BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1...

12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1. Definisi Erupsi Obat Alergi Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk (Edward & Aronson 2000). Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada tahun 1995, reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit, pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti cacat permanen sampai kematian. Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007). 2.1.2. Epidemiologi Erupsi Obat Alergi Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara berkembang berkisar antara 1% – 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai 2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi. Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (Nayak & Acharjya, 2008). Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons dan hampir Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1...

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Erupsi Obat Alergi

2.1.1. Definisi Erupsi Obat Alergi

Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang

diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat

diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga

dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk (Edward & Aronson

2000).

Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada

tahun 1995, reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga

memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit,

pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti cacat permanen

sampai kematian.

Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi.

Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada

kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan

cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis,

profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007).

2.1.2. Epidemiologi Erupsi Obat Alergi

Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat

alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun.

Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi

hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara

berkembang berkisar antara 1% – 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai

2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45%

dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi.

Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (Nayak &

Acharjya, 2008). Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons dan hampir

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait dengan penggunaan obat

(Adithan, 2006).

2.1.3. Faktor Risiko Timbulnya Erupsi Obat Alergi

Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah (Patterson,

2009):

1. Jenis kelamin dan usia

Banyak orang menyatakan bahwa anak-anak lebih jarang

tersensitisasi akibat obat jika dibandingkan dengan orang dewasa.

Akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi obat alergi yang memiliki

prognosis buruk lebih sering mengenai anak-anak. Pada anak –

anak, ruam merah yang timbul akibat virus sering mengaburkan

gambaran klinis erupsi alergi obat akibat antimikroba yang

diberikan. Wanita lebih sering menderita erupsi obat alergi

dibandingkan pria.

2. Faktor genetik

Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan

lingkungan misalnya pada kasus nekrolisis epidermal toksik akibat

sulfonamida. Hal ini berhubungan dengan gen human leukocyte

antigen. Diantara para remaja yang memiliki orang tua dengan

riwayat alergi antibiotika, 25,6% remaja tersebut juga memiliki

alergi obat yang sama.

3. Pajanan obat sebelumnya

Hal yang terpenting dari erupsi alergi obat adalah pajanan obat

yang sebelumnya menimbulkan alergi ataupun obat – obatan lain

yang memiliki struktur kimia yang sama.Akan tetapi, alergi obat

tidak bersifat persisten. Setelah pajanan, imunnoglobulin e dapat

bertahan dari 55 hongga 2000 hari.

4. Riwayat penyakit yang dimiliki

Pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah menderita

dermatitis atopi.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

5. Bentuk obat

Beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan

sulfonamida memiliki potensial untuk mensensitisasi tubuh.

6. Cara masuk obat

Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih

menyebabkan erupsi alergi obat. Antibiotika beta laktam dan

sulfonamida jarang digunakan secara topikal karena alasan ini.

Dosis dan durasi pemberian obat juga berperan dalam timbunya

erupsi alergi obat.

2.1.4. Patogenesis Erupsi Obat Alergi

Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah

mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya

erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme

imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang

disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan

dalam metabolisme (Riedl & Casillas, 2003).

Menurut Lee & Thomson (2006), terdapat empat mekanisme imunologis.

Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I (reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang

paling banyak ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah

imunoglobulin E yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil.

Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan

pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai

antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti

histamin, serotonin, bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan

menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang

paling ditakutkan adalah timbulnya syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II

(reaksi autotoksis) dimana terdapat ikatan antara imunoglobulin G dan

imunoglobulin M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem

komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana

antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen

antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam

jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen

merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan

terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi

alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang

tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe

lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen (Lee &

Thomson, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

Tabel 2.1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis Tipe Contoh Kasus

Imunologis

Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta laktam

Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat penisillin

Reaksi Tipe 3 Serum sickness akibat anti-thymocyte

globulin

Reaksi Tipe 4 Dermatitis kontak akibat antihistamin

topikal

Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rash akibat sulfonamid

Fas/Fas ligand-induced apoptosis Stevens-Johnson syndrome

Toxic epidermal necrolysis

Non imunologis

Efek samping farmakologis Bibir kering akibat antihistamin

Efek samping farmakologis sekunder Thrush akibat pemakaian antibiotik

Toksisitas obat Hepatotoksisitas akibat methotrexate

Overdosis obat Kejang akibat kelebihan pemakaian

lidokain

Intoleransi Tinitus akibat pemakaian aspirin

Sumber: Riedl & Casillas (2003)

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

2.1.5. Gambaran Klinis Erupsi Obat Alergi

Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan

gangguan kulit lain pada umumnya, yaitu (Hamzah, 2007):

1. Erupsi makulapapular atau morbiliformis

Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi

eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali

terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema

dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam,

malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu

setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh

ampisilin, obat anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan

tetrasiklin.

2. Urtikaria dan angioedema

Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria, kadang-

kadang disertai angioedema. Pada angioedema yang berbahaya

ialah terjadinya asfiksia bila menyerang glotis. Keluhannya

umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Biasanya timbul

mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria dapat

disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malese, nyeri

kepala dan vertigo. Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir,

kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus

angioedema pada lidah dan laring harus mendapat pertolongan

segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat, dan

obat anti inflamasi non steroid.

3. Fixed drug eruption

Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia

(Docrat,2005). Fixed drug eruption merupakan salah satu erupsi

kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa eritema

dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular.

Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

hilang, bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil

kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat

yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir

dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit

kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas

disertai eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang

sering ialah sulfonamid, barbiturat, trimetropin dan analgesik.

4. Eritroderma (dermatitits eksfoliativa)

Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya

disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-

macam penyakit lain di samping alergi karena obat, misalnya

psoriasis, penyakit sistemik temasuk keganasan pada sistem

limforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma

karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru

timbul pada stadium penyembuhan. Obat-obat yang biasa

menyebabkannya ialah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon.

5. Purpura

Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang

tidak hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai

ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta muncul di

sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi

berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan disertai

rasa gatal.

6. Vaskulitis

Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat

berupa palpable purpura yang mengenai kapiler. Biasanya

distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum.

Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat

penyebab ialah penisilin, sulfonamid, obat anti inflamasi non

steroid, antidepresan dan antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada

pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum. Kelainan

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di

atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malese. Tempat

predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah. Eritema nodosum

dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya

tuberkulosis, infeksi streptokokus dan lepra. Obat yang dianggap

sering menyebabkan eritema nodosum ialah sulfonamid dan

kontrasepsi oral.

7. Reaksi fotoalergik

Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak

alergik, lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari.

Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan

matahari. Obat yang dapat menyebabkan fotoalergi ialah

fenotiazin, sulfonamida, obat anti inflamasi non steroid, dan

griseofulvin.

8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut

Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang

terdapat, diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut

oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis

kontak. Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular

yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan

lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu

demam tinggi, dan pustul pustul tersebut cepat menghilang

sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa

hari.

9. Disamping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa

eritema multiforme, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis

epidermal toksik.

Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustul intraepidermal atau

subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat

polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

keratinosit. Terdapat 2 perbedaan utama antara Pustulosis eksantematosa

generalisata akut dan psoriasis pustulosa, yaitu Pustulosis eksantematosa

generalisata akut terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada Pustulosis

eksantematosa generalisata akut pustul-pustul pada kulit yang eritematosa dan

demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga berbeda.

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Erupsi Obat Alergi

Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan

mengkonfirmasi marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan

aktivasi jalur imunopatologi reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang

didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Pemeriksaan

penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat

alergi adalah (Nayak & Acharjya, 2008):

1. Biopsi kulit

Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat

membantu menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat

dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi

pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.

2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan

menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi

penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah

lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan

lain-lain) serta fungsi kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah

eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana bila

perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi

obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila

terdapat overdosis dari obat tersebut.

3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi

Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat

dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling

membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang

lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati

dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya.

2.1.7. Diagnosis Erupsi Obat Alergi

Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai

obat-obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga

beberapa hari sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai

demam yang biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang

ditemukan baik distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan

yang timbul (Hamzah, 2007).

Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari

jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.

Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data

kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian

obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya

hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat

yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang

bersifat persisten (Nayak & Acharjta, 2008).

2.1.8. Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergi

Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat alergi

adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.

Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat

mungkin (Nayak & Acharjya, 2008).

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat

kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,

eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, dan eksantema

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

fikstum dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg

sehari (Hamzah, 2007).

Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa

gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan

kortikosteroid (Hamzah, 2007).

Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering

atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%

ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa

gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam

salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan

pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat

diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 ½%. Pada

eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami

skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian

(Hamzah, 2007).

2.1.9. Prognosis Erupsi Obat Alergi

Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat

penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa

bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom

Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.

(Hamzah, 2007). Sindrom Steven Johnsons memiliki angka mortalitas dibawah 5

% sedangkan toxic epidermal necrolysis mencapai 20-30% dan kebanyakan

pasien meninggal akibat sepsis (Nayak & Acharjya 2008).

2.2. Gambaran Jenis-Jenis Obat yang menyebabkan Erupsi Obat Alergi

Menurut penelitian Saha et al (2012), jenis-jenis obat yang paling sering

menyebakan erupsi obat alergi adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti

flurokuinolon sekitar 11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%,

allopurinol sekitar 7,5%, dan azitromicin sekitar 5,70%.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons

Menurut penelitian Young, Jong & Joo (2011), jenis-jenis obat yang

paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu

sekitar 34,10%, lalu diikuti golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan

golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,51%.

Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), jenis-jenis obat yang

paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu

sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,90%.

Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), jenis-jenis obat yang paling

sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu

kotrimoksazole sekitar 15% dan flurokuinolon sekitar 15%.

Menurut penelitian Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), jenis-jenis obat

yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba

yaitu sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 22,9%,

dan obat anti epilepsi sekitar 10%. Menurut penelitian Ghosh, Acharya & Rao

(2006), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah

golongan antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti golongan anti epilepsi sekitar

25%, obat anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik sekitar 9%.

Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), jenis-jenis obat yang

paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah kotrimoksazole yaitu sekitar

22,2%, lalu diikuti dapson sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma,

Sethuraman & Kumar (2001), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan

erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 42,6% lalu diikuti

golongan anti inflamasi non steroid sekitar 18%.

Universitas Sumatera Utara