Bab 4

download Bab 4

If you can't read please download the document

Transcript of Bab 4

BAB 4 PRINSIP-PRINSIP PRAGMATIK4.1 PENDAHULUAN: MENGAPA PRINSIP-PRINSIP? Secara historis, tidak ada yang aneh dalam penggunaan prinsip sebagai konsep dalam linguistik (sebagaimana dalam banyak cabang ilmu yang lain). Istilah tersebut hanya merupakan bagian dari bahasa ilmiah yang telah digunakan para ahli bahasa sejak jaman para ahli tata bahasa baru (Neogrammar). Dengan demikian, kita menemukan istilah tersebut dalam banyak judul standar linguistik, baik yang lama maupun baru, dan isi yang sangat berbeda luas: mulai dari karya lama Hermann Paul Prinzipien der Spachgeschichte (l874; terjemahan bahasa Inggris tahun l891), hingga pemaparan teoritis Louis Hjelmslev Principes de grammaire gnrale (l929) sampai disertasi kontemporer dalam tradisi Chomsky, seperti karya Eric Reuland Principles of Subordination and Construal (l979). Dalam berbagai konteks semacam ini, kata prinsip biasanya berkonotasi pemahaman (unsur-unsur pemahaman, atau bahkan prasyarat-prasyarat pemahaman) pada semua tataran kecanggihan linguistik, mulai dari pengetahuan dasar yang dimiliki bersama hingga spekulasi metateoritis tingkat tinggi. Penggunaan lain yang sedikit berbeda istilah prinsip juga ditemukan dalam berbagai karya Hjelmslev. Dalam karyanya yang mungkin paling penting, Prolegomena to a Theory of Language, Hjelmslev meletakkan tiga kaidah dasar metodologis bagi praktek linguistik masa depan yang dapat dimengerti: prinsip-prinsip kesederhanaan, non-kontradiksi, dan keseksamaan (l953: 15). Prinsip-prinsip ini hanyalah merupakan syarat-syarat yang harus diberikan pada penjabaran ilmiah apapun tentang sebuah bahasa; dengan demikian, prinsip tidak boleh dirancukan dengan kaidah-kaidah pendeskripsian itu sendiri, sebagaimana seringkali terjadi dalam berbagai penggunaan kata modern (demikianlah halnya dalam Reuland l979:2, dimana prinsip ekuivalen dengan proposal bagi pendeskripsian; atau dalam logat yang sangat terkenal dalam penulisan gramatikal pasca Chomsky, dimana kata sifat principled biasanya hanya merupakan sinonim untuk reasoned, atau hanya decent). Sebagaimana akan kita lihat, berbagai penggunaan istilah prinsip ini berbeda dari penggunaan yang biasa terjadi dalam pragmatik.4.2. PRINSIP DAN KAIDAH; PRINSIP KOMUNIKASI Istilah lain yang sering dijumpai dalam tulisan tata bahasa modern adalah kaidah (rule). Bahkan sebelum Chomsky tampil di atas panggung ilmu bahasa, orang-orang tahu bahwa mereka harus memeriksa tata bahasa lebih dahulu untuk menemukan kaidah-kaidah bahasa; bahkan sejak Chomsky, tata bahasa dianggap hanya terdiri atas kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah tersebut adalah tata bahasa, untuk tidak menyebutkan: bahasa. Berbagai versi yang lebih awal dalam tata bahasa transformasional, kaidah dianggap semata-mata berasal dari dan berfungsi sebagai sintaksis; karena alasan inilah (agar dapat Mey 53menciptakan perbedaan dengan, dan jarak dari, model transformasional deskripsi bahasa) begitu banyak pengarang telah memberikan dukungan terhadap penggunaan istilah prinsip, bilamana dirasa perlu atau sangat disenangi untuk menyusun kerangka penjelasan pada tataran yang lebih tinggi, seperti tataran semantik atau pragmatik (simak masalah ini pada Mey l991b). Kita dapat menunjukkan perlunya terminologi yang berbeda semacam ini dengan mengajukan pertanyaan kepada diri kita sendiri tentang apa yang mungkin dapat dilakukan sebuah kaidah (dalam pengertian tata bahasa Chomsky) di luar bidang sintaksis. Apakah kaidah benar-benar dapat dimengerti untuk membicarakan tentang kaidah semantik atau bahkan kaidah pragmatik? Seperti apa rupa dari kaidah semacam ini? Apa penggunaannya dalam kaidah semantik, atau bahkan kaidah pragmatik? Dan apa maksudnya, sebagaimana telah dikatakan Leech (l983), bahwa seseorang menggunakan kaidah-kaidah dalam sintaksis, tetapi menggunakan prinsip-prinsip dalam pragmatik? Untuk menjawab pertanyaan ini, perhatikan sifat pokok dan kekuatan utama kaidah tata bahasa: kemampuannya untuk memprediksikan (dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang lain) kalimat-kalimat mana yang benar, mana yang tidak benar. Kaidahkaidah sintaksis mengandung semua informasi untuk menetapkan (menghasilkan) seluruh kalimat yang benar (terbentuk dengan baik) dari sebuah bahasa, dan hanya kalimat-kalimat ini: sejauh melibatkan sintaksis, bahasa dihasilkan dengan kaidah-kaidah. Tetapi dalam pengertian istilah apa kita dapat mengatakan bahwa sejumlah kalimat yang terbentuk dengan baik (yang disebut bahasa oleh Chomsky), diprediksikan oleh kaidah-kaidah, sejauh melibatkan semantik atau pragmatik? Dalam semantik, konsep keterbentukan dengan baik (well-formedness) bersifat kontroversial, untuk mengatakan kondisi yang minimal. Apa yang sedang diucapkan seseorang, dan apa yang dimaksudkan orang ini dengan apa yang ia ucapkan, jelas merupakan persoalan, untuk tidak menyebutkan privilis (hak istimewa) yang semata-mata dimengerti oleh orang tersebut; oleh karena itu kaidah-kaidah semantik hanya dapat dimengerti di luar konteks penggunaan bahasa yang sesungguhnya (misalnya dalam kamus, atau dalam contoh-contoh khayalan). Dalam semantik penggunaan bahasa yang sesungguhnya, pengguna mengatur gelombang-gelombang (dan, mungkin juga, melepaskan kaidah-kaidah). Sebaliknya, juga benar bahwa orang yang jauh dari apa yang pada umumnya diterima sebagai penggunaan bahasa yang normal akan mengalami berbagai kesulitan untuk dipahami; oleh karena itu satu-satu pengertian yang dapat kita kaitkan dengan kaidah-kaidah semantik adalah kaidah-kaidah penggunaan, bukan kaidah-kaidah prediksi. Penalaran di atas secara a fortiori juga berlaku pragmatik, dimana (sebagaimana telah kita lihat) sudut pandang pengguna bahasa sangat penting. Dengan demikian, pandangan yang dikutip di atas bahwa pragmatik memiliki prinsip-prinsip, bahwa sintaksis memiliki prinsip-prinsip, tampaknya merupakan perkiraan pertama yang baik untuk menjelaskan perbedaan antara keduanya secara logis. Bahkan, masih banyak hal yang dapat dibicarakan tentang persoalan tersebut daripada hanya perdebatan tentang terminologi. Sejak dari atas, seharusnya telah jelas bahwa seharusnya kita tidak disibukkan dengan urusan terminologi: satu-satunya faktor yang palingpenting dalam kaitan ini adalah kenyataan bahwa para pengguna bahasa sibuk dalam aktifitas komunikasi ketika mereka menggunakan bahasa; tidaklah terlalu penting apakah mereka mengamati kaidah sintaksis (atau semantik) tertentu atau tidak. Ketika orang-orang berbicara, mereka melakukannya dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain; masalah ini saya sebut Prinsip Komunikasi. Meskipun prinsip ini tidak disebutkan dalam literatur pragmatik (minimal tidak di bawah nama ini), namun inilah landasan dari semua perilaku linguistik, dan premis yang telah disepakati secara minimal tentang semua penyelidikan terhadap aktifitas pragmatik manusia. Tentu saja hal di atas bukan untuk mengatakan bahwa sesungguhnya para pengguna bahasa selalu mengkomunikasikan apa yang hendak mereka katakan, atau apa yang mereka anggap mereka lakukan. Namun demikian, persoalan tidak berkaitan dengan pertanyaan apakah para pengguna bahasa mengamati kaidah-kaidah tata bahasa. Sebagaimana dijelaskan Leech, para penutur sering bermaksud lebih banyak daripada yang mereka katakan (l983: 9), suatu fakta yang dapat dijelaskan dengan memperhatikan prinsip atau maksim pragmatik (dalam hal ini, implikatur percakapan; tentang masalah ini dijelaskan lebih lanjut pada bagian 5.2.3). Pada saat-saat yang lain, para penutur secara tidak sadar atau bawah mengungkapkan berbagai pikiran atau perasaan yang secara sadar ingin mereka tekan sesuatu yang harus dijelaskan dalam kerangka yang bahkan lebih luas, kerangka aspek-aspek psikologis (dan kadang-kadang bahkan pathologis) penggunaan bahasa. Mari kita perhatikan beberapa contoh. Misalkan saja saya mengujarkan sebuah kalimat seperti Many of the delegates opposed the motion. Banyak dari para delegasi menentang mosi itu. Bila dibaca secara normal, kalimat semacam ini dapat menimbulkan kesan bahwa meskipun banyak delegasi melakukan voting terhadap mosi itu, sejumlah orang dari mereka menentang, dan dengan sendirinya memberikan suara. Sesungguhnya, inilah interpretasi bahwa saya, sebagai pengirim ujaran, ingin penerima ujaran menerimanya. Normalnya, kalimat tersebut tidak dianggap bermaksud bahwa semua delegasi melakukan voting menentang mosi, meskipun, sebenarnya (banyak tidak berarti betapa banyak), bacaan semacam ini sesuai dengan bacaan normal khususnya jika saya telah menyelesaikan ujaran saya dengan menambahkan sesuatu seperti In fact, all of them did. Sesungguhnya, mereka semua menentang. Pertanyaan mengapa siapa saja (anybody) bisa berarti banyak (many) bukannya semua (all), apakah sesungguhnya tidak ada yang lain? Jika saya dapat menggunakan ungkapan yang lebih kuat (semua), mengapa saya tidak menggunakannya? Apa yang kita hadapi di sini adalah prinsip pragmatik: para penutur mencoba untuk dipahami dengan benar dan berusaha tidak memberikan kesan yang salah. Jika apa yang Mey 55saya katan tepat secara logika, dan benar menurut kaidah semantik abstrak, tetapi masih membingungkan atau menyesatkan pendengar saya, maka ujaran saya tidak akan memiliki efektif yang tepat: saya akan disalahpahami. Tampaknya ada pemahaman umum bahwa orang-orang, ketika mereka mengeluarkan informasi, lebih suka melakukannya dalam semangat terlalu pelit. Dalam terminologi Gazdar (l979: 56 8), kita dapat berbicara tentang skala pengungkapan, mulai dari yang kuat sampai yang lemah; contohnya adalah skala berikut (yang diadaptasikan dari Levinson l983: 132): all, most, many, some, few, none, semua, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit, tidak ada, dimana ungkapan skala yang paling kuat terjadi pada bagian kiri, sedang kekuatan yang semakin berkurang saat bergerak ke kanan (meskipun pengurutan some sebelum few dapat dipertanyakan dari sudut pandang ini). Tampaknya inilah masalahnya bahwa kita, dengan menggunakan ungkapan yang lebih lemah, mengesampingkan ungkapan-ungkapan yang lebih kuat; yakni, penggunaan many mengimplikasikan bahwa all tidak dapat digunakan, setidak-tidaknya dalam konteks baku (yakni, yang tidak diperluas). Prinsip yang dibicarakan di sini merupakan kasus tertentu prinsip umum kerja sama, seperti yang aslinya didefinisikan oleh Grice (l975), dan khususnya prinsip maksim kuantitas, yang mungkin selalu kita gunakan untuk memberikan jumlah informasi yang cocok. Dalam semangat kerja sama, kita dapat terhindar untuk memberikan informasi yang terlalu banyak atau terlalu sedikit. Bila menggunakan ungkapan yang samar seperti some atau many, kita mengundang pemahaman orang lain terhadap diri kita sebagai pengguna bahasa yang dapat diajak bekerja sama: kita ingin mereka berasumsi (dengan benar) bahwa kita telah menggunakan ungkapan yang lebih tegas (misalnya all atau none) jika, dan hanya jika, memang diperlukan. (Simak di bawah, bagian 4.4.1.) Sekarang perhatikan contoh berikut. Karena, sesuai dengan apa yang telah saya katakan di atas, kejadian many mengisyaratkan bahwa all tidak dipertanyakan, daripada ungkapan yang asli Many of the delegates opposed the motion Banyak dari para delegasi menentang mosi itu saya dapat mengatakan kalimat Not all delegates opposed the motion. Tidak semua gelegasi menentang mosi itu. Kalimat ini di samping lebih kuat juga lebih mudah untuk dibuktikan kebenarannya daripada kalimat asli; di samping itu, sebagaimana telah kita lihat, kebenaran itu tersirat dalam kalimat ini (dengan implikatur percakapan, begitulah istilahnya); jadi mengapa saya tidak mengatakannya saja dan menghindari semua kesalahpahaman?Jawaban terhadap pertanyaan ini terletak pada cara para pengguna bahasa mengusahakan urusan komunikasi mereka. Komunikasi bukan masalah logika atau kebenaran, tetapi masalah kerja sama; bukan tentang masalah apa yang saya katakan, tetapi tentang apa yang dapat saya katakan, dengan adanya berbagai keadaan, dan tentang apa yang harus saya katakan, dengan adanya harapan-harapan lawan bicara saya. Dengan demikian, dalam hal ini, komunikasi merupakan kerja sama untuk memilih ungkapan yang lebih samar (misalnya many), meskipun dalam teori, kita dapat memilih ungkapan yang lebih kuat not all. Untuk memahami masalah ini, perhatikan situasi berikut. Pemandangannya adalah sebuah pertemuan politik; sebuah mosi diajukan dan terdengar dengan adanya orang-orang yang mengangkat tangan. Di sini yang penting adalah bahwa mosi tersebut terdengar; di bawah berbagai keadaan tertentu, hal ini lebih penting daripada mengetahui apakah semua, atau tepatnya betapa banyak, delegasi yang benar-benar memberikan suara bagi mosi tersebut. Sesungguhnya, sepanjang sekretaris pertemuan memiliki cukup bukti bagi suara mayoritas, dan tidak ada seorangpun yang meminta penghitungan suara, pertanyaan tentang kebulatan suara tidak relevan dengan nasib mosi. Dengan demikian, secara aman saya dapat mengatakan bahwa suara mayoritas delegasi memberikan suara bagi mosi tersebut, meskipun sesungguhnya mungkin ada suara sepakat. (Persoalan yang penting adalah jika suara tersebut krusial dalam hubungan lain, dan wartawan koran harus terburu-buru mencari telepon terdekat untuk menyampaikan pesan kepada kantor editorialnya.) Atau, untuk memberikan sedikit penjelasan tentang contoh Leech (l983: 9), saya dapat menjadi penggerak partai politik saya, dan itu adalah tanggungjawab saya untuk meyakinkan bahwa semua anggota partai yang hadir mematuhi perintah partai dan memberikan suara untuk menentang mosi. Sekarang misalkan saja saya kurang berhasil dalam segala usaha saya untuk menyelaraskan para pemberi suara, mungkin saya tidak ingin menekankan kenyataan ini, misalnya, dengan menyatakan, dalam laporan saya kepada markas besar partai, bahwa when the question asked, many of our people voted against . ketika pertanyaan tersebut dilontarkan, banyak orang kita yang menentang Dalam situasi semacam ini, sekretaris eksekutif partai, seraya mengkritik saya, mungkin berkata demikian but you didnt do your job properly: after all, not all of our people voted against, so . tetapi anda tidak bekerja dengan benar: bagaimanapun juga, tidak semua orang kita menentang, jadi . Menurut logika (yakni, dari sudut pandang kebenaran bersyarat), ujaran kedua lebih kuat daripada ujaran pertama; lebih jauh, tentang jumlah informasi yang disampaikan, ia Mey 57tidak mengandung sesuatu yang baru. Namun demikian, secara pragmatik, pengaruhnya dalam konteks sangat berbeda, bila dibandingkan dengan ujaran yang pertama. Perbedaannya terletak pada apa yang ditekankan oleh ujaran-ujaran ini, mengingat adanya berbagai keadaan: bagaimanapun juga, ada banyak delegasi yang memberikan suara menentang, meskipun tidak semuanya. Oleh karena itu saya bisa memilih menjawab perkataan sekretaris dengan berkata Well, but even so, many of them did oppose the motion. Baik, tetapi meski begitu, banyak mereka yang benar-benar menentang mosi itu. Apa yang diperlihatkan oleh contoh-contoh ini adalah bahwa prinsip-prinsip pragmatik, tidak seperti begitu banyak kaidah-kaidah gramatikal, beroperasi dalam konteks yang konkret, bukannya dalam lingkungan spekulasi linguistik yang abstrak. Alasannya adalah (sebagaimana akan kita lihat dalam bagian berikut) bahwa prinsip-prinsip tersebut didasarkan atas implikatur-implikatur seperti yang dibahas di sini bukan hanya bersifat logis dan konvensional, tetapi juga pragmatik, atau konversasional (berkaitan dengan percakapan). 4.3 SIFAT, KONVENSI DAN KONTEKS 4.3.1 I: Kasus umum Berbeda dengan pemikiran gramatikal atau sintaksis yang ketat, pemikiran pragmatik terikat dengan konteks. Betapapun alaminya fasilitas-fasilitas bahasa kita atau betapaun penggunaannya terikat oleh konvensi, sebagai pengguna bahasa kita selalu beroperasi dalam konteks. Oleh karena itu, konteks tampak luas, dan harus dipertimbangkan bilamana kita merumuskan pemikiran-pemikiran tentang bahasa sebagai kaidah dan prinsip. Yang jelas, terdapat kontradiksi yang selalu muncul antara bentuk yang dikonvensionalkan dan bentuk yang lebih atau kurang kaku yang diberikan bahasa saat kita siap menggunakannya dan masing-masing ungkapan pemikiran kita secara spontan yang kita usahakan bersama untuk mewujudkannya. Hal ini tidak hanya berlaku bagi kaidah-kaidah tata bahasa yang lebih teknis (khususnya kaidah-kaidah yang mengatur infleksi kata-kata dan struktur kalimat), tetapi juga bagi apa yang biasanya kita bahas di bawah topik prinsipprinsip atau maksim. Makna dapat bersifat alami, sebagaimana diungkapkan dalam perkataan Skolastik Urina est signum sanitatis (Air kencing adalah tanda kesehatan); yakni, dari air kecing seseorang, dapat disimpulkan tentang kesehatan seseorang; dan kesimpulan ini bersifat segera, alami dan, dalam sebagian besar kasus, tidak kontroversional. Berbeda dengan tanda alami semacam ini seperti air kencing, biasa bahasa tidak alami, tetapi konvensional: yakni, normalnya, tidak ada hubungan segera dan langsung antara sebuah kata dengan apa yang diungkapkannya. Jika kita harus bertumpu pada apa yang disebut tanda alami untuk berbagai tujuan komunikasi, komunikasi kita akan dianggap amat sangat terbatas dan sulit, jika bukan tidak mungkin. Di sini, saya ingin kembali kepada apa yang telah saya katakan di atas tentang topik konvensionalitas lawan spontanitas. Paradoks bahasa adalah bahwa apa yang kita sebut makna penutur bersifat alami hanya sejauh keinginan yang kuat untuk berkomunikasi, danperlunya mengekspresikan diri sendiri, merupakan hal yang alami bagi setiap penutur. Tetapi tidak demikian halnya jika kita dapat membaca makna sebuah ujaran dengan cara yang sama, dan yang sama langsungnya seperti seorang dokter mampu menginterpretasikan warna dan berbagai ciri signifikan lain dari air kencing seseorang. Sebaliknya, makna linguistik (atau kalimat) murni bersifat konvensional, sejauh ia merupakan produk dari kaidah-kaidah tata bahasa, sebagaimana telah kita lihat. Beroperasi di dalam kaidah-kaidah tersebut, sekaligus dalam berbagai konvensi (atau prinsip-prinsip) komunikasi masyarakat, adalah tugas yang diperoleh pengguna bahasa hanya secara bertahap, dan banyak dari mereka yang hanya tidak secara sempurna. Maka paradoks pragmatiknya adalah bahwa para pengguna bahasa harus menggunakan sarana linguistik konvensional untuk mengekspresikan apa yang tidak dapat diekspresikan secara langsung, dengan menggunakan tanda-tanda alamiah. Pekerjaan pikiran yang tidak terlihat, yakni maksud penutur dan pendengar tidak dapat diekspresikan secara langsung, dengan cara yang alamiah, tetapi harus diberi kode dengan pembawa non-alamiah. Paradoks dapat teratasi dengan kenyataan bahwa pembawa-pembawa itu sendiri (media, mungkin kita bisa bicara, dalam pengertian kata yang sebenarnya) sedang dikonvensionalisasikan melalui penggunaan. Sesungguhnya, tuturan menjadi begitu alami bagi kita sehingga kita bahkan menggunakan kata sifat natural (alami) untuk mendefinisikan sebuah bahasa yang kita persepsikan sebagai awan dari benar-benar buatan (artificial), misalnya bahasa logika atau komputer. Tetapi sesungguhnya, tidak ada tandatanda semacam ini seperti bahasa alami; satu-satunya bahasa yang kita miliki adalah bahasabahasa yang telah dikembangkan sebagai artefak-artefak masyarakat, di antara pengguna dan untuk pengguna bahasa. Hal ini mengantarkan kita pada kesimpulan penting berkenaan dengan pragmatik. Karena bahasa dikembangkan secara sosial, penggunaannya diatur oleh masyarakat bukannya oleh masing-masing penutur. Para pengguna bahasa tidak memutuskan secara mendadak media mana yang dipilih agar dapat menyampaikan berbagai gagasan dan perasaan mereka; mereka menggunakan tanda-tanda buatan yang diberikan oleh bahasa alami, mengingat adanya berbagai kemungkinan konteks aktual dan historis mereka. Konteks menentukan apa yang dapat dikatakan seseorang, maupun apa yang tidak dapat ia katakan: hanya pragmatik situasi memberikan makna kepada kata-kata seseorang. Dengan demikian, satu ujaran yang sama dapat memperoleh berbagai efek yang sama sekali berbeda, bahkan bertentangan secara nyata; fenomena-fenomena yang terkenal seperti ironi, sarkasme, metafora, hiperbola dan sebagainya menunjukkan kepada kekayaan dan keragaman kehidupan di balik pemandangan linguistik, bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di atas panggung melalui peran-peran dan kostum resmi. Berikut adalah contoh ironi. Jika saya berkata Great! (Hebat) kepada agen maskapai penerbangan yang baru saja memberitahu saya bahwa karena pemesanan ganda saya tidak dapat memperoleh tempat duduk di atas pesawat saya dan harus menginap di bandara, saya sedang menggunakan makna kalimat ini dalam cara yang sangat baru untuk mengekspresikan makna penutur saya: apa yang sedang saya katakan adalah sesuatu seperti This is the worst thing that could happen to me right now (Inilah hal paling buruk yang Mey 59terjadi padaku sekarang ini). Namun demikian, hal di atas tidak sama dengan varian linguistik anything goes (apapun terjadi). Meskipun benar bahwa apa yang dimaksudkan penutur dengan setiap ujaran U tidak dilemahkan oleh makna bentuk linguistik yang diujarkan (Levinson l983: 18), tentu saja hal ini tidak berarti bahwa kita sesungguhnya atau benar-benar tidak dapat berkomunikasi. Tetapi bagaimana kita melakukannya? Levinson memberikan jawaban sebagai berikut: Lantas bagaimana niat komunikasi yang penuh tersebut dapat diketahui? Adalah dengan mempertimbangkan, bukan hanya makna U, tetapi juga mekanisme yang tepat (seperti ironi, atau asumsi-asumsi umum tataran keimplisitan tertentu) yang bisa menyebabkan perbedaan antara makna U dan apa yang dikombinasikan oleh ujaran U dalam suatu konteks tertentu. (Levinson l983: 18; penekanan saya) Agar dapat memahami persoalan ini secara mendalam, perhatikan percakapan berikut, sebagaimana dianalisis Levinson (l983: 48-9); di sini, kita memiliki contoh-contoh yang menarik tentang pentingnya konteks dalam memahami ujaran, dalam hal ini sebagai bagianbagian percakapan: (A dan B sedang berbicara melalui telepon, membahas rencana-rencana untuk dua hari yang akan datang:) A: So can you please come over here again right now. B: Well, I have to go to Edinburgh today sir. A: Hmm. How about this Thursday? A: Jadi dapatkah kamu datang ke sini lagi sekarang. B: Tapi, saya harus pergi ke Edinburgh hari ini tuan. B: Hmm. Bagaimana jika hari Selasa? Hanya diperlukan waktu beberapa saat saja bagi kita untuk menyadari berapa banyak kondisi, pra-anggapan, implikatur dan berbagai keadaan faktual dan kontekstual lain yang harus dimanfaatkan dalam percakapan ini agar ia dapat dimengerti. Semua ini tidak dapat dijelaskan dengan semantik atau sintaksis, apa lagi dengan apa yang disebut fakta-fakta semata. Ambil saja beberapa contoh: waktu percakapan (today) harus dipahami sebagai berbeda dari this Thursday, tetapi bukan hanya bahwa: kita dapat berasumsi bahwa ujaran this Thursday hanya dapat dimengerti jika diujarkan bukan pada hari Rabo, atau bahka hari Kamis yang mendahului Thursday; jika tidak, maka penutur mungkin akan telah mengatakan tomorrow atau the day after tomorrow (preemptive tomorrow, sebagaimana sebutan yang diberikan Levinson terhadapnya (l983: 75). Lebih jauh, tempat dimana A sedang bertutur jelas bukan Edinburgh, tetapi juga bukan tempat yang terlalu jauh dari Edinburgh ataupun lokasi penutur; di samping itu, A tampaknya berada pada suatu posisi yang memungkinkan dirinya (bandingkan dengan sir!) untuk memberikan perintah kepada B; dan sebagainya. Levinson menyimpulkan bahwa semua fakta ini ditangani bukan padanilai permukaan, sebagai fakta-fakta semata, tetapi sebagai unsur-unsur yang menentukan, dan menjadi bagian dari konteks pragmatik: [Fakta], atas batasan teori semantik yang tepat, bukanlah bagian dari isi semantik Malahan, mereka [dan simpulan-simpulan lain yang sesuai] mencerminkan kemampuan kita untuk menghitung asumsi-asumsi kontekstual secara berurutan yang mereka implikasikan di luar ujaran: yakni fakta-fakta tentang hubungan ruang, waktu dan sosial antara para partisipan, dan keyakinan-keyakinan dan niat-niat prasyaratnya dalam memahami berbagai pertukaran verbal tertentu. Levinson l983: 49; *catatan saya) Dengan kata lain (sebagaimana telah kita lihat di atas, bagian 3.3), konteks merupakan faktor yang menentukan dalam semua pragmatik. Bagian berikut akan membahas masalah ini secara mendetail atas dasar gagasan metafora. 4.3.2 II: Kasus metafora Baru-baru ini, minat yang tumbuh kembali terhadap metafora telah menekankan kepentingannya sebagai instrumen kognisi. Metafora telah diberi peran sentral dalam proses perseptual dan kognitif kita; sesungguhnya, kita hidup dengan metafora, sebagaimana ditegaskan oleh judul sebuah kajian berpengaruh pada pokok pembahasan tersebut (Lakoff dan Johnson l980). Pembahasan tentang kecenderungan dan perlunya kesadaran metafora biasanya terpusat pada persoalan isi: Apa yang diungkapkan oleh suatu metafora tertentu, dan bagaimana? Namun demikian, ada pertanyaan lain yang perlu diajukan: Seberapa tepatkah metafora teori dalam suattu konteks tertentu (misalnya, memecahkan persoalan, mencapai konsensus, menguraikan materi bahasan yang sulit, dan sebagainya)? Meskipun metafora kita perlukan untuk bisa bertahan hidup dalam dunia tempat kita hidup (sebagai tempat penyimpanan berbagai pengalaman masa lalu kita dan sebagai bimbingan untuk mengatasi pengalaman-pengalaman yang baru), ini pulalah masalahnya bahwa secara persis penggunaan sumber-sumber metafora seseorang daat menjadi penghalang untuk memahami orang lain; baik secara aktif (karena kita tidak dapat menangkap metaforametafora orang lain) maupun secara pasif (karena pihak lain tidak mampu mengikuti penggunaan metafora saya). Kedua bahaya tersebut mencerminkan asal-asul yang umum: yakni, kenyataan bahwa metafora mewakili cara-cara berpikir tertentu yang berakar dalam suatu praktek sosial yang umum. Demikianlah, metafora merupakan sarana konseptual untuk berurusan dengan dunia yang telah menjadi diterima dalam suatu komunitas linguistik dan kultural tertentu. Dengan demikian, metafora adalah jalan hidup. Maka tidaklah mengherankan jika berbagai jalan hidup yang berbeda membahayakan metafora-metafora yang berbeda, dan jika semua pemahaman dalam kehidupan tergantung pada, dan bahkan secara krusial memberikan pra-anggapan bagi, pemahaman terhadap metafora. Baru-baru ini, para peneliti di berbagai macam bidang telah menekankan pentingnya metafora ini sebagai sarana untuk berurusan dengan dunia; sebagai kunci untuk menguak Mey 61misteri alam raya kita. Dalam sebuah artikel yang cermat tentang konsep-konsep yang tidak dapat diperbandingkan dan pemahaman mereka melalui metafora, Judge (l991) menarik perhatian kita terhadap berbagai macam penggunaan metafora dalam berbagai kebudayaan dan terhadap cara-cara dimana bentuk-bentuk pemikiran yang tersembunyi semacam ini relevan dengan saling pemahaman. Judge berbicara tentang revolusi metafora, yang ia maksudkan sebagai keterbukaan baru terhadap keragaman keyakinan dan berbagai sistem keyakinan yang merebak di antara orang-orang dan berbagai komunitas di dunia. Keterbukaan semacam ini diperlukan untuk menghindari bahaya yang bersembunyi di dalam latar belakang metafora:yaitu, semacam imperalisme konseptual atau linguistik yang merendahkan martabat orang-orang yang tidak berpikir dan berbicara seperti yang kita lakukan (tentang masalah ini, simak Philipson l991). Atau yang lebih buruk lagi: kita menolak berbagai cara lain untuk membuat metafora menjadi tidak valid, meskipun kita menekankan ketepatan kita sendiri. metafora selalu dibebani dengan ledakan-ledakan pragmatik; metafora dibebani senjata, untuk menggunakan ungkapan Bolinger (l980) yang tepat yang itu sendiri merupakan sebuah metafora. Akan saya tunjukkan perlunya sikap kritis semacam ini dengan menyelidiki metafora yang telah dipilih Judge, dalam artikel di atas, untuk menjelaskan proses-proses politik yang khas bagi demokrasi Barat dan negara-negara yang mengalami westernisasi. Dan saya akan tunjukkan bahwa meskipun ia mengakui berniat baik, ia terperosok dalam perangkap metaforanya sendiri. Inilah kata Judge: Terdapat kesejajaran yang menyolok antara rotasi tanam-tanaman dan suksesi kebijakan-kebijakan (pemerintahan) yang berlaku di sebuah masyarakat. Perbedaan tersebut juga kelihatan menyolok karena perubahan yang pada hakikatnya sangat berbahaya antara kebijakan kanan dan kebijakan kiri. Ada sedikit kesadaran yang eksplisit terhadap kebutuhan bagi setiap rotasi untuk melakukan pembenahan bagi berbagai konsekuensi negatif (pests = hama) yang ditimbulkan oleh masing-masing pihak dan untuk memperbaiki berbagai sumber daya masyarakat (nutrients, soil structure) yang secara begitu khas telah dikuras oleh masing-masing kebijakan. (l991: 38). Metafora dasar tersebut harus jelas: Pembuatan kebijakan diibaratkan semacam pertanian, dan persis seperti dalam pertanian yang sesungguhnya, seseorang harus melakukan pergantian antara tanaman-tanaman yang berbeda agar dapat memperoleh hasil yang maksimal dari lahan. Bagaimanapun juga, rotasi tanaman tidak boleh terganggu, tetapi harus dibina sesuai dengan apa yang kita ketahui tentang ciri-ciri khusus masing-masing tanaman dan struktur tertentu masing-masing petak tanah. Persis seperti budidaya monokultural (yakni, membudidayakan tanaman-tanaman yang sama secara berulang-ulang) merupakan penyebab semua kegagalan dalam pertanian, begitu juga dominasi setiap kebijakan yang tidak terkontrol, baik kiri maupun kanan, harus dihindari. Yang terakhir ini masalahnya ketika orang-orang yang memberikan suara dihadapkan dengan sistem partai tunggal ataupun frustrasi karena kurangnya pilihan yang riil antara alternatif-alternatif yangditawarkan (1991: 38). Jadi, daripada membiarkan diri kita sendiri frustrasi karena perubahan-perubahan yang tampaknya berbahaya dalam pengambilan kebijakan yang muncul bersama demokrasi dalam berbagai bentuk baratnya (atau yang mengalami westernisasi), bahkan ketika demokrasi tersebut sedang dalam kinerja yang terbaik, kita harus sadar bahwa kehidupan politik badan itu sendiri tergantung pada sistem rotasi sebagai alat pergantian antara kebijakan kanan dan kebijakan kiri, tanpa salah satu dari mereka bersikap dominan selama kurun waktu yang terlalu lama. Meskipun Judge dengan jelas mengakui berniat mengarahkan jalan tengah antara kedua kutup perbedaan komitmen politik tersebut, ia tidak mampu menghindari kuatnya biasbias historis dan kultural yang selalu muncul dalam metaforanya sendiri. Ironisnya, ia menunjukkan tidak hanya bahwa situasi yang hendak ia paparkan adalah nyata, tetapi juga (meskipun secara implisit dan bukan kemauannya sendiri) bahwa penjelasan tidak lengkap dan solusi-solusi yang ia tawarkan tidak memadai. Mengasimilasikan sebuah perubahan dalam berbagai kebijakan antara kelompok kanan dan kelompok kiri terhadap rotasi tanaman yang pada dasarnya berbahaya (l991: 38) membiarkan isi kebijakan-kebijakan tersebut tetap mengambang dalam kerangka metafora, jenis tanaman apa yang mengalami rotasi, dan bagaimana kita harus merencanakan rotasinya tergantung pada apa yang kita lakukan terhadap tanah tersebut. Politik, sebagaimana kita lihat di dunia sekarang ini, tidak lagi merupakan masalah rotasi yang sederhana. Hal ini sangat jelas. Tetapi kiri dan kanan, dalam politik, tidak pernah menjadi alternatif-alternatif yang sederhana atau menjadi angka-angka pada sebuah skala, yang sama jauhnya dari asal-usul yang dipostulatkan. Dalam politik, kiri kepanjangan dari perencanaan, kanan berkepentingan untuk melemahkan kekuatan-kekuatan apa yang disebut pengelolaan yang bebas. Dalam ekonomi yang bertipe konservatif, kekuatan pasar diperkirakan menancapkan pengaruh yang menguntungkan mereka untuk kepentingan umum, sehingga ekonomi, yang bebas dari semua campur tangan luar dan benar-benar dideregulasikan, mampu menemukan keseimbangan alaminya. Namun, apa yang kita saksikan sekarang bukan lagi pergantian antara kebijakan kiri dan kebijakan kanan, tetapi malahan, sebuah pertarungan antara orang-orang yang ingin mengorbankan segala sesuatu demi keuntungan, dan orang-orang yang menyadari bahwa agar dapat menyelamatkan berbagai sumber daya yang sudah langka di atas bumi kita, kita harus membuat perencanaan. Namun pertarungan ini, tampaknya sebagaimana ditegaskan Judge, mungkin tidak dapat dipandang sebagai soal perputaran tanaman yang sederhana, satu alternatif yang menggantikan alternatif yang lain, untuk digantikan lagi oleh yang pertama, dan seterusnya ad infinitum (secara tak terbatas). Keterbatasan sumber daya alam kita yang terbatas tidak memungkinkan apapun jenis ketidakterbatasan ini: itulah sebablah mengapa metafora tanaman, di samping itu, tidak akurat atas dasar prinsip, menggambarkan bahaya yang sangat konkret. Daya rusak yang mengantarkan kita pada penghancuran planet bumi, jika hanya dengan pengurasan sederhana sumber daya alamnya, tidak meninggalkan apa-apa untuk dirotasikan jika sumber-sumber daya alam tersebut dibiarkan berjalan begitu saja. Untuk mendapatkan tanaman yang dapat anda rotasikan, anda harus memiliki tempat untuk menaman tanaman inilah aspek yang diabaikan oleh metaforanya Judge. Mey 63Dari sudut pandang pragmatik, resiko paling besar menggunakan metafora yang salah bukanlah bahwa ia dapat meningkatkan konsepsi yang salah tentang berbagai masalah penting. Berbicara secara pragmatik, semua metafora adalah salah sepanjang metafora-metafora tersebut tidak dikontekstualisasikan, yakni, ditempatkan di dalam situasi penggunaan yang benar, dan direvitalisasikan secara terus-menerus berkenaan dengan apakah metafora-metafora tersebut dapat diterapkan atau tidak. Hanya konteks situasi yang ingin kita karakterisasikan secara metaforik dapat menentukan kebergunaan sebuah metafora tertentu. Dengan demikian bahaya yang selalu menyertai metafora adalah bila ia diterima begitu saja, dan terus digunakan oleh para penggunanya; satu-satunya jalan untuk mengatasi bahaya ini adalah terus-menerus kembali kepada akar metafora. Tugas pragmatik adalah untuk mendekonstruksi metafora, untuk membongkar beban senjata bahasa. 4.4 PEMBAHASAN BEBERAPA PRINSIP 4.4.1 Prinsip Kooperatif Secara tradisional dalam pragmatik, kita menentukan kapan pertama kali diciptakannya maksim atau prinsip-prinsip tersebut adalah kembali pada karya Grice (dalam beberapa kuliah yang pertama, dan kemudian, sebagian tulisan yang masih belum diterbitkan;bandingkan dengan l971; l975). Prinsip yang diperkenalkan Grice memiliki nama umum Cooperative Principle (di sini sering disingkat: CP); ia terdiri atas empat sub-prinsip, atau maksim, yakni: Maksim kuantitas: 1. Jadikan kontribusi anda dapat memberikan informasi sebanyak yang diperlukan; 2. Jangan jadikan kontribusi anda memberikan informasi yang lebih banyak daripada yang diperlukan. Maksim kualitas: 1. Jangan mengatakan apa yang anda yakini salah; 2. Jangan katakan sesuatu yang anda tidak cukup yakin. Maksim hubungan: Jadikan kontribusi anda relevan. Maksim tingkah laku: Bersikaplah jelas, dan khususnya: 1. untuk menghindari kekaburan 2. untuk menghindari ambiguitas 3. jangan bertele-tele 4. bersikaplah teratur. Keempat maksim, atau sub-prinsip ini, dapat dilihat sebagai contoh-contoh satu superordinat (sebagaimana Grice menyebutnya) Prinsip Kooperatif:Jadikan kontribusi anda sebagaimana yang diperlukan, pada tahap dimana kontribusi itu terjadi, dengan tujuan yang diterima atas pertukaran percakapan yang melibatkan anda. (Grice l975: 47) Untuk memulai, mari kita perhatikan sebuah contoh yang menunjukkan bagaimana Prinsip Kooperatif berfungsi, bukan dalam dunia prinsip-prinsip yang abstrak, tetapi dalam kehidupan nyata, dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya. Kapan kita menggunakan maksim, kapan kita gagal menggunakannya, dan mengapa maksim diperlukan pertama kali? Secara luas, jawaban terhadap pertanyaan yang ketiga ini adalah: Karena, jika tidak, komunikasi akan sangat sulit, dan mungkin rusak sama sekali. Cerita berikut menunjukkan kebergunaan, bahkan keperluan, salah satu maksim Grice, yakni maksim kuantitas, dalam percakapan sehari-hari: 4.4.2 Dostoyevsky dan bola karet: Sebuah anekdot pragmatik Ketika saudara perempuan saya Sara berusia sekitar enam tahun, kami tinggal selama dua hari di rumah beberapa teman. Orang-orang ini adalah pecinta buku, dan seluruh ruang tamu penuh dengan buku-buku: ada rak-rak buku di sekeliling ruangan, yang penuh hingga ke loteng. Selagi Sara bermain, agaknya bola kecilnya yang melanting berhasil menyembunyikan dirinya di balik deretan buku-buku pada salah satu rak bawah; tetapi karena ia tidak melihat bahwa bola itu menghilang, ia tidak tahu kemana harus mencarinya. Sementara itu, pemilik buku, yang sedang membaca koran di sebuah kursi di dekatnya, mengamati arah jalannya bola. Jadi, ketika Sara bertanya kepadanya apakah ia melihat bolanya, ia menjawab: Why dont you look behind Volume 6 of Dostoyevskys Collected Works? Mengapa tidak kau lihat di balik Volume 6 dari Kumpulan Karya-karya Dostoyevsky? Mengapa jawaban yang diberikan bukan jawaban yang bersifat kooperatif? Pertama, karena ia melanggar maksim tingkah laku dengan memberikan informasi dengan cara yang tidak mudah dimengerti. Bagi anak seusia enam tahun, nama Dostoyevsky tidak memiliki arti apa-apa; karena, koleksi khusus karya tulis Dostoyevsky kebetulan berada di Rusia, jadi ia pun tidak dapat mendapatkan informasi yang diperlukan dengan pergi ke rak-rak tersebut dan mencoba membaca nama-nama pengarang dan juduljudul di belakang buku-buku tersebut. Pada saat yang sama, kita juga dapat berpendapat bahwa jawaban yang diberikan tersebut melanggar maksim kuantitas karena mengandung terlalu banyak dan terlalu sedikit informasi: Informasi yang terlalu banyak bagi seseorang yang tidak tahu apa-apa tentang Dostoyevsky, dan yang baginya buku masih merupakan obyek material yang asing dalam dunianya, karena memiliki bentuk dan warna tertentu, tetapi tidak jauh lebih banyak. Dengan demikian, jawaban seperti di balik salah satu buku tebal berwarna coklat di tengah-tengah rak bawah akan lebih informatif, meskipun memberikan lebih sedikit informasi, mengatakan (informasi yang) lebih sedikit. Informasi yang terlalu sedikit, karena apa yang diberikan tidak cukup bagi gadil kecil Mey 65yang ingin mendapatkan kembali mainannya yang hilang. Tentang kedua keterangan tersebut, lawan bicara dewasa gagal mengamati tuntutan utama yang ditetapkan Grice dalam CP: yakni, untuk bekerja sama dengan mitra bicara anda. Dalam hal ini, hal itu bisa berarti yang akan datang berkenaan dengan pengetahuan seseorang, bukannya menghindar dan kikir dalam memberikan sedikit informasi dengan cara yang mungkin bisa memberikan kesan bagi sebagian khalayak dewasa, tetapi sebenarnya sangat mengasingkan anak kecil (dan juga kedua orang tuanya; sesungguhnya, bila pemilik koleksi karya Dostoyevsky mau bangkit dari kursinya dan mengambilkan bola bagi Sara, kita semua pasti berpikir: Ia telah memberikan pelayanan yang benar. 4.4.3 Kesopanan dan berbagai kebaikan lain Kritik yang sering dilontarkan terhadap maksim-maksim yang dijelaskan secara garis besar di atas adalah bahwa mereka dapat diinterpretasikan sebagai kode moral perilaku: Bagaimana menjadi lawan bicara yang baik (baik dalam dua pengertian kata: ahli dan bajik. Dan kita mudah memahami alasanya: mematuhi aturan-aturan permainan apapun menandakan bahwa anda adalah orang yang dapat dipercaya (orang yang tidak menipu), dan mungkin memberi anda kesempatan yang lebih baik untuk lebih maju daripada yang lain. Namun demikian, aspek moral masalah tersebut bukanlah apa yang membuat para filsuf dan ahli bahasa tetap paling sibuk. Tujuan yang diakui para filsuf (yang juga diadopsi oleh banyak ahli bahasa) adalah untuk menyusun filsafat penggunaan bahasa yang rasional; [untuk] menjelaskan alat yang rasional untuk melakukan percakapan-percakapan yang kooperatif (Levinson l983: 103; perkataan tersebut dikaitkan dengan Grice). Asumsi yang mendasari di sini adalah asumsi pengguna bahasa yang rasional; saya harus menjelaskan masalah lebih banyak dalam bagian yang akan datang, ketika membahas prinsip-prinsip metapragmatik seperti Ekonomi, Efisiensi, Relevansi dan sebagainya (simak bagian 4.4.6.2 dan 13.3). Tetapi sesungguhnya pengguna bahasa tidak dianggap baik dalam pengertian moral. Untuk sementara, mari kita berkonsentrasi pada prinsip lain (atau bahkan, seperangkat prinsip-prinsip): yakni kesopanan. Pertama, kita harus tahu apa yang dimaksud dengan bersikap sopan. Leech berpendapat tentang masalah ini: Beberapa ilokusi (misalnya perintah) pada dasarnya memang tidak sopan, dan beberapa yang lain (milsanya pemberian) pada dasarnya sopan (l983: 83). Pandangan ini mengasumsikan kesopanan sebagai kualitas yang abstrak, yang terletak di dalam ungkapan-ungkapan tertentu seseorang, butir-butir atau morfem leksikal, tanpa memperhatikan keadaan-keadaan tertentu yang mengatur penggunaannya. Bersikap sopan sebagai pembawaan mengimplikasikan selalu sopan, tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor kontekstual yang mungkin menentukan kesopanan dalam suatu situasi tertentu. Paling sedikit ada dua hal yang menurut pendapat kita tidak benar berkenaan dengan pandangan ini: pertama, posisi sosial para penutur yang saling berhubungan satu sama lain bisa menunjukkan nilai-nilai kesopanan yang berbeda bagi masing-masing kasus. Adanya hirarkhi sosial (sebagaimana dalam konteks yang telah terlembaga seperti sekolah, militer, komunitas agama, dan sebagainya) dapat mengambil alih penggunaan kesopananseluruhnya. Daripada mengklaim bahwa perintah dalam militer sopan bila struktur komandonya benar, saya lebih suka berkata bahwa perintah benar jika sesuai dengan tuntutantuntutan hirarkhi militer; komando bisa sopan dan bisa tidak sopan. Hal yang sama berlaku untuk percakapan antara para partisipan dalam sebuah situasi kelembagaan: pendeta yang menjatuhkan penebusan dosa setelah mendengar pengakuan adalah tidak sopan atau sopan bila ia mengeluarkan perintah Ter Ave (yang berarti: Saya memerintahkanmu untuk berkata tiga kali Hail Mary (Salam Maria) sebagai tebusan dosa atas dosa-dosa yang kamu lakukan). Kedua, kesopanan perintah bisa tergantung pada faktor-faktor yang lain, seperti pengaruh positif atau negatif pada orang yang diberi perintah. Olga Kunst-Gnamus (l991) telah menunjukkan bahwa ukuran untung-rugi ini bersifat pasti dalam memberikan nilainilai kesopanan pada perintah-perintah yang terang-terangan. Statistiknya menunjukkan bahwa evaluasi terhadap kesopanan sebuah permintaan yang diungkapkan dalam bentuk perintah tergantung pada evaluasi atas ukuran kerugian dan keuntungan yang berasal dari tindakan yang dituntut (l991: 59) Dengan kata lain, saya dapat menggunakan perintah yang terang-terangan jika perintah tersebut menguntungkan bagi orang yang saya ajak bicara (Ambil lagi kuenya), bila dipertentangkan dengan perintah yang menimbulkan kesulitan bagi pendengarnya (Kulitilah kentang itu). Akibat hubungan ini, permintaan kepada pendengar bisa diungkapkan langsung dalam bentuk perintah tanpa dianggap tidak sopan (l991: 60; tentang perintah terus-terang, simak bagian 4.4.4 di bawah). Menurut Leech, soal kesopanan, sebagai sebuah prinsip, adalah memperkecil pengaruh pernyataan-pernyataan atau ungkapan-ungkapan yang tidak sopan (kesopanan negatif) dan untuk memperbesar kesopanan ilokusi yang sopan (kesopanan positif); tentu saja dengan terus mengingat niat yang menyertai semua percakapan sepanjang waktu. Berikut saya sajikan beberapa contoh, yang semuanya diberikan oleh Leech (l983: 80): Parent: Someones eaten the icing off the cake. Child: It wasnt ME. Orang tua: Ada yang telah makan kue yang beku. Anak: Bukan AKU. (dengan intonasi yang naik-turun pada ME yang ditekankan) Maksud Leech, dalam memberikan contoh ini, adalah bahwa cara tertentu orang tua untuk menyindir secara tidak langsung kesalahan kecil yang mungkin telah dilakukan oleh anaknya dianggap lebih sopan daripada tuduhan langsung. Jika orang tua itu telah mengatakan sesuatu seperti You have eaten the icing off the cake Mey 67Kamu telah makan kue yang beku kepada anak itu, bukannya bertumpu pada implikatur, anak itu akan merasa dihina, khususnya jika tuduhan tersebut sesungguhnya tidak benar. Dengan demikian, ujaran orang tua, meskipun melanggar maksim kuantitas di bawah Prinsip Kooperatif, sejauh ia tidak memberikan informasi sebanyak mungkin, atau mungkin bahkan tidak relevan sama sekali, mematuhi prinsip kesopanan, dan dengan demikian, sebagaimana dikatakan Leech, menyelamatkan Prinsip Kooperatif dari persoalan yang serius (saya akan kembali membahas masalah ini di bagian yang akan datang). Demikian juga, dalam contoh berikut: A: Well all miss Bill and Agatha, wont we? B: Well, well all miss BILL A: Kita semua akan merindukan Bill dan Agatha, kan? B: Ya, kita semua akan merindukan BILL. (pola intonasi seperti dalam contoh di atas), prinsip yang diajukan Leech, sekali lagi, adalah kesopanan, dan bukan kerja sama. Dengan tidak menyebutkan Agatha, bila anda tidak setuju tentang dirindukannya, anda lebih sopan daripada dengan mengatakan langsung bahwa anda tidak akan merindukan Agatha. Jadi di sini kerja sama juga kembali pada kesopanan: B, dalam jawabannya yang tidak memberikan komentar pada bagian ujaran A, maklum dan sengaja melanggar maksim kuantitas, tetapi melakukannya karena alasan-alasan kesopanan. Perhatikan bahwa pencemoohan terhadap sebuah prinsip, begitulah sebutan yang diberikan Grice, tidak mesti berarti bahwa B lebih baik dalam berurusan dengan orangorang yang tidak terkenal seperti Agatha: kesopanan dan bersikap baik tidak mesti berhubungan. Sesungguhnya, dengan tegas kita bisa berpendapat bahwa cara penutur dalam contoh di atas memperlakukan Agatha saat tidak adanya jauh lebih baik daripada menyebutnya terang-terangan sebagai persona non grata jika karena tidak ada alasan yang lain, maka karena tempat Agatha dalam percakapan tersebut (meskipun ia ada di sana) dikesampingkan secara a priori dan cepat: ia pun bahkan tidak disebut dalam jawaban yang diberikan B. Salah satu fungsi kesopanan adalah untuk menciptakan jarak antara para lawan bicara (atau untuk mewujudkan jarang yang telah ada, sebagaimana dalam kasus penempatan hirarkhi sosial yang harus dijaga melalui penggunaan bahasa). Tetapi dalam sebagian besar kasur jarak mengurangi jumlah kolaborasi verbal yang mungkin. Jawaban yang distandarkan dalam militer hanya satu contoh (Siap! Siap Pak!: namun contoh kerja sama yang lain masih menghasilkan kesopanan. Apa yang dipikirkan Leech ketika ia berbicara tentang Prinsip Kesopanan adalah suatu prinsip yang diperkirakan beroperasi pada tataran yang sama seperti, atau berkolaborasi dengan, Prinsip Kooperatif dan maksim-maksim terkait. Namun demikian, tidak semuanya memungkinkan bahwa Prinsip Kesopanan memang bisa, atau bahkan diperlukan, untuk menyelamatkan Prinsip Kooperatif (l983: 80); setidak-tidaknya, kemampuan semacam initidak dibuktikan oleh contoh-contoh yang diberikan Leech, dan di samping itu, sebagaimana akan kita lihat, Prinsip Kooperatif mungkin bahkan tidak perlu diselamatkan. Bahkan, pengamatan-pengamatan yang diberikan Leech pada berbagai macam maksimnya, seperti maksim kebijaksanaan, kedermawanan, penerimaan dengan baik, dan sebagainya (l983: 131ff), memiliki nilai tertentu dalam dirinya sendiri sebagai alat deskriptif. Hal yang sama berlaku bagi prinsip-prinsip yang lain (seperti Prinsip Ironi) yang dipostulatkan Leech. Meskipun prinsip-prinsip ini secara teoritis atau praktis tidak berada pada tataran yang sama seperti Prinsip Kooperatif, kita dapat berupaya untuk menggolongkannya di bawah prinsip yang terakhir ini dalam suatu bentuk atau bentuk yang lain, begitu kita telah sepakat atas kerja sama sebagai landasan percakapan. Sesungguhnya inilah yang hendak kita bahas dalam bagian bab selanjutnya. 4.4.4 Apakah mereka benar-benar bekerja sama? Kehilangan muka Pertanyaan yang diajukan dalam judul bagian ini dapat dilengkapi sebagai berikut: dan jika ya, apa alasannya dan sejauh mana? Sesungguhnya, tampaknya ada dua gagasan yang terlibat di sini. Yang pertama adalah perilaku kooperatif sebagai semacam rasionalitas (tanpa kerja sama, komunikasi tidak akan mungkin dapat dilaksanakan, oleh karena itu kita lebih baik bekerja sama). Yang kedua adalah gagasan kerja sama sebagai apa yang secara minimal diperlukan untuk menjelaskan apa yang benar-benar sedang terjadi di antara orang-orang yang menggunakan bahasa (jika A mengatakan ini dan itu, maka B mungkin memberikan reaksi dengan cara tertentu, atau: perkataan A mengimplikasikan bahwa hal-hal tertentu bisa dianggap sebagai masalah oleh B, yang kemudian akan bertindak demikian). Masalah yang pertama adalah masalah filosofi moral dan politik praktis: Dapatkah orang-orang yang memiliki kepentingan-kepentingan yang bertentangan, dan sesungguhnya kadang-kadang saling berantem satu sama lain (seperti orang-orang Palestina dan Israel, Irak dan Amerika, kaum Sunnah dan Syiah, Serbia, Kroasia dan orang-orang Islam di bekas Yugloslavia, dan sebagainya) dianggap benar-benar mengadopsi kerja sama sebagai dasar bagi perilaku percakapan, dan secara umum, komunikasi mereka? Tentang masalah ini Levinson berkomentar: Apakah mereka (maksim-maksim perilaku percakapan) merupakan kepentingan diri sendiri konvensional yang kita pelajari saat kita belajar, misalnya, tingkah laku di meja makan? Grice menegaskan bahwa sesungguhnya maksim bukanlah konvensi yang bersifat arbitrer, tetapi bahkan mendeskripsikan alat-alat rasional untuk melakukan percakapan-percakapan yang bersifat kooperatif. Jika demikian, kita dapat menganggap bahwa maksim juga mengatur aspek-aspek perilaku bukan linguistik, dan memang tampaknya mereka demikian. (Sejumlah kasus ilustratif dari kehidupan sehari-hari dapat disajikan di sini, seperti: Ketika diminta untuk menyodorkan cairan rem, anda tidak menyodorkannya, dan sebagainya.) Dalam masing-masing kasus ini perilaku [tidak kooperatif] kekurangan Mey 69pengertian alamiah kerja sama secara penuh, karena ia melanggar salah satu analogo atau lainnya dari maksim-maksim percakapan. Ini menegaskan bahwa maksimmaksim tersebut benar-benar berasal dari berbagai pertimbangan umum rasionalitas yang berlaku bagi semua jenis percakapan kooperatif, dan jika demikian, di samping itu, mereka juga perlu diterapkan secara universal, paling tidak sejauh kendala-kendala budaya tertentu lainnya terhadap interaksi tersebut memungkinkan. Secara luas, hal ini tampaknya juga demikian. (l983: 103; penekanan saya) Dalam bagian yang akan datang, saya akan mencoba dan menetapkan beberapa kriteria untuk kerja sama yang nyata (kerja sama penuh yang diajukan Levinson) dan menunjukkan bahwa gagasan ini bersifat utopis, sejauh dalam pemikiran pragmatik kita tidak dapat beroperasi pada fiksi rasionalitas umum. Tetapi sebelum saya masuk kedalam pembahasan tersebut, saya ingin mengatakan beberapa kata tentang suatu konsep yang telah menarik banyak perhatian dalam tahun-tahun terakhir, khususnya di antara orang-orang yang mengkaji fenomena-fenomena kerja sama dari sudut pandang praktis (misalnya para ahli etnometodologi dan analis percakapan; simak bab 11 dan 12), yakni, gagasan muka. Muka atau wajah pada umumnya diyakini berasal dari gagasan Timur jauh tentang kesopanan yang dikaitkan dengan ungkapan kehilangan muka. Dalam interpretasi yang telah baku terhadap konsep ini (yang diberikan Brown dan Levinson l978), pengertian muka memiliki dua aspek: aspek positif, yang digunakan untuk menetapkan status seseorang sebagai agen yang otonom, independen, dan bebas; dan aspek negatif, yang dipakai untuk menekankan kekebalan seseorang dari campur tangan dari luar dan tekanan eksternal yang tidak pada tempatnya. Sebagai perbandingan, perhatikan definisi-definisi yang analog yang dapat diberikan tentang kebebasan: kebebasan positif, misalnya, ialah kebebasan untuk mengekspresikan diri sendiri, untuk memberikan suara, untuk bepergian, untuk memilih teman saya sendiri; kebebasan negatif adalah terbebas dari tekanan, dari ancaman terhadap keselamatan saya, dari tuntutan politik, gangguan polisi, mendesak para tenaga penjualan, dan sebagainya. Dalam bertindak kooperatif, orang-orang mencoba membangun wajah-wajah positif lawan bicara mereka, sambil mencoba menghindari upaya untuk melontarkan ancaman kepada wajah-wajah negatif. Hal ini sangat penting dalam interaksi linguistik, karena setiap keterlibatan dalam percakapan membuka kemungkinan untuk kehilangan muka: Saya bisa saja terpancing, dan mengatakan sesuatu yang sesungguhnya tidak ingin saya katakan atau tidak berniat untuk melakukan tukar pikiran dengan lawan bicara saya (sebagaimana sering terjadi dalam berbagai wawancara terbuka), atau mungkin saya selalu diperlakukan tidak menyenangkan oleh seseorang yang tidak suka kepada saya, yang menganggap kehadiran saya tidak diterima atau yang ingin mengeksploitasi saya demi keuntungannya sendiri. Bila muka terancam dalam interaksi, kedua muka, baik positif maupun negatif, sedang menghadapi serangan. Permintaan untuk membantu seseorang, misalnya, bisa merupakan ancaman bagi wajah positif saya (Alangkah gilanya orang ini yang menganggap keberadaan saya di sini adalah untuk membantunya? sesungguhnya merupakan varian pada tema lamaApakah saya penjaga saudara saya?; Genesis 4: 9); sekaligus tentang wajah negatif saya (Aku tidak ingin diganggu). Lawan bicara saya (khususnya jika ia kenal saya) dapat berpikir tentang bagaimana cara memperkecil ancaman-ancaman muka ini, baik dengan membangun wajah positif saya (Sesungguhnya kamu adalah satu-satunya orang di dunia yang dapat membantu saya) atau dengan melayani wajah negatif saya (Aku tahu bahwa ini membebani kamu, tapi sudikah kamu menolongku?) Dalam kasus yang pertama, mitra bicara saya mencoba membuat saya merasa dihargai, dikasihi, sangat diperlukan; dalam kasus yang kedua, ia menunjukkan kepada saya rasa hormat yang sungguh-sungguh dengan secara terang-terangan menyatakan bahwa ia menyadari ia sedang mengganggu privasi saya, dan bahwa ia menyesalinya. Namun demikian, ini adalah kemungkinan ketiga, tergantung pada seberapa baik saya kenal dengan orang ini, dan seberapa jauh jarak sosial antara saya dan lawan bicara saya. Strategi ini disebut to go bald on record (strategi terang-terangan) (seperti setelah meminta bantuan, informasi atau apa saja, sebagaimana dalam contoh di atas). Keadaan dapat memaksa saya menggunakan perintah terang-terangan, sebagaimana ketika saya menemukan ada bom dalam mobil, dan saya berteriak kepada para penumpang saya: Keluar dari sini, cepat! Dalam situasi keluarga, perintah terus-terang seringkali terjadi (Sodorkan garam!); sebagaimana dikutip sebelumnya, ketika permintaan adalah demi manfaat orang yang diajak bicara, kita lebih mungkin untuk bersikap terang-terangan: Selamat pagi, ambillah sendiri bila ingin tambah wisky, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan yang mendekati ancaman wajah sering disebut alat peringanan (simak, misalnya, Fraser l980); di sini, kita juga dapat memasukkan teknik-teknik yang akan kami bahas kemudian, ketika kita berbicara tentang tindak tutur tidak langsung (bab 7), praurutan (bagian 11.5.1) dan tindak pragmatik (bagian 12.7). Dalam hubungan ini, salah satu teknik semacam ini khususnya perlu disebutkan: permintaan yang dapat dilupakan (yang saya beri nama, setelah ungkapan: Forget it (Lupakan saja)). Jika seseorang meminta bantuan saya tanpa sesungguhnya mengajukan permintaan formal, misalnya, dengan memberikan isyarat (Waduh, tampaknya es krim itu benar-benar enak yang secara tak langsung berarti: Dapatkah saya merasakannya?), permintaan dibuat off record (tidak resmi), sebagaimana sebutan yang diberikan Brown dan Levinson (l978); oleh karena itu, saya, sebagai orang yang diajak bicara, juga tidak harus menjawab secara resmi, sebagaimana mengakui dan memberikan reaksi terhadapnya. Jawaban resmi yang tepat (yang berarti kurang lebih sebagai penolakan halus) adalah: Ya, bukankah mereka pintar, orang-orangnya Stevenson itu? (Stevenson yang merupakan nama dari para pembuat es krim). Karena muka saya tidak pernah merasa terancam secara resmi oleh permintaan ini, saya tidak harus merasa risau dengan setiap ancaman apapun implisit terhadap muka saya: jawabannya juga sama-sama tidak resmi seperti permintaannya. Alternatifnya, saya dapat memberikan reaksi dengan mengatakan: Ya, mengapa kau tidak membeli sendiri saja? Di sini, permintaan implisit tersebut ditolak secara lebih terangterangan, dan saya menunjukkan bahwa saya telah mendeteksi alasan yang sesungguhnya atas perkataan yang lain. Dalam hal ini, tampaknya isyarat tersebut juga tidak saya tangkap tetapi tidak selengkap dalam kasus yang pertama, meskipun terlontar ancaman yang lebih Mey 71sedikit terhadap muka lawan bicara saya daripada jika saya harus menjawab secara resmi dengan penolakan yang kasar (Pergilah, Jangan buang-buang waktumu, Tinggalkan aku sendiri, atau Es krim BUKAN untukmu). Dalam semua kasus ini, apa yang sedang kita bicarakan adalah cara-cara yang berbeda untuk menjaga kesopanan seraya mempertahankan integritas seseorang sebagai seorang lawan bicara dan mencoba bersikap penuh perhatian terhadap muka lawan bicara seseorang sekaligus. Kerja sama adalah perilaku yang rumit, dan kesopanan dapat didefinisikan sebagai sebuah strategi bagi kerja sama dengan kerugian sekecil-kecilnya dan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi semua lawan bicara. 4.4.5 Persoalan-persoalan berkenaan dengan kerja sama Meskipun pertimbangan Levinson tentang rasionalitas umum yang berlaku pada semua jenis percakapan kooperatif segera dapat kita pahami secara logis, sebagaimana dikutip dalam bagian sebelumnya, namun ada sejumlah persoalan yang tidak tersentuh olehnya. Dalam bagian berikut, akan saya sebutkan tiga dari daerah-daerah persoalan yang terpenting. Pertama, ada persoalan rasionalitas umum kerja sama antar manusia, yang dianggap sebagai suatu jenis maksim umum yang tidak dapat dilanggar dan tidak dapat diperdebatkan. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh banyak pengarang (simak, misalnya, Leech dan Thomas l988: 15 untuk beberapa rujukan), asumsi ini hanya terlalu luas dan menyeluruh. Saya tidak akan menjawab pertanyaan ini secara terperinci di sini, tetapi merujuk pada apa yang telah saya tulis tentang pokok pembahasan ini dalam buku yang lain (Mey l985). Kedua, ada masalah perbedaan antar budaya tentang apa yang diasumsikan orangorang sebagai perilaku kooperatif; dalam hal ini, budaya dapat sangat berbeda-beda, dengan berbagai konsekuensi yang berbahaya bagi calon pelaku percakapan kooperatif yang naif. Beberapa ahli bahasa (misalnya, Gazdar l979: 4 5) telah menganggap bahwa persoalan ini secara tak langsung berarti bahwa kerja sama, dalam pengertian eksklusif prinsip-prinsip Grice Jangan bertele-tele, Berbicaralah terus-terang, dan sebagainya, tidak terjadi sedemikian rupa, tetapi didefinisikan selalu berhubungan dengan suatu budaya tertentu; sebagai bukti, ia mengemukakan kasus Malagasy (seperti yang dikaji Keenan l976), yang bentuk kerja samanya tampaknya berupa upaya agar kontribusi yang mereka berikan akan kelihatan sekabur, sesulit, dan serumit mungkin. Gazdar mengangap bahwa persoalan ini berarti bahwa bagi orang luar apa yang mestinya tampak sebagai pelanggaran yang terangterangan terhadap Prinsip Kooperatif, sesungguhnya merupakan cara yang normal, atau bahkan sangat dihargai untuk menerapkan kebaikan-kebaikan kerja sama percakapan dalam budaya tertentu ini. Namun, para ahli yang lain (seperti Green l989: 96) telah menyangsikan berbagai pra-anggapan yang mendasari pembahasan ini, dengan mengatakan bahwa kekaburan yang diajukan (menahan informasi) sangat ditentukan oleh konteks: informasi [yang] tidak mengancam posisi penutur dalam komunitas [atau melanggar tabu, seperti yang juga disebutkan Green] tidak disembunyikan. Green menyimpulkan bahwa para penutur Malagasy mematuhi Prinsip Kooperatif, meskipun kadang-kadang mereka harus membiarkan maksim kuantitas menjadi prioritas kedua bagi maksim kualitas. Masalah ketiga agak berbeda dari kedua masalah yang pertama, meskipun ia memilikisedikit kesamaan dengannya. Ketika kita memperhatikan apa yang terjadi dalam penggunaan bahasa, kita tidak tahan untuk tidak memperhatikan bahwa bentuk-bentuk perilaku tertentu lebih disukai (dan oleh karena itu lebih dihargai), sedangkan bentuk-bentuk perilaku yang lain selalu mendapatkan sangsi. Sesungguhnya kerja sama praktis termasuk dalam kategori yang pertama ini, seperti dalam contoh yang diberikan Levinson (l983: 103): kami tidak menyodorkan cairan rem itu kepada seseorang jika yang ia minta adalah minyak rem; bandingkan juga apa yang dikatakan dalam Injil: Manusia macam apa kamu, jika anakmu meminta roti, apakah akan kamu beri batu? (Matius 7: 9). Pertama, yang terjadi adalah bahwa seseorang menemukan berbagai ketidakaturan dalam pemahaman yang tidak selalu langsung tergantung pada, atau dapat disimpulkan dari, kandungan semantik ujaran-ujaran yang sedang dibicarakan, dan kadang-kadang bahkan bertentangan dengan kandungan resmi tersebut (seperti dalam bahasa Inggris Pasaran Amerika he baaad, man (ia orang jahat)). Ujaran bukan sekadar obyek dalam dunia fisik, juga tidak semata-mata termasuk bidang logika dan filsafat (seperti pertimbanganpertimbangan Kelompok). Ujaran adalah obyek linguistik: yang berarti bahwa, pertama, ujaran mengandung obyek-obyek linguistik yang lain, ujaran-ujaran lain; ujaran tidak hanya digolongkan kedalam hukum fisika atau logika, atau dialokasikan sebuah tempat dalam alam semantik dengan menggunakan pembuatan indeks sederhana terhadap fungsi (yang nyata atau referensial). Implikasi-impliakasi obyek linguistik, termasuk hubungan-hubungannya dengan, dan pengaruhnya terhadap, dunia jauh lebih rumit daripada yang dibayangkan oleh sebagian besar filsuf bahasa dan ahli logika, dan bahkan oleh banyak ahli linguistik. Dan di sini pun dan hal ini penting diperhatikan kami tidak sedang berurusan dengan masalah-masalah moral: yang dipertaruhkan di sini hanyalah apa yang terjadi antara para pengguna bahasa. Ambil saja salah satu contoh yang diberikan Lakoff (l983: 103): jika seorang pemilik mobil memberitahu orang yang sedang lewat bahwa ia kehabisan bensin, dan orang yang lewat tersebut menjawab: Oh, theres a garage just around the corner, Oh, ada sebuah garasi persis di sekitar pojok itu, hal ini, dalam percakapan yang normal, secara tak langsung dianggap berarti bahwa pemilik mobil akan bisa mendapatkan bensin di sana dan bahwa tujuan perkataan tersebut memang untuk mengetahui kemungkinan untuk mendapatkan bensin di dekat tempat itu. Tetapi yang kedua, dan yang lebih menarik, seluruh persoalan mencemoohkan maksim harus dipertimbangkan kembali dalam kaitannya dengan apa yang ingin diperoleh seseorang dengan perilaku linguistik mereka, yakni, dalam hubungannya dengan aspek pragmatik kerja sama (sebagaimana telah saya sebutkan beberapa kali; misalnya dalam bagian 4.4.2, dimana saya membahas kasus bola karet Sara, dan bagaimana Dostoyevsky dapat dibidikkan pada masalah tersebut). Konsep umum pencemoohan menganggap sebelumnya efek yang diinginkan dari pelanggaran sebuah maksim; dalam kasus Sara efeknya mungkin untuk mengesankan orang yang ada di dekatnya, atau siapa tahu? untuk mendidik anak yang berusia enam tahun. Mey 73Seperti dikatakan Leech dan Thomas (l988: 15 16), secara terang-terangan kita dapat memperlihatkan pelanggaran terhadap salah satu maksim agar dapat mengarahkan lawan bicara untuk mencari makna tersirat yang tersirat, dengan demikian secara tak langsung membangkitkan ingatan pendengar atau pembaca pada asumsi salah satu implikatur percakapan atau lebih. Namun demikian, pencemoohan ini juga dapat terjadi dengan cara-cara yang bahkan lebih mendalam dan sengaja, khususnya bila efek pragmatik yang dimaksudkan, begitulah kira-kira, ditunda untuk mendapatkan hasil-hasil yang lebih baik. Misalnya saja ketika menceritakan sebuah cerita lucu, saya mulai dengan mengungkapkan bagian pokoknya. Hal itu tidak menguntungkan saya, atau pendengar saya tidak akan menghargai pengamatan saya terhadap maksim kuantitas (berilah informasi sebanyak mungkin). Saya hanya sedang menjadi seorang pengisah cerita lucu yang buruk. Atau perhatikan pengarang yang, dalam menceritakan sebuah cerita, menempatkan semua kartunya di atas meja. Kita benar-benar mendapatkan informasi, dan informasi selengkaplengkapnya tetapi apakah kita suka diperlakukan seperti itu? Pasti tidak: sebagai pembaca, pada saat tertentu, kita ingin dianggap tolol (Mey l993b). Pengarang yang memainkannya dengan tulus tidak dapat berharap dianggap secara serius: pengarang yang baik memiliki sesuatu yang dirahasiakan, dan mungkin bahkan sengaja memberikan penghilanganpenghilangan, pernyataan-pernyataan yang menyesatkan, perkataan-perkataan yang tidak memberikan informasi atau bersifat disinformatif: semuanya merupakan tipu muslihat cerita, yang berfungsi untuk menciptakan sebuah ilusi yang kondusif bagi perkembangan alur cerita. Mendiang penulis Argentina Julio Cortzar merupakan guru besar masa lalu dalam bidang seni tipuan yang halus; dalam salah satu novelanya, Clone (l985), ia mengarahkan kita ke sebuah jalan setapak cerita musikal, hanya untuk mengungkapkan, di akhir cerita itu sendiri, bahwa sepanjang waktu ia telah bermain dengan dua bungkus kartu; dengan kata lain, dia telah sengaja mencemooh sebagian besar maksim yang diberikan Grice. Yang terjadi dalam novela tersebut adalah menghidupkan kembali tragedi sejarah secara modern: pembunuhan ganda terhadap isteri Gesualdo dan kekasihnya oleh tangan suaminya sendiri, Pangeran Venosa yang gila itu. Cortzar kembali menghidupkan cerita ini dengan memberi para tokoh utamanya bagian-bagian penggalan musik yang mereka mainkan: bagian-bagian tersebut diungkapkan, sebagaimana aslinya, dalam lagu-lagi percintaan Gesualdo kecuali bahwa informasi musikologis yang penting ini tidak diberikan kepada kita sampai kita selesai bacaan kita yang pertama; setelah itu pengarang mengajak kita pada bacaan kedua, jika kita mau, dimana kita semua diberi informasi yang diperlukan. Pada kesempatan lain, dalam sebuah cerita laba-laba aneh (Historia con migalas, l985), Cortazar memberlakukan permainan kucing dan tikus yang asli dengan para pembacanya, yang mengarahkan mereka ke jalan setapak kekaburan morfologis, yang didasarkan pada sifat bahasa Spanyol yang tidak memberikan banyak informasi tentang gender bentuk-bentuk kata kerja jamak yang tidak digabungkan dan konstruksi-konstruksi predikatif. Hanya dalam dua baris yang terakhir terungkap bahwa orang-orang yang kita anggap sebagai pasangan normal sesungguhnya adalah dua janda hitam (black widows)yang mengganyang orang-orang pria yang berhubungan dengan mereka. (Analisis terhadap karya utama cerita ini diberikan dalam Mey 1992b.) Dengan demikian, kita tahu bahwa mencemooh maksim dapat berbentuk berbagai macam hal, dan bahwa dalam analisis yang terakhir, tidak ada cara lain untuk menetapkan atau melarang pelanggaran tertentu sebagai hal yang berguna atau merusak. Di sini, sebagaimana dalam semua masalah lain dalam konsumsi linguistik, produsen dinilai dengan adanya kemauan para pelanggannya untuk turut berkongsi dalam pelanggaran maksimmaksim tersebut: bukti pelanggaran tersebut, sebagaimana biasanya, selalu dapat kita rasakan. 4.4.6 Kembali Memikirkan Grice: Apakah kita membutuhkan semua maksim? Pertanyaan yang biasanya muncul adalah apakah tidak mungkin untuk menyederhanakan berbagai macam penjelasan maksim-maksim yang berkaitan dengan kerjasama. Sebagaimana dikatakan Green (1989: 89), maksim memiliki berbagai macam pertimbangan dalam pikiran manusia. Dengan demikian, terdapat nilai moral yang lebih besar yang melekat pada maksim kualitas daripada pada maksim-maksim yang lain: melanggarnya berarti menghina moral, sedangkan melanggar maksim-maksim yang lain paling banter dianggap sebagai sikap sembrono atau kasar. Kita juga bisa mempertanyakan perlunya semua maksim tersebut: tidak dapatkah masim-maksim tersebut sedikit disederhanakan? Green menyebutkan keraguannya tentang maksim kuantitas, yakni bagian kedua (Jangan anda jadikan kontribusi anda menyediakan informasi lebih banyak dari yang diperlukan), dan mempertimbangkan kemungkinan untuk memasukkannya dalam paroh pertama maksim tersebut (Jadikan kontribusi anda memberikan informasi sebanyak yang diperlukan); alternatifnya, dia (bersama Grice) menyarankan untuk memasukkannya di bawah maksim hubungan (Bersikaplah relevan). Demikian jua, dalam kasus maksim kualitas, kita dapat berargumen bahwa paroh pertama maksim tersebut (Jangan katakan apa yang anda yakini salah) mungkin memerlukan paroh yang kedua (Jangan katakan sesuatu yang anda tidak memiliki bukti yang cukup): jika saya tidak pernah mengatakan sesuatu yang saya yakini salah, maka saya tidak pernah perlu mengatakan apapun yang saya hanya memiliki alasan-alasan yang tidak tepat untuk percaya. Tentang maksim relevansi, ini telah menjadi pokok persoalan dari dua usaha besar untuk kembali memikirkan Grice. Yang pertama usaha yang dilakukan Horn (1984); yang lain dilakukan oleh Sperber dan Wilson (1986). Proposal-proposal tersebut sedikit serupa dalam artian bahwa keduanya berkonsentrasi pada relevansi; mereka berbeda dalam artian bahwa usaha yang pertama mempertahankan relevansi dalam kerangka umum teori Grice, sedangkan usaha yang kedua menjadikan relevansi sebagai batu pijakan sebuah pendekatan baru terhadap komunikasi dan kognisi, yang secara tepat dideskripsikan sebagai Teori Relevansi. Kedua proposal tersebut juga berbeda tentang jumlah perhatian yang mereka tarik. Sperber dan Wilson menghasilkan banyak perhatian terhadap penerbitan buku mereka, Relevance, Communication and Cognition; setelah penerbitan buku mereka, (meskipun masih agak bersifat lokal) muncul suatu gerakan (sebagian orang bahkan menyebutnya suatu aliran) yang kuat, dimana teori relevansi dibahas dan digunakan sebagai modal untuk spekulasi dan deskripsi lebih lanjut (simak, misalnya, Blakemore 1990). Sebaliknya, teori neo Mey 75Grice yang diajukan Horn tetap menjadi usaha yang lebih terasing, yang tidak pernah memperoleh status yang sama; namun teori tersebut perlu diperhatikan secara cermat atas analisisnya yang serius dan perumusan yang baik atas beberapa pemikiran yang agak asli tentang subyek maksim-maksim tersebut. Saya akan membahas kedua proposal tersebut secara terpisah dalam bagian-bagian berikut. 4.4.6.1 Dua prinsip Horn Horn terfokus pada persoalan sentral dalam kerja sama percakapan: Beberapa ujaran, pada bacaan tertentu, memiliki makna yang jelas dan tidak ambigu, interpretasi-interpretasi yang lain menuntut usaha khusus pada pihak pendengar. Dengan demikian, misalnya, jika saya berkata I cut a finger yesterday Kemarin jari saya teriris (contoh Horn (1984: 15), di sini sedikit diadaptasikan), Bacaan normalnya adalah bahwa jari yang teriris tersebut adalah jari saya, dan diperlukan rentangan imajinasi untuk membaca sebuah jarum sebagai sesuatu yang menjadi milik orang lain. Sebaliknya beberapa ujaran yang tampak sangat serupa menuntut usaha tambahan agar dapat diinterpretasikan di sepanjang baris-baris bacaan yang normal ujaran di atas, sedangkan untuk mendapatkan interpretasi alternatif tidak diperlukan usaha apapun. Dengan demikian, bila saya berkata I'm meeting a woman tonight, Saya akan bertemu seorang wanita malam ini wanita itu bukan milikku (apapun yang diimplikasikannya); setiap interpretasi yang lain hanyalah sebuah lelucon (dan seringkali dieksploitasi semacam ini). Mengapa begitu? Itu bukan sekedar membuat penyesuaian khusus dan kaidah-kaidah lokal (seperti yang terdapat dalam kasus jari, syarat yang diperlukan harus menetapkan bahwa diperlukan lebih dari satu syarat: hidung, sebagaimana yang dikatakan Grice, dalam kaitan ini tidak akan memenuhi syarat). Persoalan tersebut terletak lebih dalam, dan itu adalah berkat jasa Horn yang telah menunjukkan interpretasi yang masuk akal untuk kasus-kasus seperti ini dengan menarik maksim-maksim percakapan. Horn mempostulatkan adanya dua prinsip agar dapat menjelaskan fenomena yang sangat aneh tersebut: bahwa dua ujaran yang (terlepas dari perbedaan-perbedaan leksikalnya) sangat serupa strukturnya, masih dapat memiliki makna yang berlawanan secara frontal. Prinsip-prinsip tersebut adalah Q-principle (Q' untuk kuatitas), memberitahu kita untuk mengatakan sebanyak yang dapat kita katakan; dan R-principle (R' untuk relasi atau hubungan), yang mengatakan bahwa kita harus berkata tidak lebih dari yang harus kita katakan. Jika saya menyatakan bahwa jari saya teriris kemarin saya membangkitkan Rprinciple untuk menetapkan kenyataan bahwa jari tersebut adalah milikku (saya tidak perlu berkata lebih banyak; jika saya berkata lebih banyak, orang-orang bisa beranggapan sayaanggota yakuza (bandit di Jepang)); sedangkan dalam kasus wanita itu, saya membangkitkan Q-principle untuk menjelaskan bahwa ia bukan isteriku atau pacar tetapku yang sedang saya kunjungi (jika ia adalah isteriku atau pacar tetapku, saya tidak mengatakan apa yang saya katakan sama sekali). Perbedaan-perbedaan tersebut menjadi lebih jelas bila kita memikirkan jawabanjawaban yang mungkin bagi kedua kalimat tersebut. Normalnya, bila seseorang memberitahu saya kecelakaan seperti kasus jari itu, maka reaksi saya akan berupa reaksi penyesalan; mungkin saya mengatakan sesuatu seperti Thats too bad; Menyedihkan sekali dan tidak ada hal lebih banyak yang dapat dikatakan tentang kejadian tersebut. Namun demikian, dalam kasus dimana seorang teman menggunakan ujaran kedua di atas untuk memberitahu saya tentang pacarnya, mungkin saya akan mengatakan sesuatu sebagai berikut Oh? Who is she? Oh? Siapa dia? yang kesimpulannya adalah ada lebih banyak hal yang perlu dikatakan. Dengan kata lain: dalam kasus Q, saya telah menyediakan informasi sebanyak yang dapat saya berikan, mengingat adanya berbagai keadaan; dalam kasus R, saya biarkan keadaan-keadaan tersebut berbicara sendiri dan tidak memberikan informasi lebih dari yang diperlukan. Dalam sistem Horn, Q-principle mencakup maksim kuantitas1 Grice (yang merupakan paroh pertama maksim tersebut), sedangkan R-principle di dalamnya berisi paroh kedua maksim kuantitas (kuantitas2) ditambah maksim-maksim tingkah laku dan hubungan. (Horn membiarkan maksim kualitas berdiri sendiri, karena, sebagaimana ia katakan, bagaimanapun juga kita memerlukannya jika kita tidak ingin melihat seluruh alat percakapan berantakan (1984: 12).) Prinsip-prinsip yang diajukan Horn mampu menjelaskan berbagai macam fenomena dalam bidang kesopanan, penyangkalan, leksikon dan sebagainya; prinsip-prinsip tersebut berperan sebagai usaha yang baik untuk menyederhanakan masalah prinsip-prinsip pragmatik, yang membawanya pada beberapa sebutan yang umum. 4.4.6.2 Teori Relevansi Menurut Sperber dan Wilson, pragmatik memerlukan hanya satu prinsip saja, yakni prinsip relevansi, yang berbunyi bahwa setiap ujaran menciptakan harapan relevansi dalam diri orang yang diajak bicara (addressee). Asumsi yang mendasari teori relevansi yakni, dalam suatu konteks tertentu, kita harus berasumsi bahwa apa yang dikatakan orang-orang adalah relevan dapat dimengerti sebagai spesifikasi lebih jauh gagasan Grice tentang kerja sama; prinsip relevansi jauh lebih eksplisit daripada prinsip kooperatif dan maksim-maksim yang diajukan Grice (Sperber dan Wilson l986: 161). Mey 77Dalam pengertian yang sama, Sperber dan Wilson merasa (sebagaimana banyak orang lain yang mengkritik karya Grice, termasuk penulis buku ini) bahwa Prinsip Kooperatif, bila diambil terlalu harfiah, menempatkan terlalu banyak kendala pada interaksi linguistik kita. Sebaliknya, Teori Relevansi tidak mengajukan berbagai klaim tentang tujuan-tujuan bersama atau seperangkat tujuan (Grice l983: 45, seperti dikutip oleh Sperber dan Wilson l986); bagi teori relevansi, mencapai komunikasi yang sukses merupakan tujuan yang lebih dari cukup dalam percakapan atau interaksi verbal lainnya. Komunikasi yang sukses di sini harus dipahami dalam pengertian bahwa saya diakui oleh lawan-lawan bicara saya sebagai seseorang yang memiliki sesuatu untuk mengatakan masalah-masalah itu, sesuatu yang relevan. Komunikator yang sukses adalah seseorang yang membuat maksudnya bisa menyampaikan informasi, untuk membujuk, untuk membuat percaya, dan sebagainya, terwujud pada dirinya sendiri maupun pada diri orang yang ia ajak bicara. Seperti dikatakan Sperber dan Wilson, kesadaran bahwa seorang komunikator yang dapat dipercaya bermaksud membuat anda percaya terhadap sesuatu merupakan alasan yang sangat baik untuk mempercayainya (l986: 163). Asumsi yang saling mengejawantah maksud informatif ini berada pada inti pemikiran Sperber dan Wilson; lebih jauh, asumsi tersebut merupakan sifat utama perilaku komunikasi manusia, bahkan pada tingkat tertentu kita tidak dapat berkata secara tepat bahwa kita mengikuti prinsip relevansi; dan mereka tidak dapat melanggarnya jika mereka ingin. Prinsip relevansi berlaku tanpa pengecualian (l986: 162). Pendekatan Sperber dan Wilson tersebut berguna dalam banyak cara, karena pendekatan tersebut memaksa kita untuk kembali memikirkan sejumlah pertanyaan sentral dalam linguistik, khususnya dalam semantik dan pragmatik. Maksud komunikasi, menurut teori relevansi, bukanlah untuk membuat duplikat pikiran, tetapi untuk memperbesar lingkungan-lingkungan yang saling kognitif (Sperber dan Wilson l986: 193). Dengan demikian, ambiguitas dalam ungkapan, yang merupakan inti pokok pemodelan komunikasi, sering dianggap sebagai masalah yang murni bersifat semantik; misalnya, dalam program-program untuk terjemahan teks otomatis, kita harus menghilangkan ambiguitas pada ungkapan-ungkapan yang tidak jelas, dan melakukan berbagai terkaan kontekstual, dengan semacam prosedur mulai dari dasar hingga atas. Sebaliknya, bagi Sperber dan Wilson, setiap sesuatu bersifat ambigu, sepanjang ia dilihat secara sepotong-sepotong, tetapi tidak ada sesuatupun yang ambigu dalam lingkungan kognitifnya yang tepat, jika kita melihatnya secara menyeluruh, begitulah pendapat mereka (Sperber dan Wilson l986: 205). Dengan memanfaatkan pra-anggapan relevansi, kita memiliki konteks dimana ujaran yang sedang kita dengar atau kita baca dapat dimengerti dalam pengertian bahwa ia merupakan bagian dari lingkungan kognitif umum kita yang saling diakui. Kita sudah siap menghadapi sesuatu yang dapat dimengerti (yang relevan) dan kita membangun pemahaman kita di sekitar asumsi tersebut; sebaliknya, kita sama-sama tidak siap menghadapi sesuatu yang tidak termasuk dalam lingkungan kognitif umum semacam ini. Informasi yang termasuk dalam lingkungan kognitif umum kita sebut informasi yang dapat diakses. (Tentang aksesibilitas, simal Ariel l990; Gundel et al. l993). Ambil contoh yang diberikan Sperber dan Wilson (l986: 167):George has a big cat George mempunyai seekor kucing besar. Di sini, asumsi yang paling umum adalah bahwa kita sedang berbicara tentang seekor binatang seperti kucing Maine coon, atau spesies besar lainnya dari jenis Felis domestica; agar dapat sampai pada interpretasi macan, puma atau singa, kita harus menambahkan sesuatu pada lingkungan umum tersebut, membuatnya lebih khusus lagi (misalnya dengan memanfaatkan informasi kontekstual bahwa George mengirimkan binatang-binatang buas ke kebun binatang atau sirkus). Interpretasi yang terakhir ini akan kurang relevan, karena kurang dapat diakses dalam berbagai keadaan normal. Teori relevansi dikatakan bisa menjelaskan semua fenomena ini karena interpretasi yang pertama telah diberikan pada maksim-maksim yang lain untuk dijelaskan. Sesungguhnya, hal ini bisa kelihatan sebagai urutan yang agak panjang bagi teori apapun; tetapi seolah-olah hal ini tidak cukup, Sperber dan Wilson juga mengasumsikan prinsip mereka sebagai tanpa pengecualian, sesungguhnya, tidak dapat disangkal; akhirnya, bersifat relevan mungkin bisa jelas, dan oleh karenanya tidak menarik, atau gagasan relevansi itu sendiri menjadi begitu luas cakupannya sehingga kehilangan kemampuan untuk memberikan penjelasan. Persoalan serius lainnya terletak pada kenyataan bahwa teori relevansi, meskipun komitmennya terhadap komunikasi sangat kuat, tidak banyak berbicara tentang interaksi komunikasi yang riil, karena ia terjadi dalam masyarakat kita. Dengan demikian, teori relevansi (persis seperti kebanyakan linguistik tradisional dan filsafat linguistik) tidak memasukkan, apa lagi terfokus pada, dimensi sosial bahasa, sebagaimana telah saya utarakan dalam buku yang lain (Mey dan Talbor l989). Lebih lanjut, latar belakang konseptual teori Sperber dan Wilson adalah orientasi sekarang yang tidak asing lagi terhadap komputer sebagai sebuah metafora bagi proses-proses pemikiran manusia, yang dikombinasikan dengan kecenderungan untuk melihat proses-proses mental manusia sebagai ungkapan perilaku yang rasional secara ekonomi. Dengan demikian, banyak pemikiran mereka tentang aktifitasaktifitas kognitif manusia dituliskan dalam kaitannya dengan ketagori-kategori ekonomi, atau pemikiran mereka sangat mengandalkan pada metafora pemrosesan informasi dengan komputer (sebagaimana, misalnya, yang secara bangga ditunjukkan oleh Hinkelman dalam komenteranya tentang apa yang sebut komputer relevansi; l987: 721). Bahkan bahasa yang digunakan Sperber dan Wilson untuk menjelaskan teori mereka secara teratur dipinjam dari ekonomi moneter (hubungan antara biaya dan keuntungan) atau dari ilmu komputer, dimana meningkatnya waktu pemrosesan dikatakan menghambat pemahaman dan menempatkan berbagai kendala pada kelancaran komunikasi (simak, misalnya, hal. 204). Dengan demikian, sebagaimana perkataan Talbot, orang-orang digambarkan sebagai para individu yang menghadapi berbagai persoalan unik dalam komunikasi. Namun dalam dunia nyata orang-orang adalah makhluk sosial yang bekerja dalam kondisi-kondisi yang ada sebelumnya [dan Mey 79ditentukan secara sosial]. Dalam model Sperber dan Wilson, perbedaan antara orang-orang digambarkan semata-mata perbedaan antara lingkungan kognitif individu. Perbedaanperbedaan ini diasumsikan berasal dari berbagai variasi dalam lingkungan fisik dan kemampuan kognitif antara orang-orang. Berbagai pertimbangan terhadap kebudayaan dan masyarakat sama sekali tidak ada dalam pengkarakterisasian lingkungan kognitif para individu. (Talbot l994: 3526) Pada dasarnya di bawah aspek pragmatik yang terakhir inilah teori relevansi, meskipun banyak wawasannya yang berguna, agak kekurangan janji-janjinya dan harapanharapannya yang semula ia lontarkan. Akhirnya, teori relevansi tetap terpisah dari komunikasi sehari-hari dan berbagai macam persoalannya, hal ini akan dibicarakan lebih lanjut, misalnya teori wacana (simak, bagian 9.5 dan 10.4.5). 4.4.7 Cerita Komputer Bahwa kerja sama, sebagaimana diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya, sama sekali bukanlah kesimpulan yang terdahulu ketika sampai pada penggunaan bahasa dapat dilihat, di antaranya, dari berbagai eksperimen komputer yang mensimulasikan kecakapan-kecakapan linguistik manusia. Salah eksperimen semacam ini disebut Tale-Spin (Meehan l981); eksperimen ini terdiri atas sebuah usaha untuk menyusun sebuah program yang dapat memahami unsur-unsur sebuah cerita dan terus menciptakan cerita-cerita baru atas dasar cerita yang asli. Tale-Spin menciptakan tokoh-tokoh dalam dunia binatang yang diberi berbagai kemampuan manusia tertentu (seperti bisa berbicara) dan memiliki sifat-sifat lain yang menyerupai manusia (seperti dalam cerita-cerita binatang Aesop). Dalam cerita ini adalah Joe Bear dan Irving Bird yang membuat sebuah skenario yang sangat sederhana: menemukan makanan. Suatu hari Joe Bear lapar. Ia bertanya kepada sahabatnya Irving Bird dimana terdapat madu. Irving memberitahu kepadanya ada sarang lebah di pohon oak. Joe mengancam akan memukul Irving jika ia tidak memberitahunya dimana ada madu. (Meehan l981: 217). Yang jelas, dalam situasi ini Joe Bear telah kehilangan isi pokok jawaban Irving Bird. Dia tidak memahami implikatur jawaban itu: bahwa apa yang ia butuhkan adalah jawaban terhadap pertanyaannya tentang ketersediaan madu. Perhatikan bahwa kesimpulan-kesimpulan yang kita buat dalam menceritakan cerita atau mendengarnya adalah demikian bahwa kita mungkin menyebutnya tersirat: kesimpulankesimpulan tersebut tidak perlu dinyatakan secara eksplisit, apabila ada para pelaku percakapan yang normal. Persoalan berkenaan dengan program yang menjalankan Tale-Spin adalah bahwa program ini tidak diperintahkan untuk membuat implikasi-implikasi tersebut; sekali lagi, menjadi seorang pelaku percakapan yang kooperatif bukan semata masalah moral seperti masalah mengetahui bagaimana dan kapan membuat kesimpulan-kesimpulan yangbenar tentang apa yang tersirat dan apa yang tidak. Bab berikut akan membahas persoalan ini secara terperinci.LATIHAN DAN PERTANYAAN ULASAN 1. Bagaimana anda membaca kalimat berikut, yang ditemukan di dalam kereta api Amerika Utara (AMTRAK, USA)? (contoh diambil dari Bruce Fraser) All of the doors wont close. Semua pintu tidak boleh ditutup. Jelaskan interpretasi anda berkenaan dengan skalaritas. 2. Perhatikan percakapan berikut antara ayah dan anak perempuannya (Rundquist l992: 433) [Seorang anak berjalan masuk ke dapur dan mengambil beberapa popcorn] Ayah: I thought you were practicing your violin. (Aku kira kau sedang mempraktekkan biolamu) Anak: I need to get the [violin] stand. (Aku perlu membuat [biola] itu dapat berdiri) Ayah: Is it under the popcorn? (Apa ia ada di bawah popcorn?) Pertanyaan: Implikatur-implikatur percakapan apa yang dihasilkan dalam percakapan ini? Adakah implikatur-implikatur konvensionalnya? Apakah ucapan anak itu merupakan jawaban yang diinginkan jika demikian, terhadap apa? Maksim mana yang dilanggar oleh ayah dalam ucapannya yang terakhir? 3. Diskusikan metafora berikut (dari sebuah iklan untuk Avondale Federal Savings, For Four Generations of Homeowners, pada stasiun radio WBEZ, Chicago, tanggal 23 September, l992: These are the building blocks from which Avondale has grown, and that will continue terminologi guide interpretasi into the future: friendly service, a quality product, and an unrelenting commitment to safety. Inilah blok-blok bangunan yang merupakan asal-mula tumbuhnya Avondale, dan yang akan terus membimbingnya memasuki masa yang akan datang: layanan bersahabat, produk berkualitas, dan komitmen yang tak kenal lelah terhadap keamanan. 4. Percakapan berikut diambil dari buku Lewis Carrol yang sangat terkenal Alice in Wonderland, sebuah karya yang sangat disukai oleh anak-anak, dan juga oleh para ahli logika Mey 81dan ahli bahasa (di antaranya adalah Bruce Fraser, yang mengundang perhatian saya terhadap kutipannya): Take some more tea, the March Hare said to Alice very earnestly. I've had nothing yet, Alice replied in a offended tone: so I ca'n't take more. You mean you ca'n't take less, said the Hatter: it's very easy to take more than nothing. Ambil tehnya lagi, kata Kelinci Semak kepada Alice dengan sungguh-sungguh. Aku tidak ambil apa-apa, jawab Alice dengan nada terhina: jadi aku tidak ambil lebih banyak. Maksudmu kau tidak dapat ambil lebih sedikit, kata Hatter: adalah sangat mudah ambil lebih banyak daripada tidak sama sekali. (Dalam More Annotated Alice, editor Martin Gardner, New York: Random House, l990, hal. 89). Diskusikan bacaan ini dengan mengingat konsep skalaritas, yang disebutkan dalam bagian 4.2. 5. Berikut adalah sebuah laporan tentang kunjungan Paus J. Paulus II ke Chili pada tahun l987. Laporan tersebut berjudul The Papal Puzzle. Setelah tampil di balkon bersama Jenderal Augusto Pinochet, paus mengunjungi perumahan kumum Santiago, dimana ia memebluk Carmen Quintero yang berusia 19 tahun, yang masih terlihat bekas-bekas luka bakar yang ia terima atas perbuatan pasukan keamanan Chili. Temannya, Rodriguez Rojas yang berusia 19 tahun, meninggal karena terbakar. Bapa Suci, kata Carmen Quintero, tentara telah melakukan ini kepadaku. Aku tahu, anakku, jawan paus. Jawaban ini melegakan bagi anak yang teraniaya itu, karena tahu bahwa paus menyadari akan penderitaan mereka telah membuat senang bagi mereka. (Washington Post, 2 Juli, l987, hal. A2) Pertanyaan: Apakah anda berkata bahwa jawaban Paus kepada Carmen dapat dimengerti? Apakah relevan? Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh komentar sang wartawan? Rundquist (l992: 448) mengajukan pertanyaan apakah kesimpulan percakapan [dan secara luas, masalah-masalah semacam ini seperti relevansi, kesopanan, dan sebagainya] sepenuhnya didasarkan pada landasan kognitif, atau apakah kita juga harus mengakui komponen sosial. Dapatkah anda memberikan komentar terhadap pandangan ini, dengan mengambil titik tolak dalam kutipan di atas?Mengapa artikel tersebut diberi judul The Papal Puzzle (Teka-teki Paus)?Mey 83