak Abdul Rauf bersama perangkat Kelurahan dan dibina oleh Bank

Indonesia dan Bank Jateng telah mendirikan Koperasi Serba Usaha

Padurenan Jaya dengan Akte Pendirian Nomor: 503/208/BH/21/2009

dan telah diresmikan oleh Bupati Kudus pada tanggal 5 Agustus 2009,

sejalan dengan itu ditetapkannya Desa Padurenan sebagai Desa

Produktif Klaster Bordir dan Konfeksi oleh KBI (Koordinator Bank

Page 47: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

249

Indonesia) Semarang bersama dengan stake holder terkait yaitu Dinas

Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan Propinsi Jawa Tengah,

Balai Besar Peningkatan Produktivitas (NNPP) Direktorat Jendral

Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Bank Jawa Tengah, GTZ Red

dan Pemerintah Kabupaten Kudus. Program tersebut ditandai dengan

lounching pada tanggal 5 Agustus 2009 disertai penandatanganan

Dokumen Kesekapatan Kerja sama (MoU) antara para pihak di atas

yaitu No: 11/37/ DKBU/BPBU/SM.563 /6298.B73 /Lattas-

BBPP/VII/09,4525/ HT.01.02 /2009 dan 59 Tahun 2009.

Kegiatan KSU Padurenan Jaya selain berfungsi sebagai wadah

untuk mengumpulkan modal dari anggota yaitu berupa Produk Simpan

Pinjam, Simpanan Wajib, Simpanan Sukarela dan Simpanan Khusus

dan selanjutnya disalurkan kredit kepada para anggota KSU Padurenan

Jaya. KSU Padurenan Jaya juga mempunyai toko penyedia bahan baku

dan penolong meliputi: berbagai macam jenis kain, benang jahit,

benang bordir “Double Penguin”, benang bordir polos, kancing hem,

kancing celana, berbagai macam resleting dan perlengkapan jahit

lainnya. Untuk membantu para pengusaha bordir KSU Padurenan Jaya

juga mengembangkan jasa bordir komputer dengan kualitas dan harga

yang bersaing, serta pelayanan yang efektif dan efisien serta ditunjang

dengan 3 (tiga) mesin bordir komputer yang berkualitas serta didukung

dengan tenaga yang ahli di bidangnya. Seiring kemajuan teknologi

pemasaran produk dengan menggunakan sistem Online melalui web

dengan alamat www.padurenanjaya.com, dan juga bisa dipesan melalui

email di admin@padurenanjaya .com.

Adapun Visi Program Pengembangan Klaster Bordir dan

konfeksi di Desa Padurenan Kudus adalah ”Menjadikan Desa

Padurenan sebagai Klaster Wisata yang memiliki produktivitas serta

daya saing industri yang tinggi sehingga menjadi penggerak bagi

pertumbuhan ekonomi desa sekitarnya”. Sedangkan misi program

adalah: 1) pemberdayaan masyarakat Desa Produktif Padurenan

sebagai manusia yang religius, kreatif, produktif, dan memiliki etika

bisnis serta modal sosial yang tinggi, 2) mendorong keterlibatan aktif

dari aparatur pemerintah dalam pembangunan fisik/infrastruktur serta

Page 48: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

250

stake holders terkait dalam peningkatan daya saing industri kecil

bordir dan konfeksi sehingga mendukung terwujudnya klaster bordir

dan konfeksi di Desa Produktif Padurenan Kudus, dan 3) mendorong

tumbuhnya berbagai industri pendukungnya serta jaringan usaha yang

besinergi untuk meningkatkan daya saing klaster bordir dan konfeksi

di Desa Produktif Padurenan Kudus.

Ketua KSU Padurenan Jaya Bapak Arif Chuzaimahtum68 yang

juga sebagai Kepala Desa Padurenan menyatakan:

“Sejak tahun 2009 sudah banyak bantuan yang diberikan kepada KSU Padurenan Jaya yaitu bantuan Bank Jateng Cab. Kudus tahun 2009 Rp.100.000.000,-; Mesin jahit High Speed sebanyak 7 buah dari Pemkab Kudus tahun 2009; Mesin bordir Komputer 12 kepala jarum dari Pemprov Jawa tengah tahun 2010; bantuan 24 mesin jahit “High Speed” dari Pemprov Jawa Tengah tahun 2011; bantuan 24 Mesin “NRCI‟ dari Pemprov Jawa Tengah tahun 2011; bantuan mesin bordir komputer 12 kepala bantuan dari pemprov Jawa Tengah tahun 2011 dan tahun 2012 menerima bantuan hibah dari Kementrian Koperasi dan UKM tahun anggaran 2012 sebesar Rp.100.000.000,- dan semua bantuan secara aktif dipergunakan untuk membina anggota koperasi pengusaha bordir dan konfeksi sebanyak 176 orang”.

Selanjutnya Bapak Arif Chuzaimahtum menambahkan dengan

penambahan modal koperasi berdampak pada:

“bertambahnya bahan kebutuhan bahan baku dan penolong anggota koperasi bordir dan konfeksi; mempermudah pengusaha bordir dan konveksi memperoleh bahan baku dan penolong dengan cepat dan dengan harga yang murah, serta mempermudah melakukan pembinaan dan pelatihan berusaha bordir dan konfeksi dan renofasi ruang pamer/display telah mampu memperkenalkan hasil produksi bordir dan konfeksi dan mampu memperluas dan meningkatkan pemasaran”.

Berdasarkan hasil laporan evaluasi perkembangan bantuan

Peralatan oleh Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Tengah atas

bantuan mesin bordir Komputer sebanyak 3 (tiga) unit telah

memberikan keuntungan yang cukup besar sebelum ada bantuan

Page 49: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

251

pendapatan bersih Rp.1.469.145,83 per bulan dan setelah ada bantuan

pendapatan meningkat menjadi Rp.3.117.987,50 per bulan serta

manfaat bagi anggota koperasi adanya peluang untuk menggunakan

jasa bordir komputer lebih banyak dikarenakan mesin lebih dari satu,

selain itu lebih dekat dan pelayanan lebih baik. Meskipun masih ada

kendala yaitu walaupun jasa bordir komputer sudah beropersi non stop

24 jam (tiga shif), namun masih banyak anggota Koperasi yang belum

bisa terlayani secara maksimal dengan 3 (tiga) buah mesin bordir

Komputer yang ada dan pembayaran jasa Koperasi untuk anggota bisa

dicicil sebanyak 3 kali dan masih belum mampu merealisasi keinginan

anggota Koperasi yang menginginkan jasa bordir mesin komputer

pembayarannya dilakukan pada saat lebaran (dalam tempo 1 tahun)

karena membutuhkan biaya operasi yang besar.

Keberadaan KSU Padurenan Jaya memberikan manfaat bagi

pengusaha bordir, hal ini seperti yang diungkapkan beberapa informan

sebagai berikut:

Ibu Mirah69 yang rumahnya berdekatan dengan kantor KSU

Padurenan Jaya menyatakan:

“kebetahan bahan baku bordir (benang bordir merk “double penguin” atau benang warna polos) segera saget terpenuhi lan reginipun terjangkau” Artinya: kebutuhan bahan bordir (benang bordir “double penguin” atau benang warna polos) segera bisa terpenuhi dan harganya terjangkau.

Hal ini juga diungkapkan informan kunci Ibu Hj.Sri Murni‟ah70

yang menyatakan bahwa :

”saget memenuhi bahan baku langkung cepet, reginipun injih langkung mireng ketimbang kaliyan toko ing kota, boten ongkos transpor amargi jarak ipun saking griyo injih celak lan Koperasi sering nugasakaen derek pameran utawi bazar pasar murah dateng pundi-pundi,contonipun Hotel Citraland, Java Mall lan Kantor Gubenuran ing Semarang, injih saget tambah pelanggan, sakmeniko lengganan bordir kawulo katang saking Semarang”

Page 50: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

252

Artinya: bisa memenuhi kebutuhan bahan baku lebih cepat, harganya pun lebih miring /murah daripada datang ke toko di kota Kudus. Tidak ada ongkos transport karena jarak dari rumah dekat dan Koperasi sering menugaskan ikut pameran atau bazar pasar murah di mana-mana, contohnya Hotel Citraland, Java Mall dan Kantor Gubenuran di Semarang, ya bisa tambah langganan, sekarang langganan bordir saya banyak dari Semarang.

Sedangkan informan yang lain Ibu Islahiyah71 saat

diwawancarai menyatakan:

”bisa membangun kebersamaan antar pengusaha bordir di Desa Padurenan dengan diajak berpartisipasi mengikuti pasar murah/bazar di mana-mana serta kalau membeli kebutuhan bahan baku bordir anggota koperasi dapat dibayar setelah satu bulan, ini sangat membantu sekali bagi anggota yang memiliki modal kecil”.

Untuk lebih mendorong pemasaran produk anggota KSU

Padurenan Jaya, di kantor KSU Padurenan Jaya telah disediakan

display produk bordir dan konfeksi, dengan harga yang terjangkau

serta disediakan pula sistem online melalui web dengan alamat

www.padurenanjaya.com dan juga dapat dipesan melalui email di

[email protected]. Berdasarkan itu semua belum

dipergunakan secara optimal, seperti yang disampaikan informan yang

diwawancarai peneliti, antara lain:

Informan Ibu Nurul Hikmah72 mengungkapkan dalam

wawancaranya:

“display hasil bordir dan konfeksi di KSU Padurenan cukup baik untuk ajang promosi, namun yang menjadi masalah barang-barang dagangan saya berupa bordir kan berhenti kalau tidak ada yang beli, yah seharusnya ditalangi dulu oleh Koperasi modal membuat barang-barang akan didisplay”

Namun masih ada pengusaha bordir yang belum dapat

memanfaatkan KSU Padurenan Jaya secara optimal, hal ini

disampaikan oleh Rosyadi73:

Page 51: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

253

”saya belum pernah diajak mengikuti bazar atau mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh KSU Padurenan Jaya, ya mungkin rumah saya jauh dari lokasi koperasi, sehingga informasinya tidak sampai ke saya”.

Demikian pula sdr Izan An Imi.S.Ag74, pengelola KSU

Padurenan Jaya menjelaskan kepada peneliti:

”untuk penjualan produk dengan model on line sering dilakukan namun belum optimal dilakukan oleh para pengusaha bordir karena masih kekurangan tenaga ahli yang bisa menjalankan komputer secara on time, apalagi para pengusaha bordir rata-rata usianya sudah di atas 35 tahun yang tidak memiliki kemampuan menjalankan internet dan bila dibantu dengan anak-anaknya yang bisa komputer tidak bisa berjalan dengan lancer karena kesibukan anak-anak”.

Bahkan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan

Surat Edaran Gubenur Jawa Tengah No.065.5/001068 tanggal 27

Januari 2015 tentang penggunaan pakaian adat Jawa Tengah yang

isinya mewajibkan menggunakan Pakaian Adat Jawa Tengah pada Hari

Kerja/jam Dinas setiap tanggal 15 untuk setiap bulannya (lengkap

dengan atribut). Harapan dari surat edaran akan mendorong wilayah

kabupaten/kota mengembangkan produk unggulan lokal khususnya

pakaian. Kabupaten Kudus memiliki keunggulan lokal yang perlu

dikembangkan yaitu pakaian dengan corak bordir dan itu harus

menjadi pakaian adat yang wajib dipakai pegawai di seluruh Kabupaten

Kudus. Tentunya diharapkan akan mendorong pengusaha-pengusaha

bordir untuk meningkatkan kreativitas dan peningkatan produksi

bordir.

Upaya pemerintah Jawa Tengah untuk menumbuh-

kembangkan industri kain unggulan daerah, telah mendorong

beberapa komunitas pengusaha IKBK Bordir di Desa Padurenan

Kecamatan Gebog untuk melakukan inovasi dan menyediakan baju

atau pakaian wanita dengan motif bordir untuk keperluan pakaian

kerja di kantor-kantor pemerintahan. Hal ini sesuai dengan pandangan

Geertz (1977) bahwa, Pemerintah Indonesia tampaknya tidak bisa

mengharapkan adanya pola pertumbuhan ekonomi yang uniform di

Page 52: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

254

antara berbagai golongan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,

pemerintah di dalam menetapkan kebijakan-kebijakan di bidang

pembinaan pengusaha kecil dan menengah harus melihat perbedaan-

perbedaan yang terdapat antara daerah-daerah dari mana golongan

masyarakat itu berasal. Dengan kata lain, di dalam menetapkan

kebijakan-kebijakan tersebut harus memperhitungkan perbedaan-

perbedaan yang terdapat dalam lembaga-lembaga sosial-budaya di

masing-masing daerah.

CATATAN-CATATAN KAKI

1 Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks”. (Jakarta: Gramedia, 1992) hlm. 127

2 K. Bertens, “Etika” (Jaakarta: Gramedia, 2000).hlm. 220

3 Sonny Keraf, “Etika Lingkungan”, (Jakarta:Kompas,2002). hlm. 5

4 Teori kritis mengandung dua arti. Pertama, kritis terhadap ajaran-ajaran di bidang sosial yang ada pada waktu itu. Kedua, kritis terhadap masyarakat pada saat itu, yang perlu diubah secara radikal. Menurut teori kritis pengenalan tidak pernah merupakan suatu usaha yang terlepas dari atau terangkat dari aksi. Teori kritis menyadari bahwa kegiatan ilmiah pada pokoknya sama dengan memihak kepada suatu bentuk masyarakat tertentu. Maka teori kritis ingin memperjuangkan terwujudnya suatu masyarakat yang mempunyai dasar rasional. Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: UGM Press, 1986), hlm. 123

5 Alasan prinsip hormat dan rukun sebagai acuan caranya bersikap baik dalam pergaulan, karena menurut Magnis Suseno, dua prinsip itu paling menentukan pertama-tama bagi pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kedua, kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkrit semua interaksi dan ketiga, tuntutan dua prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa sejak kecil telah membatinkannya dan ia sadar bahwa masyarakar mengharapkan agar kelakuannya selalu sesuai Indikasi proses internalisasi dengan nilai moral hormat dan rukun dalam habitus Bourdieu implisit dalam penjelasannya. Menurutnya, habitus mempresentasikan niat teoritis semacam logika permainan untuk keluar dari filsafat kesadaran tanpa membuang agen dalam hakikatnya sebagai operator praktis bagi pengkonstruksian obyek. Karenanya, habitus merupakan kekuatan social capital adalah, modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan dukungan-dukungan bermanfaat yaitu, modal harga diri dan kehormatan yang sering kali diperlukan jika orang ingin menarik para klien dengan prinsip hormat dan rukun ini. Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah...., op. cit., hlm. 38

6 Menurut Magnis Suseno, antara bersikap hormat dan rukun dengan bersikap kekeluargaan dan bergotong-royong mengimplikasikan semangat batin yang sama

Page 53: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

255

yaitu, hendak bersikap baik atau senang kepada sesamanya. Praktik gotong-royong juga mewujudkan kerukunan. Dengan gotong-royong dimaksudkan dua macam pekerjaan: saling membantu dan melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah...., op.cit., hal. 50. Koentjaraningrat menambahkan, ada tiga nilai yang disadari orang Jawa dalam melakukan gotong-royong. Pertama, orang itu harus sadar bahwa dalam hidup seseorang pada hakikatnya selalu tergantung pada sesamanya, maka ia harus selalu berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Kedua, orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya. Ketiga, orang itu harus selalu bersifat konform artinya, orang harus selalu mengingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakat. Koentjaraningrat, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, (Jakarta: Bhratara, 1969), hlm. 35.

7 Realitas sosial pada dasarnya berfungsi sebagai konteks komunikasi atau sebagai dunia kehidupan yang di dalamnya terkandung cakrawala pengetahuan-pengetahuan,nilai-nilai dan norma-norma yang baginya barang tentu, yang belum direnungkan (direfleksikan) dan merupakan latar belakang pendapat dan penilaian-penilaian untuk mengambil sikap. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 224

8 Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 3

9 C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 9

10 Clifford Geertz, “The Impact of the Concep of Culture on the Concept of Man”, dalam John R. Platt (ed.), New Views of the Nature of Man, (Chicago: The University of Chicago Press, 1965), hlm. 93-94

11 Gunawan S. menyebutkan beberapa ahli dari luar Indonesia seperti, Niels Mulder, Clifford Geertz, Ben Anderson, William Liddle, atau yang ada di dalam negeri seperti, Franz Magnis Suseno, Muchtar Lubis, Koentjaraningrat sampai dengan Sri Sultan Hamengkubuwana X, Gunawan Sumodiningrat, “Budaya Jawa dan Integrasi Nasional”, dalam Leila Retna Kumala, Keraton Surakarta dan Perubahan Masyarakat, Membumikan Nilai-nilai Tradisional, (Surakarta: Tem Simposium Nasional, 2003), hlm. 8

12 Lihat dalam Leila Retna Kumala, Keraton Surakarta dan Perubahan Masyarakat, Membumikan Nilai-nilai Tradisional (Surakarta: Tem Simposium Nasional, 2003), hlm. 11-13

13 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2001)., hlm. 82

14 Niels Mulder, Misticism and Daily Life in Contemporary Java, Cultural Persistence and Change (Singapore: Singapore University Press, 1978), hlm. 17

15 Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hlm. 17

Page 54: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

256

16 Sinkretisme adalah, penyatuan atau usaha penyatuan ideologi-ideologi yang bertentangan ke dalam satu kesatuan pikiran atau ke dalam suatu hubungan sosial yang harmonis

17 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2001)., hlm. 82

18 Benedict R.O‟G Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terj. Revianto B.S, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 2

19 Lihat dalam A.S. Dhesi, ”Social Capital and Community Development”, dalam: (Community Development Journal, 2000), hlm. 210

20 Francis Fukuyama, Social capital and Civil Society, (The Institute of Public Policy. George Mason University.International Menetry Fund,1999), hlm. 104

21 Identifikasi dalam teori kepribadian merupakan salah satu bentuk pertahanan terpenting dalam diri seseorang. Hal itu juga disebut sebagai introjeksi. Mekanisme kerjanya melalui akal dengan cara membawa kepribadian orang lain masuk ke dalam dirinya. Dengan cara itu dia, di satu pihak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang mengganggu dan menemukan jalan untuk bersikap hormat terhadap kepribadian orang lain sekaligus menentukan atau meneguhkan identitas dirinya di pihak lain. selanjutnya dibaca George Boeree, 2005, hlm. 50-51

22 Maksudnya kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar. Franz Magnis Suseno (2005) Etika Dasar Masalah Pokok Masalah Falsafah Moral.Yogyakarta:Janisius. hlm. 141

23 Sepi ing pamrih termasuk salah satu keutamaan Jawa yang biasanya digandeng dengan kalimat rame ing gawe. Keutamaan yang lain seperti, kesetiaan, kemurahan hati dan lain-lain. Magnis Suseno menjelaskan, manusia bisa dikatakan sepi ing pamrih apabila ia tidak mengejar kepentingan-kepentingan individualnya tanpa memperhatikan keselarasan sosial seluruhnya, berarti ia berada di tempat yang tepat dalam kosmos. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafat Kebijakan Hidup, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2001), hlm. 147.

24 Bersikap integrasi artinya, bersikap terbuka keluar. Maksudnya, bersedia bersikap hormat atau bersikap baik terhadap aneka tradisi atau budaya, pandangan hidup atau agama yang berbeda bagi setiap orang yang hidup bersama dalam masyarakatnya demi terciptanya suasana yang tenang, gembira, bebas dari rasa takut, dan bebas dari tekanan. Untuk selanjutnya baca Franz Magnis Suseno, 2005,hlm. 97

25 Magnis Suseno menjelaskan, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Jakarta) di berbagai daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tahun 1976 menunjukkan bahwa kalimat aja mitunani masyarakat liya (jangan merugikan orang lain) seringkali secara spontan dikemukakan sebagai dasar jawaban para responden terhadap berbagai aturan moral. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisis Falsafah tentang kebijakan Hidup Jawa” (Jakarta

Page 55: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

257

:PT Gramedia Pustaka Utama,2001)., hal. 54. Lihat jugaFranz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral,(Yogyakarta:Kanisius,2005), hlm. 167.

26 Niels Mulder, Mysticism and Daily Life in Contemporary Java. A Cultural Analysis of Javanese Worldview and Etic as Embodied in Kebatinan and Everyday Experience, (Diss. Amsterdam, 1975), hlm. 51.

27 Pluralisme modern disebut sikap toleransi dalam masyarakat modern. Maksudnya, dalam masyarakat tersebut dikembangkan kemampuan-kemampuan psikis dan cara bersikap baik (etis) tertentu. Kemampuan itu dapat difungsikan dalam hidup sehari-sehari dan bekerja dalam berbagai bidang kehidupannya. Walaupun dengan orang-orang yang etnis, suku, adat dan agama yang berbeda, tetap sesuai (cocok) atau dapat diterima secara enak dan rileks oleh masing-masing pihak tersebut. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk bertoleransi dalam menghormati keyakinan-keyakinan keagamaan dan politik yang berbeda, untuk merasa solider dengan saudara sebangsa dan sebagai sesama manusia (bukan sebagai se-negara), maka meskipun barangkali termasuk suku atau umat atau kelas sosial yang lain. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral. (Yagyakarta:Kanisiu, 2005), hlm. 37.

28 Pluralisme tradisional bukan ciri khas masyarakat modern. Sebab, ada dua unsur yang khas bagi pluralisme tradisional. Pertama, pluralisme itu ditangani atas dasar ketidaksamaan. Maksudnya, masyarakat seluruhnya tersusun secara hirarkis, dan semua unsur di dalamnya, termasuk mereka yang berbudaya atau beragama berbeda, memiliki tempat dan kedudukan sosial tertentu di dalamnya. Kedua, wawasan kemanusiaannya membagi manusia ke dalam “orang kamu” dan “orang asing”. Yang tidak termasuk komunitas adat atau agama yang sama mereka pandang sebagai “orang asing”. Namun, mereka diterima baik, tamu asing dihormati, tempat mereka terjamin, hanya saja mereka tetap dianggap sebagai orang asing.Franz Magnis Suseno, Kuasa dan dan Moral. (Yagyakarta:Kanisiu, 2005), hlm. 35.

29 Tindakan moral artinya, tindakan yang memuat unsur-unsur: 1) motif atau maksud untuk bertindak, 2) pelaku yang memilih atau menentukan suatu arah tindakan, 3) pilihan bebas, ditentukan atau dikehendaki sendiri, 4) baik buruknya maksud, motif dan pilihan, 5) akibat yang dimaksudkan atau tidak, yang berpengaruh terhadap diri sendiri atau orang lain, 6) kriteria baik-buruk manusia sebagai manusia. Lorens Bagus, Kamus Falsat,(Jakarta: Gramedia,2000). hlm. 109-110.

30 Bersikap baik bukan hanya sebuah prinsip yang dipahami secara rasional, melainkan juga mengungkapkan syukur alhamdulillah, suatu kecondongan yang memang sudah ada dalam watak manusia. Bersikap baik mendasari semua norma moral karena hanya atas dasar sikap baik yang masuk akal inilah semua orang harus bersikap adil, atau jujur dan atau bersiakp rukun (setia) kepada orang lain. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam Tantangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1983),hal. 55. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:Kanisius, 2005), hlm.29.

31 Bersikap hormat pada prinsipnya berdasarkan pendapat bahwa, semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturannya itu bernilai pada dirinya

Page 56: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

258

sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya. Hildred Gertz, The Javanese Family.A Study of Kinship and Socialization, (New York: The Free Press 0f Glencoe, 1961),hlm. 110.

32 Franz Magnis Suseno, 1983”Etika Jawa dalam Tantangan”. (Yogyakarta: Kanisius.1983). hlm. 58-59.

33 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa”. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama2001), hal. 68.

34 Niels Mulder, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java. Cultural Persistence and Change, (Singapore: Singapore Press, 1978), hlm. 39.

35 Struktur sosial artinya konsep perumusan asas hubungan antarindividu dalam kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu. Hasan Alwi (Pim.red). Kamus Besar Bahasa Indonsia.(Jakarta: Balai Pustaka.2001) hlm.1092.

36 Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa, (Jakarta: PT Gramedia,2006), hlm.31.

37 Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia, (Jakarta: PT Gramedia, 1991), hlm. 86.

38 Kegiatan bermakna adalah, suatu kegiatan yang memiliki maksud sosial yang diatur secara formal atau tidak formal dan merupakan kesatuan yang bermakna. Misalnya, bercocok tanam, membuka dan mengembangkan usaha dagang, dan lain-lain. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika...., op. cit., hlm. 200.

39 Spiritual/rohaniah dalam bahasa Latin, spiritualis dari spiritus (roh). Beberapa pengertiannya: 1) tidak jasmani, immaterial, terdiri dari roh, 2) mengacu ke kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai pikiran, 3) mengacu ke nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran, dan kesucian, 4) mengacu ke perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik. Lorens Bagus, Kamus...., op. cit., hlm. 1034.

40 Makna internalnya yaitu, sebagai suatu kegiatan yang menghendaki: 1) mutunya, kualitasnya (excellency-nya), 2) bernilai bagi seseorang yang melakukannya, maka memerlukan (a) standar mutu (standart of excellent), (b) ketaatan terhadap aturan-aturan (yang menentukannya) dan (c) pencapaian sesuatu yang bernilai. Ibid, hlm. 201.

41 Bersikap momong atau ngemong berarti, memelihara atau mengasuh dengan kasih, membimbing di dalamnya terkandung juga sikap waspada senantiasa dan membujuk dengan halus. C.F. Winter dan R.Ng. Ranggawarsita, Kamus Kawi Jawa, (Surakarta: Museum Mangkunegaran, 1978), hlm. 509. Bersikap ngemong mengungkapkan sikap manusia bahwa, ia hendaknya merasa bertanggung jawab terhadap alam atau dunia, bertanggung jawab agar alam, termasuk budaya itu seindah mungkin, agar alam tetap utuh. Sikap itu didasari penghayatan bahwa apa saja yang ada merupakan ciptaan Tuhan atau percikan dari eksistensi Ilahi sehingga perlu dihormati, dipelihara baik-baik, bagaikan memelihara sebuah benda berharga yang dititipkan padanya. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan...., op. cit., hlm. 168.

Page 57: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus

259

42 Mawas diri atau tahu diri sama dengan bersikap eling. Tahu diri (eling) berarti, menyadari keterbatasannya sendiri, memahami bahwa pengetahuan kita selalu terbatas dan oleh karena itu kita sebaiknya bersedia terus belajar dan jangan mencampuri urusan orang lain. Tahu diri (eling) mendasari sikap toleran yang sebenarnya. Tahu diri (eling) mengandung kesadaran bahwa, meskipun kita yakin kebenaran atau kebaikan agama dan kebudayaan kita, namun bukanlah urusan kita untuk mencampuri golongan yang tidak sepaham atau tidak seagama. Tahu diri (eling) bukan hanya suatu tuntutan kesopanan, melainkan merupakan tanda kesungguhan keyakinan beragama. Karena sikap eling juga berarti sebagai pengalaman keagamaan yaitu, kita selalu ingat bahwa Allah lebih besar dari pada kita. Orang yang intoleran terhadap agama dan kebudayaan lain, termasuk orang yang mengukur Allah pada kekerdilan otaknya sendiri. Ibid. hlm. 97-98.

43 Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 34.

44 Maldwyn Hughes,”Experience”, dalam James Halting (ed.), The Encyclopedia of Religions and Ethic, Vol. V, (New York: Charles Scribner‟s Son, t. th.), hlm. 630-633.

45 William James, The Varieties of Religious Experience, (New York: The New American Library, 1958), hlm. 463.

46 Joachim Wach, “Ilmu Perbandingan Agama”, terj.Djamanuri (Jakarta:Rajawa 1984),hlm.32.

47 Home-woker memiliki karakteristik: rumah sendiri sebagai tempat ia beraktivitas untuk menghasilkan produk bordir, upah yang ditetapkan dengan borongan atau kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha,ada interaksi antara pemberi kerja (pengusaha) dengan pekerja.Home-worker sering disamakan dengan home based work (bahasa Indonesia: Pekerja Rumahan) yang dikonotasikan sebagai Pembantu Rumah Tangga. Home-Woker, sering dikategorikan dalam kategori yang salah, seperti home industri, pengusaha mikro, pengrajin, ibu rumah tangga, pekerja musiman, bahkan tidak bekerja (Hunga, 2005).

48 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014

49 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 14 Oktober 2014

50 Wawancara dengan bapak Nur Syafik tanggal 14 Oktober 2014

51 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 13 Oktober 2014

52 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah ranggal 14 Oktober 2014

53 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 10 Oktober 2014

54 Wawancara dengan Bapak H.Maskan tanggal 14 Oktober 2014

55 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014

56 Wawancara dengam Bapak H.Moch Anshori tanggal 14 Oktober 2014

Page 58: BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/7/D...K.Bertens 2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

260

57 Icik adalah bordir yang dibuat dengan menggunakan mesin manual atau tenaga manusia dengan mesin jahit manual yang geraknya dikayuh dengan kaki sehingga menimbulkan bunyi icik,icik, icik, namun hasil bordirnya memiliki kualitas yang bagus karena tebal, kecil-kecil dan sangat rumit

58 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014

59 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 11 Oktober 2014

60 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 15 Oktober 2016

61 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 15 Oktober 2016

62 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 14 Oktober 2014

63 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 9 Okober 2014

64 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq 11 Juli 2014

65 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah 14 Oktober 2014

66 Wawancara dengan Ibu Mirah 11 Oktober 2014

67 Wawancara dengan Bapak Noor Klolid tanggal 12 Oktober 2014 di rumahnya desa Padurenan RT 5 RW 1, Kecamatan Gebog-Kab Kudus

68 Wawancara dengan Bapak Arif Chuzalmahtum tanggal 8 Agustus 2014

69 Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal 13 Oktober 2014

70 Wawancara dengan Ibu Murniah tanggal 15 Nopember 2014

71 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 14 Ontober 2014

72 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 12 Oktober 2014

73 Wawancara dengan Bapak Rosyadi tanggal 10 Oktober 2014

74 Wawancara dengan Izan An Imi,S.Ag tanggal 24 September 2014