BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA -...
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uterus
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi
Uterus adalah organ genitalia femina interna yang memiliki panjang 8
cm, lebar 5 cm dan tebal 2-3 cm. Bagian-bagian uterus antara lain Corpus
uteri, Fundus uteri, Cervix uteri, serta Isthmus uteri yang menjadi penanda
transisi antara corpus dan cervix. Bagian memanjang di kedua sisi yang
merupakan penghubung antara corpus uteri dan ovarium disebut Tuba
uterina. Terdapat dua ruang dalam uterus, yaitu Cavitas uteri di dalam
Corpus uteri dan Canalis cervicis di dalam Cervix uteri. Dinding uterus
terdiri dari 3 lapisan. Dimulai dari yang terdalam yaitu Tunica mukosa atau
endometrium, kemudian lapisan otot yang kuat disebut Tunica muscularis
atau miometrium, dan lapisan terluar adalah Tunica serosa atau perimetrium
(Paulsen dan Waschke, 2013).
(Encyclopaedia Britannica, 2010)
Gambar 2.1 Anatomi Uterus
Posisi uterus normal memiliki sudut di bagian ventral terhadap vagina
dan Corpus uteri melekuk ke anterior Portio vaginalis cervicis atau disebut
6
posisi antefleksi. Hal ini mencegah adanya prolaps Uterus melalui Vagina
selama peningkatan tekanan intraabdominal saat batuk dan bersin (Paulsen
dan Waschke, 2013).
Otot polos uterus terdiri dari 2 sel penting, yaitu sel-sel otot polos dan
sel intersisial yang disebut telocyte. Sel-sel ini dapat ditemukan di organ lain
seperti jantung, trakea, placenta, pembuluh darah, dan lain-lain (Cretoiu, et
al., 2013).
Perkembangan uterus dipengaruhi oleh hormon maternal dan
plasental. Pada saat lahir, besarnya Corpus uteri lebih kecil atau sama
dengan besar Cervix uteri. Saat dewasa, ukuran corpus uteri dua atau tiga
kali lebih besar dari cervix. Uterus divaskularisasi oleh 2 arteri uterina,
cabang dari arteri illiaca interna yang masuk mulai dari kedua sisi lateral
bawah uterus. Target steroid seks ovarium adalah endometrium. Seiring
dengan pertumbuhan folikel, terjadi perubahan histologik pada
endometrium. Ada 2 lapisan pada endometrium, yaitu lapisan basalis atau
nonfungsional dan lapisan fungsional. Lapisan basalis menempel pada
miometrium dan tidak banyak berubah selama siklus menstruasi. Disebut
nonfungsional karena tidak memberikan respon terhadap stimulus steroid
seks. Lapisan di atasnya adalah lapisan fungsional yang memberikan respon
terhadap stimulus sterois seks dan nantinya akan terlepas pada saat
menstruasi. Pada hari ke-7 pascaovulasi terjadi peningkatan kadar estrogen
dan progesteron yang memicu sintesis prostaglandin sehingga permeabilitas
pembuluh darah kapiler meningkat dan terjadi edema stroma. Dengan
meningkatnya kadar estrogen, progesteron, dan prostaglandin, menyebabkan
7
proliferasi pembuluh darah spiralis yang berlangsung sampai hari 22. Sel
desidua mulai terbentuk pada hari 22-23 siklus (Noerpramana, 2011;
Samsulhadi, 2011).
Jika terjadi fertilisasi, uterus mengalami perubahan yang nantinya
mempengaruhi fisiologi hampir seluruh sistem dalam tubuh seperti
pernapasan, kardiovaskular, dan pencernaan. Volume uterus bisa membesar
hingga 1000 kali, dan beratnya lebih dari 20 kali pada masa kehamilan.
Pertumbuhan ukuran volume dan berat ini merupakan hasil dari hiperplasia
dan hipertropi (Maruyama, et al., 2012).
Regulasi aktivitas uterus selama masa kehamilan terbagi menjadi 4
fase :
a. Fase 0, yaitu masa dimana terjadi aktivitas inhibitor yang
menyebabkan uterus tidak berkontraksi. Inhibitor yang bekerja di
antaranya progesteron, prostacyclin, relaxin, parathyroid hormone-
related peptide Nitric Oxide, kalsitonin, adrenomedullin, dan
peptida intestinal vasoaktif.
b. Fase 1 atau masa aktivasi myometrium dimana uterus mulai aktif
berkontraksi karena pengaruh dari uterotropin seperti estrogen.
Fase ini ditandai dengan menigkatnya ekspresi dari serangkaian
reseptor kontraksi seperti reseptor oksitosin dan prostaglandin,
aktivasi beberapa ion tertentu, dan peningkatan gap junction.
Adanya peningkatan gap junction adalah untuk pembentukan
kontraksi yang terkoordinasi.
8
c. Fase 2 atau fase stimulatorik, yaitu kelanjutan dari fase 1.
Kontraksi secara ritmis terjadi hingga menjelang partus. Hal ini
diperantarai oleh agonis uterotonik seperti prostaglandin dan
oksitosin.
d. Fase 3 atau fase involusi. Pada fase ini terjadi involusi uterus
setelah terjadi partus. Mekanisme ini paling dipengaruhi oleh
oksitosin (Safdar, et al., 2013).
2.1.2 Mekanisme Kontraksi
Kontraksi uterus memiliki fungsi penting dalam sistem reproduksi
wanita meliputi transport sperma dan embrio, menstruasi, kehamilan, dan
kelahiran. Kontraksi abnormal dan irreguler dapat menyebabkan masalah
infertilitas, kesalahan implantasi, dan kelahiran prematur. Sebaliknya, jika
kontraksi uterus tidak adekuat dan terkoordinasi, bayi akan sulit dilahirkan.
Lapisan yang paling berperan dalam kontraksi uterus adalah miometrium.
Pada dasarnya, uterus berkontraksi secara spontan dan reguler walaupun
tidak ada rangsangan hormonal. Selama masa kehamilan awal, uterus
cenderung dalam keadaan relaksasi. Kontraksi kuat akan muncul pada masa
menjelang partus di bawah pengaruh hormon oksitosin dan prostaglandin
(Rahbek, et al., 2014).
Sebagai sel eksitabel, proses kontraksi miometrium pada wanita yang
hamil dan tidak hamil melalui mekanisme yang sama, yaitu difasilitasi oleh
influks kalsium. Aktivitas listrik pada sel-sel miosit uterus terjadi karena
siklus depolarisasi dan repolarisasi yang terjadi pada membran plasma
uterus dan ini disebut dengan potensial aksi. Potensial aksi diperantarai oleh
9
beberapa jenis jalur, seperti VGCC (Voltage Gated Calcium Channel),
SOCE (store-operated calcium entry), ROCE (receptor- operated calcium
entry), dan atau melalui penyimpanan kalsium di ruang intrasel. Kontraksi
uterus dapat terjadi karena adanya aktivitas spontan pada otot polos uterus
yang disebabkan oleh potensial aksi tersebut dan sangat bergantung pada
peningkatan ion kalsium intraseluler, elemen kontraksi, serta sistem
konduksi antara sel-sel uterus (Chin-Smith, et al., 2014).
Rangsangan otot polos uterus sangat ditentukan oleh pergerakan ion
natrium (Na+), kalsium (Ca
2+) dan klorida (Cl
-) ke dalam sitoplasma dan
gerakan ion kalium (K+) ke dalam ruang ekstraseluler. Sebelumnya, ketiga
ion ini terkonsentrasi di luar miometrium. Membran plasma biasanya lebih
permeabel terhadap K+ yang nantinya mengubah gradien elektrokimia
hingga terjadi potensial aksi pada miosit. Selanjutnya, depolarisasi membran
plasma membuka VGCC (Voltage Gated Calcium Channel) atau L-type
Ca²⁺ Channel yang mengakibatkan masuknya Ca²⁺ ke dalam sel. Ion
Kalsium kemudian membentuk ikatan kompleks dengan protein kalmodulin
dan mengaktifkan Myosin Light Chain Kinase (MLCK). MLCK harus
memfosforilasi rantai ringan 20-kDa dari myosin, memungkinkan interaksi
molekul myosin dengan aktin. Energi yang dilepaskan dari ATP oleh
myosin ATPase menghasilkan siklus cross-bridge antara aktin dan myosin
untuk menghasilkan kontraksi (Otaibi, 2014; Cretoiu, et al., 2014).
Oksitosin dan stimulan rahim lainnya (seperti prostaglandin)
meningkatkan kontraksi dengan mengikat reseptor spesifik mereka pada
membran sel dan menyebabkan monomer kecil G-protein berikatan dengan
10
Guanosin-5-Trifosfat (GTP) dan mengaktifkan Phospholipase C (PLC). Hal
ini kemudian akan membelah phosphatidylinositol bifosfat (PIP2) di
membran sel dan menghasilkan inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol
(DAG) second messenger. IP3 kemudian mengikat reseptor spesifik pada
permukaan Retikulum Sarkoplasma dan dengan demikian meningkatkan ion
kalsium intrasel. DAG mengaktifkan protein kinase C (PKC) yang juga
akan meningkatkan kontraksi (Otaibi, 2014). Gambar 2.2 menunjukkan
mekanisme influks kalsium hingga terjadi kontraksi.
(Otaibi, 2014)
Gambar 2.2 Mekanisme Influks Kalsium Hingga Terjadi Kontraksi
2.2 Kelahiran Prematur
2.2.1 Definisi
Kelahiran prematur didefinisikan sebagai kelahiran sebelum
terpenuhinya masa gestasi 37 minggu atau kurang dari 259 hari sejak hari
pertama haid terakhir (HPHT). Dilihat dari usia gestasi, dibagi menjadi 3
subdivisi yaitu Extremely Preterm (<28 minggu), Very Preterm (28 - <32
minggu), dan Moderate Preterm (32 - <37 minggu). Moderate preterm
11
kemudian dibagi lebih fokus lagi menjadi Late Preterm (34 - <37 minggu)
(WHO, 2012).
Kelahiran prematur adalah kontributor terbesar dalam kematian bayi,
terutama yang tergolong Very Preterm (<32 minggu). Selama kehamilan,
bayi mengalami pertumbuhan dan perkembangan penting pada sistem organ
di antaranya otak, paru, dan liver. Perkembangan ini akan tercapai sempurna
selama minggu-minggu terakhir masa gestasi. Jika bayi lahir sebelum
mencapai masa ini, maka akan didapatkan gangguan pada pernapasan,
perilaku, penglihatan, pendengaran, juga beresiko terjadi cerebral palsy.
Pada kebanyakan kasus, kelahiran prematur terjadi tanpa diduga, tetapi ada
beberapa gejala yang menjadi tanda, di antaranya :
a. Kontraksi kuat setiap 10 menit atau lebih
b. Perubahan pada sekret vagina (bisa berupa jumlah yang meningkat
atau berdarah)
c. Peningkatan tekanan pelvis (terasa bayi terdorong ke bawah)
d. Nyeri punggung
e. Gejala seperti dismenore
f. Nyeri abdomen dengan atau tanpa diare (CDC, 2015).
2.2.2 Epidemiologi
Kelahiran prematur saat ini menjadi prioritas utama dalam mencapai
Millenium Development Goal 4 yaitu mengurangi angka kematian bayi dan
anak 2015. Dalam laporan WHO tahun 2009, diperkirakan ada 12,9 juta
kelahiran prematur. Jumlah terbanyak ditemukan di Asia dan Afrika yaitu
sekitar 85% atau 10,9 juta kelahiran (Beck, 2010).
12
Angka ini meningkat pada tahun 2012 menjadi 15 juta kelahiran
prematur setiap tahun. Indonesia menempati peringkat ke-5 negara dengan
bayi prematur terbanyak serta peringkat ke-8 angka kematian akibat
prematuritas. Hal ini sangat mengancam generasi masa depan karena
banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Lebih dari satu juta bayi dapat
meninggal karena komplikasi akibat lahir prematur, sedangkan bayi yang
hidup dapat mengalami gangguan konduksi, pendengaran, dan penglihatan
(WHO, 2012).
Prediksi kelahiran prematur masih belum bisa dilakukan dengan tepat,
tetapi berbagai karakteristik maternal dan obstetri diketahui meningkatkan
resiko. Faktor resiko untuk kelahiran prematur meliputi karakteristik
demografi, faktor perilaku, dan riwayat obstetri seperti kelahiran prematur
sebelumnya. Faktor demografi untuk persalinan prematur berdasarkan usia
ibu adalah kurang dari 17 tahun atau lebih dari 35 tahun. Faktor lain yang
berpengaruh yaitu status sosial ekonomi rendah, berat badan sebelum hamil
rendah, stres (misalnya kekerasan dalam rumah tangga, kematian keluarga
dekat, kerawanan atas makanan, rumah, atau pasangan, kerja dan
lingkungan rumah). Pengaruh dari faktor-faktor tersebut masih belum
diketahui mekanismenya, apakah mempengaruhi secara langsung atau tidak
langsung (Ross, 2014).
2.2.3 Patofisiologi
Pada prinsipnya, kelahiran normal dan kelahiran prematur memiliki
mekanisme klinis yang sama, yaitu kontraksi uterus, dilatasi cervix, dan
rupturnya chorioamniotic membrane. Perbedaan utamanya terletak pada
13
onset. Proses kelahiran prematur dimulai dengan adanya perubahan pada
myometrium, yaitu dari keadaan diam menjadi berkontraksi kuat yang
diikuti oleh pergerakan sinyal antara jalur anti-inflamasi dan pro-inflamasi
meliputi kemokin (IL-8), sitokin (IL-1 dan IL-6), juga protein yang
berhubungan dengan kontraksi yaitu reseptor oksitosin, connexin 43, dan
reseptor prostaglandin) (Romero, et al., 2014).
Adanya kontraksi yang bertambah kuat secara progresif menyebabkan
cervix meregang sehingga bayi terdorong ke jalan lahir. Hal ini
menimbulkan umpan balik positif dimana regangan cervix akibat
terdorongnya bayi merangsang uterus untuk berkontraksi lebih kuat pada
siklus berikutnya. Dengan meningkatnya kontraksi, maka cervix terus
meregang menyebabkan pengeluaran bayi. Frekuensi kontraksi semakin
meningkat seiring majunya persalinan disertai peningkatan intensitas dan
dapat menyebabkan spasme uterus jika tidak diimbangi dengan relaksasi
secara ritmis. Spasme uterus akan berakibat pada penghentian aliran darah
melalui plasenta sehingga dapat menyebabkan kematian fetus (Guyton dan
Hall, 2012).
Pematangan cervix dalam persiapan dilatasi didukung oleh perubahan
pada protein matrix ekstraselular, yang meliputi hilangnya crosslink kolagen
dan meningkatnya glikosaminoglikan, setara dengan perubahan pada barrier
epitelial dan immune surveillance properties. Hal ini menurunkan kekuatan
regang cervix sehingga terjadi dilatasi. Aktivasi desidua atau membran
secara anatomi dan biokimia mengacu pada aktivitas desidua selama
kehamilan, pemisahan membran chorioamniotic dari desidua, hingga
14
pecahnya ketuban. Peningkatan ekspresi sitokin inflamasi (TNF-α dan IL-1)
dan kemokin, meningkatkan aktivitas protease (MMP-8 dan MMP-9),
pelepasan molekul angiogenesis seperti fibronektin, serta apoptosis telah
terlibat dalam proses ini (Romero, et al., 2014).
Adapun penyebab terjadinya kelahiran prematur adalah sebagai
berikut :
1. Inflamasi
Satu dari tiga bayi prematur lahir dari ibu dengan infeksi intra-
amnion yang kebanyakan subklinis. Ada 2 jalur infeksi, yaitu
transplacental dan jalur ascenden dari traktus genitalia bawah.
Infeksi ekstrauterine juga dapat memicu terjadinya kelahiran
prematur, salah satunya adalah malaria.
2. Perdarahan Desidua dan Penyakit Vascular
Pasien yang melahirkan prematur dengan membran intak dan
pecahnya ketuban dini mengalami perdarahan per-vaginam yang
menandakan adanya defek hemostasis desidua. Pembentukan
trombin selama terjadinya perdarahan desidua menstimulasi
kontraksi uterus dan menurunkan matrix ekstraselular pada
membran chorioamniotic, sehingga ketuban pecah. Perdarahan
uterus telah diamati memiliki hubungan dengan lesi vascular pada
plasenta. Pada kehamilan normal, invasi sitotropoblas secara
fisiologis mengubah arteri spiralis uterus yang mulanya
berdiameter kecil dan memiliki tahanan tinggi menjadi berdiameter
besar dan bertahanan rendah yang menyebabkan perfusi villi
15
korionik plasenta. Pada kasus kelahiran prematur, transformasi ini
gagal terjadi sehingga lumen pembuluh darah tidak bisa diperluas
dan mengakibatkan terjadi perdarahan.
3. Penuaan Desidua
Selama masa implantasi, endometrium mengalami perubahan
anatomi dan fisiologi menjadi desidua yang sangat penting dalam
proses implantasi, maintenance kehamilan, serta partus.
Desidualisasi ditandai dengan terjadinya proliferasi dan diferensiasi
sel stroma uterus menjadi tipe sel khusus yang disebut sel desidua.
Protein supresor tumor p53 memegang peranan penting dalam
pertumbuhan desidua dan jika protein ini tidak ada maka akan
terjadi kegagalan pada kehamilan atau jika kehamilan tetap terjadi,
adanya desidualisasi yang tidak adekuat. Oleh karena itu, jika
terjadi penuaan sel desidua yang lebih cepat dari waktu normal,
desidualisasi tidak berjalan sempurna dan memicu kelahiran
prematur.
4. Gangguan Toleransi Maternal-Fetal
Fetus dan plasenta memiliki antigen maternal dan paternal
sehingga keduanya merupakan semi-allograft. Toleransi imun
sangat penting untuk berhasilnya kehamilan. Jika terjadi gangguan
toleransi maka akan terjadi allograft rejection. Chorioamnionitis
kronis, lesi plasenta yang paling sering terjadi pada kelahiran
prematur spontan yang ditandai dengan infiltrasi sel T pada chorion
disertai apoptosis tropoblas, menyerupai allograft rejection.
16
Gangguan toleransi maternal-fetal mungkin berhubungan dengan
kelahiran prematur yang terjadi pembedahan pada fetus atau
intervensi transplantasi stem cell dimana ada kenaikan sel T
maternal di sirkulasi fetal. Mekanisme kelainan pada toleransi dan
kelahiran prematur spontan masih belum diketahui.
5. Aktivitas Progesteron yang Tertunda
Progesteron memegang peranan penting dalam maintenance
kehamilan, terbukti dengan menurunnya kadar dalam serum pada
kelahiran prematur. Antagonis reseptor progesteron seperti
mifepristone, menginduksi pematangan cervix, abortus spontan,
dan partus pada manusia dan hewan sehingga jika ada penurunan
progesteron akan menjadi salah satu penyebab terjadinya kelahiran
prematur. Selama masa gestasi, progesteron menghambat kontraksi
miometrium dengan mengurangi contraction-associated protein
serta kemokin atau sitokin inflamasi (Romero et al., 2014).
Progesteron bertanggung jawab atas fase diam uterus dengan
menekan gen-gen kontraktil. Penekanan ekspresi miR-200
menjelang masa partus bisa menurunkan gen kontraktil dan
meningkatkan katabolisme progesteron. Rangsangan dari kortisol
janin mengaktifkan 17-α-hidroksilase plasenta sehingga
mengurangi sekresi progesteron. Dengan demikian, kadar
progesteron menurun sedangkan sekresi estrogen terus meningkat.
Akibatnya rasio estrogen terhadap progesteron menjadi terbalik.
Perubahan rasio ini meningkatkan produksi prostaglandin yang
17
nantinya memicu kontraksi uterus hingga berujung pada persalinan.
(Cunningham, et al., 2014).
Progesteron juga memiliki efek terhadap desidua, membran
chorioamniotic, dan pematangan cervix. Dengan menghambat
apoptosis yang diinduksi oleh TNF-α, progesteron mencegah
rupturnya membran chorioamniotic dan desidua karena aktivitas
kematian selnya yang terhambat. Pematangan cervix terjadi melalui
regulasi metabolisme matrix ekstraselular (Romero, et al., 2014).
6. Mekanisme Penyakit Lainnya
Overdistensi uterus dapat memicu protein gap junction serta
protein lain yang berhubungan dengan kontraksi seperti reseptor
oksitosin. Stress pada ibu juga salah satu faktor yang menstimulasi
terjadinya kelahiran prematur. Stress memicu produksi kortisol
maternal dan fetal sehingga meningkatkan produksi CRH oleh
plasenta yang nantinya akan beredar di sirkulasi maternal dan fetal.
7. Cell-free Fetal DNA (cffDNA)
Pada wanita hamil, dapat dideteksi adanya cffDNA dalam
sirkulasi dan konsentrasinya terus meningkat seiring usia gestasi.
Puncaknya adalah pada saat menjelang partus. Beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan konsentrasi cffDNA pada midtrimester
akan meningkatkan resiko kelahiran prematur. Mekanisme cffDNA
menstimulasi kelahiran prematur spontan masih belum diketahui
secara pasti (Romero, et al., 2014).
18
2.2.4 Penatalaksanaan
Saat ini, penatalaksanaan untuk kelahiran prematur terfokuskan pada
penurunan kontraksi uterus. Langkah yang dapat dilakukan pada persalinan
prematur, terutama untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus
prematur antara lain :
a. Menghambat proses persalinan dengan pemberian tokolitik
Tujuan utama pemberian tokolitik adalah untuk mencegah
mortalitas dan morbiditas bayi serta memberi kesempatan bagi
terapi kortikosteroid untuk menstimuli surfaktan paru janin
(Saifuddin, 2014).
Aktivitas miometrium berkaitan secara langsung dengan
kalsium bebas di sitoplasma sehingga regulasi ion kalsium juga
sangat berpengaruh dalam menurunkan kontraksi uterus. Blokade
yang terjadi akibat ikatan obat dengan kanal ion menyebabkan
penurunan aliran kalsium sehingga menghasilkan relaksasi otot
yang bertahan lama (Katzung, 2012).
Beberapa tokolitik yang digunakan untuk penatalaksanaan
kelahiran prematur antara lain nifedipin (antagonis kalsium),
terbutalin, ritrodin, isoksuprin, salbutamol, dan antiprostaglandin
seperti indometacin (Saifuddin, 2014).
Banyak sekali efek samping berbahaya yang terjadi pada
pemberian tokolitik, terutama pada penggunaan agonis beta. Di
antaranya adalah takikardi pada ibu, nyeri dada, dispnea, tremor,
efusi pleura, edema paru, kadar glukosa tak terkontrol, serta
19
peningkatan enzim aminotransferasi pada hepar (Hwang, et al.,
2015).
b. Pematangan surfaktan paru janin dengan kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid bertujuan untuk mematangkan
surfaktan paru janin, menurunkan insidensi RDS, mencegah
perdarahan intraventrikular, sehingga dapat mencegah kematian
neonatus. Kortikosteroid diberikan jika usia kehamilan kurang dari
35 minggu. Pemberiannya tidak dilakukan berulang karena dapat
beresiko menghambat pertumbuhan janin. Obat yang biasa
digunakan antara lain betametason 2 x 12 mg secara intramuskular
dengan jarak pemberian 24 jam dan deksametason 4 x 6 mg secara
intramuskular dengan jarak pemberian 12 jam.
c. Pencegahan infeksi dengan antibiotik
Antibiotik hanya diberikan jika ada resiko terjadinya infeksi.
Obat yang biasa digunakan adalah eritromisin 3 x 500 mg selama 3
hari. Obat pilihan lain adalah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari,
atau dengan antibiotik lain seperti klindamisin (Saifuddin, 2014).
2.3 Asam Jawa
2.3.1 Taksonomi
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
20
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Tamarindus
Species : Tamarindus indica
(National Tropical Botanical Garden, 2015)
Gambar 2.3 Asam Jawa (Tamarindus indica)
2.3.2 Morfologi
Tanaman asam jawa membutuhkan iklim tropis untuk bisa tumbuh
dengan baik (Kuru, et al, 2014). Tanaman ini tumbuh lambat, tapi hidup
dengan umur panjang, tingginya bisa mencapai 30 m dengan diameter
batang hingga 7,5 m dan lingkar batang 8 m. Pohonnya resisten terhadap
angin dan sangat kuat. Tanaman ini telah dibudidayakan di 54 negara. Pada
umumnya, tumbuhan ini termasuk hijau abadi namun sebagian yang tumbuh
di area yang terlalu kering bisa menggugurkan daunnya. Pohon yang masih
muda tidak begitu tahan terhadap suhu dingin seperti pohon dewasa
sehingga perlu dilindungi. Dalam pertumbuhannya, asam jawa
membutuhkan cuaca yang kering sehingga di wilayah yang frekuensi
hujannya cukup tinggi tidak bisa tumbuh dengan baik. Tanaman ini
memiliki toleransi terhadap segala jenis tanah untuk tumbuh. Pada tanah
yang kering atau berbatu, menggaung, juga pada tanah yang tinggi garam,
21
asam jawa bisa tumbuh dengan baik. Tingkat keasaman yang paling optimal
untuk tumbuh adalah pada ph 5,5-6,8. Walau umumnya bisa tumbuh baik
pada tanah yang asam, tanaman ini bisa tumbuh pada tanah yang bersifat
basa. Jika asam dewasa dibiarkan pada pohonnya selama 6 bulan,
kelembaban buah akan menurun sebesar 20%. Pohon dewasa bisa
menghasilkan 150-225 kg buah dengan kandungan bulir sekitar 30-55%,
kulit dan serabut 11-30% dan biji 33-40%. Dilihat dari sisi ekonomi, seluruh
bagian dari tanaman ini bisa dieksploitasi, terutama buahnya. Pemasaran
buah asam jawa terus meningkat setiap tahunnya. Perawatan tanaman asam
jawa cukup mudah karena sangat toleran terhadap hama dan penyakit.
Kecuali pada penanaman luas, toleransi terhadap penyakit menurun karena
rendahnya kelembapan dan tingginya keasaman. Buah asam jawa memiliki
kandungan air rendah, sementara kandungan protein, karbohidrat, dan
mineralnya cukup tinggi. (Yahia, 2011; Hiwale, 2015).
2.3.3 Manfaat
Asam jawa (Tamarindus indica) merupakan tanaman tropis yang
banyak digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional oleh masyarakat,
terutama di wilayah Jawa. Hampir seluruh bagian dari tanaman ini dapat
dimanfaatkan, seperti daun, daging buah, batang, hingga akarnya. Tanaman
ini tidak hanya dimanfaatkan untuk bahan makanan dan pengobatan karena
kandungan nutrisinya yang tinggi, tapi juga untuk kepentingan ekonomi dan
industri. Beberapa penelitian telah menunjukkan khasiat asam jawa sebagai
antioksidan, anti inflamasi, laxative, dan analgetika (Kuru, et al., 2014).
22
Kandungan polifenol dalam semua bagian tanaman asam jawa
bermanfaat sebagai antioksidan untuk pengobatan hiperkolesterolemia.
Ekstrak buah asam jawa dapat meningkatkan ekspresi gen Apo A1, Abcg5,
dan reseptor LDL serta mensupresi HMG-CoA reductase dan ekspresi gen
Mtp di hepar. Dengan demikian, asam jawa dapat meningkatkan efluks
kolesterol serta menghambat biosintesis kolesterol, meningkatkan uptake
dan clearance LDL-C dari jaringan perifer. Buah asam jawa juga
mengurangi akumulasi trigliserida dalam hepar (Lim, et al., 2013).
Khasiat lain dari asam jawa adalah untuk menurunkan tekanan darah,
pengobatan diabetes, juga asma. Daun dan buah asam jawa diolah dengan
cara direbus atau direndam, kemudian dikonsumsi per oral. Air rebusan dan
rendaman ini digunakan untuk memperbaiki tekanan dan kadar gula darah
secara simptomatik (Clement, et al., 2015).
Konsumsi buah asam jawa (Tamarindus indica) sebagai obat-obatan
perlu diperhatikan dosisnya. Dalam konsentrasi tinggi, asam jawa dapat
meningkatkan enzim hati (AST dan ALT) dalam serum (Nwodo, et al.,
2011).
2.3.4 Kandungan Nutrisi dan Kimia
Tanaman asam jawa (Tamarindus indica) hampir seluruh bagiannya
dapat dimanfaatkan, mulai dari akar, batang, daun, daging buah, hingga
bijinya. Asam jawa merupakan sumber ideal untuk semua jenis asam amino
esensial kecuali triptofan. Hasil analisis fitokemikal menunjukkan bahwa
asam jawa mengandung bahan fenol seperti catenin, procyanidin B2,
23
epicatechin, asam tartrat, mucilage, pectin, arabinosa, xylose, galaktosa,
glukosa, asam uronic, dan triterpen (Kuru, 2014).
Tabel 2.1 Nilai Gizi Asam Jawa (Tamarindus indica) per 100g
Nutrien Nilai Satuan
Air 31,40 G
Energi 239 Kkal
Protein 2,80 G
Lemak total 0,60 G
Karbohidrat 62,50 G
Serat 5,1 G
Gula 38.80 G
Ca 74 Mg
Fe 2,80 Mg
Mg 92 Mg
P 113 Mg
K 628 Mg
Na 28 Mg
Zn 0,10 Mg
Vitamin C 3,5 Mg
Thiamin 0,428 Mg
Riboflavin 0,152 Mg
Niacin 1,938 Mg
Vitamin B-6 0,066 Mg
Folat 14 µg
Vitamin B-12 0,00 µg
Vitamin A 2 µg
Vitamin A 30 IU
Vitamin E 0,10 Mg
Vitamin D 0,00 Mg
Vitamin K 2,8 µg
Asam lemak, total saturated 0,272 G
Asam lemak, total monounsaturated 0,181 G
Asam lemak, total polyunsaturated 0,059 G
Kolesterol 0,00 G
Caffeine 0,00 G (USDA National Nutrient Database, 2015)
Asam jawa merupakan tanaman yang kaya polifenol, yaitu senyawa
antioksidan yang terbukti mampu bekerja lebih baik dibandingkan dengan
senyawa antioksidan lain. Ada beberapa jenis polifenol yang dapat
ditemukan dalam tanaman, di antaranya flavonoid, tannin, lignin dan
24
stilbene. Pada tanaman asam jawa, kandungan antioksidan terdapat hampir
di seluruh bagiannya. Kadar polifenol tertinggi ditemukan pada kulit batang
dan buahnya. Pada buahnya sendiri kadarnya adalah 152±2.2 μg GAE /g
(Atawodi, et al., 2014).
Sebuah skrining fitokemikal menunjukkan turunan polifenol yang
terdapat dalam buah asam jawa adalah flavonoid dan tannin. Hal ini
menunjukkan adanya potensi besar dalam buah asam jawa untuk terapi
hiperkolesterolemia, inflamasi, infeksi, penyakit metabolik, dan penyakit
lain yang disebabkan oleh stress oksidatif (Lim, et al., 2013; Anu, et al,
2014).
Tabel 2.2. Evaluasi fitokimia secara kualitatif pada buah asam jawa (Tamarindus
indica)
Phytoconstituents Test performed/reagent used Results
Alkaloids
Meyers test -
Dragendorfiss tes -
Hangers test -
Steroids Libermann-Burchard test -
Flavonoids Shinoda test +
Tannins Ferric chloride +
Lead acetate +
Saponin Test for stable foam -
Glycosides Borntager test -
Proteins and amino acids Ninhydrin test -
Reducing sugar Benedict test -
Fehling test -
+(Presence) –(Absence) (Anu, et al, 2014)
2.3.5 Asam Jawa Sebagai Penurun Kontraksi Otot Polos
Mekanisme untuk menurunkan kontraksi bisa dilakukan dengan
beberapa cara. Prinsipnya adalah mencegah adanya ikatan aktin dan myosin
agar tidak terjadi tarikan secara berkala. Regulasi pada enzim yang bekerja
25
dalam siklus kontraksi serta penurunan konsentrasi ion kalsium dapat
merelaksasikan otot polos (Blackburn, 2014).
Asam jawa (Tamarindus indica) diduga dapat menurunkan kontraksi
otot polos dengan memblok kanal kalsium serta menghambat pengeluaran
kalsium intrasel dari Retikulum Sarkoplasma. Mekanisme ini dilakukan oleh
flavonoid, tannin, dan magnesium yang terkandung di dalamnya.
a. Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok besar senyawa polifenol yang
banyak ditemukan pada tanaman. Jumlah yang terkandung dalam buah
asam jawa adalah sebesar 24± 1.4 μg QE /g (Atawodi, et al., 2014).
Senyawa ini memiliki efek yang potensial terhadap otot polos, terutama
efek relaksasi. Flavonoid telah terbukti dapat merelaksasikan otot polos
aorta tikus melalui beberapa jalur, yaitu blok reseptor α1 adrenergik
secara non kompetitif, membuka kanal K+ secara non selektif,
menghambat influks Ca2+
yang melewati VGCC dan ROCs (Receptor
Operated Channels), serta menghambat keluarnya Ca2+
intraseluler dari
Retikulum Sarkoplasma (Macedo, et al., 2014).
Selain itu, flavonoid juga memiliki efek relaksasi terhadap
kontraksi otot polos pencernaan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Zhang, et al., tahun 2014 pada otot polos gaster dan duodenum tikus
putih yang diberi flavonoid genistein menunjukkan adanya penurunan
kontraksi. Efek relaksasi ini melalui reseptor α-adrenergik, jalur NO
dan cAMP, ATP-sensitive K+
Channel, dan inhibisi L-type Ca2+
channel.
26
Ekstrak asam jawa sendiri mampu menurunkan kontraksi otot polos
pencernaan melalui mekanisme calcium channel blocking. Penelitian
dilakukan pada jejunum kelinci yang diinduksi oleh larutan KCl 80 mM
sehingga terjadi kontraksi. Ekstrak metanol asam jawa (Tamarindus
indica) memberikan efek relaksasi pada kontraksi jejunum sebesar 65%
dibandingkan dengan kontrol. Mekanisme calcium channel blocking
dibuktikan melalui plotting kurva kalsium dibandingkan dengan
verapamil sebagai agen bloker kanal kalsium (Ali dan Shah, 2010).
b. Tannin
Tannin memiliki aktivitas antikarsinogenik, antibakteri, serta
relaksasi otot polos. Efek relaksasi tannin dapat melalui Ca2+
-activated
Cl-channels (CaCC) dan L-type Ca
2+ channel atau VGCC. Kandungan
tannin dalam beberapa tanaman telah terbukti memiliki aktivitas
tokolitik. Salah satunya adalah ekstrak daun jarak pagar terhadap uterus
tikus putih betina secara in vitro. Ekstrak yang sebelumnya telah
melalui proses skrining fitokemikal dan terbukti mengandung tannin
dapat menghambat kontraksi spontan otot polos uterus di dalam larutan
De Jalon (Namkung, et al., 2010; Falodun, et al., 2011).
c. Magnesium
Magnesium terkandung dalam buah asam jawa sebesar 92 mg
(USDA National Nutrient Database, 2015). Peran Magnesium dalam
menurunkan kontraksi otot polos adalah sebagai antagonis kompetitif
untuk mengontrol masuknya kalsium ke dalam sel. Mekanisme
pencegahan eksitasi dan kontraksi otot polos adalah dengan mengatur
27
uptake, binding, juga distribusi kalsium ke dalam sel. Magnesium juga
mencegah terbukanya VGCC sebagai respon terhadap potensial aksi,
sehingga influks kalsium tidak terjadi (Blackburn, 2014).
Dengan menurunnya konsentrasi ion kalsium intrasel, maka ikatan
kalsium-kalmodulin akan berkurang. Miosin kinase tidak teraktivasi
sehingga tidak ada fosforilasi rantai ringan miosin (Guyton dan Hall, 2012).
Sebaliknya, myosin light chain phosphatase (MLCP) akan teraktivasi.
Enzim ini terletak dalam cairan sel otot polos uterus. Sistem kerjanya adalah
menguraikan fosfat dari rantai ringan tersebut. Akibatnya, myosin tidak bisa
melakukan interaksi cross-bridge dengan aktin sehingga kontraksi tidak
terjadi (Otaibi, 2014).