BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku kepemimpinan...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku kepemimpinan...
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perilaku kepemimpinan
2.1.1. Defenisi
Kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain untuk
memahami dan setuju dengan apa yang diperlukan dan bagaimana pekerjaan
dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan
kolektif untuk mencapai tujuan (Rivai, 2003). Robbins (1996: 39)
menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok demi tercapainya tujuan organisasi.
Defenisi kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi
dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk
mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan
budayanya (Rivai, 2003:2). Kepemimpinan dipengaruhi oleh sifat bawaan
yang berhubungan dengan intelegensi, kepribadian dan kemampuan. Menurut
Ghiselli (dalam Handoko, 1998) menyatakan sifat-sifat kepemimpinan efektif
adalah supervisory ability, kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan,
kecerdasan, ketegasan, kepercayaan diri dan inisiatif. Warsito (2006)
mengikhtisarkan empat ciri/sifat utama kepemimpinan yaitu (1) kecerdasan,
(2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, (3) motivasi diri dan dorongan
berprestasi, dan (4) sikap-sikap hubungan manusiawi. Monica (1998: 69)
menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah bekerja melalui individu dan
kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Nimran (2004: 64)
mengemukakan bahwa kepemimpinan atau leadership adalah merupakan
8
Universitas Sumatera Utara
suatu proses mempengaruhi perilaku orang lain agar berperilaku seperti yang
akan dikehendaki.
Perilaku adalah apa yang seseorang lakukan dan apa yang orang lain
terima atau rasakan dan menjadi sebuah tindakan (Monica 1998: 31). Perilaku
kepemimpinan adalah respon individu sebagai seorang motivator dalam suatu
organisasi terhadap suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai
dampak positif maupun negatif terhadap suatu organisasi (Depkes, 2008).
Perilaku kepemimpinan adalah pola perilaku yang diperlihatkan orang itu
pada saat mempengaruhi aktivitas orang lain seperti yang dipersepsikan orang
lain (Monica, 1998). Sedangkan pengertian kepemimpinan menurut Hersey &
Blanchard (1977 dalam Monica, 1998: 73) adalah tindakan dari seorang
pemimpin untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai suatu tujuan
sesuai dengan situasi organisasi, yang meliputi empat hal yaitu:
menyampaikan atau telling, menjual atau selling, dengan peran serta atau
participating, pendelegasian atau delegating.
2.1.2. Sifat dan syarat pemimpin
Menurut Sunindhia (1993) menjelakan bahwa pemimpin harus
memiliki sifat dan syarat yaitu:
a. Pemimpin harus peka terhadap iklim lingkungannya, harus mendengarkan
saran-saran, nasehat-nasehat, dan pandangan dari orang-orang
disekitarnya. Semakin banyak informasi yang dia dapatkan maka semakin
mantap pandangannya secara situasional.
9
Universitas Sumatera Utara
b. Pemimpin harus menjadi teladan dalam lingkungannya, paling sedikitnya
dia harus menjadi suri teladan mengenai segala apa yang dia instruksikan,
dia ajarkan, dan dia harapkan dari bawahannya /pengikutnya.
c. Pemimpin harus bersikap dan bersifat setia, setia kepada janjinya, setia
kepada organisasinya, setia kepada bawahannya dan setia kepada
pekerjaannya.
d. Pemimpin harus mampu mengambil keputusan, artinya: harus pandai,
cakap dan berani mengambil keputusan setelah semua faktor relevan
diperhitungkan. Berani dalam artian berani secara moril (moral courage)
dengan penuh tanggung-jawab, dan tidak melarikan diri jikalau ada akibat-
akibat yang meminta pertanggungjawaban.
2.1.3. Peranan pemimpin
Siagian (2002: 66) menjelaskan bahwa peranan pemimpin dalam
kepemimpinannya di suatu organisasi ada tiga bentuk, yaitu peranan yang
bersifat interpersonal, peranan yang bersifat informasional, dan peran
pengambilan keputusan. Yang dimaksud dengan peranan yang bersifat
interpersonal dalam organisasi adalah bahwa seorang pemimpin dalam
organisasi merupakan simbol akan keberadaan organisasi, seorang pemimpin
bertanggung jawab untuk memotivasi dan memberikan arahan kepada
bawahan dan seorang pemimpin mempunyai peran sebagai penghubung.
Peranan yang bersifat informasional mengandung arti bahwa seorang
pemimpin dalam organisasi mempunyai peran sebagai pemberi, penerima dan
penganalisa informasi. Peran pemimpin dalam pengambilan keputusan
10
Universitas Sumatera Utara
mempunyai arti bahwa pemimpin mempunyai peran sebagai penentu
kebijakan.
Anoraga (2004) mengemukakan bahwa ada sembilan peranan
kepemimpinan seorang dalam organisasi yaitu pemimpin sebagai perencana,
pemimpin sebagai pembuat kebijakan, pemimpin sebagai ahli, pemimpin
sebagai pelaksana, pemimpin sebagai pengendali, pemimpin sebagai pemberi
hadiah atau hukuman, pemimpin sebagai teladan dan lambang atau simbol,
pemimpin sebagai tempat menimpakan segala kesalahan, dan pemimpin
sebagai pengganti peran anggota lain.
Pemimpin tim yang baik membantu anggota-anggotanya mencapai
tujuan dengan memberikan mereka petunjuk yang jelas, pelatihan yang sesuai,
dan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk bekerja. Sering kali terjadi,
orang-orang gagal mencapai apa yang mereka rasa dapat mereka lakukan, dan
mereka akan menimpakan kesalahan ini kepada orang lain. Pemimpin yang
bijak akan ikut berbagi kesalahan, dan akan bekerja sebaik-baiknya untuk
memberikan contoh kepada para anggotanya (Irmim, 2004).
2.1.4. Metode penyelesaian masalah
Kepemimpinan yang efektif didasarkan pada pemikiran yang metodis,
yang pertama-tama di ambil dari teori (apa yang terbukti efektif melalui
sejumlah besar penelitian) dan kemudian intuisi (apa yang terbukti efektif
melalui penelitian tentang pengalaman diri (Monica, 1998: 14). Penggunaan
metode ilmiah dalam manajemen adalah untuk membantu pemimpin dalam
mengkaji beberapa kebutuhan dari sistem lain dan dalam memilih prioritas,
mengidentifikasi elemen orang dan situasi yang penting dalam mengemban
11
Universitas Sumatera Utara
tujuan-tujuan khusus, mengkaji secara kritis kekuatan dari orang-orang
tersebut dan mengembangkan strategi yang melibatkan kekuatan-kekuatan
tersebut dalam pekerjaan (Monica, 1998: 1).
Tujuan prioritas dari seorang pemimpin adalah mencapai tujuan-tujuan
dengan cara mengaktivasi sebuah sistem. Segala sesuatu yang dilakukan oleh
pemimpin untuk mencapai tujuan harus didasarkan pada strategi yang
memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, untuk itulah digunakan metode
ilmiah sebagai metode penyelesaian masalah (Monica, 1998: 15). Metode
penyelesaian masalah terdiri dari :
a) Pengenalan masalah
Suatu masalah diidentifikasi melalui perbedaan antar apa yang sedang
terjadi secara nyata (actual) dalam suatu situasi dan apa yang seseorang
inginkan untuk terjadi (optimal) (Monica, 1998: 15).
b) Defenisi masalah
Setelah suatu situasi dikaji untuk menentukan area prioritas kebutuhan,
untuk mengidentifikasi apakah kelompoknya sejalan dengan kebutuhan
ini (actual), dan untuk mengidentifikasi apakah keinginan seseorang
relatif sesuai dengan kebutuhan ini (optimal), maka kemudian dapat
ditetapkan suatu masalah (Monica, 1998: 16).
c) Analisa masalah
Setelah masalah diidentifikasi, maka masalah haruslah di analisa. Analisis
akan menghasilkan tiga tujuan: 1) mengapa masalah terjadi;
2) menganalisa kemampuan kelompok untuk mencapai tujuan (tingkat
kematangan); 3) menspesifikasi perilaku kepemimpinan yang tepat, yang
12
Universitas Sumatera Utara
diindikasikan oleh tingkat kematangan kelompok, yang dibutuhkan dalam
rangka memenuhi kebutuhan kelompok untuk mencapai tujuan.
Keputusan perilaku kepemimpinan yang tepat akan didasarkan pada apa
yang bisa berhasil menurut penelitian. (Monica, 1998: 17).
2.1.5. Teori perilaku kepemimpinan
Teori perilaku lebih menekankan pada apa yang dilakukan pemimpin
dan bagaimana seorang pemimpin menjalankan fungsinya. Bila berbicara
mengenai perilaku kepemimpinan, maka terlebih dahulu harus membahas
teori-teori kepemimpinan. Gary (2001) menjelaskan bahwa teori
kepemimpinan terbagi ke dalam empat kategori, yaitu Teori Sifat (Traits
Theory), Teori Perilaku Kepemimpinan (Behavioral Theories of Leadership),
Teori Situasional (Situational Theory), dan Teori Neo-Karismatik
(Neocharismatic Theories).
Teori Kepemimpinan Situasional adalah suatu pendekatan terhadap
kepemimpinan yang menganjurkan pemimpin untuk memahami perilaku
bawahan, dan situasi sebelum menggunakan perilaku kepemimpinan tertentu.
Pendekatan ini menghendaki pemimpin untuk memiliki kemampuan diagnosa
dalam hubungan antara manusia (Monica, 1998). Teori-teori yang termasuk
dalam Teori Kepemimpinan Situasional adalah Teori Kepemimpinan Fiedler,
Teori Situasional Hersey & Blanchard, Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota
(Leader Member Exchange Theory), Teori Jalur Tujuan (Path Goal Theory),
dan Model Partisipasi-Pemimpin. Disini peneliti akan membahas lebih lanjut
mengenai teori Situasional Hersey & Blanchard.
13
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Teori situasional Hersey dan Blanchard
Teori Situasional (The situational theory) Hersey & Blanchard
melakukan pendekatan yang berfokus pada perhatian yang besar pada
karakteristik bawahan dalam menentukan perilaku kepemimpinan yang tepat
(Daft, 2003). Model ini menjelaskan bahwa para manajer perlu menyesuaikan
perilaku kepemimpinan mereka sebagai respons terhadap berbagai karakter
dari orang-orang yang menjadi bawahannya seperti harapan pekerja,
pengalaman, keahlian, dan kesanggupan dalam menerima tanggung jawab
(Monica, 1998: 72). Hal penting pada teori Hersey & Blanchard adalah bahwa
bawahan bervariasi dalam tingkat kesiapannya dalam melakukan pekerjaan.
Orang dengan kemampuan yang terbatas dan kurangnya pelatihan,
ataupun rasa ketidakamanan, memerlukan perilaku kepemimpinan yang
berbeda dari mereka yang tinggi kesiapannya dan mempunyai kemampuan,
ketrampilan, percaya diri, dan kemampuan bekerja yang baik (Daft, 2003).
Berdasarkan model kepemimpinan Hersey & Blanchard tersebut, perilaku
kepemimpinan ini dibagi menjadi empat kuadran menurut situasi yang
dihadapi yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya kecenderungan kepada
pekerjaan (task behavior) dan rendahnya kecenderungan kepada hubungan
terhadap orang-orang (relationship behavior) (Sule & Saefullah, 2008).
Keempat kuadran pada teori kepemimpinan situasional Hersey & Blanchard
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pekerjaan yang tinggi dan hubungan yang rendah (LBI)
Perilaku ini disetarakan dengan menyampaikan atau telling (Daft, 2003).
Dimana situasi yang dihadapi adalah tuntutan terhadap pekerjaan yang
14
Universitas Sumatera Utara
tinggi dan rendah terhadap hubungan orang-orang atau relasi, maka
pemimpin yang berorientasi pada pekerjaan yang tinggi lebih dibutuhkan,
kadangkala kecenderungan untuk sedikit otoriter karena rendahnya
kesiapan bawahan dalam menerima tanggung jawab pekerjaan. Pada situasi
ini pekerjaan lebih penting untuk dikerjakan daripada membangun
hubungan dengan orang-orang (Sule & Saefullah, 2008). Seorang
pemimpin pada pokoknya mendefenisikan pekerjaan, menerangkan pada
kelompok tanggung jawab setiap orang, kapan pekerjaan harus dilakukan,
menetapkan peran-peran yang dimainkan oleh bawahannya dan
memerintahkan kepada mereka apa, bagaimana, bilamana dan dimana
bawahan harus melaksanakan berbagai jenis pekerjaan agar keputusan
dapat dilaksanakan dengan efektif, serta mengawasi pekerjaan dengan ketat
(Rivai, 2003: 54). Komunikasi satu arah menjadi karakteristik perilaku
kepemimpinan meskipun perilaku hubungan yang rendah haruslah ada.
Pada kondisi ini pengambilan keputusan mutlak berada pada pemimpin
sedangkan peran bawahan sangat minimal (Monica, 1998: 72).
b. Pekerjaan yang tinggi dan hubungan yang tinggi (LB2)
Perilaku ini disetarakan dengan menjual atau selling (Daft, 2003). Dimana
kondisi yang dihadapi memerlukan perhatian yang tinggi terhadap
pekerjaan sekaligus orang-orang, sehingga lebih mengarah kepada gaya
kepemimpinan demokratis dan berorientasi kepada kemajuan dan
perubahan sangat diperlukan. Selain pekerjaan dapat diselesaikan,
pemimpin dalam situasi ini berhadapan dengan tim kerja yang baik,
memiliki motivasi untuk berprestasi dalam pekerjaan yang tinggi, sehingga
15
Universitas Sumatera Utara
mereka tidak perlu lagi diarahkan secara ekstra untuk bekerja (Sule &
Saefullah, 2008). Pemimpin memberikan perhatian yang seimbang terhadap
keyakinan, keinginan dan kebutuhan kelompok. Pemimpin mungkin
mendefenisikan suatu tujuan, menunjuk apa yang perlu dikerjakan, siapa
yang mempunyai tanggung-jawab khusus dan sudah terdapat interaksi
dengan kelompok. Rencana sebelumnya dari pemimpin mungkin diubah
karena reaksi bawahan. Pada kondisi seperti ini, peran pemimpin dalam
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan cukup besar, tetapi
masukan dan pendapat bawahan sudah mulai dipertimbangkan pemimpin
untuk memperbaiki dan menyempurnakan keputusan-keputusan yang telah
ditetapkan dan akan dilaksanakan (Daft, 2003). Dengan menerapkan
tindakan ini diharapkan keputusan-keputusan pimpinan akan mendapat
dukungan dan lebih mudah menginstruksikannya, sehingga kepemimpinan
berlangsung efektif (Rivai, 2003: 54).
c. Hubungan yang tinggi dan pekerjaan yang rendah (LB3)
Disetarakan dengan peran serta atau participating. Dengan menjalankan
tindakan partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang
dipimpinnya. Bawahan memiliki karakteristik tim kerja yang baik dan
mereka termotivasi dengan baik untuk berada dalam organisasi, akan tetapi
belum banyak diarahkan pada pekerjaan yang memberikan tantangan
kepada mereka, sehingga orientasi kepada pekerjaan masih rendah. Kondisi
seperti ini perhatian utama pemimpin bukanlah pekerjaan dan berbagai
keruwetannya, tetapi sebaliknya perhatian diberikan untuk proses, untuk
mendapatkan kelompok bekerja dan bersama-sama secara efektif untuk
16
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan pekerjaan (Monica, 1998: 73). Pimpinan dan bawahan
bersama-sama memberi gagasan dalam pengambilan keputusan maupun
dalam melaksanakannya melalui komunikasi dua arah dan lebih difasilitasi
oleh pimpinan apabila bawahan mempunyai kemampuan dan pengetahuan
untuk menyelesaikan pekerjaan (Daft, 2003). Menghadapi situasi ini,
pemimpin perlu untuk memberikan dukungan kepada orang-orang atau
pekerja untuk melakukan apa yang terbaik dari pekerjaan mereka melalui
pemberian motivasi. Pemimpin menciptakan suasana mendukung,
konstruktif, dan berorientasi pada pemecahan masalah.
Pemimpin pada kuadran ini benar-benar harus memperhatikan aspek relasi
antarmanusia dan pemimpin cenderung bersikap partisipatif (Sule &
Saefullah, 2008). Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi
dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerja sama dengan tidak
mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain. Keikutsertaan
pemimpin harus tetap dalam fungsi sebagai pemimpin dan bukan bawahan
(Rivai, 2003: 55).
d. Pekerjaan yang rendah dan hubungan yang rendah (LB4)
Perilaku ini disetarakan dengan pendelegasian karena pengendalian
dipindahkan dari pemimpin kepada bawahan. Pemimpin mempertahankan
suatu sikap merendah dalam gaya ini, memungkinkan para bawahan untuk
diberi kesempatan memainkan kemampuan mereka melalui pendelegasian
dan pengarahan umum dengan catatan bawahan memiliki kemampuan yang
tinggi serta kedewasaan. Dalam hal ini para bawahan dituntut memiliki
kematangan (kemampuan) pekerjaan dan kematangan psikologis
17
Universitas Sumatera Utara
(kemauan). Kematangan pekerjaan dikaitkan dengan kemampuan untuk
melaksanakan sesuatu yang berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan
sedangkan kematangan psikologis dikaitkan dengan kemampuan atau
motivasi untuk melakukan sesuatu yang erat kaitannya dengan rasa yakin.
Agar pendelegasian lebih efektif, pemimpin perlu menyeleksi dan
menyusun tugas yang dilimpahkan, menyeleksi orang yang tepat,
berkemampuan dan memiliki komitmen terhadap pekerjaan dan yang
terakhir memberikan arahan dan motivasi kepada bawahan (Nursalam,
2002: 110). Untuk bawahan yang mempunyai tingkat kesiapan tinggi,
pemimpin memberi tahu tujuan secara umum dan memberikan otoritas dan
tanggung-jawab kepada seseorang atau kelompok untuk mengerjakan
pekerjaan, persetujuan awal dari pemimpin mungkin atau mungkin tidak
perlu diminta sebelum keputusan itu diimplementasikan dan bawahan
dinilai mampu untuk mengerjakannya (Daft, 2003). Pada waktunya,
pemimpin mungkin dibutuhkan untuk konsultasi dan berdiskusi, atau untuk
memberikan pengarahan dan dorongan positif. Interaksi seperti itu tidak
direncanakan secara teratur, tetapi akan terjadi karena kebutuhan meningkat
(Monica, 1998: 74).
2.1.7. Teori kematangan pekerjaan dan kematangan psikologis menurut
Hersey dan Blanchard.
Kematangan dalam pekerjaan adalah kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan masalah, termasuk pengetahuan dan pengalaman. Kemampuan
(ability) adalah menunjukkan potensi orang untuk melaksanakan pekerjaan,
sedangkan kemauan adalah keinginan dan minat yang timbul dari diri
18
Universitas Sumatera Utara
seseorang untuk melakukan pekerjaan. Adapun kematangan psikologis adalah
keinginan seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan kepercayaan
diri dan penghargaan diri (Hersey, Blanchard, 1977). Dengan menggunakan
variabel kemampuan dan kemauan, Hersey dan Blanchard (1977) dalam
Monica (1998: 59) mendesain empat batasan dalam tingkat-tingkat
kematangan:
Tingkat kematangan Karakteristik bawahan
M1- Kematangan rendah Tidak mau dan tidak mampu
M2- Kematangan moderat Mau tetapi tidak mampu
M3- Kematangan moderat Mampu tetapi tidak mau
M4- Kematangan tinggi Mampu dan mau
Sumber : Monica, 1998
Secara rinci keempat kuadran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kuadran M1: Tingkat kematangan bawahan rendah, yaitu kondisi dimana
kemampuan bawahan dalam melaksanakan tugas rendah, bawahan tidak mau
memikul tanggung-jawab dan ketidakyakinan untuk dapat melakukan sesuatu.
Penyebabnya tugas yang diembannya jauh di atas kemampuannya, kurang
mengerti kaitan antara tugas dan tujuan organisasi (Rivai, 2003: 74).
b. Kuadran M2: Tingkat kematangan bawahan rendah ke sedang atau moderat
rendah, yaitu kondisi dimana kemampuannya melaksanakan tugas masih
rendah tetapi memiliki rasa tanggung-jawab sehingga ada upaya berprestasi.
Mereka yakin akan pentingnya tugas dan tahu pasti tujuan yang ingin dicapai.
Penyebabnya bawahan belum berpengalaman atau belum mengikuti pelatihan
19
Universitas Sumatera Utara
dan pendidikan atau kurang memiliki ketrampilan pada saat sekarang tetapi
memiliki motivasi yang tinggi (Rivai, 2003: 74).
c. Kuadran M3: Tingkat kematangan bawahan sedang ke tinggi atau moderat
tinggi, yaitu bawahan mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas
tetapi karena suatu hal tidak yakin akan keberhasilan sehingga tugas itu tidak
dilaksanakan. Penyebabnya misalnya bawahan merasa kecewa karena
dipindahtugaskan ke bidang yang lain dan tidak puas dengan penempatan yang
baru (Rivai, 2003: 75).
d. Kuadran M4: Tingkat kematangan bawahan tinggi, yaitu bawahan mempunyai
kemampuan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas ataupun memecahkan
masalah dan punya motivasi tinggi serta besar tanggung-jawabnya. Bawahan
mendapat kepuasan atas prestasinya dan yakin akan selalu berhasil (Rivai,
2003: 75). Misalkan pada sebuah Rumah Sakit, dimana pimpinan menengah di
bagian emergensi ingin merubah model pelayanan keperawatan dari
keperawatan dalam tim menjadi keperawatan primer. Sistem ini akan berada
pada tingkat kematangan M1 (tidak mau dan tidak mampu) jika mayoritas
anggotanya tidak mengenal konsep keperawatan primer dan tidak memiliki
pengalaman dalam keperawatan primer dan para anggota secara verbal dan
non-verbal mencerminkan ketidakinginan mereka untuk berubah. Jika para
anggota antusias dengan perubahan tersebut, ingin memperoleh pengetahuan
meskipun keperawatan primer adalah hal yang baru, maka sistem akan
didiagnosa sebagai M2 (Monica, 1998).
20
Universitas Sumatera Utara
Sistem akan berada pada tingkat kematangan M3 (mampu tetapi tidak
mau) jika mayoritas para anggota sistem memiliki pengetahuan tentang
keperawatan primer dan telah memiliki pengalaman terlebih dahulu, tetapi
tidak mempunyai pengalaman positif dengan model itu dan telah merasa
bahwa keperawatan tim adalah model yang mereka inginkan. Jika mayoritas
para anggota mempunyai pengetahuan tentang dan berpengalaman dengan
keperawatan primer, menyukainya dan bersemangat untuk memasukkan
model tersebut ke dalam pekerjaan di unit mereka, maka sistem akan berada
pada tingkat kematangan M4 (Monica, 1998). Faktor lain untuk diingat ketika
menggunakan teori ini adalah bahwa seseorang itu akan mau atau tidak mau
dan mampu atau tidak mampu. Tidak ada daerah kelabu atau yang setengah-
setengah. Sebagai contoh, jika seseorang mau mencoba sesuatu meskipun ia
meragukan manfaatnya, maka sebenarnya orang itu tidak mau. Orang
dikatakan mampu apabila mereka mampu ditinggalkan sendiri sepenuhnya
(Monica, 1998).
2.1.8. Menentukan perilaku kepemimpinan yang tepat
Perilaku kepemimpinan berespon terhadap diagnosa lingkungan diri,
sistem dan pekerjaan ditambah penerapan teori perilaku kepemimpinan.
Teori-teori yang digunakan untuk mendiagnosa sistem dibaca secara maju
dari kanan ke kiri. Dengan perkataan lain, tingkat tertinggi perkembangan
berada pada sisi kiri. Nomor-nomor perilaku kepemimpinan (LB1, LB2, LB3
dan LB4) ditempatkan pada arah jarum tempat kwadran perilaku
kepemimpinan, bergerak berlawanan arah jarum jam dari yang paling minimal
sampai paling matang. Dalam rangka menentukan perilaku kepemimpinan
21
Universitas Sumatera Utara
yang tepat, untuk suatu diagnosa sistem harus dijembatani ke bagian atas
gambar (perilaku kepemimpinan). Misalnya pekerjaannya adalah merubah
model pemberian layanan keperawatan pada suatu unit keperawatan, dari
model keperawatan tim menjadi model keperawatan primer (Monica, 1998:
79). Penjelasan mengenai penentuan perilaku kepemimpinan ini akan
dijelaskan pada skema 1 halaman 26.
Pemimpin menggunakan teori Hersey dan Blanchard (1977, dalam
Monica, 1998) untuk mendiagnosa suatu sistem. Para anggota sistem di
diagnosa satu-persatu, kemudian ditetapkan tingkat kematangan sistem
tersebut misalnya M1, M1 yaitu kondisi dimana sebagian besar anggota
kelompok tidak mau dan tidak mampu untuk menjalankan pekerjaan. Dalam
hal ini tingkat kematangan M1 berhubungan langsung dengan LB1 (telling).
Karena itu, demi pencapaian pekerjaan, sebaiknya pemimpin memulai dengan
berperilaku sesuai dengan LB1, yaitu pekerjaan yang tinggi dan hubungan
yang rendah. Pemimpin harus mengembangkan suatu strategi yang
memberikan pengetahuan pada perawat pelaksana tentang keperawatan primer
dan memberitahukan bagaimana, kapan dan dimana tugas itu dikerjakan serta
menjelaskan tanggung-jawab mereka. Dengan perkatan lain, pemimpin harus
mengambil tanggung-jawab penuh untuk memungkinkan pekerjaan ini
diselesaikan tepat waktu (Monica, 1998: 79).
Diagnosa dan penetapan perilaku kepemimpinan akan memberikan
tempat untuk mulai bagi pemimpin suatu tempat yang menurut penelitian,
memiliki kemungkinan tertinggi untuk sukses. Perubahan kematangan sistem
harus tercermin dari perilaku kepemimpinan, apakah bergerak maju satu
22
Universitas Sumatera Utara
kuadran (pertumbuhan) atau mundur satu kwadran (kemunduran). Jika
seorang pemimpin memulai pada LB1 dan menemukan bahwa kelompok telah
menjadi lebih mau menerima terhadap keperawatan primer, maka pemimpin
harus berubah secara bertahap dari LB1 ke LB2 (selling), yaitu hubungan
tinggi dan pekerjaan tinggi (Monica, 1998: 79).
Pada tahap LB2, interaksi kelompok dimulai, tetapi pemimpin masih
mempertahankan pengendalian terhadap pencapaian pekerjaan. Walaupun
pemimpin masih menerapkan perilaku telling yaitu menjelaskan tugas dan
peranan terhadap bawahan tetapi pemimpin juga menerapkan perilaku suportif
untuk memperkuat kemauan dan antusias bawahan untuk melakukan
pekerjaan. Jika seorang pemimpin berada pada LB2 dan menemukan bahwa
kelompok mengalami kemunduran dalam kematangan, yaitu menjadi
berkurang kemauan untun mengemban pekerjaan, maka seorang pemimpin
akan harus bergerak mundur ke LB1 (Monica, 1998: 79).
Bawahan dengan tingkat kematangan sedang ke tinggi, yaitu bawahan
yang mampu tetapi tidak mau (M3) melakukan hal-hal yang diinginkan
pemimpin. Ketidakmauan bawahan seringkali merasa kurang yakin dengan
kemampuannya. Bawahan perlu di motivasi dan menciptakan komunikasi dua
arah antara pemimpin dan bawahan untuk mendukung upaya bawahan dalam
menggunakan kemampuan yang mereka miliki. Pemimpin mengikutsertakan
(LB3) bawahan dalam pengambilan keputusan sedang peranan pemimpin
yang utama adalah memudahkan dan berkomunikasi. Dengan demikian
perilaku partisipasi yang suportif memiliki kemungkinan efektif paling tinggi
dengan bawahan pada tingkat kematangan ini.
23
Universitas Sumatera Utara
Tujuan pemimpin dalam menentukan perilaku kepemimpinan yang
tepat adalah untuk menggerakkan sistem untuk mencapai LB4 (delegating),
pekerjaan dan hubungan yang rendah. Bawahan dengan tingkat kematangan
seperti ini adalah orang-orang yang mampu dan mau atau yakin memikul
tanggung-jawab. Dengan demikian perilaku yang “mendelegasikan” yang
menyediakan arahan atau dukungan yang rendah, memiliki kemungkinan
efektif paling tinggi dengan bawahan pada tingkat kematangan tinggi.
Meskipun pemimpin boleh jadi mengidentifikasi masalah, tetapi tanggung-
jawab untuk melaksanakan rencana diberikan kepada bawahan yang matang.
Mereka diperkenankan melaksanakan sendiri pekerjaan dan memutuskan
tentang bagaimana, bilamana, dan dimana pelaksanaan pekerjaan itu. Ketika
suatu sistem menjadi matang, ia dapat memantau dirinya sendiri dan
menyelesaikan pekerjaan. Pemimpin kemudian dapat mendelegasikan pada
bawahan dan menjadi bebas untuk bekerja menyelesaikan pekerjaan yang lain.
Pendelegasian hanya terjadi pada LB4 (Monica, 1998: 79).
24
Universitas Sumatera Utara
Memberikan Perilaku Dukungan Pemimpin (Relationship Behaviour)
Memberikan Panduan (Task Behaviour)
Gambar: Model Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard (1977, dalam Monica, 1998)
M4 M3 M2 – 3 M2 M1 Aktualisasi diri Harga diri Sosial Rasa aman Fisiologis Gambar: Hirarki Kebutuhan Maslow (1970, dalam Monica, 1998)
Pencapaian Pengakuan Relasi Interpersonal Keamanan Kerja Kehidupan- Pertumbuhan Prestasi Kemajuan Kondisi Kerja pribadi Tanggung-jawab Status Kebijakan Gaji
M4 M3 M2 M1 Mampu Mampu tetapi Mau tetapi Tidak mau dan dan mau tidak mau tidak mampu tidak mampu
Gambar : Kematangan Pekerjaan dan Kematangan Psikologis, Hersey &
Blanchard (1977, dalam Monica, 1998)
Skema 2.1 : Skema untuk mendiagnosa sebuah sistem dan menentukan perilaku
kepemimpinan yang tepat.
Hubungan Tinggi
Pekerjaan Rendah
LB3
Hubungan tinggi
Pekerjaan Tinggi
LB2
LB4
Hubungan Rendah
Pekerjaan Rendah
LB1
Hubungan Rendah
Pekerjaan Tinggi
SISTEM DIAGNOSA TINGKAT KEMATANGAN
25
Universitas Sumatera Utara
Keterangan Skema :
LB1 (Leadership behavior 1) = Telling
LB2 (Leadership behavior 2) = Selling
LB3 (Leadership behavior 3) = Participating
LB4 (Leadership behavior 4) = Delegating
M1 (Mature 1) = Tingkat kematangan bawahan rendah
M2 (Mature 2) = Tingkat kematangan bawahan rendah ke sedang (moderat rendah)
M2-M3 = Tingkat kematangan bawahan antara M2 dan M3
M3 (Mature 3) = Tingkat kematangan bawahan sedang ke tinggi (moderat tinggi)
M4 (Mature 4) = Tingkat kematangan bawahan tinggi
2.1.9. Kepemimpinan dalam keperawatan
Kepemimpinan dalam keperawatan merupakan penggunaan
ketrampilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perawat-perawat lain
dibawah pengawasannya untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
dalam memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan sehingga tujuan
keperawatan tercapai. Menurut Bennis (dalam Lancaster, 1997),
mengidentifikasi empat kemampuan penting bagi seorang pemimpin yaitu
(1) mempunyai pengetahuan yang luas dan kompleks tentang sistem manusia,
(2) menerapkan pengetahuan tentang pengembangan dan pembinaan bawahan,
(3) mempunyai kemampuan hubungan antar manusia, (4) mempunyai
sekelompok nilai-nilai dan kemampuan mengenal orang lain dengan baik
(Lancaster, 1997).
Kepala ruangan sebagai pemimpin dalam melaksanakan kegiatan
pelayanan dan asuhan keperawatan diharapkan dapat: (1) membantu staf
keperawatan mencapai tujuan yang ditentukan, (2) mengarahkan kegiatan-
26
Universitas Sumatera Utara
kegiatan keperawatan, (3) bertanggung jawab atas tindakan keperawatan yang
dilakukan, (4) melaksanakan keperawatan berdasarkan standar,
(5) menyelesaikan pekerjaan dengan benar, (6) mencapai tujuan keperawatan,
(7) mensejahterakan staf keperawatan, dan (8) memotivasi staf keperawatan
(Warsito, 2006).
2.2. Motivasi Kerja
2.2.1. Defenisi
Motivasi berasal dari bahasa latin, Mavere yang artinya dorongan,
keinginan-keinginan, penggerak rangsangan atau impuls dalam diri seseorang
yang menimbulkan perilaku (Hasibuan, 2005: 216). Robbins (2002: 55)
menjelaskan bahwa motivasi kerja adalah keinginan untuk melakukan sesuatu
sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk
tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk
memenuhi suatu kebutuhan individual.
Motivasi kerja menurut Hasibuan (2005: 216) adalah pemberian daya
gerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja
sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai
suatu tujuan. Motivasi bekerja tidak hanya berwujud kebutuhan ekonomis
yang bersifat materil saja, akan tetapi bisa juga berwujud penghargaan dari
lingkungan, prestise dan status sosial, yang semuanya berbentuk ganjaran
sosial yang imateril sifatnya. Tidak selalu motif uang itu menjadi motif primer
bagi orang yang bekerja. Kebanggaan akan hasil karya sendiri, interest atau
minat yang besar terhadap pekerjaan, merupakan insentif kuat untuk mencintai
suatu pekerjaan (Rivai, 2003).
27
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Metode-metode motivasi
Terdapat dua metode dalam motivasi, metode tersebut adalah metode
langsung dan metode tidak langsung (Hasibuan, 2005). Kedua metode
motivasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Metode langsung, merupakan motivasi materiil atau non materiil yang
diberikan secara langsung kepada seseorang untuk pemenuhan kebutuhan
dan kepuasannya. Motivasi ini dapat diwujudkan misalnya dengan
memberikan pujian, penghargaan, bonus dan piagam.
b) Metode tidak langsung, merupakan motivasi yang berupa fasilitas dengan
maksud untuk mendukung serta menunjang gairah kerja dan kelancaran
pekerjaan.
2.2.3. Tujuan pemberian motivasi
Adapun tujuan pimpinan memberikan motivasi terhadap bawahan
menurut Rivai (2003) yaitu:
a. Mendorong gairah dan semangat kerja bawahan.
b. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja bawahan.
c. Meningkatkan produktivitas kerja bawahan.
d. Mempertahankan loyalitas dan kestabilan terhadap organisasi.
e. Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi bawahan.
f. Menciptakan suasana dan hubungan yang baik.
g. Meningkatkan kreativitas dan partisipasi bawahan.
h. Meningkatkan tingkat kesejahteraan bawahan.
i. Mempertinggi rasa tanggung-jawab bawahan terhadap tugas-tugasnya.
28
Universitas Sumatera Utara
Hasibuan (2005: 216) menjelaskan bahwa motivasi kerja diberikan kepada
bawahan dimaksudkan agar :
1. Pemimpin dapat membagi-bagikan pekerjaannya kepada para
bawahannya untuk dikerjakan dengan baik.
2. Karena ada bawahan yang mampu untuk mengerjakan pekerjaannya,
tetapi ia malas atau kurang bergairah mengerjakannya.
3. Untuk memelihara dan atau meningkatkan kegairahan kerja bawahan
dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
4. Untuk memberikan penghargaan dan kepuasan kerja bawahannya.
2.2.4. Penguatan Motivasi
Modifikasi perilaku adalah serangkaian teknik di mana teori penguatan
digunakan untuk memodifikasi perilaku manusia. Asumsi dasar yang
melandasi modifikasi perilaku adalah hukum efek (law of effect), yang
menyatakan bahwa perilaku yang secara positif memperoleh penguatan
cenderung diulangi, dan perilaku yang tidak memperoleh penguatan
cenderung tidak diulangi (Daft, 2003).
Robbins (2007: 490) menjelaskan bahwa penguatan (reinforcement)
didefenisikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perilaku tertentu untuk
diulangi atau dihambat Ada empat perangkat penguatan yaitu:
a. Penguatan positif (positive reinforcement), adalah administrasi
konsekuensi yang menyenangkan dan menghasilkan penghargaan setelah
berperilaku yang diinginkan, seperti pemberian pujian, bonus atau
penghargaan (Robbins, 2007: 490).
29
Universitas Sumatera Utara
b. Avoidance learning. Adalah penghilangan konsekuensi yang tidak
menyenangkan setelah berperilaku seperti yang diinginkan. Avoidance
learning kadangkala disebut penguatan negatif. Avoidance learning
terjadi ketika seorang pemimpin berhenti mengkritik dan menegur
bawahan pada saat perilaku tidak benar telah dihentikan (Sule &
Saefullah, 2008).
c. Hukuman (punishment). Adalah pembebanan dari hasil yang tidak
menyenangkan pada bawahan. Hukuman biasanya terjadi setelah
berperilaku tidak seperti yang diinginkan. Pemimpin berharap bahwa
hukuman yang diberikan akan mengurangi perilaku tersebut terulang
kembali (Daft, 2003).
d. Peniadaan (extinction) adalah penarikan penghargaan positif, yang berarti
bahwa perilaku tersebut tidak lagi memperoleh penguatan dan karenanya
kecil kemungkinan untuk terjadi di masa yang akan datang. Misalnya,
seorang pemimpin memberikan kebijakan memperbolehkan mendengar
radio saat bekerja, ternyata kebijakan ini menyebabkan produktivitas
bawahan menurun, maka pemimpin meniadakan kembali kebijakan ini
untuk mengembalikan produktivitas kerja bawahan( Sule & Saefullah,
2008).
Menurut Mangkunegara (dalam Nursalam, 2002), terdapat beberapa prinsip-
prinsip dalam motivasi kerja bawahan, yaitu:
a. Prinsip Partisipatif. Dalam upaya memotivasi kerja, bawahan perlu
diberikan kesempatan ikut berpartisipasi dalam menentukan tujuan yang
akan dicapai oleh pemimpin.
30
Universitas Sumatera Utara
b. Prinsip komunikasi. Pemimpin mengkomunikasikan segala sesuatu yang
berhubungan dengan usaha pencapaian pekerjaan. Dengan informasi yang
jelas bawahan akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.
d. Prinsip mengakui andil bawahan. Pemimpin mengakui bahwa bawahan
mempunyai andil di dalam usaha pencapaian tujuan. Dengan pengakuan,
bawahan akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.
e. Prinsip pendelegasian wewenang. Pemberian wewenang kepada bawahan
akan memberikan kesempatan kepada bawahan dalam mengambil sebuah
keputusan, menjadi lebih bertanggung jawab dan lebih memotivasi
bawahan untuk bekerja lebih baik dan tepat waktu dalam penyelesaian
pekerjaan.
f. Prinsip memberi perhatian. Pemimpin memberikan perhatian terhadap apa
yang diinginkan bawahannya, dan bawahan akan termotivasi bekerja
sesuai dengan harapan pemimpin.
Memotivasi bawahan merupakan tanggung-jawab para pemimpin.
Terdapat teori-teori yang membimbing pemimpin untuk mengetahui apa yang
dapat memotivasi individu dan untuk menerapkan perilaku kepemimpinan
yang tepat, yang akan meningkatkan kemungkinan untuk dapat memotivasi
orang agar mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya (Monica, 1998). Pada
penelitian ini, peneliti akan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi bawahan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan (needs) yang diambil
dari teori motivasi Abraham Maslow.
31
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Teori motivasi menurut Abraham Maslow
Teori Hirarki Kebutuhan (hierarchy of needs theory) dari Maslow
menyatakan bahwa manusia dimotivasi oleh berbagai kebutuhan yang sangat
tergantung dari kepentingan individu (Daft, 2003). Adapun dasar teori
motivasi hirarki kebutuhan Maslow yaitu:
a) Manusia adalah mahluk sosial yang berkeinginan; ia selalu menginginkan
lebih banyak. Keinginan ini terus menerus, baru berhenti jika akhir
hayatnya tiba.
b) Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi alat motivasi bagi
pelakunya, hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang menjadi alat
motivasi.
Kebutuhan manusia diklasifikasi menjadi lima hierarki kebutuhan yaitu :
a. Kebutuhan Fisiologis (physiological needs)
Kebutuhan fisik manusia yang paling dasar disebut juga kebutuhan untuk
mempertahankan hidupnya (Robbins, 2007: 483). Hal-hal yang termasuk
kebutuhan fisiologis yaitu sandang, pangan, air, udara, seks, istirahat dan
tempat tinggal. Dalam rancangan organisasi ini direfleksikan sebagai
kebutuhan atas cakupan, panas, udara dan gaji pokok yang layak untuk
menjamin kelangsungan hidup dan adanya jaminan kesehatan (Monica,
1998: 55). Keinginan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis ini merangsang
seseorang berperilaku dan bekerja giat. Kebutuhan fisiologis ini termasuk
kebutuhan utama, tetapi merupakan kebutuhan yang bobotnya paling
rendah (Hasibuan, 2005: 224).
32
Universitas Sumatera Utara
b. Kebutuhan Keamanan (safety needs)
Hersey & Blanchard (1977) dalam Monica (1998: 56) mendefenisikan
kebutuhan keamanan sebagai pelibatan dengan pemeliharaan diri di tempat
kerja. Perlindungan terhadap trauma fisik dalam lingkungan adalah suatu
kebutuhan keamanan. Kebutuhan keamanan merefleksikan kebutuhan
akan keselamatan kerja dan merasa terbebas dari kecelakaan kerja,
keamanan kerja dalam pengoperasian alat-alat canggih, penerangan di
tempat kerja, kebebasan dari tekanan yang terus-menerus, tunjangan
tambahan, dan jaminan kerja (Daft, 2003). Kebutuhan akan keamanan harta
di tempat pekerjaan pada waktu jam-jam kerja, misalnya motor yang di
parkir jangan sampai hilang. Tempat kerja yang baik dan nyaman juga akan
meningkatkan motivasi kerja bawahan sehingga akan meningkatkan
kepuasan kerja dan kinerja bawahan (Hasibuan, 2005: 224).
c. Kebutuhan sosial (social needs)
Hersey & Blanchard (1977, dalam Monica, 1998) secara kuat
mengekspresikan kebutuhan sosial sebagai hubungan interpersonal yang
berarti. Kebutuhan-kebutuhan sosial melibatkan suatu proses interaksi
berupa komunikasi terapeutik kepada pasien yang sifatnya membantu
kesembuhan pasien (Monica, 1998). Contoh lain dari suatu tingkat
kebutuhan sosial adalah mereka yang menikmati bekerja bersama dalam
kelompok-kelompok dan tim-tim, menganggap lingkungan kerja sebagai
situasi sosial, mengajak orang untuk merasa menjadi bagian dari kelompok
kerja, partisipasi dalam kelompok kerja, dan hubungan positif dengan
pemimpin (Daft, 2003).
33
Universitas Sumatera Utara
Manusia pada dasarnya selalu ingin hidup berkelompok dan tidak seorang
pun manusia ingin hidup menyendiri di tempat terpencil. Karena manusia
adalah mahluk sosial, sudah jelas ia menginginkan kebutuhan-kebutuhan
sosial. Hasibuan (2005: 225) menjelaskan kebutuhan sosial yang terdiri dari
empat kelompok, yaitu:
1. Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan ia
hidup dan bekerja (sense of belonging).
2. Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa
dirinya penting (sense of importance). Serendah-rendahnya pendidikan
dan kedudukan seseorang ia tetap merasa dirinya penting. Karena itu
dalam memotivasi bawahan pemimpin harus dapat melakukan tindakan
yang menimbulkan kesan bahwa tenaga mereka diperlukan dalam proses
pencapaian tujuan organisasi.
3. Kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal (sense of achievement).
Setiap orang senang akan kemajuan dan tidak seorang pun yang
menyenangi kegagalan. Kemajuan di segala bidang merupakan
keinginan dan kebutuhan yang menjadi idaman setiap orang.
4. Kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participating). Setiap
bawahan akan merasa senang, jika ia diikutsertakan dalam berbagai
kegiatan organisasi dalam arti diberi kesempatan untuk mengemukakan
saran-saran, pendapat-pendapatnya kepada pemimpin mereka.
d. Kebutuhan harga diri (esteem of needs)
Esteem of needs adalah kebutuhan akan penghargaan diri, pengakuan serta
penghargaan prestise dari pimpinan ataupun dari rekan kerjanya. Idealnya
34
Universitas Sumatera Utara
prestise timbul karena adanya prestasi, tetapi tidak selamanya demikian.
Akan tetapi perlu diperhatikan oleh pimpinan bahwa semakin tinggi
kedudukan seseorang dalam jabatan organisasi maka semakin tinggi pula
prestisenya.
Maslow mengidentifikasi dua jenis kebutuhan harga diri yaitu:
1) Keinginan untuk pencapaian sesuatu, kompetensi dan menguasai
kegiatan-kegiatan professional, keyakinan diri, kemandirian dan
kebebasan.
2) Keinginan untuk berwibawa, status, reputasi dan penghargaan, menerima
pekerjaan yang menantang dan pengakuan akan prestasi (Monica, 1998:
57). Orang-orang yang memiliki kebutuhan harga diri mencari
pemenuhannya dengan secara jelas dan secara samar meminta untuk
diperhatikan (Robbins, 2007: 483). Mereka mungkin ingin dikatakan
bahwa mereka adalah perawat super, bahwa mereka selalu menjalankan
tanggung-jawab mereka, bahwa mereka dapat diandalkan dan
sebagainya (Monica, 1998: 57).
e. Kebutuhan Aktualisasi Diri (self-actualization needs)
Kebutuhan ini merupakan tingkatan tertinggi. Menjadi kebutuhan
mendesak apabila semua kebutuhan lain telah terpenuhi. Ini melibatkan
harapan seseorang untuk mencapai potensi yang paling penuh (Monica,
1998: 58). Douglas (1980, dalam Monica, 1998: 58) memberikan
karakteristik pegawai yang telah memiliki aktualisasi diri sebagai mereka
yang menemukan arti dan pertumbuhan pribadi dalam pekerjaan; mereka
secara aktif mencari tanggung-jawab baru, bekerja didasari dengan
35
Universitas Sumatera Utara
kemampuan, kecakapan, ketrampilan, dan potensi optimal untuk mencapai
prestasi kerja yang sangat memuaskan atau luas biasa yang sulit dicapai
orang lain (Hasibuan, 2005: 226) dan menerima pekerjaan sebagai bermain,
melaksanakan tugas sebagai sesuatu yang menyenangkan (Robbins, 2007:
483) (Swanburg, 2000: 293). Orang dengan tingkat kebutuhan pada tingkat
aktualisasi diri lebih menghargai waktu, menghargai sesama manusia dan
mempunyai rasa yang kuat pada kebenaran dan kesalahan, pada kebaikan
dan kejelekan. Selanjutnya, orang-orang ini mendorong diri sendiri
(dorongan instrinsik) dan bukan mencari dorongan dari orang lain
(dorongan ekstrinsik). Dorongan ekstrinsik menunjukkan karakteristik
orang pada tingkat harga diri.
Orang-orang yang mengaktualisasi diri akan menyelesaikan, menjelaskan
apa yang perlu kepada pemimpin, dan kemudian melanjutkan tanggung-
jawabnya. Mereka akan menggantungkan diri, saling tergantung atau
mandiri sesuai dengan arah mereka sendiri dan sesuai dengan tuntutan
situasi. Seorang perawat pada tingkat ini akan berusaha keras untuk
menolong diri dan orang lain dalam lingkungan itu tanpa harus diberi tahu
(Monica, 1998: 58). Mereka berupaya menjadi seseorang yang seharusnya.
Perawat ingin menjadi segala macam yang mereka dapat, untuk mencapai
potensi, untuk menjadi perawat yang berguna, mempertimbangkan menjadi
kreatif dan memenuhi standar penampilan seseorang. Menurut Hasibuan
(2005: 226) kebutuhan aktualisasi diri berbeda dengan kebutuhan lain
dalam dua hal, yaitu:
36
Universitas Sumatera Utara
1. Kebutuhan aktualisasi diri tidak dapat dipengaruhi dari luar.
Pemenuhannya hanya berdasarkan keinginan atas usaha individu itu
sendiri.
2. Aktualisasi diri berhubungan dengan pertumbuhan seorang individu.
kebutuhan ini berlangsung terus-menerus terutama sejalan dengan
meningkatnya jenjang karir seorang individu.
Hasibuan (2005: 226) menjelaskan bahwa pentingnya pemimpin
mengenal karakteristik kebutuhan bawahan berdasarkan teori hierarki
kebutuhan Maslow karena teori ini:
a) Teori ini memberikan informasi bahwa kebutuhan manusia itu jamak
(material dan nonmaterial) dan bobotnya bertingkat pula.
b) Pemimpin mengetahui bahwa seseorang berperilaku atau bekerja adalah
untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan (material dan nonmaterial)
yang akan memberikan kepuasan baginya.
c) Kebutuhan manusia itu berjenjang sesuai dengan kedudukan atau sosial
ekonominya. Seseorang yang berkedudukan rendah (sosial ekonomi
lemah) cenderung dimotivasi oleh material, sedang orang yang
berkedudukan tinggi cenderung dimotivasi oleh nonmaterial.
d) Pemimpin akan lebih mudah memberikan alat motivasi yang paling
sesuai untuk merangsang semangat bekerja bawahannya
2.2.6. Indikator motivasi
Sesuai dengan diagram Hirarki kebutuhan Maslow, Monica (1998)
menyebutkan pengukuran motivasi meliputi 5 aspek motivator yang meliputi
aspek-aspek :
37
Universitas Sumatera Utara
a. Kebutuhan fisiologis
b. Kebutuhan keamanan
c. Kebutuhan sosial
d. Kebutuhan Harga diri
e. Kebutuhan aktualisasi diri
Kepala perawat dapat menggunakan teori Maslow untuk mendiagnosa
tingkat kematangan sistem dalam menyelesaikan masalah tertentu (Monica,
1998: 55).
2.2.7. Hubungan kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja
perawat pelaksana
Perilaku kepemimpinan ditentukan oleh pemimpin itu sendiri, sehingga
jika kepemimpinan yang diterapkan baik dan dapat memberikan arahan yang
baik kepada bawahan, maka akan timbul kepercayaan dan menciptakan
motivasi kerja dalam diri pegawai, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai
(Fahmi, 2009). Proses motivasi dalam kegiatan pemimpin dimulai dari
1) pemimpin menunjukkan jalan (strategi) terhadap pencapaian tujuan
organisasi, 2) pemimpin mengkaji (mendiagnosa) kebutuhan internal
bawahan, 3) bawahan bersikap atau bertindak dengan mengikuti jalan yang
akan memuaskan kebutuhannya, 4) bawahan mencapai tujuan organisasi dan
menerima imbalan, pemenuhan kebutuhan pegawai meningkatkan kepuasan
kerja, 5) pemimpin berhasil dalam mencapai tujuan organisasi (Monica 1998).
Seorang kepala perawat menjalankan perannya sebagai seorang
pemimpin, bertanggung-jawab memotivasi bawahan dalam mencapai tujuan-
tujuan organisasi. Dengan menggunakan teori motivasi untuk mencapai tujuan
38
Universitas Sumatera Utara
ini, pertama-tama kepala perawat perlu mengkaji kekuatan motif tertinggi dari
perawat pelaksana, dan kemudian menentukan tujuan yang akan secara
langsung memuaskan kebutuhan pribadi perawat pelaksana. Kepala perawat
memberikan pemenuhan kebutuhan perawat pelaksana, bila pemenuhan
kebutuhan terpenuhi maka akan mempengaruhi motivasi kerja, sehingga
kepala perawat dapat meningkatkan motivasi kerja perawat pelaksana (Monica
1998).
39
Universitas Sumatera Utara