Bab 2

50
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1. Dasar Teori 2.1.1. Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunne Deficiency Syndrome (AIDS) 2.1.1.1. Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang tergolong retrovirus yang menjadi penyebab AIDS. Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Perancis pada tahun 1983 dengan namaLymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi HIV. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus diubah menjadi HIV. 6 HIV adalah sejenis retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel limfosit T karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD 4. Di dalam sel limfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian, virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infeksius yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. 6 Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu inti (core) dan bagian selubung (envelope). Bagian 6

description

ffg

Transcript of Bab 2

Page 1: Bab 2

Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1. Dasar Teori

2.1.1. Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunne Deficiency

Syndrome (AIDS)

2.1.1.1. Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang tergolong

retrovirus yang menjadi penyebab AIDS. Virus ini pertama kali diisolasi oleh

Montagnier dan kawan-kawan di Perancis pada tahun 1983 dengan

namaLymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat

pada tahun 1984 mengisolasi HIV. Kemudian atas kesepakatan internasional pada

tahun 1986 nama virus diubah menjadi HIV.6

HIV adalah sejenis retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan

partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel

target. Sel target virus ini terutama sel limfosit T karena ia mempunyai reseptor untuk

virus HIV yang disebut CD 4. Di dalam sel limfosit T, virus dapat berkembang dan

seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif.

Walaupun demikian, virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infeksius yang

setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.6

Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu inti (core) dan bagian

selubung (envelope). Bagian inti ini berbentuk silindris tersusun atas dua untaian

RNA (Ribonuceic Acid), enzim reverse transcriptase dan beberapa jenis

protein.Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp41 dan gp120).Gp120

berhubungan dengan reseptor limfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus

(lipid) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap

pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari, dan mudah dimatikan

dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, yodium hipoklorit dan

sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap sinar ultraviolet. Virus HIV hidup dalam

darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati di luar tubuh.HIV dapat juga

ditemukan dalam sel monosit, makrofag, dan sel glia jaringan otak.6

6

Page 2: Bab 2

2.1.1.2. Definisi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan suatu

sindrom/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus yang menyerang

sistem kekebalan tubuh atau pertahanan tubuh.Dengan rusaknya sistem kekebalan

tubuh maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang

berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik.Munculnya sindrom ini erat

hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh yang prosesnya tidaklah

terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV.6

Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan

dalam 2 kategori, yaitu penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala

klinis (penderita AIDS positif) dan penderita yang mengidap HIV tetapi belum

menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif) pada tingkat pandemi, HIV tanpa

gejala jauh lebih banyak daripada AIDS itu sendiri. Menurut Suensen (1989), pada 5-

10 juta penderita HIV positif, 10-30% diantaranya menjadi penderita AIDS dalam

kurun waktu 5-7 tahun. Namun infeksi HIV itu dapat berkembang lebih lanjut dan

menyebabkan kelainan imunologis yang luas dan gejala klinis yang bervariasi.6

Waktu yang diperlukan seseorang terpapar virus HIV sampai dengan

menunjukkan gejala-gejala AIDS rata-rata cukup lama dan dapat mencapai kurang

lebih 12tahun dan semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit.

Selama masa inkubasi ini penderita disebut penderita HIV.Pada fase ini terdapat masa

dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang

lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV, yang dikenal dengan masa window period.

Selama masa inkubasi, penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV

kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat

masa inkubasi yang relatif lama, dan penderitta HIV tidak menunjukkan gejala-gejala

sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini.6

7

Page 3: Bab 2

2.1.1.3. Sejarah HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada

tahun 1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystiscarinii dan sarkoma

Kaposi pada laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika

Serikat.Sebelumnya kasus tersebut sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya

disertai penurunan kekebalan imunitas tubuh. Pada tahun 1983 Luc Montagnier

mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah diisolasi dari pasien dengan

limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV (Lymphadenopathyvirus).

Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat

itu dinamakan HTLV-III.7,8

Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen

Kesehatan pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang sedang

berlibur ke Bali.Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah ditemukan kasus

yang gejalanya sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang

dinyatakan positif.Tetapi tes Western Blot hasilnya negatif, sehingga tidak

dilaporkan.Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto

Mangunkusumo, pada pasien hemofilia.Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar

yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun

negara di dunia ini yang terbebas dari HIV.7

Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah ODHA mencapai 33,3 juta, dengan

kasus baru sebanyak 2,6 jutadan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV,

sembilanpuluh tujuh persen dari negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51%, usia produktif 41% (15-24

tahun) dan anak-anak (WHO, 2010). HIV dan AIDS menyebabkan krisis secara

bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis

ekonomi, pendidikan, dan juga krisis kemanusiaan.Menurut UNAIDS, Indonesia

merupakan Negara dengan pertumbuhan epidemik tercepat di Asia. Pada tahun 2007

menempati urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit dan

stigmata sosial masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan

pengobatan.8,9

2.1.1.4. Epidemiologi HIV/AIDS

8

Page 4: Bab 2

Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih

dari 25 juta jiwa sejak pertamakali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun

2009,jumlah ODHA diperkirakan mencapai 33,3 juta orang,dengan sebagian besar

penderitanya adalah usia produktif, 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta

adalah anak-anak,dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2,6 juta jiwa. Dari jumlah

kasus baru tersebut, sekitar 370000 di antaranya terjadi pada anak-anak. Pada tahun

yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.Peningkatan jumlah

orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun 1990, jumlah ODHA

baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya sudah mencapai

33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya disumbangkan oleh

ODHA di kawasan sub Sahara, Afrika.9

Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di

Indonesia.Sebagian ODHApada periode itu berasal dari kalangan

homoseksual.Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak

pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan

akibat penularan melalui narkotika suntik.Saat ini, perkembangan epidemi HIV di

Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.Sebagian besar infeksi baru diperkirakan

terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti

pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di

beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur telah

tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of

epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized

epidemic).7,10

Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus

baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi

kenaikan tiga kali lipat dibandingjumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun

pertama epidemi AIDS di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan

jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dandata

tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus.10

Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember

2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara

penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika

suntik; 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini

menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok

9

Page 5: Bab 2

heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga akhir tahun

2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada

kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30–39 tahun.7,11

Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir

Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk

Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang

dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang

dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis

orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati

generalisata sebanyak 603 kasus.7,11

2.1.1.5. Etiologi HIV/AIDS

AIDS disebabkanoleh infeksi HIV.HIV adalah suatu virus RNA berbentuk

sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.Strukturnya tersusun atas

beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang

melekat pada glikoprotein gp41.Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap

molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau

makrofag.Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17.Inti HIV dibentuk

oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase

reverse (reverse transcriptase enzyme).Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1

dan HIV-2.Epidemi HIV global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe

HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di

Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika

Barat.12

2.1.1.6. Cara Penularan HIV/AIDS

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui

mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui

jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi,

dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan

HIV pada petugas kesehatan.7

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu

penyakit, yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,

tempat keluar kuman, dan tempat masuk kuman.Virus HIV hingga saat ini terbukti

10

Page 6: Bab 2

hanya menyerang sel limfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya.Virus HIV

sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa

virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan

tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau

serviks dan darah penderita.15

Tabel 1. Risiko Penularan HIV dari Cairan Tubuh.

Sumber:Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan

cairan darah sangat rendah.Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat

tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV)hanya sekitar 0,3%

sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada

mukosa sebesar 0,09%.7,13

2.1.1.7. Kelompok Risiko Tinggi

Berikut ini adalah beberapa kelompok yang dimasukkan dalam kelompok

risiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS:7

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan

- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender

(waria)

- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

11

Risiko tinggi Risiko masih sulit ditentukan

Risiko rendah selama tidak terkontaminasi darah

Darah, serumSemenSputumSekresi vagina

Cairan amnionCairan serebrospinalCairan pleuraCairan peritonealCairan perikardialCairan synovial

Mukosa seriksMuntahFesesSalivaKeringatAir mataUrin

Page 7: Bab 2

2.1.1.8. Perjalanan Penyakit

Dalam tubuh penderita HIV/AIDS, partikel virus bergabung denganDNA sel

pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap

terinfeksi. Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%

berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahunhampir

semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian

meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang

kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.7,8

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan

gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung

selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan

kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik

dengan atau tanpa pengobatan.7,8

2.1.1.9. Stadium Klinis HIV/AIDS

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I

(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV

(sakit berat atau AIDS), lihat table 2. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T

CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi

profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.7

AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV.Selama stadium individu bisa saja

merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut,

sistem imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi oportunistik danmereka

terus menerus menderita penyakit minor dan mayor karena tubuhnya tidak mampu

memberikan pelayanan.7

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan

spektrum yang lebar,mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal

sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan

penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah

infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.7

Tabel 2. Stadium dan Gejala Klinis pada HIV/AIDS

Stadium 1 Asimptomatik

12

Page 8: Bab 2

Tidak ada penurunan berat badanTidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan

Penurunan BB 5-10%ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitisHerpes zoster dalam 5 tahun terakhirLuka di sekitar bibir (keilitis angularis)Ulkus mulut berulangRuam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)Dermatitis seboroikInfeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang

Penurunan berat badan > 10%Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginalOral hairy leukoplakiaTB Paru dalam 1 tahun terakhirInfeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)TB limfadenopatiGingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akutAnemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)

Sindroma wasting HIVPneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulangHerpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.Kandidosis esophagealTB Extraparu*Sarkoma kaposiRetinitis CMV*Abses otak Toksoplasmosis*Encefalopati HIVMeningitis Kriptokokus*Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Sumber:Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4

2.1.2. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

2.1.2.1. Definisi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

13

Page 9: Bab 2

ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) didefinisikan sebagai seseorang yang telah

terinfeksi oleh virus HIV atau yang telah mulai menampakkan satu atau lebih gejala

AIDS. Rentang waktu dari seseorang terinfeksi sampai muncul gejala klinis bisa

sangat bervariasi antara 8 sampai 10 tahun, yang disebut sebagai masa inkubasi, yang

dalam terminologi penyakit HIV/AIDS biasa disebut juga sebagai window period.

Waktu munculnya gejala bisa saja terjadi lebih cepat (kurang dari 2 tahun) atau lebih

lama (lebih dari 10 tahun).14

Menurut Klatt (2006) dalam sebuah kajian literatur mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi stigma dan diskriminasi kepada ODHA oleh petugas kesehatan

mengatakan bahwa sekitar 10% orang yang terinfeksi virus HIV akan berkembang

menjadi AIDS dalam waktu 2 sampai 3 tahun, dan sekitar 10% pengidap HIV tidak

akan berkembang menjadi AIDS bahkan setelah 10 tahun. Untuk membuktikan

bahwa seseorang telah terinfeksi HIV, harus dilakukan pemeriksaan atau tes HIV,

yang biasa dilakukan menggunakan metode pengujian Western Bolt yang bisa

mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, maupun

urin pasien. Sebelum dan setelah melakukan tes HIV, seseorang harus mendapatkan

penyuluhan (konseling). Tes HIV tidak boleh dilakukan tanpa adanya persetujuan dan

berdasarkan informasi lengkap (informed consent) dari yang bersangkutan.14

2.1.2.2. Stigma dan Diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

Stigma menurut Erving Goffman (1968) adalah segala bentuk atribut fisik dan

sosial yang mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasikan orang itu dari

penerimaan seseorang.Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia stigma adalah ciri

negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh

lingkungannya.Menurut UNAIDS, diskriminasi terhadap penderita HIV digambarkan

selalu mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap individu

karena status HIV mereka, baik itu status sebenarnya maupun hanya persepsi saja

(UNAIDS, 2012).14

Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Kementrian

Kesehatan tahun 2010, menemukan data bahwa sikap diskriminatif terhadap anggota

keluarga yang terinfeksi HIV cukup tinggi. Sebanyak 21,7% masih merahasiakan

apabila ada anggota yang terinfeksi HIV/AIDS, dan terdapat 7,1% penduduk yang

bersifat mengucilkan ODHA (Kemenkes, 2010).4

14

Page 10: Bab 2

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

yang berjudul Peran Dukungan Sebaya Terhadap Peningkatan Mutu Hidup ODHA di

Indonesia tahun 2011 menunjukkan bahwa ODHA yang mengalami stigma, paling

banyak mendapatkan stigma dari dokter yaitu 12,5% dan paling sedikit mendapatkan

stigma dari lingkungan kursus. Stigma dari tetangga juga melebihi 10%. Sedangkan

stigma dari orang tua mencapai 9,1%. Stigma terhadap ODHA pada lingkungan

sekolah sekitar 3,5%, sedangkan pada lingkungan rumah sakit/puskesmas sekitar

9,8%. Namun hasil juga menunjukkan persentase tidak terjadi stigma pada ODHA

lebih besar daripada terjadi stigma.1

Berdasarkan hasil penelitian yang sama menunjukkan diskriminasi paling

banyak didapatkan ODHA dari tetangga. ODHA paling sedikit mendapatkan

diskriminasi dari pasangan. Diskriminasi dari lingkungan rumah sakit atau puskesmas

mencapai 7,2%, sedangkan diskriminasi dari lingkungan sekolah dan lingkungan

tempat ibadah sekitar 4,1% dan 4,6%. Hasil penelitian menunjukkan persentase lebih

banyak tidak terjadi diskriminasi pada ODHA.1

Selain oleh pihak keluarga, diskriminasi terhadap penderita dengan HIV/AIDS

juga dilakukan oleh tenaga kesehatan.Diskriminasi dan stigmatisasi terhadap ODHA

telah dilaporkan terjadi di beberapa rumah sakit di Jakarta. Bedasarkan penelitian

yang dilakukan di Indonesia tahun 2011 dengan judul Perilaku Perawat terhadap

Orang Dengan HIV/AIDS di Rumah Sakit dan Puskesmas di dapatkan sikap terhadap

ODHA secara signifikan berbeda antara perawat yang memiliki pelatihan HIV dan

yang tidak, antara perawat yang bekerja di rumah sakit dan Puskesmas, perawat

dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, dan perawat yang merasa kompeten

atau tidak kompeten untuk merawat ODHA. Peningkatan pengetahuan HIV

diperlukan perawat untuk menurunkan stigma pasien ODHA.15

Diskriminasi pada umumnya terjadi jika ada stigma.Stigma muncul terkait

dengan tingkat pengetahuan.Tidak adanya pengetahuan dasar tentang HIV/AIDS,

menyebabkan munculnya beragam tindakan diskriminasi. Beberapa bentuk stigma

eksternal dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS antara lain :1,14

1) Menjauhi ODHA atau tidak meginginkan untuk menggunakan peralatan yang

sama

2) Penolakan oleh keluarga, teman atau masyarakat terhadap ODHA.

3) Peradilan moral berupa sikap yang menyalahkan ODHA karena penyakitnya dan

menganggapnya sebagai orang yang tidak bermoral.

15

Page 11: Bab 2

4) Stigma terhadap orang-orang yang terkait dengan ODHA, misalnya keluarga dan

teman dekatnya

5) Keengganan untuk melibatkan ODHA dalam suatu kelompok atau organisasi

6) Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk ODHA seperti ditolak

bekerja, penolakan dalam pelayanan kesehatan bahkan perlakuan yang berbeda

pada ODHA oleh petugas kesehatan

7) Pelecehan terhadap ODHA baik lisan maupun fisik

8) Pengorbanan, misalnya anak-anak yang terinfeksi HIV atau anak-anak yang

orang tuanya meninggal karena AIDS

Tindakan diskriminasi dan stigmatisasi membuat orang enggan untuk

melakukan tes HIV, enggan mengetahui hasil tes mereka, dan tidak berusaha untuk

memperoleh perawatan yang semestinya serta cenderung menyembunyikan status

penyakitnya. Hal ini semakin memperburuk keadaan, membuat penyakit yang tadinya

dapat dikendalikan menjadi semacam “hukuman mati” bagi para pengidapnya dan

membuat penyakit ini makin meluas penyebarannya secara terselubung.  Diskriminasi

yang dialami ODHA baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan

keluarga maupun di masyarakat umum harus menjadi prioritas upaya penanggulangan

HIV dan AIDS.1

2.1.3.Pengetahuan

2.1.3.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan terjadi melalui pancaindra

manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian

besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga.16

Proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif,

maka perilaku tersebut akan bersikap langgeng. Sebaliknya apabila perilaku tersebut

tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. 16

2.1.3.2. Tingkat Pengetahuan

16

Page 12: Bab 2

Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan sebagai berikut:16,17

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)

terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan

yang telah diterima.Oleh sebab itu tahu adalah tingkat pengetahuan yang paling

rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari

antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan.

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan benar tentang objek

yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap

objek yang dipelajari, misalnya dapat menjelaskan mengapa harus datang ke

Posyandu.

3) Analisis (analysis)

Analisis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini

dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat

bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan.

4) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).Aplikasi disini dapat

diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip.

5) Sintesis (synthesis).

Sintesis menunujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan bagian-bagian di

dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu

kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat

menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.

6) Evaluasi (Evaluation)

17

Page 13: Bab 2

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek.Penilaian-penilaian ini berdasarkan

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang ada.

2.1.3.3.Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003)

adalah: 16,17

1) Umur

Umur merupakan variabel yang selalu diperhatikan dalam penelitian-penelitian

epidemiologi yang merupakan salah satu hal yang mempengaruhi

pengetahuan.Umur adalah lamanya hidup seseorang dalam tahun yang dihitung

sejak dilahirkan.Umur mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah umur akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola

pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin banyak.

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan

selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial

dan kultural.

3) Pendidikan

Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan

perilaku manusia melalui pengetahuan, sehingga dalam pendidikan perlu

dipertimbangkan umur (proses perkembangan klien) dan hubungan dengan proses

belajar. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi persepsi seseorang atau lebih mudah menerima ide-ide dan

teknologi.Pendidikan meliputi peranan penting dalam menentukan kualitas

manusia. Dengan pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan

implikasinya. Semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin

berkualitas karena pendidikan yang tinggi akan membuahkan pengetahuan yang

baik yang menjadikan hidup yang berkualitas.

4) Paparan media massa

18

Page 14: Bab 2

Melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik maka berbagai

informasi dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering

terpapar media massa akan memperoleh informasi yang lebih banyak dan dapat

mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki.Remaja mempunyai rasa ingin

tahu yang besar, namun remaja justru kurang mendapatkan kesempatan untuk

mendapatkan informasi dan pengetahuan yang cukup berkaitan dengan kesehatan

reproduksi.Media memegang peran penting dalampenyebarluasan informasi

tentang Kesehatan Reproduksi Remaja.

5) Sosial ekonomi (pendapatan)

Dalam memenuhi kebutuhan primer, maupun sekunder keluarga, status ekonomi

yang baik akanlebih mudah tercukupi dibanding orang dengan status ekonomi

rendah, semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang semakin mudah dalam

mendapatkan pengetahuan, sehingga menjadikan hidup lebih berkualitas.

6) Pengalaman

Pengalaman adalah suatu sumber pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali

pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi

pada masa yang lalu. Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal

biasanya diperoleh dari lingkungan kehidupan dalam proses pengembangan

misalnya sering mengikuti organisasi.

7) Kepatuhan Terhadap Agama

Agama mempunyai peranan dalam membentuk konsep seseorang tentang sehat

dan sakit. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan tentang peran Tuhan

dalam menentukan nasib seseorang, termasuk didalamnya adalah dalam hal sehat

dan sakit. Peran agama dalam semua aspek kehidupan manusia sudah ada sejak

berabad-abad yang lalu. Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas

kesehatan dan para pemimpin agama mempunyai peran dalam pencegahan dan

pengurangan penularan HIV.

2.1.4. Sikap

19

Page 15: Bab 2

2.1.4.1. Definisi Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu

stimulasi atau objek. Manisfestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat

ditafsrirkan. Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu

untuk berkelakuan dengan pola-pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian

dan perasaan terhadap objek tersebut (Koentjaraningrat, 1983). Menurut Sarwono

(1997), sikap merupakan kecenderungan merespons (secara positif atau negatif)

orang, situasi atau objek tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau

afektif (senang, benci, dan sedih), kognitif (pengetahuan tentang suatu objek), dan

konatif (kecenderungan bertindak).

Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2003), sikap merupakan kesiapan

atau ketersediaan untuk bertindak, yang menjadi presdisposisi tindakan suatu

perilaku, bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi

terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Dengan sikap secara minimal, masyarakat memiliki pola berpikir tertentu dan

pola berpikir diharapkan dapat berubah dengan diperolehnya pengalaman, pendidikan,

dan pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan

pendapat Sarwono (1997) bahwa sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya

tambahan informasi tentang objek tertentu, melalui persuasi serta tekanan dari

kelompok sosialnya.18

2.1.4.2. Komponen Pokok Sikap

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003), komponen pokok sikap

meliputi hal-hal berikut: 18

1. Kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen tersebut, secara bersama-sama membentuk total attitude.

Dalam hal ini, determinan sikap adalah pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi.

Menurut Azwa (1995), sikap memiliki tiga komponen yang membentuk struktur

sikap, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif berisi kepercayan yang

berhubungan dengan persepsi individu terhadap objek sikap dengan apa yang dilihat,

dan diketahui. Komponen afektif menunjukkan dimensi emosional subjektif individu

20

Page 16: Bab 2

terhadap objek sikap, baik yang bersifat positif ataupun negatif. Komponen konatif

kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang dihadapinya.

Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk berdasarkan

pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu. Menurut Azwar (1995),

pembentukan sikap dipengaruhi beberapa faktor, yaitu pengalaman pribadi,

kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga

pendidikan dan lembaga agama, dan faktor emosi dalam diri individu. Sementara itu,

menurut Krech dkk. (1962), pembentukan dan perubahan sikap dapat disebabkan oleh

situasi interaksi kelompok dan situasi komonukasi media. Semua kejadian tersebut

mendapatkan pengalaman dan pada akhirnya akan membentuk keyakinan, perasaan

serta kecenderungan berperilaku. Menurut Sarwono (2000), terdapat beberapa cara

untuk membentuk atau mengubah sikap individu:

Adopsi. Suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui kegiatan yang

berulang dan terus-menerus sehingga lama-kelamaaan secara bertahap akan

diserap oleh individu

Diferensiasi. Terbentuk dan berubahnya sikap karena individu telah memiliki

pengetahuan, pengalaman, intelegensi dan bertambahnya umur. Hal yang pada

awalnya dipandang sejenis, sekarang dipandang tersendiri dan lepas dari jenisnya

sehingga membentuk sikap tersendiri.

Integrasi. Sikap terbentuk secara bertahap. Diawali dari pengetahuan dan

pengalaman terhadap objek sikap tertentu.

Trauma. Pembentukan dan perubahan sikap terjadi melalui kejadian yang tiba-

tiba dan mengejutkan sehingga menimbulkan kesan mendalam.

Generalisasi. Sikap terbentuk dan berubah karena pengalaman traumatik pada

individu terhadap hal tertentu dapat menimbulkan sikap tertentu (positif atau

negatif) terdahap semua hal.

2.1.5. Perilaku

21

Page 17: Bab 2

2.1.5.1. Definisi Perilaku

Dari sudut biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme

yang bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak

langsung.Perilaku manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri.Secara

operasional, perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap

rangsangan dari luar subjek tersebut.

Ensiklopedi Amerika mengartikan perilaku sebagai suatu aksi-reaksi

organisme terhadap lingkungannya.Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang

diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti

rangsangan tertentu akan meghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.19

2.1.5.2. Proses Pembentukan Perilaku

Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Abraham

Harold Maslow, manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu (a) kebutuhan

fisiologis/biologis yang merupakan kebutuhan pokok utama, (b) kebutuhan rasa aman,

(c) kebutuhan mencintai dan dicintai, (d) kebutuhan harga diri, dan (e) kebutuhan

aktualisasi diri. Tingkat dan jenis kebutuhan tersebut satu dan lainnya tidak dapat

dipisahkan karena merupakan satu kesatuan atau rangkaian walaupun pada

hakeketanya kebutuhan fisiologis merupakan faktor yang dominan untuk

kelangsungan hidup manusia. 19

2.1.5.3. Faktor yang memengaruhi Perilaku

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dikelompokkan

menjadi: 19

1. Faktor genetik atau faktor endogen

Faktor genetik atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk

kelanjutan perkembangan perilaku mahluk hidup itu. Faktor genetik berasal dari

dalam diri individu (endogen), antara lain jenis ras, jenis kelamin, sifat fisik, sifat

kepribadian, bakat pembawaan, intelegensi

2. Faktor eksogen atau faktor dari luar individu

22

Page 18: Bab 2

Faktor eksogen atau faktor yang berasal dari luar individu yang dapat

mempengaruhi perilaku seseorang diantaranya adalah faktor lingkungan,

pendidikan, agama, sosial ekonomi, dan kebudayaan.

Faktor-faktor lain yang juga turut serta dalam mempengaruhi perilaku seseorang

diantaranya adalah persepsi, merupakan proses diterimanya rangsang melalui

pancaindra, yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar

tentang sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya; dan emosi, Maramis

(1999) menyebutkan bahwa emosi adalah “manifestasi perasaan atau afek keluar

disertai banyak komponen fisiologik, dan biasanya berlangsung tidak lama”.

Perilaku individu dapat dipengaruhi emosi.Aspek psikologis yang memengaruhi

emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani.Perilaku individu yang sedang

marah, kelihatan mukanya merah.

2.1.5.4. Bentuk Perilaku

Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap

rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut. Secara garis

besar bentuk perilaku ada dua macam, yaitu (a) perilaku pasif (respons internal),

perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat

diamati secara langsung.Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang nyata, (b)

perilaku aktif (respons eksternal), perilaku yang sifatnya terbuka.Perilaku aktif adalah

perilaku yang dapat diamati langsung, berupa tindakan yang nyata. 19

2.1.5.5. Pengaruh Sikap dan Kepercayaan

Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku baik sikap positif dan negatif.

Contoh: 19

Sikap ibu terhadap pentingnya imunisasi bagi bayi (sikap positif) atau sebaliknya

(sikap negatif)

Sikap seseorang yang benci dan iri terhadap keberhasilan orang lain (sikap

negative)

Hal lain yang mempengaruhi perilaku adalah kepercayaan yang dimiliki

seseorang. Contoh:

23

Page 19: Bab 2

Kepercayaan seseorang bahwa perbuatan yang baik akan memperoleh pahala di

kemudian hari (sikap positif).

Kepercayaan pasien terhadap seorang dokter yang merawatnya, akan menimbulkan

sikap yang positif terhadap dokter tersebut, dengan memperhatikan apa nasehatnya

atau sebalikanya.

2.1.6. Norma

2.1.6.1. Definsi Norma

Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh

dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu

dengan disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila

norma tidak dilakukan.Dalam kehidupan umat manusia terdapat bermacam-macam

norma, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum dan

lain-lain. Norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum

digolongkan sebagai norma umum. Selain itu dikenal juga adanya norma khusus,

seperti aturan permainan, tata tertib sekolah, tata tertib pengunjung tempat bersejarah

dan lain-lain.Norma sebagai faktor sosial dipengaruhi oleh sejumlah persepsi atau

keyakinan individu akan harapan sosial agar ia melakukan perilaku tersebut. 19

2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

Mengenai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

2.2.1. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan mengenai Orang dengan

HIV/AIDS (ODHA)

Pada penelitian di Manado pada tahun 2010 mengenai hubungan antara tingkat

pengetahuan tenatng HIV/AIDS dengan sikap seksual pranikah remaja di SMK

Negeri 4 Manado didapatkan bahawa sebagian besar siswa/i SMK Negeri 4 Manado

memiliki pengetahuan yang cukup mengenai HIV/AIDS sebanyak 77 responden

dengan persentase 56,6%, tingkat pengetahuan baik sebanyak 31 responden dengan

persentase 22,7% dan tingkat pengetahuan yang kurang sebanyak 28 responden

dengan persentase 20,5%. Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempegaruhi

pengetahuan mengenai HIV/AIDS.20

1. Umur

24

Page 20: Bab 2

Menurut penelitian yang dilakukan di Irak pada tahun 2014 mengenai

“Knowledge about HIV/AIDS among High School Student in Erbil City/Iraq”,

didapatkan bahwa umur anak SMA < 15 tahun sebanyak 20% memiliki

pengetahuan yang baik tentang HIV/AIDS, umur anak SMA 15-18 tahun

sebanyak 47%, dan umur anak SMA > 19 tahun sebanyak 50% yang

menunjukkan bahwa makin besarnya umur, pengetahuan terhadap HIV-AIDS

makin baik.21

Menurut penelitian yang dilakukandi India pada tahun 2008 dengan judul “A

Study of Awareness about HIV/AIDS among Senior Secondary School Children in

Delhi” didapatkan hasil penelitian bahwa pengetahuan tentang HIV/AIDS pada

umur < 14 tahun sebanyak 16,6%, pada umur 15-17 tahun sebanyak 70,1%

dengan p < 0,05 sehingga terdapat perbedaan yang bermakna antara umur dengan

pengetahuan tentang HIV/AIDS.22

2. Jenis Kelamin

Pada penelitian yang dilakukandi Irak pada tahun 2014 mengenai “Knowledge

about HIV AIDS among High School Student in Erbil City/Iraq”, pengetahuan

baik pada anak SMA laki-laki mengenai HIV/AIDS sekitar 51,1% sedangkan

pada anak SMA perempuan sekitar 38,9% yang menunjukkan bahwa pengetahuan

pada anak laki-laki 12,2% lebih tinggi dibandingkan pada anak perempuan.21

Menurut penelitian yang dilakukan di Amerika tahun 2000 dengan judul

“Adolescents’ Knowledge and Attitudes Concerning HIV Infection and HIV

Infected Persons:How Survey and Focus Group Discussions Are Suited For

Researching Adolescents’ HIV-AIDS Knowledge And Attitudes”didapatkan bahwa

hasil penelitian pengetahuan tentang cara penularan melalui hubungan seks

dengan banyak pasangan dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi HIV/AIDS

pada laki-laki didapatkan 90% jawaban yang benar sedangkan pada perempuan

didapatkan 96% jawaban yang benar dengan p < 0,01 sehingga terdapat adanya

hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan pengetahuan tentang

HIV/AIDS.23

Menurut penelitian yang dilakukandi Afrika Selatan tahun 2008 dengan judul

“Knowledge, Attitude and Prevention practices of HIV/AIDS Among Primary and

Secondary School Teachers in Zambia” didapatkan bahwa pengetahuan tentang

HIV/AIDS dengan jenis kelamin laki-laki dengan rata-rata 4,29 sedangkan pada

25

Page 21: Bab 2

jenis kelamin perempuan dengan rata-rata 4,66 dengan nilai p sama dengan 0,236

dimana tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin dengan

pengetahuan tentang HIV-AIDS.23

3. Pendidikan

Menurut penelitian yang dilakukandi Afrika pada tahun 2008 mengenai

pengetahuan tentang HIV/AIDS pada siswa SMA di tahun pertama adalah 52%,

tahun kedua 31%, tahun ketiga 17%, dengan nilai p sama dengan 0,257 sehingga

bisa dikatakan bahwa tidak adanya hubungan antara taraf pendidikan SMA kelas 1

sampai SMA kelas 3 dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS.24

Menurut penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan pada tahun 2008 dengan

judul “ Knowledge, attitude and prevention practices of HIV/AIDS Among

Primary and Secondary School Teachers in Zambiadidapatkan bahwa sikap yang

lebih baik terhadap Orang dengan HIV/AIDS pada tingkat pendidikan sertifikasi

dengan rata-rata 9,76 diikuti dengan diploma dengan rata-rata 8,81 dan SMA

kelas 3 dengan rata-rata 8,00 dengan nilai p sama dengan 0,124 dimana dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pendidikan

dengan sikap yang lebih baik terhadap Orang dengan HIV/AIDS.23

4. Sumber Informasi

Media memegang peran penting dalampenyebarluasan informasi tentang

Kesehatan Reproduksi Remaja. Menurut Survei Kesehatan Reproduksi Remaja

Indonesia (SKRRI) tahun 2007 remaja Bengkulu mendapat informasi dari televisi

untuk remaja perempuan 92,60% dan remaja laki-laki 72,90%. Sedang menurut

hasil Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2007, media

informasi tertinggi dari televisi 38,2 %, radio 24,4% dan koran 20,8%.Survei

Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 menjelaskan

bahwa tingkat pengetahuan remaja Bengkulu tahun 2007 tentang kesehatan

reproduksi masih rendah diantaranya remaja yang tidak mengetahui tentang hari-

hari masa subur sebesar 37,9%, remaja yang menyatakan tidak tahu tentang sekali

hubungan seksual dapat hamil sebanyak 49,3%, sedangkan 43,4% tidak pernah

mendengar tentang penyakit menular seksual. Kurangnya pengetahuan tentang

kesehatan reproduksi maka dapat menjerumuskan remaja menuju perilaku seks

26

Page 22: Bab 2

bebas yang dapat menyebabkan penularan penyakit menular seksual dan

HIV/AIDS.26

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Surakarta pada tahun 2010

mengenai hubungan penggunaan media massa dengan tingkat pengetahuan

kesehatan reproduksi pada remaja di SMAN 8 Surakarta dinyatakan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna dan dinyatakan bahwa semakin tinggi

penggunaan media massa maka tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi

semakin tinggi pula.27

Menurut penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2012 dengan judul

“HIV/AIDS Related KAP Among High School Students of Municipal Corporation

School in Pune” didapatkan hasil penelitian bahwa anak SMA lebih sering

mendengar sumber informasi dari televisi untuk meningkatkan pengetahuan

mereka. Pada penelitian in dilakukan intervensi melalui film yang diputar dan

dengan film HIV/AIDS tersebut, anak SMA tersebut mengetahui bahwa hubungan

seks bebas adalah cara penularan HIV/AIDS dari 61,76% meningkat menjadi

84,31%.28

5. Sosial EkonomiBerdasarkan penelitian yang didapat bahwa latar belakang ekonomi tidak

menunjukkan hasil signifikan secara statistik terhadap stigma ODHA. Hal sejalan

dengan hasil penelitian di Cina tahun 2013 yang tidak mendapatkan hubungan

antara latar belakang ekonomi dengan perhatiannya terhadap AIDS, akan tetapi

mendapati bahwa pelajar yang tinggal di kota memang lebih mempunyai

pengetahuan tentang HIV/AIDS lebih baik daripada yang tinggal di desa. Pada

penelitian sosial ekonomi dibagi menjadi 5 kuintil yang menunjukkan bahwa

pengetahuan berdasarkan kuintil 1 sampai 5 terhadap HIV AIDS adalah 44,6%,

47,5 %, 50,8%, 54,5%, dan 57,8% yang menunjukkan bahwa makin tinggi kuitil

pada status ekonomi seseorang maka makin tinggi pengetahuan terhadap HIV-

AIDS.29

6. Jurusan di Sekolah

Hasil penelitian di Indonesia tahun 2013 dengan judul Tingkat Pengetahuan

Remaja tentang HIV/AIDS pada Siswa Kelas XI di SMA Negeri 1 Bulu

27

Page 23: Bab 2

Sukoharjo didapatkan dalam kategori baik yaitu sebesar 14,54%, yang termasuk

dalam kategori cukup sebesar 72,73% dan kategori kurang sebanyak 12,73%.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan lainnya (Kalina,

2012) dengan judul Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS pada siswa

Kelas XI IPS di SMA PGRI 1 Sragen dengan hasil sebagian besar responden

mempunyai pengetahuan baik yaitu 53 responden (63,85%). Bersadarkan

penelitian yang dilakukan di SMAN 1 Bulu Sukoharjo didapatkan sebagian besar

responden mempunyai pengetahuan cukup tentang HIV/AIDS.Faktor-faktor yang

mempengarui pengetahuan tersebut adalah informasi dan jurusan yang ada di

sekolah tersebut. Di SMAN 1 Bulu Sukoharjo, belum pernah mengadakan

penyuluhan tentang HIV/AIDS sehingga pengetahuan siswanya belum baik.

Selain itu, di SMAN 1 Bulu Sukoharjo ada 2 jurusan IPA dan IPS, dari analisis

yang telah dilakukan didapatkan siswa yang berpengetahuan cukup lebih banyak

dari jurusan IPA dibandingkan jurusan IPS dikarenkan jurusan IPA diberikan

mata pelajaran tentang kesehatan sedangkan jurusan IPS lebih banyak

memberikan mata pelajaran tentang ilmu sosial.30

Menurut penelitian di India pada tahun 2005 dengan judul “Knowledge About

HIV/AIDS Among Senior High School Students in Jamnagar Gujarat” ,

didapatkan hasil dari penelitian tersebut bahwa perbedaan pengetahuan tentang

HIV/AIDS pada anak SMA jurusan IPA dan anak SMA jurusan IPS. Anak SMA

jurusan IPA dan jurusan IPS pernah mendengar tentang HIV/AIDS sebesar 100%,

anak SMA jurusan IPA mengetahui tentang singkatan dari HIV yaitu sebesar

87,75% dan anak SMA jurusan IPS mengetahui tentang singkatan dari HIV yaitu

sebesar 39,9% sehingga terdapat perbedaan sekitar 47,85% antara jurusan IPA dan

IPS pada anak SMA dan hal tersebut bermakna dengan p< 0,001. Pengetahuan

tentang penyebab dari HIV adalah virus pada anak SMA jurusan IPA sekitar

99,35% dan anak SMA jurusan IPS sekitar 83,7% sehingga terdapat perbedaan

15,65% antara anak SMA jurusan IPA dan IPS dan hal tersebut memiliki

perbedaan yang bermakna. Pengetahuan tentang cara penularan melalui

berhubungan dengan banyak pasangan pada anak SMA jurusan IPA sekitar

92,25% sedangkan pada anak SMA jurusan IPS sekitar 89,6% sehingga terdapat

perbedaan 26,5% antara jurusan IPA dan IPS pada anak SMA dan hal tersebut

tidak bermakna.31

28

Page 24: Bab 2

7. Agama

Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas kesehatan dan para

pemimpin agama mempunyai peran dalam pencegahan dan pengurangan

penularan HIV. Hasil penelitian yang dilakukan di Puerto Rico pada tahun 2011

menyatakan adanya peran agama dalam membentuk konsep tentang sehat dan

sakit serta terikat dengan adanya stigma terhadap penderita HIV/AIDS. Penelitian

lain juga menunjukkan hasil yang sama yang dilakukan oleh tahun 2008 bahwa

kepatuhan beragama petugas kesehatan berpengaruh terhadap stigma dan

diskriminasi kepada penderita HIV/AIDS.31

2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap mengenai Orang dengan

HIV/AIDS (ODHA)

Menurut penelitian yang dilakukan di Afrika pada tahun 2014 dengan judul

“Knowledge, Opinions and Attitudes Towards HIV and AIDS Among Youth in

Botswana” tahun 2014 didapatkan bahwa remaja yang mempunyai tingkat

pengetahuan yang kurang mengenai transmisi dan pencegahan HIV/AIDS sebanyak

39% cenderung tidak mempunyai sikap yang positif terhadap orang dengan

HIV/AIDS (ODHA) dibandingkan dengan mereka yang mempunyai pengetahuan

yang cukup tentang transmisi dan pencegahan HIV.32

Menurut penelitian yang dilakukan di Jepang pada tahun 2013 dengan judul”

“Knowledge, Attitudes and Practices, Regarding HIV/AIDS among Male High School

Students in Lao People’s Democratic Republic” didapatkan hasil penelitian bahwa

murid SMA dengan tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS yang sedang dan tinggi

4,3 (p< 0,001) dan 13,3 (p< 0,001) lebih memiliki sikap positif terhadap Orang

dengan HIV/AIDS dibandingkan dengan tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS

yang rendah. Sama halnya dengan hubungan seks yang aman juga dipantau pada

murid yang memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS yang sedang (p=0,069) dan

pengetahuan tentang HIV/AIDS yang tinggi (p=0,284).29

Sekitar 94% yang pernah mendengar istilah AIDS, tetapi hanya 65,8% yang

pernah mendengar istilah HIV.Sumber informasi yang didapatkan paling banyak

adalah melalui radio. 12,4% partisipan pernah mendengar bahwa AIDS dapat

disembuhkan. Delapanpuluh persen responden mengetahui HIV dapat ditularkan

29

Page 25: Bab 2

melalui semen, cairan vagina, dan darah, 72,2% mengetahui bahwa HIV dapat

ditularkan dari ibu ke anak melalui ASI (Air Susu Ibu), dan 11,4% nya mengatakan

tidak tahu. Terdapat perbedaan yang bermakna hubungan antara orang yang sekolah

dan yang tidak sekolah dengan tingkat pengetahuan seseorang tentang HIV/AIDS.

Ada hubungan antara ketidaktahuan cara penularan HIV dengan sikap yang negatif

terhadap orang dengan HIV/AIDS.33

Penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2000, sekitar 10% responden

yang tidak tahu bagaimana sikap mereka terhadap orang dengan HIV/AIDS. Sekitar

sepertiga hingga setengah dari sampel setuju bahwa AIDS berhubungan dengan hidup

yang tidak bermoral. Sekitar 10% setuju bahwa pasien dengan AIDS lebih baik di

isolasi. Lebih banyak perempuan dari pada laki-laki percaya bahwa pelarangan

prostitusi dapat mengontrol penyebaran AIDS. Di dalam analisis multivariate

didapatkan adanya hubungan antara agama dengan skor sikap, dan hubungan antara

jenis kelamin, dan tingkat sosial ekonomi dengan skor sikap tidak memiliki hubungan

yang bermakna.34

Menurut survei yang dilakukan National AIDS Trust (NAT) pada tahun 2000,

masyarakat yang memiliki sikap yang positif terhadap penderita HIV/AIDS adalah

masyarakat yang dengan rentang grup umur pertengahan (16-24 tahun), tingkat sosial,

dan memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai cara penularan HIV. Perempuan

lebih memiliki simpati dengan penderita HIV/AIDS dibandingkan dengan laki-laki.35

Menurut penelitian yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2009 terdapat

hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan sikap responden

terhadap HIV/AIDS. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian di Afrika pada tahun

2004 bahwa semakin rendah tingkat pengetahuan semakin tidak baik sikap seseorang

terhadap HIV/AIDS dan terdapat perbedaan antara jenis kelamin dengan sikap

terhadap ODHA, dimana perempuan lebih mempunyai simpati dibandingkan dengan

laki-laki.Penelitian di Amerika pada tahun 2014 menemukan tidak ada hubungan

yang bermakna antara jenis kelamin dengan sikap positif terhadap orang dengan

HIV/AIDS.39

Menurut survei yang dilakukan di Afrika Selatan pada tahun 2014 bahwa

semakin tinggi tingkat pendidikan semakin positif sikap terhadap HIV/AIDS,

perempuan lebih memiliki sikap yang positif terhadap ODHA dibandingkan dengan

laki-laki, tingkat sekolah yang lebih tinggi lebih memiliki sikap yang lebih positif.

Kelas 12 tiga kali lebih baik dibandingkan dengan kelas 10.36

30

Page 26: Bab 2

2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Mengenai Orang dengan

HIV/AIDS (ODHA)

Pada penelitian di India pada tahun 2013 mengenai “HIV/AIDS Related Stigma

and Discrimination Among Vietnamese Adolescent”didapatkan bahwa 47 remaja yang

memiliki perilaku diskriminasi seperti menuduh bahwa orang dengan HIV/AIDS

mempunyai perilaku yang buruk seperti menggunakan jarum suntik narkoba

bergantian dan juga sebagai pekerja seks komersial sedangkan 53% lainnya memiliki

perilaku non diskriminasi.37

Menurut penelitian yang dilakukan di Jepang pada tahun 2014 dengan judul

“Knowledge, Attitudes and Practices Regarding HIV/AIDS among High School

Students In Lao People’s Democratic Republic” didapatkan hasil penelitian bahwa

hubungan pengetahuan yang rendah dengan perilaku seksual yang aman 13,2% dan

perilaku seksual yang berisiko 26,8%. Hubungan pengetahuan yang sedang dengan

perilaku seksual yang aman sekitar 54,7% dan perilaku seksual yang berisiko sekitar

39% dengan nilai p sama dengan 0,069. Hubungan pengetahuan yang tinggi dengan

perilaku seksual yang aman sekitar 32,1% dan perilaku seksual yang berisiko 34,1%

dengan nilai p sama dengan 0,284 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan perilaku seksual aman

dan berisiko terhadap HIV/AIDS.29

Penelitian yang dilakukan di China pada tahun 2011 dengan judul AIDS

Knowledge and HIV Stigma Amongs Children Affected by HIV/AIDS in Rural China,

didapatkan bahwa anak dengan tingkat pengetahuan AIDS yang baik kurang

mempunyai stigma personal terhadap ODHA. Hasil penelitian ini konsisten dengan

hasil penelitian lain di China yang menunjukkan kepentingan pengetahuan tentang

AIDS untuk mengurangi stigma tetang ODHA. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Rini dkk di Palembang pada tahun 2011, didapatkan bahwa orang

dengan tingkat pendidikan rendah dan sosial ekonomi tinggi memiliki perilaku negatif

terhadap ODHA (OR = 0.6; 95% CI).40,41

31

Page 27: Bab 2

2.3. Kerangka Teori

32

Perilaku

Pengetahuan

Sikap

Jenis kelamin

Usia

Pekerjaan

Bidang/jurusan sekolah

Tingkat pendidikan

Sosial ekonomi

Tokoh panutan

Emosi dalam individu

Kepatuhan beragama

Kepercayaan

Sumber informasi

Budaya

Norma

Mengenai Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA)

Page 28: Bab 2

2.4. Kerangka Konsep

33

Perilaku

Pengetahuan

Sikap

Faktor-faktor yang mempengerauhi:

Jenis kelamin

Usia

Tingkat pendidikan

Sosial Ekonomi

Sumber informasi

Mengenai orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

Page 29: Bab 2

Daftar Pustaka

1. Mardhiati R, Handayani S. Laporan Akhir Penelitian: Peran Dukungan Sebaya

terhadap Peningkatan Mutu Hidup ODHA di Indonesia tahun 2011. Jakarta:

Komisi Penanggulangan Aids Nasional. Desember 2011. h. 94-97, 99

2. UNAIDS. Fact Sheet 2014 Global Statistics. Diunduh dari

http://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/20150714_FS_MDG6_Re

port_en.pdf pada tanggal 11 September 2015

34

Page 30: Bab 2

3. Ditjen PP dan PL Kemenkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dilapor

sampai dengan September 2014. h. 1-3

4. Heniyuniarti. Hubungan antara dukungan sosial dan depresi dengan kualitas

hidup pada orang dengan HIV/AIDS di Magelang. Univesitas Gajah Mada.

2014

5. Sudikno, Simanungkalit B, Siswanto. Pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja

di Indonesia: Analisis Data Riskesdas 2010. Jurnal Kesehatan Reproduksi. Vol.

1 (3). Agustus 2011. h. 145-154

6. Ratnasari HD. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan

pencegahan dan penularan HIV/AIDS penduduk umur ≥ 15 tahun di Indonesia

berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2010. Depok. Juli 2012.

7. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

8. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan

dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

9. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA,

Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in

infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta:

Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009

10. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

11. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi

HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan 2007

12. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009. Diunduh dari:

http://www.aidsindonesia.or.id

13. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and

related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL,

Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17thed. The

United States of America: McGraw-Hill

35

Page 31: Bab 2

14. Paryati T, RAksanagara AS, Afriandi I. Faktor-faktor yang mempengaruhi

stigma dan diskriminasi kepada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) oleh petugas

kesehatan. Bandung: Unpad. Diunduh dari

15. Waluyo A, Nova PA, Edison C. Perilaku Perawat terhadap orang dengan

HIV/AIDS di Rumah Sakit dan Puskesmas. Jurnal Keperawatan Indonesia. Vol.

14 (2). Juli 2011.h. 127-132

16. Notoatmodjo, S. 2007.Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka

Cipta

17. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka

Cipta

18. Maulana H D J. Promosi kesehatan. Jakarta: EGC; 2008.h.196-8

19. Sunaryo. Sejarah dan Konsep perilaku manusia dalam Psikologi untuk

Keperawatan. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009. h. 3-9

20. Hadi IBS, Kawatu P, Malonda SH, Kapel BJ. HUbungan antara Tingkat

Pengetahuan dengan Sikap Seksual Pranikah Remaja di SMK Negeri 4 Manado.

Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. 2010. Di unduh dari

http://jkesmasfkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/ARTIKEL-3-surya-hadi-

EDIT-baru-FIX.pdf

21. Othman SM. Knowledge About HIV/AIDS Among High School students in

Erbil City/Iraq. 29 Juli 2014.Global Journal of Health Science.

22. Lal P, Nath A, Badhan S, Ingle GK. A study of awareness about HIV/AIDS

among senior secondary school children in Delhi.2008.Indian Journal of

Community Medicine.

23. Potsonen R, Osmo K.Adolescents’ knowledge and attitudes concerning HIV

infection and HIV infected persons:howsuervey and focus group discussions are

suited for researching adolescents’ HIV-AIDS knowledge and attitudes.

2000.Oxford Journal.

24. Mulumba M. Knowledge, attitude and prevention practices of HIV/AIDS

Among Primary and Secondary School Teachers in Zambia. 2008. Health

Studies, University of South Africa.

25. Asante KO, Boadi MO. HIV/AIDS knowledge among undergraduate university

students implications for health education program in Ghana. Jun 2013. African

Health Science Journal.

36

Page 32: Bab 2

26. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia. Gambaran Kesehatan

Reproduksi Remaja Propinsi Bengkulu. 2007

27. Dewi RNVR. Hubungan Penggunaan Media Massa dengan Tingkat

Pengetahuan Kesehatan Reproduksi pada Remaja di SMAN 8 Surakarta. 2010

28. Kumar P, Pore P, Patil U. HIV-AIDS Related KAP Among High School

Students of Municipal Corporation School in Pune.March 2012.National Journal

of Community Medicine.

29. Thanavanh B, Harun Or Rashid M, Kasuya H,Sakamoto J. Knowledge,

attitudes and practices regarding HIV/AIDS among male high school students in

Lao People’s Democratic Republic. J International AIDS Society.2013

30. Ristanti D. Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS Pada Siswa Kelas

XI Di SMA Negeri 1 Bulu Sukoharjo. 2013. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Kusuma Husada

31. Bhalla S, ChandwaniH.Knowledge About HIV/AIDS Among Senior High

School Students in Jamnagar, Gujarat. 2005. Health and Population Perspectives

and Issues.

32. Majelantle Rg, Keetlie M, Bainame K, Nikawana P. Knowledge, Opinions and

Attitudes Toward HIV and AIDS Among Youth in Botswana. Afrika. J Glob

Econ. 2014. Di unduh dari www.esciencecentral.org

33. Paryati T, Raksanagara, Afriandi I. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stigma

dan Diskriminasi kepada Orang dengan HIV/AIDS oleh petugas kesehatan.

Universitas Padjajaran.2012

34. Thanavanh B, Rashid MH, Kasuya H. Knowledge, attitudes and practices,

regarding HIV/AIDS among male high school students in Lao People’s

Democratic Republic. 2013.Journal of the International AIDS Society.

35. SS Lal, RS Vasan, PS Sarma KR Thankappan. Knowledge and attittude of

college student in Kerala towars HIV/AIDS. Sexualoy transmitted diseases and

sexuality. Natl Med J India. Sept 2000; 13(5): 231-6

36. Mdiba S, Mokgatle MM. HIV and AIDS Related Knowledge and Attitudes

Towardslearners Infected With HIV: Survey among High School Learnersin

Gauteng and North West Provinces In South Africa.PeerJ PrePrintsrec: 12 Dec

2014, publ: 12 Dec 2014

37

Page 33: Bab 2

37. Lundgren K, Olausson. HIV/AIDS related stigma and discrimination among

Vietnamese Adolescents. Departemen of Public Healt and Caring Sciences

Section of Caring Sciences. 2013.

38. NAT. HIV: Public Knowledge and Attitudes. UK. 2010. Pg. 25

39. Oktarina, Hanafi F, Budisuari MA. Hubungan antara karakteristik responden,

keadaan wilayah dengan pengetahuan, sikap terhadap HIV/AIDS pada

masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol 12. No. 4.

Oktober 2009.h. 362-9

40. Qun Zhao, Xiao Mung Li, Guo Xiang Zhao, et all. AIDS Knowledge and HIV

Stigma Amongs Children Affected by HIV/AIDS in Rural China. Nanjing

University. 2011.

41. Rini N, Yeni. Determinant of Indonesian People Attitudes Towards People

Living with HIV/AIDS (PLWHA).International Journal of Public Health

Research Special Issue 2011.

38