Bab 2
-
Upload
kevin-ardiansyah -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
description
Transcript of Bab 2
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1. Dasar Teori
2.1.1. Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunne Deficiency
Syndrome (AIDS)
2.1.1.1. Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang tergolong
retrovirus yang menjadi penyebab AIDS. Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Perancis pada tahun 1983 dengan
namaLymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada tahun 1984 mengisolasi HIV. Kemudian atas kesepakatan internasional pada
tahun 1986 nama virus diubah menjadi HIV.6
HIV adalah sejenis retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan
partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel limfosit T karena ia mempunyai reseptor untuk
virus HIV yang disebut CD 4. Di dalam sel limfosit T, virus dapat berkembang dan
seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif.
Walaupun demikian, virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infeksius yang
setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.6
Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu inti (core) dan bagian
selubung (envelope). Bagian inti ini berbentuk silindris tersusun atas dua untaian
RNA (Ribonuceic Acid), enzim reverse transcriptase dan beberapa jenis
protein.Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp41 dan gp120).Gp120
berhubungan dengan reseptor limfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus
(lipid) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap
pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari, dan mudah dimatikan
dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, yodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap sinar ultraviolet. Virus HIV hidup dalam
darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati di luar tubuh.HIV dapat juga
ditemukan dalam sel monosit, makrofag, dan sel glia jaringan otak.6
6
2.1.1.2. Definisi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan suatu
sindrom/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh atau pertahanan tubuh.Dengan rusaknya sistem kekebalan
tubuh maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang
berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik.Munculnya sindrom ini erat
hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh yang prosesnya tidaklah
terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV.6
Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan
dalam 2 kategori, yaitu penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala
klinis (penderita AIDS positif) dan penderita yang mengidap HIV tetapi belum
menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif) pada tingkat pandemi, HIV tanpa
gejala jauh lebih banyak daripada AIDS itu sendiri. Menurut Suensen (1989), pada 5-
10 juta penderita HIV positif, 10-30% diantaranya menjadi penderita AIDS dalam
kurun waktu 5-7 tahun. Namun infeksi HIV itu dapat berkembang lebih lanjut dan
menyebabkan kelainan imunologis yang luas dan gejala klinis yang bervariasi.6
Waktu yang diperlukan seseorang terpapar virus HIV sampai dengan
menunjukkan gejala-gejala AIDS rata-rata cukup lama dan dapat mencapai kurang
lebih 12tahun dan semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit.
Selama masa inkubasi ini penderita disebut penderita HIV.Pada fase ini terdapat masa
dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang
lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV, yang dikenal dengan masa window period.
Selama masa inkubasi, penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV
kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat
masa inkubasi yang relatif lama, dan penderitta HIV tidak menunjukkan gejala-gejala
sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini.6
7
2.1.1.3. Sejarah HIV/AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada
tahun 1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystiscarinii dan sarkoma
Kaposi pada laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika
Serikat.Sebelumnya kasus tersebut sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya
disertai penurunan kekebalan imunitas tubuh. Pada tahun 1983 Luc Montagnier
mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah diisolasi dari pasien dengan
limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV (Lymphadenopathyvirus).
Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat
itu dinamakan HTLV-III.7,8
Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang sedang
berlibur ke Bali.Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah ditemukan kasus
yang gejalanya sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang
dinyatakan positif.Tetapi tes Western Blot hasilnya negatif, sehingga tidak
dilaporkan.Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto
Mangunkusumo, pada pasien hemofilia.Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar
yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun
negara di dunia ini yang terbebas dari HIV.7
Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah ODHA mencapai 33,3 juta, dengan
kasus baru sebanyak 2,6 jutadan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV,
sembilanpuluh tujuh persen dari negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51%, usia produktif 41% (15-24
tahun) dan anak-anak (WHO, 2010). HIV dan AIDS menyebabkan krisis secara
bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis
ekonomi, pendidikan, dan juga krisis kemanusiaan.Menurut UNAIDS, Indonesia
merupakan Negara dengan pertumbuhan epidemik tercepat di Asia. Pada tahun 2007
menempati urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit dan
stigmata sosial masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan
pengobatan.8,9
2.1.1.4. Epidemiologi HIV/AIDS
8
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih
dari 25 juta jiwa sejak pertamakali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun
2009,jumlah ODHA diperkirakan mencapai 33,3 juta orang,dengan sebagian besar
penderitanya adalah usia produktif, 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta
adalah anak-anak,dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2,6 juta jiwa. Dari jumlah
kasus baru tersebut, sekitar 370000 di antaranya terjadi pada anak-anak. Pada tahun
yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.Peningkatan jumlah
orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun 1990, jumlah ODHA
baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya sudah mencapai
33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya disumbangkan oleh
ODHA di kawasan sub Sahara, Afrika.9
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia.Sebagian ODHApada periode itu berasal dari kalangan
homoseksual.Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan
akibat penularan melalui narkotika suntik.Saat ini, perkembangan epidemi HIV di
Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.Sebagian besar infeksi baru diperkirakan
terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti
pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di
beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur telah
tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of
epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic).7,10
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus
baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi
kenaikan tiga kali lipat dibandingjumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun
pertama epidemi AIDS di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan
jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dandata
tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus.10
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember
2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara
penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika
suntik; 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini
menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok
9
heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga akhir tahun
2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada
kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30–39 tahun.7,11
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir
Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk
Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang
dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang
dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis
orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati
generalisata sebanyak 603 kasus.7,11
2.1.1.5. Etiologi HIV/AIDS
AIDS disebabkanoleh infeksi HIV.HIV adalah suatu virus RNA berbentuk
sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.Strukturnya tersusun atas
beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang
melekat pada glikoprotein gp41.Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap
molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau
makrofag.Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17.Inti HIV dibentuk
oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase
reverse (reverse transcriptase enzyme).Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1
dan HIV-2.Epidemi HIV global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe
HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di
Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika
Barat.12
2.1.1.6. Cara Penularan HIV/AIDS
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui
jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi,
dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan
HIV pada petugas kesehatan.7
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit, yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman, dan tempat masuk kuman.Virus HIV hingga saat ini terbukti
10
hanya menyerang sel limfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya.Virus HIV
sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa
virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan
tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau
serviks dan darah penderita.15
Tabel 1. Risiko Penularan HIV dari Cairan Tubuh.
Sumber:Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4
Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan
cairan darah sangat rendah.Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat
tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV)hanya sekitar 0,3%
sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada
mukosa sebesar 0,09%.7,13
2.1.1.7. Kelompok Risiko Tinggi
Berikut ini adalah beberapa kelompok yang dimasukkan dalam kelompok
risiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS:7
- Penjaja seks laki-laki atau perempuan
- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender
(waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.
11
Risiko tinggi Risiko masih sulit ditentukan
Risiko rendah selama tidak terkontaminasi darah
Darah, serumSemenSputumSekresi vagina
Cairan amnionCairan serebrospinalCairan pleuraCairan peritonealCairan perikardialCairan synovial
Mukosa seriksMuntahFesesSalivaKeringatAir mataUrin
2.1.1.8. Perjalanan Penyakit
Dalam tubuh penderita HIV/AIDS, partikel virus bergabung denganDNA sel
pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahunhampir
semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian
meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang
kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.7,8
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan
gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung
selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik
dengan atau tanpa pengobatan.7,8
2.1.1.9. Stadium Klinis HIV/AIDS
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV
(sakit berat atau AIDS), lihat table 2. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T
CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi
profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.7
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV.Selama stadium individu bisa saja
merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut,
sistem imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi oportunistik danmereka
terus menerus menderita penyakit minor dan mayor karena tubuhnya tidak mampu
memberikan pelayanan.7
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan
spektrum yang lebar,mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal
sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan
penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah
infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.7
Tabel 2. Stadium dan Gejala Klinis pada HIV/AIDS
Stadium 1 Asimptomatik
12
Tidak ada penurunan berat badanTidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitisHerpes zoster dalam 5 tahun terakhirLuka di sekitar bibir (keilitis angularis)Ulkus mulut berulangRuam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)Dermatitis seboroikInfeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginalOral hairy leukoplakiaTB Paru dalam 1 tahun terakhirInfeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)TB limfadenopatiGingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akutAnemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIVPneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulangHerpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.Kandidosis esophagealTB Extraparu*Sarkoma kaposiRetinitis CMV*Abses otak Toksoplasmosis*Encefalopati HIVMeningitis Kriptokokus*Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Sumber:Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4
2.1.2. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
2.1.2.1. Definisi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
13
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) didefinisikan sebagai seseorang yang telah
terinfeksi oleh virus HIV atau yang telah mulai menampakkan satu atau lebih gejala
AIDS. Rentang waktu dari seseorang terinfeksi sampai muncul gejala klinis bisa
sangat bervariasi antara 8 sampai 10 tahun, yang disebut sebagai masa inkubasi, yang
dalam terminologi penyakit HIV/AIDS biasa disebut juga sebagai window period.
Waktu munculnya gejala bisa saja terjadi lebih cepat (kurang dari 2 tahun) atau lebih
lama (lebih dari 10 tahun).14
Menurut Klatt (2006) dalam sebuah kajian literatur mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi stigma dan diskriminasi kepada ODHA oleh petugas kesehatan
mengatakan bahwa sekitar 10% orang yang terinfeksi virus HIV akan berkembang
menjadi AIDS dalam waktu 2 sampai 3 tahun, dan sekitar 10% pengidap HIV tidak
akan berkembang menjadi AIDS bahkan setelah 10 tahun. Untuk membuktikan
bahwa seseorang telah terinfeksi HIV, harus dilakukan pemeriksaan atau tes HIV,
yang biasa dilakukan menggunakan metode pengujian Western Bolt yang bisa
mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, maupun
urin pasien. Sebelum dan setelah melakukan tes HIV, seseorang harus mendapatkan
penyuluhan (konseling). Tes HIV tidak boleh dilakukan tanpa adanya persetujuan dan
berdasarkan informasi lengkap (informed consent) dari yang bersangkutan.14
2.1.2.2. Stigma dan Diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
Stigma menurut Erving Goffman (1968) adalah segala bentuk atribut fisik dan
sosial yang mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasikan orang itu dari
penerimaan seseorang.Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia stigma adalah ciri
negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh
lingkungannya.Menurut UNAIDS, diskriminasi terhadap penderita HIV digambarkan
selalu mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap individu
karena status HIV mereka, baik itu status sebenarnya maupun hanya persepsi saja
(UNAIDS, 2012).14
Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Kementrian
Kesehatan tahun 2010, menemukan data bahwa sikap diskriminatif terhadap anggota
keluarga yang terinfeksi HIV cukup tinggi. Sebanyak 21,7% masih merahasiakan
apabila ada anggota yang terinfeksi HIV/AIDS, dan terdapat 7,1% penduduk yang
bersifat mengucilkan ODHA (Kemenkes, 2010).4
14
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
yang berjudul Peran Dukungan Sebaya Terhadap Peningkatan Mutu Hidup ODHA di
Indonesia tahun 2011 menunjukkan bahwa ODHA yang mengalami stigma, paling
banyak mendapatkan stigma dari dokter yaitu 12,5% dan paling sedikit mendapatkan
stigma dari lingkungan kursus. Stigma dari tetangga juga melebihi 10%. Sedangkan
stigma dari orang tua mencapai 9,1%. Stigma terhadap ODHA pada lingkungan
sekolah sekitar 3,5%, sedangkan pada lingkungan rumah sakit/puskesmas sekitar
9,8%. Namun hasil juga menunjukkan persentase tidak terjadi stigma pada ODHA
lebih besar daripada terjadi stigma.1
Berdasarkan hasil penelitian yang sama menunjukkan diskriminasi paling
banyak didapatkan ODHA dari tetangga. ODHA paling sedikit mendapatkan
diskriminasi dari pasangan. Diskriminasi dari lingkungan rumah sakit atau puskesmas
mencapai 7,2%, sedangkan diskriminasi dari lingkungan sekolah dan lingkungan
tempat ibadah sekitar 4,1% dan 4,6%. Hasil penelitian menunjukkan persentase lebih
banyak tidak terjadi diskriminasi pada ODHA.1
Selain oleh pihak keluarga, diskriminasi terhadap penderita dengan HIV/AIDS
juga dilakukan oleh tenaga kesehatan.Diskriminasi dan stigmatisasi terhadap ODHA
telah dilaporkan terjadi di beberapa rumah sakit di Jakarta. Bedasarkan penelitian
yang dilakukan di Indonesia tahun 2011 dengan judul Perilaku Perawat terhadap
Orang Dengan HIV/AIDS di Rumah Sakit dan Puskesmas di dapatkan sikap terhadap
ODHA secara signifikan berbeda antara perawat yang memiliki pelatihan HIV dan
yang tidak, antara perawat yang bekerja di rumah sakit dan Puskesmas, perawat
dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, dan perawat yang merasa kompeten
atau tidak kompeten untuk merawat ODHA. Peningkatan pengetahuan HIV
diperlukan perawat untuk menurunkan stigma pasien ODHA.15
Diskriminasi pada umumnya terjadi jika ada stigma.Stigma muncul terkait
dengan tingkat pengetahuan.Tidak adanya pengetahuan dasar tentang HIV/AIDS,
menyebabkan munculnya beragam tindakan diskriminasi. Beberapa bentuk stigma
eksternal dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS antara lain :1,14
1) Menjauhi ODHA atau tidak meginginkan untuk menggunakan peralatan yang
sama
2) Penolakan oleh keluarga, teman atau masyarakat terhadap ODHA.
3) Peradilan moral berupa sikap yang menyalahkan ODHA karena penyakitnya dan
menganggapnya sebagai orang yang tidak bermoral.
15
4) Stigma terhadap orang-orang yang terkait dengan ODHA, misalnya keluarga dan
teman dekatnya
5) Keengganan untuk melibatkan ODHA dalam suatu kelompok atau organisasi
6) Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk ODHA seperti ditolak
bekerja, penolakan dalam pelayanan kesehatan bahkan perlakuan yang berbeda
pada ODHA oleh petugas kesehatan
7) Pelecehan terhadap ODHA baik lisan maupun fisik
8) Pengorbanan, misalnya anak-anak yang terinfeksi HIV atau anak-anak yang
orang tuanya meninggal karena AIDS
Tindakan diskriminasi dan stigmatisasi membuat orang enggan untuk
melakukan tes HIV, enggan mengetahui hasil tes mereka, dan tidak berusaha untuk
memperoleh perawatan yang semestinya serta cenderung menyembunyikan status
penyakitnya. Hal ini semakin memperburuk keadaan, membuat penyakit yang tadinya
dapat dikendalikan menjadi semacam “hukuman mati” bagi para pengidapnya dan
membuat penyakit ini makin meluas penyebarannya secara terselubung. Diskriminasi
yang dialami ODHA baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan
keluarga maupun di masyarakat umum harus menjadi prioritas upaya penanggulangan
HIV dan AIDS.1
2.1.3.Pengetahuan
2.1.3.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian
besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga.16
Proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif,
maka perilaku tersebut akan bersikap langgeng. Sebaliknya apabila perilaku tersebut
tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. 16
2.1.3.2. Tingkat Pengetahuan
16
Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan sebagai berikut:16,17
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima.Oleh sebab itu tahu adalah tingkat pengetahuan yang paling
rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan.
2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan benar tentang objek
yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap
objek yang dipelajari, misalnya dapat menjelaskan mengapa harus datang ke
Posyandu.
3) Analisis (analysis)
Analisis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini
dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat
bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan.
4) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).Aplikasi disini dapat
diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip.
5) Sintesis (synthesis).
Sintesis menunujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat
menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
6) Evaluasi (Evaluation)
17
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek.Penilaian-penilaian ini berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang ada.
2.1.3.3.Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003)
adalah: 16,17
1) Umur
Umur merupakan variabel yang selalu diperhatikan dalam penelitian-penelitian
epidemiologi yang merupakan salah satu hal yang mempengaruhi
pengetahuan.Umur adalah lamanya hidup seseorang dalam tahun yang dihitung
sejak dilahirkan.Umur mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah umur akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola
pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin banyak.
2) Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan
selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial
dan kultural.
3) Pendidikan
Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan
perilaku manusia melalui pengetahuan, sehingga dalam pendidikan perlu
dipertimbangkan umur (proses perkembangan klien) dan hubungan dengan proses
belajar. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang atau lebih mudah menerima ide-ide dan
teknologi.Pendidikan meliputi peranan penting dalam menentukan kualitas
manusia. Dengan pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan
implikasinya. Semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin
berkualitas karena pendidikan yang tinggi akan membuahkan pengetahuan yang
baik yang menjadikan hidup yang berkualitas.
4) Paparan media massa
18
Melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik maka berbagai
informasi dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering
terpapar media massa akan memperoleh informasi yang lebih banyak dan dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki.Remaja mempunyai rasa ingin
tahu yang besar, namun remaja justru kurang mendapatkan kesempatan untuk
mendapatkan informasi dan pengetahuan yang cukup berkaitan dengan kesehatan
reproduksi.Media memegang peran penting dalampenyebarluasan informasi
tentang Kesehatan Reproduksi Remaja.
5) Sosial ekonomi (pendapatan)
Dalam memenuhi kebutuhan primer, maupun sekunder keluarga, status ekonomi
yang baik akanlebih mudah tercukupi dibanding orang dengan status ekonomi
rendah, semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang semakin mudah dalam
mendapatkan pengetahuan, sehingga menjadikan hidup lebih berkualitas.
6) Pengalaman
Pengalaman adalah suatu sumber pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi
pada masa yang lalu. Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal
biasanya diperoleh dari lingkungan kehidupan dalam proses pengembangan
misalnya sering mengikuti organisasi.
7) Kepatuhan Terhadap Agama
Agama mempunyai peranan dalam membentuk konsep seseorang tentang sehat
dan sakit. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan tentang peran Tuhan
dalam menentukan nasib seseorang, termasuk didalamnya adalah dalam hal sehat
dan sakit. Peran agama dalam semua aspek kehidupan manusia sudah ada sejak
berabad-abad yang lalu. Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas
kesehatan dan para pemimpin agama mempunyai peran dalam pencegahan dan
pengurangan penularan HIV.
2.1.4. Sikap
19
2.1.4.1. Definisi Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu
stimulasi atau objek. Manisfestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat
ditafsrirkan. Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu
untuk berkelakuan dengan pola-pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian
dan perasaan terhadap objek tersebut (Koentjaraningrat, 1983). Menurut Sarwono
(1997), sikap merupakan kecenderungan merespons (secara positif atau negatif)
orang, situasi atau objek tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau
afektif (senang, benci, dan sedih), kognitif (pengetahuan tentang suatu objek), dan
konatif (kecenderungan bertindak).
Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2003), sikap merupakan kesiapan
atau ketersediaan untuk bertindak, yang menjadi presdisposisi tindakan suatu
perilaku, bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Dengan sikap secara minimal, masyarakat memiliki pola berpikir tertentu dan
pola berpikir diharapkan dapat berubah dengan diperolehnya pengalaman, pendidikan,
dan pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sarwono (1997) bahwa sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya
tambahan informasi tentang objek tertentu, melalui persuasi serta tekanan dari
kelompok sosialnya.18
2.1.4.2. Komponen Pokok Sikap
Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003), komponen pokok sikap
meliputi hal-hal berikut: 18
1. Kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan bertindak (tend to behave)
Ketiga komponen tersebut, secara bersama-sama membentuk total attitude.
Dalam hal ini, determinan sikap adalah pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi.
Menurut Azwa (1995), sikap memiliki tiga komponen yang membentuk struktur
sikap, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif berisi kepercayan yang
berhubungan dengan persepsi individu terhadap objek sikap dengan apa yang dilihat,
dan diketahui. Komponen afektif menunjukkan dimensi emosional subjektif individu
20
terhadap objek sikap, baik yang bersifat positif ataupun negatif. Komponen konatif
kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang dihadapinya.
Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk berdasarkan
pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu. Menurut Azwar (1995),
pembentukan sikap dipengaruhi beberapa faktor, yaitu pengalaman pribadi,
kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga
pendidikan dan lembaga agama, dan faktor emosi dalam diri individu. Sementara itu,
menurut Krech dkk. (1962), pembentukan dan perubahan sikap dapat disebabkan oleh
situasi interaksi kelompok dan situasi komonukasi media. Semua kejadian tersebut
mendapatkan pengalaman dan pada akhirnya akan membentuk keyakinan, perasaan
serta kecenderungan berperilaku. Menurut Sarwono (2000), terdapat beberapa cara
untuk membentuk atau mengubah sikap individu:
Adopsi. Suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui kegiatan yang
berulang dan terus-menerus sehingga lama-kelamaaan secara bertahap akan
diserap oleh individu
Diferensiasi. Terbentuk dan berubahnya sikap karena individu telah memiliki
pengetahuan, pengalaman, intelegensi dan bertambahnya umur. Hal yang pada
awalnya dipandang sejenis, sekarang dipandang tersendiri dan lepas dari jenisnya
sehingga membentuk sikap tersendiri.
Integrasi. Sikap terbentuk secara bertahap. Diawali dari pengetahuan dan
pengalaman terhadap objek sikap tertentu.
Trauma. Pembentukan dan perubahan sikap terjadi melalui kejadian yang tiba-
tiba dan mengejutkan sehingga menimbulkan kesan mendalam.
Generalisasi. Sikap terbentuk dan berubah karena pengalaman traumatik pada
individu terhadap hal tertentu dapat menimbulkan sikap tertentu (positif atau
negatif) terdahap semua hal.
2.1.5. Perilaku
21
2.1.5.1. Definisi Perilaku
Dari sudut biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
yang bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak
langsung.Perilaku manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri.Secara
operasional, perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap
rangsangan dari luar subjek tersebut.
Ensiklopedi Amerika mengartikan perilaku sebagai suatu aksi-reaksi
organisme terhadap lingkungannya.Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang
diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti
rangsangan tertentu akan meghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.19
2.1.5.2. Proses Pembentukan Perilaku
Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Abraham
Harold Maslow, manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu (a) kebutuhan
fisiologis/biologis yang merupakan kebutuhan pokok utama, (b) kebutuhan rasa aman,
(c) kebutuhan mencintai dan dicintai, (d) kebutuhan harga diri, dan (e) kebutuhan
aktualisasi diri. Tingkat dan jenis kebutuhan tersebut satu dan lainnya tidak dapat
dipisahkan karena merupakan satu kesatuan atau rangkaian walaupun pada
hakeketanya kebutuhan fisiologis merupakan faktor yang dominan untuk
kelangsungan hidup manusia. 19
2.1.5.3. Faktor yang memengaruhi Perilaku
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dikelompokkan
menjadi: 19
1. Faktor genetik atau faktor endogen
Faktor genetik atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk
kelanjutan perkembangan perilaku mahluk hidup itu. Faktor genetik berasal dari
dalam diri individu (endogen), antara lain jenis ras, jenis kelamin, sifat fisik, sifat
kepribadian, bakat pembawaan, intelegensi
2. Faktor eksogen atau faktor dari luar individu
22
Faktor eksogen atau faktor yang berasal dari luar individu yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang diantaranya adalah faktor lingkungan,
pendidikan, agama, sosial ekonomi, dan kebudayaan.
Faktor-faktor lain yang juga turut serta dalam mempengaruhi perilaku seseorang
diantaranya adalah persepsi, merupakan proses diterimanya rangsang melalui
pancaindra, yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar
tentang sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya; dan emosi, Maramis
(1999) menyebutkan bahwa emosi adalah “manifestasi perasaan atau afek keluar
disertai banyak komponen fisiologik, dan biasanya berlangsung tidak lama”.
Perilaku individu dapat dipengaruhi emosi.Aspek psikologis yang memengaruhi
emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani.Perilaku individu yang sedang
marah, kelihatan mukanya merah.
2.1.5.4. Bentuk Perilaku
Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap
rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut. Secara garis
besar bentuk perilaku ada dua macam, yaitu (a) perilaku pasif (respons internal),
perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat
diamati secara langsung.Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang nyata, (b)
perilaku aktif (respons eksternal), perilaku yang sifatnya terbuka.Perilaku aktif adalah
perilaku yang dapat diamati langsung, berupa tindakan yang nyata. 19
2.1.5.5. Pengaruh Sikap dan Kepercayaan
Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku baik sikap positif dan negatif.
Contoh: 19
Sikap ibu terhadap pentingnya imunisasi bagi bayi (sikap positif) atau sebaliknya
(sikap negatif)
Sikap seseorang yang benci dan iri terhadap keberhasilan orang lain (sikap
negative)
Hal lain yang mempengaruhi perilaku adalah kepercayaan yang dimiliki
seseorang. Contoh:
23
Kepercayaan seseorang bahwa perbuatan yang baik akan memperoleh pahala di
kemudian hari (sikap positif).
Kepercayaan pasien terhadap seorang dokter yang merawatnya, akan menimbulkan
sikap yang positif terhadap dokter tersebut, dengan memperhatikan apa nasehatnya
atau sebalikanya.
2.1.6. Norma
2.1.6.1. Definsi Norma
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh
dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu
dengan disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila
norma tidak dilakukan.Dalam kehidupan umat manusia terdapat bermacam-macam
norma, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum dan
lain-lain. Norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum
digolongkan sebagai norma umum. Selain itu dikenal juga adanya norma khusus,
seperti aturan permainan, tata tertib sekolah, tata tertib pengunjung tempat bersejarah
dan lain-lain.Norma sebagai faktor sosial dipengaruhi oleh sejumlah persepsi atau
keyakinan individu akan harapan sosial agar ia melakukan perilaku tersebut. 19
2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Mengenai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
2.2.1. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan mengenai Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA)
Pada penelitian di Manado pada tahun 2010 mengenai hubungan antara tingkat
pengetahuan tenatng HIV/AIDS dengan sikap seksual pranikah remaja di SMK
Negeri 4 Manado didapatkan bahawa sebagian besar siswa/i SMK Negeri 4 Manado
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai HIV/AIDS sebanyak 77 responden
dengan persentase 56,6%, tingkat pengetahuan baik sebanyak 31 responden dengan
persentase 22,7% dan tingkat pengetahuan yang kurang sebanyak 28 responden
dengan persentase 20,5%. Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempegaruhi
pengetahuan mengenai HIV/AIDS.20
1. Umur
24
Menurut penelitian yang dilakukan di Irak pada tahun 2014 mengenai
“Knowledge about HIV/AIDS among High School Student in Erbil City/Iraq”,
didapatkan bahwa umur anak SMA < 15 tahun sebanyak 20% memiliki
pengetahuan yang baik tentang HIV/AIDS, umur anak SMA 15-18 tahun
sebanyak 47%, dan umur anak SMA > 19 tahun sebanyak 50% yang
menunjukkan bahwa makin besarnya umur, pengetahuan terhadap HIV-AIDS
makin baik.21
Menurut penelitian yang dilakukandi India pada tahun 2008 dengan judul “A
Study of Awareness about HIV/AIDS among Senior Secondary School Children in
Delhi” didapatkan hasil penelitian bahwa pengetahuan tentang HIV/AIDS pada
umur < 14 tahun sebanyak 16,6%, pada umur 15-17 tahun sebanyak 70,1%
dengan p < 0,05 sehingga terdapat perbedaan yang bermakna antara umur dengan
pengetahuan tentang HIV/AIDS.22
2. Jenis Kelamin
Pada penelitian yang dilakukandi Irak pada tahun 2014 mengenai “Knowledge
about HIV AIDS among High School Student in Erbil City/Iraq”, pengetahuan
baik pada anak SMA laki-laki mengenai HIV/AIDS sekitar 51,1% sedangkan
pada anak SMA perempuan sekitar 38,9% yang menunjukkan bahwa pengetahuan
pada anak laki-laki 12,2% lebih tinggi dibandingkan pada anak perempuan.21
Menurut penelitian yang dilakukan di Amerika tahun 2000 dengan judul
“Adolescents’ Knowledge and Attitudes Concerning HIV Infection and HIV
Infected Persons:How Survey and Focus Group Discussions Are Suited For
Researching Adolescents’ HIV-AIDS Knowledge And Attitudes”didapatkan bahwa
hasil penelitian pengetahuan tentang cara penularan melalui hubungan seks
dengan banyak pasangan dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi HIV/AIDS
pada laki-laki didapatkan 90% jawaban yang benar sedangkan pada perempuan
didapatkan 96% jawaban yang benar dengan p < 0,01 sehingga terdapat adanya
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan pengetahuan tentang
HIV/AIDS.23
Menurut penelitian yang dilakukandi Afrika Selatan tahun 2008 dengan judul
“Knowledge, Attitude and Prevention practices of HIV/AIDS Among Primary and
Secondary School Teachers in Zambia” didapatkan bahwa pengetahuan tentang
HIV/AIDS dengan jenis kelamin laki-laki dengan rata-rata 4,29 sedangkan pada
25
jenis kelamin perempuan dengan rata-rata 4,66 dengan nilai p sama dengan 0,236
dimana tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
pengetahuan tentang HIV-AIDS.23
3. Pendidikan
Menurut penelitian yang dilakukandi Afrika pada tahun 2008 mengenai
pengetahuan tentang HIV/AIDS pada siswa SMA di tahun pertama adalah 52%,
tahun kedua 31%, tahun ketiga 17%, dengan nilai p sama dengan 0,257 sehingga
bisa dikatakan bahwa tidak adanya hubungan antara taraf pendidikan SMA kelas 1
sampai SMA kelas 3 dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS.24
Menurut penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan pada tahun 2008 dengan
judul “ Knowledge, attitude and prevention practices of HIV/AIDS Among
Primary and Secondary School Teachers in Zambiadidapatkan bahwa sikap yang
lebih baik terhadap Orang dengan HIV/AIDS pada tingkat pendidikan sertifikasi
dengan rata-rata 9,76 diikuti dengan diploma dengan rata-rata 8,81 dan SMA
kelas 3 dengan rata-rata 8,00 dengan nilai p sama dengan 0,124 dimana dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pendidikan
dengan sikap yang lebih baik terhadap Orang dengan HIV/AIDS.23
4. Sumber Informasi
Media memegang peran penting dalampenyebarluasan informasi tentang
Kesehatan Reproduksi Remaja. Menurut Survei Kesehatan Reproduksi Remaja
Indonesia (SKRRI) tahun 2007 remaja Bengkulu mendapat informasi dari televisi
untuk remaja perempuan 92,60% dan remaja laki-laki 72,90%. Sedang menurut
hasil Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2007, media
informasi tertinggi dari televisi 38,2 %, radio 24,4% dan koran 20,8%.Survei
Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 menjelaskan
bahwa tingkat pengetahuan remaja Bengkulu tahun 2007 tentang kesehatan
reproduksi masih rendah diantaranya remaja yang tidak mengetahui tentang hari-
hari masa subur sebesar 37,9%, remaja yang menyatakan tidak tahu tentang sekali
hubungan seksual dapat hamil sebanyak 49,3%, sedangkan 43,4% tidak pernah
mendengar tentang penyakit menular seksual. Kurangnya pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi maka dapat menjerumuskan remaja menuju perilaku seks
26
bebas yang dapat menyebabkan penularan penyakit menular seksual dan
HIV/AIDS.26
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Surakarta pada tahun 2010
mengenai hubungan penggunaan media massa dengan tingkat pengetahuan
kesehatan reproduksi pada remaja di SMAN 8 Surakarta dinyatakan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna dan dinyatakan bahwa semakin tinggi
penggunaan media massa maka tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi
semakin tinggi pula.27
Menurut penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2012 dengan judul
“HIV/AIDS Related KAP Among High School Students of Municipal Corporation
School in Pune” didapatkan hasil penelitian bahwa anak SMA lebih sering
mendengar sumber informasi dari televisi untuk meningkatkan pengetahuan
mereka. Pada penelitian in dilakukan intervensi melalui film yang diputar dan
dengan film HIV/AIDS tersebut, anak SMA tersebut mengetahui bahwa hubungan
seks bebas adalah cara penularan HIV/AIDS dari 61,76% meningkat menjadi
84,31%.28
5. Sosial EkonomiBerdasarkan penelitian yang didapat bahwa latar belakang ekonomi tidak
menunjukkan hasil signifikan secara statistik terhadap stigma ODHA. Hal sejalan
dengan hasil penelitian di Cina tahun 2013 yang tidak mendapatkan hubungan
antara latar belakang ekonomi dengan perhatiannya terhadap AIDS, akan tetapi
mendapati bahwa pelajar yang tinggal di kota memang lebih mempunyai
pengetahuan tentang HIV/AIDS lebih baik daripada yang tinggal di desa. Pada
penelitian sosial ekonomi dibagi menjadi 5 kuintil yang menunjukkan bahwa
pengetahuan berdasarkan kuintil 1 sampai 5 terhadap HIV AIDS adalah 44,6%,
47,5 %, 50,8%, 54,5%, dan 57,8% yang menunjukkan bahwa makin tinggi kuitil
pada status ekonomi seseorang maka makin tinggi pengetahuan terhadap HIV-
AIDS.29
6. Jurusan di Sekolah
Hasil penelitian di Indonesia tahun 2013 dengan judul Tingkat Pengetahuan
Remaja tentang HIV/AIDS pada Siswa Kelas XI di SMA Negeri 1 Bulu
27
Sukoharjo didapatkan dalam kategori baik yaitu sebesar 14,54%, yang termasuk
dalam kategori cukup sebesar 72,73% dan kategori kurang sebanyak 12,73%.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan lainnya (Kalina,
2012) dengan judul Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS pada siswa
Kelas XI IPS di SMA PGRI 1 Sragen dengan hasil sebagian besar responden
mempunyai pengetahuan baik yaitu 53 responden (63,85%). Bersadarkan
penelitian yang dilakukan di SMAN 1 Bulu Sukoharjo didapatkan sebagian besar
responden mempunyai pengetahuan cukup tentang HIV/AIDS.Faktor-faktor yang
mempengarui pengetahuan tersebut adalah informasi dan jurusan yang ada di
sekolah tersebut. Di SMAN 1 Bulu Sukoharjo, belum pernah mengadakan
penyuluhan tentang HIV/AIDS sehingga pengetahuan siswanya belum baik.
Selain itu, di SMAN 1 Bulu Sukoharjo ada 2 jurusan IPA dan IPS, dari analisis
yang telah dilakukan didapatkan siswa yang berpengetahuan cukup lebih banyak
dari jurusan IPA dibandingkan jurusan IPS dikarenkan jurusan IPA diberikan
mata pelajaran tentang kesehatan sedangkan jurusan IPS lebih banyak
memberikan mata pelajaran tentang ilmu sosial.30
Menurut penelitian di India pada tahun 2005 dengan judul “Knowledge About
HIV/AIDS Among Senior High School Students in Jamnagar Gujarat” ,
didapatkan hasil dari penelitian tersebut bahwa perbedaan pengetahuan tentang
HIV/AIDS pada anak SMA jurusan IPA dan anak SMA jurusan IPS. Anak SMA
jurusan IPA dan jurusan IPS pernah mendengar tentang HIV/AIDS sebesar 100%,
anak SMA jurusan IPA mengetahui tentang singkatan dari HIV yaitu sebesar
87,75% dan anak SMA jurusan IPS mengetahui tentang singkatan dari HIV yaitu
sebesar 39,9% sehingga terdapat perbedaan sekitar 47,85% antara jurusan IPA dan
IPS pada anak SMA dan hal tersebut bermakna dengan p< 0,001. Pengetahuan
tentang penyebab dari HIV adalah virus pada anak SMA jurusan IPA sekitar
99,35% dan anak SMA jurusan IPS sekitar 83,7% sehingga terdapat perbedaan
15,65% antara anak SMA jurusan IPA dan IPS dan hal tersebut memiliki
perbedaan yang bermakna. Pengetahuan tentang cara penularan melalui
berhubungan dengan banyak pasangan pada anak SMA jurusan IPA sekitar
92,25% sedangkan pada anak SMA jurusan IPS sekitar 89,6% sehingga terdapat
perbedaan 26,5% antara jurusan IPA dan IPS pada anak SMA dan hal tersebut
tidak bermakna.31
28
7. Agama
Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas kesehatan dan para
pemimpin agama mempunyai peran dalam pencegahan dan pengurangan
penularan HIV. Hasil penelitian yang dilakukan di Puerto Rico pada tahun 2011
menyatakan adanya peran agama dalam membentuk konsep tentang sehat dan
sakit serta terikat dengan adanya stigma terhadap penderita HIV/AIDS. Penelitian
lain juga menunjukkan hasil yang sama yang dilakukan oleh tahun 2008 bahwa
kepatuhan beragama petugas kesehatan berpengaruh terhadap stigma dan
diskriminasi kepada penderita HIV/AIDS.31
2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap mengenai Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA)
Menurut penelitian yang dilakukan di Afrika pada tahun 2014 dengan judul
“Knowledge, Opinions and Attitudes Towards HIV and AIDS Among Youth in
Botswana” tahun 2014 didapatkan bahwa remaja yang mempunyai tingkat
pengetahuan yang kurang mengenai transmisi dan pencegahan HIV/AIDS sebanyak
39% cenderung tidak mempunyai sikap yang positif terhadap orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) dibandingkan dengan mereka yang mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang transmisi dan pencegahan HIV.32
Menurut penelitian yang dilakukan di Jepang pada tahun 2013 dengan judul”
“Knowledge, Attitudes and Practices, Regarding HIV/AIDS among Male High School
Students in Lao People’s Democratic Republic” didapatkan hasil penelitian bahwa
murid SMA dengan tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS yang sedang dan tinggi
4,3 (p< 0,001) dan 13,3 (p< 0,001) lebih memiliki sikap positif terhadap Orang
dengan HIV/AIDS dibandingkan dengan tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS
yang rendah. Sama halnya dengan hubungan seks yang aman juga dipantau pada
murid yang memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS yang sedang (p=0,069) dan
pengetahuan tentang HIV/AIDS yang tinggi (p=0,284).29
Sekitar 94% yang pernah mendengar istilah AIDS, tetapi hanya 65,8% yang
pernah mendengar istilah HIV.Sumber informasi yang didapatkan paling banyak
adalah melalui radio. 12,4% partisipan pernah mendengar bahwa AIDS dapat
disembuhkan. Delapanpuluh persen responden mengetahui HIV dapat ditularkan
29
melalui semen, cairan vagina, dan darah, 72,2% mengetahui bahwa HIV dapat
ditularkan dari ibu ke anak melalui ASI (Air Susu Ibu), dan 11,4% nya mengatakan
tidak tahu. Terdapat perbedaan yang bermakna hubungan antara orang yang sekolah
dan yang tidak sekolah dengan tingkat pengetahuan seseorang tentang HIV/AIDS.
Ada hubungan antara ketidaktahuan cara penularan HIV dengan sikap yang negatif
terhadap orang dengan HIV/AIDS.33
Penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2000, sekitar 10% responden
yang tidak tahu bagaimana sikap mereka terhadap orang dengan HIV/AIDS. Sekitar
sepertiga hingga setengah dari sampel setuju bahwa AIDS berhubungan dengan hidup
yang tidak bermoral. Sekitar 10% setuju bahwa pasien dengan AIDS lebih baik di
isolasi. Lebih banyak perempuan dari pada laki-laki percaya bahwa pelarangan
prostitusi dapat mengontrol penyebaran AIDS. Di dalam analisis multivariate
didapatkan adanya hubungan antara agama dengan skor sikap, dan hubungan antara
jenis kelamin, dan tingkat sosial ekonomi dengan skor sikap tidak memiliki hubungan
yang bermakna.34
Menurut survei yang dilakukan National AIDS Trust (NAT) pada tahun 2000,
masyarakat yang memiliki sikap yang positif terhadap penderita HIV/AIDS adalah
masyarakat yang dengan rentang grup umur pertengahan (16-24 tahun), tingkat sosial,
dan memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai cara penularan HIV. Perempuan
lebih memiliki simpati dengan penderita HIV/AIDS dibandingkan dengan laki-laki.35
Menurut penelitian yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2009 terdapat
hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan sikap responden
terhadap HIV/AIDS. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian di Afrika pada tahun
2004 bahwa semakin rendah tingkat pengetahuan semakin tidak baik sikap seseorang
terhadap HIV/AIDS dan terdapat perbedaan antara jenis kelamin dengan sikap
terhadap ODHA, dimana perempuan lebih mempunyai simpati dibandingkan dengan
laki-laki.Penelitian di Amerika pada tahun 2014 menemukan tidak ada hubungan
yang bermakna antara jenis kelamin dengan sikap positif terhadap orang dengan
HIV/AIDS.39
Menurut survei yang dilakukan di Afrika Selatan pada tahun 2014 bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin positif sikap terhadap HIV/AIDS,
perempuan lebih memiliki sikap yang positif terhadap ODHA dibandingkan dengan
laki-laki, tingkat sekolah yang lebih tinggi lebih memiliki sikap yang lebih positif.
Kelas 12 tiga kali lebih baik dibandingkan dengan kelas 10.36
30
2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Mengenai Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA)
Pada penelitian di India pada tahun 2013 mengenai “HIV/AIDS Related Stigma
and Discrimination Among Vietnamese Adolescent”didapatkan bahwa 47 remaja yang
memiliki perilaku diskriminasi seperti menuduh bahwa orang dengan HIV/AIDS
mempunyai perilaku yang buruk seperti menggunakan jarum suntik narkoba
bergantian dan juga sebagai pekerja seks komersial sedangkan 53% lainnya memiliki
perilaku non diskriminasi.37
Menurut penelitian yang dilakukan di Jepang pada tahun 2014 dengan judul
“Knowledge, Attitudes and Practices Regarding HIV/AIDS among High School
Students In Lao People’s Democratic Republic” didapatkan hasil penelitian bahwa
hubungan pengetahuan yang rendah dengan perilaku seksual yang aman 13,2% dan
perilaku seksual yang berisiko 26,8%. Hubungan pengetahuan yang sedang dengan
perilaku seksual yang aman sekitar 54,7% dan perilaku seksual yang berisiko sekitar
39% dengan nilai p sama dengan 0,069. Hubungan pengetahuan yang tinggi dengan
perilaku seksual yang aman sekitar 32,1% dan perilaku seksual yang berisiko 34,1%
dengan nilai p sama dengan 0,284 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan perilaku seksual aman
dan berisiko terhadap HIV/AIDS.29
Penelitian yang dilakukan di China pada tahun 2011 dengan judul AIDS
Knowledge and HIV Stigma Amongs Children Affected by HIV/AIDS in Rural China,
didapatkan bahwa anak dengan tingkat pengetahuan AIDS yang baik kurang
mempunyai stigma personal terhadap ODHA. Hasil penelitian ini konsisten dengan
hasil penelitian lain di China yang menunjukkan kepentingan pengetahuan tentang
AIDS untuk mengurangi stigma tetang ODHA. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Rini dkk di Palembang pada tahun 2011, didapatkan bahwa orang
dengan tingkat pendidikan rendah dan sosial ekonomi tinggi memiliki perilaku negatif
terhadap ODHA (OR = 0.6; 95% CI).40,41
31
2.3. Kerangka Teori
32
Perilaku
Pengetahuan
Sikap
Jenis kelamin
Usia
Pekerjaan
Bidang/jurusan sekolah
Tingkat pendidikan
Sosial ekonomi
Tokoh panutan
Emosi dalam individu
Kepatuhan beragama
Kepercayaan
Sumber informasi
Budaya
Norma
Mengenai Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA)
2.4. Kerangka Konsep
33
Perilaku
Pengetahuan
Sikap
Faktor-faktor yang mempengerauhi:
Jenis kelamin
Usia
Tingkat pendidikan
Sosial Ekonomi
Sumber informasi
Mengenai orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
Daftar Pustaka
1. Mardhiati R, Handayani S. Laporan Akhir Penelitian: Peran Dukungan Sebaya
terhadap Peningkatan Mutu Hidup ODHA di Indonesia tahun 2011. Jakarta:
Komisi Penanggulangan Aids Nasional. Desember 2011. h. 94-97, 99
2. UNAIDS. Fact Sheet 2014 Global Statistics. Diunduh dari
http://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/20150714_FS_MDG6_Re
port_en.pdf pada tanggal 11 September 2015
34
3. Ditjen PP dan PL Kemenkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dilapor
sampai dengan September 2014. h. 1-3
4. Heniyuniarti. Hubungan antara dukungan sosial dan depresi dengan kualitas
hidup pada orang dengan HIV/AIDS di Magelang. Univesitas Gajah Mada.
2014
5. Sudikno, Simanungkalit B, Siswanto. Pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja
di Indonesia: Analisis Data Riskesdas 2010. Jurnal Kesehatan Reproduksi. Vol.
1 (3). Agustus 2011. h. 145-154
6. Ratnasari HD. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan
pencegahan dan penularan HIV/AIDS penduduk umur ≥ 15 tahun di Indonesia
berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2010. Depok. Juli 2012.
7. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
8. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan
dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
9. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA,
Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in
infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009
10. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
11. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi
HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan 2007
12. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009. Diunduh dari:
http://www.aidsindonesia.or.id
13. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL,
Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17thed. The
United States of America: McGraw-Hill
35
14. Paryati T, RAksanagara AS, Afriandi I. Faktor-faktor yang mempengaruhi
stigma dan diskriminasi kepada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) oleh petugas
kesehatan. Bandung: Unpad. Diunduh dari
15. Waluyo A, Nova PA, Edison C. Perilaku Perawat terhadap orang dengan
HIV/AIDS di Rumah Sakit dan Puskesmas. Jurnal Keperawatan Indonesia. Vol.
14 (2). Juli 2011.h. 127-132
16. Notoatmodjo, S. 2007.Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta
17. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta
18. Maulana H D J. Promosi kesehatan. Jakarta: EGC; 2008.h.196-8
19. Sunaryo. Sejarah dan Konsep perilaku manusia dalam Psikologi untuk
Keperawatan. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009. h. 3-9
20. Hadi IBS, Kawatu P, Malonda SH, Kapel BJ. HUbungan antara Tingkat
Pengetahuan dengan Sikap Seksual Pranikah Remaja di SMK Negeri 4 Manado.
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. 2010. Di unduh dari
http://jkesmasfkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/ARTIKEL-3-surya-hadi-
EDIT-baru-FIX.pdf
21. Othman SM. Knowledge About HIV/AIDS Among High School students in
Erbil City/Iraq. 29 Juli 2014.Global Journal of Health Science.
22. Lal P, Nath A, Badhan S, Ingle GK. A study of awareness about HIV/AIDS
among senior secondary school children in Delhi.2008.Indian Journal of
Community Medicine.
23. Potsonen R, Osmo K.Adolescents’ knowledge and attitudes concerning HIV
infection and HIV infected persons:howsuervey and focus group discussions are
suited for researching adolescents’ HIV-AIDS knowledge and attitudes.
2000.Oxford Journal.
24. Mulumba M. Knowledge, attitude and prevention practices of HIV/AIDS
Among Primary and Secondary School Teachers in Zambia. 2008. Health
Studies, University of South Africa.
25. Asante KO, Boadi MO. HIV/AIDS knowledge among undergraduate university
students implications for health education program in Ghana. Jun 2013. African
Health Science Journal.
36
26. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia. Gambaran Kesehatan
Reproduksi Remaja Propinsi Bengkulu. 2007
27. Dewi RNVR. Hubungan Penggunaan Media Massa dengan Tingkat
Pengetahuan Kesehatan Reproduksi pada Remaja di SMAN 8 Surakarta. 2010
28. Kumar P, Pore P, Patil U. HIV-AIDS Related KAP Among High School
Students of Municipal Corporation School in Pune.March 2012.National Journal
of Community Medicine.
29. Thanavanh B, Harun Or Rashid M, Kasuya H,Sakamoto J. Knowledge,
attitudes and practices regarding HIV/AIDS among male high school students in
Lao People’s Democratic Republic. J International AIDS Society.2013
30. Ristanti D. Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS Pada Siswa Kelas
XI Di SMA Negeri 1 Bulu Sukoharjo. 2013. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Kusuma Husada
31. Bhalla S, ChandwaniH.Knowledge About HIV/AIDS Among Senior High
School Students in Jamnagar, Gujarat. 2005. Health and Population Perspectives
and Issues.
32. Majelantle Rg, Keetlie M, Bainame K, Nikawana P. Knowledge, Opinions and
Attitudes Toward HIV and AIDS Among Youth in Botswana. Afrika. J Glob
Econ. 2014. Di unduh dari www.esciencecentral.org
33. Paryati T, Raksanagara, Afriandi I. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stigma
dan Diskriminasi kepada Orang dengan HIV/AIDS oleh petugas kesehatan.
Universitas Padjajaran.2012
34. Thanavanh B, Rashid MH, Kasuya H. Knowledge, attitudes and practices,
regarding HIV/AIDS among male high school students in Lao People’s
Democratic Republic. 2013.Journal of the International AIDS Society.
35. SS Lal, RS Vasan, PS Sarma KR Thankappan. Knowledge and attittude of
college student in Kerala towars HIV/AIDS. Sexualoy transmitted diseases and
sexuality. Natl Med J India. Sept 2000; 13(5): 231-6
36. Mdiba S, Mokgatle MM. HIV and AIDS Related Knowledge and Attitudes
Towardslearners Infected With HIV: Survey among High School Learnersin
Gauteng and North West Provinces In South Africa.PeerJ PrePrintsrec: 12 Dec
2014, publ: 12 Dec 2014
37
37. Lundgren K, Olausson. HIV/AIDS related stigma and discrimination among
Vietnamese Adolescents. Departemen of Public Healt and Caring Sciences
Section of Caring Sciences. 2013.
38. NAT. HIV: Public Knowledge and Attitudes. UK. 2010. Pg. 25
39. Oktarina, Hanafi F, Budisuari MA. Hubungan antara karakteristik responden,
keadaan wilayah dengan pengetahuan, sikap terhadap HIV/AIDS pada
masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol 12. No. 4.
Oktober 2009.h. 362-9
40. Qun Zhao, Xiao Mung Li, Guo Xiang Zhao, et all. AIDS Knowledge and HIV
Stigma Amongs Children Affected by HIV/AIDS in Rural China. Nanjing
University. 2011.
41. Rini N, Yeni. Determinant of Indonesian People Attitudes Towards People
Living with HIV/AIDS (PLWHA).International Journal of Public Health
Research Special Issue 2011.
38