BAB 2

29
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kematian Maternal 2.1.1. Definisi Pada International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems, Tenth Revision, 1992 (ICD-10), WHO mendefinisikan kematian maternal adalah kematian seorang wanita saat masa hamil atau dalam 42 hari setelah terminasi kehamilan, terlepas dari durasi dan lokasi kehamilan, dari setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau pengelolaannya, tetapi bukan dari sebab- sebab kebetulan atau insidental (WHO, 2007). Pregnancy-related death Kematian seorang wanita selama kehamilan atau 42 hari setelah terminasi kehamilan, tanpa mempedulikan penyebab kematiannya. Late maternal death Kematian seorang wanita karena penyebab langsung atau tidak langsung yang lebih dari 42 hari, namun kurang dari setahun setelah terminasi kehamilan. Tabel 2.1. Definisi alternatif kematian maternal pada ICD- 10

description

bab 2 mngenai mini peoject

Transcript of BAB 2

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kematian Maternal 2.1.1. Definisi Pada International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems, Tenth Revision, 1992 (ICD-10), WHO mendefinisikan kematian maternal adalah kematian seorang wanita saat masa hamil atau dalam 42 hari setelah terminasi kehamilan, terlepas dari durasi dan lokasi kehamilan, dari setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau pengelolaannya, tetapi bukan dari sebab-sebab kebetulan atau insidental (WHO, 2007). Pregnancy-related death Kematian seorang wanita selama kehamilan atau 42 hari setelah terminasi kehamilan, tanpa mempedulikan penyebab kematiannya.

Late maternal death Kematian seorang wanita karena penyebab langsung atau tidak langsung yang lebih dari 42 hari, namun kurang dari setahun setelah terminasi kehamilan.

Tabel 2.1. Definisi alternatif kematian maternal pada ICD-10

2.1.2. Klasifikasi Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung. Kematian ibu langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan, atau masa nifas, dan segala intervensi atau penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian ibu tidak langsung adalah merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskular (Prawirohardjo, 2008). Klasifikasi kematian ibu ada tiga, yaitu kematian ibu langsung, kematian ibu tidak langsung, dan kematian nonmaternal. Kematian ibu langsung mencakup kematian ibu akibat penyulit obstetri pada kehamilan, persalinan, atau masa nifas, dan akibat dari intervensi, kelalaian, kesalahan terapi, atau rangkaian kejadian yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. Contohnya adalah kematian ibu akibat perdarahan karena ruptur uteri. Kematian ibu tidak langsung mencakup kematian ibu yang tidak secara langsung disebabkan oleh kausa obstetri, melainkan akibat penyakit yang sudah ada sebelumnya, atau suatu penyakit yang timbul saat hamil, melahirkan, atau masa nifas, tetapi diperberat oleh adaptasi fisiologis ibu terhadap kehamilannya. Contohnya adalah kematian ibu akibat penyulit stenosis mitral. Kematian nonmaternal adalah kematian ibu yang terjadi akibat kecelakaan atau kausa insidental yang tidak berkaitan dengan kehamilan. Contohnya adalah kematian akibat kecelakaan lalu lintas (Cunningham, 2005).

2.1.3. Ukuran Kematian Maternal Jumlah kematian maternal pada dasarnya ditentukan oleh dua faktor, yaitu: risiko kematian yang berhubungan dengan kehamilan atau persalinan itu sendiri, dan jumlah kehamilan atau persalinan yang dialami oleh wanita usia reproduktif (WHO, 2007).

Maternal Mortality Ratio Jumlah kematian ibu selama satu periode per 100.000 kelahiran hidup selama periode yang sama.

Maternal Mortality Rate Jumlah kematian ibu dalam satu periode per 100.000 wanita usia reproduksi selama periode yang sama.

Adult Lifetime Risk of Maternal Mortality Kemungkinan kematian karena penyebab maternal selama usia reproduksi seorang wanita.

Tabel 2.2. Ukuran statistik kematian maternal

2.1.4. Status Kematian Maternal Meningkatkan kesehatan ibu merupakan salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs). Di bawah MDGs, negara-negara berkomitmen untuk menurunkan angka kematian ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015. Sejak tahun 1990, kematian ibu di seluruh dunia telah turun 47%. Berdasarkan data Maternal Mortality 2005 yang dikeluarkan oleh WHO, UNICEF, UNFPA and The World Bank (2007), diestimasi terjadi 536.000 kematian maternal di dunia setiap tahunnya. Antara tahun 1990 dan 2010, rasio kematian ibu sedunia menurun hanya 3,1% per tahun. Ini jauh dari penurunan tahunan 5,5% yang dibutuhkan untuk mencapai MDGs (WHO, 2012). AKI menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, namun perlu kerja keras dan perhatian khusus untuk mencapai target MDG sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (BAPPENAS, 2010). Dengan kata lain, kematian ibu masih tinggi. Sekitar 800 wanita di seluruh dunia setiap hari meninggal karena kehamilan atau persalinan. Pada tahun 2010, 287.000 wanita meninggal selama dan setelah kehamilan dan persalinan. Hampir semua kematian terjadi di negara berkembang, dan sebagian besar dapat dicegah. Tingginya jumlah kematian ibu di beberapa wilayah di dunia mencerminkan ketidakadilan dalam akses terhadap pelayanan kesehatan, dan menyoroti kesenjangan antara kaya dan miskin. Hampir semua kematian ibu (99%) terjadi di negara berkembang. Lebih dari separuh kematian ini terjadi di sub-Sahara Afrika dan sepertiga terjadi di Asia Selatan (WHO, 2012). Rasio kematian ibu di negara berkembang adalah 240 per 100.000 kelahiran, sedangkan di negara maju 16 per 100.000 kelahiran. Ada perbedaan besar dalam suatu negara, antara masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah, serta perbedaan antara orang yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan (WHO, 2012). Di negara berkembang jumlah rata-rata wanita hamil lebih banyak daripada di negara maju, dan lifetime risk karena kehamilan yang juga lebih tinggi. Risiko kematian ibu tertinggi adalah remaja perempuan di bawah 15 tahun, 1 dalam 3.800 di negara maju, dibandingkan 1 dalam 150 di negara berkembang. Komplikasi pada kehamilan dan persalinan merupakan penyebab utama kematian di kalangan remaja perempuan (WHO, 2012).

2.1.5. Penyebab Kematian Maternal Menurut Mochtar (1998), penyebab kematian maternal dapat dikelompokkan menjadi : A. Sebab Obstetri Langsung Sebab obstetri langsung adalah kematian ibu karena akibat langsung dari penyakit penyulit pada kehamilan, persalinan, dan nifas; misalnya karena infeksi, eklampsi, perdarahan, emboli air ketuban, trauma anastesi, trauma operasi, dan sebagainya. B. Sebab Obstetri Tidak Langsung Sebab obstetri tidak langsung adalah kematian ibu akibat penyakit yang timbul selama kehamilan, persalinan, dan nifas. Misalnya anemia, penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, hepatitis infeksiosa, penyakit ginjal, dan sebagainya. Termasuk juga penyakit yang sudah ada dan bertambah berat selama kehamilan.

C. Sebab Bukan Obstetri Sebab bukan obstetri adalah kematian ibu hamil, bersalin, dan nifas akibat kejadian-kejadian yang tidak ada hubungannya dengan proses reproduksi dan penanganannya. Misalnya karena kecelakaan, kebakaran, tenggelam, bunuh diri, dan sebagainya.

D. Sebab Tidak Jelas Sebab tidak jelas adalah kematian ibu yang tidak dapat digolongkan pada salah satu yang tersebut di atas. Dari penyebab-penyebab di atas, dapat pula dibagi dalam dua golongan, yaitu: 1) Kematian yang dapat dicegah disebut juga preventable maternal death atau avoidable factors, adalah kematian ibu yang seharusnya dapat dicegah jika penderita mendapat pertolongan atau datang pada saat yang tepat sehingga dapat ditolong secara profesional dengan fasilitas dan sarana yang cukup. 2) Kematian yang tidak dapat dicegah atau unpreventable maternal death, adalah kematian ibu yang tidak dapat dihindari walaupun telah dilakukan segala daya upaya yang baik. Penyebab kematian ibu terbanyak adalah perdarahan, eklampsia atau tekanan darah tinggi saat kehamilan, infeksi, partus lama, komplikasi aborsi (Prawirohardjo, 2008).

2.1.6. Faktor Yang Mempengaruhi Kematian Maternal Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu adalah sebagi berikut (Mochtar, 1998). Faktor Umum Perkawinan, kehamilan, dan persalinan di luar kurun waktu reproduksi yang sehat, terutama pada usia muda. Risiko kematian pada kelompok umur di bawah 20 tahun dan pada kelompok di atas 35 tahun adalah tiga kali lebih tinggi dari kelompok umur reproduksi sehat, yaitu 20-34 tahun.

Faktor Paritas Ibu dengan riwayat hamil dan bersalin lebih dari enam kali (grandemultipara) berisiko delapan kali lebih tinggi mengalami kematian. Faktor Perawatan Antenatal Kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kandungannya masih rendah. Hal ini menyebabkan faktor risiko yang sebenarnya dapat dicegah menjadi meningkat atau memperburuk keadaan ibu. Faktor Penolong Sekitar 70-80% persalinan masih ditolong oleh dukun beranak. Setelah persalinan terlantar dan tidak dapat maju dengan disertai komplikasi kemudian dikirim ke fasilitas kebidanan yang memadai Faktor Sarana dan Fasilitas Sarana dan fasilitas rumah sakit, penyediaan darah dan obat-obatan yang murah masih ada yang belum terjangkau oleh masyarakat. Faktor Sistem Rujukan Agar pelayanan kebidanan mudah dicapai, pemerintah telah menetapkan seorang ahli kebidanan di setiap ibu kota kabupaten, namun belum sempurna. Faktor Lainnya Yaitu faktor sosial ekonomi, kepercayaan, budaya. Pendidikan, ketidaktahuan, dan sebagainya.

Faktor-faktor berpengaruh terhadap akses Yankes ibu dan reproduksi adalah sebagai berikut: Geografi Ekonomi keluarga Health seeking care behaviour SDM kesehatan Ketersediaan obat & alat kesehatan Kebijakan Pemda

Terjadinya kematian ibu terkait dengan faktor penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh perdarahan, eklampsia, dan infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung penyebab kematian ibu karena masih banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu, yang terkait dengan faktor akses, sosial budaya, pendidikan, dan ekonomi. Kasus 3 Terlambat meliputi: Terlambat mengenali tanda bahaya persalinan dan mengambil keputusan Terlambat dirujuk Terlambat ditangani oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan

Berdasarkan Riskesdas 2010, masih cukup banyak ibu hamil dengan faktor risiko 4 Terlalu, yaitu: Terlalu tua hamil (hamil di atas usia 35 tahun) sebanyak 27% Terlalu muda untuk hamil (hamil di bawah usia 20 tahun) sebanyak 2,6% Terlalu banyak (jumlah anak lebih dari 4) sebanyak 11,8% Terlalu dekat (jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun)

Hasil Riskesdas juga menunjukkan bahwa cakupan program kesehatan ibu dan reproduksi umumnya rendah pada ibu-ibu di pedesaan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah. Secara umum, posisi perempuan juga masih relatif kurang menguntungkan sebagai pengambil keputusan dalam mencari pertolongan untuk dirinya sendiri dan anaknya. Ada budaya dan kepercayaan di daerah tertentu yang tidak mendukung kesehatan ibu dan anak. Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi keluarga berpengaruh terhadap masih banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu, yang pada akhirnya terkait dengan kematian ibu dan bayi (Kemkes, 2011).

2.1.7. Identifikasi Kematian Maternal Identifikasi kematian ibu adalah langkah awal proses surveilans. Ibu mungkin meninggal di rumah, perjalanan, dan fasilitas kesehatan. Mereka meninggal sebelum, selama, dan sesudah persalinan, bahkan di awal kehamilan (abortus dan kehamilan ektopik). Untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya tentang penyebab kematian maternal, diperlukan kisah lengkap wanita yang meninggal (Hanum, 2008).

2.2 Pemeriksaan Kehamilan (Antenatal Care = ANC) 2.2.1 Pengertian Pemeriksaan kehamilan (ANC) merupakan pemeriksaan ibu hamil baik fisik dan mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas sehingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberiaan ASI dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar (Wiknjosastro, 2005.; Manuaba, 2008). Kunjungan antenatal care adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan antenatal. Pada setiap kunjungan antenatal (ANC), petugas mengumpulkan dan menganalisis data mengenai kondisi ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan diagnosis kehamilan intrauterine serta ada tidaknya masalah atau komplikasi (Saifudin, 2005). Menurut Henderson (2006), kunjungan antenatal care adalah kontak ibu hamil dengan pemberi perawatan/asuhan dalam hal mengkaji kesehatan dan kesejahteraan bayi serta kesempatan untuk memperoleh informasi dan memberi informasi bagi ibu dan petugas kesehatan.

2.2.2 Tujuan Antenatal Care (ANC) Tujuan utama antenatal care adalah untuk memfasilitasi hasil yang sehat dan positif bagi ibu maupun bayinya dengan membina hubungan saling percaya dengan ibu, mendeteksi komplikasi-komplikasi yang dapat mengancam jiwa, mempersiapkan kelahiran, dan memberikan pendidikan. Antenatal care penting untuk menjamin agar proses alamiah tetap berjalan selama kehamilan (Marmi, 2011) A. Tujuan Umum 1. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang janin. 2. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, maternal dan sosial ibu dan bayi. 3. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar dapat tumbuh kembang secara normal. 4. Mempromosikan dan menjaga kesehatan fisik dan mental ibu dan bayi dengan pendidikan, nutrisi, kebersihan diri, dan proses kelahiran. 5. Mendeteksi dan menatalaksanakan komplikasi medik, bedah, atau obstetrik selama kehamilan. 6. Mengembangkan persiapan persalinan serta persiapan menghadapi komplikasi 7. Membantu menyiapkan ibu menyusui dengan sukses, menjalankan nifas normal dan merawat anak secara fisik, psikologis dan sosial. Tujuan dilakukannya ANC adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental ibu selama dalam kehamilan dan untuk menjaga agar ibu hamil dapat melalui masa kehamilannya, persalinan dan nifas dengan baik dan selamat, sehingga ibu sehat dan menghasilkan bayi yang sehat pula (Depkes RI, 2004.; Mochtar, 2005)

B. Tujuan Khusus Menurut Manuaba (1998) sebagaimana yang dikutip oleh Marmi (2011), menyatakan bahwa tujuan khusus antenatal care adalah : 1. Mengenal dan menangani sedini mungkin penyulit-penyulit yang terdapat saat kehamilan, persalinan, dan nifas. 2. Mengenal dan menangani penyakit yang menyertai hamil, persalinan, nifas. 3. Menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan perinatal.

Menurut Wiknjosastro (2005) tujuan ANC adalah menyiapkan wanita hamil sebaik-baiknya fisik dan mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, sehingga keadaan mereka pada post partum sehat dan normal, tidak hanya fisik tetapi juga mental.

2.2.3 Jadwal Pemeriksaan Kehamilan Kunjungan antenatal untuk pemantauan dan pengawasan kesejahteraan ibu dan anak minimal empat kali selama kehamilan dalam waktu sebagai berikut : sampai dengan kehamilan trimester pertama ( 24 minggu. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit empat kali selama masa kehamilan dengan distribusi kontak sebagai berikut :a. Minimal 1 kali pada trimester I , usia kehamilan 1-12 minggu b. Minimal 1 kali pada trimester II, usia kehamilan 13-24 minggu c. Minimal 2 kali pada trimester III, usia kehamilan > 24 minggu.

A. Jadwal Pemeriksaan Menurut Depkes RI (2002a), pemeriksaan kehamilan berdasarkan kunjungan antenatal dibagi atas : 1. Kunjungan Pertama, kedua dan ketiga Meliputi : (1) Identitas/biodata, (2) Riwayat kehamilan, (3) Riwayat kebidanan, (4) Riwayat kesehatan, (5) Riwayat sosial ekonomi, (6) Pemeriksaan kehamilan dan pelayanan kesehatan, (7) Penyuluhan dan konsultasi. 2. Kunjungan Keempat Meliputi : (1) Anamnese (keluhan/masalah) (2) Pemeriksaan kehamilan dan pelayanan kesehatan, (3) Pemeriksaan psikologis, (4) Pemeriksaan laboratorium bila ada indikasi/diperlukan, (5) Diagnosa akhir (kehamilan normal, terdapat penyulit, terjadi komplikasi, atau tergolong kehamilan risiko tinggi (6) Sikap dan rencana tindakan (persiapan persalinan dan rujukan). Menurut Mochtar (2005) jadwal pemeriksaan antenatal yang dianjurkan adalah : a. Pemeriksaan pertama kali yang ideal yaitu sedini mungkin ketika haid terlambat satu bulan b. Periksa ulang 1 kali sebulan sampai kehamilan 7 bulan c. Periksa ulang 2 kali sebulan sampai kehamilan 9 bulan d. Pemeriksaan ulang setiap minggu sesudah kehamilan 9 bulan e. Periksa khusus bila ada keluhan atau masalah B. Pelaksana Pelayanan Antenatal Pelaksana pelayanan antenatal adalah dokter, bidan (bidan puskesmas, bidan di desa, bidan di praktek swasta), pembantu bidan, perawat yang sudah dilatih dalam pemeriksaan kehamilan (Depkes RI, 2002a).

2.2.6 Standar Pelayanan Kebidanan Pertolongan pertama/penanganan kegawatdaruratan obstetric neonatal merupakan komponen penting dan merupakan bagian tak terpisahkan dari pelayanan kebidanan di setiap tingkat pelayanan. Standar pelayanan kebidanan meliputi 24 standar yang dikelompokkan atas : (1) standar pelayanan umum terdiri dari 2 standar (standar 1 - 2), (2) standar pelayanan antenatal terdiri dari 6 standar (standar 3 8), (3) standar pertolongan persalinan terdiri dari 4 standar (standar 9 12), (4) standar pelayanan nifas terdiri dari 3 standar (standar 13 15) dan (5) standar penanganan kegawatdaruratan obstetrik-neonatal terdiri dari 9 standar (standar 16 24). Menurut Depkes RI (2005b) standar pelayanan antenatal terdiri atas 6 standar, yakni : 1. Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil Tujuannya adalah mengenali dan memotivasi ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya. Hasilnya : a. Ibu memahami tanda dan gejala kehamilan b. Ibu, suami, anggota masyarakat menyadari manfaat pemerikasaan kehamilan secara dini dan teratur, serta mengetahui tempat pemeriksaan hamil c. Meningkatkan cakupan ibu hamil yang memeriksakan diri sebelum kehamilan 16 minggu 2. Standar 4 : Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal Tujuannya adalah memberikan pelayanan antenatal berkualitas dan deteksi dini komplikasi kehamilan. Hasilnya : a. Ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 x selama kehamilan b. Meningkatkan pemanfaatan jasa bidan oleh masyarakat c. Deteksi dini dan pengananan komplikasi kehamilan d. Ibu hamil, suami, keluarga dan masyarakat mengetahui tanda bahaya kehamilan dan tahu apa yang harus dilakukan. e. Mengurus transportasi rujukan jika sewaktu-waktu terjadi kedaruratan. 3. Standar 5 : Palpasi Abdominal Tujuannya adalah memperkirakan usia kehamilan, pemantauan pertumbuhan janin, penentu letak, posisi dan bagian bawah janin. Hasilnya : a. Perkiraan usia kehamilan yang lebih baik b. Diagnosis dini kelainan letak, dan merujuknya sesuai dengan kebutuhan c. Diagnosis dini kehamilan ganda dan kelainan lain serta merujuknya sesuai dengan kebutuhan. 4. Standar 6 : Pengelolaan anemia pada kehamilan Tujuannya adalah menemukan anemia pada kehamilan secara dini, dan melakukan tindak lanjut yang memadai untuk mengatsi anemia sebelum persalinan berlangsung. Hasilnya : a. Ibu hamil dengan anemia berat segera dirujuk b. Penurunan jumlah ibu melahirkan dengan anemia c. Penurunan jumlah bayi baru lahir dengan anemia/BBLR 5. Standar 7 : Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan Tujuannya adalah mengenali dan menemukan secara dini hepertensi pada kehamilan dan memerlukan tindakan yang diperlukan. Hasilnya : a. Ibu hamil dengan tanda preeklamsia mendapat perawatan yang memadai dan tepat waktu b. Penurunan angka kesakitan dan kematian akibat eklamsia. 6. Standar 8 : Persiapan Persalinan Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa persalinan direncanakan dalam lingkungan yang aman dan memadai dengan pertolongan bidan terampil. Hasilnya : a. Ibu hamil, suami dan keluarga tergerak untuk merencanakan persalinan yang bersih dan aman b. Persalinan direncanakan ditempat yang aman dan memadai dengan pertolongan bidan terampil. c. Adanya persiapan sarana transportasi untuk merujuk ibu bersalin, jika perlu d. Rujukan tepat waktu telah dipersiapkan bila perlu.

2.2.7 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Menurut Levey dan Loomba (1973), Depkes RI (2006) dalam Anisatullaila (2010) menyatakan pemanfaatan adalah penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang disediakan baik dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, kunjungan rumah oleh petugas atau tenaga kesehatan maupun dalam bentuk kegiatan lain dari pemanfaatan layanan kesehatan tersebut. Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama, dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat.

2.2.8 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Antenatal Cukup banyak model-model penggunaan pelayanan kesehatan yang dikembangkan seperti model kependudukan, model sumberdaya masyarakat, model organisasi dan lain-lain sesuai dengan variabel-variabel yang digunakan dalam masing-masing model (Notoatmodjo, 2010). Salah satunya menurut Anderson (1974), sebagaimana dikutip oleh Notoadmodjo (2010) menggambarkan model sistem kesehatan (health system model) berupa model kepercayaan kesehatan (health belief model). Dalam model Anderson ini, terdapat 3 (tiga) kategori utama dalam pelayanan kesehatan yaitu : 1. Komponen predisposisi, menggambarkan kecenderungan individu yang berbeda-beda dalam menggunakan pelayanan kesehatan seseorang. Komponen terdiri dari: a. Faktor-faktor demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, besar keluarga dan lain-lain) b. Faktor struktural sosial (suku bangsa, pendidikan dan pekerjaan) c. Faktor keyakinan/kepercayaan (pengetahuan, sikap dan persepsi) 2. Komponen enabling (pemungkin/pendorong), menunjukkan kemampuan individual untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Di dalam komponen ini termasuk faktor-faktor yang berpengaruh dengan perilaku pencarian : a. Sumber keluarga (pendapatan/penghasilan, kemampuan membayar pelayanan, keikutsertaan dalam asuransi, dukungan suami, informasi pelayanan kesehatan yang dibutuhkan). b. Sumber daya masyarakat (suatu pelayanan, lokasi/jarak transportasi dan sebagainya). 3. Komponen need (kebutuhan), merupakan faktor yang mendasari dan merupakan stimulus langsung bagi individu untuk menggunakan pelayanan kesehatan apabila faktor-faktor predisposisi dan enabling itu ada. Kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan menjadi : a. Kebutuhan yang dirasakan/persepsikan (seperti kondisi kesehatan, gejala sakit, ketidakmampuan bekerja) b. Evaluasi/clinical diagnosis yang merupakan penilaian keadaan sakit didasarkan oleh petugas kesehatan (tingkat beratnya penyakit dan gejala penyakit menurut diagnosis klinis dari dokter)

2.3 Pengetahuan2.3.1 PengertianPengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2007 p:59-62). Proses penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung turut memperkaya hidup kita. Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Pengetahuan diperoleh melalui kenyataan (fakta) dengan melihat dan mendengar sendiri, serta melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar, mendengarkan radio, melihat film atau televisi (Soekanto,2000).

2.3.2 Pentingnya PengetahuanPengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior ). Dari pengalaman penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo ,2007). Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subyek mulai timbul.3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.4) Trial, dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.5) Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.

2.3.3 Tingkatan PengetahuanMenurut Notoatmodjo 2003, membagi 6 tingkat pengetahuan. Ada 6 tingkat pengetahuan yang dicapai dalam domain kognitif yaitu 1) Tahu (know). Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang, tabu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan dan sebagainya.2) Memahami (Comprehension). Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.3) Aplikasi (Application). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real), aplikasi ini diartikan dapat sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain, misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan bagi kasus-kasus yang ada. 4) Analisis (Analysys). Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisa ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat menggambarkan (membuat bagan) membedakan, mengelompokkan dan seperti sebagainya. Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan sebagainya. 5) Sintesa (Syntesis). Adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru dengan kata lain sintesis merupakan suatu kemampuan untuk menyusun informasi baru misalnya dapat menyusun, menggunakan, meringkaskan dan menyesuaikan suatu teori dan rumusan yang ada. 6) Evaluasi (Evaluation). Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan krteria yang telah ada. Misalnya dapat menanggapi terjadinya kematian ibu dan kematian bayi disuatu wilayah.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawan cara atau angket. Pengukuran dengan menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur, dengan demikian dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan tersebut di atas.

2.3.4 Pengkategorian PengetahuanTujuan pengkategorian adalah menempatkan individu kedalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur. Kontinum jenjang ini misalnya dari tinggi ke rendah karena pengkategorian bersifat relatif, maka kita tidak bolrh menerapkan secara subyektif luasnya interval yang mencakup setiap kategori yang kita inginkan. Penyusunan skala boleh membuat skor dari jawaban-jawaban pertanyaan dan membuat beberapa kategori sesuai dengan tingkat deferensiasi yang dikehendaki, akan tetapi ditetapkan lebih dahulu batasannya. Setelah jumlah skor jawaban benar dari keseluruhan pernyataan yang diketahui, didasari asumsi bahwa skor subyek dalam kelompok mempunyai estimasi terhadap skor subyek dalam populasi, maka kita akan dapat membuat skor teoritis menurut model norma (Notoatmodjo,2003).

2.3.5 Cara Memperoleh PengetahuanCara memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :1) Cara Tradisional. Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain :a) Cara coba-coba, ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan tersebut tidak berhasil dicoba kemungkinan yang lama.b) Cara kekuasaan (otoritas), dimana pengetahuan diperoleh berdasarkan pada kekuasaan, baik otoritas tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin, maupun otoritas ilmu pengetahuan.c) Berdasarkan pengalaman, hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.d) Melalui jalan pikiran, manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuan.2) Cara modern dalam memperoleh pengetahuan. Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah, cara ini disebut dengan metode penelitian ilmiah atau lebih popular lagi metodologi penelitian (Notoatmodjo, 2002).

2.3.6 Cara Pengukuran PengetahuansCara mengukur pengetahuan seseorang menggunakan alat bantu kuesioner dengan cara menilainya dengan dikategorikan baik, cukup, dan kurang. Pengetahuan dinyatakan baik bila 76-100% pertanyaan dijawab benar, cukup bila 56-75% pertanyaan dijawab benar dan kurang bila pertanyaan dijawab benar >56% (Arikunto,2006 p:49).

2.3.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PengetahuanMenurut Sukmadinata (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah sebagai berikut :1) Faktor Internala) Pendidikan. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Menurut Yb Mantra yang dikutip notoadmojo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang yang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan (Nursalam, 2003) pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah meneriam informasi.b) Pekerjaan. Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membonsankan, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga.c) Umur. Menurut elizabeth BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan samapi berulang tahun. Sedangkan menurut Huolok (1998) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa.2) Faktor Eksternala) Faktor Lingkungan. Menurut Ann. Mariner yang dikutip dari Nursalam lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.b) Sosial Budaya. Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi (A. Wawan dan Dewi M, 2010 p.16 ).