BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pneumonia

22
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pneumonia Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung- kantung kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen membuat sel-sel tubuh tidak bekerja. Inilah penyebab penderita pneumonia dapat meninggal, selain dari penyebaran infeksi ke seluruh tubuh. (Misnadiarly, 2008) Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai jaringan parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). (Said M, 2015) Pneumonia merupakan infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial. (Callistania C dan Indrawati W, 2014) 2.1.1 Pneumonia Balita Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12–59 bulan. (DEPKES, 2015) Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang- kadang keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pneumonia

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia

Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-

kantung kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen

membuat sel-sel tubuh tidak bekerja. Inilah penyebab penderita pneumonia dapat

meninggal, selain dari penyebaran infeksi ke seluruh tubuh. (Misnadiarly, 2008)

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai jaringan parenkim paru. Sebagian

besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil

disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). (Said M, 2015) Pneumonia merupakan

infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial. (Callistania

C dan Indrawati W, 2014)

2.1.1 Pneumonia Balita

Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita adalah anak

yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia

anak di bawah lima tahun atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12–59

bulan. (DEPKES, 2015)

Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-

kadang keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis

6

ditemukan gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest

indrawing), nafas cuping hidung, ronki, dan sianosis. (Said M, 2015)

2.1.2 Epidemiologi

Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan utama dan menyebabkan

lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di negara berkembang. Penyakit

ini juga merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia <5 tahun.

Insidens pneumonia pada anak berusia <5 tahun adalah 10–20 kasus/100 anak/ tahun

di negara berkembang dan 2-4 kasus/anak/tahun di negara maju. (Callistania C dan

Indrawati W, 2014)

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama

pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas

dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun . Diperkirakan hampir seperlima

kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun

akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia tenggara. Menurut survei

kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di

Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia. (Said M,

2015)

2.1.3 Etiologi

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan

dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis,

dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi

kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita,

pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptoccus pneumoniae, Haemophillus

7

influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus. Secara klinis, umumnya pneumonia

bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus. Demikian juga dengan pemeriksaan

radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat menentukan etiologi. (Said M, 2015)

2.1.4 Etiologi berdasarkan tempat terjadinya pneumonia

Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu:

pneumonia-komunitas (Community-Acquired Pneumonia), bila infeksinya terjadi di

masyarakat, dan pneumonia nosokomial (Hospital-Acquired Pneumonia), bila infeksi

terjadi di rumah sakit. Selain berbeda dalam lokasi tempat terjadinya infeksi, kedua

bentuk pneumonia ini juga berbeda dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, penyakit

dasar atau penyakit penyerta dan prognosisnya. (Said M, 2015)

2.1.5 Pneumonia komunitas

Pada pneumonia komunitas jenis patogen tidak diketahui pada 40% kasus.

Dilaporkan adanya Str. Pneumoniae pada (9-20%), M. pneumoniae (13-37%),

Clamydia pneumoniae (17%). Patogen pada pneumonia komunitas rawat inap. Pada

20-70% tidak diketahui penyebabnya, Str. Pneumoniae dijumpai pad 20-60%, H.

influezae (3-10%), dan oleh S. aureus, gram negatif enterik, M. pneumoniae, C.

pneumoniae dan virus sebesar sp 10%. Kejadian infeksi kuman atipikal mencapai 40-

60%. Infeksi patogen gram negatif bisa mencapai 10% terutama pada pasien dengan

komorbiditas penyakit lain seperti disebut di atas. Ps, Aeruginosa dilaporkan sebesar

4%. Penelitian pneumonia komunitas rawat di Asia misalnya Indonesia atau Malasyia

mendapatkan patogen yang bukan Str. Pneumoniae sebagai penyebab tersering

pneumonia komunitas, antara lain KI. Pneumoniae. (Dahlan Z, 2015)

8

2.1.6 Pneumonia nosokomial

Pada kelompok pneumonia nosokomial etiologi tergantung pada 3 faktor yaitu:

tingkat berat sakit, adanya risiko untuk jenis patogen tertentu, dan masa menjelang

timbul onset pneumonia. Patogen Str. Pneumoniae memiliki faktor risiko koma, cedera

kepala, influenza, pemakaian obat IV, DM, gagal ginjal dan patogen Ps, Aeruginosa

memiliki faktor risiko pernah dapat antibiotik, ventilator >2 hari, lama dirawat di ICU,

terapi steroid/antibiotik, kelainan struktur paru-paru, malnutrisi. (Dahlan Z, 2015)

2.1.7 Patofisiologi

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui

saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang

mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru

yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit,

cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium

hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan

leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut

stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meninkat di alveoli, sel akan

mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini

disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena

akan tetap normal. (Said M, 2015)

2.1.8 Gejala

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan

hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,

9

mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan

perawatan di RS. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada

berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut : (Said M, 2015)

• Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan

nafsu makan keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang-

kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. (Said M, 2015)

• Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea,

nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. (Said M, 2015)

10

2.1.9 Diagnosis

Gambar 2.1 klasifikasi balita batuk dan atau kesukaran bernafas (DEPKES, 2012)

Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai

dengan adanya napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau

lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah kedalam.

Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran

bernapas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Diagnosisnya

adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-

pnemonia lainnya jika klasifikasinya bukan pneumonia (DEPKES, 2012).

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis

purulenta, pneumothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta.

11

Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia

bakteri. Ilten F dkk, melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik

ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup

tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis

merupakan keadaan yang fatal, maka di anjurkan untuk melakukan deteksi dengan

teknik noninvasif seperti EKG, ekokardiografi, dan pemerikasaan enzim. (Said M,

2015)

2.2 Aplikasi Model Epidemiologi dan Konsep Model Hendrik L. Blum pada

Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita.

2.2.1 Pendekatan model segitiga epidemologi

Model segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen

penyakit yaitu manusia (Host), penyebab (Agent) dan lingkungan (Environment).

Menurut Hockennberry dan Wilson, 2009 penyakit dapat terjadi karena adanya

ketidakseimbangan antara faktor agent, host, dan environment. Dalam model ini faktor

agent adalah yang bertanggung jawab terhadap penyebab penyakit meliputi infectious

agent yaitu organisme penyebab penyakit, physical agent dan chemical agent. Faktor

penjamu (Host) adalah individu atau populasi yang berisiko terpajan penyakit meliputi

faktor genetik atau gaya hidup. Faktor lingkungan (Enviroment) adalah tempat dimana

host hidup termasuk cuaca dan faktor-faktor yang berhubungan dengan rumah,

tetangga dan sekolah. (Hartati S, 2011)

12

Gambar 2.2 The Epidemiologic triangel (Hockenberry and Wilson, 2009)

Gambar diatas memperlihatkan segitiga dalam status keseimbangan (ekuilibrium) yang

normal. Keseimbangan bukan menandakan kesehatan yang optimum, tetapi pola biasa

yang sederhana dari kondisi sehat dan sakit dalam populasi. Berbagai perubahan yang

terjadi pada salah satu sisi (agent, host, dan environment) akan menghasilkan

ketidakseimbangan. (Hartati S, 2011)

Berikut adalah penjabaran hubungan 3 komponen yang terdapat dalam model segitiga

epidemiologi dengan faktor risiko terjadinya infeksi pneumonia pada balita :

1. Faktor penyebab (agent) adalah penyebab dari penyakit pneumonia yaitu

berupa virus dan bakteri. Berdasarkan faktor penyebab (Agent) pneumonia

dibedakan menjadi 1) pneumonia bakterial/tipikal yaitu pneumonia yang dapat

terjadi pada semua usia, 2) pneumonia atipikal adalah pneumonia yang

disebabkan oleh mycoplasma, legionella dan chlamydia, 3) pneumonia virus

adalah pneumonia yang disebabkan oleh virus (Hartati S, 2011)

Host

Agent Environment

13

2. Faktor Manusia (host) adalah manusia atau pasien. Faktor risiko dalam hal ini

adalah anak balita meliputi: Usia, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat

pemberian ASI, status gizi, riwayat pemberian vitamin A, riwayat imunisasi,

status sosial ekonomi. (Said M, 2015)

3. Faktor Lingkungan (environment) adalah yang dapat menjadi faktor risiko

terjadinya pneumonia pada balita meliputi kepadatan tumah, polusi udara,

cuaca, kelembaban. (Hartati S, 2011)

2.2.2 Konsep model Hendrik L Blum

Menurut teori Hendrik L. Blum (1974) dalam Hartati (2011), status kesehatan

dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling berinteraksi satu

sama lain. Keempat faktor penentu tersebut adalah lingkungan, perilaku (gaya hidup),

keturunan dan pelayanan kesehatan. Bagan kerangka pikir Hendrik L. Blum dapat

dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.2 Faktor yang mempengaruhi status kesehatan (Hendrik L Blum, 1974)

LINGKUNGAN PELAYANAN KESEHATAN

KETURUNAN

PERILAKU

STATUS KESEHATAN

14

Makna panah berdasarkan model Hendrik L Blum yang menuju kepada status

kesehatan memiliki ukuran yang berbeda, dimana perilaku memiliki ukuran panah

paling besar. Hal ini disebabkan karena perilaku memiliki peranan yang paling besar,

karena dapat di intervensi dengan mudah kemudian yang kedua adalah lingkungan dan

yang ketiga adalah pelayanan kesehatan. Genetik atau keturunan tidak dapat di

intervensi oleh sebab itu memiliki panah dengan ukuran paling kecil (Endra Febri,

2015) Gambar diatas memperlihatkan sehat tidaknya seseorang tergantung 4 faktor

yaitu keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan. Faktor tersebut

berpengaruh langsung pada kesehatan dan juga berpengaruh satu sama lain. Status

kesehatan akan tercapai optimal jika empat faktor tersebut kondisinya juga optimal.

Bila salah satu faktor terganggu, status kesehatan tergeser kearah di bawah optimal.

Keempat faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita adalah:

(Hartati, 2011)

1. Faktor genetik atau keturunan

Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia yang

dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti diabetes

melitus dan asma bronchial. Keturunan adalah faktor risiko yanng tidak

mungkin kita hindari. (Endra Febri, 2015) Penyakit yang dapat diturunkan dari

orang tua dan menjadi faktor risiko pneumonia adalah penyakit asma. (Hartati,

2011)

2. Faktor pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat

kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat

15

menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap

penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang

memerlukan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas kesehatan dipengaruhi

oleh lokasi, apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga

kesehatan pemberi pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan

kebutuhan masyarakat yang memerlukan. (Endra Febri, 2015)

Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat

membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan

lainnya untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan

kesehatan. Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak

dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang

kesehatan juga mesti ditingkatkan. Puskesmas sebagai garda terdepan dalam

pelayanan kesehatan masyarakat sangat besar peranannya, sebab di puskesmas

akan ditangani masyarakat yang membutuhkan edukasi dan perawatan primer.

(Endra Febri, 2015)

Hasil penelitian Djaja (2001), menjelaskan bahwa ibu dengan pendidikan yang

lebih tinggi akan lebih banyak membawa anaknya untuk berobat ke fasilitas

kesehatan, tetapi ibu dengan pendidikan rendah akan lebih memilih anaknya

untuk berobat ke dukun atau mengobati sendiri. (Hartati S, 2011)

3. Faktor perilaku

Perilaku merupakan faktor pertama yang mempengaruhi derajat kesehatan

masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu,

keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri.

16

Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan,

pendidikan sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku yang melekat pada dirinya.

(Endra Febri, 2015)

Perilaku, baik individu maupun masyarakat dalam menjaga kesehatan

memegang peranan sangat penting untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2015.

Hal ini dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan

dari dalam diri sendiri maupun masyarakat untuk menjaga kesehatannya.

Individu dan masyarakat yang berprilaku hidup bersih dan sehat akan

menghasilkan budaya menjaga lingkungan yang bersih dan sehat. pembuatan

peraturan tentang berperilaku sehat juga harus dibarengi dengan pembinaan

untuk menumbuhkan kesadaran pada individu dan masyarakat. Pembinaan

dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan msayarakat. Tokoh-tokoh

masyarakat sebagai role model harus diajak turut serta dalam menyukseskan

program-program kesehatan. Faktor perilaku, seperti pada penjelasan

sebelumnya, mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tercapainya

derajat kesehatan. Perilaku dapat mempengaruhi lingkungan, pemanfaatan

terhadap pelayanan kesehatan yang telah disiapkan maupun terhadap

kemungkinan masalah genetik yang timbul. (Endra Febri, 2015)

Faktor perilaku kesehatan yang berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada

anak balita yaitu perilaku lingkungan keluarga dimana terdapat kebiasaan-

kebiasaan dari anggota keluarga yang dapat mempengaruhi kesehatan anak

balita yaitu kebiasaan merokok anggota keluarga. (Hartati, 2011)

17

4. Faktor Lingkungan

Lingkungan memiliki pengaruh cukup besar. Lingkungan sangat bervariasi,

umumnya digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan

aspek fisik, biologi dan sosial. (Endra Febri, 2015)

a. Lingkungan fisik

Bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan,

rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi

secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa serta memegang

peranan penting dalam proses terjadinya penyakit pada masyarakat.

Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi sumber

berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan kesehatan

masyarakat kita. Terjadinya penumpukan sampah yang tidak dapat dikelola

dengan baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab.

(Endra Febri, 2015)

b. Lingkungan biologis

Bersifat biologis atau benda hidup misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan,

virus, bakteri, jamur, parasit, serangga, dan lain-lain yang dapat berperan

sebagai agen penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes

intermediate. Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat

dinamis dan pada keadaan tertentu saat terjadi ketidakseimbangan di antara

hubungan tersebut, manusia akan menjadi sakit. (Endra Febri, 2015)

18

c. Lingkungan sosial

Lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antar manusia seperti

kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Berupa kultur, adat

istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar, gaya hidup,

pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan poolitik.

Manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial melalui berbagai media seperti

radio, TV, pers, seni, literatur, cerita, lagu, dan sebagainya. Bila manusia

tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial, akan terjadi

konflik kejiwaan dan menimbulkan gejala psikosomatik seperti stres,

insomnia, depresi, dan lain-lain. (Endra Febri, 2015)

Upaya menjaga lingkungan menjadi tanggungjawab semua pihak untuk

itulah perlu kesadaran semua pihak. (Endra Febri, 2015) Faktor lingkungan

yang dapat mempengaruhi risiko pneumonia pada anak balita adalah status

sosial ekonomi orang tua, pengetahuan orang tua serta persepsi orang tua

tentang penyakit pneumonia pada anak balita. (Hartati S, 2011)

2.3 Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian Pneumonia Balita

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka mortalitas

pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah:

pneumonia yanng terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat

imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A dan

tingginya pajanan terhadap polusi udara (asap rokok). (Said M, 2015)

19

2.3.1 Pengaruh usia balita terhadap kejadian pneumonia balita

Berdasarkan penelitian Hartati 2011, hubungan antara usia balita dengan

kejadian pneumonia menunjukkan bahwa balita yang berusia≤12 bulan mempunyai

peluang 3,24 kali untuk menderita pneumonia di banding balita yang berusia>12 bulan-

<60 bulan dan dari hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara

usia balita dengan kejadian pneumonia (p value= 0,002). Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan hananto 2004 di jelaskan bahwa anak usia≤12 bulan

mempunyai risiko pneumonia sebesar 2,27 kali di banding responden yang berusia>12

bulan. (Hartati S, 2011)

Usia dini yaitu usia di bawah lima tahun ditengarai menjadi satu-satunya faktor

risiko yang berperan penting dalam kejadian pneumonia, usia juga digunakan sebagai

indikator penting untuk memprediksi etiologi pneumonia pada balita. (Wiliams J.D,

Shah S.S, 2012)

Berdasarkan penelitian temuan kasus 2008 hingga 2009 yang dilakukan Tatiana

et al (2011) sebagian besar kasus pneumonia terjadi pada anak-anak usia 12 bulan

hingga 60 bulan (Gandolfi Tatiana et al, 2011)

2.3.2 Pengaruh status gizi terhadap kejadian pneumonia balita

Berdasarkan penelitian Hartati pada tahun 2011, hasil uji statistik menjelaskan

ada hubungan yang signifikan antara status gizi balita kurang dengan kejadian

pneumonia dengan (p value= 0,000) dan responden yang memiliki status gizi kurang

berpeluang untuk terjadinya pneumonia sebesar 6,52 kali dibanding responden yang

berstatus gizi baik. Temuan penelitian ini sejalan dengan Sunyataningkamto, dkk

20

(2004) didapatkan bahwa anak-anak dengan gizi buruk mempunyai pneumonia sebesar

2,6 kali dibanding dengan anak yang mempunyai gizi baik. (Hartati S, 2011)

Malnutrisi berat berpengaruh terhadap infeksi pernafasan akut berat, anak dengan

gizi buruk memiliki kemungkinan terkena pneumonia tiga kali dibandingkan dengan

anak yang tidak gizi buruk. (Ujunwa F.A, Ezeonu C.T, 2014)

2.3.3 Pengaruh status imunisasi terhadap kejadian pneumonia balita

Balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak mempunyai peluang

mengalami pneumonia sebanyak 3,21 kali dibanding dengan balita yang mendapatkan

imunisasi campak dan hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara riwayat

pemberian imunisasi campak pada balita dengan kejadian pneumonia (p value=0,002).

Sedangkan balita yang tidak mendapatkan imunisasi DPT lengkap mempunyai peluang

mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali dibanding dengan balita yang mendapat

imunisasi DPT lengkap dengan (p value=0,049). (Hartati S, 2011)

Imunisasi yang buruk sangat berpengaruh signifikan terhadap kejadian infeksi

pernafasan akut. Hal ini didukung berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa

anak dengan imunisasi yang adekuat akan mencegah dari komplikasi misalnya

komplikasi pneumonia seperti Tuberculosis, pertusis, dan measles. (Ujunwa F.A,

Ezeonu C.T, 2014)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ujunwa di Enugu Nigeria Tenggara pada

anak di bawah lima tahun, bentuk infeksi pernafasan akut yang berat seperti pneumonia

ditemukan sangat berpengaruh secara significant terhadap malnutrisi, tidak asi

eksklusif, imunisasi yang buruk, lingkungan yang kumuh, pada kejadian pneumonia

dengan nilai (p value= <0,01). (Ujunwa F.A, Ezeonu C.T, 2014)

21

2.3.4 Pengaruh berat badan lahir terhadap kejadian pneumonia balita

Dalam buku ajar respirologi anak, faktor risiko terjadinya pneumonia pada balita

adalah pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak

mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin

A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen nasofaring, dan tingginya pajanan

terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok). (Said M, 2015)

Hasil penelitian Herman (2002) di sumatera selatan menjelaskan balita yang

mempunyai riwayat berat badan lahir rendar (<2500 gram) memiliki risiko 1,9 kali

untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mempunyai riwayat berat

badan normal (≥2500 gram). (Hartati, 2011)

2.3.5 Pengaruh pemberian vitamin A terhadap kejadian pneumonia balita

Berdasarkan penelitian Hartati (2011) Balita yang tidak mendapatkan vitamin

A mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 1,58 kali dibanding dengan

balita yang mendapatkan vitamin A, namun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada

hubungan antara riwayat pemberian vitamin A dengan kejadian pneumonia (p

value=0,298) (Hartati, 2011)

Walaupun hasill penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

riwayat pemberian vitamin A dengan kejadian pneumonia, perlu diperhatikan bahwa

proporsi anak balita yang mendapat vitamin A dan menderita pneumonia masih lebih

tinggi. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut oleh petugas kesehatan bagaimana vitamin A itu

diberikan kepada balita. (Hartati, 2011)

22

Temuan berdasarkan penelitian Joseph l mathew (2010) menjelaskan bahwa

vitamin A tidak memiliki peranan terhadap kejadian pneumonia pada balita (Mathew

J. L, 2010)

2.3.6 Pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian pneumonia balita

Anak balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif mempunyai peluang

mengalami pneumonia sebanyak 4,47 kali dibanding dengan balita yang mendapatkan

ASI eksklusif dan hasil uji statistik didapat hubungan yang bermakna antara riwayat

pemberian ASI eksklusif balita dengan kejadian pneumonia (p value=0,003). (Hartati

S, 2011)

Anak dengan pemberian ASI yang rendah, hal ini turut mempengaruhi kejadian

malnutrisi. Hal ini secara signifikan mempengaruhi prevalensi pneumonia. (Ujunwa

F.A, Ezeonu C.T, 2014)

2.3.7 Pengaruh kepadatan penghuni dalam rumah terhadap kejadian pneumonia

balita

Berdasarkan penelitian Hartati (2011), menunjukkan ada hubungan antara

kepadatan hunian rumah anak balita dengan kejadian pneumonia dengan (p

value=0,037) dan balita yang tinggal di kepadatan hunian tinggi mempunyai peluang

mengalami pneumonia sebanyak 2,20 kali dibanding dengan balita yang tidak tinggal

di kepadatan hunian tinggi. (Hartati, 2011)

Penelitian yang dilakukan oleh Tomoyuki Shibata di makassar, menunjukkan

pendapatan rumah tangga yang rendah berubungan dengan tinggal ditempat yang

kumuh dan anggota keluarga yang banyak dalam satu rumah juga merupakan faktor

risiko pneumonia pada balita. (Shibata T et al, 2014)

23

2.3.8 Pengaruh asap rokok dalam rumah terhadap kejadian pneumonia balita

Hasil penelitian Naowarut Charoence et al pada anak di tahiland, menunjukkan

bahwa kondisi infeksi saluran pernafasan akut seperti bronkhitis, pneumonia, dan asma

bronkhial diperberat dalam rumah, dimana terdapat 3–4 orang dewasa memiliki

kebiasaan merokok didalam rumah sambil membawa anaknya (Charoenca N et al,

2013).

Prevalensi perokok dengan status ekonomi tinggi lebih rendah dibandingkan

status ekonomi rendah dan sedang. Perokok pasif berbahaya terhadap kesehatan sistem

respirasi anak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nursan Cinar et al, anak yang

masuk rumah sakit diakibatkan pneumonia dan bronkhitis dua kali lebih banyak jika

orang tuanya merokok. (Cinar N, et al, 2010)

Kandungan kimia berbahaya dalam asap rokok tidak hanya berdampak buruk

terhadap perokok, namun juga orang di sekitarnya. Organ pernapasan anak-anak masih

belum berfungsi secara maksimal, sehingga lebih rentan terhadap paparan asap rokok

dan lebih mudah menderita penyakit pernapasan (WHO, 2008).

2.3.9 Pengaruh ventilasi rumah terhadap kejadian pneumonia balita

Berdasarkan penelitian Hartati (2011), dimana balita yang tinggal di rumah

yang tidak ada ventilasi udara rumah mempunyai peluang mengalami pneumonia

sebanyak 2,5 kali dibanding balita yang tinggal di rumah yang memiliki ventilasi udara.

Hasil uji statistik menjelaskan ada hubungan antara ventilasi udara rumah dengan

kejadian pneumonia (p value=0,018). (Hartati, 2011)

24

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Murray et al (2012), menemukan bahwa

ventilasi alami, terutama jendela, memunculkan peran penting terhadap terjadinya

acute respiratory lower infection. Kamar tidur anak yang memiliki ≥2 jendela

berhubungan dengan penurunan 25% risiko acute respiratory lower infection. (Murray

E L et al, 2012)

2.3.10 Pengaruh status sosial ekonomi keluarga terhadap kejadian pneumonia

balita

Risiko penularan penyakit infeksi juga dapat diakibatkan oleh status sosial

ekonomi suatu keluarga. Status sosial ekonomi yang rendah dapat meningkatkan risiko

terjadinya infeksi suatu penyakit. Hal ini juga dipengaruhi oleh tempat tinggal di

lingkungan padat penduduk, gaya hidup tidak sehat, serta asupan nutrisi yang tidak

memadai. (Hartati, 2011)

Berdasarkan penelitian Hartati (2011) hasil uji statistik menjelaskan ada

hubungan antara tingkat penghasilan rendah orang tua balita dengan kejadian

pneumonia (p value=0,028). Orang tua berpenghasilan rendah berpeluang anak

balitanya mengalami pneumonia sebesar 0,42 kali dibanding orang tua yang

berpenghasilan tinggi. (Hartati, 2011)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Seham fathy abdel hameed azab et al (2014)

didapatkan hasil statistik yang signifikan antara kejadian pneumonia anak-anak di

mesir dengan penghasilan orang tua dengan nilai p ( < 0,01). (Azab Seham et al, 2014)

2.3.11 Pengaruh pengetahuan ibu terhadap kejadian pneumonia balita

Berdasarkan penelitian Hartati (2011), hasil uji statistik menjelaskan ada

hubungan antara tingkat pengetahuan ibu balita yang rendah dengan kejadian

25

pneumonia (p value=0,024). Ibu balita yang berpengetahuan rendah berpeluang anak

balitanya mengalami pneumonia sebesar 0,4 kali dibanding ibu balita dengan

pengetahuan tinggi. (Hartati, 2011)

Pengetahuan primer yang kurang memiliki pengaruh negative terhadap kebiasaan

ibu untuk hidup bersih dan hasilnya meningkatkan penyakit seperti pneumonia pada

anak. (Shibata T et al, 2014)

2.3.12 Pengaruh penggunaan pelayanan kesehatan terhadap kejadian pneumonia

pada balita

Dari hasil analisis dimana diperoleh balita yang tidak menggunakan pelayanan

kesehatan mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 1,47 kali dibanding

dengan balita yang menggunakan pelayanan kesehatan walaupun secara statistik tidak

ada hubungan bermakna antara pelayanan kesehatan balita dengan kejadian pneumonia

(p value=0,763). (Hartati, 2011)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Seham fathy abdel hameed azab et al (2014)

didapatkan hasil statistik yang signifikan antara kejadian pneumonia anak-anak di

mesir dengan penggunaan fasilitas kesehatan dengan nilai p ( < 0,01). (Azab Seham et

al, 2014)

2.4 Faktor Genetik yang Berhubungan dengan Pneumonia

Berdasarkan penelitian tesis Hartati 2011, balita yang mempunyai riwayat asma

mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 1,83 kali dibanding dengan

balita yang tidak mempunyai riwayat asma namun hasil uji statistik menunjukkan tidak

26

ada hubungan antara riwayat asma balita dengan kejadian pneumonia (p value=0,366).

(Hartati S, 2011)

2.5 ICD-10 Untuk Pneumonia Pada Balita

Berdasarkan Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Primer untuk pneumonia pada anak yaitu bronkhopneumonia dengan no.

ICD-10 : J18.0 Bronkhopneumonia, unspecified. (Abidin Zaenal, 2014)