Bab 2 Portofolio (1)
-
Upload
carollius-pratama-putra -
Category
Documents
-
view
225 -
download
7
description
Transcript of Bab 2 Portofolio (1)
Case
TUBERCULOSIS PARU KASUS BARU DALAM FASE PENGOBATAN
INTENSIF
Oleh:
Carollius P Putra, S.Ked 04064881517002
Pembimbing:
Dr.Hj.Novia Diana Roza M.Kes
BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN
KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Makalah:
TUBERCULOSIS PARU KASUS BARU DALAM FASE PENGOBATAN
INTENSIF
Oleh:
Carollius P Putra, S.Ked 04064881517002
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode 11
Januari 2016 – 21 Maret 2016
Palembang, Februari 2016
Pembimbing,
Dr.Hj.Novia Diana Roza M.Kes
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulisan makalah yang berjudul “Tuberculosis Paru
Kasus Baru dalam Fase Pengobatan Intensif” ini dapat diselesaikan.
Laporan makalah ini diajukan untuk memenuhi syarat guna mengikuti
Kepaniteraan Klinik Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode
11 Januari 2016 – 21 Maret 2016.
Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian telaah ilmiah ini,
terutama kepada yang terhormat Dr.Hj.Novia Diana Roza M.Kes atas
bimbingan dan arahan yang telah diberikan dalam pembuatan makalah. Serta
pembimbing-pembimbing lain dr. Sari, Ibu Ismi, Kak Rendi. Serta teman-teman
yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak
disebutkan namanya dalam makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
penulis harapkan. Akhir kata, semoga makalah referat ini membawa manfaat bagi
banyak pihak dan semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Palembang, Februari 2016
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................ii
KATA PENGANTAR................................................................................................iii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iv
BAB I KASUS
1.1 Identifikasi Pasien dan Keluarga.....................................................1
1.2 Anamnesis ......................................................................................1
1.3 Pemeriksaan Fisik ..........................................................................4
1.4 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................6
1.5 Diagnosa Banding...........................................................................6
1.6 Diagnosa Kerja ...............................................................................6
1.7 Tatalaksana .....................................................................................6
1.8 Komplikasi .....................................................................................7
1.9 Prognosis ........................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis Paru..........................................................................8
2.1.1 Definisi......................................................................8
2.1.2 Epidemiologi......................................................................8
2.1.3 Penemuan Kasus TB
..............................................................................................................10
2.1.4 Klasifikasi........................................................................12
2.1.5 Patogenesis..............................................................13
2.1.5.1 TB Primer..............................................................13
2.1.5.2 TB Sekunder..........................................................15
v
2.1.6 Penegakkan Diagnosis
..............................................................................................................16
2.1.6.1 Anamnesis.............................................................16
2.1.6.2 Pemeriksaan Fisik .................................................17
2.1.6.3 Pemeriksaan Radiologis........................................18
2.1.6.4 Sputum..................................................................20
2.1.6.5 Uji Kepekaan Obat TB..........................................21
2.1.7 Penatalaksanan.................................................................22
2.1.6.3 Medikamentosa.....................................................22
2.1.6.4 Non-medikamentosa .............................................24
2.1.8 Komplikasi..............................................................24
2.1.9 Prognosis..........................................................................25
2.2 Rumah Sederhana Sehat..............................................................25
2.2.1 Definisi....................................................................25
2.2.2 Kriteria.............................................................................25
2.2.2.1 Kebutuhan Minimal dan Ruang. ...........................25
2.2.2.2 Kebutuhan Kesehatan dan Kenyamanan...............26
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Penegakkan Diagnosis................................................................29
3.2 Tatalaksana .................................................................................30
3.3 Aspek Kesling ............................................................................30
3.4 Home Visite ...............................................................................31
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................34
vi
1
BAB I
KASUS
1.1 Identifikasi Pasien dan Keluarga
a. Identifikasi Pasien
Nama : Yenni Oktarina
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Karyawan swasta
Pendidikan terakhir : SMK
Agama : Islam
Alamat : 28 Ilir RT 13
Kebangsaan : Indonesia
Dokter muda Pembina : Carollius Pratama Putra, S.Ked
b. Identitas Kepala Keluarga
Nama : Saudi
Umur : 42 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tukang Becak
Pendidikan terakhir : SD
Agama : Islam
Alamat : 28 Ilir RT 13
1.2 Anamnesis
(Autoanamnesis dengan penderita pada tanggal 19 Februari 2016 pukul 10.00
WIB)
Keluhan Utama : Batuk lama
Keluhan tambahan : Penurunan berat badan drastis
Riwayat Perjalanan Penyakit:
2
Sekitar 2 bulan yang lalu, pasien mulai mengeluh batuk, batuk saat itu
tidak berhenti walaupun pasien mengkonsumsi obat batuk dari warung. Batuk
disertai tenggorokan yang gatal dan dahak berwarna putih dengan jumlah ± 1
sendok makan tiap kali batuk. Pasien merasa batuknya mulai sangat
mengganggu terutama pada malam hari. Selain itu, pasien juga mengeluh
demam yang tidak terlalu tinggi selama 1 minggu pada awal batuk, demam
tidak disertai dengan menggigil dan tidak hilang timbul. Riwayat berkeringat
malam disangkal. Pasien berobat ke mantri dan diberikan obat pelega batuk
dan parasetamol.
Satu bulan kemudian batuk tidak menghilang. Riwayat batuk darah
disangkal. Pasien mengaku berat badan pasien juga mulai turun drastis dari 46
kg menjadi 37 kg. Pasien kemudian berobat ke mantri lalu dianjurkan untuk
ke rumah sakit paru. Pasien datang ke puskesmas Makrayu untuk rujukan ke
rs. paru. Pada tanggal 5 januari dilakukan foto thoraks dan pada tanggal 6
januari dilakukan pemeriksaan BTA, lalu dinyatakan positif TB. Mulai 8
januari 2016 pasien teratur minum Obat TB sebanyak 2 tablet sehari dan tidak
lagi bekerja. Pada tanggal 13 januari 2016 Pasien kembali diperiksa dahaknya
di Puskesmas. Satu bulan setelah mengkonsumsi obat TB, pasien kembali ke
Puskesmas untuk mengambil obat lagi, setelah ditimbang berat badan
penderita naik menjadi 39 kg dan batuk (-) sehingga dosis obat TB dinaikkan
menjadi 3 tablet/hari.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), asthma (-), keganasan (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan yang sama dalam keluarga (-)
Keluhan yang sama di sekitar rumah (-)
Riwayat tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), asthma (-), keganasan (-).
3
Riwayat Pengobatan
Riwayat alergi obat (-)
Riwayat Kontak
Tn. Saudi (ayah) : Pemeriksaan dahak dan foto thoraks negatif.
Ny. Ningsih (ibu) : Pemeriksaan dahak dan foto thoraks negatif.
Bayu Saputra (saudara) : Pemeriksaan dahak dan foto thoraks negatif.
Feni Juliata (saudara) : Pemeriksaan dahak dan foto thoraks negatif.
Profil Keluarga
No Nama Kedudukan dalam
Keluarga
Sex Umur (tahun)
Pedidikan Pekerjaan Keterangan
1. Tn. Saudi Ayah L 42 SD Tukang Becak
Sehat
2. Ny. Ningsih Ibu P 39 SD PRT Sehat3. Bayu
SaputraAnak L 12 SD siswa Sehat
4 Reni Juliata Anak P 17 SMK Siswi Sehat5 Yenni
OktariaAnak P 20 SMK Karyawati
swastaSakit
Keterangan:
: : Pasien
4
: Perempuan
: Laki - laki
Riwayat sosial ekonomi
Penderita merupakan karyawan swasta. Ayah penderita merupakan tukang
becak dan ibu penderita merupakan PRT
Kesan : sosioekonomi menengah ke bawah.
1.3 Pemeriksaan Fisik
Tanggal pemeriksaan: 19 Februari 2016
Keadaan Umum
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 90x/menit, reguler, isi dan tegangan: cukup
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 37,0oC
Berat Badan : 39 kg
Tinggi Badan : 153 cm
IMT : 16, 6
Status Gizi : Kurang
Keadaan Spesifik
Kepala
Kulit : Anemis (-), ikterik (-)
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata : Pupil bulat isokor dّ=3mm/3mm, reflek cahaya +/+,
konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-), edema palpebra
(-/-), flikten (-/-)
Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-).
Telinga : Sekret (-), serumen plak (-) .
5
Mulut : Mukosa mulut dan bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-).
Tenggorokan : Faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5 - 2 cm H20
Thorak
Paru-paru
Inspeksi : statis: simetris, dinamis: retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronki (-/+), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis, pulsasi tidak terlihat
Palpasi : Thrill dan iktus tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR: 90 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal,
bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus normal
Lipat paha dan genitalia : Pembesaran KGB (-)
Punggung : Gibbus (-)
Ekstremitas : Akral dingin (-), sianosis (-), capillary
refill < 2 detik, skrofuloderma (-)
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Rontgen thoraks (5 Januari 2016)
6
Paru : Tampak infiltrat di seluruh lapangan paru kiri, kedua
sudut costophrenicus tajam
Kesan : TB Paru aktif dd pneumonia
BTA
6 Januari 2016 : +, +, +
13 Januari 2016 : -, +,-
1.5 Diagnosis Banding
1. Pneumonia
1.6 Diagnosis Kerja
TB Paru BTA positif kasus baru dalam fase pengobatan intensif
1.7 Tatalaksana
1. Nonmedikamentosa
Diet: Makan teratur dengan gizi seimbang.
Pasien, keluarga dan masyarakat sekitar diberi edukasi mengenai
penyakit yang diderita pasien, penatalaksanaannya (lama pengobatan,
jumlah tablet yang harus diminum, cara minum obat, efek samping
obat, ciri obat yang rusak) dan pencegahannya, serta menjelaskan
kesembuhan pasien.
Evaluasi BTA menjelang akhir fase intensif jika (+) masuk ke fase
sisipan selama 1 bulan, jika (-) masuk ke fase lanjutan.
Jika keluhan dirasakan kembali segera berobat ke pelayanan medis
terdekat.
2. Medikamentosa : Paket OAT kotak pertama (Rimfapicin 150 mg,
Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg) 3 tablet /
hari selama 2 bulan.
7
1.8 Komplikasi
- Hemoptisis
- Pneumotoraks
- Gagal napas
- Gagal jantung
- Efusi pleura
1.9 Prognosis
Tergantung pada luas proses, saat mulai pengobatan, kepatuhan penderita
mengikuti aturan penggunaan dan cara pengobatan yang digunakan.
Pada pasien ini
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
2.1. Tuberkulosis Paru
2.1.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kumanTB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya
2.1.2. Epidemiologi
Tuberkulosis PARU (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di dunia ini. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa
terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta
adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB
di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per
100.000 penduduk.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan
penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992
disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua,
sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab
kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil
laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan
tahun ,2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari
jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini
berusia 15 – 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap
tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA
positif) pada setiap 00.000 penduduk.
Saat ini Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan
beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah
sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000
kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000
9
kematian per tahunnya. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa
jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000
orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka
mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana
prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus
TB yang muncul.
Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru
(lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari
kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300
kasus MDR TB setiap tahunnya. Meskipun memiliki beban penyakit TB
yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara High Burden
Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai
target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada
tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB
telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213
diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate
untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata
pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah
sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target
global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB
nasional yang utama.
Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di
seluruh dunia
10
Gambar 1. Pencapaian Program Pengendalian TB Nassional 1995 -2009
Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat
dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat
provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah (Tabel 1).
Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka
penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian
70% CDR dan 85% kesembuhan.
Tabel 1. Pencapaian Target Pengendalian TB per Provinsi 2009
Dengan angka nasional proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan di
bawah 2%, maka angka resistensi obat TB pada pasien yang diobati di
pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah.
2.1.3. Penemuan Kasus TB
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana
pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna
akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di
11
masyarakat, dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB
yang paling efektif di masyarakat
Penemuan pasien TB umumnya diakukan secara pasif dengan promosi
aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan
didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan
maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka
pasien TB.
Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap kelompok khisis yang
rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pasien dengan HIV, kelompok
yang renatan tertular TB seperti rumah tahanan, LP, mereka yang hidup di
daerah kumuh, serta keluarga pasien TB terutama mereka yang memiliki BTA
positif, pemeriksaan terhadap anak balita pada keluarga TB harus dilakukan
untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau
pencegahan.
Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang
memiliki gejala:
Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti
dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari 1 bulan
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
yang lain. Namun,mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini
masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan
gejala tersebut, dianggap sebagai seorang tersangka TB dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung
Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB
dengan salah satu atau lebih kriteria di bawah ini:
Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.
12
Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non
DOTS
Pasien TB gagal pengobatan kategori 1
Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan
Pasien TB kambuh
Pasien TByang kembali berobat setelah default
Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
ODHA dengan gejala TB-HIV
2.1.4. Klasifikasi
I. Klasifikasi Berdasarkan bagian tubuh yang terkena
a) Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan paru tidak termasuk pleura dan kelenjar pada hilus
b) Tuberkulosis ekstra paru; tuberkulosis yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung (pericardium), dll
II. Klasifikasi Berdasarkan Pemeriksaan dahak
a) Tuberkulosis Paru BTA Positif
a. Sekurang - kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS
(sewaktu - pagi - sewaktu) hasilnya BTA positif
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto
thoraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan
kuman TB positif
d. 1 atau lebuh spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumny
hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT
b) Tuberkulosis Paru BTA Negatif
13
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
negatif
b. Foto toraks abnormal sesuai gambaran tuberklosis
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT, bagi pasien dengan HIV negatif
d. Ditentukan / dipertimbangkan oleh dokter untuk diberi
pengobatan
III. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
a) Kasus Baru; adalah pasien yang belum pernah diobati
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1
bulan (4 minggu). Pemeriksaan bisa positif atu negatif
b) Kasus yang sebelumnya diobati
a. Kasus sembuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosa kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
b. Kasus setelah putus berobat (Default) adalah pasien
yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
c. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil
pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan
c) Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindah
keregister lain untuk melanjutkan pengobatannya.
2.1.5. Patogenesis
2.1.5.1. Tb Primer
14
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman yang dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1 - 2 jam,
tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembapan. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-
hari sampai buerbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang
sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel
dapat masuk ke alveoolar bila ukurannya <5 mikrometer. Kuman akan
dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan makrofag dan keluar
dari percabangan trakeobronkial bersamaan dengan gerakan silia dan
sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh
lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil yang disebut sarang primer atau fokus Ghon.
Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian paru. Bila menjalar sampai
ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui
saluran gastro intestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar
getah bening hillus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal
+ limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini
memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat
menjadi:
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat ini yang banyak
terjadi
15
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hillus, keadaan ini terdapat pada lesi
pneumonia yang luasnya >5mm dan 10% diantaranya dapat
terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
Berkomplikasi dan menyebar secara a). Perkontinuantum, yakni
menyebar kesekitarnya b). Secara bronkogen pada paru yang
bersangkitan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga
tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus
d). Secara limfogen dan hematogen ke organ tubuh lainnya.
2.1.5.2. Tb Sekunder
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis
sekunder. Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder
terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit
maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis sekunder ini dimulai
dengan sarang dini yang berlikasi di regio atas paru (bagian apikal-
posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah
parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru
Sarang dini ini mula-mula juga berebentuk sarang pneumonia kecil.
Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma
yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel datia-langhans (sel besar dengan
banyak inti) yang dikelilingi oleh sel - sel limfosit dan berbagai jaringan
ikat
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia
muda menjadi TB usia tua. Tergantung dari jumlah kuman, virulensi,
imunitas pasien, sarang dini ini dapat berubah menjadi:
Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh
dengan serbukan jaringan firbosis. Ada yang membungkus diri
16
menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang
meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan
ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis,
menjadi lembek dan membentuk jaringan keju. Bila jaringan
keju dibatukkan keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula-
mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena
infiltasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi
kavitas sklerotik. Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena
hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag dan aktivitas sitokin yang berlebihan.
Di sini lesi sangat kecil, tertapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas
dapat: a). Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila
isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB
millier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk
lambung dan selanjutnya masuk ke usus dan menjadi TB usus. Sarang ini
selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa
juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila
ruptur ke pleura; b). Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi
tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau
dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik
kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti aspergillus dan kemudian
menjadi mycetoma; c). Bersih dan menyembuh dengan membungkus diri
menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus,
menciut dan berbentuk seperti bintang disebut dengan stellate shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1). Sarang
yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi; 2).
Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap
dan sempurna; 3). Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang
bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan
terjadinya eksaserbasi balik, sebaiknya diberi pengobatan sempurna juga
17
2.1.6. Penegakkan Diagnosis
2.1.6.1. Anamnesis
1. Gejala lokal respiratori antara lain:
Batuk – batuk lebih dari 2 minggu
Batuk berdahak dengan kadang disertai darah
Sesak nafas
Nyeri dada
Gejala – gejala diatas sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi
2. Gejala sistemiki antara lain:
Demam yang lebih dari sebulan
Malaise
Keringat malam walaupun sedang tidak beraktifitas
Anoreksia
Berat badan yang menurun dengan cepat
Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain
tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang dengan gejala
tersebut diatas harus dianggap sebagai seorang “ Suspek tuberkulosis “
atau tersangka penderita TBC dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung.
2.1.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik pasiensering tidak menunjukkan suatu
kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi
secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di
18
dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, karena
hantaran suara yang lebih dari 4cm ke dalamparu sulit dinilai secara
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik,
TB paru sulit dibedakan dari pneumonia biasa
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah apeks
paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Akan didapatkan
juga suara nafas tambahan berupa ronkhi basah, kasar dan nyaring.
Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh pleura, suara nafasnya menjadi
vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi akan
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan
suara amforik.
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit
menjadi ciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang
sehat menjadi hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih
dari setengah jumlah paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah
paru-paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis
(hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya cor pulmonale dan gagal jantung
kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda seperti takipneu, takikardi,
sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur graham steel,
bunyi p2 mengeras, tekanan vena jugularis meningkat, asites.
Bila tuberkulosis mengenai pleura sering terbentuk efusi pleura. Paru
yang sakit terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan
suara pekak. Auskultasi memberikan suara nafas yang lemah sampai
tidak terdengar sama sekali.
2.1.6.3. Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang
membutuhkan biaya lebih dibandingkan dengan pemeriksaan stputum,
19
tetapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti pada
tuberkulosis pada anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal
tersebut pemeriksaan sputum hampir selalu negatif
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang
pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak seperti awan dengan batas
yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan
terlihat berupa bulatan dengan batas tegas. Lesi ini dikenal dengan nama
tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding
tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi
fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi
bayangannya tampak sebagai bercak padat dengan densitas tinggi. Pada
atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapt
terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun satu bagian paru.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru
adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru
(efusi), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru (pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas
(sklerotik/non sklerotik) maupun atelektasis, dan emfisema.
Tuberkulosis seringkali memberikan gambaran yang beragam.
Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering kali diartikan sebagai
pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus. Gambaran kavitas sering
diartikan sebagai abses paru. Disamping itu perlu diingat juga faktor
kesalahan dalam membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai
25%. Oleh sebab itu untuk diagnostik foto radiologi sering juga dilakukan
foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi, dan foto dengan proyeksi
densitas keras.
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan
20
dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto
toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu
dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus
ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung
diagnosis TB paru BTA positif
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya negatif dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotoraks, pleuritis
eksudatif, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptosis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis
atau aspergiloma).
2.1.6.4. Sputum
Pemeriksaan sputum berfungsi utnuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakkan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan yang
berurutan berupa Sewaktu - Pagi - Sewaktu (SPS)
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pota dahak dibawa dan diserahkan
kepada petugas Fasyankes.
S (Sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua,
saat menyerahkan dahak pagi,
21
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dalam skala IUATLD
(International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease):
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif
Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang hanya disebutkan
dengan jumlah kuman yang ditemukan
Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (+1)
Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (+2)
Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (+3)
2.1.6.5. Uji Kepekaan Obat Tb
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M tuberculosis
terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di
laboratorium yang tersertifikasi dan lulus pemantapan mutu. Pemeriksaan
tersebut ditujukan untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria
suspek TB-MDR
22
Gambar 2. Alur Diagnosis TB
2.1.7. Penatalaksanaan
2.1.7.1. Medikamentosa
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan
lanjutan;
Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap
semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu sebagian besar
penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada
akhir pengobatan intensif.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namum dalam jangka waktu yang lebih lama, pengawasan ketat
dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Panduan OAT Di Indonesia
WHO dan IUATLD (Internatioal Union Against Tuberculosis and
Lung Disease) merekomendasikan panduan OAT Standart. Paduan
23
OAT ini disediakan dalam bentuk FDC (Fixed Drug Combination)
dengan tujuan untuk memudahkam pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai satu (1)
paket untuk satu (1) penderita dalam satu (1) masa pengobatan.
a. Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R),
Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) Obat-obat tersebut diberikan
setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan
tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan Rifampisin (R)
diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
• Penderita baru TBC Paru BTA Positif
• Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang “
sakit berat”
• Penderita TBC Ekstra Paru berat
b. Kategori –2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan
dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z),dan
Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap
lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali
dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin
diberikan setelah pemderita selesai menelan obat. Obat ini
diberikan untuk:
• Penderita kambuh (relaps)
• Penderita Gagal (failure)
• Penderita dengan Pengobatan setelah lalai (after default)
c. Kategori –3 ( 2HRZ / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2
24
bulan ( 2HRZ ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR
selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3 ).7 Obat ini
diberikan untuk:
• Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
• Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe ( limfadenitis )
pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit , tb tulang ( kecuali tulang
belakang ) sendi dan kelenjar adrenal.
d. OAT sisipan ( HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA
positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan
ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA
positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari selama 1 bulan.
2.1.7.2. Non-medikamentosa
a) Jauhi dan bentuk lingkungan yang dapat meminimalisir faktor-
faktor risiko penyebab TB dan penyulit untuk penyembuhan TB,
seperti keadaan rumah yang lembab, asupan makanan yang
bergizi, dsb.
b) Edukasi pasien mengenai penyakit yang diderita pasien,
penatalaksanaannya (lama pengobatan, jumlah tablet yang harus
diminum, cara minum obat, efek samping obat, ciri obat yang
rusak) dan pencegahannya, serta menjelaskan kesembuhan
pasien
c) Himbau pasien untuk tidak menularkan penyakitnya ke orang
sekitarnya dengan cara tidak batuk sembarangan, menutup mulut
disaat batuk, dan tidak membuang dahak ke sembarang tempat
d) Edukasi PMO untuk menjalankan tugasnya dengan baik.
Pengawas Minum Obat (PMO) sendiri adalah salah satu
komponen dari DOTS yang berfungsi sebagai pengawasan
25
langsung kepada pasien untuk menjamin keteraturan pengobatan
pasien
2.1.8. Komplikasi
Komplikasi Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema,
laringitis,TB usus. Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi
pada penderita TB Paru stadium lanjut:
a) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau
tersumbatnya jalan nafas
b) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial
c) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru
d) Peumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan
Paru
e) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian, ginjal,dll
f) Insufisiensi Kardio Pulmoner
2.1.9. Prognosis
Pasien yang tidak diobati setelah 5 tahun akan:
1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular.
2.2. Rumah Sederhana Sehat
2.2.1. Definisi
Tempat kediaman yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh
masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang, berupa bangunan yang
luas lantai dan luas kavelingnya memadai dengan jumlah penghuni serta
memenuhi persyaratan kesehatan rumah tinggal.
26
2.2.2. Kriteria
2.2.2.1. Kebutuhan Minimal dan Ruang
Kebutuhan ruang per orang dihitung berdasarkan
aktivitas dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas seseorang
tersebut meliputi aktivitas tidur, makan, kerja, duduk, mandi,
kakus, cuci dan masak serta ruang gerak lainnya. Dari hasil
kajian, kebutuhan ruang per orang adalah 9 m2 dengan
perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2.80 m.
Ruangan minimal yang dibutuhkan:
1 ruang tidur yang memnuhi persyaratan keamanan dengan
bagian- bagiannya tertutup oleh dinding dan atap serta
memiliki pencahayaan yang cukup berdasarkan perhitungan
serta ventilasi cukup dan terlindung dari cuaca. Bagian ini
merupakan ruang yang utuh sesuai dengan fungsi utamannya.
1 ruang serbaguna merupakan ruang kelengkapan rumah
dimana didalamnya dilakukan interaksi antara keluarga dan
dapat melakukan aktivitas-aktivitas lainnya. Ruang ini
terbentuk dari kolom, lantai dan atap, tanpa dinding sehingga
merupakan ruang terbuka namun masih memenuhi
persyaratan minimal untuk menjalankan fungsi awal dalam
sebuah rumah sebelum dikembangkan.
1 kamar mandi/kakus/cuci marupakan bagian dari ruang
servis yang sangat menentukan apakah rumah tersebut dapat
berfungsi atau tidak, khususnya untuk kegiatan mandi cuci
dan kakus.
2.2.2.2. Kebutuhan Kesehatan dan Kenyamanan
a) Pencahayaan
27
Matahari sebagai potensi terbesar yang dapat digunakan
sebagai pencahayaan alami pada siang hari. Pencahayaan
yang dimaksud adalah penggunaan terang langit, dengan
ketentuan sebagai berikut:
cuaca dalam keadaan cerah dan tidak berawan,
ruangan kegiatan mendapatkan cukup banyak cahaya,
ruang kegiatan mendapatkan distribusi cahaya secara
merata.
Kualitas pencahayaan alami siang hari yang masuk ke
dalam ruangan ditentukan oleh:
kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan (mata),
lamanya waktu kegiatan yang membutuhkan daya
penglihatan
sinar matahari langsung dapat masuk ke ruangan minimum 1
jam setiap hari,
cahaya efektif dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai dengan
jam 16.00.
Nilai faktor langit minimum dalam ruangan pada siang hari
tanpa bantuan penerangan buatan, akan sangat dipengaruhi
oleh:
tata letak perabotan rumah tangga, seperti lemari, meja tulis
atau meja makan,
bidang pembatas ruangan, seperti partisi, tirai masif.
b) Penghawaan
Udara merupakan kebutuhan pokok manusia untuk
bernafas sepanjang hidupnya. Udara akan sangat
berpengaruh dalam menentukan kenyamanan pada
28
bangunan rumah. Kenyamanan akan memberikan
kesegaran terhadap penghuni dan terciptanya rumah
yang sehat, apabila terjadi pengaliran atau pergantian
udara secara kontinyu melalui ruangan- ruangan, serta
lubang-lubang pada bidang pembatas dinding atau
partisi sebagai ventilasi.
Agar diperoleh kesegaran udara dalam ruangan
dengan cara penghawaan alami, maka dapat dilakukan
dengan memberikan atau mengadakan peranginan
silang (ventilasi silang) dengan ketentuan sebagai
berikut:
Lubang penghawaan minimal 5% (lima persen) dari luas
lantai ruangan.
Udara yang mengalir masuk sama dengan volume udara
yang mengalir keluar ruangan.
Udara yang masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau
kamar mandi/WC.
c) Suhu Udara dan Kelembapan
Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara
dan kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh
manusia normal. Suhu udara dan kelembaban ruangan
sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayaan.
Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan
ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan
kelembaban tinggi dalam ruangan.
Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban normal untuk
ruangan dan penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu
memperhatikan:
29
keseimbangan penghawaan antara volume udara yang
masuk dan keluar.
pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan perabotan
tidak bergerak.
menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas
lantai ruangan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Penegakkan diagnosisDari anamnesis Pasien YO mengeluh batuk kronis lebih kurang
1 bulan, berat badan menurun, dan mengalami demam yang tidak terlalu
tinggi sekitar 7 hari pertama sakit. Dari gejala diatas dapat dikatakan YO
merupakan suspek TB dan dirujuk ke RS Paru. Pada tanggal 5 januari
2016 pasien YO melakukan foto rontgen, dari situ dilihat bahwa terdapat
infiltrat diseluruh lapang paru sebelah kiri hal ini mirip dengan
pneumonia. Lalu pada tanggal 6 januari 2016 dilakukan pemeriksaan
dahak SPS yang hasilnya +, +, +. Dari pemeriksaan dahak SPS dapat
disimpulkan YO menderita TB.
Dari kasus diatas juga dapat dilihat RS paru tidak mengikuti
strategi DOTS yang disepakati. Seharusnya pasien yang dirujuk dengan
suspek TB langsung dilakukan pemeriksaan sputum SPS. Pada pasien ini
(+,+,+) tidak perlu dilakukan pemeriksaan rontgen sehingga dapat
menghemat biaya yang dikeluarkan.
30
Pada pasien YO tidak ditemukan adanya manifestasi klinis
tuberkulosis di bagian tubuh yang lain seperti skrofuloderma, gibbus,
flekten. Manifestasi klinis dari TB hanya ditemukan di paru-paru yaitu
berupa batuk kronis dan adanya gambaran infiltrat di lapang paru sebelah
kiri. Jadi dapat disimpulkan, pasien YO menderita TB paru.
Pada pemeriksaan dahak SPS di RS Paru didapatkan hasil +,+,
+ , hasil rontgen menunjukkan adanya infiltrat di seluruh lapang paru
bagian kiri, serta ada perbaikan setelah minum OAT, maka dapat
disimpulkan YO menderita TB paru dengan BTA positif.
Pasien belum pernah mengalami penyakit TB sebelumnya dan
tinggal di 28 Ilir yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Makrayu. Dari
sini dapat disimpulkan kasus ini bukan merupakan kasus Transfer In dan
merupakan kasus TB baru (kategori I)
Pada saat wawancara dan pemeriksaan fisik pasien YO sedang
menjalani terapi intensif pengobatan TB yang sudah berlangsung selama 1
bulan. Jadi berdasarkan seluruh data diatas pasien YO dapat didiagnosis
dengan TB paru BTA positif kasus baru dalam fase pengobatan intensif.
3.2. Tatalaksana
Pasien YO berdasarkan diagnosisnya yaitu TB paru BTA positif
kasus baru dalam fase pengobatan intensif ditatalaksana dengan
pengobatan OAT berupa 4 FDC selama 1 bulan lagi sebanyak 3 tablet
sehari (sebelumnya 2 tablet sehari) , jumlah tablet ini ditentukan
berdasarkan berat badan pasien. Menjelang akhir pengobatan dilakukan
pemeriksaan dahak kembali untuk menentukan tindakan selanjutnya. Bila
masih positif dilakukan fase sisipan, jika negatif dilakukan fase lanjutan.
Pada kasus ini FDC diberikan selama 1 bulan. Hal ini benar dengan
pertimbangan seperti rumah pasien yang jauh dan sulitnya transportasi dan
juga sudah dituliskan di etiket nama, alamat, tanggal pemakaian obat, dan
kapan pasien harus kembali. Namun, jika tidak ada kendala seperti yang
disebutkan diatas sebaiknya FDC diberikan untuk 1 minggu.
31
3.3. Aspek Kesling
Berdasarkan kriteria yang ada dalam Keputusan Menteri
Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002
tempat tinggal pasien YO belum memenuhi standart, hal ini bisa
dilihat dari Aspek:
Kebutuhan Minimal dan ruang. Rumah YO tidak memenuhi ini
karena hanya seluas 15m2 dimana terdapat 5 anggota keluarga.
Setidaknya untuk 5 anggota keluarga rumah YO harus seluas 45m2.
Ketinggian rumah YO pun kurang dari minimal yaitu hanya setinggi
2,5 m. Di rumah YO tidak ada ruang khusus kamar tidur, ruang
serbaguna (ruang keluarga) dan ruang untuk MCK. Di rumah YO
hanya hanya terdapat 1 ruangan yang multifungsi baik sebagai dapur,
ruang keluarga, maupun ruang tidur, untuk MCK sendiri YO
menggunakan kamar mandi umum yang ada di dekat rumahnya
Kebutuhan Kesehatan dan Kenyamanan
Pencahayaan, di rumah YO pencahayaannya kurang, hal ini bisa
dilihat ketika sianghari, keluarga YO masih menggunakan
penerangan buatan. Walaupun jendela dan pintu selalu dibuka
pada saat pagi hingga sore hari namun cahaya yang masuk masih
kurang
Penghawaan, Luas lubang penghawaan dri rumah YO adalah
seluas 0,15m2 dimana luas lantainya 15 m2 atau hanya 1% daru
luas lantai, hal ini masih kurang, minimal luas lubang
penghawaan adalah 5% dari luas lantai. Udara yang masuk tidak
berasal dari asap dapur atau kamar mandi. Di dalam rumah
walaupun sudah menggunakan kompor gas hawa di dalam
rumah masih tercampur dengan asap dapur.
Suhu Udara dan Kelembapan. Suhu udara dalam rumah cukup
nyaman sedangkan kelembapannya cukup lembab hal ini
dikarenakan sinar matahari yang masuk kurang.
32
3.4. Home Visite
1. Fungsi Holistik, merupakan fungsi keluarga yang meliputi fungsi
biologis, fungsi psikologis, dan fungsi sosial ekonomis.
Fungsi biologis : didalam kelurga ini tidak terdapat penyakit
yang menurun yaitu seperti thalasemia, hemophilia, dll. Namun
terdapat penyakit menular.
Fungsi psikologis : keluarga ini memiliki fungsi psikologis yang
baik, tidak terdapat kesulitan dalam menghadapi setiap masalah
yang ada pada keluarga, serta hubungan antara anggota keluarga
yang harmonis.
Fungsi sosial ekonomi ; kondisi ekonomi keluarga ini menengah
ke bawah, ayah bekerja sebagai tukang becak dan Ibu bekerja
sebagai PRT, keluarga ini juga berperan aktif dalam setiap
kegiatan dan kehidupan sosial di masyarakat.
2. Fungsi fisiologis keluarga diukur dengan APGAR score. APGAR
score adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga
ditinjau dari sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap
hubungannya dengan anggota keluarga yang lain. APGAR score
meliputi:
Adaptation : keluarga ini sudah mampu beradaptasi antar
sesama anggota keluarga, saling mendukung, saling menerima
dan memberikan saran satu dengan yang lainnya.
Partnership : komunikasi dalam keluarga ini sudah baik,
mereka saling membagi, saling mengisi antar anggota keluarga
dalam setiap masalah yang dialami oleh keluarga tersebut.
Growth : Keluarga ini juga saling memberikan dukungan antar
anggota keluarga akan hal-hal yang baru yang dilakukan anggota
keluarga tersebut.
33
Affection : interaksi dan hubungan kasih sayang antar anggota
keluarga ini sudah terjalin dengan cukup baik.
Resolve : keluarga ini memiliki rasa kebersamaan yang cukup
tinggi dan kadang-kadang menghabiskan waktu bersama dengan
anggota keluarga lainnya.
3. Fungsi Patologis dinilai dengan SCREEM score.
Social , interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar sudah
cukup baik.
Culture , keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan yang
cukup terhadap budaya, tata karma, dan perhatian terhadap
sopan santun.
Religious , keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya.
Economic , status ekonomi keluarga ini menengah ke bawah.
Educational , tingkat pendidikan keluarga ini kurang, dimana
ayah dan ibu tamatan SD.
Medical , keluarga ini sudah mampu mendapat pelayanan
kesehatan yang memadai.
34
DAFTAR PUSTAKA
CDC. 2013. Tuberculosis. (http://www.cdc.gov/tb/). Diakses tanggal 29 Juli 2015
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Depkes RI, 2011
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta:PDPI.
Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis, In : Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2005 : 953-966
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan. 2011. Stop TB Terobosan Menuju Akses Universal: Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 – 2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kementrian Pemukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia. 2002. Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembanguan Rumah sederhana Sehat
35