Reseptor Hormon Steroid
-
Upload
vinson-lai -
Category
Documents
-
view
88 -
download
4
description
Transcript of Reseptor Hormon Steroid
RESEPTOR HORMON STEROID
Telah diketahui dengan baik pada tiga
dekade terakhir ini bahwa hormone steroid
bertindak berdasarkan regulasi dari ekspresi
gen. Hormon steroid (misalnya androgens,
estrogens, glukokortikoid,
mineralokortikoid, dan progesterone)
merupakan melokul hidrofobik yang relative
kecil dan masuk ke dalam sel target dengan
proses difusi sederhana. Dalam sel target,
hormone steroid ini bekerja diperantai oleh
suatu protein reseptor nuclear yang spesifik,
yang merupakan bagian dari superfamily
dari faktor transkripsi ligan - modulated
yang mengatur homeostasis, reproduksi,
perkembangan, dan diferensiasi. Golongan
ini termasuk reseptor untuk semua hormone
steroid, hormone tiroid, semua trans dan 9-
cis asam retinoid, 1,25-dihidroksi-vitamin
D, ecdysone dan reseptor peroxisome
proliferator-activated. Sebagai tambahan,
peningkatan jumlah protein nuclear telah
teridentifikasi dengan suatu struktur protein
yang homolog terhadap reseptor nuclear,
tetapi tanpa suatu ligand yang diketahui,
Reseptor tersebut kemudian dikenal sebagai
reseptor “orphan” dari subfamily faktor
transkripsi yang penting dan yang berkerja
baik tanpa ligand atau dengan ligand
endogen yang belum diketahui. Protein
reseptor memiliki kesetimbangan diasosiasi
konstanta dengan magnitude 10-9-10-10 M
dan sel target pada umumnya memiliki
10.000 molekul reseptor.
Awal lokalisasi sitoplasmik hormone
steroid di dalam sebuah sel target didasarkan
pada observasi bahwa pada keadaan tidak
adanya hormone di dalam jaringan target
dari hewan yang telah mengalami
pengangakatan adrenal, ovarium, dikebiri
atau hewan yang belum dewasa, didapati
bahwa resptor bisa diisolasi dari fraksi
‘cytosol’. Lokalisasi subseluler ini telah
menghasilkan sebuah model two-step untuk
cara kerja hormone steroid, tahap pertama
berupa pengikatan hormone terhadap
reseptor hormone dan tahap kedua berupa
transformasi subsequent dari kompleks
reseptor hormone menjadi bentuk DNA-
binding dan translokasi simultan dari
kompleks menuju nucleus. Sejak tersedianya
antibodi spesifik bagi hormone steroid dan
lebih banyak teknik fraksinasi subesluler
yang menakjubkan, semakin jelas bahwa
model two-step harus dievaluasi kembali
karena kebanyakan reseptor steroid berada
didalam nucleus dalam keadaan tidak
adanya hormone dan mengalami perubahan
bentuk menjadi bentuk ikatan nucleus yang
ketat setelah mengikat hormone.
Model cara kerja dari hormon steroid
saat ini melibatkan mekanisme yang terdiri
dari beberapa tahapan, seperti yang tampak
pada Gambar 1. Setelah hormone steroid
masuk ke dalam sel target, pengikatan
terjadi terhadap reseptor yang merespon,
diikuti dengan disosiasi heat shock protein
di dalam sitoplasma, secara bersamaan
diikuti oleh perubahan konformasional dari
protein reseptor, yang menyebabkan
transformasi dan translokasi terhadap
nucleus. Mekanisme ini mencerminkan
situasi bagi reseptor glukokortikoid.
Reseptor estradiol dan vitamin D berada
predominan di dalam nucleus pada saat tidak
adanya hormone. Reseptor ini menjadi
teraktivasi di dalam nucleus setelah terjadi
pengikatan terhadap ligand mereka. Untuk
reseptor androgen dan progesterone, sebuah
mekanisme telah diajukan. Setelah terjadi
pengikatan terhadap sekuens DNA spesifik
di dalam nucleus, reseptor mengalami
dimerisasi dengan molekul kedua dan
seluruh homodimer menerima protein
tambahan (misalnya koaktivator, faktor
transkripsi general, RNA polymerase II),
menyebabkan aktivasi spesifik dari
transkripi di daerah tersendiri kromatin.
LATAR BELAKANG
Struktur daerah fungsional reseptor
hormone steroid
Setelah cloning pertama dari sebuah cDNA
dari reseptor hormone steroid pada tahun
1985, telah diperoleh lebih banyak informasi
mengenai struktur molekul dari reseptor
hormone steroid. Analisis komparatif
struktural dan fungsional dari nuclear
reseptor hormone telah menunjukkan
organisasi struktural yang umum pada
keempat daerah fungsional yang berbeda:
sebuah daerah dengan ujung NH2, daerah
DNA-binding, sebuah hinge region, dan
sebuah daerah ligand-binding (Gambar 2).
Daerah dengan ujung N yang tidak
terlindung berperan dalam regulasi cell type-
specific transcriptional dan sangat bervariasi
dalam ukuran (Gambar 2). Daerah ini juga
sangat bersifat imunogenik.
Daerah DNA-binding merupakan
daerah yang sangat terlindungi diantara
anggota dari reseptor superfamily. Daerah
ini mengandung banyak asam amino dasar
dan 9 residu cysteine yang terlindungi.
Gambar 1 Model cara kerja hormone steroid yang disederhanakan. Protein kunci adalah reseptor
hormone steroid (R, warna hujau), yang mengikat heat shock protein (hsp 90, warna biru).
Reseptor memasuki nucleus melalui sebuah nuclear localization signal intrinsik. Setelah
pengikatan hormone steroid, baik yang bisa terjadi di sitoplasma atau di dalam nucleus,
kompleks reseptor heteromerik-hsp90 mengalami diasosiasi dan reseptor kemudian berikatan
sebagai dimer terhadap sekuens DNA yang spesifik. Pengikatan terhadap DNA di tempat yang
spesifik mengakibatkan sintesis mRNA dan terjadilah sintesis protein, yang akhirnya
menimbulkan respon dari RNA polymerase III, RNA polymerase II.
Informasi lebih detail telah diketahui pada
struktur Kristal dari daerah DNA-binding
dari kompleks reseptor glukokortikoid
dengan DNA. Informasi struktural ini
mungkin bisa bersifar repesentatif bagi
golongan reseptor hormone steroid lainnya.
Secara singkat, daerah DNA-binding ini
memiliki struktur yang padat, bulat, dimana
dua sub-struktural bisa dibedakan. Kedua
sub-struktural mengandung satu pusat atom
zinc, yang berinteraksi melalui ikatan
koordinasi dengan empat residu cysteine
(Gambar 3). Kedua kelompok zinc berbeda
secara struktural dan fungsional dan dikode
oleh dua exon yang berbeda. α-heliks dari
kebanyakan kelompok zinc dengan N-
terminal berinteraksi langsung dengan
nukleotida dari hormone response element
dalam rantai utama DNA. Tiga residu asam
amino pada N-terminus dari α-heliks
Gambar 2
Sekuens
homolog antara
reseptor
androgen (hAR), reseptor progesterone (hPR), reseptor glukokortikoid (hGR), reseptor
mineralokortikoid (hMR) dan reseptor α estrogen (hER). Bagian hinge (kotak terbuka) terletak
diantara daerah DNA-binding (kotak biru) dan daerah ligand-binding (kotak hijau). Sekuens
dan ukuran dari bagian hinge tidak terjaga diantara reseptor-reseptor hormone steroid. Daerah
NH2-terminl (kotak abu-abu) sangat bervariasi dalam ukuran dan komposisi. Lokalisasi
kromosomal dari gen-gen yang mengkode reseptor-reseptor hormone steroid manusia ini telah
ditemukan.
Gambar 3 Motif sekuens dan fungsional dari daerah DNA-binding reseptor androgen (AR-DBD).
Sekuens asam amino dari AR-DBD tampak dalam bentuk kode huruf tunggal. Daerah ini terdiri dari dua
kelompok molekul zinc. Kelompok zinc pertama (N-terminal) mengandunag P-box (proximal box, warna
merah) yang dimana dari tiga residu (lingkaran merah) menentukan spesifisitas pengenalan hormone
receptor element (HRE). Kelompok zinc keduda mengandung D-box (distal box, warna hijau) yang
menentukan lokasi residu asam amino dan terlibat dalam interaksi protein-protein dengan molekul
reseptor kedua di dalam kompleks homodimer. Kelompok zinc kedua juga mengandung bagian pertama
dari nuclear localization signal (NLS, garis biru).
bertanggung jawab terhadap pengenalan
spesifik dari sekuens DNA dari elemen
responsif (Gambar 3). Ketiga residu asam
amino ini (Gly, Ser, Val) mirip pada
reseptor androgen, progesterone,
glukokortikoid dan mineralokortikoid dan
berbeda dengan residu di posisi homolog
pada reseptor estradiol. Hal ini tidak
mengejutkan, oleh karena itu reseptor dari
androgen, progesterone, glukokortikoid dan
mineralokortikoid dapat mengenali elemen
respon yang sama. Untuk
respon spesifik hormon dan jaringan dari
reseptor yang berbeda, tambahan determinan
diperlukan. Penting dalam hal ini bahwa
sekuens DNA mengapit hormone response
element, interaksi reseptor dengan protein
lainnya dan konsentrasi reseptor. Motif dari
kelompok zink kedua seharusnya terlibat
dalam interkasi protein-protein seperti
dimerisasi reseptor
Diantara daerah DNA-binding dan
daerah ligand-binding,terletak sebuah hinge
region, dimana daerah tersebut juga
bervariasi dalam hal bentuk pada reseptor
steroid yang berbeda (Gambar 2). Daerah
hinge ini bisa dianggap sebagai penghubung
yang fleksibel dantara daerah ligand-binding
dan molekul reseptor sisanya. Daerah ini
juga mengandung nuclear localization
signal.
Daerah hormone-binding merupakan
daerah yang paling terlindungi kedua.
Daerah ini dikode oleh sekitar 250 residu
asam amino pada ujung C-terminal dari
molekul (Gambar 2). Studi kristalografi
dengan daerah ligand-binding dari 9-cis
retinoid acid receptor alpha (RXRα) dan
semua trans retinoic acid receptor gamma
(RARγ) memberikan padangan yang baik
tentang struktur tiga dimensi dari daerah ini
pada reseptor nuclear. Keseluruhan struktur
daerah ligand-binding terdiri dari 12 α-
heliks dan sebuah two-stranded anti-parallel
β-sheet yang kecil. Yang menarik adalah
perbedaan struktur dari daerah ligand-
binding dengan ada dan tidaknya suatu
ligand. Reseptor yang memiliki ligand
memiliki struktur yang lebih padat Wurtz
dan rekannya mengusulkan sebuah
mekanisme umum tentang aktivasi dari
reseptor nuclear, dimana perubahan
konformasional didalam daerah ligand-
binding yang mengakibatkan kontak tertutup
antara heliks 12 dan heliks 4, sehingga
terjadi sebuah interaksi permukaan yang
mengakibatkan pengikatan koaktivator
terhadap daerah akitivasi ligand-dependent.
Struktur tiga dimensi yang diajukan untuk
daerah ligand-binding dari reseptor retinoid
juga tepat bagi reseptor hormone steroid,
seperti yang telah ditemukan untuk α
reseptor estradiol. Rongga ligand-binding
pada reseptor estrogen terdiri dari beberapa
heliks dan membentuk sebuah kantong
hidrofobik yang seluruhnya dibatasi dari
lingkungan eksternal. Menariknya, setelah
pengikatan dari anti-estrogen raloxifene,
lipatan daerah ligand-binding berbeda dari
yang sudah berikatan dengan agonis
estrogen (Gambar 4). Heliks 12 menjadi
berubah posisi dan sekarang menonjol dari
binding pocket, menyebabkan perubahan
struktur 3 dimensi, dengan konsekuensi
untuk interaksi permukaan dari daerah
ligand-binding dan untuk pengambilan ko-
aktivator atau ko-represor.
Delesi dari daerah ligand-binding
menghentikan ikatan hormone, baik
sebagian atau seluruhnya bergantung pada
tipe reseptor steroid. Delesi pada daerah N-
terminal dan daerah DNA-binding tidak
mempengaruhi ikatan hormone. Delesi dari
daerah hormone-binding mengarah kepada
aktivasi protein reseptor terus-menurus
dengan kapasitas aktivasi transkripsi,
tergantung dari tipr reseptor, konteks
promotor, dan tipe sel. Oleh sebab itum
sepertinya dearah hormone-binding berperan
sebagai repressor dari fungsi aktivasi
transkripsi pada keadaan tidak adanya
hormone. Daerah C-terminal berperan juga
dalam fungsi reseptor lainnya seperti
dimerisasi reseptor dan interaksi dengan
protein-protein heat shock.
Gen-gen reseptor hormone tiroid
Pengaturan dari pengkodean gen-gen dari
reseptor-reseptor yang berbeda sangat
dilindungi. Bagian protein-coding dari gen-
gen reseptor terbagi menjadi 8 bagian exons.
Untuk estrogen manusia dan reseptor
glukokortikoid, 5’ non-coding exons juga
telah diidentifikasi. Sekuens yang mengkode
daerah N-terminal tampak sebagai suatu
exons yang besar. Kelompok-kelompok zinc
DNA-binding dikode oleh 2 exons kecil;
infromasi-informasi untuk daerah ligand-
binding terdistribusi kepada lima exons yang
berbeda. Walaupun ukuran intron bervariasi
antara gen-gen yang berbeda, semua batas
pengkodean exon-intron terdapat dalam
posisi yang sama didalam gen-gen reseptor
hormone steroid yang berbeda-beda.
Lokalisasi kromosomal dari gen-gen
reseptor hormone steroid yang berbeda-beda
tampak pada Gambar 2.
Gambar 4 Struktur 3
dimensi dari daerah ligand-
binding reseptor α estrogen.
Pada (a) reseptor berligan
dengan estradiol dan pada (b)
reseptor berligan dengan
adanya anti estrogen
raloxifene. Kebanyakan
elemen struktural tampak dalam
warna merah. Heliks 12 digambarkan dalam bentuk silinder dan berwarna biru pada kompleks
estradiol (a) atau berwarna hijau pada kompleks raloxifene (b). Perubahan posisi dari heliks 12
pada saat berikatan dengan anti-estrogen jelas tergambar pada model (b).
Protein heat shock dan reseptor hormone
steroid
Telah diketahui lebih dari dua dekade bahwa
reseptor hormone steroid dikaitkan dengan
protein-protein lain setelah isolasi dari
jaringan target pada kondisi rendah garam.
Pada kompleks raksasa yang diisolasi
(massa molekuler sekitar 300 kDa dan
dengan konstanta sedimentasi 8-9 S pada
gradien sukrosa) terdapat beberapa protein-
protein heat shock yang berbeda (hsp 90,
hsp 70, dan hsp 56) bersamaan dengan
protein-protein lain tergabung dengan
reseptor steroid. Stoikiometri dari kompleks
protein-protein yang berbeda dan molekul
reseptor bergantung pada kondisi untuk
isolasi. Pada sel target yang utuh dengan
kondisi adanya hormone dan pada suhu
fisiologis, kompleks ini dengan cepat
mengalami diasosiasi. Beberapa fungsi telah
diberikan untuk asosiasi dari protein heat
shock dengan reseptor-reseptor hormone
steroid. Pelipatan yang benar dari kantong
hormone-binding setalah sintesis dari
molekul reseptor di ribosom telah
dianjurkan untuk studi reseptor
glukokortikoid dengan mutan-mutan ragi
yang kekurangan hsp 90 atau dengan kadar
hsp 90 yang menurun. Fungsi lainnya adalah
untuk mencegah interaksi antara molekul
reseptor dengan DNA saat tidak adanya
hormone. Tidak ada asosiasi dengan heat
shock protein yang telah ditemukan untuk
reseptor asam retinoid, hormone tiroid, dan
vitamin D. Reseptor-reseptor ini tampak
berikatan lebih kuat di dalam nucleus
walaupun tidak adanya hormone.
TEKNOLOGI TERAPAN
Fosfolirasi reseptor hormone steroid
Reseptor-reseptor hormone steroid
merupakan fosfoprotein pada saat tidak
adanya ligand, dan mereka mengalami
hiper-fosfolirasi ketika adanya hormone.
Fosfolirasi tambahan yang diinduksi
hormone, dimana 2-7 kali lebih banyak dari
fosfolirasi basal merupakan suatu proses
yang cepat. Semua reseptor hormone steroid
terfosfolirasi pada lebih dari satu bagian.
Daerah fosfolirasi paling banyak terdapat
pada daerah N-terminal, dan fosfolirasi lebih
utama terjadi pada residu serine. Hanya pada
beberapa kasus, fosfolirasi pada residu
threonine terjadi. Fosfolirasi pada residu
tyrosine hanya ditemukan pada reseptor
estrogen. Fosfolirasi pada residu tyrosine di
daerah ligand binding diperlukan untuk
mempertahankan reseptor estrogen tetap
dalan tahap transkripsi yang tidak aktif pada
saat tidak adanya ligand. Enam kinase yang
berbeda (kinase reseptor estrogen, PKA,
PKC, kinase casein II, kinase DNA-
dependent, Ser-Pro directed kinase) telah
dilaporkan untuk fosfolirasi reseptor
hormone steroid. Beberapa studi telah
dilakukan untuk mengungkap peran
fisiologis untuk fosfolirasi reseptor dalam
mekanisme kerja hormone steroid. Beberapa
fungsi-fungsi reseptor atau akitvitas yang
dikaitakan dengan fosfolirasi telah
diusulkan: asosiasi reseptor dengan protein
heat shock, aktivasi pengikatan hormone,
nucleocytoplasmic shuttling, modulasi
pengikatan terhadap hormone response
element, dimerisasi reseptor, interaksi
dengan faktor transkripsi lainnya dan waktu-
paruh reseptor (misalnya pergantian dan
daur ulang reseptor).
Impor nuclear dari reseptor hormone
steroid
Karena reseptor-reseptor steroid diseintesisi
di dalam sitoplasma, mereka perlu
ditranspor melauli suatu mekanisme
kedalam nucleus sebelum hormone seteroid
dapat bekerja. Namun, mekanisme ini belum
diketahui, tetapi sepertinya merupakan suatu
proses yang bergantung terhadap energy.
Salah satu aspek struktural penting dalam
mekanisme impor nuclear adalah sebuah
nuclear localization signal yang hampir
semuanya mirip pada semua reseptor-
reseptor nuclear dan pertama kali
diindentifikasi di dalam
Tabel 1 Nuclear localization signals dari
berbagai residu asam amino dasar dan
bagian yang dianggap penting dalam signal
terihat sebagai huruf capital yang diperhitam
(Bold). Residu asam amino tampak dalam
simbol-simbol satu huruf
protein nukleoplasmin (Tabel 1). Nuclear
localization signal ini memiliki suatu
karakter bipartite (memiliki dua bagian),
dengan dua residu asam amino dasar yang
dipisahkan oleh sepuluh residu yang berasal
dari empat atau lima set residu asam amino
lainnya. Signal ini sangat terjaga diantara
anggota dari superfamily dan telah
ditemukan bahwa signal ini aktif untuk
reseptor progesterone dan androgen. Studi-
studi analisis mutasional yang digabungkan
dengan imunokimia dengan antibody
spesifik yang tinggi telah memastikan
karakter bipartit yang awalnya ditemukan di
protein nukleoplasma juga berfungsi pada
reseptor-reseptor steroid. Untuk reseptor
glukokortikoid dan reseptor
mineralokortikoid, telah ditemukan bahwa
reseptor-reseptor ini dihubungkan dengan
mikrotubul dan jaringan aktin dan bahwa
pergerakan dari molekul-molekul reseptor
sepanjang jaringan sitoskeletal berhubungan
dengan hsp 90 yang sangat penting dalam
proses import nuclear. Reseptor
progesterone manusia tidak berinteraksi
secara signifikan dengan jaringan
sitoskeletal dan telah diusulkan bahwa
signal kariofilik dan interaksi-interaksi
dengam pori-pori nuclear merupakan
determinan utama dalam pertukaran seluler
reseptor progesterone. Impor nuclear dari
reseptor progesterone pada saat tidak adanya
hormone sepertinya merupakan suatu proses
yang bergantung pada energy. Reseptor
progesterone dapat berdifusi mundur secara
bebas ke dalam sitoplasma dan bisa masuk
kembali ke nucleus dengan mekanisme yang
bergantung pada energy. Hanya reseptor
progesterone yang meiliki bukti
eksperimental yang bisa mendukung model
shuttle tersebut. Reseptor glukokortikoid
dan mineralokortikoid memperlihatkan
sebuah lokalisalisai sitoplasmik sebagian
pada saat tidak adanya hormone dan reseptor
glukokortikoid tetap berada dalam kompleks
multi-hsp bahkan saat pertukaran kedalam
nucleus ketika tidak adanya hormone.
Setelah mendapatkan paparan dari hormone,
reseptor glukokortikoid mengalami
diasosiasi dengan hsp 90 dan bergerak ke
bagian dimana inisiasi transkripsi
berlangsung. Jika model shuttle ini benar,
maka perbedaan kuantitatif kinetic dari
mekanisme shuttle ini bisa menentukan
panjang dari periode residensi dari molekul
reseptor di dalam sitoplasma dan di dalam
nucleus, dan juga pembatasan sitonuklear.
Pengikatan DNA dari reseptor-reseptor
hormone steroid
Setelah pengikatan hormone, kompleks
hormone-reseptor mengalami perbuhan
konformasi, yang menghasilkan afinitas
yang lebih tingi untuk sekuens DNA-
enhancer, yang dikenal sebagai hormone
respons elements, yang ditemukan di dalam
atau berdekatan dengan promotor dari gen-
gen target mereka. Hormone response
elements terdiri dari dua hexameric ‘half-
site’. Heksamer-heksamer ini disusun
sebagai suatu palindrom yang tidak
sempurna yang dipisahkan oleh tiga
nukleotida dari elemen-elemen respon
hormone steroid dan untuk reseptor asam
retinoid, reseptor hormon tiroid, reseptor
vitamin D, dan reseptor peroxisome
proliferator-activated dipisahkan berulang-
ulang secara langsung oleh sejumlah
nukelotida (0-6). Jarak antara dua ‘half-
sites’ memberi pendapat bahwa dua dearah
interaksi untuk reseptor berada pada sisi
yang sama dari DNA, dipisahkan oleh satu
putaran dari DNA heliks. Hal ini
mendukung konsep bahwa reseptor
berikatan dengan elemen respon sebagai
sebuah homodimer atau sebagai sebuah
heterodimer, dengan masing-masing
monomer reseptor berikatan dengan satu
‘half-site’ pada elemen respon. Variasi
signifikan bisa terjadi pada sejumlah
nukleotida di dalam elemn-elem respon,
tergantung pada promoter spesifik dimana
hal tersebut ditemukan. Sekuens inti (5’-
TGTTCT-3’) untuk elemen-elemen respon
glukokortikoid, mineralokortikod,
progesterone, dan androgen adalah sama,
tetapi sedikit modifikasi dalam sekuens ini
dan tambahan nukleotida mengubah afinitas
dari sekuens inti untuk membuat elemen
respon lebih selektif. Kompleks reseptor
hormone steroid seharusnya
metransduksikan signal steroidogenik
melalui interaksi protein DNA dan oleh
interakasi-interaksi protein-protein dengan
faktor transkripsi lainnya. Hal ini
menghasilkan pembentukan sebuah
kompleks pre-inisiasi yang satabil dekat
bagian tarnskripsi dimulai dari gen target,
dimana hal ini memungkinkan inisiasi
transkripsi yang efisien oleh RNA
polymerase II. Reseptor hormone steroid
mungkin memperoleh ini saat adanya
hormone dengan merangsang penyusunan
dari kompleks pre-inisiasi atau dengan
menstabilkan kompleks. Interaksi ini bisa
terjadi secara langsung atau tidak langsung,
melibatkan ko-aktivator yang memediasi
sinergisme antara faktor-faktor transkripsi
yang berbeda.
KONSEP SAAT INI
Ko-aktivator reseptor hormone steroid
Telah diketahui sejak lama bahwa interaksi
reseptor nuclear dengan faktor transkripsi
basal diperlukan untuk mengontrol aktivasi
transkripsi yang bergantung pada hormone.
Namun, saat ini semakin jelas bahwa bukan
hanya diperlukan komponen mekanis dari
transkripsi basal, tetapi juga melibatkan
tambahan faktor protein yang berbeda dari
faktor basal. Kepentingan dari faktor-faktor
ini di dalam respon telah didemonstrasikan
dalam suatu percobaan yang dikenal dengan
auto-squelching, dimana ekspresi yang
berlebihan dari reseptor nuclear pada sel
tertentu bisa menyebabkan atenuasi
(melemahnya) transkripsi daripada
meningkat. Faktor-faktor tambahan ini
disebut sebagai ko-aktivator. Walaupun
belum ada definisi consensus untuk ko-
aktivator, faktor-faktor ini perlu memenuhi
kriteria : berikatan pada daerah aktivasi
fungsional (AF-domain) dari reseptor
nuclear, menghilangkan auto-squelching
dari reseptor nuclear, meningkatkan aktivasi
transkripsi dari reseptor nuclear,
mengandung fungsi aktivasi yang autonomy
dan gen knock-outs harus memiliki sebuah
fenotipe untuk memicu kerja hormone.
Hampir untuk semua reseptor nuclear, ko-
aktivator telah diklon, kebanyakan dengan
spesifisitas yang luas. Grup keempat dari
protein-protein interaksi merupakan kategori
dari protein ko-integrator yang baru
teridentifikasi (CBP/p300). Protein-protein
ini seharusnya membentuk jembatan antara
reseptor nuclear dan ko-aktivator di dalam
kompleks inisiasi transkripsi dan berperan
secara sinergis. Protein multi-interacting
yang besar ini bisa selanjutnya menampilkan
suatu fungsi yang berbeda dari ko-aktivator
lainnya, karena protein ko-integrator ini juga
bisa berinteraksi dengan komponen-
komponen dari jalur transduksi sinyal
lainnya. Model dari kompleks transcription-
activating saat ini terdiri dari protein
activator (misalnya reseptor-reseptor
nuclear), faktor-faktor transkripsi basal
(misalnya TFIID = TBP + ten TAFs, TFIIA-
TFIIJ), ko-aktivator (misalnya SRC-1, TIF2,
GRIP-1, ARA70, RIP 140, RAC3) dank o-
integrator (misalnya CBP/p300).
Penemuan baru-baru ini bahwa
beberapa ko-aktivator untuk reseptor
nuclear, termasuk yang untk reseptor
hormone steroid, mempunyai aktivitas
histone acetyltransferase intrinsic (HAT),
yang telah memberikan pandangan baru
dalam mekanisme molecular tentang
reseptor nuclear mana yang bisa mengontrol
pengaturan transkripsi. Asetilasi dari
kromatin bisa dipikirkan sebagai langkah
esensial dalam mekanisme aktivasi reseptor
steroid oleh ko-aktivator. Setelah berikatan
dengan hormone, reseptor steroid berikatan
dengan hormone response element di dalam
chromatin-repressed DNA dan selanjutnya
memperoleh satu set dari ko-aktivator
dengan aktivitas histon acetylase intrinsik
(SRC-1; pCAF; CBP/p300) (Gambar 5).
Konsekuensi dari asetilasi histone adalah
menghilangnya transcription-repressed
chromatin, dengan mengizinkan faktor
transkripsi dan RNA polymerase II
mengakses elemen-elemen pengenal.
Akibatnya kompleks transkripsi pre-inisiasi
berada pada bagian yang benar dan
transkripsi pun dimulai (Gambar 5). Pada
model ini, deasetilasi histon bisa memainkan
peranan lebih lanjut dalam menghentikan
proses transkripsi dengan menekan DNA di
dalam kromatin via deasetilasi dari histone
(Gambar 5).
Responsivitas jaringan spesifik
Sebuah aspek baru dalam bidang mekanisme
kerja hormone steroid merupakan suatu awal
dari tidak terungkapnya spesifisitas jaringan
spesifik dari respon-respon steroid. Dalam
hal ini, penemuan dari reseptor kedua
hormone esterogen (ERβ) telah
meningkatkan pandangan kita terhadap
fenomena kompleks dari aksi kerja estrogen
yang berbeda di dalam beberpa jaringan
yang menjadi target kerja estrogen. Reseptor
estrogen klasik (ERα) umumnya terdapat di
uterus, ovarium, pituitari, ginjal, adrenal,
testis, dan epididymis, sedangkan ERβ
ditemukan di prostat, kantung kemih, tulang,
otak, uterus, ovarium (sel granulosa) dan
testis (spermatid yang berkembang). Hal ini
menggambarkan bahwa pola ekspresi dari
kedua tipe reseptor berada pada suatu
pengaturan yang bergantung pada jaringan.
Lebih lanjut, di dalam jaringan yang
memiliki dua jenis reseptor teebut,
heterodimer bisa diharapkan, sedangkan
pada jaringan yang menghasilkan satu jenis
reseptor, terdapat homodimer. Akibatnya,
heterodimer dari ERα dan ERβ
menghasilkan suatu mekanisme estrogen-
dependent yang baru untuk regulasi gen.
Aspek baru lainnya adalah spesifisitas dari
ligand ERα dan ERβ. Walaupun variasi dari
komponen estrogen baik secara sintetik
maupun alamiah memilik afinitas yang
relatif sama untuk kedua reseptor, perbedaan
yang jelas juga terlihat pada ligand tertentu.
RELEVANSI KLINIS YANG
POTENSIAL
Dalam kaskade antara ikatan hormone dan
ekspresi gen, jika suatu langkah yang
esensial tidak berlangsung dengan baik
maka respon hormone yang menyimpang
bisa terjadi. Resistensi dari hormone steroid
ini bisa terjadi oleh keadaan patologis yang
berat. Defek pada sintesis hormone steroid
telah dipelajari dan telah dikarakteristikan
pada tingkatan molekuler dalam keterlibatan
enzim di dalam biosintesis steroid. Penyabab
penting lainnya bisa dipandang dari tingkat
reseptor steroid. Defek post-reseptor, seperti
defek pada hormone response element atau
defek pada transkripsi ataupun defek pada
faktor transkripsi yang esensial untuk fungsi
tertentu, belum ditemukan. Menariknya,
individual dengan mutasi heterozigot pada
pengkodean gen untuk protein ko-integrator
CBP memperlihatkan defek perkembangan
yang berat pada sindroma Rubinstein-Taybi,
menandakan bahwa protein ini
dipertahankan secara fisiologis pada suatu
konsentrasi terbatas.
Sejak dilakukannya cloning pada
cDNAs reseptor steroid dan klaudikasi
struktur dari gen yang terlibat, analisis lebih
lanjut telah dilakukan untuk gen-gen
reseptor pada pasien dengan sindrom
resistensi hormone steroid. Setidaknya 3
kondisi patologis berkaitan dengan
abnormalitas struktur dan fungsi dari
reseptor androgen: sindrom insensitivitas
androgen, atofi otot spinal dan bulbar, dan
kanker prostat. Pada sindrom insensitivitas
androgen yang berkaitan dengan X-lonked,
defek pada gen reseptor androgen telah
menghambat perkembangan normal dari
struktur laki-laki baik eksternal dan internal
dalam individu 46,XY. Delesi secara
lengkap atau besar dari gen reseptor
androgen belum sering ditemukan pada
orang yang memiliki sindrom insensitivitas
androgen total. Mutasi titik pada beberapa
bagian yang berbeda pada exon 2-8 yang
mengkode daerah DNA-binding dan
androgen-binding telah dilaporkan pada
insensitivitas androgen total maupun
sebagian (Gambar 6). Sejumlah mutasi yang
relatif tinggi telah dilaporkan terjadi pada
dua kelompok berbeda yaitu pada exon 5
dan exon 7. Jumlah mutasi pada exon 1
sangatlah rendah dan tidak ada mutasi yang
dilaporkan terjadi pada derah hinge, yang
terletak diantara daerah DNA-binding dan
daerah ligand-binding (Gambar 6). Atofi
muskulus spinal dan bulbar X-linked
(penyakit Kennedy’s) dikaitan dengan
bertambah panjangnya (>40 residu) dari
Gambar 5 Model untuk aktivitas transkripsisional oleh hormone seteroid dan peranan dari ko-
aktivator. Setelah hormon steroid mengikat kepeda reseptronya (R), kompleks ini berikatan
secara spesifik sebagai homodimer terhadap hormone response element di DNA pada kromatin
yang mengalami represi. Secara bersamaan, beberapa faktor-faktor protein, yang disebut ko-
aktivator (misalnya pCAF; CBP; SCR-1) dengan aktivitas histone acetyltransferase intrinsik
(HAT) direkrut dan ko-aktivasi bisa terjadi dengan menganggu represi DNA via asetilasi histone.
Selanjutnya kompleks pre-inisiasi (PIC) direkrut pada bagian yang benar dan laju inisiasi
transkripsi meningkat. Sinyal steroid bisa dihentikan setelah destabilisasi seluruh kompleks dan
selanjutnya deasetilisasi dari
histone oleh histone
deacytlases (HD).
salah satu poliglutamine yang membentang
di daerah N-terminal pada reseptor
androgen. Pada pasien kanker prostat,
presentasi mutasi tertinggi dapat ditemukan
pada kanker prostat tipe hormone-refractory
pada tahap lanjut (late stage). Untuk
sejumlah mutasi terbatas telah menunjukkan
bahwa responsivisitas ligand terhadap
progesterone, estrogen, dan bahkan anti-
androgen telah meningkat.
Pada laporan-laporan yang relatif
sedikit jumlahnya, sindroma resistensi dari
famili kortisol telah dikaitakan dengan
mutasi pada gen yang mengkode reseptor
glukokortikoid manusia. Semua melaporkan
bahwa mutasi mempengaruhi ikatan ligand
baik heterozigot atau homozigot.
Sudah lama dianggap bahwa mutasi
pada gen reseptor estrogen akan bersifat
letal. Namun, saat ini penyebab molecular
dari resistensi estrogen yang berat telah
dilaporkan pada pasien 46,XY dengan
osteoporosis, epifisis yang tidak menyatu
dan pertumbuhan yang berlanjut pada masa
dewasa. Pada orang ini, sebuah mutasi
homozigot pada gen reseptor estrogen telah
ditemukan, yang mengakibatkan
penghentian kodon secara premature di
daerah DNA-binding dari protein reseptor.
Penemuan ini memberikan gambaran fakta
bahwa mutasi resepter estrogen tidak
semsetinya bersifat letal dan bahwa estrogen
penting untuk laki-laki dalam perkembangan
dan pertumbahan skeletal yang normal.
Tidak ada mutasi yang ditemukan
dapat menyebabkan kehilang fungsi total
dari gen reseptor estrogen manusia. Hal
secara kuat menyatakan bahwa kehilangan
total dari gen reseptor progesreron mungkin
bisa meyebabkan kematian embrionik.
Namun, tikus dengan mutasi inaktif pada
gen reseptor progesterone, yang
diperkenalkan melalui rekombinasi homolog
di dalam stem sel embrionik, berkembang
dengan normal, walaupun tikus wanita
homozigot tidak subur, dan memiliki
abnormalitas pada sistem reproduksi. Lebih
lanjut, kehamilan, juga ovulasi, luteinisasi
dan perkembangan kelenjar mammae
terganggu.
PERSPEKTIF KEDEPAN
Di masa mendatang penemuan-penemuan
tentang regulasi gen oleh nuclear reseptor
hormone dapat diharapkan. Sejak 1991,
struktur 3 dimensi dari daerah DNA-binding
dari reseptor glukokortikoid telah ditemukan
dan pada tahun 1997, struktur 3 dimensi dari
daerah ligand binding dari reseptor estradiol
telah dijelaskan, dan bisa diharapkan bahwa
tantangan kedepan adalah ditemukannya
struktur 3 dimensi dari daerah N-terminal.
Hal ini mungkin bisa dicapai untuk asam
retinoid, vitamin D, hormone tiroid, dan
reseptor estrogen. Informasi struktur 3
dimensi akan mengungkapkan informasi
struktural dan fungsional yang baru dari sub-
domain N-terminus dan pengaruh dari
ligand terhadap konformasi mereka.
Kedepannya, makin banyak reseptor
steroid yang spesifik terhadap ko-aktivator
dan faktor-faktor transkripsi akan ditemukan
dan karakteristik kedepannya: terutama,
yang terlibat dalam respon hormone yang
spesifik terhadap jaringan. Pemahaman
tentang interaksi faktor-faktor transkripsi
dengan wild-type dan mutan reseptor
nuclear akan menghasilkan pemahaman
yang lebih baik dari aksi pleitropik dari
hormone steroid dalam kesehatan dan
penyakit. Untuk tujuan ini, perkembangan
dari teknik sel target yang spesifik terhadap
steroid diperlukan.
Peningkatan sistem transkripsi in
vitro dan indentifikasi dari seluruh
komponen esensial yang terlibat dalam
regulasi inisiasi transkripsi reseptor nuclear
akan mengisi celah dalam pengetahuan kita
mengenai regulasi transkripsi oleh hormone
steroid.
ACKNOWLEDGEMENTS
Penulis sangat berterima kasih kepada
MacMillan Magazines Limited dan Drs
Hubbard dan Pike (York University, UK)
untuk memberikan izin menyertai Gambar 4.
Gambar 6 Ringkasan posisi dari substitusi asam amino, delesi kecil dan insersi yang
teridentifikasi dalam gen reseptor androgen pada seubjek dengan sindrom insensitivitas
androgen total atau sebagian (AIS) .