BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39379/3/BAB 2.pdf · memicu pelepasan...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39379/3/BAB 2.pdf · memicu pelepasan...
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Suhu Tubuh
2.1.1 Definisi Suhu Tubuh
Suhu adalah keadaan panas dan dingin yang diukur dengan
menggunakan termometer. Di dalam tubuh terdapat 2 macam suhu, yaitu
suhu inti dan suhu kulit. Suhu inti adalah suhu dari tubuh bagian dalam dan
besarnya selalu dipertahankan konstan, sekitar ± 1ºF (± 0,6º C) dari hari ke
hari, kecuali bila seseorang mengalami demam. Sedangkan suhu kulit berbeda
dengan suhu inti, dapat naik dan turun sesuai dengan suhu lingkungan. Bila
dibentuk panas yang berlebihan di dalam tubuh, suhu kulit akan meningkat.
Sebaliknya, apabila tubuh mengalami kehilangan panas yang besar maka
suhu kulit akan menurun (Guyton & Hall, 2012).
Nilai suhu tubuh juga ditentukan oleh lokasi pengukuran, pengukuran
suhu bertujuan memperoleh nilai suhu jaringan dalam tubuh. Lokasi
pengukuran untuk suhu inti yaitu rektum, membran timpani, arteri temporalis,
arteri pulmonalis, esophagus dan kandung kemih. Lokasi pengukuran suhu
permukaan yaitu kulit, oral dan aksila (Potter & Perry, 2009).
2.1.2 Suhu Tubuh Normal
Suhu tubuh yang normal adalah 35,8°C – 37,5°C. Pada pagi hari suhu
akan mendekati 35,5°C, sedangkan pada malam hari mendekati 37,7°C.
Pengukuran suhu di rektum juga akan lebih tinggi 0,5°-l°C, dibandingkan
suhu mulut dan suhu mulut 0,5°C lebih tinggi dibandingkan suhu aksila
(Sherwood, 2014).
5
6
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Suhu Tubuh
Faktor yang mempengaruhi suhu tubuh ada beberapa yaitu laju
metabolisme basal semua sel tubuh, laju metabolisme tambahan yang
disebabkan oleh aktivitas otot, termasuk kontraksi otot yang disebabkan oleh
menggigil, metabolisme tambahan yang disebabkan oleh hormon tiroksin
(dan sebagian kecil hormon lain, seperti hormon pertumbuhan dan
testosteron) terhadap sel, metabolisme tambahan yang disebabkan oleh
pengaruh epinefrin, norepinefrin, dan perangsangan simpatis terhadap sel dan
metabolisme tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas kimiawi
di dalam sel sendiri, terutama bila suhu tubuh didalam sel meningkat,
metabolisme tambahan yang diperlukan untuk pencernaan, absorbsi, dan
penyimpanan makanan (efek termogenik makanan) (Guyton & Hall, 2012).
Sebagian besar pembentukan panas di dalam tubuh dihasilkan organ
dalam, terutama di hati, otak, jantung, dan otot rangka selama berolahraga.
Kemudian panas ini dihantarkan dari organ dan jaringan yang lebih dalam ke
kulit, yang kemudian dibuang ke udara dan lingkungan sekitarnya (Guyton &
Hall, 2012).
Oleh karena itu, laju hilangnya panas hampir seluruhnya ditentukan
oleh dua faktor yaitu seberapa cepat panas yang dapat dikonduksi dari tempat
asal panas dihasilkan, yakni dari dalam inti tubuh ke kulit dan seberapa cepat
panas kemudian dapat dihantarkan dari kulit ke lingkungan (Guyton & Hall,
2012).
7
2.1.4 Pengukuran Suhu Tubuh
Untuk mengetahui berapa suhu tubuh digunakan alat termometer. Alat
pengukur suhu tubuh ini banyak jenisnya yaitu termometer air raksa,
termometer digital, termometer berbentuk strip (Nusi et al., 2013).
Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan dari Empat Lokasi Pengukuran Suhu Tubuh
Lokasi Kelebihan KekuranganOral Mudah diakses dan nyaman Nilai tidak akurat apabila pasien
baru saja mengkonsumsi cairan
atau makanan yang dingin atau
panas.
Rektal Hasil reliabel Tidak nyaman dan lebih tidak
menyenangkan bagi pasien, sulit
dilakukan pada pasien yang
tidak dapat miring kiri kanan,
dan dapat melukai rektum.
Adanya feses dapat
mengganggu penempatan
termometer. Apabila feses
lunak, termometer dapat masuk
ke dalam feses bukan ke dinding
rektum
Aksila Aman dan non invasif Termometer harus dipasang
dalam waktu yang lama agar
memperoleh hasil yang akurat.
Membran timpani Mudah diakses,
mencerminkan suhu inti,
sangat cepat.
Dapat menimbulkan rasa tidak
nyaman dan beresiko terjadi
perlukaan apabila termometer
diletakkan terlalu dalam ke
lubang telinga.
Pengukuran berulang dapat
menunjukkan hasil yang
berbeda.
Adanya serumen dapat
mempengaruhi bacaan hasil.
(Nusi et al., 2013).
8
2.2 Demam
2.2.1 Definisi Demam
Demam merupakan peningkatan suhu tubuh di atas normal (Breman,
2009). Demam merupakan kenaikan suhu tubuh menjadi > 37,5°C yang
diukur di aksila dan pada pengukuran rektal lebih tinggi 0,5°C (WHO, 2014).
Secara teoritis kenaikan suhu pada infeksi dinilai menguntungkan, oleh
karena aliran darah makin cepat sehingga makanan dan oksigenasi makin
lancar. Namun jika suhu di atas 38,5°C pasien mulai merasa tidak nyaman,
aliran darah cepat, jumlah darah untuk mengaliri organ vital (otak, jantung,
paru) bertambah, sehingga volume darah ke ekstremitas dikurangi,
akibatnya ujung kaki/tangan teraba dingin. Demam yang tinggi memacu
metabolisme yang sangat cepat, jantung dipompa lebih kuat dan cepat, dan
frekuensi napas lebih cepat. Dehidrasi terjadi akibat penguapan kulit dan
paru dan disertai dengan ketidakseimbangan elektrolit, yang mendorong
suhu makin tinggi (Ismoedijanto, 2000).
2.2.2 Etiologi Demam
Demem menjadi salah satu gejala dari adanya infeksi jaringan dalam
tubuh. Jaringan yang terinfeksi mengandung bakteri yang sifatnya patogen.
Mikroorganisme tersebut dapat berupa virus, bakteri, maupun parasit. Demam
juga bisa disebabkan oleh paparan panas yang berlebihan (overhating),
dehidrasi atau kekurangan cairan, alergi maupun dikarenakan gangguan
sistem imun (Lubis, 2011).
Menurut Febry dan Marendra (2010) penyebab demam dibagi menjadi 3
yaitu:
9
1. Demam infeksi, antara lain infeksi virus (cacar, campak dan demam
berdarah) dan infeksi bakteri (demam tifoid dan pharingitis).
2. Demam non infeksi, antara lain karena kanker, tumor, atau adanya
penyakit autoimun (penyakit yang disebabkan sistem imun tubuh itu
sendiri).
3. Demam fisiologis, bisa karena kekurangan cairan (dehidrasi), suhu udara
terlalu panas dan kelelahan setelah bermain disiang hari.
2.2.3 Patofisiologi Demam
Substansi yang dapat menyebabkan demam disebut pirogen dan berasal
baik eksogen maupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari mikroorganisme
seperti bakteri, virus dan jamur. Sedangkan pirogen endogen berupa molekul-
molekul kimia seperti kompleks antigen-antibodi, metabolit steroid
androgenik dan sitokin inflamasi (IL-1, IL-6, TNF dan IFN). Pirogen dapat
menyebabkan demam melalui stimulus hipotalamus (Cimpello et al,. 2000).
Pirogen eksogen yang masuk ke dalam tubuh atau zat asing akan
dikelilingi dan dilekatkan pada imunoglobulin serta komplemen dan
selanjutnya difagosit oleh makrofag (sel kupfeer). Proses ini akan melepaskan
sejumlah sitokin pro inflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-α, Interferon (IFN)
yang akan bekerja pada daerah preoptik hipotalamus anterior. Sitokin akan
memicu pelepasan asam arakidonat dari membran fosfolipid dengan bantuan
enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat selanjutnya diubah menjadi PGE2
karena peran dari enzim siklooksigenase. PGE2 dapat terbentuk secara
langsung dan dapat terbentuk melalui pelepasan cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) yang nantinya akan meningkatkan suhu termostat di
10
susunan saraf pusat dan menyebabkan demam (Dalal & Zhukovsky, 2007 ;
Sherwood, 2012 ; Silbernagl & Lang, 2013).
(Longo et al, 2012)Gambar 2.1
Mekanisme demam
2.2.4 Kegunaan Demam
Demam mungkin terdapat dalam hubungannya untuk mengatasi infeksi.
Peningkatan suhu akan menghambat pertumbuhan beberapa patogen, bahkan
membunuh sebagian lainnya. Selain itu, konsentrasi logam dasar di plasma
(seperti besi, seng, dan tembaga) yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri
dikurangi. Selanjutnya, sel yang rusak karena virus dimusnahkan sehingga
replikasi virus dihambat. Karena alasan ini, secara umum sebaiknya
antipiretik hanya digunakan bila demam menyebabkan kejang demam
(biasanya pada bayi dan anak-anak) atau bila demamnya sangat tinggi
(>39 ) sehingga dikhawatirkan terjadi kejang (Silbernagl ℃ & Lang, 2013).
11
2.2.5 Dampak Demam
Demam diatas 41°C dapat menyebabkan hiperpireksia yang sangat
berbahaya karena dapat menyebabkan berbagai perubahan metabolisme,
fisiologi, dan akhirnya berdampak pada kerusakan susunan saraf pusat. Pada
awalnya anak tampak menjadi gelisah disertai nyeri kepala, pusing, kejang,
serta akhirnya tidak sadar. Keadaan koma terjadi bila suhu >43°C dan
kematian terjadi dalam beberapa jam bila suhu 43°C sampai 45°C (Plipat,
2002).
2.2.6 Mekanisme Penurunan Demam
Mekanisme penurunan demam akan memiliki mekanisme penurunan
temperatur bila suhu terlalu panas. Sistem pengaturan temperatur
menggunakan tiga mekanisme penting untuk menurunkan panas tubuh yaitu :
1. Vasodilatasi. Pada hampir semua area tubuh, pembuluh darah mengalami
dilatasi dengan kuat. Hal ini disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis
pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasokonstriksi.
Vasokontriksi penuh akan meningkatkan kecepatan pemindahan panas ke
kulit sebanyak delapan kali lipat.
2. Berkeringat. Efek dari peningkatan temperatur yang menyebabkan
berkeringat. Peningkatan temperatur tubuh 1°C menyebabkan keringat
yang cukup banyak untuk membuang 10 kali lebih besar kecepatan
metabolisme basal dari pembentukan panas tubuh.
3. Penurunan pembentukan panas. Mekanisme yang menyebabkan
pembentukan panas berlebihan, seperti menggigil dan termogenesis kimia,
dihambat dengan kuat (Anochie, 2013).
2.3 Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.)
12
2.3.1 Taksonomi Pandan Wangi
Kingdom : Plantae
Phylum : Tracheophyta
Classis : Liliopsida
Order : Pandanales
Family : Pandanaceae
Genus : Pandanus
Species : Pandanus amaryllifolius Roxb (Syamsuhidayat, 1991;
Steenis, 2008)
(Kurnawidjaja, 2016)
Gambar 2.2Pandan wangi
2.3.2 Morfologi Tanaman
Pandan wangi merupakan tumbuhan berupa semak atau pohon yang
tegak dengan tinggi 3-7 meter, kadang memiliki cabang, dengan batang
berduri, dan memiliki akar tunjang disekitar pangkal batang. Daun pandan
wangi dewasa umumnya memiliki panjang 2-3 meter, lebar 8-12 cm, daun
tunggal, duduk, dengan pangkal memeluk batang; helai daun berbentuk pita,
bertulang sejajar, memiliki ujung daun berbentuk segitiga lancip, tepi daun
13
dan ibu tulang daun bagian bawah berduri, berwarna hijau muda-hijau tua
dengan tekstur daun berlilin. Bunga pandan wangi jantan dan betina terdapat
pada tumbuhan yang berbeda, memiliki buah yang letaknya terminal atau
lateral, soliter atau berbentuk bulir atau malai yang besar (Jacqueline, 2011).
2.3.3 Penyebaran Daun Pandan Wangi
Tanaman pandan wangi dapat dengan mudah ditemui di daerah tropis
seperti di Indonesia dan banyak ditanam di halaman rumah, di kebun, di
pekarangan rumah maupun tumbuh liar di tepi-tepi selokan yang teduh.
Pandan wangi juga dapat tumbuh liar di tepi sungai, rawa dan tempat-tempat
lain yang tanahnya sedikit lembab dan dapat tumbuh subur di daerah pantai
(Dalimartha, 2009).
2.3.4 Kandungan Kimia
Daun pandan wangi mengandung senyawa kimia seperti alkaloid saponin,
flavonoid dan terpenoid (Bindu, 2015). Kandungan terpenoid, saponin dan flavonoid
yang cukup tinggi didapat dari hasil maserasi daun pandan wangi dengan methanol
(Imititha et al., 2012). Berdasarkan laporan penelitian diketahui senyawa
flavonoid, saponin, dan tanin sebagai antioksidan yang mampu menekan
keberadaan radikal bebas serta sebagai antipiretik (Kumar et al., 2012).
Beberapa golongan flavonoid yang ditemukan dalam daun pandan wangi yaitu
kaempferol dan naringenin (Ghasemzadeh, 2016). Berdasarkan penelitian
Hamalainen et al (2011), flavonoid bekerja sebagai inhibitor prostaglandin yang
nantinya akan menurunkan set point di hipotalamus. Selain itu, penelitian
Alhusayni et al (2014) melaporkan bahwa flavanoid dapat berefek sebagai
hepatoseluler melalui penghambatan alterasi untuk menurunkan efek DNA
damage pada sel-sel hati. Kaempferol juga terbukti memiliki aktivitas antipiretik
14
dengan menghambat COX-2 (Yoon et al., 2013). Naringenin juga tebukti dapat
menghambat TNF-α, IL-1 dan IL-6 (Soromou et al., 2012).
Tabel 2.2 Screening Fitokimia Daun Pandan WangiBioactive
compoundsMethods of extraction
M Ch EFlavonoids + + -Terpenoids +++ + +++Saponins +++ ++ +Tanins ++ ++ +Alkaloids ++ +++ +Glycosides +++ + ++++++: Present at high concentration, ++: Present at moderate concentration, +:present low concentration, -: absent or present at negligible concentration, M:methanol, Ch: chloroform, E: etanol.
(Imitithal, 2016)
2.3.5 Khasiat
Daun pandan wangi sebelumnya telah banyak digunakan dalam pengobatan
tradisional antara lain untuk menyegarkan tubuh, menurunkan demam, mengatasi
sakit gigi dan sebagai penenang (Khare, 2004; Nor, 2008). Beberapa penelitian
tentang efek farmakologi daun pandan wangi telah dilakukan yaitu ekstrak
etanol-etil asetat dapat digunakan juga sebagai antibakteri menghambat
staphylococcus aureus dan ekstrak etil asetat dapat menghambat Escherchia
coli (Madiyaningsih et al., 2014), ekstrak air daun pandan wangi juga
memiliki potensi antidiabetes (Prameswari & Widjonarko, 2014), ekstrak etil
asetat juga telah terbukti dapat digunakan sebagai antikanker (Sukandar,
2009), dan ekstrak etanol 96% dapat digunakan sebagai antioksidan alami
(Mageretta et al., 2011).
2.3.6 Mekanisme zat aktif daun pandan wangi sebagai antipiretik
Daun pandan wangi memiliki beberapa komponen zat aktif yaitu
alkaloid, saponin, terpenoid dan flavonoid (Imitithal, 2016).
a. Saponin
15
Saponin merupakan salah satu golongan alkaloid yang mempunyai
beberapa fungsi, antara lain sebagai antimikroba, penghambatan jalur ke
steroid adrenal, dan menghambat dehidrogenase jalur prostaglandin.
Fungsi saponin yang terakhir tersebut yang dapat bekerja sebagai
antipiretik (Gorge & Kazuo, 2013). Senyawa aktif saponin memiliki efek
antiinflamasi melalui penghambatan kerja enzim COX-2 dan Inducible
Nitric Oxide Synthase (iNOS) yang berdampak pada penurunan sintesis
mediator peradangan (Moses et al., 2014). Apabila pembentukan
prostaglandin, terutama PGE2 dihambat, maka tidak ada pirogen
endogen yang merangsang peningkatan set-point pada termostat
hipotalamus, sehingga set-point pada termostat hipotalamus perlahan-
lahan akan turun dan kembali normal dan demam sama sekali tidak
terjadi atau menurun (Guyton & Hall, 2012). Penelitian melaporkan
bahwa aktivitas antipiretik disebabkan oleh beberapa senyawa aktif,
seperti flavonoid, tanin, steroid, dan triterpenoid, dapat menghambat
sintesis prostaglandin (PGE2) (Saptarini & Deswati, 2015).
b. Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang
terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat
warna merah, ungu, biru dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan
di tumbuh-tumbuhan. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang
terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C6) terikat pada
suatu rantai propana (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6
(Lenny, 2006).
16
(Abdi, 2010)
Gambar 2.3Struktur C6-C3-C6 Flavonoid
Flavonoid bekerja sebagai inhibitor produksi PGE2 (Hamalainen et
al, 2011). Dimana PGE2 akan berperan dalam peningkatan set point di
hpotalamus yang akan menimbulkan demam (Fauci et al., 2008).
c. Kaempferol
Kaempferol merupakan salah satu golongan flavonoid telah
terbukti dapat menghambat COX-2 dan menurunkan produksi PGE2
yang diinduksi oleh lipopolisakarida. Kaempferol juga memiliki aktivitas
antioksidan tinggi dan digunakan sebagai antiinflamasi yang
menghambat IL-4 (Yoon et al., 2013).
d. Naringenin
Naringenin adalah senyawa polifenolik alami yang mengandung
dua cincin benzena yang dihubungkan bersama cincin pyrone
heterosiklik (Tripoli, 2007). Naringenin juga telah terbukti dapat
menghambat sitokin pro inflamasi yaitu TNF-α, IL-1 dan IL-6 sehingga
asam arakidonat dan enzim COX-2 tidak dapat merangsang pembentukan
prostaglandin. Prostaglandin tidak akan meningkatkan set point di
hipotalamus sehingga demam tidak terjadi (Soromou et al., 2012).
e. Alkaloid
17
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak
ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-
tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat
tinggi. Sebagian besar alkaloid terdapat pada tumbuhan dikotil sedangkan
untuk tumbuhan monokotil dan pteridofita mengandung alkaloid dengan
kadar yang sedikit (Lopez, 2005).
Pada pandan wangi, terdapat kandungan senyawa alkaloid tipe
piperidine, yaitu pandamarine, pandamarilectones, dengan struktur
pyrroline (Katzer, 2012).
2.4 Parasetamol
Asetaminofen atau lebih dikenal dengan parasetamol merupakan salah satu
derivat para amino fenol (Wilmana, 2012). Selain asetaminofen derivat lain dari
para amino fenol adalah fenasetin, tetapi fenasetin sekarang jarang digunakan lagi
untuk pengobatan dikarenkan efek sampingnya yang menyebabkan terjadinya
analgesik nefropati, anemia hemolitik dan mungkin kanker kandung kemih
(Ganiswara, 2008).
Selain memiliki efek antipiretik, parasetamol juga memiliki efek analgesik
dan anti-inflamasi. Mekanisme timbulnya efek antipiretik parasetamol adalah
dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat
menjadi prostaglandin terganggu. Parasetamol menghambat biosintesis
prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid yaitu di
hipotalamus. Parasetamol diduga menghambat isoenzim COX-3, suatu variant dari
COX-1. COX-3 ini hanya terdapat di otak (Wilmana, 2012).
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Efek anti-inflamasinya sangat
18
lemah, oleh sebab itu parasetamol tidak digunakan sebagai anti-inflamasi
(Ganiswara, 2008).
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Onset
parasetamol terjadi cepat yaitu dalam waktu 30 menit dengan konsentrasi tertinggi
dalam plasma dicapai dalam waktu 10-60 menit. Obat ini terdistribusi dengan
baik, dan di dalam plasma sebanyak 25% parasetamol terikat plasma. Parasetamol
dimetabolisme di hati, dimana 80% dikonjugasikan dengan asam glukoronat dan
sebagian kecil dengan asam sulfat. Ekskresi parasetamol melalui ginjal, sebagian
kecil dalam bentuk parasetamol dan sisanya dalam bentuk terkonjugasi
(Ganiswara, 2008).
2.5 Induksi Vaksin DPT
Vaksin DPT adalah suatu vaksin yang terdiri dari toxoid difteria, toxoid
tetanus dan vaksin pertusis yang dicampur dalam satu semprit. Vaksin DPT
berfungsi mencegah terjadinya ketiga penyakit, yaitu difteria, tetanus dan pertusis.
Kejadian ikutan pasca imunisasi DPT yang tersering adalah demam dimana terjadi
pada 58,8% kasus, bahkan 16,2% kasus mengalami hiperpireksia (Jong, 2001).
Komponen vaksin DPT yang dapat menyebabkan demam adalah pertusis.
Vaksin DTwP sering mengakibatkan demam karena mengandung 3000 protein
yang berbeda, sedangkan vaksin DtaP hanya mengandung dua sampai lima
protein (Firdinand, 2015). Vaksin DPT menggunakan seluruh komponen tubuh
mikroorganisme pertusis, sehingga sistem pertahanan tubuh menganggap
komponen tersebut sebagai benda asing yang harus dilawan. Komponen tersebut
akan difagosit oleh leukosit darah, makrofag jaringan dan limfosit pembunuh
bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri
dan melepaskan zat IL-1 yang disebut juga leukosit pirogen atau pirogen endoen
19
ke dalam cairan tubuh. IL-1 akan menginduksi pembentukan salah satu
prostaglandin, terutama prostaglandin E2 atau zat yang mirip, dan selanjutnya
bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam (Guyton & Hall,
2012).
Untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2,
4, 6, 15-18 bulan dan saat masuk sekolah dengan dosis setiap pemberiannya
adalah 0,5 mL. Dosis keempat harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan
setelah dosis ketiga diberikan (Depkes RI, 2016).
Pemberian vaksin DPT pada tikus percobaan efektif menstimulasi demam
dan meningkatkan suhu rektal awal pada menit ke-30 (Agustin et al., 2017).
2.6 Hewan Percobaan
Penelitian dengan hewan coba harus memperhatikan aspek perlakuan yang
manusiawi terhadap hewan-hewan tersebut, sesuai dengan prinsip 5F (Freedom)
yaitu: bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa
nyeri, trauma, dan penyakit, bebas dari ketakutan dan stress jangka panjang, bebas
mengekspresikan tingkah laku alami, diberikan ruang dan fasilitas yang sesuai
(pengayaan lingkungan yang sesuai). Seluruh perlakuan terhadap hewan
percobaan dituangkan secara rinci di dalam protokol penelitian yang dianalogikan
sebagai informed consent pada penelitian yang menggunakan relawan manusia
(Ridwan, 2013).
2.6.1 Tikus Putih Strain Wistar (Rattus norvegicus)
Tikus putih yang sering digunakan untuk uji farmakologik bahan obat
adalah jenis Rattus norwegiens, galur wistar, atau sprague dawley. Hewan ini
relatif tahan terhadap infeksi dan tergolong cerdas. Tikus tergolong hewan
yang aktif pada malam hari, tetapi relatif lebih tenang bila dibandingkan
20
dengan mencit. Di dalam kandang dapat tinggal sendirian, tidak harus
berkelompok asalkan masih dapat melihat atau mendengar suara tikus lain
(Lucia E, 2011).
Karakteristik dari tikus putih strain wistar adalah kepala yang luas,
telinga yang panjang, ekor yang panjang tetapi tidak melebihi panjang
badannya (Alexandru, 2011). Suhu tubuh tikus putih yang normal adalah
sekitar 35,9°C-37,5°C (Kalay, 2014). Suhu untuk perkembangbiakan tikus
adalah 20°C - 25°C dan menjadi sukar berkembang biak bila suhu diatas
30°C. Masa hidup tikus dapat mencapai 4 tahun. Tikus dewasa dapat
dikawinkan setelah berumur 8-12 minggu. Tikus menjadi dewasa setelah
berumur 40-60 hari. Bobot badan normal tikus jantan dewasa adalah 300-
400gr dan maksimum 500gr. Sedangkan berat badan normal tikus betina
adalah 250-300gr dengan bobot maksimum 350gr (Lucia, 2011).
(Alexandru, 2011)
Gambar 2.4Tikus putih jantan strain wistar (Rattus norvegicus)
Keuntungan penggunaan hewan uji tikus putih dibandingkan dengan
hewan uji lain yaitu lebih mudah untuk berkembang biak, lebih cepat menjadi
dewasa, dan tidak memperlihatkan perkawinan musiman (Lucia, 2011). Pada
percobaan ini digunakan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan karena
21
tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena
tidak dipengaruhi oleh faktor hormonal seperti pada tikus putih betina yang
dapat menyebabkan kenaikan suhu tubuh lebih tinggi ± 0,3-0,6°C di atas suhu
basal akibat dari pengeluaran hormon progesteron pada masa ovulasi dan
bentuk pertahanan homeostasis sekresi hormon yang diatur oleh hipotalamus.
Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih
cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina
(Sugiyanto, 1995; Ermawati, 2010).
Suhu tubuh tikus putih jantan normal berkisar antara 35,9°C-37,5°C.
Tikus putih jantan yang digunakan sebagai hewan percobaan model demam
dikatakan mengalami demam jika hewan tersebut mengalami peningkatan
suhu rektal melebihi 0,6°C di atas suhu normalnya (Kalay, 2014).