BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Multi Drug Resistance ...eprints.umm.ac.id/57172/6/BAB 2.pdf · 6 BAB 2...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Multi Drug Resistance ...eprints.umm.ac.id/57172/6/BAB 2.pdf · 6 BAB 2...
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB)
2.1.1 Definisi
Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB) disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap setidaknya dua obat anti
tuberkulosis yang paling efektif, yaitu Isoniazid dan Rifampisin (Lönnroth,
2015). WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2015 terdapat sekitar 480.000
kasus baru MDR TB (Pontali et al, 2017). Resistensi terhadap anti tuberkulosis
merupakan kejadian alami yang umumnya terjadi akibat dari terapi yang tidak
adekuat dan tidak selesai (Ahmed et al, 2016).
Pada pasien MDR-TB, diberikan pengobatan obat anti tuberkulosis lini
kedua atau obat cadangan. Namun, obat lini kedua ini tidak sekuat dan seefektif
obat lini pertama dan efek samping yang disebabkan lebih banyak.
Diagnosis MDR-TB dapat dipastikan dengan uji resistensi dari
laboratorium. Semua suspek MDR-TB diperiksa dahaknya dan selanjutnya
akan dilakukan pemeriksaan kultur dan uji resistensi. Jika hasil dari kedua
pemeriksaan tersebut terdapat bakteri Mycobacterium tuberculosis yang kebal
atau resisten minimal terhadap isoniazid dan rifampisin, maka dapat ditegakkan
diagnosis MDR-TB.
Berdasarkan identifikasi resistensi obat TB yang dilakukan di Indonesia,
penyebab terjadinya resistensi obat antara lain : (1) implementasi DOTS rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain yang masih rendah kualitasnya (2)
peningkatan ko-infeksi TB-HIV; (3) sistem surveilans yang lemah, dan (4)
7
penanganan kasus TB resisten obat yang belum memadai (Kementerian
Kesehatan RI, 2013).
Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran oleh Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, paduan obat standar untuk MDR-
TB di Indonesia adalah minimal 6 bulan fase intensif pengobatan dengan
pirazinamid, etambutol, kanamisin, levofloksasin, etionamid, dan sikloserin
yang kemudian dilanjutkan pengobatan fase lanjutan dengan obat pirazinamid,
etambutol, levofloksasin, etionamid, dan sikloserin selama 18 bulan.
Pirazinamid dan etambutol tidak termasuk obat paduan standar, namun dapat
diberikan pada pengobatan MDR-TB. Namun, bila telah terbukti terdapat
resistensi, maka etambutol tidak diberikan.
Masalah utama yang muncul pada pasien MDR-TB adalah sulitnya
pengobatan, tingginya kematian, biaya yang mahal dan berpotensi menularkan
basil resisten kepada orang lain. Angka kematian yang lebih banyak
dikarenakan oleh factor penjamu (host), dimana penderita MDR-TB
mengalami penurunan daya tahan tubuh yang dapat disebabkan oleh asupan
gizi tidak seimbang dan kuantitas yang kurang dan kondisi metabolism tubuh
yang tidak baik. Disamping itu, kurangnya kebersihan diri juga berakibat
mudahnya faktor peneyebab penyakit (agent) lain masuk ke dalam tubuh
sehingga menyebabkan infeksi tambahan (co-infections) semakin
memperburuk kondisi fisik (Mulyanto, 2014).
2.1.2 Pengobatan MDR-TB
Mikrobakteri secara intrinsik resisten .terhadap sebagian besar antibiotik.
Sel mikrobakteri juga bersifat dorman, oleh karena itu bakteri banyak
8
mengalami resisten terhadap banyak obat atau hanya dapat dimatikan secara
lambat. Adanya resistensi dari bakteri tersebut, maka diperlukan kombinasi dua
atau lebih obat untuk mengatasi hambatan dan mencegah resistensi selama
pengobatan tak terkecuali pada kasus MDR-TB.Terapi MDR-TB harus
diberikan selama beberapa bulan hingga beberapa tahun. Obat MDR-TB yang
biasa digunakan yakni obat lini kedua atau Second Line Drug (Katzung, 2013).
Kriteria Obat MDR-TB berdasarkan data biological dibagi menjadi 3
kelompok, yakni :
1. Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan
pirazinamid yang bekerja pada pH asam.
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon.
3. Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS
(PDPI, 2006).
Cara yang rasional untuk memilih obat anti-TB secara tepat adalah
menggunakan obat dari yang paling kuat efek bakterisidnya dengan toksisitas
paling rendah sampai yang paling lemah dengan toksisitas paling tinggi.
Pemilihan obat untuk kasus MDR TB antara lain menggunakan obat lini I jika
masih efektif, satu obat injeksi, mempergunakan obat golongan flurokuinolon,
menggunakan obat untuk kelompok 4 (lini II oral) sampai diperoleh empat jenis
obat yang efektif, dan obat kelompok 5 untuk memperkuat regimen atau saat
sebelum diperoleh empat jenis obat yang efektif dari kelompok sebelumnya
(Mondero & Caminero, 2010).
Pengobatan MDR-TB terdiri atas dua fase, fase intensif dan fase lanjutan.
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi
9
(kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan setidaknya selama enam bulan
atau empat bulan setelah konversi biakan. Sementara fase lanjutan adalah fase
setelah injeksi dihentikan, yang berlangsung minimal selama 18 bulan setelah
konversi biakan (Nawas, 2010) (PDPI, 2011).
Menyusun rejimen OAT untuk MDR-TB memiliki berbagai tantangan,
dipersulit dengan keterbatasan pilihan obat disertai dengan toksisitas yang lebih
besar dan kurangnya efektivitas terapi. Penggunaan obat kombinasi merupakan
suatu keharusan untuk mencegah timbulnya resistensi lebih lanjut. Resistensi
silang juga perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat saat menyusun rejimen
pengobatan MDR-TB. Saat ini terdapat 3 strategi terapi yang direkomendasikan
WHO yaitu terapi standar, terapi empiris, terapi individual (Wiratmoko, 2015).
Terapi standar adalah pemberian obat sesuai panduan yang berlaku sama
untuk semua pasien dalam suatu daerah. Panduan obat terapi standar mengacu
disusun oleh pihak yang berwenang berdasarkan data surveilans resistens obat
pada populasi sehingga setiap pasien mendapatkan rejimen obat yang sama
walaupun data uji kepekaan obat secara individual tidak tersedia. Terapi jenis
ini memudahkan penanganan MDR-TB di daerah tidak memiliki akses yang
cukup terhadap uji kepekaan obat. Namun demikian, setiap kasus suspek TB-
MDR hendaknya diupayakan untuk dapat dipastikan dengan uji kepekaan obat
(Wiratmoko, 2015).
Terapi empiris adalah pemberian rejimen secara individual berdasarkan
riwayat OAT sebelumnya dengan mempertimbangkan data uji kepekaan obat
dari populasi yang sama. Jika data uji kepekaan obat pasien tersebut sudah
tersedia maka dianjurkan untuk melakukan penyesuaian rejimen terapi sesuai
10
uji kepekaan tersebut. Terapi ini juga dapat diterapkan pada daerah yang
memiliki akses uji kepekaan obat yang terbatas. Terapi empiris dapat diberikan
pada kasus suspek MDR-TB sementara menunggu hasil uji kepekaan obat
pasien karena penundaan dimulainya terapi dapat meningkatkan risiko
morbiditas, mortalitas serta menurunkan angka keberhasilan pengobatan
(Wiratmoko, 2015).
Terapi individual pemberian rejimen disusun untuk setiap pasien
berdasarkan riwayat OAT sebelumnya serta hasil uji kepekaan obat
masingmasing pasien. Mengingat lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan hasil uji kepekaan obat, terapi individual dapat sebelumnya
diawali oleh terapi standar atau terapi empiris. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan keberhasilan terapi, mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas.
Ketiga terapi ini tetap harus mengikuti prinsip umum penyusunan rejimen terapi
MDR-TB. Kasus suspek MDR-TB sebaiknya dipastikan dengan uji kepekaan
obat jika memungkinkan (Wiratmoko, 2015).
Rejimen terapi terdiri dari sedikitnya 4 obat yang dipastikan atau hampir
pasti efektif. Jika bukti efikasi suatu obat tidak jelas, maka obat tersebut dapat
tetap masuk dalam rejimen terapi namun tidak dianjurkan menjadi andalan
keberhasilan terapi. Lebih dari 4 macam obat dapat digunakan pada permulaan
terapi jika data uji kepekaan obat belum tersedia, efektivitas suatu obat
diragukan, atau bila terdapat lesi paru yang luas dan bilateral. Pemilihan obat
sebaiknya mempertimbangkan riwayat OAT sebelumnya, hasil uji kepekaan
OAT baik lini pertama maupun lini kedua serta daftar obat-obatan yang umum
digunakan pada suatu daerah/negara tertentu. Uji kepekaan obat sebaiknya
11
menggunakan uji dengan reprodusibilitas dan realibilitas tinggi dari
laboratorium yang dapat dipercaya. Uji kepekaan obat beberapa OAT lini
pertama serta OAT lini kedua masih belum dapat diandalkan sepenuhnya
sehingga interpretasi terhadap hasil uji kepekaan obat-obat tersebut harus
dilakukan dengan hati-hati. Uji kepekaan obat juga tidak dapat memastikan
efikasi suatu obat ataupun sebaliknya (Wiratmoko, 2015).
Pemberian pirazinamid, etambutol dan fluorokuinolon sebaiknya
diberikan dalam dosis tunggal jika memungkinkan karena dianggap memiliki
efikasi yang lebih tinggi. Pemberian dosis tunggal juga dapat dilakukan untuk
obat lini kedua jika dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien kecuali untuk
etionamid/ protionamid, sikloserin dan PAS yang dianjurkan dalam dosis
terbagi guna mengurangi efek samping yang tidak diinginkan. Pada pasien yang
mendapatkan sikloserin harus ditambahkan piridoksin (vitamin B6) dengan
dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin (Wiratmoko, 2015).
Dari 5 kelompok OAT yang ada, rejimen terapi individual sebaiknya
mengikutsertakan OAT kelompok 1 yang masih sensitif atau diduga efektif (lini
pertama). Salah satu OAT injeksi pada kelompok 2, ditambahkan dengan salah
satu fluorokuinolon serta OAT kelompok 4 sampai tercukupi minimal
kebutuhan 4 macam obat yang dipastikan atau hampir pasti efektif pada pasien.
Obat pada kelompok 5 tidak digunakan untuk MDR-TB dan hanya untuk kasus
TB-XDR (extensively-drug resistant).
12
Tabel 2.1 Langkah-Langkah Penyusunan Rejimen Terapi MDRTB
Langkah Terapi Keterangan
Langkah I Menggunakan OAT lini
pertama yang biasa
digunakan Kelompok I
Pirazinamid
Etambutol
Memulai dengan OAT lini
pertama yang masih sensitive
atau hampir pasti efektif
Bila kemungkinan resisten
tinggi, sebaiknya tidak
digunakan
Hati-hati menginterpretasikan
uji kepekaan obat
Langkah 2 Ditambah dengan kelompok
2 OAT injeksi
Kanamisin (atau amikasin,
kapreomisin, streptomisin)
Penambahan dilakukan
berdasarkan uji kepekaan dan
riwayat pengobatan
sebelumnya
Penggunaan streptomisin
hendaknya dihindari walaupun
uji kepekaan obat masih
sensitive karena tingginya
angka resisten pada berbagai
galur MDR-TB dan toksisitas
yang lebih tinggi
Langkah 3 Ditambah dengan kelompok
3:
Florokuinolon
Levofloksasin
Moksifloksasin
Ofloksasin
Penambahan florokuinolon
berdasarkan uji kepekaan obat
dan riwayat pengobatan
sebelumnya.
Pada kasus dengan resisten
ofloksasin atau TB XDR dapat
menggunakan florokuinolon
generasi yang lebih baru tetapi
bukan sebagai obat andalan.
Langkah 4 Pilih salah satu atau lebih
obat kelompok 4:
Bakteriostatik oral lini kedua
asam para-aminosalisilat
(PAS), sikloserin (atau
terizadone), etionamid (atau
protionamid)
Tambahkan obat kelompok 4
sampai tercukupi kebutuhan
minimal 4 macam obat yang
efektif atau hampir pasti efektif
Pilihan obat berdasarkan
riwayat pengobatan
sebelumnya, efek samping dan
biaya
Uji kepekaan obat bukan
merupakan standar untuk
pemilihan obat kelompok ini
Langkah 5 Pertimbangkan penambahan
obat kelompok 5 : obat-
obatan yang belum jelas
Penambahan obat kelompok 5
hendaknya berkonsultasi lebih
dahulu dengan ahli MDR-TB
dan dilakukan bila kebutuhan
13
diketahui efektivitasnya
dalam terapi MDR-TB
Klofazamin
Linezolid
Amoksisilin/klavulanat
Tiosetazon
Imipenem/silastatin
Isoniazid dosis tinggi
Klaritromisin
minimal 4 macam obat belum
terpenuhi dari 4 langkah
sebelumnya.
Penambahan obat kelompok 5
sebaiknya lebih dari 1,
sekurang-kurangnya 2 macam.
Uji kepekaan obat bukan
merupakan standar pemilihan
obat.
Obat ini tidak diberikan pada
terapi MDR-TB. (Wiratmoko, 2015).
Pada pengobatan MDR-TB, obat anti tuberkulosis dibagi menjadi
beberapa kelompok sesuai dengan khasiat, pengalaman penggunaan, dan kelas
obat seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.2 Obat-obat yang digunakan untuk Tuberkulosis resisten OAT
Jenis Sifat Efek Samping
Golongan 1 : OAT Lini
Pertama oral
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout artritis.
Etambutol Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna,
neuritis perifer Golongan 2 : OAT
suntikan
Kanamycin (Km) Bakterisidal Km, Am, Cm, memberikan efek samping yang serupa seperti pada
penggunaan Streptomisin
Amikacin (Am) Bakteriostatik
Capreomycin (Cm) Bakterisidal
Golongan 3 :
Fluorokuinolon
Levofloksasin (Lfx) Bakterisidal Mual, muntah, sakit kepala, pusing,
sulit tidur, ruptur tendon (jarang)
Moksiflokasin (Mfx) Bakterisidal Mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, nyeri sendi, ruptur tendon
(jarang)
Golongan 4 : OAT lini kedua oral
Para-aminosalicylic Acid
(PAS)
Bakteriostatik Gangguan gastrointestinal, gangguang
fungsi hati dan pembekuan darah
(jarang), hipotiroidisme yang reversible
Cyloserine (Cs) Bakteriostatik Gangguan sistem saraf ppusat : sulit
konsentrasi dan lemah, depresi, bunuh diri, psikosis. Gangguan lain adalah
14
(Kemenkes RI, 2014).
2.1.3 Pirazinamid (PZA/Z)
Pirazinamid merupakan analog pirazin sinteteik dari nikotinamida
(Goodman & Gilman, 2012). Pirazinamid merupakan turunan dari asam
pyrazinoic yang telah teroksidasi dari xanthine oxidase menjadi 5-hydroxy
pyrazinoic acid (Ramappa, 2012). Pirazinamid memiliki kestabilan, sedikit larut
dalam air, inaktif pada pH netral tetapi pada pH 5,5 obat ini bisa menghambat
basil tuberkel pada konsentrasi sekitar 20 mcg/mL (Katzung, 2014). Pirazinamid
membunuh basilus tuberkulum yang terletak pada fagosom asam di dalam
makrofag. Resistensi berkembang jika pirazinamid digunakan secara tunggal.
Pirazinamid diabsorbsi baik dari saluran GI dan terdistribusi luas di seluruh
tubuh, termasuk SSP, paru, dan hati (Goodman & Gilman, 2012). Obat ini
diserap oleh makrofag dan memiliki aktifitas terhadap mikobakteri yang berada
dilingkungan asam lisosom (Katzung, 2014). Waktu paruh plasma sebesar 9-10
jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Obat diekskresikan terutama
melalui filtrasi glomerulus. Pirazinamid dihidrolisis menjadi asam pirazinoat
dan kemudian dihidroksi menjadi asan 5-hidroksipirazinoat. (Goodman &
Gilman, 2012)
neuropati perifer, Stevens Johnson
Syndrome. Ethionamide (Etio) Bakteriosidal Gangguan gastrointestinal, anoreksia,
gangguan fungsi hati, jerawatan,
rambut rontok, ginekomasti, impotensi,
gangguan siklus menstruasi, hipotiroidisme yang reversible.
Golongan : Obat yang masih belum jelas manfaatnya dalam pengobatan TB
resistan obat. Clofazimine (Cfz), Linezolid (Lzd), Amoxicilin/ Clavulanate (Amx/Clv),
Thioacetazone (Thz), Imipenem/ Cilastatin (Ipm/Cln), Isoniazid dosis tinggi (H),
Clarithromycin (Clr), Bedaquilin (Bdq).
15
(Ying zhang,2013)
Gambar 2.4
Struktur Kimia Pirazinamid (PZA)
Pirazinamid merupakan komponen penting dalam terapi berbagai obat
untuk tuberkulosis dalam jangka pendek. Dosis harian untuk dewasa adalam
15-30 mg’kg untuk dosis tunggal. Dosis maksimum adalah 2 g/hari, tanpa
memperhatikan berat badan. Pirazinamid aman dan efektif jika diberikan dua
atau tiga kali seminggu (Goodman & Gilman, 2012). Toksisitas pirazinamid
akan meningkat pada pemberian dosis 40-50 mg/kgBB yang dibuktikan
dengan angka kejadian hepatotoksik yang meningkat daripada dosis yang
biasa digunakan yaitu 25-35 mg/kgBB. Pada murine model ditemukan bahwa
penggunakan pirazinamid akan menurunkan aktivitas enzim CYP450 dan
meningkatkan level NAD yang disesbakan adanya radikal bebas pada
kerusakan hepar (Ramappa,2012).
16
(Khabib, 2016)
Gambar 2.5
Sediaan Pirazinamid
Cara kerja obat piraziamid yakni diubah menjadi asam pirazinoat oleh
pirazinamidase mikobakteri, yang disandi oleh pnA. Target spesifik obat ini
belum diketahui, tetapi asam pirazinoat mengganggu metabolisme membran sel
mikobakteri dan fungsi transpornya. Resistensi mungkin disebabkan oleh
gagguan penyerapan pirazinamid atau mutasi di pncA yang menghambat
perubahan menjadi bentuk aktifnya (Katzung, 2014).
Zat metabolite hasil metabolisme pirazinamide di hepar diekskresikan
melalui ginjal. Waktu paruh pirazinamid lebih panajang dibandingkan dengan
isoniazid dan rimfapicin, dan lebih panjang pada pasien dengan riwayat paruh
pirazinamid juga diperpanjang dengan penggunaan obat-obatan dengan
mekanisme kerja menginhibisi enzim xantine oxidase seperti allopurinol
(Ramappa,2012). penyakit hepar sebelumnya. Waktu Luka hepatik merupakan
efek samping yang paling serius dari pirazinamid. Sebelum menggunakan
pirazinamid, semua pasien harus menjalani uji fungsi hati, yang sebaiknya
dilakukan berulang kali dalam interval yang sering. Jika terdapat bukti
terjadinya kerusakan hati yang signifikan, terapi harus dihentikan. Pirazinamid
17
tidak boleh diberikan pada pasien yang memiliki disfungsi hati pada tingkat
apapun kecuali obat ini tidak dapat digantikan. Pirazinamid menghambat
ekskresi asam urat, jarang memicu serangan akut pirai. Efek merugikan lainnya
mencakup atralgia, mual dan mutah, disuria, rasa tidak enak, dan demam.
(Goodman & Gilman, 2012). Banyaknya efek samping pada penggunaan
pirazinamid bukan menjadi alasan untuk tidak meneruskan pengobatan karena
pirazinamid merupakan obat lini pertama (Katzung, 2014).
2.1.4 Levofloxacin (Lfx)
Levofloksasin adalah antibakteri sintetik golongan florokuinolon yang
merupakan isomer dari ofloksasin dan memiliki aktivitas antibakteri dua kali
lebih besar dari ofloksasin. Levofloksasin memiliki efek antibacterial spektrum
luas, aktif terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negative termasuk
bakteri anaerob (Colucci, A, 2011).
Florokuinolon merupakan tambahan penting bagi obat-obat untuk
tuberculosis, khususnya untuk galur yang resisten terhadap obat lini pertama.
Resistensi yang mungkin timbul dari salah satu dari beberapa mutase titik
tunggal di subunit gyrase A, cepat timbul jika florokuinolon digunakan sebagai
obat tunggal, karena itu obat golongan ini harus dikombinasikan dengan dua
atau lebih obat aktif lain. Dosis levofloksasin adalah 500-700 mg sekali sehari
(Katzung, 2014).
Mekanisme kerja dari Levofloksasin adalah dengan menghambat enzyme
DNA-gyrase, sehingga mengakibatkan kerusakan rantai DNA. DNA-gyrase
(topoisomerase II) merupakan enzim yang sangat diperlukan oleh bakteri untuk
18
memelihara struktur superheliks DNA, juga diperlukan untuk replikasi,
transkripsi dan perbaikan DNA (APA, 2005).
Levofloksasin mengalami absorbsi yang cepat dan hampir sempurna
setelah pemberian secara oral, dimana konsentrasi maksimum dalam plasma
dicapai dalam waktu 1 sampai 2 jam. Bioavaibilitas absolut dari tablet
levofloksasin 500 mg dan 750 mg adalah sebsar 99% atau lebih besar. Konsumsi
levofloksasin bersamaan dengan makanan akan memperpanjang waktu untuk
mencapai konsentrasi maksimum hamper 1 jam dan akan mengurangi
konsentrasi plasma maksimum hampir 14% (Colucci, A, 2011).
(Colucci, A, 2011)
Gambar 2.6
Struktur Kimia Levofloksasin (Lfx)
Volume distribusi levofloksasin secara umum berkisar antara 74 sampai
112 L setelah pemberian dosis 500 atau 750 mg. Hal ini mengindikasikan bahwa
levofloksasin didistribusikan secara luas ke seluruh jaringan tubuh, termasuk
jaringan mukosa bronkial dan paru-paru. Levofloksasin berpenetrasi ke jaringan
paru dengan baik, dimana konsentrasi dalam jaringan paru-paru biasanya lebih
besar 2-5 kali daripada konsentrasi dalam plasma (Colucci, A, 2011).
Levofloksasin mengalami metabolisme terbatas dan diekskresikan
terutama melalui urine dalam bentuk yang tetap. Setelah pemberian secara oral,
19
hampir 87% dari dosis yang diberikan, ditemukan dalam bentuk tidak berubah
di urine dalam waktu 48 jam, kurang dari 4% ditemukan di feses dalam waktu
72 jam (Colucci, A, 2011). Efek sampingnya adalah diare, mual, kembung,
ruam, sakit perut, pusing, insomnia, gelisah, sembeli dan banyak lainnya
(Katzung, 2014). Pemeberian golongan floroquinolon pada pasen MDR-TB
dapat menyebabkan hepatotoksik melalui reaksi hipersensitivitas yang
diperantairai oleh eosinofil perifer dan reaksi inflamasi dengan salah satu
tandanya adalah demam (Ramappa,2012).
2.1.5 Etambutol (EMB/E)
Etambutol dalam pengobatan tuberkulosis diberikan sebagai
hidroklorida, biasanya dengan isoniazid, rifampisin,dan pirazinamid dalam
tahap 8-minggu awal dan dalam fase lanjutan. Hal ini diberikan secara oral
dalam dosis harian tunggal 15mg/kg, atau 30mg/kg tigakali seminggu. Dosis
awal etambutol 25 mg / kg setiap hari selama 60 hari dapat diberikan kepada
pasien yang memiliki sebelumnya memiliki terapi antimycobacterial, dikurangi
menjadi15 mg / kg sehari setelahnya (Martindale, 2009).
Mekanisme kerja sebagai alur Mycobacterium tuberculosis dan
microbacterium lain dihambat secara invitro oleh etambutol pada konsentrasi
sebesar 1-5 mcg/ml. Etambutol menghambat arabinose transferase
mikrobakterium, yang dikode oleh operon emb CAB. Arabinosil transferase
terlibat dalam reaksi arabinoglikan, suatu komponen esensial dari dinding sel
mikrobakterium. Resistensi terhadap etambutol terjadi akibat mutasi yang
menyebabkan ekspresi berlebih produk gen emb atau dalam gen structural amb
B (Katzung, 2012). Bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan
20
kuman TB yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin (Kemenkes,
2014).
(Katzung, 2014)
Gambar 2.7
Struktur Kimia Etambutol
Dinamika atau kinetika obat etambutol diabsorbsi baik dari usus dan
dengan baik memasuki eritrosit yang berfungsi sebagai depot, dan lambat laun
melepaskan kembali obat ke dalam plasma. Sekitar 20% obat ini dieksresikan
melalui tinja dan 50% di urin dalam bentuk utuh. Seperti semua obat
antituberkulosis lainnya, resistensi terhadap etambutol segera timbul jika obat
ini digunakan secara tunggal. Oleh sebab itu, etambutol selalu diberikan dalam
bentuk kombinasi dengan obat antituberkulosis lainnya (Katzung, 2014).
Efek samping yang paling sering terjadi adalah neuritis retrobulbar, uang
menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah-hijau
dan bersifat reversible bila pengobatan segera dihentikan, tetapi dapat
menimbulkan kebutaan bila pengobatan diteruskan. Pemeriksaan ketajaman
visual secara teratur sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar 25 mg/kg/hari
digunakan. Etambutol relatif dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda
dianjurkan untuk memeriksa mata secara periodic, terutama kepekaannya
terhadap warna hijau-merah. Etambutol tidak diberikan kepada anak dibawah 6
tahun karena tidak dapat menyampaikan reaksi yang mungkin timbul seperti
CH NH
CH2OH
C2H5
NH (CH2)2 C H
CH2OH
C2H5
21
gangguan penglihatan (Depkes RI, 2013). Etambutol juga meningkatkan kadar
asam urat dalam plasma akibat penurunan eksresinya oleh ginjal (Katzung,
2014).
(Khabib, 2016)
Gambar 2.8
Sediaan Ethambutol
Tabel 2.3 Penentuan Dosis OAT MDR-TB berdasarkan Kelompok Berat Badan
Pasien
(Reviono,2014)
2.2 Sitokin
Sitokin merupakan protein sistem imun yang mengatur interaksi antarsel dan
memicu reaktivasi imun, baik pada imunitas nonspesifik maupun spesifik. Sitokin
< 33 kg 33-50 kg 51-70 kg > 70 kg
Pirazinamid (Z) 20-30 mg/kg/hari 750-1.500 mg 1.500-1.750
mg
1.750-2.000
mg
Kanamisin (Km) 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1.000 mg 1.000 mg
Etambutol (E) 20-30 mg/kg/hari 800-1.200 mg 1.200-1.600
mg
1.600-2.000
mg
Kapreomisin (Cm) 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1.000 mg 1.000 mg
Levofloksasin (Lfx) 7,5-10 mg/kg/hari 750 mg 750 mg 750-1.000 mg
Moksifloksasin (Mfx) 7,5-10 mg/kg/hari 400 mg 400 mg 400 mg
Sikloserin (Cs) 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1.000 mg Etionamid (Eto) 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1.000 mg
PAS 150 mg/kg/hari 8 g 8 g 8 g
22
memiliki lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel. Selain itu, sitokin juga
sering berpengaruh terhadap sintesi dan efek sitokin lainnya (Baratawidjaja, 2014).
Sitokin adalah molekul protein kecil yang dapat meregulasi respon imunologis
dalam tingkat sel (Mihret et Abebe, 2013). Sitokin adalah protein yang diproduksi
oleh berbagai jenis sel (terutama limfosit yang teraktivasi, makrofag, dan sel
dendritic, namun juga dapat diproduksi oleh sel endotelial, epithelial, dan sel
jaringan ikat) yang dapat memperantarai dan meregulasi reaksi kekebalan tubuh
dan inflamasi (Kumar et al., 2015). Sitokin adalah protein yang di sintesis oleh sel
yang dapat mempengaruhi sel lainnya. Sitokin dapat sebagai mediator, pengatur
imunitas, inflamasi, hematopoesis. Sitokin bisa bereaksi secara sinergis dengan dua
atau lebih sitokin lain, bersama sama atau secara antagonis (Gustiani, 2014).
Sitokin dapat menstimulasi dan merekrut berbagai sel untuk terlibat dalam
proses imunitas dan inflamasi (Mihret et Abebe, 2013). Sitokin bekerja secara
22amper22opic, dimana sebuah sitokin memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi berbagai jenis sel yang berbeda dalam jumlah besar, dan didapatkan
bahwa beberapa sitokin memiliki efek fungsional yang sama (Mihret et Abebe,
2013). Sitokin lain memiliki efek kaskade, yang mana satu sitokin dapat
memanipulasi produksi dan mekanisme kerja sitokin yang lain. Sitokin juga
memiliki mekanisme kerja yang bersifat antagonis dimana jika terdapat dua sitokin
yang berbeda bekerja sama dengan sinergis, maka salah satu dari berbagai macam
sitokin akan memiliki efek kerja yang antagonis terhadap kedua sitokin tersebut.
Sitokin adalah nama umumnya, sedangakan nama lain dari sitokin antara lain
limfokin (sitokin yang dibentuk oleh limfosit), monokin (sitokin yang dibentuk
oleh monosit), kemokin (sitokin dengan aktivitas kemotaktik), dan interleukin
23
(sitokin yang dibentuk oleh satu leukosit dan bekerja pada leukosit yang lain).
Sitokin dapat bekerja pada sel yang mensekresikannya (autokrin), pada sel yang
berdekatan (parakrin), dan pada sel yang letaknya jauh atau secara endokrin
(Zhang,2011). Sitokin diproduksi oleh berbagai macam sel, akan tetapi produsen
sitokin yang utama adalah sel T pembantu (T helper cell) dan makrofag. Terdapat
sitokin proinflamasi dan sitokin antiinflamasi (Kaplan, 2017).
Sitokin berperan dalam sistem imunitas nonspesifik dan spesifik dan
mengawali, mempengaruhi dan meningkatkan respon imun nonspesifik. Sitokin
memiliki fungsi yang berbeda-beda. Sitokin-sitokin yang memodulasi terjadinya
inflamasi disebut sitokin-sitokin proinflamasi (Baratawijaya,2014). Sitokin
imunologi tipe 1 atau sel tipe Th1 yang meningkatkan respons imun seluler (IFN-
γ, TNF-α, TGF-β, IL-1, IL-2, IL-11, IL-12, IL-18). Sitokin Th-1 mengaktifkan
makrofag, membentuk sitokin pro inflamasi dan menginduksi mekanisme imun
efektor sitotoksik dari makrofag (Kusuma,2007). Di samping itu dikenal sitokin-
sitokin yang berfungsi dalam diferensiasi dan fungsi serta mengontrol sel sistem
imun dan jaringan. Beberapa contoh sitokin-sitokin tersebut yakni IL-10 dan TGF-
beta (Baratawidjaja, 2014).
Sitokin proinflamasi diproduksi mayoritas oleh makrofag yang teraktivasi dan
terlibat dalam regulasi reaksi inflamasi. Pada awalnya, sitokin proinflamasi akan
teraktivasi, tetapi pada saat yang bersamaan, sitokin antiinflamasi pun ikut
diaktifkan. Tissue necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) adalah
sitokin proinflamasi yang pertama kali dikeluarkan. TNF-α dan IL-1 telah terbukti
dikeluarkan dalam jumlah yang besar dalam satu jam dan memiliki efek lokal dan
sistemik (Kaplan, 2017).
24
Sitokin antiinflamasi adalah serangkaian molekul imunoregulator yang
mengontrol respon dari sitokin proinflamasi. Sitokin antiinflamasi utama seperti
antagonis reseptor IL-1, IL-4, IL-10, IL-11, dan IL-13. Reseptor sitokin
antiinflamasi spesifik untuk IL-1, TNF-α, dan IL-18 juga berfungsi sebagai
inhibitor untuk sitokin proinflamasi. Diantara semua sitokin antiinflamasi, IL-10
adalah sitokin yang memiliki sifat antiinflamasi yang poten, yang dapat menekan
ekspresi dari sitokin inflamasi lain seperti TNF-α, IL-6, dan IL-1 melalui makrofag
yang teraktivasi (Zhang, 2011).
2.2.1 Interferon Gamma (IFN-γ)
Interferon gamma (IFN-γ) di produksi oleh limfosit sel T helper dan
bekerja pada sel makrofag, sel endotel, fibroblast, sel T sitotoksik dan limfosit
B anti-viral (Kadar,2015). Interferon gamma di produksi berbagai sel sistem
imun merupakan sitokin utama MAC dan berperan utama dalam imunitas
nonsppesifik dan spesifik seluler (Baratawijaya,2014). Pengaruhnya
mengaktifkan makrofag untuk meningkatkan fagositosis dan kemampuan
membunuh sel tumor, meningkatkan pertumbuhan sel T sitolitik dan sel NK.
Aktivitas IFN-γ lainnya yakni meningkatkan presentasi antigen oleh makrofag,
mengaktifkan aktivitas lisosom di dalam makrofag, meningkatkan aktivitas
Th2, mempengaruhi sel normal untuk meningkatkan ekspresi molekul MHC
kelas I, mempromosikan adesi dan mengikat leukosit yang bermigrasi,
mempromosikan aktivitas sel NK dan mengaktifkan APCs, merangsang
diferensiasi Th1 dengan pengaturan transkripsi faktor T (Widjaja, 2010). IFN-γ
meregulasi ekspresi antigen MHC-1 dan menginduksi MHC kelas II. Dengan
25
diaktifkannya MHC kelas II pada sel endotel, sel tersebut menjadi peka terhadap
aksi sel T sitolitik spesifik kelas II (Kadar,2015).
Makrofag adalah sel imun innate, yang merupakan pertahanan pertama
dalam melawan serangan pathogen. Makrofag juga berperan penting dalam
homeostasis jaringan, koordinasi dari respon imun adaptif, inflamasi, dan
perbaikan jaringan. Diantara sistem fagosit mononuklear, makrofag adalah sel
yang paling banyak terdeferensiasi. Makrofag terdapat pada hati, paru, organ
limfoid, traktus gastrointestinal, sistem saraf pusat, tulang, synovial, serta kulit,
yang ikut serta dalam berbagai proses fisiologis maupun patofisiologis (Ross et
Auger, 2002).
Makrofag merupakan sistem pertahanan utama pada host terhadap serangan
yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, seperti bakteri, virus,
jamur, dan protozoa (Ross et Auger, 2002). Makrofag-makrofag terlibat dalam
pengenalan, fagositosis, dan penghancuran dari organisme. Selain itu, makrofag
juga terlibat dalam ekspresi antigen dan sekresi berbagai macam produk, seperti
enzim, inhibitor enzim, sitokin, kemokin, komponen komplemen, faktor
koagulasi, dan sebagai perantara pada asam arakidonat (Sauzullo, 2009).
Menariknya, terlepas dari sekresi sitokin atau kemokin, makrofag juga memberi
respon terhadap sitokin dan kemokin tersebut secara autokrin maupun parakrin,
sehingga bisa menimbulkan respon inflamasi (Baratawijaya,2014).
26
(Nature reviews Immunology 2011)
Gambar 2.9
Struktur Interferon Gamma
2.3 Jahe Merah ( Zingiber officinale Var. rubrum Theilade Varian Rubrum)
2.3.1 Deskripsi Jahe Merah
Zingiber officinale Var. rubrum Theilade atau yang umum dikenal dengan
sebutan jahe merupakan tanaman obat yang sering dibudidayakan di Indonesia.
Dalam bahasa Al-qur’an jahe dikenal dengan istilah zanjabil yang disebut-sebut
sebagai tanaman surga seperti yang tercantum dalam surat al-Insan ayat 17 :
yang berarti : “ Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas minuman
yang campurannya adalah jahe” (Marwat et al. 2015). Di Indonesia jahe
memiliki tiga varian yaitu jahe gajah, jahe emprit dan jahe merah. Akan tetapi
yang banyak digunakan sebagai tanaman obat adalah jahe merah karena
memiliki kandungan yang lebih berkualitas dibandingkan jenis jahe lainnya
(Iskandar et al. 2016).
Jahe merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara. Jahe telah dibudidayakan
selama ribuan tahun sebagai rempah-rempah dan jugauntuk tujuan pengobatan.
Selama tahun-tahun abad pertengahan, tanaman jahe dibawa ke kapal dari anak
benua India dan diperkenalkan ke berbagai belahan dunia. Saat ini, India dan
27
China adalah pemasok dominan ke pasar dunia. Jahe dibudidayakan di negara-
negara seperti India, China, Nigeria, Indonesia, Bangladesh, Thailand, Filipina,
Jamaika dan lain-lain. Jahe juga tumbuh di Australia, Fiji, Brasil, Jepang,
Inggris, Amerika Serikat dan Arab Saudi (Dhanik, 2017).
2.3.2 Klasifikasi Jahe Merah
Kingdom : Plantae
Superdivisi : Angiospermae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : Zingiber officinale Var. rubrum Theilade
2.3.3 Morfologi Jahe Merah
Rimpang jahe bisa diperoleh dari batang yang berada dibawah tanah yang
diselubungi daun dua tingkat. Rimpang jahe memiliki panjang sekitar 7-15 cm
dan lebar 1-1,5 cm. Cabang-cabang yang terbentuk dari rimpang bisa mencapai
1-3 cm (Ashraf, 2017).
Jahe merah merupakan tumbuhan tahunan dengan tinggi 50-100 cm.
Tumbuhan ini memiliki rimpang tebal bewarna coklat kemerehan. Daunnya
sempit berbentuk lanset dengan panjang 8-12 inci. Ujung daunnya runcing,
pangkal tumpul dan bertepi rata serta tumbuh menjauhi batang. Berbunga
majemuk dengan bentuk bulat telur, muncul dari rimpang, dengan panjang
tangkai 10-25 cm dan terdapat daun kecil pada dasar bunga. Mahkota bunga
28
bentuk corong, panjang 2-2,5 cm, berwarna ungu tua dengan bercak krem
kuning. Kelopak bunga kecil, berbentuk tabung dan bergerigi tiga (Azamet al,
2014).
(Aryanti , 2017)
Gambar 2.10
Rimpang Jahe Merah
Jahe merah merupakan salah satu dari tiga jenis keanekaragaman Zingiber
officinale Var. rubrum Theilade jenis lainnya adalah jahe putih besar dan jahe
putih kecil. Jahe putih memiliki besar rimpang yang lebih besar dan ruas
rimpangnya lebih menggembung dari kedua jenis jahe lainnya. Jahe putih kecil
ruasnya kecil agak rata dan sedikit menggembung, sedangkan jahe merah
rimpangnya bewarna merah dan lebih kecil dari jahe putih kecil (Fitriyah,2012).
2.4.4 Manfaat Jahe Merah
Jahe merah memiliki banyak kegunaan. Pada pengobatan tradisional China
dan India, jahe merah digunakan untuk mengatasi penyakit batuk, diare, mual,
asma, gangguan pernapasan, sakit gigi, dan artritis reumatoid, dyspepsia, dan
morning sickness (Fitriyah, 2012)
29
Beberapa penelitian juga sudah banyak dilakukan. Beberapa efek
farmakologi yang telah dimiliki oleh jahe merah diantaranya adalah efek
antioksidan, antimikroba, anticacing, antidiabetes, antiinflamasi, antiplatelet
agregasi, analgesik, antiangiogenik, antipiretik, immunomodulator,
hepatoprotektif, renoprotektif, gastroprotektif serta neuroprotektif (Dhanik,
2017).
Jahe merah bekerja sebagai antiinflamasi dengan cara menghambat
pembentukan prostaglandin, mengganggu kaskade inflamasi serta menghambat
kerja vanilloid nociceptor. Penelitian lain menjelaskan mekanisme jahe sebagai
antiinflamasi dengan cara menekan sitokin dan kemokin pro-inflamasi yang
diproduksi oleh leukosit. Jahe merah juga diketahui dapat menghambat
beberapa gen yang menginduksi terjadinya respon inflamasi dan memodulasi
pada pada jalur biokimia pada inflamasi kronis (Qin and Xu, 2008).
2.4.5 Nutrisi Jahe Merah
Jahe merah kaya akan kandungan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh. Jahe
kaya akan kandungan karbohidrat, vitamin ataupun mineral yang akan disajikan
dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.4 Nutrisi Jahe Merah
(Dhanik, 2017)
Constituent Ginger root (ground) Ginger root (Raw)
Energy 1404KJ(336Kcal) 333KJ (80Kcal)
Carbohydrates 71.6g 17.7g
Sugar 3.39g 1.7g
Dietry Fiber 14.1g 2.0g
Fat 4.24g 0.75g
Protein 8.98g 1.82g
30
Tabel 2.5 Vitamin Jahe Merah
Vitamins Ginger root(Ground) Ginger root(Raw)
Thiamine (B1) 0.046mg 0.025mg
Riboflavin (B2) 0.17mg 0.034mg
Niacin (B3) 9.62mg 0.75mg
Panthenic acid (B5) 0.477mg 0.203mg
Vitamin B6 0.626mg 0.16mg
Folate B9 13ug 11ug
Vitamin C 0.7mg 5mg
Vitamin E 0.0 0.26mg
(Dhanik, 2017)
Tabel 2.6 Kandungan Mineral Jahe Merah
Minerals Ginger root (Ground) Ginger root (Raw)
Calcium 114mg 16mg
Iron 19.8mg 0.6mg
Magnesium 214mg 43mg
Manganese 33.3mg 0.229mg
Phosphorus 168mg 34mg
Potassium 1320mg 415mg
Sodium 27mg 13mg
Zinc 3.64mg 0.34mg
(Dhanik, 2017)
2.4.6 Kandungan Kimia Jahe Merah
Jahe merah mengandung beberapa senyawa kimia yang memberikan rasa
dan bau yang khas pada jahe. Senyawa tersebut dikelompokkan menjadi dua
kelompok. Kelompok yang pertama adalah kelompok minyak volatil yang
terdiri dari senyawa hidrokarbon seperti zingeberene (35%), curcumin(10%),
dan farnestin (18%). Senyawa ini menciptakan sensasi bau yang khas pada jahe.
Kelompok kedua yakni kelompok non volatil yang terdiri dari senyawa
gingerols, shagaols, paradols, dan zingerone. Senyawa non volatile ini
menciptakan sensasi rasa pedas di mulut (Gupta and Sharma, 2014).
Semua bahan aktif utama jahe ini diketahui memiliki aktivitas anti oksidan.
Aktivitas antioksidan dalam jahe ini disebabkan oleh adanya senyawa polifenol
(6-gingerol dan turunannya). Konstituen utama jahe adalah minyak volatile
31
(zingiberene, curcumene, farnesene, zingiberol, D-kamper), shogaols,
diarylheptanoids, gingerols, paradol, zerumbone, 1-Dehydro- (10) gingerdi-
satu, terpenoid dan flavonoid. Jahe juga mengandung minyak atsiri sekitar 1%
sampai 3% dan komponen non-volatile pungent oleoresin. Phenyl alkyl ketones
atau vanillyl ketones jahe termasuk 6-gingerol, 8- gingerol dan 10-gingerol, 6-
shogaol, 8- shogaol, 10-shogaol dan zingerone. 6-paradol, dan 10 -
dehydrogingerdione dan 10-gingerdione juga telah terjadi diidentifikasi.
Minyak atsiri dan oleoresin jahe menunjukkan aktivitas antioksidan dan anti-
mikroba yang signifikan. Pada rimpang jahe segar, gingerol diidentifikasi
sebagai mayor komponen aktif dan gingerol [5-hidroksi-1 (4-hidroksi-3-metoksi
fenil) decane-3-one] adalah penyusun paling banyak dalam seri jaheol. Jahe
memiliki berbagai macam efek menguntungkan yang berasal dari adanya
bioaktif fitokimia seperti gingerols, shogaols, paradols, gingerdiol, dan
zingerone (Wakchaure,2018).
Gingerols, serangkaian homolog kimia yang dibedakan oleh rantai rantai
alkilnya yang tidak bercabang, diidentifikasi sebagai komponen aktif utama
pada rimpang segar. Rimpang jahe kering terutama disebabkan oleh shogaol,
yang merupakan bentuk dehidrasi dari gingerol. Jahe mudah larut karena adanya
gugus β-hidroksi keto dan mudah mengalami dehidrasi untuk membentuk
shogaol yang sesuai. Paradol mirip dengan gingerol dan terbentuk pada
hidrogenasi shogoal. Oleoresin, yang diisolasi dengan ekstraksi aseton dan
etanol, mengandung 4-7,5% bubuk kering, zat tajam yaitu gingerol, shogaol,
zingerone dan paradol (Dhanik, 2017).
32
(Dhanik, 2017)
(Dhanik, 2017)
2.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Klasifikasi tikus putih sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Divisi : Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Gambar 2.11
Perubahan Gingerol menjadi Zingerone;dengan pemanasan 200ºC
gingerol akan kehilangan 1 atom Hidrogen dan berubah menjadi
zingerone.
Gambar 2.12
Perubahan Gingerol menjadi Shagoal karena pemanasan; gingerol
kehilangan 1 gugus OH dan berubah menjadi shagaol.
33
Spesies : Rattus norvegicus (Boolootion,1991)
Tikus putih memiliki beberapa keuntungan yaitu daya imunitas yang baik
dan pertumbuhan yang optimal pada umur dua bulan. Rattus norvegicus adalah
hewan percobaan yang paling populer dalam penelitian berkaitan dengan
pencernaan. Hewan ini dipakai dengan pertimbangan dari pola makan yang mirip
dengan manusia, memiliki saluran pencernaan dengan tipe monogastrik,
kebutuhan nutrisi hampir menyamai manusia, serta mudah di cekok dan tidak
mengalami muntah karena tikus ni tidak memiliki kantung empedu.