BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41395/3/jiptummpp-gdl-umar201310-51098... · 2018-12-04 ·...

29
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kegemukan 2.1.1 Definisi Overweight dan obesitas merupakan bagian dari kegemukan (Harjadi & Soejono ,1986) dalam (Adiningrum, 2008). Pada International Classification of Disease 10 (ICD-10), overweight adalah seseorang yang memiliki status berat tubuh diatas standar yang pasti dari berat badan yang diperlukan. Pada skala indeks massa tubuh, overweight digambarkan dengan memiliki nilai IMT 25.0-29.9 Kg/�� 2 . Sedangkan obesitas adalah memiliki lemak tubuh yang berlebih. Berbeda dengan overweight, dimana keadaan kelebihan berat badan tersebut dapat berasal dari otot, tulang, lemak, dan atau cairan tubuh. Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih banyak kilokalori yang masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi tubuh, dengan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak. Pada awal pembentukan obesitas, sel sel lemak yang sudah ada membesar. Seorang dewasa rata rata memiliki sekitar 40 50 milyar adiposity. Dimana, setiap sel lemak dapat menyimpan sekitar 1,2 μg trigliserida. Jika sel-sel lemak yang sudah ada terisi penuh, maka jika yang bersangkutan terus mengkonsumsi lebih banyak kalori daripada yang dikeluarkan, maka akan terbentuk lebih banyak adiposity (Sherwood, 2014). 5

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41395/3/jiptummpp-gdl-umar201310-51098... · 2018-12-04 ·...

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kegemukan

2.1.1 Definisi

Overweight dan obesitas merupakan bagian dari kegemukan (Harjadi &

Soejono ,1986) dalam (Adiningrum, 2008). Pada International Classification of

Disease 10 (ICD-10), overweight adalah seseorang yang memiliki status berat tubuh

diatas standar yang pasti dari berat badan yang diperlukan. Pada skala indeks massa

tubuh, overweight digambarkan dengan memiliki nilai IMT 25.0-29.9 Kg/��2.

Sedangkan obesitas adalah memiliki lemak tubuh yang berlebih. Berbeda dengan

overweight, dimana keadaan kelebihan berat badan tersebut dapat berasal dari otot,

tulang, lemak, dan atau cairan tubuh.

Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih banyak kilokalori yang

masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi

tubuh, dengan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan

lemak. Pada awal pembentukan obesitas, sel sel lemak yang sudah ada membesar.

Seorang dewasa rata rata memiliki sekitar 40 – 50 milyar adiposity. Dimana, setiap sel

lemak dapat menyimpan sekitar 1,2 µg trigliserida. Jika sel-sel lemak yang sudah ada

terisi penuh, maka jika yang bersangkutan terus mengkonsumsi lebih banyak kalori

daripada yang dikeluarkan, maka akan terbentuk lebih banyak adiposity

(Sherwood, 2014).

5

6

6

Tetapi, tidak semua orang mempunyai berat badan lebih disebut obesitas,

karena para atlet—yang karena mempunyai waktu latihan teratur dan masa otot

tumbuh baik—akan mempunyai berat badan rata-rata yang lebih dari anak sebayanya

dan tidak dapat disebut obesitas. Demikian pula, anak yang mempunyai kerangka

tulang besar dan otot-otot yang lebih dari biasanya, sehingga berat badan dan tingginya

di atas rata-rata anak sebayanya, yang juga bukan disebut obesitas (Soetjiningsih,

2014). Menurut WHO 2006, anak dikatakan obesitas bila IMT berdasarkan umur, atau

berat badan terhadap tinggi badan diatas 3 z-score.

Table 2.1 Klasifikasi Status Gizi WHO 2006

Status Gizi BB/TB WHO 2006

Obesitas > +3 SD

Overweight > +2 SD hingga + 3 SD

Normal +2 SD hingga -2 SD

Gizi kurang < -2 SD hingga -3 SD

Gizi Buruk < -3 SD

(Sumber: Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Asuhan Nutrisi Pediatrik Tahun 2011)

Untuk pengukuran balita di posyandu pada desa – desa di Indonesia, maka

digunakan Standart Antropometri Penilaian Status Gizi Anak yang dikeluarkan oleh

Kementrian Kesehatan Replubik Indonesia pada tahun 2010 dengan menggunakan

Indeks yaitu Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB atau Berat Badan menurut

Tinggi Badan (BB/TB).

7

Kategori dan ambang batas status gizi adalah sebagai berikut :

Table 2.2 Klasifikasi Status Gizi WHO 2006

Indeks Status Gizi Ambang Batas

(Z-Score)

Berat Badan

menurut Panjang

Badan (BB/PB)

atau

Berat Badan

menurut Tinggi

Badan (BB/TB)

Sangat Kurus < -3 SD

Kurus -3 SD hingga <-2 SD

Normal -2 SD hingga +2 SD

Gemuk >2 SD

(Sumber: Standart Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, Kementrian Kesehatan

Replubik Indonesia Tahun 2010)

Banyak anak yang mengalami obesitas menjadi orang dewasa obesitas. Risiko

menjadi obesitas yang menetap meningkat sejalan dengan usia dan derajat obesitas.

Anak usia 11 tahun dengan gizi lebih berisiko dua kali lebih besar untuk tetap berstatus

gizi lebih pada usia 15 tahun dibandingkan anak usia 7 tahun dengan gizi lebih. Risiko

obesitas pada masa anak dan tetap obesitas pada masa dewasa juga dipengaruhi oleh

riwayat keluarga. Bila satu orangtua mengalami obesitas, maka ods rasio anak tersebut

menjadi obesitas pada masa dewasa adalah 3, tapi bila kedua orangtua mengalami

obesitas, rasio meningkat menjadi 10 (Nelson,2014)

8

2.1.2 Patogenesis

Terjadinya obesitas menurut jumlah sel lemak adalah sebagai berikut :

1. Jumlah sel lemak normal, tetapi terjadi hipertrofi/pembesaran.

2. Jumlah sel lemak meningkat/hiperplasi dan juga terjadi hipertrofi.

Penambahan jumlah dan pembesaran sel lemak paling cepat terjadi pada masa

anak-anak dan mencapai puncaknya pada masa meningkat dewasa. Setelah masa

dewasa tidak akan terjadi penambahan sel, tetapi hanya terjadi pembesaran sel. Obesitas

yang terjadi pada masa anak, selain hiperplasi, juga disebabkan oleh hipertrofi;

sedangkan setelah masa dewasa pada umumnya akan hanya terjadi karena hipertrofi sel

lemak nya saja. Obesitas pada anak terjadi apabila asupan kalori berlebihan, terutama

pada tahun pertama kehidupan. Rangsangan meningkatkan jumlah sel terus berlanjut

sampai dewasa. Setelah itu, hanya terjadi pembesaran sel saja. Sehingga, apabila terjadi

penurunan berat badan setelah masa dewasa, sebabnya adalah bukan jumlah sel lemak

nya yang berkurang, melainkan besar sel nya yang berkurang. (Soetjiningsih, 2014)

2.1.3 Faktor Penyebab

Sheerwood (2014) juga mengulas beberapa faktor penyebab overwight atau

obesitas, yaitu :

a. Kurang olahraga.

Banyak peneletian mengemukakan rerata orang gemuk tidak makan lebih

banyak dibandingkan dengan orang kurus. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah

bahwa orang dengan kelebihan berat (obesitas) tidak makan berlebihan melainkan

9

“kurang gerak”, seperti contoh nya yaitu sindrom “couch potato” (menonton telivisi

sambil memakan camilan). Tingkat aktivitas yang rendah biasanya tidak disertai

penurunan setara asupan makanan.

b. Perbedaan dalam mengekstrasi energi dari makanan.

Selain kurang olahraga, walaupun orang dengan obesitas mengkonsumsi

kilokalori yang sama, efesiensi mengekstrasi energi dalam dari makanan berbeda.

Orang dengan obesitas diketahui memiliki sistem metabolik yang lebih efisien dalam

mengekstrasi energi dari makanan –suatu sifat yang bermanfaat dalam situasi

kekurangan makanan, tetapi menjadi beban dalam mempertahankan berat ketika

makanan berlimpah.

c. Kecenderungan herediter.

Perbedaan dalam jalur-jalur regulatorik untuk keseimbangan energi –baik jalur

untuk mengatur asupan makanan maupun yang mempengaruhi pengeluaran energi—

sering berasal dari variasi genetik.

d. Pembentukan sel lemak dalam jumlah berlebihan akibat makan berlebih.

Salah satu masalah dalam melawan obesitas adalah bahwa sekali terbentuk

maka sel lemak tidak lenyap dengan pembatasan makan dan penurunan berat. Bahkan

ketika seseorang yang berdiet telah kehilangan banyak dari lemak trigliserida yang

tersimpan di sel-sel ini, sel sel tersebut tetap ada dan siap diisi kembali. Karena itu,

penambahan berat secara rebound setelah penurunan berat sulit dihindari dan dapat

mematahkan semangat yang bersangkutan.

10

e. Keberadaan penyakit endokrin tertertu.

Sebagai contoh yaitu hipotiroidisme. Hipotiroidisme berkaitan dengan kelebihan

hormone tiroid, faktor utama yang menurunkan Basal Rate Metabolism (BMR)

sehingga tubuh cenderung kurang dalam membakar kalori.

2.1.4 Prevalensi

Secara global, sekitar lebih dari satu miliar orang dewasa memiliki berat badan

berlebih dan 300 juta diantaranya diperkirakan mengalami obesitas. Laju peningkatan

prevalensi obesitas terjadi paling cepat di area perkotaan di negara berpendapatan

rendah dan menengah, ketika masalah obesitas bersamaan diikuti oleh masalah kurang

gizi (Holdsworth et al, 2012). Sedangkan pada balita, angka kejadian overweight dan

obesitas meningkat dari 4,2% pada tahun 1990 menjadi 6,7% pada tahun 2010.

Kecenderungan ini mencapai 9,1 % atau 60 juta ditahun 2020 (Onis, Blossner, Borghi,

2010)

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS 2013), masalah

gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk

10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Prevalensi gemuk terendah di Nusa

Tenggara Timur (8,7%) dan tertinggi di DKI Jakarta (30,1%). Sebanyak 15 provinsi

dengan prevalensi sangat gemuk diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa

Timur, Banten, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan

Riau, Jambi, Papua, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung dan DKI Jakarta.

11

(RISKESDAS, 2013)

Gambar 2.1

Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) anak umur 5-12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013

Sedangkan untuk anak usia 13-15 tahun, dengan metode yang sama yaitu

IMT/U prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Indonesia sebesar 10.8

persen, terdiri dari 8,3 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Sebanyak

13 provinsi dengan prevalensi gemuk diatas nasional, yaitu Jawa Timur, Kepulauan

Riau, DKI, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Bali, Kalimantan

Timur, Lampung, Sulawesi Utara dan Papua.

12

(RISKESDAS,2013)

Gambar 2.2

Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja 13-15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013

2.1.5 Gejala Klinis

Masa yang paling sering mengalami obesitas adalah pada tahun pertama

kehidupan, usia 5-6 tahun, dan pada masa remaja. Anak yang mengalami obesitas

pertumbuhan tulang nya akan lebih cepat matang. Dengan kata lain anak yang

mengalami obesitas relatif lebih tinggi pada masa remaja awal, tetapi pertumbuhan

memanjang nya lebih cepat selesai. Oleh karena itu mereka mempunyai tinggi badan

relatif lebih pendek daripada anak sebayanya (Soetjiningsih, 2014)

13

2.1.6 Komplikasi

Nelson (2014) memaparkan beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada

penderita obesitas, yaitu

Table 2.3 Komplikasi Pada Penderita Obesitas

Komplikasi Efek

Psikososial Biasanya, anak yang mengalami obesitas akan

mendapatkan perlakukan yang berbeda dari teman-

temannya yang sebaya, seperti merasa terisolasi

Pertumbuhan Usia tulang akan lebih maju, sehingga tinggi

bertambah.

Sistem saraf pusat Pseudomotor cerebri

Respirasi Sleep apnea, sindrom Pickwickian

Kardiovaskular Hipertensi, hipertrofi jantung, penyakit jantung

iskemik*, kematian mendadak*

Ortopedi Slipped capital femoral epiphysis, penyakit Blount

Metabolik Resistensiinsulin, diabetes militus tipe 2,

hipertrigliseridemia, hiperkolesterolemia, gout*,

steatosis hepatic, penyakit ovarium polikistik,

koletiasis

*komplikasi jarang terjadi sebelum usia dewasa

(Sumber: Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam Tahun 2014)

14

Selain komplikasi yang terjadi pada anak seperti yang telah diuraikan diatas,

ada pula komplikasi yang dapat timbul setelah anak tumbuh menjadi dewasa,

diantaranya adalah:

- Obesitas persisten

- Resiko penyakit kardio-vaskuler

- Dampak kurang baik pada social ekonomi

- Kematian dini

(Reilly JJ, 2006)

2.1.7 Penatalaksanaan

Tujuan utama dalam penatalaksanaan obesitas pada anak jelas berbeda

dibanding pada orang dewasa, yaitu hanya untuk memperlambat laju kenaikan berat

badan yang pesat dan tidak melakukan diet yang terlalu ketat, tetapi tetap sesuai dengan

laju pertumbuhannya. Cara pengaturan diet pada setiap rentang pertumbuhan adalah

sebagai berikut :

1. Bayi

Pada bayi, diet yang sesuai adalah dengan memberikan asupan makanan sesuai

kebutuhannya, yaitu untuk bayi kurang dari 6 bulan 110 kkal/kgBB/hari dan untuk bayi

lebih dari 6 bulan 90kkal/kgBB/hari. Air tawar diperlukan sebagai selingan sehingga

susu botol bisa dikurangi. Sebagai aktivitas, dianjurkan pada ibu untuk tidak hanya

menggendong anaknya saja, melainkan dibiarkan melakukan aktivitas. ASI diteruskan

sampai 2 tahun.

15

2. Anak prasekolah

Diet seimbang pada anak prasekolah masih sama tujuannya yaitu untuk

memperlambat kenaikan berat badan, dengan cara memberikan diet seimbang

60kkal/kgBB/hari. Atau, bisa juga dengan mengganti sumber makanan dari makanan

keluarga dengan porsi kecil dan menghindari makanan mengandung kalori tinggi.

Aktivitas juga masih perlu diperhatikan. Diusahakan anak didorong untuk melakukan

aktivitas fisik dan mencegah aktivitas seperti menonton TV/Video/dll yang berlebihan.

3. Anak usia sekolah

Tujuan diet seimbang pada anak usia sekolah sedikit berbeda, yaitu berusaha

dengan mempertahankan berat badan anak dan menaikan tingginya. Diet yang

diberikan adalah sekitar 1200kkal/hari atau sekitar 60 kkal/kgBB/hari. Aktivitas fisik

perlu didorong, baik secara mandiri maupun kelompok. Aktivitas- aktivitas yang pasif

seperti menonton TV bermain video game terlalu lama sebaiknya dihindarkan. Makan

makanan berkalori tinggi juga perlu dihindarkan.

4. Obesitas remaja

Menurunkan berat badan adalah tujuan utama pada obesitas remaja. Kita harus

menurunkan berat badan yang diharapkan sesuai dengan tinggi badannya. Diet yang

diperlukan adalah 850 kkal/hari atau, apabila ingin menargetkan penurunan berat badan

500 gram/minggu, perlu pengurangan kalori 500kkal/hari. Aktivitas fisik juga perlu

didorong, baik sendiri maupun berkelompok (Soetjiningsih, 2014).

16

NICE (2006) menjelaskan, aktivitas fisik dalam penatalaksanaan pada obesitas

bisa saja sebagai berikut:

a. Melakukan aktivitas-aktivitas fisik yang digabungkan dengan kehidupan

sehari-hari, seperti berjalan cepat, berkebun, bersepeda.

b. Membiasakan berjalan setiap hari, menaiki tangga, atau berenang.

Aktivitas diatas lebih baik dilakukan walaupun tidak bertujuan menurunkan berat badan

karena latihan fisik tersebut memiliki dampak yang lainnya, seperti menurunkan resiko

diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Pertimbangkan pula kebugaran dan

kemampuan fisik dari individu saat melakukannya.

2.1.8 Pengukuran Berat Badan

1. Standar Broca

Standar broca menjelaskan berat badan ideal adalah sebagai berikut :

- Wanita : Berat Badan Ideal (kg) = Tinggi Badan (cm) – 100 ± 15%

- Pria: Berat Badan Ideal (kg) = Tinggi Badan (cm) – 100 ± 10%

(Halls,2005)

Namun, walaupun banyak dipakai oleh masyarakat karena sederhana, Standar Broca

tidak menghitung beberapa faktor-faktor lainnya. Seperti faktor usia dan aktivitas fisik.

17

2. Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)

Berat badan Ideal menurut IMT adalah berat badan yang diperoleh dari perkalian antara tinggi badan kuadrat dalam satuan meter (Kg/��2).

IMT ∶

Berat badan (Kg) (Tinggi badan (m))2

Penilaian klasifikasi IMT adalah sebagai berikut :

Table 2.3 Klasifikasi IMT

Klasifikasi BMI (Kg//��2)

Kurus berat <16.00

Kurus sedang 16-16,99

Kurus ringan 17.00-18.49

Underweight <18.50

Normal 18.50-24.99

Overweight >25

Pre-Obesitas 25.00 - 29.99

Obesitas >30.00

Obesitas Kelas 1 30.00 - 34.99

Obesitas Kelas 2 35.00 - 39.99

Obesitas Kelas 3 >40.00

(Sumber: WHO, 1995, WHO, 2000 dan WHO 2004)

18

2.2 Perkembangan

2.2.1 Definisi Perkembangan

Banyak orang menggunakan istilah “pertumbuhan” dan “perkembangan”secara

bergantian. Dalam kenyataan kedua istilah itu berbeda, walaupun tidak dapat

dipisahkan, namun keduanya tidak dapat pula berdiri sendiri pula. Perkembangan

(development) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan

adalah bertambahnya kemampuan (skill) struktur dan fungsi tubuh yang lebih

kompleks, dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses

pematangan/maturitas (Soetjiningsih, 2014). Perubahan-perubahan yang terjadi pada

saat perkembangan tentu sangat banyak. Berikut adalah 4 kateogori utama perubahan

yang terjadi secara garis besar :

1. Perubahan ukuran

2. Perubahan proporsi

3. Hilangnya ciri lama

4. Muncul ciri baru

(Hurlock,2005)

2.2.2 Faktor Utama yang Mempengaruhi Perkembangan

Seotjiningsih (2014) mempaparkan ada 2 hal yang bisa menjadi faktor yang

mempengaruhi perkembangan:

19

1. Faktor Genetik

Faktor genetik merupakan suatu modal yang dasar dalam mencapai hasil

akhir proses tumbuh dan kembang anak. Gangguan pertumbuhan di negara

maju lebih sering disebabkan oleh faktor genetik ini, contohnya adalah

kelainan kromosom (Sindrom Dorn, Sindrom Tuerner, dll)

2. Faktor Lingkungan

a. Pranatal ( Saat masih di dalam kandungan)

1.Gizi ibu pada waktu hamil.

2.Mekanis

3.Toksin/zat kimia

4. Endokrin

5.Radiasi

6.Infeksi

7.Stress

8.Imunitas

9.Anoksia embrio

b. Pascanatal

1.Faktor biologis, antara lain :

a) Ras / suku bangsa.

b) Jenis kelamin

c) Umur

d) Gizi

20

Makanan memegang perenan penting dalam tumbuh

kembang anak.

e) Perawatan kesehatan

f) Kerentanan terhadap penyakit

g) Kondisi kesehatan kronis

h) Fungsi metabolism

i) Hormon

2.Faktor fisik, antara lain :

a) Keadaan geografis suatu daerah

b) Sanitasi

c) Keadaan rumah

d) Radiasi

3.Faktor Psikososial

4.Faktor Keluarga dan Adat Istiadat

2.2.3 Perkembangan Motorik

Perkembangan motorik adalah perkembangan pengendalian gerakan jasmaniah

melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkordinasi (Hurlock, 2005).

Perkembangan motorik adalah proses tumbuh kembang kemampuan gerak seorang

anak. Pada dasarnya, perkembangan ini berkembang sejalan dengan kematangan saraf

dan otot anak, sehingga setiap gerakan sesederhana apapun, adalah merupakan hasil

21

pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang

dikontrol oleh otak (Lismadiana, 2013).

2.2.3.1 Motorik Kasar

Motorik kasar adalah merupakan keterampilan yang meliputi aktivitas otot yang

besar, seperti menggerakan lengan dan berjalan (Santrock,2007). Perkembangan

motorik kasar merupakan aspek perkembangan lokomosi (gerakan) dan postur (posisi

tubuh) (Soetjiningsih, 2014).

2.2.4 Keterampilan Motorik Kasar yang Dicapai Saatu Usia 3-5 tahun

Dari data Denver II,berikut adalah keterampilan-keterampilan motorik kasar

pada anak usia 3-5 tahun yang seharusnya sudah dicapai :

- Loncat jauh

- Berdiri 1 kaki 1 detik

- Berdiri 1 kaki 2 detik

- Melompat dengan 1 kaki

- Berdiri 1 kaki 3 detik

- Berdiri 1 kaki 4 datik

- Berdiri 1 kaki 5 detik

- Berjalan tumit ke jari kaki

- Berdiri 1 kaki 6 detik

22

(sumber:http://nursingcrib.com/nursing-notes-reviewer/maternal-child-health/denver- developmental-screening-test/)

Gambar 2.3

Anak yang Sedang Melakukan Test Denver II

Khususnya Gerakan Motorik Kasar

2.2.5 Penilaian Perkembangan Anak

Dalam memantatu perkembangan anak, perlu dilakukannya skrining dan deteksi

dini penyimpangan perkembangan pada anak, guna untuk memudahkan mendiagnosis

lebih awal dan pemulihannya pun dapat dilakukan lebih awal. Sehingga, tumbuh

kembang anak dapat berlangsung secara optimal (Soetjiningsih,2014)

Berikut merupakan beberapa intrsumen skrining dan diagnosis terhadap

perkembangan anak :

- Tes intelegensi individual (Tes IQ), antara lain :

The Stanford-Binet Test

23

The Leither International Performance Scale (LIPS)

- Tes Pretasi, antara lain :

Gray oral reading test-revised (GORT-R)

Peabody Incividual Achievement Test

- Tes Psikomotor, antara lain

Uzgiri-Hunt Ordinal Scale

- Tes Proyeksi, antara lain

The Rorchach Test

The Animal Choice Test

- Tes Perilaku Adaptif, antara lain :

Vineland Adaptive Behavior Scales

- Tes skrining berdasarkan tenaga yang melakukan

Profesiionally-administered screening test (Test ini dilakukan oleh

tenaga professional yang suah terlatih), yaitu :

a. Denver II

b. Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP)

c. Batelle Development Inventory Screening Test

d. Bayley Infant Neurodevelopment Screener (BINS)

24

2.2.6 Skrining Perkembangan menurut Denver II

Tes Denver merupakan tes prikomotorik dan merupakan salah satu metode

skrining terhadap kelainan perkembangan anak. Denver II yang digunakan saat ini

merupakan revisi dari Denver Devolepmental Screening Test (DDST)

2.2.6.1 Fungsi tes Denver II, antara lain adalah :

- Menilai tingkat perkembangan anak sesuai umurnya.

- Menilai perkembangan anak sejak baru lahir sampai umur 6 tahun.

- Menjaring anak tanpa gejala terhadap kemungkinan adanya kelainan perkembangan.

- Memastikan apakah anak dengan kecurigaan terdapat kelainan atau tidak.

- Melakukan pemantauan perkembangan anak yang berisiko.

(Soetjiningsih, 2014)

Pada lembar Denver II terdapat 125 tugas (kemampuan) perkembangan. Setiap

tugas digambarkan dalam bentuk kotak persegi panjang horizontal horizontal yang

berurutan sesuai umur.

2.2.6.2 Prosedur Denver II

Prosedur Denver II terdiri dari 2 tahap, yaitu :

- Tahap pertama : Secara Periodik dilakukan pada semua anak yang berusia 3-6 bulan,

9-12 bula, 28-24 bulan, 3 tahun, 4 tahun,dan 5 tahun.

- Tahap kedua : dilakukan pada mereka yang pada saat tahap pertama dicurigai

mengalami terdapat hambatan perkembangan. Prosedur pada tahap 2 ini dilanjutkan

dengan evaluasi diagnostik yang lengkap.

25

2.2.6.3 Pelaksanaan Denver II

1. Persiapan Alat

Nugroho (2009) menerangkan, alat alat yang diperlukan untuk pelaksanaan tes

Denver II antara lain :

a. Benang wol merah

b. Icik-icik dengan gagang kecil

c. Boneka kecil dengan botol susu

d. Cangkir kecil dengan pegangan

e. Kubus (dengan rusuk 2,5 cm) berjumlah 8 buah, berwarna merah, biru,

kuning, dan hijau masing- masing 2 buah

f. Botol kecil berwarna bening dengan tutup berdiameter 2 cm

g. Manik-manik (dalam penerapannya, ada yang menggantinya dengan kismis

atas pertimbangan tertentu)

h. Lonceng kecil, bola tenis, pensil merah, dan kertas folio berwarna putih

Selain peralatan di atas, diperlukan peralatan tambahan sebagai penunjang,

antara lain:

a. Jika memungkinkan, sediakan 1 meja dan 3 kursi berukuran kecil untuk tempat

tes.

b. Ruangan yang cukup luas untuk melakukan tes motorik kasar.

c. Meja khusus dengan kasur/ selimut untuk tempat pemeriksaan bayi.

26

2. Menghitung Usia Anak

Menurut Nugroho (2009), berikut ini langkah-langkah menghitung usia pada anak:

1. Tulis tanggal, bulan, dan tahun dilaksanakannya tes.

2. Kurangi dengan cara bersusun dengan tanggal, bulan, dan tahun kelahiran anak.

3. Jika jumlah hari yang dikurangi lebih besar, ambil jumlah hari yang sesuai dari

angka bulan di depannya (mis., Agustus: 31 hari, September: 30 hari).

4. Hasilnya adalah usia anak dalam tahun, bulan, dan hari (Gambar Contoh 1).

5. Ubah usia anak dalam satuan bulan jika perlu.

6. Jika pada saat pemeriksaan usia anak dibawah 2 tahun, anak lahir kurang 2

minggu, atau lebih dari HPL, lakukan penyesuaian prematuritas dengan cara

mengurangi umur anak dengan jumlah minggu tersebut (Gambar Contoh 2).

27

Gambar 2.4 Halaman Depan Formulir DDST (Denver II)

(Sumber: Frankenburg WK, Dodds JB, 1990, Denver II)

28

Gambar 2.5 Halaman Belakang Formulir DDST (Denver II)

(Sumber: Frankenburg WK, Dodds JB, 1990, Denver II)

29

2.2.6.4 Intepretasi Denver II

Nugroho (2009), menjelaskan interpretasi hasil untuk tes Denver II terdiri atas

dua tahap, yaitu penilaian per item dan penilaian tes secara keseluruhan

a. Penilaian per item

Ilustrasi untuk penilaian per item dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Penilaian item “Lebih” (Advance). Nilai “Lebih” diberikan jika anak dapat “Lulus/

Lewat” (L) dari item tes di sebelah kanan garis usia.

2. Penilaian item “OK” atau normal. Nilai “OK” dapat diberikan pada anak dalam

kondisi sebagai berikut.

a. Anak “Gagal” (G) atau “Menolak” (M) melakukan tugas untuk item di sebelah

kanan garis usia.

b. Anak “Lulus/ Lewat” (L), “Gagal” (G), atau “Menolak” (M) melakukan tugas

untuk item di daerah putih kotak (daerah 25%-75%).

30

30

3. Penilaian item P= “”Peringatan” (C= Caution). Nilai ini diberikan jika anak

“Gagal” (G) atau “Menolak” (M) melakukan tugas untuk yang dilalui oleh garis

usia pada daerah gelap kotak (daerah 75%-90%). Peringatan terdiri dari dua macam.

Pertama, peringatan karena anak mengalami kegagalan (G). Peringatan jenis ini

memungkinkan anak mendapat interpretasi penilaian akhir “Suspek”. Kedua,

peringatan karena anak menolak melaksanakan tugas (M). Peringatan jenis ini

memungkinkan anak mendapat interpretasi akhir “Tak dapat diuji”.

4. Penilaian item T= “Terlambat” (D= Delayed). Nilai ini diberikan jika anak “Gagal”

(G)

atau

“Menolak” (M) melakukan tugas untuk item di sebelah kiri garis usia sebab tugas

tersebut memang ditujukan untuk anak usia muda. Terlambat terdiri dari dua

macam. Pertama, terlambat karena anak mengalami kegagalan (G). Terlambat jenis

ini memungkinkan anak mendapat interpretasi penilaian akhir “Suspek”. Kedua,

terlambat karena anak menolak melaksanakan tugas (M). Terlambat jenis ini

memungkinkan anak mendapat interpretasi akhir “Tak dapat diuji”.

31

31

5. Penilaian item “Tak ada Kesempatan” (No Opportunity). Nilai “Tak” ini tidak perlu

diperhatikan dalam penilaian tes secara keseluruhan. Nilai “Tak ada kesempatan”

diberikan jika anak mendapat skor “Tak” atau tidak ada kesempatan untuk mencoba

atau melakukan tes.

b. Penilaian Keseluruhan Tes

- Normal : Apabila tidak ada skor “Terlambat” (T) atau paling banyak 1 “Peringatan”

(P). Tindakan selanjutnya bisa melakukan pemeriksaan ulang pada kontrol kesehatan

berikutnya.

- Suspek : Apabila didapat 2 atau lebih “Peringatan” (P), dan atau satu atau lebih

“Terlambat” (T). Dalam hal ini, (T) dan (P) harus disebabkan karena kegagalan (G),

bukan karena penolakan (M). Tindakan selanjutnya yaitu dilakukan tes ulang 1-2

minggu setelahnya untuk menghilangkan faktor-faktor seperti rasa takut,

sakit,mengantuk atau kelelahan.

- Tidak dapat di tes : Jika terdapat satu atau lebih skor “Terlambat” (1 T) dan atau dua

atau lebih “Peringatan” (2 P). Dalam hal ini, (T) dan (P) harus disebabkan karena

penolakan (M), bukan oleh kegagalan (G). Tindakan selanjutnya yaitu melakukan uji

ulang dalam 1-2 minggu.

32

32

2.3 Pendidikan Anak Usia Dini

2.3.1 Pengertian

Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam

sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada masa

ini ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamen dalam kehidupan anak

selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi

penciri masa usia dini adalah the Golden Ages atau periode keemasan. Banyak konsep

dan fakta yang ditemukan memberikan penjelasan periode keemasan pada masa usia

dini, di mana semua potensi anak berkembang paling cepat. Beberapa konsep yang

disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa eksplorasi, masa

identifikasi/imitasi, masa peka, masa bermain dan masa trozt alter 1 (masa

membangkang tahap 1). Dalam rangka membantu memenuhi kebutuhan anak usia dini

pada bidang pendidikan, pemerintah berusaha menfasilitasi dengan dikembangkannya

Kurikulum PAUD yang diharapkan dapat membantu memberikan pendidikan yang

berkualitas pada anak usia dini (Departemen Pendidikan Nasional, 2007).

2.3.2 Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini

Berikut adalah beberapa prinsip pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),

Diambil dari Forum PAUD, 2007 :

- Berorientasi pada Kebutuhan Anak

Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi kepada

kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya

33

pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan baik

perkembangan fisik maupun psikis, yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosio

emosional.

- Belajar melalui bermain

Bermain merupakan saran belajar anak usia dini. Melalui bermain anak diajak

untuk bereksplorasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan

mengenai benda di sekitarnya.

- Menggunakan lingkungan yang kondusif

Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan

menyenangkan dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat

mendukung kegiatan belajar melalui bermain.

- Menggunakan pembelajaran terpadu

Pembelajaran pada anak usia dini harus menggunakan konsep pembelajaran

terpadu yang dilakukan melalui tema. Tema yang dibangun harus menarik dan dapat

membangkitkan minat anak dan bersifat kontekstual. Hal ini agar anak mampu

mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran menjadi

mudah dan bermakna bagi anak. (Rapi,2007)