BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI...
Transcript of BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI...
10
BAB 2
TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI
2.1. Pendahuluan
Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga atau institusi yang
mengantar keselamatan yang diberikan Allah kepada umatNya dalam Yesus Kristus. Gereja
dalam arti institusi tidak terlepas dari sebuah organisasi. Karena di dalam gereja diperlukan
sistem hierarki (suatu tatanan, pengaturan, penyusunan) maupun tentang pengelolaan dalam
segala sesuatu proses yang dilakukan oleh gereja tersebut demi tercapainya pengorganisasian
yang baik sehingga gereja dapat mencapai tujuannya. Salah satunya adalah Gereja Bala
Keselamatan yang memahami dirinya sebagai suatu institusi perwakilan Allah di dunia.
Gereja Bala Keselamatan sebagai institusi ada dalam satu bentuk institusional dan berfungsi
melalui jabatan-jabatan dan sarana-sarana yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam bab ini penulis akan membahas
pemahaman tentang gereja sebagai institusi yang akan berguna dalam pembahasan ini.
Penulis akan memulai dengan menjelaskan beberapa pemikiran yang berkaitan dengan
definisi gereja dan hakikat gereja dalam kitab suci, hal ini dilakukan untuk memperoleh suatu
pemahaman yang utuh berkaitan dengan konsep gereja secara umum. Selanjutnya konsep
model-model gereja dan model gereja sebagai institusi, dalam kaitannya dengan sistem
hieraki Gereja Bala Keselamatan. Pada bagian akhir dari keseluruhan penulisan bab ini,
penulis akan memberikan kesimpulan mengenai gereja sebagai institusi.
11
2.2. Gereja
2.2.1. Definisi: Asal Usul dan Arti Kata Gereja
Istilah gereja memiliki beberapa macam pengertian, yaitu arti secara umum dalam
kata (bahasa) aslinya dan arti secara khusus dalam pengertian gereja itu sendiri. Berdasarkan
arti kata (bahasa) aslinya, secara etimologis kata “gereja” berasal dari bahasa Portugis Igreja,
berkaitan dengan kata Iglesia (spanyol), Eglise (Perancis), serta ecclesia (Latin) yang berasal
dari kata Yunani Kyriake (κυριακη) yang berarti dimiliki Tuhan.1 Kata ini menekankan
kenyataan bahwa gereja adalah milik Tuhan. Kata Kyriake sebagai sebutan bagi persekutuan
para orang yang menjadi milik Tuhan, belum terdapat di dalam Perjanjian Baru. Istilah ini
baru dipakai pada zaman sesudah para rasul, yaitu sebutan gereja sebagai suatu lembaga
dengan segala peraturannya.2
Alkitab Perjanjian Lama memakai dua istilah untuk menunjuk gereja, yaitu “qahal”
Berasal dari akar kata yang sudah tidak dipakai lagi yaitu qal (kal) yang artinya .(קהל)
“memanggil” dan edhah yang berasal dari kata ya’adh berarti “memilih” atau “menunjuk”
atau “bertemu bersama-sama di tempat yang telah ditunjuk.3 Alkitab Perjanjian Baru juga
memakai dua kata yang diambil dari Septuaginta, yaitu Ekklesia () yang berasal
dari kata Ek' ('εκ) dan kata Kaleô' ('καλεω) yang artinya “memanggil ke luar”, dan kata
sunagoge, dari kata sun dan ago yang berarti “datang atau berkumpul bersama”.4 Kata
sunagoge secara eksklusif menunjuk kepada arti pertemuan ibadah orang Yahudi atau juga
bisa menunjuk kepada arti bangunan di mana mereka berkumpul untuk beribadah secara
umum.
1Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1992), 341. 2Harun Hadiwiyono, Iman Kristen, cet.2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 362. 3 Louis Berkhof, Teologi Sistematika Volume 5: Doktrin Gereja, terj. Yudha Thianto, cet.8 (Surabaya:
Momentum, 2010), 5. 4Berkhof, Teologi Sistematika Volume 5, 6.
12
Di dalam Septuaginta5, kata Yunani ini dipakai untuk menterjemahkan kata Ibrani
“qahal”. Qahal mempunyai arti profan (tidak religius) “perkumpulan” dimana orang
berkumpul untuk kepentingan tertentu, juga mempunyai arti religius “umat, jemaat” yang
berkumpul karena dipanggil oleh firman Allah keluar dari antara bangsa-bangsa dan menjadi
umat milik Allah (qahal YHWH).6
Berdasarkan penjelasan di atas, menuntun penulis untuk memahami bahwa definisi
gereja merupakan sebuah konsep dengan banyak sisi, sehingga menjadi wajar kata ekklesia
yang dipakai untuk menunjuk tentang gereja tidak selalu memiliki konotasi yang sama. Kata
ini umum dipakai bagi sidang umum yang dikumpulkan secara resmi. Sidang seperti ini
menjadi ciri khas kota-kota di luar Yudea, di mana injil diberitakan. Dengan demikian kata
ekklesia lebih mengandung arti pertemuan daripada organisasi atau masyarakat.7
Sebagai hasil dari perluasan gereja, kata ekklesia mendapat pemakaian yang lebih
luas. Gereja-gereja lokal didirikan di mana-mana, dan semua itu disebut sebagai ekklesiai
sebab mereka memanifestasikan gereja yang universal. Dalam kebanyakan surat-suratnya,
Paulus menggunakan kata ekklesia dalam arti rangkap: kata itu dapat menunjukkan jemaat di
salah satu tempat tetapi juga gereja universal. Contoh hubungan antara keduanya dapat di
lihat dalam rumusan alamat surat 1 dan 2 Korintus: “kepada ekklesia Allah seperti berada di
Korintus”.8 Ekklesia di Korintus bukanlah cabang dari ekklesia universal, sebaliknya juga
gereja universal bukanlah gabungan dari banyak ekklesia setempat. Dengan demikian,
ekklesia di setiap tempat merupakan perwujudan konkret dan lengkap dari kenyataan ekklesia
itu dalam hubungan yang hidup dengan semua jemaat lain.
5Gerald O’Colin SJ dan Edward G. Farrugia SJ, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal.
293. Septuaginta dalam bahasa Yunani berarti tujuh puluh. Terjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa
Yunani yang terpenting dikenal sebagai “LXX”. Artinya terjemahan yang dikerjakan oleh tujuh puluh ahli. 6Tom Jacobs, Dinamika Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1979), 13. 7Anggota IKAPI, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid I A-l (Jakarta: Yayasan Bina Kasih OMF,
2008), 332. 8George Kircheberger, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Cet.1 (Ende: Nusa Indah, 1991),
87.
13
2.2.2. Hakikat Gereja Dalam Kitab Suci Dan Ajaran Gereja
Kata ”Gereja” bukanlah semacam batasan atau definisi. Ekklèsia adalah kata yang
biasa saja pada zaman jemaat perdana. Dari cara memakainya, kelihatan bagaimana jemaat
perdana memahami diri dan merumuskan karya keselamatan Tuhan di antara mereka.
Kadang-kadang mereka berkata ”Gereja Allah” atau juga ”jemaat Allah”. Mereka menjadi
jemaat atau gereja karena iman mereka akan Yesus Kristus, khususnya akan wafat dan
kebangkitan-Nya. Gereja merupakan jemaat Allah yang dikuduskan dalam Kristus Yesus.
Dengan demikian, ada dua ungkapan penggunaan nama yang dipakai secara khusus untuk
Gereja dalam Perjanjian Baru: ”Umat Allah” dan ”Tubuh Kristus”. Keduanya berkaitan satu
sama lain.
Yusak Setyawan mengungkapkan, dalam tradisi Paulus (mencakup tulisan-tulisan
Paulus maupun tulisan-tulisan penerus Paulus) gereja dipahami sebagai Umat Allah dalam
kaitannya dengan pandangan Paulus tentang misi kepada orang-orang non Yahudi, walaupun
ia terdidik dalam tradisi Yahudi. Relasi antara Israel dan bangsa-bangsa lain (non Yahudi)
dijelaskan dalam surat Roma 9-11.9 Israel mempunyai tempat khusus dalam sejarah
keselamatan universal. Dengan demikian orang Kristen dari non-Yahudi tidak boleh
memandang rendah Israel.
Tom Jacobs mengungkapkan bahwa, paham gereja sebagai “Umat Allah” hanya dapat
dimengerti dan dipahami melalui latar belakang sejarah Israel sebagai umat Allah.10
Kekhususan Israel sebagai bangsa, adalah kesatuannya dengan Tuhan. Kesadaran mereka
sebagai bangsa, tidak terutama ditentukan oleh kesadaran etnis, sejarah atau budaya, tetapi
oleh kesadaran religius bahwa mereka adalah umat Allah.
9Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana
Press), 13. 10Jacobs, Dinamika Gereja, 14.
14
Niko Diester Syukur menjelaskan gagasan “Umat Allah” dalam Perjanjian Lama
hendak menekankan bahwa, gereja ada dan berkembang dari sejarah keselamatan yang sudah
dimulai sejak pemilihan dan pemanggilan Abraham sampai dengan perjanjian yang diadakan
Tuhan dengan para leluhur bangsa Israel di padang gurun Sinai pada zaman Musa (Kel.19;
24:1-8).11 Dengan demikian gereja dimengerti dalam suatu kesadaran serius bahwa gereja
mengalami dirinya berhubungan erat dengan umat manusia dalam rangka sejarah
keselamatan yang universal. Namun dalam hal ini gereja tidak berarti hanya sebatas
kelanjutan klaim bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah.
Paham Umat Allah dipertegas kembali di dalam Perjanjian Baru. Harus disadari
bahwa kata “umat” dalam Perjanjian Baru tidak berarti hanya suatu kumpulan orang-orang
secara pribadi. Umat Allah dalam Perjanjian Baru ialah perhimpunan orang-orang yang
diketahui khusus sebagai orang yang percaya kepada Tuhan yang bangkit. Paulus di dalam
surat- suratnya mengingatkan dasar gereja memang Israel, tetapi yang penting untuk menjadi
warga gereja bukanlah hubungan etnis (keturunan Abraham), melainkan pemanggilan Allah
(Rom.1:6; 8:28; 1 Kor 1:2) dan penyerahan manusia dalam iman (Gal.3:7; Rom.1:5; 16:26).
Paulus menggaris-bawahi bahwa kepenuhan sejarah Israel telah dicapai dalam Kristus (2 Kor.
1:20; Gal.3:5-18), sehingga orang yang bersatu dengan Kristus harus disebut “Israel Sejati,
“Umat Allah yang baru” (Gal.3:29; 6:16; Rom.9:6).12
Kesatuan yang erat antara gereja dan Kristus dijelaskan Paulus dengan gambaran
“Tubuh Kristus”. Dari semua gambaran yang dipakai Paulus, gambaran mengenai tubuh
adalah yang paling hidup dan penuh arti. Jemaat digambarkan sebagai satu tubuh yang
memberikan gambaran mengenai hubungan Kristus dengan orang orang-rang percaya.
Menurut Tom Jacobs, kata “Tubuh Kristus” dipakai sebagai semacam metafora atau
11Niko Syukur Dister OFM, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 210. 12Niko Syukur, Teologi Sistematika 2, 220.
15
perumpamaan yang hanya mempunyai arti karena Kristus. Gereja tidak disebut ‘tubuh’
karena kerja-sama atau kesatuan antar para anggota, tetapi oleh karena para anggota bersatu
dalam Kristus. Sifat kristologisnya membuat gereja menjadi “tubuh”.13
Küng mengungkapkan bahwa, “jemaat lokal adalah tubuh Kristus”, yang menurut
Paulus, dibangun melalui baptisan (1 Kor. 12:12,13, 14-27; band. 6:5-17), dan yang turut
merayakan Perjamuan Kudus, sebagai simbol keterhisabannya ke dalam tubuh dan darah
Kristus (1 Kor. 10:16). Angota tubuh itu selalu memiliki kharisma atau karunia yang beragam
satu sama lain (1 Kor.12 dan Roma 12) dan dengannya mereka wajib melayani seorang akan
yang lain.14 Kharisma atau karunia tersebut dimaksudkan paulus sebagai pertolongan Allah
dalam hubungannya dengan pembangunan jemaat.
Penggunaan yang lebih berkembang dari gambaran tubuh Kristus dapat terlihat dalam
surat Efesus dan Kolose. Di sini gereja disamakan dengan Tubuh Kristus (Ef. 1:22,23;
4:12,15-16; 5:23; Kol. 1:18,24). Kristus sebagai kepala mengendalikan jemaat, Ia dipandang
sebagai sumber kehidupan dan kepenuhan Jemaat. Dialah yang paling utama (Kol.1:18).
Kristus sebagai kepala ditekankan secara khusus sebagai unsur yang mempersatukan (Ef.
1:22-23; 4:15).15
Küng mengungkapkan “gereja seluruhnya adalah tubuh Kristus”. Jika dalam Surat
Korintus dan Roma gereja lebih menekankan pada individunya, namun dalam Surat Efesus
dan Kolose lebih ditekankan pada keseluruhannya.16 Artinya dimensi eskatologi gereja
berkaitan dengan aspek antropologi dari masyarakat yang nyata. Dengan demikian, gereja
13Tom Jacobs et al., Gereja Menurut Perjanjian Baru, editor. Tom Jacobs (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 48. 14Hans Küng, The Church, terj. Ray and Rosallen Ockenden, cet. 3 (London: Burns & Oates Limited, 1969),
227. 15Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3: Eklesiologi, Eskatologi, Etika, terj. Lisda Tirtapraja Gamadhi,
cet.8 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 72. 16Küng, Church, 230.
16
ada dan terbangun sebagai satu keluarga dalam dunia yang luas, di mana Kristus adalah
kepala dari gereja dalam arti keseluruhan tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memahami bahwa ungkapan Umat Allah dan
Tubuh Kristus yang dipakai secara khusus untuk gereja merupakan satu kenyataan dari
gereja, namun dilihat dari bermacam-macam segi. Gereja mewujudkan suatu persekutuan
yang baru, yang bukan terdiri dari banyak anggota yang semuanya sama dan berdiri sendiri-
sendiri secara berdampingan, yang seorang di samping yang lain. Akan tetapi yang
dipentingkan dalam ungkapan tersebut ialah kesatuan, yang para anggotanya benar-benar
saling berkaitan secara harmonis.
Kesatuan di antara gereja-gereja dalam perkembangan awal ditemukan dalam teologi
Paulus, yaitu bahwa kesatuan gereja dianugerahkan oleh Allah yang menuntut diusahakannya
keutuhan gereja: iman akan Yesus Kristus Tuhan, satu baptisan dalam Kristus, keterlibatan
dalam ekaristi memecah roti yang menjadikan mereka mendemonstrasikan kesatuan tubuh
Kristus.17 Dari pemikiran-pemikiran teologisnya, Paulus secara tegas mengemukakan hakikat
gereja. Gereja adalah persekutuan orang yang percaya akan Kristus, umat Allah dari
perjanjian baru, dan komunitas di dunia dari Tuhan yang dimuliakan.
Gereja merupakan suatu kesatuan atau persekutuan di antara manusia karena rahmat
Kristus, namun di dalam inti gereja orang menemukan misteri. Dulles menjelaskan, arti
utama dari misteri bukanlah Allah menurut hakikatNya yang sebenarnya ataupun pikiran-
pikiran ilahi, akan tetapi terlebih kepada rencana penyelamatan Allah yang menjadi nyata
dalam diri Yesus Kristus.18 Tujuan misteri ialah penyempurnaan alam semesta dan
pemersatuan segala sesuatu di dalam Kritus yang akan menyerahkan diri bersama segala-
galanya kepada Bapa sebagai penyempurnaan eskatologis, dalam persekutuan sempurna dari
17Yusak Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi, 14. 18Avery Dulles S.J, Model-Model Gereja (Ende: Nusa Indah, 1990), 18.
17
kerajaan Allah.19 Gereja merupakan bagian dari misteri Kristus, yang justru menyatakan dan
melaksanakan rencana keselamatannya di dalam gereja. Ia tetap berkarya secara dinamis di
dalam gereja melalui rohNya.
Kata misteri (mysterion) sama dengan kata sakramen (sacramentum). Dalam Kitab
Suci kedua-duanya dipakai untuk rencana keselamatan Allah yang disingkapkan kepada
manusia. Tetapi dalam perkembangan teologi kata misteri dipakai terutama untuk menunjuk
pada segi ilahi dan tidak tampak rencana dan karya Allah, sedangkan kata sakramen lebih
menunjuk pada aspek insani dan tampak.20 Misteri dan sakramen adalah dua aspek dari satu
kenyataan, ilahi dan insani, yang disebut Gereja. Dari satu pihak Gereja bermakna ilahi,
karena merupakan tubuh mistik Kristus dan adalah persekutuan rohani, yang diperkaya
dengan karunia-karunia surgawi itulah sebabnya disebut misteri. Tetapi sekaligus adalah
kelompok insani dilengkapi dengan jabatan hierarkis, karena hidup di dunia. Ini semua di
sebut unsur manusiawi dan ditunjukkan dengan kata sakramen.
Gereja dikatakan tidak tampak karena bersifat spiritual, gereja tidak dapat dilihat
dengan mata jasmani. Persatuan orang percaya dengan Kristus adalah sebuah persatuan
mistis, roh yang membentuk satu ikatan yang tak tampak. Gereja menjadi tampak dalam
pengakuan dan perbuatan, dalam pelayanan firman dan sakramen-sakramen, serta dalam
organisasi dan pemerintahan gereja secara eksternal.21
Sifat misteri gereja memiliki dampak yang sangat penting terhadap metodologi
penyelidikan tentang gereja. Ia menyingkirkan kemungkinan pendekatan yang bertolak
belakang dari konsep-konsep yang jelas, atau dari pengertian-pengertian dalam arti biasa.
Dapat dikatakan sarana pertama yang telah digunakan untuk menjelaskan misteri adalah
19Georg Kircheberger, Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007), 410. 20Niko Syukur, Teologi Sistematika 2, 203. 21Berkhof, Teologi Sistematika 5, 26-28.
18
gambaran.22 Supaya gambaran dapat sungguh-sungguh menjelaskan suatu realita yang mau
dijelaskan, maka gambaran yang dipakai harus berakar dalam pengalaman iman umat.
2.2.3. Model Model Gereja
Gambaran dipergunakan secara reflektif dan kritis untuk memperdalam pemahaman
teoritis mengenai suatu kenyataan, gambaran itu menjadi apa yang dewasa ini disebut
model.23 Ada banyak pengertian kata model yang dipergunakan dalam pemikiran
kontemporer. Ian G. Barbour memilah empat macam penggunaan istilah ini (ekperimental,
logis, matematis dan teoritis) dan menandaskan bahwa model teoritis merupakan perhatian
yang utama, sesuai dengan maksudnya untuk mengadakan perbandingan penggunaan model-
model ini dalam bidang ilmu pengetahuan dan teologi.24 Barbour mendefinisikan model ini
sebagai “representasi simbolis dari segi-segi yang dipilih menyangkut tingkah laku dari
sistem majemuk untuk maksud-maksud tertentu”.
Sebuah model adalah sebuah kasus yang dirancang secara agak sederhana dan
artifisial, yang dirasa berfaedah dan memberi terang untuk menghadapi rupa-rupa kenyataan
yang lebih majemuk dan beraneka ragam. Sangat penting untuk memahami bahwa model
merupakan konstruksi. Model-model bukanlah cermin dari realitas, model-model adalah
“tipe-tipe ideal”, entah berupa posisi-posisi yang dirancang secara logis atau abstraksi-
abstraksi yang dibentuk dalam posisi-posisi konkret.25 Model-model sama seperti gambaran
dan simbol, menyediakan rupa-rupa cara yang melaluinya seseorang dapat mengetahui
realitas di dalam seluruh kekayaan dan kemajemukannya. Model-model memang menyajikan
22Dulles, Model-Model Gereja, 19. 23Dulles, Model-Model Gereja, 23 24Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), 53. 25Bevans, Model Teologi Kontekstual, 54.
19
sebuah pengetahuan yang selalu bersifat separuh dan tidak mencukupi, namun tidak pernah
palsu atau bersifat subjektif.26
Sekurang-kurangnya bagi Gereja Katolik maupun Protestan, penggunaan model-
model untuk mendekati suatu pemahaman tentang suatu persoalan teologis yang majemuk
atau sulit dapat dilihat dalam pemunculan karya Avery Dulles “Model-Model Gereja”,
sebuah karya yang yang telah menjadi klasik dalam teologi Katolik pasca Konsili Vatikan II.
Dalam buku ini, Dulles memperlihatkan dengan sangat meyakinkan kekuatan dalam
menggunakan model untuk memilah persoalan-persoalan di bidang teologi.
Di dalam tulisannya, Dulles menguraikan enam model gereja: Gereja sebagai
institusi, gereja sebagai persekutuan mistik, gereja sebagai sakramen, gereja sebagai
pewarta, gereja sebagai hamba, dan gereja sebagai persekutuan murid-murid. Masing-
masing model ini menyingkapkan ciri khas tentang pemahaman misteri gereja. Kemudian,
Dulles menarik implikasi-implikasi dari setiap model untuk eskatologi, ekumenisme,
pelayanan serta wahyu dan mengakhirinya dengan suatu penilaian terhadap model-model
tersebut, di dalamnya ia menunjukkan segi-segi yang perlu dilestarikan atau perlu
ditinggalkan dalam setiap eklesiologi.
Dulles mengembangkan gagasannya tentang model berdasarkan kajian terhadap karya
Ian G. Barbour, Ian T. Ramsey dan Max Black, yang berhadapan dengan tantangan bagi
bahasa teologis dari positivisme logis, yang menegaskan bahwa penggunaan model-model
dalam bidang ilmu pengetahuan alam cocok untuk wacana teologi.27 Khususnya dalam
kerangka apa yang disebut Ramsey sebagai model-model penyingkapan dan apa yang
dinamakan Dulles sebagai model-model heuristik, maka kenyataan-kenyataan teologi yang
26Bevans, Model Teologi Kontekstual, 55. 27 Bevans, Model Teologi Kontekstual, 52.
20
majemuk seperti gereja, rahmat Allah atau penebusan manusia dapat terbuka bagi
pengungkapan, refleksi dan kritik.28
Dalam rangka mengimbangi rupa-rupa kekurangan dari masing-masing model, maka
seorang teolog mendayagunakan suatu kombinasi dari kekhasan masing-masing model yang
tidak dapat direduksi lagi. Model dominan yang mampu memecahkan masalah atau problem-
problem teologis yang tidak mampu dijelaskan oleh model-model lain disebut paradigma.29
Biasanya paradigma ini berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam dunia dan
masyarakat.
Semua model dalam arti inklusif, sungguh-sungguh tidak memadai dan perlu
dilengkapi oleh model-model yang lain. Seseorang bisa saja menganut satu model sebagai
yang paling tepat menjelaskan realita yang sedang di bahas, namun hal ini tidak menuntut
orang tersebut mesti menolak kebasahan apa yang ditegaskan oleh para teolog yang lainnya.
Suatu sistem teologi yang baik pada umumnya akan mengakui rupa-rupa keterbatasan
metafora-metafora dasarnya, dan oleh karena itu akan terbuka kepada kritik-kritik dari sudut
pandang yang lain.
Di antara enam model gereja yang diuraikan oleh Avery Dulles di dalam bukunya,
penulis akan berusaha menyoroti satu model gereja, yaitu model gereja sebagai institusi yang
telah menjadi paradigma di dalam teologi modern. dengan cara ini penulis beranggapan,
mampu menunjukkan ciri khas aliran-aliran eklesiologis modern, mengidentifikasi
pandangan-pandangan yang paling umum, serta memahami kemantapan aneka gaya teologi.
Model gereja sebagai institusi akan dikemukakan bersama dengan beberapa penilaian tentang
kelebihan dan kekurangannya.
28Dulles, Model-Model Gereja, 28-29. 29Dulles, Model-Model Gereja, 30.
21
2.3. Gereja Sebagai Institusi
Untuk dapat memahami dengan baik konsepsi dan teori tentang gereja sebagai
institusi, harus diketahui apa itu pengertian institusi. Menurut Hendropuspito, institusi
merupakan suatu bentuk organisasi yang secara tetap tersusun dari pola-pola kelakuan,
peranan-peranan dan relasi sebagai cara yang mengikat guna tercapainya kebutuhan-
kebutuhan sosial dasar.30 Sulaeman Taneko mendefinisikan institusi dengan adanya norma-
norma dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam institusi tersebut. Institusi merupakan
pola-pola yang telah mempunyai kekuatan tetap dan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan
haruslah dijalankan menurut pola-pola tersebut.31
Untuk meneliti sebuah organisasi, tidak terlepas dari keberadaan institusi. Menurut
Talcott Parson sebagaimana dikutip oleh Sulaiman Taneko, masyarakat merupakan kumpulan
individu yang membawa budaya masing-masing dengan membentuk lembaga atau institusi itu
sendiri. Menurutnya, sistem-sistem sosial yang ada di masyarakat itu dapat dilihat sebagai suatu
organisasi, yang apabila diteliti akan dilihat pula nilai-nilai yang ada pada lembaga atau institusi
serta aturan-aturan yang mengikat individu. Kemudian diimplementasikan nilai-nilai adaptasi,
prosedur serta norma atau pola-pola pada suatu organisasi.32
Berdasarkan penjelasan di atas, menuntun penulis untuk memahami bahwa Institusi
merupakan serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan, kemudian digunakan
selama periode waktu tertentu (yang relatif lama) untuk mencapai maksud atau tujuan yang
bernilai kolektif (bersama) atau maksud-maksud lain yang bernilai sosial. Institusi tidak
hanya organisasi-organisasi yang memiliki bangunan fisik saja tetapi juga aturan-aturan yang
ada di masyarakat dapat dikategorikan sebagai suatu institusi.
30D. Hendropuspito O.C, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 113. 31B. Sulaiman Taneko, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan ( Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1993), 72. 32B. Sulaiman Taneko, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, 74.
22
Menurut hakikatnya gereja adalah suatu masyarakat yang sempurna, dalam arti dia
tidak tunduk kepada suatu masyarakat lain, dan juga dia memenuhi semua syarat yang
dituntut oleh suatu institusi yang sempurna. Robert Bellarminus sebagaimana dikutip oleh
Avery Dulles, mengungkapkan bahwa gereja merupakan suatu bentuk masyarakat manusia
(Coetus Hominum).33 Selanjutnya Dulles mengungkapkan, dalam salah satu bagian yang
terkenal dalam bukunya Die Controversiis Bellarminus menulis: “gereja yang satu dan benar
adalah masyarakat manusia yang dibentuk oleh pengakuan iman kristiani yang sama, serta
diikat oleh pengambilan bagian dalam sakramen-sakramen yang sama, di bawah bimbingan
para pemimpin yang sah.”
Pengertian gereja tersebut di atas, seluruhnya disusun oleh Bellarminus dari unsur-
unsur yang kelihatan. Ia mau menegaskan bahwa gereja yang benar adalah seperti suatu
masyarakat yang kelihatan sama seperti masyarakat Romawi, Kerajaan Perancis, atau
Republik Venesia.34 Dengan demikian gereja dilukiskan menurut analogi yang diambil dari
masyarakat politis. Gereja sebagai masyarakat historis kongkret, memiliki suatu konstitusi,
seperangkat hukum, badan kepemimpinan dan sekelompok anggota yang menerima
konstitusi dan undang-undang sebagai kewajiban mereka. Tanpa memiliki organisasi yang
tetap, gereja tidak dapat melaksanakan misinya.
Sepanjang sejarah agama Kristen gereja selalu memiliki segi institusional: memiliki
pewartaan yang diakui, menerima formula-formula konvensional, dan menetapkan tata cara
ibadah yang berlaku umum. Namun penekanan pada institusi tidak sama dengan
institusionalisme, walaupun sering bisa terjerumus ke dalam institusionalisme. Dengan
institusionalisme, diharapkan suatu sistem di mana institusional menduduki tempat pertama.
Di dalam dokumen Konsili Vatikan II unsur institusional gereja lebih ditekankan,
yakni organisasi yuridis gereja. Dengan menempatkan organisasi yuridis gereja dalam
33Avery Dulles S.J, Model-Model Gereja (Ende: Nusa Indah, 1991), 16. 34Dulles, Model-Model Gereja, 17.
23
konteks pemikiran teologis yang lebih luas dan mendalam mengenai sifat batiniah gereja,
Vatikan II menghindarkan bahaya-bahaya yuridisme.35 Penekanan unsur ini telah
dikemukakan pada zaman Bapa-Bapa Gereja sampai dengan abad ke-13 (teolog skolastik).
pada akhir abad pertengahan (Kontra Reformasi) semakin ditekankan lagi, khususnya
berkaitan dengan jabatan Paus dan hierarki gereja.
Pandangan institusional mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-19 dan
diungkapkan dengan jelas dalam skema yang pertama dari konstitusi dogmatik tentang gereja
yang disiapkan untuk Konsili Vatikan I. Skema tersebut menjelaskan, gereja tidak hanya
sebagai masyarakat yang sempurna, tetapi juga hukumnya yang permanen dianugerahi oleh
Tuhan sendiri.36 Dalam eklesiologi ini, kekuasaan dan tugas gereja dibagi atas tiga: mengajar,
menguduskan dan memimpin. Gereja juga mempunyai analogi dengan dunia sekular, biar
pun sedikit berbeda.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memahami bahwa gereja sebagai institusi
merupakan suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan,
peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas
formal dan sanksi hukum untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia
supra empiris. Ketentuan yang demikian itu diperlukan untuk menjamin tata tertib dan
menjauhkan kekacauan yang tidak diinginkan. Tiga kekuasaan dan tugas gereja tersebut di
atas tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, apabila tidak ada suatu institusi
yang mengaturnya. Untuk itu diperlukan adanya institusi yang mempunyai wewenang untuk
mengaturnya dengan baik. Di dalam institusi ada unsur kekuasaan yang berwenang untuk
memberikan sanksi hukum sebagai sarana preventif dan represif terhadap warga gereja yang
hendak meremehkan atau menghapusnya.
35Dulles, Model-Model Gereja, 34. 36Dulles, Model-Model Gereja, 35
24
2.3.1. Ciri-Ciri Model Gereja Sebagai Institusi
Suatu ciri dari model gereja institusional adalah konsep tentang otoritas yang hierarki.
Gereja tidak dipahami sebagai suatu masyarakat yang demokratis atau menganut sistem
perwakilan, tetapi sebagai suatu masyarakat di mana pelimpahan kekuasaan memimpin
terpusat di dalam tangan suatu golongan tertentu, yang selalu memilih anggota baru untuk
boleh masuk ke dalam kelompoknya.37
Dalam awal kehidupan bersamanya, gereja telah menetapkan paling tidak otoritas
hierarki sederhana dan esensial yaitu bahwa Yesus Kristus adalah Kepala Gereja dan umat
adalah tubuhNya. Meskipun Yesus Kristus adalah kepala atas gereja, namun gereja perlu
memiliki sistem hierarki dan sistem pemerintahan. Umat Allah perlu mengorganisasikan diri
dan aktivitasnya dalam ketaatan kepada Yesus Kristus dan memperhatikan struktur sosiologis
masyarakat di mana pun ia berada.38
Dalam kehidupan gereja mula-mula, terdapat dua golongan pelayan. Golongan yang
pertama ialah yang dapat disebut golongan kharismatik, yaitu mereka yang mempunyai
kharisma dan panggilan khusus seperti: para rasul, nabi dan penginjil gereja mula-mula.
Pelayanan mereka pada umumnya bersifat regional (berpindah-pindah) sesuai dengan
pimpinan roh kudus dan kebutuhan jemaat-jemaat. Golongan yang kedua ialah pejabat-
pejabat setempat, yaitu para penilik, penatua dan diaken (syamas). Pelayanan mereka bersifat
lokal dan tetap.39
Pada zaman rasuli tidak dibedakan antara penatua dan penilik. Di kemudian hari,
dalam gereja mula-mula mulai nampak tugas-tugas yang lebih tetap dan juga struktur-struktur
37Dulles, Model-Model Gereja, 36. 38Ebenhaizer I Nuban Timo, Umat Ditapal Batas: Percakapan Tentang Gereja Jilid II, Cet.2 (Salatiga:
Alfa Design, 2011), 163. 39Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I: Gereja Mula-Mula Di Dalam Lingkungan Kebudayaan Yunani-
Romawi, Cet.2 (Jawa Timur: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1992), 41.
25
organisasi tertentu mulai diterima, secara khusus dua macam bentuk pelaksanaan struktur
tetap yaitu: “presbiterial kolegial” dan “episkopal monarki”.40 “Presbiterial kolegial” berarti
gereja dipimpin oleh dewan (collegium) para penatua (presbuteroi). Sedangkan, “epsikopal
monarki” berarti gereja dipimpin oleh satu orang (monarkos) yang disebut penilik atau uskup
(episkopos). Semula fungsi episkopos (seperti juga diakonos) serupa dengan fungsi
penggembalaan atau pengajar, akan tetapi tugasnya berkembang menjadi pemimpin gereja
lokal seluruhnya, mulai dibantu oleh beberapa petugas tetap lainnya yang disebut diakonioi.41
Jabatan episkopos sangat berkembang cepat sesuai dengan perkembangan jemaat
yang berada dalam dunia Helenis-Yunani. Sementara itu jabatan presbuteroi hanya digunakan
dalam jemaat-jemaat-jemaat Kristen Yahudi.42 Oleh sebab itu, menjadi sangat mungkin
bahwa jabatan episkopos menjadi satu-satunya pemimpin jemaat. Pada akhirnya kedua
struktur tersebut menjadi satu. Pimpinan gereja ada pada seorang uskup yang dibantu oleh
dewan penatua dan beberapa diaken. Ketiga jabatan tersebut merupakan jabatan organisatoris
yang bersifat tetap, kemudian oleh otoritas gereja diteruskan dalam bentuk institusi yang
terdiri dari berbagai macam fungsi di dalam gereja.43
Di dalam eklesiologi yang berpusat pada institusi terdapat adanya sifat: “klerikalis,
yuridis, dan triumphalis”. Ia bersifat “klerikalis” karena memandang klerus, khususnya klerus
pada posisi yang paling tinggi sebagai sumber segala kekuasaan dan inisiatif.44 Jabatan uskup
sebagai klerus tertinggi sejak zaman rasuli menjadi semakin penting dalam gereja. Dari
petugas yang mengatur hal-hal praktis dalam kehidupan gereja, para uskup telah menjadi
pemimpin-pemimpin rohani yang memainkan peranan kunci di gereja.45 Jabatan uskup mulai
dilihat sebagai ketetapan rasuli. Para rasul menunjuk uskup-uskup di jemaat-jemaat untuk
40Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I, 42. 41Jacobs, Dinamika gereja, 172-173. 42J.L. Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja. Cet.9 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 51. 43Nuban Timo, Umat Ditapal Batas, 145. 44Dulles, Model-Model Gereja, 37. 45Jan. S Aritonang & Chr. De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah Eklesiologi, cet, 6
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 12.
26
meneruskan pekerjaan mereka. Dengan demikian para uskup dilihat sebagai pengganti para
rasul. Melalui penggantian rasuli (successio apostolica), setiap uskup dihubungkan dengan
para rasul.46
Eklesiologi yang berpusat pada institusi bersifat “yuridis”, karena ia memahami
otoritas di dalam gereja serupa dengan pola yuridiksi dalam negara sekular dan sangat
memperluas peranan hukum dan sanksi. Gereja menyadari dirinya sebagai suatu komunitas
(masyarakat) di mana para pemimpinnya memiliki kekuasaan yuridis sosial. Dengan
kekuasaan itu mereka dapat mengatur dengan sah dan mengikat anggotanya dalam hati nurani
melalui peraturan hukum dan kegiatan hukum lainnya.47
Eklesiologi institusional bersifat “triumphalis” untuk menggambarkan gereja sebagai
kesatuan pasukan tempur yang berjuang melawan setan dan kuasa-kuasa kejahatan. Dalam
sejarah gereja, sikap triumphalistik ini terungkap melalui adagium Extra Ecclesiam Nulla
Salus (tidak ada keselamatan di luar gereja). Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh
Cyprianus, seorang uskup dari Kartago. Dengan ungkapan ini, Cyprianus mau mengatakan
bahwa sakramen yang diberikan oleh para bidat (orang-orang yang menyebarkan ajaran yang
melenceng dari ajaran resmi gereja) tidak menghantar keselamatan. Hanya sakramen dalam
gereja yang mampu menyelamatkan. Dengan demikian, ungkapan ini mau menjaga kesatuan
gereja dari benih-benih perpecahan yang ditaburkan oleh para bidat.48 Kesatuan merupakan
syarat mutlak untuk gereja sebagai tubuh Kristus yang tidak terbagi. Kesatuan ini nampak
dalam keuskupan, prinsip kesatuan yang diberikan Kristus melalui para rasul kepada gereja.49
Eklesiologi institusionalis berpikir dalam kerangka pandangan dunia yang statis di
mana segalanya pada intinya tetap sama seperti semula dan karena itu asal-usul menjadi amat
penting. Eklesiologi institusional sangat mengutamakan kegiatan Kristus di dalam
46 Aritonang & De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja, 13 47Eddy Kristiyanto OFM, Gagasan yang menjadi peristiwa: Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), 22. 48Eddy Kristiyanto, Gagasan yang menjadi peristiwa, 27. 49Aritonang & De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja, 16.
27
menetapkan jabatan-jabatan dan sakramen-sakramen yang ada sekarang di dalam gereja.50
Karena itu Konsili Trente menetapkan bahwa ketujuh sakramen dan hierarki sebagai yang
ditetapkan oleh Kristus. Dalam perkembangannya, Konsili Trente menjadi sebuah “solusi”
untuk semua masalah doktrinal dan institusional. Konsili Trente menjadi sebuah ideologi
baru yang merubah gereja menjadi berwajah sama (uniformitas). Semua pengaruh dan kontak
antara tradisi eklesial dengan realitas disaring melalui Konsili Trente. Konsili Trente menjadi
sistem eklesial baru yang bersifat hierakis dan terpusat.51
Berkaitan dengan kritik ilmiah yang tidak bisa membuktikan bahwa semua jabatan,
keyakinan dan ritus diadakan oleh Kristus, para kaum teolog-teolog model ini menerapkan
metode regresif: ajaran terbaru dari magisterium sebagai indikasi terhadap apa yang
seharusnya sudah ada sejak semula. Dalam periode institusional ini gereja tidak mengakui
adanya kuasa mana pun yang membaharui tentang wahyu. Menurut konsep ini, tugas teologi
yang paling mulia adalah menunjukkan bagaimana suatu doktrin yang didefinisikan oleh
gereja terkandung di dalam sumber-sumber wahyu.
2.3.2. Sasaran Pelayanan Model Gereja Sebagai Institusi
Sasaran pelayanan di dalam model institusional pada dasarnya sama seperti tiga
kriteria yang dikemukakan oleh Robert Bellarminus. Sebagaimana dikutip oleh Dulles,
Bellarminus menjelaskan bahwa: “anggota gereja yang menerima ajaran-ajaran yang diakui,
yang mengambil bagian dalam sakramen-sakramen yang sah, dan yang tunduk kepada para
gembala yang diangkat secara sah.”52 Keanggotaan gereja bisa dibuktikan secara yuridis dan
yang mendapat pelayanan dari gereja adalah para anggotanya. Dari penjelasan tersebut, sudah
menjadi jelas bahwa gereja bertujuan memberikan kehidupan kekal bagi para anggotanya.
50Dulles, Model-Model Gereja, 38. 51Eddy Kristiyanto OFM, Reformasi Dari Dalam: sejarah Gereja Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004),
106. 52Dulles, Model-Model Gereja, 39.
28
sikap yang dituntut dari anggotanya adalah patuh dan mempercayakan diri kepada pejabat-
pejabat gereja.
2.3.3. Kekuatan Model Gereja Sebagai Institusi
Ada tiga kekuatan yang terdapat di dalam model eklesiologi institusional, yaitu:
Pertama, teori ini sangat didukung oleh ajaran resmi gereja dari beberapa abad yang lalu.
Gereja berulang kali menekankan bahwa struktur ajaran, tata aturan sakramen, dan susunan
kepemimpinannya bersumber dalam wahyu ilahi. Sehingga sulit bagi orang beriman untuk
mengambil posisi yang berbeda. Kedua, dengan memberikan penekanan yang kuat atas
elemen kontinuitas dari asal-usul agama Kristen, pendekatan institusional menyediakan mata
rantai yang penting antara masa sekarang yang serba tidak pasti dengan masa lampau yang
dihargai sebagai masa ideal. Ketiga, model institusional telah membantu memberikan orang
Kristen suatu realitas identitas kelompok yang jelas (esprit de corps). Umat memiliki
ketaatan institusional yang tinggi, karena mereka didorong untuk menerima maksud dan
ajaran gereja yang ditetapkan oleh pemimpin. Di samping itu, Gereja mempunyai tujuan-
tujuan yang jelas bagi kegiatan misionernya.53
2.3.4. Kelemahan Model Gereja Sebagai Institusi
Di dalam eklesiologi model institusional terdapat lima kelemahan yang tidak kecil.
antara lain:54 Pertama, model ini tidak memiliki dasar biblis dan tradisi gereja perdana.
Hanya sedikit saja teks di dalam Perjanjian Baru yang mendukungnya dan teks-teks tersebut
harus ditafsirkan secara khusus. Dalam Surat-surat Paulus (Roma, Korintus, Efesus),
ditemukan banyak macam pelayanan, fungsi dan kharisma dalam tubuh mistik Kristus.
Namun tidak mungkin menentukan yang dari tugas-tugas itu sama dengan apa yang
53Dulles, Model-Model Gereja, 40. 54Dulles, Model-Model Gereja, 41.
29
dinamakan jabatan. Paulus berbicara banyak tentang pelayan-pelayan sabda, tetapi sangat
kurang tentang jabatan-jabatan kepemimpinan. Dengan demikian, Kitab suci tidak
melukiskan gereja sebagai suatu masyarakat yang seragam dengan peraturan yang ketat.
Kedua, model institusional membawa konsekuensi negatif pada kehidupan
kekristenan. Beberapa kebajikan seperti ketaatan, diberi tekanan yang berlebihan sementara
kebajikan lain diabaikan. “Klerikalisme” agaknya cenderung membuat kaum awam menjadi
pasif, dan menjadikan kerasulan mereka hanya sebagai tambahan belaka dari kerasulan
“hierarki”. “Yuridisme” terlalu membesar-besarkan peranan otoritas manusia dan dengan
demikian mengubah injil menjadi suatu hukum yang baru.
Ketiga, model institusional menghalangi kreativitas teologi. Model ini mengikat
teologi menjadi eksklusif pada tugas untuk membela pendapat yang ditetapkan secara resmi,
dan dengan demikian mengurangi penelitian kritis dan mendalam untuk mencari pengertian
baru. Dalam teologinya, gereja Katolik bergantung banyak pada tradisi untuk mendukung
konsepnya tentang kesatuan dari gereja. gereja Katolik biasanya mengacu pada teologi
perjuangan para Bapa gereja secara khusus Irenius dan Tertulian dalam melawan perpecahan
gereja. Tulisan Bapa-bapa gereja lainnya seperti Cyprian dan Augustinus yang melawan
perpecahan dan mendukung kesatuan gereja Katolik juga banyak digunakan sebagai
argumentasi teologi. Selanjutnya, dukungan lain bagi kesatuan gereja juga terkait erat dengan
pemahaman teologis beberapa teolog Katolik bahwa gereja perlu menjadi gereja yang
kelihatan (secara organisasi menyatu) karena Kristus juga kelihatan ketika Ia berinkarnasi.
Menurut mereka, sebagaimana Kristus kelihatan pada saat inkarnasi, demikian pula tubuh-
Nya yaitu gereja, kelihatan pada saat ketidakhadiranNya.55
Keempat, institusionalisme yang berlebihan menimbulkan problem teologi yang
sangat serius. Menurut beberapa wakil dari aliran ini, keselamatan kekal bagi orang-orang
55Eddy Kristiyanto OFM, Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 42-43.
30
yang bukan bagian dari Gereja hampir mustahil. umat manusia tidak akan memperoleh
keselamatan kekal semata-mata hanya karena mereka bukan orang kristen, tidak bisa
dipercaya dan tidak dapat diterima secara teologis. Model institusional gagal
memperhitungkan daya hidup rohani dari gereja-gereja non-Katolik. Bahkan di dalam Gereja
Roma Katolik sendiri, eklesiologi ini tidak dapat memberikan keleluasaan yang secukupnya
dengan unsur kharismatik.
Kelima, akhirnya eklesiologi ini tidak sesusai dengan tuntutan zaman. Di dalam
zaman dialog, ekumenisme dan perhatian kepada agama-agama dunia, tendens monopoli dari
model ini tidak dapat diterima. Pada masa di mana semua intitusi besar dipandang dengan
rasa curiga dan segan, sangat sulit untuk menarik orang kepada suatu agama yang aspek
institusionalnya memainkan peranan utama. Di dalam masyarakat modern yang pluralistik,
orang tidak mengalami gereja sebagai sarana mutlak yang perlu memberikan arti bagi hidup
mereka. Akan tetapi, mereka rela memilih suatu gereja dengan harapan akan menerima
pelayanan khusus yang tidak diperoleh di tempat lain.56
2.4. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa Gereja dalam arti
institusi tidak terlepas dari sebuah organisasi. Karena di dalam gereja diperlukan suatu
tatanan, pengaturan, penyusunan maupun tentang pengelolaan dalam segala sesuatu proses
yang dilakukan oleh gereja tersebut demi tercapainya pengorganisasian yang baik sehingga
gereja dapat mencapai tujuannya, sebagai mandataris Allah di dunia.
Gereja sebagai institusi dapat juga dilihat sebagai organisasi yang ditinjau dari
sosiologis karena gereja tidak akan pernah lepas dari sudut pandang sosial kemasyarakatan.
Alasan yang mendasarinya, bahwa gereja terdiri dari sudut bagian sosial kemasyarakatan.
56Dulles, Model-Model Gereja, 42.
31
Pandangan ini terjadi karena gereja belumlah sempurna, sehingga diperlukan peraturan dan
disusun dari keterlibatan dan disiplin hidup masyarakat.
Gereja sebagai institusi berusaha menjelaskan bahwa gereja harus menjadi suatu
komunitas yang berstruktur dan harus tetap menjadi komunitas seperti yang didirikan oleh
Kristus sebagai kepala gereja. Komunitas seperti itu mesti mencakup suatu tugas pastoral
yang dilengkapi dengan kekuasaan untuk memimpin dalam komunitas, untuk menentukan
batas-batas perbedaan pendapat yang bisa diterima dan untuk mewakili komunitas secara
resmi.
Gereja sebagai institusi, pada dirinya sendiri cenderung menjadi kaku, doktriner, dan
konformis. Model ini dengan mudah menggantikan Tuhan dengan pejabat gereja. Hal ini bisa
menjadi suatu bentuk penyembahan berhala. Sebagai solusinya, gereja harus tampil sebagai
subordinasi terhadap hidup perutusan komunalnya.