BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang...

26
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan suatu penyakit gangguan metabolik yang disebabkan dari ketidakseimbangan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal dan biasanya diakibatkan karena pankreas tidak dapat memproduksi cukup insulin dan atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif (PERKENI, 2015 ; Kemenkes RI, 2019). Berbagai komplikasi dapat timbul akibat kadar gula yang tidak terkontrol, seperti neuropati, nefropati, retinopati, jantung koroner, dan lain sebagainya (Irawan, 2010). 2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus Prevalensi diabetes melitus terus meningkat, estimasi terakhir IDF (International Diabetes Federation) terdapat 382 juta orang yang hidup dengan diabetes melitus di dunia pada tahun 2013, sedangkan pada tahun 2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang. Diperkirakan dari 382 juta orang tersebut, 175 juta diantaranya belum terdiagnosis dan terancam berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan. Menurut Riskesdas 2013, dari 6,9% penderita diabetes melitus yang didapatkan, 30,4% yang telah terdiagnosis sebelumnya dan 69,6% tidak terdiagnosis sebelumnya. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang...

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan suatu penyakit gangguan metabolik yang

disebabkan dari ketidakseimbangan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak,

yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal dan biasanya

diakibatkan karena pankreas tidak dapat memproduksi cukup insulin dan atau

tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif

(PERKENI, 2015 ; Kemenkes RI, 2019). Berbagai komplikasi dapat timbul akibat

kadar gula yang tidak terkontrol, seperti neuropati, nefropati, retinopati, jantung

koroner, dan lain sebagainya (Irawan, 2010).

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

Prevalensi diabetes melitus terus meningkat, estimasi terakhir IDF

(International Diabetes Federation) terdapat 382 juta orang yang hidup dengan

diabetes melitus di dunia pada tahun 2013, sedangkan pada tahun 2035 jumlah

tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang. Diperkirakan dari

382 juta orang tersebut, 175 juta diantaranya belum terdiagnosis dan terancam

berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan.

Menurut Riskesdas 2013, dari 6,9% penderita diabetes melitus yang

didapatkan, 30,4% yang telah terdiagnosis sebelumnya dan 69,6% tidak

terdiagnosis sebelumnya. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

6

mendapatkan prevalensi diabetes melitus pada penduduk usia 25-64 tahun di Jawa

dan Bali sebesar 7,5% (Kemenkes RI, 2013).

(Ramlo&Edelman, 2000)

Gambar 2.1 Natural History Of Type 2 Diabetes Mellitus

National Diabetic Statistic Report tahun 2014 mengatakan bahwa >29 juta

orang yang menderita diabetes melitus di Amerika Serikat, tetapi hampir tiga kali

lipat lebih banyak orang yang menderita pre-diabetes (CDC, 2017). Diperkirakan

bahwa pada saat seseorang didiagnosis diabetes melitus, dia sebenarnya telah

menderita penyakit ini selama 9 tahun atau lebih. Pada pasien dengan pre-

diabetes, Post Prandial Glocose (PPG)-merupakan kadar glukosa darah setelah

makan yang biasanya meningkat dengan puncaknya pada 1 jam postprandial dan

setelah itu kadarnya akan berangsur-angsur turun dan kadar glukosa darah pada 2

jam postprandial mendekati kadar glukosa darah puasa, dimana pada natural

history of type 2 diabetes mellitus menunjukkan bahwa kadar PPG meningkat dan

juga peningkatan sekresi insulin sel beta pankreas. Namun karena kadar PPG tetap

meningkat dalam waktu lama dari periode waktu normal, tubuh tidak dapat secara

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

7

efektif dan efisien menggunakan glukosa darah yang bersirkulasi meskipun

insulin yang tersedia terlalu banyak. Sehingga pasien sering mengalami

hiperglikemia dan hiperinsulinemia selama pre-diabetes dan tahap awal

terdiagnosis diabetes melitus karena resistensi insulin tersebut. Sel-sel beta

pankreas terus bekerja lebih keras untuk menghasilkan lebih banyak insulin,

namun tidak mampu mempertahankan beban kerja yang berlebih dan juga tidak

dapat berfungsi secara efektif. Akibatnya, sebagian besar individu yang baru

terdiagnosis diabetes melitus telah kehilangan 50%-80% dari fungsi sel beta

pankreas. (DeFronzo, 2009).

2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus

Faktor resiko diabetes melitus bisa dikelompokkan menjadi faktor resiko yang

tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak

dapat dimodifikasi adalah ras dan etnik, usia, jenis kelamin, riwayat keluarga

dengan diabetes melitus, riwayat melahirkan bayi makrosomi, dan riwayat

melahirkan bayi BBLR (Kemenkes RI, 2013). Risiko menderita intoleransi

glukosa akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia, dimana fungsi tubuh

secara fisiologis makin menurun dan terjadi penurunan sekresi atau resistensi

insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh untuk mengendalikan kadar glukosa

darah yang tinggi kurang optimal (Gusti and Ema, 2014). Pada faktor resiko

riwayat keluarga, ibu yang terkena diabetes melitus mempunyai risiko lebih besar

10-30% dari pada ayah dengan diabetes melitus dikarenakan penurunan gen

sewaktu dalam kandungan lebih besar dari seorang ibu (Trisnawati, 2013). Bayi

yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

8

dibandingkan dengan bayi lahir dengan berat badan normal, karena bayi dengan

berat badan lahir rendah dimungkinkan memliki kerusakan pankreas sehingga

kemampuan pankreas untuk memproduksi insulin akan terganggu (Kemenkes RI,

2008).

Sedangkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan

perilaku hidup yang kurang sehat, antara lain obesitas, aktivitas fisik yag kurang,

hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat maupun tidak seimbang, riwayat

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan Gula Darah Puasa (GDP) terganggu,

serta merokok (Kemenkes RI, 2013). Pada orang yang menderita obesitas, dalam

tubuhnya terjadi peningkatan pelepasan asam lemak bebas (Free Fatty Acid/ FFA)

dari lemak visceral yaitu lemak pada rongga perut yang lebih resisten terhadap

efek metabolik insulin dan juga lebih sensitif terhadap hormon lipolitik.

Peningkatan FFA menyebabkan hambatan kerja insulin sehingga terjadi

kegagalan uptake glukosa ke dalam sel yang memicu peningkatan produksi

glukosa hepatik melalui proses glukoneosis (Kemenkes RI, 2008).

2.1.4 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut Infodatin terdapat dua kategori utama diabetes melitus yaitu

diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus tipe ditandai

dengan kurangnya produksi insulin. Sedangkan diabetes melitus tipe 2 disebabkan

dari penggunaan insulin yang kurang efektif oleh tubuh dan merupakan 90% dari

seluruh diabetes melitus (Kemenkes RI, 2013).

Klasifikasi diabetes melitus menurut American Diabetes Association

(ADA) 2009 yag terbagi dalam empat kategori (ADA, 2009).

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

9

Table 2.1—Etiologic classification of diabetes mellitus

I. Type 1 diabetes (_-cell destruction, usually leading to absolute insulin deficiency)

A. Immune mediated

B. Idiopathic

II. Type 2 diabetes (may range from predominantly insulin resistance with relative insulin

deficiency to a predominantly secretory defect with insulin resistance)

III. Other Spesific Types

A. Genetic defects of _-cell function

1. Chromosome 12, HNF-1_ (MODY3)

2. Chromosome 7, glucokinase (MODY2)

3. Chromosome 20, HNF-4_ (MODY1)

4. Chromosome 13, insulin promoter factor-1 (IPF-

1; MODY4)

5. Chromosome 17, HNF-1_ (MODY5)

6. Chromosome 2, NeuroD1 (MODY6)

7. Mitochondrial DNA

B. Genetic defects in insulin action

1. Type A insulin resistance

2. Leprechaunism

3. Rabson-Mendenhall syndrome

4. Lipoatrophic diabetes

C. Diseases of the exocrine pancreas

1. Pancreatitis

2. Trauma/pancreatectomy

3. Neoplasia

4. Cystic fibrosis

5. Hemochromatosis

6. Fibrocalculous pancreatopathy

D. Endocrinopathies

1. Acromegaly

2. Cushing’s syndrome

3. Glucagonoma

4. Pheochromocytoma

5. Hyperthyroidism

6. Somatostatinoma

7. Aldosteronoma

E. Drug or chemical induced

1. Vacor

2. Pentamidine

3. Nicotinic acid

4. Glucocorticoids

5. Thyroid hormone

6. Diazoxide

7. Adrenergic agonists

8. Thiazides

9. Dilantin

10. Interferon

F. Infections

1. Congenital rubella

2. Cytomegalovirus

G. Uncommon forms of immune-mediated diabetes

1. “Stiff-man” syndrome

2. Anti-insulin receptor antibodies

H. Other genetic syndromes sometimes associated with diabetes

1. Down syndrome

2. Klinefelter syndrome

3. Turner syndrome

4. Wolfram syndrome

5. Friedreich ataxia

6. Huntington chorea

7. Laurence-Moon-Biedl syndrome

8. Myotonic dystrophy

9. Porphyria

10. Prader-Willi syndrome

IV. Gestational diabetes mellitus

Patients with any form of diabetes may require insulin treatment at some stage of their disease.

Such use of

insulin does not, of itself, classify the patient.

(ADA, 2009)

Tabel 2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

10

2.1.5 Patofosiologi Diabetes Melitus

2.1.5.1 Diabetes Melitus tipe 1

Pada diabetes melitus tipe 1 terdapat kekurangan insulin absolut

dari adanya lesi pada sel beta pankreas akibat mekanisme autoimun,

sehingga pasien membutuhkan suplai insulin dari luar. (Silbernagl and

Lang, 2007).

(Dikutip dari: Silbernagl and Lang, 2007)

Gambar 2.2 Patofisiologi DM tipe 1

2.1.5.2 Diabetes Melitus tipe 2

Pada diabetes melitus tipe 2 tidak mutlak bergantung pada suplai

insulin dari luar (Silbernagl and Lang, 2007). Pada pasien diabetes melitus

tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor yang

diakibatkan dari berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif

insulin dengan sistem transpor glukosa. Selain itu, obesitas juga

menyebabkan gangguan transpor glukosa oleh insulin (Price et al., 2006).

Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang

terlalu banyak dan aktivitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

11

antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam

lemak didalam darah yang akan menurunkan penggunaan glukosa di otot

dan jaringan lemak sehingga terjadi resistensi insulin yang memaksa untuk

meningkatkan pelepasan insulin. Penyebab yang lebih penting adalah

disposisi genetik yang menurunkan sensitivitas insulin, terutama

mempengaruhi efek insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan

pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein tetap dipertahankan

dengan baik (Silbernagl and Lang, 2007)

(Dikutip dari: Silbernagl and Lang, 2007)

Gambar 2.3 Patofisiologi DM tipe 2

2.1.6 Gejala Klinis

Beberapa gejala dari diabetes melitus adalah sebagai berikut:

(Corwin, 2009)

1. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin), terjadi karena air mengikuti

glukosa yang keluar melalui urin.

2. Polidipsia (peningkatan rasa haus), terjadi akibat volume urin yang

sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

12

dan intrasel, sehingga menstimulasi pengeluaran hormon antidiuretik

dan menimbulkan rasa haus.

3. Rasa lelah dan kelemahan otot, terjadi akibat katabolisme protein di

otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan

glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien diabetes

melitus kronis juga berperan menyebabkan kelelahan.

4. Polifagia (peningkatan rasa lapar), terjadi akibat keadaan pasca

absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan

relatif sel.

2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan pada pemeriksaan kadar

glukosa darah, dan dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus

diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai.

Untuk mendiagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa

darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena (Soelistijo, 2015).

Terdapat perbedaan uji diagnostik diabetes melitus dan pemeriksaan

penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang

menunjukkan gejala/tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring

bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala yang mempunyai

resiko diabetes melitus. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui

pemeriksan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa,

kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standart

(Gustaviani, 2006).

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

13

Tabel 2.2 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Diagnosis

Diabetes Melitus Bukan

Diabetes Melitus

Belum Pasti

Diabetes Melitus

Diabetes

Melitus

Kadar glukosa darah

sewaktu (mg/dL)

Plasma vena darah

kapiler (mg/dL)

<110

<90

110-199

90-199

≥200

≥200

Kadar glukosa darah

puasa (mg/dL)

Plasma vena darah

kapiler (mg/dL)

<110

<90

110-125

90-109

≥126

≥110

(Gustaviani, 2006)

Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya akan dipikirkan bila ada

keluhan khas diabetes melitus berupa poliuria, polifagia, polidipsia dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin

dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi

ereksipada pria serta pruritus vulva pada pasien wanita. Pasien dengan keluhan

khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk

menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

puasa >126 mg/dl juga dapat digunakan untuk patokan diagnosis diabetes melitus.

Pasien tanpa keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang

baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis

diabetes melitus sehingga diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah

abnormal (Setiati et al., 2015).

2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus

Pada pasien diabetes melitus menyebabkan kadar gula darah yang tinggi

akibat dari menurunnya pengambilan glukosa oleh jaringan otot dan adiposa serta

peningkatan pelepasan glukosa dari hati, sehingga otot tidak mendapatkan energi

dari glukosa dan sebagai kompensasinya akan membakar lemak dan protein.

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

14

Dampak yang lebih jauh dapat terjadi komplikasi secara biokimia yang

menyebabkan kerusakan jaringan atau dari komplikasi tersebut akibat adanya:

(Prawiro, 2013).

1. Glikosilasi : kadar gula yang tinggi memudahkan ikatan glukosa pada

berbagai protein yang dapat irreversible yang sering mengganggu fungsi

protein.

2. Jalur poliol (peningkatan aktifitas aldose reduktase) : jaringan

mengandung aldose reduktase (saraf, ginjal, lensa mata) dapat

menyebabkan metabolisme kadar gula yang tinggi menjadi sorbitol dan

fruktosa. Produk jalur poliol ini akan berakumulasi dalam jaringan yang

terkena sehingga menyebabkan bengkak osmotik dan kerusakan sel.

Kelainan metabolik pada definisi insulin absolut atau relatif yang tidak

diterapi secara adekuat dalam waktu beberapa tahun atau dekade akan

menyebabkan perubahan-perubahan yang luas dan bersifar irreversible di dalam

tubuh (Silbernagl and Lang, 2007).

Komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor, yaitu

komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular jangka panjang. Komplikasi

metabolik akut disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi

glukosa plasma, sedangkan komplikasi vaskular jangka panjang melibatkan

pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati/mikrovaskuler) dan pembuluh-

pembuluh sedang dan besar (makroangiopati/makrovaskuler) (Price et al., 2006).

Glukosa yang berikatan dengan protein golongan amino bebas akan

membentuk Advanced Glication End Products (AGEs), dan jika AGEs berikatan

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

15

dengan reseptor pada membran sel akan menyebabkan deposisi kolagen di

membrana basalis. Rangsangan oleh Transforming Growth Factor (TGF-β) juga

dapat menyebabkan deposisi kolagen di membrana basalis. Kedua perubahan ini

menyebabkan penebalan membrana basalis dengan penurunan permeabilitas dan

penyempitan lumen yang dapat mengakibatkan mikroangipati (Silbernagl and

Lang, 2007). Komplikasi mikrovaskuler diabetes melitus di Indonesia terdiri atas

neuropati 63,5%, retinopati 42%, dan nefropati 7,3% (Yuhelma et al., 2015).

2.2 Neuropati Diabetik

2.2.1 Definisi Neuropati Diabetik

Neuropati diabteik merupakan kegagalan saraf dalam membawa informasi

dari dan menuju otak dan medula spinalis sehingga dapat menyebabkan rasa

nyeri, kehilangan sensasi, dan ketidakmampuan untuk mengontrol kerja otot

(Prawiro, 2013). Neuropati diabetik adalah penyakit klinis atau subklinis dari

saraf tepi sebagai kelanjutan diabetes melitus tanpa penyebab patogen lainnya,

dan dapat mempengaruhi sistem saraf somatik dan otonom (Haslbeck, 2004).

Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskuler akibat

gangguan saraf yang disebabkan dari kenaikan gula darah persisten dan dialami

50% dari jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 (Souza, 2015).

2.2.2 Epidemiologi Neuropati Diabetik

Neuropati Diabetik merupakan komplikasi kronik yang paling sering terjadi

pada penderita diabetes melitus, insidensi pada diabetes melitus tipe 1 maupun

tipe 2 terjadi antara 60% sampai 70% (Lemone and Burke, 2008). Prevalensi

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

16

neuropati diabetik meningkat dari 16,8% pada penderita diabetes melitus <4 tahun

menjadi 52,6% setelah >25 tahun menderita diabetes melitus (Perkins, 2010).

2.2.3 Faktor Resiko Neuropati Diabetik

Berikut beberapa faktor resiko terjadinya neuropati diabetika, antara lain:

a. Lamanya menderita diabetes melitus, semakin lama seseorang menderita

diabetes melitus semakin meningkat juga risiko mengalami komplikasi.

Pada pasien diabetes melitus terjadi kelainan sel saraf yang terdapat pada

sel-sel schwan, selaput myelin, dan akson, dimana dapat ditemukan

gambaran kerusakan berupa demyelinisasi segmental, kerusakan akson dan

penebalan membran basal yang mengelilingi permukaan sel schwan

(Duby, 2004). Lama menderita diabetes melitus diabetes melitus berkaitan

dengan penurunan fungsi sel beta pankreas dan akan berdampak pada

produksi insulin. Berkurangnya jumlah produksi insulin dalam darah akan

menurunkan proses glikolisis di dalam sel, sehingga glukosa tidak terserap

oleh sel dan akan menyebabkan peningkatan akumulasi glukosa pada

pembuluh darah dan hiperglikemi (Guyton, 2007).

b. Jenis kelamin, perempuan memiliki risiko yang lebih besar mengalami

komplikasi neuropati diabetik dikarenakan perempuan merupakan faktor

risiko terjadinya penyakit diabetes melitus. Jumlah wanita yang menderita

diabetes melitus lebih banyak dibandingkan laki-laki, hal ini karena tingkat

sensitifitas terhadap kerja insulin pada otot dan hati. Dikarenkan wanita

memiliki hormon esterogen, dimana peningkatan dan penurunan kadar

hormon esterogen dapat mempengaruhi kadar glukosa darah. Pada saat

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

17

kadar hormon esterogen mengalami peningkatan maka tubuh akan menjadi

resisten terhadap insulin (Brunner and Suddarth, 2014 ; Pelt and Beck,

2012).

c. Hipertensi, dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin dimana

insulin berperan dalam meningkatkan ambilan glukosa di beberapa sel

sehingga apabila insulin tidak berfungsi normal akan menyebabkan aliran

darah ke bagian perifer juga mengalami gangguan (Azzahra, 2014). Pada

penderita dengan hipertensi esensial dapat terjadi gangguan fungsi endotel

dan peningkatan permeabilitas endotel dimana akan berpengaruh terhadap

aterogenesis. Disfungsi endotel akan meningkatkan tahanan perifer dan

penurunan kadar NO (nitric oxide) yang akan menyebabkan terjadinya

stres oksidatif (Abduh, 2014)

d. Usia, komplikasi diabetes melitus dapat menyerang dari berbagai usia.

Semakin lama seseorang mengalami diabetes melitus semakin meningkat

pula mengalami risiko komplikasi, hal ini dapat disebabkan karena faktor

degeneratif, yaitu semakin menurunnya fungsi tubuh terutama kemampuan

dari sel β pankreas dalam memproduksi insulin (Suyanto, 2015). Usia

mempengaruhi perubahan pembuluh darah sehubungan dengan

aterosklerosis dimana aliran darah akan terhambat dan menyebabkan

hipoksia jaringan sehingga terjadi penurunan fungsi sel saraf dan

mengakibatkan penurunan sensasi kaki (Suyanto, 2016).

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

18

2.2.4 Klasifikasi Neuropati Diabetik

Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease

pada jurnal Diabetic Neuropathies: The Nerve Damage of Diabetes (2009),

neuropati diabetik dapat diklasifikasi menjadi proksimal, autonomik, perifer, dan

fokal.

2.2.4.1 Neuropati Perifer

Neuropati perifer (disebut juga neuropati distal simetris atau neuropati

sensorimotor) merupakan bentuk paling umum dari neuropati diabetik.

Neuropati perifer dapat menyebabkan nyeri dan kehilangan sensasi pada

jari kaki, tungkai kaki, kaki, lengan, dan tangan.

2.2.4.2 Neuropati Autonom

Neuropati autonom memengaruhi persarafan jantung, regulasi tekanan

darah, dan kadar glukosa darah. Selain itu, neuropati autonom juga

memengaruhi pencernaan, kandung kemih, respon seksual, mata, dan

kelenjar keringat.

2.2.4.3 Neuropati Proksimal

Neuropati proksimal menyebabkan nyeri pada paha, pangkal paha,

bokong, dan menyebabkan kelemahan pada kaki.

2.2.4.4 Neuropati Fokal

Neuropati fokal muncul secara tiba- tiba dan memengaruhi saraf yang

spesifik, terutama pada kepala, badan, dan kaki. Universitas Sumatera

Utara

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

19

Tabel 2.3 Klasifikasi Neuropati Diabetik. Sumber: NIDDK (2009)

Perifer Autonom Proksimal Fokal

Jempol Jantung Paha Mata

Kaki Pembuluh darah Pinggul Otot wajah

Tungkai Kaki Sistem pencernaan Pantat Telinga

Tangan Saluran kemih Tungkai Pelvis

Lengan Organ seksual

Kelenjar keringat

Mata

Paru

Punggung bawah

Dada

Perut Paha

Tungkai

Kaki

2.2.5 Patogenesis Neuropati Diabetik

Patofisiologi neuropati diabetik bergantung pada 3 keadaan yaitu penebalan

membran basalis pembuluh darah kapiler, perubahan hemodinamik, dan

perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit. Dimana 3 kejadian yang

mendasari patofisiologi neuropati diabetik tersebut berlangsung di semua kaliper-

kapiler pembuluh darah. Telah terbukti bahwa efek buruk faktor metabolik dan

hemodinamik tersebut bekerja melalui jaringan endotel, dimana sel-sel endotel

melapisi seluruh permukaan pembuluh darah besar dan kecil, sehingga selalu

terpajan dengan perubahan buruk metabolik dan hemodinamik. Sel-sel endotel

juga merupakan jaringan terdepan yang berhadapan dengan perubahan tekanan,

aliran dan turbulensi darah (Darmono, 1999). Melalui beberapa mekanisme, sel

endotel memproduksi berbagai zat kimia yang mengatur tegangan dan

permeabilitas dinding pembuluh darah. Sel endotel juga memproduksi matriks

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

20

protein ekstraseluler dan produksinya meningkat pada pasien diabetes melitus

dimana terjadi penebalan membran basal kapiler (Djokomoeljanto, 2001). Pada

pasien diabetes melitus, semua fungsi endotel akan terganggu sehingga dapat

terjadi disfungsi endotel. Dimana sel endotel sendiri berperan penting pada sistem

imun yaitu dalam proses regenerasi dan menjaga homeostasis cairan ekstraseluler

(Djokomoeljanto, 2001).

Sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti tentang patofisiologi

terjadinya neuropati perifer. Beberapa studi terbaru menunjukkan beberapa faktor

yang diduga berperan antara lain, teori vaskular dan teori metabolik.

2.2.5.1 Teori Vaskular

Proses terjadinya neuropati diabetik melibatkan kelainan vaskular dimana

akibat dari gula darah yang terlalu tinggi menyebabkan resistensi pembuluh darah

sehingga terjadi penurunan aliran darah ke endoneurium dan mengakibatkan

iskemi dan hipoksia sehingga terjadi stress oksidatif atau biasa disebut

hyperglycemic pseudohypoxia. Akibat pembentukan radikal bebas oksidatif

(reactive oxygen species) ini akan merusak endotel vaskular dan menetralisasi

Nitric Oxide (NO) sehingga menyebabkan vasodilatasi mikrovasular terhambat

dan terjadilah neuropati diabetik. (Ziegler, 2004). Iskemia ini yang menyebabkan

terjadinya gangguan transpor aksonal, aktivitas Na+/K+ ATPase yang akhirnya

menimbulkan degenerasi akson (Rosyida, 2016). Kejadian neuropati yang

disebabkan oleh kelainan vaskular dapat dicegah dengan memodifikasi faktor

resiko kardiovaskular yaitu hipertensi, kadar trigliserida tinggi, indeks massa

tubuh dan merokok (Subekti, 2009).

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

21

2.2.5.2 Teori Metabolik

Gangguan metabolik yang berkepanjangan akibat hiperglikemia dan atau

defisiensi insulin pada salah satu atau lebih komponen seluler pada saraf dapat

menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dan struktural. Gangguan ini dapat

menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan saraf dan mengakibatkan defisit

neurologi (Zychowska, 2013).

1. Teori Advanced Glycation End Product (AGEs)

Kadar glukosa yang tinggi dalam jangka panjang pada pasien DM

dapat memicu terjadinya proses glikasi lipid dan protein sehingga terjadi

peningkatan AGE, dimana ketika AGE terbentuk maka akan terikat

dengan reseptor seluler spesifik yang dikenal sebagai Receptor Advance

Glication End Product (RAGE). Interaksi AGE dengan RAGE akan

meningkatkan produksi dari ROS (Reactive Oxygen Species) melalui

aktivasi NADPH oksidasi yang merusak endotel. Proses pembentukan

ROS dikenal dengan stres oksidatif dimana dapat meningkat seiring

dengan peningkatan dari oksidasi lipid dan protein baik pada diabetes

melitus tipe 1 maupun diabetes melitus tipe 2, sehingga mengakibatkan

terjadinya mikroangiopati/ mikrovaskuler dan disfungsi saraf yang

menyebabkan nyeri atau menghambat konduksi saraf (Darsana, 2014).

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

22

(Darsana, 2014)

Gambar 2.4. Reaksi AGE dan RAGE dalam Patogenesis.

2. Teori Jalur Poliol

Pada keadaan gula darah yang normal, sebagian besar gluksosa

intrasel difosforilasi ke glukosa 6-fosfat oleh enzim heksokinase dan sebagian

kecil dari glukosa yag tidak mengalami fosforilasi akan memasuki jalur poliol

yaitu jalur alternatif metabolisme glukosa. Melalui jalur ini glukosa internal

dapat diubah menjadi sorbitol dengan bantuan enzim alduse reduktase (AR).

Dalam keadaan normal konsentrasi sorbitol di dalam sel rendah sedangkan

pada keadaan glukosa darah yang tinggi konsentrasi sorbitol akan meningkat.

Sebagai bentuk kompensasi dari meningkatnya sorbitol, enzim sorbitol

dehydrogenase (SDH) akan membantu sorbitol untuk mencapai kadar rendah.

Namun akibat dari degradasi sorbitol yang berjalan lambat akan

mengakibatkan sorbitol menumpuk di dalam sel yang menyebabkan

peningkatan osmolaritas dalam sel sehingga terjadi kerusakan sel (Chawla,

2012).

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

23

3. Teori Jalur Protein Kinase C

Aktivasi protein kinase C berperan dalam fungsi saraf dan

memegang peranan penting terjadinya patogenesis neuropati diabetik.

Kadar glukosa darah yang tinggi di dalam sel meningkatkan pembentukan

diacyglyserol (DAG) dan selanjutnya terjadi peningkatan protein kinase.

Protein kinase C juga diaktifkan oleh stres oksidatif dan AGEs. Aktivasi

dari protein kinase C ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular

dan perubahan aliran darah. Beberapa hal yang disebabkan oleh aktivasi

protein kinase C antara lain:

a. Produksi molekul proangiogenik Vascular Endhotelial Growth Factor

(VEGF) yang mengakibatkan adanya neovaskularisasi dan

karakteristik komplikasi diabetes melitus.

b. Peningkatan aktivitas vasokonstriktor endotelin-1 dan penurunan

aktivitas vasodilator endothelial nitric oksida sinthase (eNOS).

c. Produksi molekul fibrinogenik serupa Tumor Growth Factor-Betha

(TGF-β) yang akan memicu deposisi matrik ekstraselular dan material

membran basal.

d. Produksi molekul prokoagulan Plasminogen Activator Inhibitor-1

(PAI-1) yang akan memicu penurunan fibrinolisis dan kemungkinan

terjadi oklusi vaskular.

e. Produksi sitokinin proinflamasi oleh sel endotel vaskular.

4. Teori Peranan Radikal Bebas

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

24

Stres oksidatif diartikan sebagai gangguan keseimbangan antara

penyokong pembentukan radikal bebas (prooksidan) dan antioksidan yang

mengakibatkan suatu kerusakan. Proses pembentukan oksidan secara alamiah

terbentuk dari adanya aktivitas transpor elektron mitokondria dan oksidatif

beberapa neurotransmitter (norepinefrin dan dopamine), fase awal selama

kondisi hipoksia, dan iskemia yang selanjutnya dapat merusak jaringan.

Akibat dari kerusakan ini dapat menurunkan aktivitas biologi sel, hilangnya

metabolisme energi, sinyal sel, transportasi dan beberapa fungsi utama sel.

Kumpulan dari beberapa kerusakan tersebut menyebabkan kematian sel

memalui mekanisme nekrosis dan apoptosis (Rosyida, 2016).

(Duby, 2004)

Gambar 2.5. Proses Terjadinya Stres Oksidatif

2.2.6 Manifestasi Klinis Neuropati Diabetik

Manifestasi klinis dari neuropati diabetik bergantung pada patofisiologi

neuropati dan lokasi anatomi saraf yang terlibat. Sebagian besar saraf yang paling

sering mengalami kerusakan adalah bagian perifer, karena saraf perifer memiliki

fungsi khusus sehingga muncul berbagai macam gejala ketika saraf mengalami

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

25

kerusakan. Tiga komponen sistem saraf tersebut yaitu saraf sensorik, motorik, dan

otonom (Desnita, 2018).

Kerusakan fungsi saraf sensorik dapat terjadi karena mekanisme

peningkatan stres oksidatif sehingga proses penghantaran implus terganggu dan

kerusakan saraf sensorik melibatkan serabut saraf kecil yang berfungsi untuk

merasakan nyeri dan sensasi suhu, sedangkan serabut saraf besar digunakan untuk

persepsi vibrasi dan sensasi sentuhan. Dampak dari kerusakan ini mengakibatkan

gangguan di dalam mengenali sensitivitas ataupun sentuhan yang diberikan

(Desnita, 2018)

Kerusakan yang mengenai pada saraf motorik akan menyebabkan

perubahan biomenika pada kaki dan seringkali ditemukan adanya perubahan

bentuk kaki (deformitas), deformitas yang muncul bisa berbagai macam bentuk

bahkan bisa muncul gabungan dari berbagai deformitas (Carine, et al, 2014).

Saraf otonom berperan dalam memelihara sistem dan organ-organ tubuh

internal seperti sistem kardiovaskular, gastrointestinal, urogenital, termoregulasi,

dan okular. Selain itu bersama dengan kelenjar endokrin, aktivitas saraf otonom

diperlukan untuk menjaga kestabilan lingkungan termis dan biokimiawi internal

tubuh. Gangguan pada sistem termoregulasi akan diakibatkan oleh kelainan saraf

simpatis pada kelenjar keringat maupun akibat gangguan pada reflek vasomotor,

dimana gangguan ini sering muncul pada pasien dengan diabetes melitus dan

menimbulkan kerusakan otonom (Prawiro, 2013). Kerusakan dari saraf otonom

ini mengakibatkan terjadinya perubahan aliran darah, produksi keringat berkurang

atau bahkan tidak ada, dan hilangnya tonus vasomotor. Gejala yang diakibatkan

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

26

dari kerusakan otonom ini dapat berupa kulit kering dan kulit kaki pecah-pecah

sebagai akibat dari penurunan produksi keringat. Dan juga dapat mucul gejala

kapalan (callus) yang menyebabkan pasien diabetes melitus merasakan penebalan

akibat dari akumulasi kolagen di bawah dermis (Rosyida, 2016).

2.2.7 Diagnosis Neuropati Diabetik

Riwayat penyakit yang lengkap dapat mempermudah untuk mendeteksi

adanya neuropati diabetik (Prawiro, 2013). Pemeriksaan neuropati diabetik dapat

melalui pengkajian subjektif berupa identitas pasien (nama, usia, jenis kelamin)

dan riwayat kesehatan (lamanya menderita diabetes melitus, hasil cek kadar gula

darah sewaktu, riwayat merokok, riwayat penyakit penyerta, riwayat amputasi,

dan riwayat DFU) serta pengkajian objektif. Pengkajian objektif dilakukan dengan

melakukan pemeriksaan fisik bagian perifer dari pasien diabetes yang terdiri dari

pemeriksaan fungsi saraf otonom dengan melakukan inspeksi keadaan kaki secara

menyeluruh dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi fungsi saraf sensorik

(sensitivitas kaki, sensasi vibrasi, dan sensasi nyeri) serta fungsi saraf motorik

(deformitas, pemeriksaan kekuatan otot, dan reflek fisiologis) (Herman, 2012).

Pemeriksaan neuropati pada pasien diabetes dilakukan dengan

menggunakan metode yaitu MNSI (Michigan Neuropathy Screening Instrument)

(Mohammed, 2019).

MNSI merupakan parameter klinis untuk mendeteksi dini kejadian

neuropati perifer, dimana kuisioner ini terdiri dari dua bentuk pengkajian yaitu

riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik. Bentuk pengkajian berupa riwayat

kesehatan yang terdiri dari 15 item pertanyaan, di mana 13 pertanyaan terkait

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

27

neuropati, 1 pertanyaan untuk menilai gangguan vaskularperifer, dan 1 pertanyaan

untuk menilai asthenia. Penilaian terhadap 15 pertanyaan ini adalah “YA” untuk

tanggapan respon terhadap pertanyaan 1-3, 5-6, 11-12, 14-15 masing-masing

dihitung sebagai satu poin, sedangkan tanggapan “TIDAK” terhadap pertanyaan

17 dan 13 masing-masing diberikan nilai 1 poin. Pertanyaan 4 dianggap sebagai

penilaian terhadap gangguan vaskulerperifer dan pertanyaan 10 untuk menilai

asthenia, sehingga tidak dimasukkan dalam algoritma penilaian. Penilaian ini

dianggap abnormal apabila didapatkan skor ≥7 (Herman, 2012).

Sedangkan pemeriksaan fisik terdiri dari beberapa penilaian, antara lain:

(Herman, 2012)

1) Inspeksi kaki untuk melihat adanya kulit kering (bersisik), kulit kaki

pecah-pecah, callus, dan deformitas. Setiap ditemukan abnormalitas

diberikan skor 1 dan apabila ada ulserasi juga diberikan nilai 1.

2) Pemeriksaan sensasi vibrasi dilakukan secara bilateral dan ditempatkan di

penonjolan interphalang dengan menggunakan garpu tala 128 Hz. Cara

pemeriksaan: pasien ditutup kedua matanya kemudian diminta untuk

merasakan getaran dari garpu tala. Pasien diberikan skor 0 jika dapat

merasakan getaran < 10 detik, skor 0.5 jika pasien merasakan getaran > 10

detik, dan skor 1 jika pasien tidak merasakan getaran sama sekali.

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

28

(Tanenberg RJ & Donofrio PD, 2008)

Gambar 2.6 Cara melakukan tes vibrasi dengan menggunakan garpu tala

128 Hz

3) Pemeriksaan reflek ankle dengan menggunakan palu reflek. Cara

pemeriksaan: pasien diminta untuk duduk dengan kaki tergantung dan

rileks, kemudian kaki sedikit di dorsofleksikan untuk mendapatkan

kekuatan optimal. Jika pasien ada reflek diberikan skor 0, jika pasien

merasakan reflek yang kurang diberikan skor 0.5, dan jika tidak ada reflek

pasien diberikan skor 1.

(sumber: http://meded.ucsd.edu/clinicalmed/neuro3.htm)

Gambar 2.7 Tes reflek pergelangan kaki

Page 25: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

29

4) Pengujian monofilamen Semmes-Weinstein 5.07 (10g)

Monofilamen 10 gram adalah alat yang paling umum digunakan untuk

mengetahui adanya neuropati pada pasien dengan diabetes melitus. Alat

ini akan menekuk ketika diberikan tekanan 10 gram. Tes ini dilakukan

pada jari kaki pertama, kepala metatarsal yang pertama, ketiga, dan

kelima, bagian plantar dari tumit dan dorsum kaki. Bila paksien tidak

merasakan filamen pada daerah yang di tes, ini menunjukkan bahwa ada

neuropati. Ketika melakukan tes ini, minta penderita untuk menutup

matanya. Menghindari melakukan tes pada daerah yang berkalus, karena

kemampuan penderita untuk merasakan sensasi pada area yang berkalus

akan mengalami penurunan.

(Tanenberg RJ & Donofrio PD, 2008)

Gambar 2.8 tempat-tempat pada kaki yang direkomendasikan dalam

pemakaian monofilamen dan cara pemakaian monofilamen beserta alatnya

Page 26: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes

30

Neuropati diabetik didiagnosis pada pasien dengan skor pemeriksaan fisik

≥2,5. Dalam penelitian ini MNSI diterima sebagai tes diagnostik sesuai

dengan rekomendasi ADA. (Bril, et al, 2009)