Bab 2

41
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kolon 2.1.1 Anatomi Kolon merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki yang terbentang dari sekum sampai canalis ani. Kolon dibagi menjadi caecum, appendix vermiformis, colon (ascendens, tranversum, descendens, dan sigmoid) dan rectum. Pada caecum terdapat katup illeocaecal dan appendix yang melekat pada ujung caecum. Caecum menempati 2/3 atau 3 inci pertama dari kolon. Katup illeocaecal mengontrol aliran kimus dari ileum ke caecum (Gambar 2.1) (Snell, 2006). (Sobotta, 2003) Gambar 2.1 Anatomi Colon ascendens, Colon descendens, Colon transversum, Colon sigmoid, dan Rectum

description

bab 2 anatomi colon

Transcript of Bab 2

Page 1: Bab 2

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kolon

2.1.1 Anatomi

Kolon merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5

kaki yang terbentang dari sekum sampai canalis ani. Kolon dibagi menjadi

caecum, appendix vermiformis, colon (ascendens, tranversum, descendens,

dan sigmoid) dan rectum. Pada caecum terdapat katup illeocaecal dan

appendix yang melekat pada ujung caecum. Caecum menempati 2/3 atau 3

inci pertama dari kolon. Katup illeocaecal mengontrol aliran kimus dari ileum

ke caecum (Gambar 2.1) (Snell, 2006).

(Sobotta, 2003)

Gambar 2.1

Anatomi Colon ascendens, Colon descendens, Colon transversum, Colon sigmoid, dan

Rectum

Page 2: Bab 2

6

2.1.1.1 Caecum

a. Lokasi dan Deskripsi

Caecum (Gambar 2.2) adalah bagian yang terletak di

perbatasan ileum dan intestinum crassum. Caecum merupakan

kantong buntu yang terletak pada fossa iliaca dextra. Panjang

caecum sekitar 2 ½ inci (6 cm) dan seluruhnya diliputi oleh

peritoneum. Seperti pada colon, stratum longitudinale tunica

muscularis terbatas pada tiga pita tipis yaitu taenia coli yang

bersatu pada dasar appendix vermiformis dan membentuk

stratum longitudinale tunica muscularis yang sempurna pada

appendix vermiformis. Caecum sering teregang oleh gas dan

dapat diraba melalui dinding anterior abdomen pada orang

hidup (Snell, 2006).

(Sobotta, 2003)

Gambar 2.2

Caecum tampak ventral, Appendix vermiformis di titik pertemuan

taenia omentalis, taenia libera, dan taenia mesocolica

Page 3: Bab 2

7

Terdapat hubungan antara caecum dengan jaringan

sekitarnya, yaitu:

Ke anterior: lengkung-lengkung intestinum tenue, kadang-

kadang sebagian omentum majus, dan dinding anterior abdomen

pada regio iliaca dextra. Ke posterior: musculus psoas major

dan musculus iliacus, nervus femoralis, dan nervus cutaneus

femoris lateralis. Appendix vermiformis sering ditemukan di

belakang caecum (Snell, 2006).

b. Pendarahan

Arteriae caecalis anterior dan arteriae caecalis posterior

merupakan percabangan dari arteriae ileocolica, dimana

arteriae ileocolica adalah cabang dari arteria mesenterica

superior. Venae mengikuti arteriae yang sesuai dan

mengalirkan darahnya ke vena mesenterica superior (Snell,

2006).

c. Persarafan

Saraf–saraf berasal dari cabang–cabang saraf simpatis dan

parasimpatis (nervus vagus) membentuk plexus mesentericus

superior (Snell, 2006).

2.1.1.2 Appendix vermiformis

a. Lokasi dan Deskripsi

Appendix vermiformis adalah organ sempit, berbentuk

tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan

limfoid. Panjang appendix vermiformis bervariasi dari 3-5 inci

Page 4: Bab 2

8

(8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan posteromedial

caecum, sekitar 1 inci (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis.

Bagian appendix vermiformis lainnya bebas. Appendix

vermiformis diliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat

pada lapisan bawah mesenterium intestinum tenue melalui

mesenteriumnya sendiri yang pendek, mesoappendix (Snell,

2006).

Appendix vermiformis terletak di regio iliaca dextra, dan

pangkal diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada titik

sepertiga bawah garis yang menghubungkan spina iliaca

anterior superior dan umbilicus (titik McBurney) (Snell,

2006).

b. Posisi Ujung Appendix Vermiformis yang Umum

Ujung appendix vermiformis mudah bergerak dan mungkin

ditemukan pada tempat-tempat berikut ini:

1. Menggantung ke arah bawah masuk ke dalam pelvis

berhadapan dengan dinding pelvis dextra,

2. Melengkung di belakang caecum,

3. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral caecum, dan

4. Di depan atau di belakang pars terminalis ileum.

Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang sering

ditemukan (Snell, 2006).

c. Pendarahan

Page 5: Bab 2

9

Arteriae appendicularis merupakan cabang arteria

caecalis posterior. Arteria ini berjalan menuju ujung appendix

vermiformis di dalam meso-appendix. Vena appendicularis

mengalirkan darahnya ke vena caecalis posterior (Snell, 2006).

d. Persarafan

Saraf-saraf bearasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan

saraf parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus

superior. Serabut saraf aferen yang menghantarkan rasa nyeri

visceral dari appendix vermiformis berjalan bersama saraf

simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi vertebra

thoracica X (Snell, 2006).

2.1.1.3 Colon ascendens

a. Lokasi dan Deskripsi

Panjang colon ascendens sekitar 5 inci (13 cm) dan terletak

di kuadran kanan bawah. Colon ascendens (Gambar 2.3)

membentang ke atas dari caecum sampai permukaan inferior

lobus hepatis dextra, lalu colon ascendens membelok ke kiri,

membentuk flexura coli dextra, dan melanjutkan diri sebagai

colon transversum. Di dalam colon ascendens terdapat plicae

semilunares coli. Colon ascendens diliputi oleh tiga pita seperti

pada caecum. Peritoneum meliputi bagian depan dan samping

colon ascendens serta menghubungkan colon ascendens dengan

dinding posterior abdomen (Snell, 2006).

Page 6: Bab 2

10

(Sobotta, 2003)

Gambar 2.3

Colon ascendens, Ileum, Caecum, dan Appendix vermiformis

Terdapat hubungan antara colon ascendens dengan jaringan

sekitarnya, yaitu:

Ke anterior: lengkung-lengkung intestinum, omentum majus,

dan dinding anterior abdomen. Ke posterior: musculus iliacus,

crista iliaca, musculus quadrates lumborum, origo musculus

transverses abdominis, dan polus inferior ren dextra. Nervus

iliohypogastricus dan nervus ilioinguinalis berjalan di

belakangnya (Snell, 2006).

b. Pendarahan

Arteria ileocolica dan arteria colica dextra yang merupakan

cabang arteria mesenterica superior. Venae mengikuti arteriae

yang sesuai dan bermuara ke vena mesenterica superior (Snell,

2006).

c. Persarafan

Saraf berasal dari cabang saraf simpatis dan saraf

parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior

(Snell, 2006).

Page 7: Bab 2

11

2.1.1.4 Colon transversum

a. Lokasi dan Deskripsi

Panjang colon transversum (Gambar 2.4) sekitar 15 inci (38

cm) dan berjalan menyilang abdomen, menempati regio

abdominalis. Colon transversum mulai dari flexura coli dextra

di bawah lobus hepatis dextra dan tergantung ke bawah oleh

mesocolon transversum dari pancreas. Di dalam colon

transversum terdapat plicae semilunares coli. Colon

transversum diliputi oleh tiga pita seperti pada caecum (Snell,

2006).

Kemudian colon transversum berjalan ke atas sampai

flexura coli sinistra di bawah lien. Flexura coli sinistra lebih

tinggi daripada flexura coli dextra dan digantung ke diaphragma

oleh ligamentum phrenicocolicum (Snell, 2006).

(Sobotta, 2003)

Gambar 2.4

Colon transversum; Omentum majus dilipat ke atas untuk

memperlihatkan Taenia libera; lipatan selaput lendir di dalam bagian

usus yang tampak terbuka; tampak ventral kaudal

Terdapat hubungan antara colon transversum dengan

jaringan sekitarnya, yaitu:

Page 8: Bab 2

12

Ke anterior: omentum majus, dan dinding anterior abdomen

(regio umbilicalis dan hypogastrium). Ke posterior: pars

descendens duodenum, caput pancreatic, dan lengkung-

lengkung jejunum dan ileum (Snell, 2006).

b. Pendarahan

Dua pertiga bagian proksimal colon transversum

diperdarahi oleh arteria colica media, cabang arteria

mesenterica superior. Sepertiga bagian distal diperdarahi oleh

arteria colica sinistra, cabang arteria mesenterica inferior.

Venae mengikuti arteriae yang sesuai dan bermuara ke vena

mesenterica superior dan vena mesenterica inferior (Snell,

2006).

c. Persarafan

Dua pertiga proksimal colon transversum dipersarafi oleh

saraf simpatis dan saraf parasimpatis (nervus vagus) melalui

plexus mesentericus superior, sepertiga distal dipersarafi oleh

saraf simpatis dan parasimpatis nervi splanchnici pelvic melalui

plexus mesentericus inferior (Snell, 2006).

2.1.1.5 Colon descendens

a. Lokasi dan Deskripsi

Panjang colon descendens sekitar 10 inci (25 cm) dan

terletak di kuadran kiri atas dan bawah. Kolon ini berjalan ke

bawah dari flexura coli sinistra sampai pinggir pelvis, disini

colon transversum melanjutkan diri menjadi colon sigmoid.

Page 9: Bab 2

13

Peritoneum meliputi permukaan depan dan sisi-sisinya serta

menghubungkannya dengan dinding posterior abdomen (Snell,

2006).

Terdapat hubungan antara colon descendens dengan

jaringan sekitarnya, yaitu:

Ke anterior: lengkung-lengkung intestinum tenue, omentum

majus, dan dinding anterior abdomen. Ke posterior: margo

lateralis ren sinistra, origo musculus transversum abdominis,

musculus quadratus lumborum, crista iliaca, musculus iliacus,

dan musculus psoas major sinistra. Nervus iliohypogastricus

dan nervus ilioinguinalis, nervus cutaneus femoris lateralis,

serta nervus femoralis juga terletak di belakangnya (Snell,

2006).

b. Pendarahan

Arteria colica sinistra dan arteriae sigmoideae merupakan

cabang arteria mesenterica inferior. Venae mengikuti arteriae

yang sesuai dan bermuara ke vena mesenterica inferior (Snell,

2006).

c. Persarafan

Saraf simpatis dan parasimpatis nervi splanchnici pelvic

melalui plexus mesentericus inferior (Snell, 2006).

Page 10: Bab 2

14

2.1.1.6 Colon sigmoid

a. Lokasi dan Deskripsi

Colon sigmoid panjangnya sekitar 25-38 cm dan dimulai

sebagai kelanjutan dari colon descendens. Batas anterior dari

colon sigmoid pada pria berbeda dengan wanita. Pada pria,

anteriornya berbatasan dengan vesica urinaria, sedangkan pada

wanita berbatasan dengan permukaan posterior uterus dan bagian

atas vagina (Snell, 2006).

b. Pendarahan

Pendarahan colon sigmoid berasal dari rami sigmoideum a.

mesenterica inferior. Vena colon sigmoid sesuai dengan

arterinya dan dipercabangkan dari sistem vena porta (Snell,

2006).

c. Persarafan

Persarafan berasal dari plexus hypogastricus inferior (Snell,

2006).

2.1.1.7 Rectum

a. Lokasi dan Deskripsi

Rectum panjangnya sekitar 13 cm dan dilai dari depan

vertebrae sacralis 3 sebagai lanjutan colon sigmoid. Rectum

berjalan ke bawah mengikuti lengkungan sacrum dan coccygis

dan berakhir 2,5 cm di depan ujung coccygis dengan menembus

diaphragma pelvis dan melanjutkan diri sebagai canalis ani,

bagian bawah rectum yang terletak tepat di atas diaphragma

Page 11: Bab 2

15

pelvis melebar membentuk ampulla recti. Lapisan muskular

rectum tersusun atas lapisan otot polos longitudinal (luar) dan

sirkular (dalam) (Snell, 2006).

b. Pendarahan

Perdarahan rectum berasal dari a. rectalis superior, a.

rectalis media, dan a. rectalis inferior (Snell, 2006).

c. Persarafan

Persarafan rectum berasal dari plexus hypogastricus inferior

(Snell, 2006).

2.1.2 Fisiologi

Kolon terdiri dari caecum, colon ascendens, colon transversum, colon

descendens, colon sigmoid, dan rectum. Panjang kolon sekitar 1,2 meter dan

diameternya antara 6 sampai 9 cm. Kira-kira 1,5 L kimus memasuki kolon

setiap harinya melalui sfingter yang disebut sfingter ileocaecal. Distensi

bagian akhir ileum menyebabkan menutupnya sfingter, sehingga

mempertahankan laju masuknya kimus tetap optimum untuk memaksimalkan

fungsi utama kolon, yaitu untuk mengabsorbsi sebagian besar air dan

elektrolit. Dari 1,5 L kimus yang memasuki kolon, akan berkurang sampai

sekitar 150 g feses yang terdiri dari 100 mL air dan 50 g solid (Ward, Clarke,

Linden, 2009).

Pergerakan kimus melalui kolon mencakup pergerakan mencampur dan

propulsi. Akan tetapi, karena fungsi utama kolon adalah menyimpan sisa-sisa

makanan dan mengabsobrsi air dan elektrolit, maka pergerakannya pelan dan

lambat (sekitar 5-10 cm/jam). Kimus biasanya tetap berada di kolon sampai 20

Page 12: Bab 2

16

jam. Pergerakan mencampur disebut juga haustrasi dan akibat pergerakan ini

terbentuk kompartemen-kompartemen dengan bentuk seperti kantung, disebut

haustra. Isi haustra seringkali didorong bolak-balik ke haustra lainnya, proses

ini disebut haustral shuttling. Proses ini membantu pemajanan kimus ke

permukaan mukosa dan membantu reabsorbsi air dan elektrolit. Pada bagian

distal kolon, kontraksi lebih pelan dan kurang propulsif, dan akhirnya feses

akan terkumpul di colon descendens (Ward, Clarke, Linden, 2009).

Beberapa kali dalam sehari, terjadi peningkatan aktivitas dalam kolon,

dimana terjadi pergerakan propulsif yang kuat, disebut pergerakan massal

(mass movement). Hal ini menyebabkan pengosongan sebagian besar isi kolon

proksimal ke bagian yang lebih distal. Pergerakan massal ini diinisiasi oleh

serangkaian reflek intrinsik yang kompleks yang dimulai dengan distensi

lambung dan duodenum segera setelah mengkonsumsi makanan (Ward,

Clarke, Linden, 2009).

Jika massa feses yang kritis (yang cukup banyak) didorong ke dalam

rectum, maka akan dirasakan dorongan defekasi. Distensi mendadak dinding

rectum oleh pergerakan massal akhir ini akan menyebabkan reflek defekasi.

Reflek ini terdiri dari kontraksi rectum, relaksasi sfingter analis interna, dan

pada awalnya kontraksi sfingter analis eksterna. Kontraksi awal ini kemudian

segera diikuti oleh reflek relaksasi sfingter yang diinisiasi oleh peningkatan

aktivitas peristaltis pada colon sigmoid dan peningkatan tekanan rectum.

Akhirnya feses dikeluarkan. Relaksasi reflek ini dapat dikalahkan oleh

aktivitas pusat yang lebih tinggi, menyebabkan kontrol volunter pada sfingter

yang bisa menunda pengeluaran feses. Distensi rectum yang terlalu lama bisa

Page 13: Bab 2

17

menyebabkan peristalsis tebalik, dimana isi rectum dikembalikan ke kolon

sehingga dorongan defekasi hilang sampai terjadi pergerakan massal

berikutnya dan/ atau sampai waktu yang lebih sesuai (Ward, Clarke, Linden,

2009).

Kimus yang memasuki kolon bersifat isotonik, namun demikian pada

kolon, air ternyata lebih banyak diabsorbsi daripada elektrolit, sehingga air

diabsorbsi melawan gradien konsentrasinya. Proses ini dikontrol oleh Na+-K

+-

ATPase yang terletak di membran basolateral dan membran lateral sel epitel

yang melapisi dinding kolon. Permukaan mukosa kolon besar relatif lebih

halus dengan tanpa vili (hanya ada mikrovili); namun demikian, terdapat

kripta dan sebagian besar sel-sel adalah sel absorb kolumnar dengan banyak

sel goblet penyekresi mukus. Na+ dikeluarkan oleh pompa membran ke rongga

ekstraseluler. Tight junction (persambungan erat) pada sisi lumen sel akan

mencegah difusi Na+ dan Cl

- dari ruang ektraseluler ke dalam lumen; hal ini

menyebabkan larutan yang dekat lumen bersifat hipertonik, sehingga air

berdifusi dari isi lumen. Pada dasarnya, terdapat pergerakan netto ion K+ dan

ion bikarbonat dari darah ke kolon yang terjadi karena perbedaan potensial

yang muncul akibat absorbsi asimetris Na+ dan Cl

- yang melintasi dinding sel

(Ward, Clarke, Linden, 2009).

Mayoritas bakteri yang terdapat di saluran pencernaan ditemukan di

kolon, karena lingkungan yang asam pada bagian lain saluran pencernaan akan

menghancurkan sebagian mikroflora ini. Sembilan puluh sembilan persen

bakteri ini bersifat anaerob dan mengandung 1011

bakteri. Bakteri ini terlibat

dalam sintesis vitamin K, B12, tiamin, dan riboflavin, pemecahan asam

Page 14: Bab 2

18

empedu primer menjadi sekunder, dan konversi bilirubin menjadi metabolit

tidak berpigmen, dimana semuanya menjadi mudah diabsorbsi oleh saluran

pencernaan. Bakteri ini juga memecah kolesterol, sejumlah zat aditif dalam

makanan dan obat-obatan (Ward, Clarke, Linden, 2009).

2.2 Kanker Kolorektal

2.2.1 Definisi

Kanker adalah suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian

dan mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak

normal, cepat, dan tidak terkendali. Sel-sel kanker akan terus membelah diri.

Kanker bisa terjadi dari berbagai jaringan dalam berbagai organ, seperti sel

kulit, sel hati, sel darah, sel otak, sel lambung, sel usus, sel paru, sel saluran

kencing, dan berbagai macam sel tubuh lainnya. Sejalan dengan pertumbuhan

dan perkembangbiakannya, sel-sel kanker membentuk suatu massa dari

jaringan ganas yang menyusup ke jaringan di dekatnya (invasif) dan bisa

menyebar (metastasis) ke seluruh tubuh. Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel

normal dalam suatu proses rumit yang disebut transformasi, yang terdiri dari

tahap inisiasi dan promosi (Dinkes Gorontalo, 2007).

Colorectal cancer atau dikenal sebagai kanker usus besar adalah suatu

bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu).

Di negara maju, kanker ini menduduki peringkat ke tiga yang paling sering

terjadi, dan menjadi penyebab kematian yang utama di dunia barat. Untuk

menemukannya diperlukan suatu tindakan yang disebut sebagai kolonoskopi,

sedangkan untuk terapinya adalah melalui pembedahan diikuti kemoterapi

(Arief, 2008).

Page 15: Bab 2

19

2.2.2 Etiologi

Walaupun penyebab kanker kolorektal (seperti kanker lainnya) belum

diketahui, namun telah dikenali beberapa faktor predisposisi. Salah satu faktor

predisposisi yang penting yaitu berkaitan dengan kebiasaan makan (Price,

Lorraine, 2005).

Burkitt (1971) mengemukakan bahwa diet rendah serat dan tinggi

karbohidrat murni mengakibatkan perubahan flora feses dan degradasi garam

empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, sebagian zat ini bersifat

karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat berpotensi

karsinogenik ini menjadi feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu, masa

transit feses meningkat. Akibatnya kontak zat berpotensi karsinogenik dengan

mukosa usus bertambah lama (Price, Lorraine, 2005).

Selain itu juga terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi

meningkatnya terjadinya kanker usus, antara lain:

1. usia: golongan orang tua (berusia diatas 50 tahun) lebih beresiko

terkena kanker usus,

2. obesitas atau penderita diabetes,

3. merokok,

4. riwayat kanker usus dalam keluarga,

5. kontak dengan zat-zat kimia tertentu seperti logam berat, toksin, dan

ototoksin (Sorra, 2008).

Page 16: Bab 2

20

2.2.3 Patofisiologi

2.2.3.1 Kelainan genetik

Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan

kolorektal diantaranya sindroma poliposis dan sindroma Lynch. Kanker

kolorektal terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus yang

mengontrol pertumbuhan sel. Terdapat dua mekanisme yang

menimbulkan instabilitas genom dan berujung pada kanker kolorektal,

yaitu instabilitas kromosom dan instabilitas mikrosatelit (Abdullah,

2006).

Instabilitas kromosom merupakan hasil perubahan besar pada

kromosom seperti translokasi, amplifikasi, delesi, dan berbagai bentuk

kehilangan alel lainnya disertai dengan hilangnya heterozigositas pada

DNA (Deoxyribonucleic Acid) yang berdekatan dengan lokasi kelainan-

kelainan tersebut (Abdullah, 2006).

Awal dari proses kejadian kanker kolorektal yang melibatkan

mutasi somatik terjadi pada gen APC (Agent Presenting Cell ) baik

sporadik maupun familial. Gen APC mengatur kematian sel dan mutasi

yang terjadi menyebabkan proliferasi selanjutnya berkembang menjadi

adenoma. Mutasi pada proto onkogen seluler K-ras yang biasanya terjadi

pada adenoma kolon yang berukuran besar akan menyebabkan gangguan

pertumbuhan sel yang tidak normal (Abdullah, 2006).

Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari

mutasi gen supresor p53. Mutasi gen p53 menyebabkan sel dengan

kerusakan DNA tetap dapat bereplikasi yang menghasilkan sel-sel DNA

Page 17: Bab 2

21

dengan kerusakan yang lebih parah. Hal ini menyebabkan kehilangan

gen supresor tumor yang lain yang merupakan tahap akhir dari

transformasi ke arah keganasan (Abdullah, 2006).

Pada instabilitas mikrosatelit, terjadi peningkatan resiko mutasi-

mutasi noktah yang mempengaruhi satu atau lebih pasangan basa DNA

secara acak sepanjang genom. Gen yang mempengaruhi mutasi tersebut

adalah MMR(Mismatch Repair) (Abdullah, 2006).

2.2.3.2 Faktor Lingkungan

Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting

pada kejadian kanker kolorektal. Risiko mendapat kanker kolorektal

meningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari wilayah dengan

insiden yang rendah ke wilayah insiden yang tinggi. Kandungan dari

mikronutrien dan makronutrien juga berhubungan dengan kanker

kolorektal. Transformasi sel melalui peningkatan konsentrasi empedu

dalam kolon telah diketahui sebagai promotor kanker pada masyarakat

yang disertai dengan konsumsi rendah serat dan insiden kanker

kolorektal yang tinggi (Dinkes Gorontalo, 2007).

Secara umum berdasarkan Dinkes Gorontalo, terdapat 3 tahapan

karsinogenesis, yaitu:

1. Tahap inisiasi

Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik

sel yang memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan

genetik sel ini disebabkan oleh suatu agen yang disebut

karsinogen, yang dapat berupa bahan kimia, virus, radiasi, atau

Page 18: Bab 2

22

sinar matahari. Tetapi tidak semua sel memiliki kepekaan yang

sama terhadap suatu karsinogen (Dinkes Gorontalo, 2007).

2. Tahap promosi

Pada tahap promosi, suatu sel telah mengalami inisiasi akan

berubah menjadi sel ganas. Sel yang belum melewati tahap

inisiasi tidak akan terpengaruh oleh promosi. Karena itu

diperlukan beberapa faktor untuk terjadinya keganasan

(gabungan dari sel yang peka dan karsinogen) (Dinkes

Gorontalo, 2007).

3. Tahap keganasan

Pada saat sel menjadi ganas, sistem kekebalan tubuh sering

merusaknya sebelum sel ganas tersebut berlipat ganda dan

menjadi suatu kanker. Namun apabila sistem kekebalan tubuh

tidak berfungsi secara normal, maka tubuh cenderung rentan

terhadap resiko kanker, seperti yang terjadi pada penderita AIDS

(Acquired Immunodeficiency Syndrome), orang-orang yang

menggunakan obat penekan kekebalan, dan pada penyakit

autoimun tertentu. Tetapi sistem kekebalan tubuh pun tidak

selalu efektif, sehingga kanker kadangkala masih dapat

menembus perlindungan ini meskipun sistem kekebalan

berfungsi secara normal. Pada hampir semua jenis kanker, angka

keberhasilan terapi sangat berkaitan dengan stadium saat

diagnosis dan pengobatan. Semakin tinggi stadium saat

diagnosis, maka keberhasilan terapi akan semakin menurun

Page 19: Bab 2

23

dengan modalitas pengobatan yang semakin agresif (Dinkes

Gorontalo, 2007).

Kanker kolorektal sporadik salah satunya disebabkan oleh kontak

sel-sel mukosa usus besar dengan zat-zat karsinogen, terutama jika

kontak tersebut terjadi dalam waktu yang lama dengan konsentrasi

senyawa karsinogen yang tinggi. Senyawa karsinogen berasal dari

makanan yang mengandung senyawa prekursor (Koswara, 2008).

Di dalam sistem pencernaan, senyawa prekursor dapat dirubah

menjadi senyawa-senyawa karsinogen oleh enzim pencernaan dan

aktivitas flora usus. Kontak senyawa karsinogen dengan sel usus akan

merusak keutuhan sel dan intinya sehingga bersifat mutagenik,

menyebabkan perubahan sel DNA yaitu sel-sel normal setelah dicemari

zat tersebut menjadi sel yang ganas dan berkembangbiak tak terkendali

(Koswara, 2008; LP POM MUI, 2008).

Pertumbuhan tumor secara tipikal tidak terdeteksi, sehingga

menimbulkan beberapa gejala. Saat timbul gejala, penyakit mungkin

sudah menyebar ke dalam lapisan lebih dalam dari jaringan usus dan

organ-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal menyebar dengan

perluasan langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa, dan

dinding luar usus. Struktur yang berdekatan seperti hepar, curvatura

mayor gaster, duodenum, intestinum, pancreas, lien, genitourinary tract,

dan dinding abdominal juga dapat dikenai perluasan (Harahap, 2004).

Metastasis ke kelenjar getah bening regional sering berasal dari

penyebaran tumor. Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang

Page 20: Bab 2

24

jauh sudah dikenai namun kelenjar regional masih normal (Harahap,

2004).

Sel-sel kanker dari tumor primer dapat juga menyebar melalui

sistem limfatik atau sistem sirkulasi ke area sekunder seperti hati, paru-

paru, otak, tulang, dan ginjal. Penyebaran tumor ke area lain dari rongga

peritoneal dapat terjadi bila tumor meluas melalui serosa (Gambar 2.5)

(Harahap, 2004).

(Adams, 2006)

Gambar 2.5

Stadium I, II, dan III Kanker Kolorektal

2.2.4 Gejala Klinis

Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia 50 tahun dan

umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosisnya juga buruk.

Keluhan yang paling sering dirasakan pasien di antaranya: perubahan pola

buang air besar, perdarahan per anus (hematosezia dan konstipasi) (Abdullah,

2006).

Gejala dan tanda penyakit kanker kolorektal bervariasi sesuai dengan

letak kanker dan sering dibagi menjadi kanker yang mengenai bagian kanan

dan kiri usus besar (Price, Lorraine, 2005).

Page 21: Bab 2

25

Kanker kolon kiri dan rektum mempunyai gejala dan tanda sebagai

berikut:

1. obstruksi

2. nyeri mirip kejang

3. kembung

4. feses kecil dan berbentuk pita

5. terdapat darah segar dan mukus pada feses

6. anemia

7. hemoroid, nyeri pinggang bagian bawah, keinginan defekasi dan

berkemih dapat timbul karena tekanan pada kolon (Price, Lorraine,

2005).

Kanker kolon kanan (isi kolon berupa cairan) mempunyai gejala dan

tanda sebagai berikut:

1. diare

2. anemia akibat perdarahan

3. darah bersifat samar dan hanya dapat diuji dengan uji guaiak

4. mukus jarang terlihat karena bercampur feses

5. pada orang kurus, tumor kolon kanan dapat teraba tetapi tidak khas

pada stadium awal

6. perasaan tidak enak pada abdomen dan epigastrium (Price, Lorraine,

2005).

Page 22: Bab 2

26

2.2.5 Stadium Kanker Kolorektal

Terdapat beberapa macam stadium, dibawah ini merupakan stadium

kanker kolorektal menurut TNM (Gambar 2.6) (Kelompok Kerja

Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia, 2006).

Tabel 2.1 Stadium Kanker Kolorektal Berdasarkan Kriteria TNM

Stadium

Derajat T N M

0 Tis N0 M0

IA T1 N0 M0

IB T2 N0 M0

IIA T3 N0 M0

IIB T4 N0 M0

IIIA Semua T N1 M0

IIIB Semua T N2 M0

IV Semua T Semua N M1

(Sumber: Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia, 2006)

Keterangan:

T- Tumor primer

Tx : tumor primer tidak dapat dinilai

T0 : tumor primer tidak ditemukan

Tis : karsinoma insitu, intaephitelial atau ditemukan sebatas lapisan mukosa saja

T1 : tumor menginvasi submukosa

T2 : tumor menginvasi lapisan muskularis propria

T3 : tumor menembus muskularis propria hingga lapisan serosa atau jaringan perikolika/ perirektal

belum mencapai peritoneum

T4 : tumor menginvasi organ atau struktur disekitarnya atau menginvasi sampai peritoneum visceral

N- Kelenjar getah bening regional

Nx : kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai

N0 : tidak ditemukan metastasis pada kelenjar getah bening regional

N1 : ditemukan anak sebar pada 1-3 kelenjar getah bening regional

N2 : ditemukan anak sebar pada 4 atau lebih kelenjar getah bening

M- Metastasis jauh

Mx : metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 : tidak ditemukan metastasis jauh

M1 : ditemukan metastasis jauh

Dan dibawah ini merupakan stadium kanker kolorektal berdasarkan

kriteria Dukes modifikasi Astler Coller (Kelompok Kerja Adenokarsinoma

Kolorektal Indonesia, 2006).

Page 23: Bab 2

27

Tabel 2.2 Stadium Kanker Kolorektal Berdasarkan Kriteria Dukes Modifikasi Astler

Coller

Dukes Penyebaran Histopatologi

A Tumor terbatas pada lapisan mukosa

B1 Tumor menginvasi sampai lapisan muskularis propria

B2 Tumor menginvasi menembus lapisan muskularis propria

C1 Tumor B1 dan ditemukan anak sebar pada kelenjar getah bening

C2 Tumor B2 dan ditemukan anak sebar pada kelenjar getah bening

D Tumor bermetastasis jauh

(Sumber: Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia, 2006)

(Adams, 2006)

Gambar 2.6

Stadium Kanker Kolorektal

2.2.6 Pendekatan Diagnosis

2.2.6.1 Prosedur Diagnosis pada Pasien dengan Gejala

Keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda

seperti: anemia mikrositik, hematosezia, nyeri perut, berat badan turun

atau perubahan defekasi. Temuan darah samar di feses memperkuat

dugaan neoplasia namun bila tidak ada darah samar tidak dapat

menyingkirkan lesi neoplasma (Abdullah, 2006).

2.2.6.2 Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium meliputi:

1. Tes darah: pengukuran darah pasien untuk peningkatan kadar

protein tertentu dapat memberikan indikasi beban tumor. Secara

Page 24: Bab 2

28

khusus, tingkat tinggi CEA (Carcinoembryonic Antigen) dalam

darah dapat menunjukkan metastasis adenokarsinoma. Tes ini

sering negatif palsu atau positif palsu, dan tidak

direkomendasikan untuk skrining, dapat berguna untuk menilai

kekambuhan penyakit (Marin, 2010).

2. FOBT (Fecal Occult Blood Test): tes darah pada tinja. Dua jenis

tes dapat digunakan untuk mendeteksi darah yang tersembunyi

pada kotoran manusia, tes ini menggunakan uji kimia tertentu

dan immunochemical. Sensitivitas pengujian immunochemical

adalah lebih tinggi dari pengujian kimia (nilai spesifisitas-nya

dapat diterima) (Marin, 2010).

2.2.6.3 Pemeriksaan Radiologi

Enema barium kontras (hanya mendeteksi 50% polip kolon dengan

spesifisitas 85%) untuk memeriksa bagian kolon di balik striktur yang

tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi (Abdullah, 2006).

2.2.6.4 Kolonoskopi

Kolonoskopi merupakan cara pemeriksaan mukosa kolon yang

sangat akurat dan dapat sekaligus melakukan biopsi pada lesi yang

mencurigakan. Pemeriksaan kolon yang lengkap dapat mencapai 95%.

Kolonoskopi mempunyai sensitivitas 95% dan spesifisitas 99%

(Abdullah, 2006).

2.2.6.5 Evaluasi Histologi

Adenoma diklasifikasikan sesuai dengan gambaran histologi yang

dominan. Yang paling sering adalah adenoma tubular (85%), adenoma

Page 25: Bab 2

29

tubulovilosum (10%), dan adenoma serrata (1%). Temuan sel atipik pada

adenoma dikelompokkan menjadi ringan, sedang, dan berat. Gambaran

atipik berat menunjukkan adanya fokus karsinomatosus namun belum

menyentuh membran basalis. Bilamana sel ganas menembusi membran

basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut karsinoma intra

mukosa (Abdullah, 2006).

2.2.6.6 Macam Skrining Lainnya

Selain pemeriksaan tersebut diatas, diagnosis dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan lain, yaitu:

1. DRE (Digital Rectal Examination): dokter memasukkan jari-

yang sebelumnya diberi sarung tangan dan dilumasi dengan

pelicin-ke dalam rektum untuk mengecek daerah yang

abnormal. Cara ini hanya mendeteksi tumor yang sudah tumbuh

cukup besar dan dirasakan di bagian distal rektum. Namun cara

ini berguna sebagai tes skrining awal.

2. Genetik konseling dan tes genetik untuk keluarga yang mungkin

memiliki bentuk turun-temurun kanker usus besar, seperti

HNPCC (Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer) dan FAP

(Familial Adenomatous Polyposis).

3. PET (Positron Emission Tomography) adalah teknologi

pemindaian 3-dimensi di mana gula radioaktif disuntikkan ke

pasien, gula terkumpul dalam jaringan dengan aktivitas

metabolik tinggi, dan gambar dibentuk dengan mengukur emisi

radiasi dari gula. Karena sel-sel kanker sering memiliki tingkat

Page 26: Bab 2

30

metabolisme yang sangat tinggi, ini dapat digunakan untuk

membedakan tumor jinak dan ganas. PET tidak digunakan untuk

skrining dan tidak (belum) memiliki tempat dalam hasil

pemeriksaan rutin kasus kanker kolorektal (Marin, 2010).

2.2.7 Penatalaksanaan

Empat jenis utama pengobatan untuk kanker kolorektal yaitu

pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan target terapi molekuler (Sorra,

2008).

2.2.7.1 Pembedahan

Pembedahan biasanya merupakan pengobatan utama untuk kanker

usus stadium awal. Suatu polipektomi adalah suatu metode yang biasa

digunakan oleh dokter (ahli endoskopi) untuk mengangkat polip usus

yang dianggap berbahaya (mengarah ke pra-kanker) pada saat

dilakukannya kolonoskopi. Bila sudah menjadi kanker, maka perlu

dilakukan tindakan operasi yang disebut kolektomi atau reseksi

segmental. Biasanya dokter akan mengangkat bagian usus yang terkena

kanker (termasuk getah bening didekatnya), dan kemudian

menyambungkan kembali bagian usus yang tersisa. Pada operasi ini,

dokter mungkin menganggap perlu untuk membuat lumbang

pembuangan tinja sementara (ostomi) di pinggang pasien untuk

memberikan waktu ususnya sembuh (Sorra, 2008).

Suatu bedah laparoskopi kolostomi (gambar 2.7) menggunakan

teknik yang lebih canggih yang tidak memerlukan sayatan panjang

seperti pada operasi pembedahan biasa (open surgery). Beberapa

Page 27: Bab 2

31

manfaat dari metode ini adalah rasa sakit sesudah operasi jauh lebih

berkurang dan pasien tidak perlu rawat inap terlalu lama di RS (Sorra,

2008).

Pada kasus kanker usus dan kanker rektum stadium II dan III,

mungkin memerlukan penanganan/pembedahan yang lebih serius,

dengan salah satu metode ini:

1. Reseksi Anterior: metode ini dilakukan bila posisi kanker

terletak diatas rektum dekat dengan perbatasan usus besar.

Dokter bedah perlu membuat sayatan terbuka pada perut untuk

mengangkat bagian yang terkena kanker (beserta kelenjar getah

bening terinfiltrasi), tanpa mempengaruhi anus. Pada metode ini,

pasien masih dapat BAB (buang air besar) seperti biasa (melalui

anus).

2. LAR (Low Anterior Resection): bila letak kanker 1/3 tengah

rektum, dengan mengangkat rectum 1/3 tengah dan proksimal

serta sebagian distal colon sigmoid yang dianggap bebas massa

tumor. Ini adalah operasi yang sulit untuk dilakukan. Untuk itu

dokter akan membuat kantong pembuangan tinja sementara

(ostomi) hingga ususnya sembuh. Operasi kedua diperlukan

untuk menutup pembukaan ostomi.

3. APR (Abdomino Perineal Resection): bila kankernya berada

pada bagian bawah rektum dekat dengan anus, maka ahli bedah

perlu mengangkat juga anusnya. Akibatnya sebuah lubang

Page 28: Bab 2

32

pembuangan tinja (ostomi) permanen perlu dibuat untuk

mengeluarkan tinja/kotoran dari tubuh pasien selanjutnya.

4. Eksenterasi panggul: jika kanker rektum sudah menyebar ke

organ terdekat, maka diperlukan suatu pembedahan radikal,

yang mungkin melibatkan pengangkatan usus besar, anus

ataupun kandung kemih/prostat/rahim yang terinfiltrasi. Suatu

ostomi diperlukan untuk pembuangan tinja permanen. Jika

kandung kemih diangkat, sebuah urostomi (pembuka untuk

buangan air seni) juga diperlukan (Sorra, 2008).

Efek samping dari operasi tergantung pada banyak hal, seperti

tingkat operasi dan kesehatan umum seseorang sebelum operasi. Rasa

sakit sesudah operasi, umum dirasakan. Efek lain yang mungkin timbul

antara lain: pendarahan, pembekuan darah di kaki, dan kerusakan organ

terdekat selama operasi (Sorra, 2008).

Pembedahan juga bisa berdampak pada kehidupan seksual.

Beberapa efek samping yang mungkin timbul antara lain, tidak

keluarnya air mani saat orgasme, gangguan ereksi pada pria, serta rasa

sakit dan menurunnya gairah seksual pada wanita (Sorra, 2008).

2.2.7.2 Radioterapi

Radioterapi dalam mengobati kanker usus terutama digunakan

ketika sel-sel kankernya sudah menempel ke organ dalam atau ke lapisan

dalam perut. Dalam hal ini radioterapi digunakan setelah operasi

pengangkatan untuk memastikan seluruh sel-sel kanker yang tersisa

mati. Radiasi jarang digunakan untuk mengobati kanker usus besar yang

Page 29: Bab 2

33

telah menyebar (metastasis). Untuk kanker rektum, radiasi sering

diberikan baik sebelum atau setelah operasi untuk membantu mencegah

kankernya kambuh (Sorra, 2008).

Brachytherapy adalah terapi radiasi internal dimana pelet kecil atau

biji bahan radioaktif ditempatkan langsung ke kankernya dalam jangka

pendek dengan tujuan mematikan kankernya tanpa merusak jaringan

sehat disekitarnya. Metode ini dilakukan untuk orang-orang yang karena

satu dan lain hal tidak dapat menjalani operasi (Sorra, 2008).

2.2.7.3 Kemoterapi

Kemoterapi melibatkan penggunaan obat-obatan melalui infus ke

dalam aliran darah ataupun tablet minum untuk mematikan sel-sel

kankernya. Kemoterapi kadang digunakan sebelum operasi untuk

mengecilkan kankernya, atau pada kasus kanker usus yang telah

bermetastasis ke hati. Kemoterapi sendiri dapat digolongkan menjadi 2,

yaitu:

1. Terapi Adjuvan

Kemoterapi ajuvan dimaksudkan untuk menurunkan tingkat

rekurensi kanker kolorektal setelah operasi. Pasien dengan

stadium Dukes A jarang mengalami rekurensi sehingga tidak

perlu terapi ajuvan. Pasien stadium Dukes C mendapat levamisol

dan 5-FU (5-flurourasil) secara signifikan meningkatkan

harapan hidup dan masa interval bebas tumor. Irinotectan (CPT

11) inhibitor topoisomer dapat memperpanjang masa harapan

Page 30: Bab 2

34

hidup. Oxaliplatin analog platinum juga memperbaiki respon

setelah diberikan 5-FU dan leucovorin.

2. Terapi Neoadjuvan

Merupakan terapi kombinasi terbaru yang menjadi prioritas

untuk menghindari terjadinya tumor. Terapi neoajuvan ini

diberikan sebelum dan sesudah operasi. Terdapat dua macam

kombinasi, yaitu FOLFOX dan FOLFIRI. FOLFOX sendiri

berisi 5-FU, leucovorin, dan oxaliplatin. Sedangkan FOLFIRI

berisi 5-FU, leucovorin, dan irinotectan (Sorra, 2008; Schofield,

Jones, 1996).

2.2.7.4 Molecular Target Therapy

Target terapi, kadang disebut sebagai smart drugs, yaitu hanya

memfokuskan diri untuk mematikan sel-sel kankernya, sehingga tidak

mengganggu sel-sel normal lainnya. Contoh obat-obatan target terapi

untuk kanker usus, adalah: bevacizumab (Avastin ®), panitumumab

(Vectibix), dan cetuximab (Erbitux). Obat ini merupakan antibodi

monoclonal buatan (versi manusia) untuk menyerang kanker pada akar

molekulnya. Molecular target therapy biasanya dilakukan bersamaan

dengan kemoterapi untuk meningkatkan peluang keberhasilan

pengobatan (Sorra, 2008).

2.2.8 Prognosis

Harapan hidup pasien kanker kolorektal tergantung pada derajat

penyebaran saat pasien datang. Faktor yang mempengaruhi prognosis adalah

metastasis jauh, penyebaran lokal yang menyebabkan perlekatan dengan

Page 31: Bab 2

35

struktur yang tak dapat diangkat, derajat keganasan histologi yang tinggi, dan

penyebaran ke kelenjar limfe regional (Schofield, Jones, 1996).

Untuk semua pasien, hasil kelangsungan hidup adalah sekitar 25%, tetapi

pada pasien yang tampaknya dapat diobati dengan reseksi pada saat operasi,

lebih baik 50%, dan jika tumor tidak menembus seluruh ketebalan dinding

kolon, maka harapan hidupnya hampir normal (Schofield, Jones, 1996).

2.2.9 Pencegahan

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjangkit penyakit

kanker kolorektal adalah:

1. hindari makanan tinggi lemak, protein, kalori, serta daging merah.

Jangan lupakan konsumsi kalsium dan asam folat. Setelah menjalani

polipektomi adenoma disarankan pemberian suplemen kalsium,

2. disarankan pula suplementasi vitamin E dan D,

3. makan buah dan sayuran setiap hari,

4. pertahankan IMT (indeks massa tubuh) antara 18,5- 25,0 kg/m2

sepanjang hidup,

5. lakukan aktivitas fisik, semisal jalan cepat paling tidak 30 menit dalam

sehari,

6. hindari kebiasaan merokok,

7. lakukan deteksi dini dengan tes darah samar sejak usia 40 tahun

(Pasaribu, 2009).

Page 32: Bab 2

36

2.3 Anemia

2.3.1 Definisi

Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau konsentrasi

Hb di bawah nilai normal. Anemia sendiri sebenarnya bukan suatu penyakit

tetapi merupakan gejala dari suatu kelainan yang sebab-sebabnya harus

ditentukan (Digilib-USU, 2005).

Anemia yang disebabkan oleh kanker bisa terjadi akibat efek langsung

dari keganasan, dapat sebagai produksi zat-zat tertentu yang dihasilkan

kanker, atau dapat juga sebagai akibat dari hasil pengobatan (Kar, 2005).

2.3.2 Derajat Anemia

Menurut WHO (2001), anemia dalam individu ditentukan sebagai

konsentrasi Hb dalam darah dibawah nilai yang diharapkan. Hemoglobin

sendiri berfungsi untuk membantu sel darah merah membawa oksigen dari

paru-paru ke semua bagian tubuh. Berikut merupakan derajat anemia menurut

kriteria WHO dan NCI (Syafei, 2009).

Tabel 2.3 Derajat Anemia Menurut WHO dan NCI

Derajat WHO NCI

Normal ≥11 gr/dl Pr 12.0-16.0 gr/dl

Lk 14.0-18.0 gr/dl

Derajat 1 (ringan) Pr < 10 gr/dl

Lk <11 gr/dl

10.0 gr/dl-nilai normal

Derajat 2 (sedang) 8.0-9.4 gr/dl 8.0-10.0 gr/dl

Derajat 3 (berat) ≤8.0 gr/dl ≤8.0 gr/dl

(Sumber: Cermin Dunia Kedokteran, 2009)

2.3.3 Etiologi dan Klasifikasi Anemia

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh

bermacam-macam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:

Page 33: Bab 2

37

1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah

keluar tubuh (perdarahan); 3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh

sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia

dapat dilihat pada tabel 2.4 (Bakta, 2006).

Tabel 2.4 Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis

Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

i. Anemia defisiensi besi

ii. Anemia defisiensi asam folat

iii. Anemia defisiensi vitamin B12

2. Gangguan penggunaan besi

i. Anemia akibat penyakit kronik

ii. Anemia sideroblastik

3. Kerusakan sumsum tulang

i. Anemia aplastik

ii. Anemia mieloplastik

iii. Anemia pada keganasan hematologi

iv. Anemia diseritropoietik

v. Anemia pada sindrom mielodiplastik

B. Anemia akibat hemoragi

1. Anemia pasca perdarahan akut

2. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik

1. Anemia hemolitik intrakorpuskular

i. Gangguan membran eritrosit (membranopati)

ii. Gangguan ensim eritrosit (enzinomati): anemia akibat defisiensi G6PD

iii. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)

Thalassemia

Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE,dll

2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler

i. Anemia hemolitik autoimun

ii. Anemia hemolitik mikroangiopatik

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

(Sumber: Bakta, 2006)

Page 34: Bab 2

38

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran

morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam

klasifikasi ini, anemia dibagi menjadi 3 golongan: 1) Anemia hipokromik

mikrositer, bila MCV <80 fl dan MCH <27 pg; 2) Anemia normokromik

normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3) Anemia makrositer,

bila MCV >95 fl. Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan (Tabel

2.5) akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia

berdasarkan jenis morfologi anemianya (Bakta, 2006).

Tabel 2.5 Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi

Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi

A. Anemia hipokromik mikrositer

a. Anemia defisiensi besi

b. Thalassemia major

c. Anemia akibat penyakit kronik

d. Anemia sideroblastik

B. Anemia normokromik normositer

a. Anemia pasca perdarahan akut

b. Anemia aplastik

c. Anemia hemolitik didapat

d. Anemia akibat penyakit kronik

e. Anemia pada gagal ginjal kronik

f. Anemia pada sindrom mielodiplastik

g. Anemia pada keganasan hematologic

C. Anemia makrositer

a. Bentuk megaloblastik

i. Anemia defisiensi asam folat

ii. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa

b. Bentuk non-megaloblastik

i. Anemia pada penyakit hati kronik

ii. Anemia pada hipotiroidisme

iii. Anemia pada sindrom mielodiplastik

(Sumber: Bakta, 2006)

Page 35: Bab 2

39

2.3.4 Gejala Klinis Anemia

Kira-kira 75% dari semua pasien kanker melaporkan adanya rasa lelah

(fatigue) yang dapat dimanifestasikan sebagai rasa lemah, kurang energi, sulit

memulai dan mengurangi pekerjaan, serta rasa ingin tidur saja seharian. Rasa

lelah merupakan gejala utama pada pasien kanker. Anemia juga menyebabkan

berbagai keluhan seperti palpitasi (rasa berdebar), gangguan fungsi kognitif,

mual, gangguan fungsi imun, sakit kepala, nyeri dada, nafas pendek, dan

depresi (Kar, 2005).

2.3.5 Pemeriksaan Untuk Diagnosis Anemia

Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk

menegakkan anemia, antara lain:

1. Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran

kadar Hb, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat

dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang

sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.

2. Pemeriksaan Darah Seri Anemia

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit,

hitung retikulosit dan LED (Laju Endap Darah). Sekarang sudah banyak

dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi

hasil yang lebih baik.

Page 36: Bab 2

40

3. Pemeriksaan Sumsum Tulang

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat

berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini

dibutuhkan untuk diagnosis definitive pada beberapa jenis anemia.

4. Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:

a. Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC (Total Iron Binding

Capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum,

reseptor transferin dan pengecatan besi pada tulang (Perl’s stain)

b. Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi

deoksiuridin dan tes Schiling

c. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis Hb

d. Anemia aplastik: biopsi tulang (Bakta, 2006).

2.3.6 Terapi Anemia

Pada penderita anemia karena kanker, tata laksana yang baik adalah

mengatasi penyebab yang merupakan tindakan paling optimal. Beberapa

penyebab seperti defisiensi nutrisional, mudah untuk diidentifikasi dan

diobati. Keadaan seperti adanya perdarahan samar, infeksi, dan hemolisis

eritrosit memerlukan evaluasi yang mendalam (Kar, 2005).

2.3.6.1 Defisiensi Nutrisional

Bila kehilangan darah sedikit-sedikit yang terus-menerus tidak

merupakan problem utama, tetapi gejala anemia tidak juga teratasi, maka

harus dicari/diperiksa kemungkinan adanya defisiensi besi, asam folat,

atau vitamin B12, dan terapi suplemen harus diberikan kalau ditemukan

Page 37: Bab 2

41

tanda-tanda defisiensi. Kalau anemia tidak berat, terapi suplemen cukup

untuk menghilangkan gejalanya dan mengembalikan Hb ke batas normal

(Kar, 2005).

2.3.6.2 Defisiensi Zat Besi

Pemberian zat besi diperlukan sebagai terapi kombinasi yang

menstimulasi eritropoesis seperti rHuEPO, untuk mengobati anemia

secara efektif. Defisiensi besi fungsional karena adanya gangguan

transportasi besi untuk eritropoesis merupakan faktor penting pada

anemia kronik pada kanker. Besi dapat diberikan secara oral dan

intravena (Kar, 2005).

2.3.6.3 Transfusi Eritrosit

Transfusi eritrosit hanya diberikan pada kasus anemia akut setelah

terjadi perdarahan akut, pada kasus anemia kronik yang bergejala tetapi

tidak berhasil dengan terapi besi, dan pada anemia berat yang tidak

cukup waktu untuk menerima rHuEPO (Kar, 2005).

2.4 Patofisiologi Anemia Pada Kanker

Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat disebabkan

karena aktivasi sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan

peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti INF (Interferon), TNF (Tumor

Necrosis Factor), dan IL (Interleukin)yang semuanya disebut sitokin (Gambar

2.7) (Kar, 2005).

Konsentrasi INF - meningkat pada penyakit kronik. Sedangkan kadar TNF

tergantung pada keganasan dan aktivitasnya. Sesuai dengan penemuan dari

beberapa studi klinis maupun eksperimental, paparan kronik pada TNF dapat

Page 38: Bab 2

42

TNF Erythrophagocytosis

Dyserythropoesis

menyebabkan anemia. IL-1 adalah sitokin yang mempunyai peranan luas dalam

proses respon imun dan inflamasi. Konsentrasi IL-1 meningkat pada anemia

karena penyakit kronik (Kar, 2005).

Massa eritrosit secara normal ditentukan oleh umur dari eritrosit tersebut dan

dari kecepatan produksinya. Anemia terjadi karena ketidakseimbangan kedua

faktor tersebut. Pada anemia karena kanker, kedua faktor tersebut sangat

menentukan (Kar, 2005).

(Kar, 2005)

Gambar 2.7

Pathophysiology of Anemia in Cancer

Berikut mekanisme patogenik yang bertanggung jawab terhadap anemia

akibat kanker yang diperantarai oleh INF, TNF, dan IL-1, yaitu (Kar, 2005):

1. Gangguan pemakaian besi

2. Produksi Epo tidak memadai

3. Pemendekan umur eritrosit

Tumor Cells

Erythrocytes Activated immune

system

Macrophages

Shortened survival

Anemia Reduced

Eriythropoetin

Production

Suppressed

BFU-E,

CFU-E

Impaired

iron

utilization

Page 39: Bab 2

43

2.4.1 Gangguan Pemakaian Besi

Mekanisme yang bertanggung jawab pada proses ini adalah gangguan

pada TFR (Transferin-receptor) pada eritrosit. Eritroblas pada pasien anemia

karena penyakit kronik jumlahnya berkurang, dan TFR pada sel-sel tersebut

afinitasnya terhadap transferin menurun. Pada keadaan infeksi, keganasan,

dan kelainan imunologis, IL-1, IL-6, dan TNF meningkatkan konsentrasi

protein fase akut α1-antitripsin yang mampu menahan eritropoesis dengan

cara mengganggu pengikatan transferin ke TFR dan internalisasi kompleks

TFR-transferin (Kar, 2005).

2.4.2 Produksi Eritropoetin Tidak Memadai

Pada penderita anemia karena kanker, sel progenitor eritrosit

memberikan respon yang baik terhadap Epo (Eritropoetin), tetapi respon Epo

terhadap anemia mengalami gangguan. Pada pasien kanker, produksi Epo

terganggu oleh tumor (Kar, 2005).

Gangguan respon Epo yang terlihat pada anemia karena kanker mungkin

sebagai hasil adanya efek supresi dari IL-1 atau TNF terhadap sel-sel yang

memproduksi Epo. Sitokin ini dapat menginhibisi produksi Epo (Kar, 2005).

2.4.3 Pemendekan Umur Eritrosit

Pada penderita anemia karena penyakit kronik, umur eritrosit biasanya

60-90 hari, lebih pendek dari umur eritrosit pada orang normal (120 hari).

Secara klinis maupun eksperimental data ini menunjukkan bahwa efek ini

diperantarai oleh IL-1 dan TNF. Efek TNF tersebut dapat menurunkan

eritropoesis dan memendekkan eritrosit pada pasien anemia karena kanker

(Kar, 2005).

Page 40: Bab 2

44

Saat ini ditemukan bahwa suatu protein yang disebut substansi penyebab

anemia (AIS) telah dapat diidentifikasi di dalam plasma penderita kanker.

Substansi ini menurunkan resistensi osmotik dari eritrosit, yang juga

didapatkan di dalam sitosol dan fraksi dari inti sel kanker. Mekanisme yang

mendasari terjadinya peningkatan fragilitas osmotik di dalam eritrosit

bergantung pada inhibisi metabolisme (influks glukosa, aktivitas piruvat

kinase, dan konsentrasi ATP (Adenosine Tri Phosphate)) dari sel tersebut.

AIS spesifik untuk penyakit keganasan (Kar, 2005).

Adapun faktor terjadinya anemia selain akibat sitokin yaitu akibat dari

keganasan itu sendiri (Tabel 2.6). Kebanyakan adalah tumor ganas solid yang

terabaikan sebagai faktor penyebab anemia. Keganasan ini menyebabkan

reaksi fibrosis, yaitu terjadinya peningkatan proses fibrosis di dalam sumsum

tulang yang akan mengurangi volume rongga sumsum tulang dan matrix

sinusoid. Proses ini dapat menyebabkan gangguan pelepasan sel darah yang

matang dari tulang (Kar, 2005).

Page 41: Bab 2

45

Tabel 2.6 Anemia pada Kanker: Efek Langsung Dari Keganasan

Kehilangan darah akut ataupun kronik Keganasan dari saluran cerna

Kanker kepala dan leher

Kanker urogenital

Kanker pada cervix dan vagina

Perdarahan dalam tumor sendiri (intratumor) Sakoma

Melanoma yang sangat besar

Hepatoma

Kanker ovarium

Tumor cortex adrenal

Anemia karena fagositosis dari eritrosit Retikulositosis histiocytic medular

Limfoma histiositik

Neoplasma histiositik yang lain

Penggantian sumsum tulang Leukemia

Limoma

Myeloma

Carcinoma (prostat, payudara)

(Sumber: Kar, 2005)