Bab 13 evaluasi kurikulum

38
BAB 13 EVALUASI KURIKULUM Evaluasi melengkapi siklus pengembangan dan implementasi kurikulum. Evaluasi kurikulum menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui apakah tujuan kurikulum dan pembelajaran sudah tercapai?” (Tyler,1949:1; Graves, 2001: 190). Jawaban atas pertanyaan itu melibatkan pertimbangan kualititas dan tujuan pembelajaran sebagai kriteria keberhasilan pendidikan. Secara ideal, evaluasi menilai hasil implementasi kurikulum; seberapa jauh siswa memenuhi kriteria atau standar yang ditentukan. Secara implisit dan eksplisit, evaluasi merefleksi penilaian kurikulum dan disain instrusional yang telah dilaksanakan. Ini berarti, menurut Ornstein&Hunkins (2013:240), evaluasi mengkritik kurikulum dan implementasinya pada pembelajaran. Parkay,.et.al. (2010:357) melengkapi definsi evaluasi kurikulum bahwa evalausi menyangkut pertimbangan sistematik tentang kualitas atau nilai program pendidikan di sekolah atau distrik dan mengembangkan stategi untuk meningkatkan program terebut. Untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan kurikulum diperlukan asesmen atau evaluasi hasil belajar. Kedua istilah, evaluasi dan asesmen, dipakai secara bergantian Tetapi para pakar setuju bahwa asesmen cenderung terkait pengumpulan, interpretasi dan deskripsi informasi tentang pengukuran hasil belajar siswa. Sedangkan evaluasi menyangkut pertimbangan tentang nilai atau manfaat (worth) hasil belajar siswa yang diperoleh melalui asesmen sebagai dasar pengambilan keputusan managemen pendidikan, kurikulum, dan siswa (Coleman, 2005:153;Brady&Kennedy,2007:220). Pendek kata, evaluasi mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kurikulum sebelum dan sesudah implemetasi kurikulum (Ornstein&Hunkins,2013:242). Dalam sebagian besar literatur, evaluasi adalah untuk mengukur hasil belajar siswa, mengakses kompetensi dan kemajuan atau prestasi belajar siswa untuk penetapan nilai atau angka. Nilai atau angka itu mungkin didasarkan pada norma atau kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu, walau nilai itu lebih banyak didasarkan pertimbangan pendidik (Schubert,1986:262). Pertimbangan 1

Transcript of Bab 13 evaluasi kurikulum

Page 1: Bab 13 evaluasi kurikulum

BAB 13

EVALUASI KURIKULUM

Evaluasi melengkapi siklus pengembangan dan implementasi kurikulum.

Evaluasi kurikulum menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui apakah

tujuan kurikulum dan pembelajaran sudah tercapai?” (Tyler,1949:1; Graves, 2001:

190). Jawaban atas pertanyaan itu melibatkan pertimbangan kualititas dan tujuan

pembelajaran sebagai kriteria keberhasilan pendidikan. Secara ideal, evaluasi

menilai hasil implementasi kurikulum; seberapa jauh siswa memenuhi kriteria

atau standar yang ditentukan. Secara implisit dan eksplisit, evaluasi merefleksi

penilaian kurikulum dan disain instrusional yang telah dilaksanakan. Ini berarti,

menurut Ornstein&Hunkins (2013:240), evaluasi mengkritik kurikulum dan

implementasinya pada pembelajaran. Parkay,.et.al. (2010:357) melengkapi definsi

evaluasi kurikulum bahwa evalausi menyangkut pertimbangan sistematik tentang

kualitas atau nilai program pendidikan di sekolah atau distrik dan

mengembangkan stategi untuk meningkatkan program terebut.

Untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan kurikulum diperlukan

asesmen atau evaluasi hasil belajar. Kedua istilah, evaluasi dan asesmen, dipakai

secara bergantian Tetapi para pakar setuju bahwa asesmen cenderung terkait

pengumpulan, interpretasi dan deskripsi informasi tentang pengukuran hasil

belajar siswa. Sedangkan evaluasi menyangkut pertimbangan tentang nilai atau

manfaat (worth) hasil belajar siswa yang diperoleh melalui asesmen sebagai dasar

pengambilan keputusan managemen pendidikan, kurikulum, dan siswa (Coleman,

2005:153;Brady&Kennedy,2007:220). Pendek kata, evaluasi mengidentifikasi

kekuatan dan kelemahan kurikulum sebelum dan sesudah implemetasi kurikulum

(Ornstein&Hunkins,2013:242).

Dalam sebagian besar literatur, evaluasi adalah untuk mengukur hasil

belajar siswa, mengakses kompetensi dan kemajuan atau prestasi belajar siswa

untuk penetapan nilai atau angka. Nilai atau angka itu mungkin didasarkan pada

norma atau kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu, walau nilai itu lebih

banyak didasarkan pertimbangan pendidik (Schubert,1986:262). Pertimbangan

1

Page 2: Bab 13 evaluasi kurikulum

pendidik yang banyak berperan dalam penetapan angka atau nilai hasil belajar

siswa dianggap subjektif dan kurang terpercaya (Brady&Kennedy,2007:253).

Meskipun demikian, evaluasi efektifitas kurikulum masih merupakan sistem

evaluasi pendidikan yang umum berlaku dalam dunia pendidikan, walau telah

tersedia banyak alternatif lain yang mungkin lebih baik dari sistem tersebut.

Bagi sebagian besar guru, evaluasi berarti evaluasi mata pelajaran untuk

mengasses kompetensi, kemajuan atau prestasi belajar siswa (Graves,2001:190).

Bagi kebanyakan politisi dan publik, evaluasi merupakan cara untuk meminta

akuntabilitas pendidkan atas unjuk kerja pemangku pendidikan. Bab ini memuat

hakekat, konsep, tujuan, prinsip, startegi dan model evaluasi kurikulum yang

terkait dengan teori dan praktek evaluasi kurikulum.

Konsep Evaluasi

Konsep Awal Evaluasi

Kita perlu memahami perkembangan konsep evaluasi sejak awal

timbulnya evaluasi sampai sekarang. Alasannya, pendekatan, peran dan tujuan

evaluasi bervariasi berdasarkan pengertian atau definisi evaluasi itu sendiri

(Brady&Kennedy,2007:252) dan berdasarkan pengertian itu, bisa diketahui peran

evaluasi dalam proses pengembangan kurikulum (Miller&Seller,1985:296).

Misalnya, jika evaluasi diartikan sebagai instrumen untuk menentukan efektifitas

kurikulum, evaluasi fokus pada pengumpulan data dan fakta tentang tingkat

capaian hasil pembelajarn siswa terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Jika

evaluasi dimaknai sebagai jalan menuju perbaikan kurikulum, fokus evaluasi

terletak pada identifikasi kelemahan kurikulum sehingga terungkap jalan untuk

memperbaikinya.

Jika evaluasi untuk mengukur akuntabilitas pendidikan, evaluasi fokus

pada pengumpulan data dan informasi sebagai dasar perhitungan efisiensi

pemanfaatan alokasi budget pendidikan. Dan jika evaluasi untuk pengambilan

keputusan, evaluasi terarah pada pengumpulan data yang relevan dengan kekuatan

dan kelemahan atas alternatif keputusan yang sesuai bagi perbaikan kurikulum

dan pembelajaran (Brady&Kennedy,207:252). Implikasi ide tersebut, evaluasi

merupakan bagian integral dari kurikulum. Perubahan konsep kurikulum

2

Page 3: Bab 13 evaluasi kurikulum

mengakibatkan perubahan pada teori dan praktek evaluasi kurikulum yang telah

mengalami beberapa tahap perubahan selama abad ke-20.

Sebagai Penilaian dan Pengukuran. Pada era pertama, yang berasal dari

Bobbitt (1918) dan Charter (1923), evaluasi terpusat pada pengukuran prestasi

belajar siswa (Miller&Seller,1985:296-97). Hasil kerja kedua ahli ini dipakai

sebagai dasar pengukuran hasil belajar dan penetapan tingkat pencapaian tujuan

kurikulum atau tujuan instruksional. Tipe pengukuran prestasi belajar siswa yang

bermuara pada pemberian nilai atau angka kepada siswa dianggap sebagai konsep

evaluasi yang sempit. Dikatakan sempit, karena apa saja kemajuan atau hasil

belajar yang telah dicapai siswa selama proses pembelajaran direduksi menjadi

satu angka saja (Taba,1962:311).

Nilai atau angka hasil belajar siswa itu mungkin saja didasarkan pada

norma atau kriteria yang ditetapkan terlebih dahulu. Tetapi kenyataan

menunjukkan pertimbangan guru berperan sangat dominan dalam penetapan nilai

hasil belajar siswa, walau pun hal ini seringkali tidak ditonjolkan (Schubert,

1986:262). Pengaruh tipe evaluasi yang sempit itu masih besar sampai kini.

Menurut Borich dan Jemelka, tipe evaluasi efektiftas sempit itu dipengaruhi

gerakan kaum empiris abad ke-18 dan ke-19 terhadap ilmu-ilmu sosial yang

kemudian berkembang menjadi evaluasi (Miller&Seller, 1985:296).

Pengaruh makna evaluasi ini mendapat momentum pada awal abad ke-20,

berupa pengukuran hasil belajar siswa yang dipengaruhi Wilhem Wund dari

Jerman, psikolog Prerancis Alfred Binet dan Theodore Simon serta Frances

Galton dari Inggeris (Schubert,1986:262). Tipe evaluasi ini mengandalkan teori-

teori psikologi yang dominan saat itu yaitu ilmu psikologi tingkah laku. Untuk

mengukur hasil belajar siswa secara tepat, diperlukan instrumen yaitu tes

psikologi dan tes inteligensi (IQ Test) yang diajukan Binet dan Simon, bukan saja

untuk menetapkan tingkat kecerdasan belajar siswa, tetapi juga untuk menda-

patkan informasi mengapa siswa mengalami kesulitan belajar. Jika siswa gagal

mencapai tujuan pembelajaran tertentu, kesalahan biasanya ditimpakan pada

siswa, bukan pada guru, kurikulum, pembelajaran, atau yang lain.

Konsep ini berlanjut sampai saat ini yaitu evaluasi dilakukan untuk

menentukan efektifitas program latihan yang hasilnya sebagai masukan bagi

3

Page 4: Bab 13 evaluasi kurikulum

upper level managers yang akan menetapkan keputusan tetang kelanjutan

program (Kirkpatrick&Kirkpatrick,2006:3). Pada tahap ini, teori dan praktek

evaluasi lebih fokus pada pemberian nilai atau angka yang didasarkan hasil

asesmen sistematis hasil belajar siswa atau peserta kursus yang dipengaruhi

pergerakan empirisme dalam ilmu-ilmu fisik dan metode ilmiah yang muncul

pada waktu itu. Sasarannya ialah sampai di mana setiap anak telah mencapai

tujuan yang telah ditetapkan (Taba,1962:312) yang mengharuskan evaluasi

dilakukan seakurat mungkin. Situasi ini mengandalkan hasil tes standar yang

membandingkan hasil belajar individual siswa dengan norma tertentu.

Evaluasi yang fokus pada hasil belajar siswa dikenal sebagai The

Technical Model, Model Teknik atau Model Latihan (Zais, 1976:269). Evaluasi

program latihan mencakup tiga tujuan: (1) memberikan informasi tentang arah

perbaikan program berikutnya, (2) menetapkan apakah suatu program akan

diteruskan atau dihentikan, dan (3) memberikan justifikasi tentang perlunya suatu

program latihan dilanjutkan atau dihentikan (Kirkpatrick&Kirpatrick,2006).

Walaupun evaluasi keberhasilan siswa (evaluasi produk) adalah bagian

evaluasi kurikulum, tetapi evaluasi keberhasilan siswa untuk mencapai nilai rapor

sekolah tidak dapat dianggap sebagai evaluasi program atau sebagai evaluasi

kurikulum (Zais,1976:369), karena evaluasi kurikulum seharusnya mencakup

bukan saja evaluasi produk, tetapi juga evaluasi kecocokan antara tujuan yang

direncanakan (intended outcomes) dengan tujuan yang dicapai (realized

outcomes). Seperti telah ditegaskan di atas, evaluasi hasil belajar sesuai bagi

evaluasi program latihan (model teknologi kurikulum), karena evaluasi latihan

mengandung makna kriteria efektifitas latihan, bukan efektifitas pendidikan.

Evaluasi Kognitif tingkat Tinggi. Era kedua evaluasi kurikulum mulai

tahun 1940-an dengan munculnya karya Komisi Hubungan Sekolah dan

Perguruan Tinggi yang terkenal dengan The Eight-Year Study. Studi Delapan

Tahun seringkali dianggap sebagai projek pendidikan yang sangat penting pada

pertengahan pertama abad ke-20 (Schubert,1986:263). Walaupun jarang disebut-

sebut sekarang, dapat dipastikan projek ini merupakan evaluasi kurikulum yang

paling ekstensif antara tahun 1900 dan 1950. Tyler et.al dalam studi ini

mengembangkan filsafat evaluasi yang fokus pada evaluasi pencapaian tujuan

4

Page 5: Bab 13 evaluasi kurikulum

kognitif dan afektif tingkat tinggi seperti berpikir kritis, sensitivitas sosial,

apresiasi, minat dan kemampuan penyesuaian personal dan sosial siswa (Schubert,

1986:264). Menurut Smith dan Tyler, tingkat pencapaian tujuan tersebut dapat

diukur (Miller&Seller,1985:297), sehingga konsep evaluasi pada tahap ini

menjangkau lebih luas dari evaluasi hasil belajar kognitif saja.

Sejalan konsep baru evaluasi itu, timbul gerakan pengembangan program

sekolah pada tingkat lokal. Hal ini memunculkan ide agar evaluasi menjangkau

lebih jauh dari evaluasi produk atau evaluasi efektifitas sekolah saja, tetapi juga

untuk mengetahui proses pembelajaran dalam kelas. Ini berarti guru perlu

menyusun tes sendiri untuk mengevaluasi kurikulum yang dikembangkan secara

lokal, di samping untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan individual siswa.

Hal ini membuka jalan bagi evaluasi lingkungan pendidikan yang lebih

besar yaitu untuk:(1) mengetahui keberhasilan belajar siswa, (2) memperbaiki

program belajar atau proses belajar-mengajar, dan (3) mengukur tingkat

pencapaian tujuan pendidikan yang selanjutnya sebagai dasar revisi program

pembelajaran jika ditemukan kelemahan sesuai hasil evaluasi itu (Miller&Seller,

1985:297). Dengan kata lain, evaluasi merupakan instrumen untuk memperoleh

masukan bagi perbaikan atas kelemahan kurikulum sekolah (Miller&

Miller,1985:297;Oliva,1982:428). Artinya, konsep evaluasi pada tahap ini sudah

mulai bergeser dari evaluasi efektifitas pembelajaran menjadi evaluasi diagnostik,

yaitu untuk menemukan kelemahan kurikulum sehingga dapat diketahui arah

perbaikan kurikulum secara keseluruhan (Schubert, 1986: 265).

Berdasarkan hasil studi the Eight Year Stydy, Lee J. Cronbach mengajukan

perbaikan mata pelajaran (course improvement). Hasil evaluasi ini, menurut

Cronbch, merupakan hasil terpenting yaitu evaluasi didisain bukan untuk

mempertimbangkan hasil belajar siswa saja, tetapi sebagai dasar menilai proses

pembelajaran secara keseluruhan (Schubert,1986:265). Sejalan dengan itu,

evaluasi untuk perbaikan pembelajaran juga dikemukakan Scriven (1967), Stake

(1967) dan Stufflebeam (1969). Scriven memperkenalkan evaluasi formatif dan

evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfungsi menyediakan hasil asesmen

menyeluruh (overall assessment) dari program pendidikan yang menyediakan

informasi bagi perbaikan program yang sedang berjalan. Sedangkan evaluasi

5

Page 6: Bab 13 evaluasi kurikulum

sumatif ádalah evaluasi yang dilakukan pada akhir suatu program pendidikan.

Dan Stake mengajukan konsep evaluasi yang dinamakannya Countenance of

Evaluation dan konteksnya. Model evaluasi ini menekankan pentingnya deskripsi

dan observasi dalam evaluasi.

Menurut Stake, agar dapat dipahami secara penuh, program pendidikan

harus dideskripsikan dan dipertimbangkan secara penuh (Brady&Kennedy,

2007:258). Dia mengatakan bahwa model countenance terdiri atas tiga bagian

yaitu entecedents (sepertri tujuan, materi,kemampuan siswa), transactions (seperti

proses pembelajaran, interaksi antara siswa dan guru) dan outcomes yaitu

pengalaman belajar yang diperoleh siswa atau peserta program lainnya. Ketiga

bagian tersebut harus dievaluasi dalam kaitannya dengan empat hal yang harus

dilakukan evaluator yaitu tujuan program, observasi yang mencakup capaian

pendidikan yang tidak direncanakan, standar yang dinggap penting dalam evaluasi

program pendidikan serta pertimbangan tentang kebergunaan beberapa standard

yang dipakai. Hasil evaluasi bisa diproses dengan dua cara: (a) dengan

mempertimbangkan kongruensi (kesesuaian) antara tujuan dan hasil program yang

sebenarnya diperoleh, dan (b) kesesuaian logis antara antecedent, transactions

dan outcomes (Schubert,1986:266).

Model evaluasi Scriven (1969,1971) dikenal dengan CIPP l (Context,

Input, Proses dan Produk) Model yang menekankan pentingnya mengevaluasi

konteks, input, proses dan produk. Tiga tipe evaluasi pertama tekait dengan

evaluasi formatif, sedangkan yang terakhir dengan evaluasi sumatif. Keempat tipe

evalausi CIPP tersebut merupakan latar penting dalam proses mendeskripsi,

memperoleh dan menyajikan informasi penting dalam pengambilan keputusan,

seperti bagi perbaikan kurikulum dan pembelajaran. Artinya, keempat jawaban

yang diperoleh melalui keempat tipe evaluasi CIPP terkait dengan jawaban atas

pertanyaan: apakah tujuan yang akan dicapai (evaluasi konteks); prosedur apa

yang harus dilalui untuk mencapai tujuan itu (evalasi input), apakah prosedur

tersebut terlaksana dengan baik (evaluasi proses) dan apakah tujuan yang ingin

dicapai telah terealisir dengan baik (evaluasi produk) (Schubert,1986:266).

Evaluasi Reformasi Kurikulum. Era ketiga dimulai saat peluncuran

Sputnik Rusia pada tahun 1957. Keberhasilan Sputnik tersebut menimbulkan

6

Page 7: Bab 13 evaluasi kurikulum

suara keras di Amerika Serikat agar konten kurikulum, terutama konten

matematika dan sains, direformasi. Selain reformasi konten, direformasi pula

sistem presentasi atau metode mengajar dan isi buku teks. Waktu itu ditemukan

bahwa buku teks matematika dan sains lebih menekankan pada pemberian

informasi dan fakta-fakta untuk dihafalkan anak atau siswa. Ketika itu baru

disadari, buku teks sains dan matematika sedikit sekali membantu pengembangan

kemampuan intelektual siswa sehingga tidak berkontribusi pada kemampuan

pemecahan masalah.

Akibat gerakan reformasi tersebut, timbul berbagai ide baru tentang

kurikulum, seperti belajar penemuan (inquiry learning), pendekatan penemuan

(discovery approach), keterampilan pemecahan masalah (problem solving skills),

dan pendekatan baru kurikulum dan pengajaran. Selain itu, menurut Miller dan

Seller (1985:297-98), timbul beragam inovasi pengembangan kurikulum, tetapi

sedikit sekali perhatian diberikan pada evaluasi efektifitasnya. Pada tahun 1970-

an situasi berubah. Setelah banyak uang dan tenaga dikeluarkan bagi

pengembangan program baru yang menuntut evaluasi sebagai dasar akuntabilitas,

metode evaluasi yang menekankan pengukuran hasil belajar siswa (evaluasi

produk), terasa tidak memadai lagi. Akhirnya, evaluasi mulai memperkuat konsep

evaluasi yang sudah muncul pada era sebelumnya yaitu evaluasi untuk

menemukan kekuatan dan kelemahan kurikulum. Artinya, saat itu terbuka jalan

bagi peran evaluasi yang lebih luas: hasil evaluasi bisa menyediakan ukuran

prestasi belajar siswa; hasil ukuran itu bisa membantu guru merubah program

belajar di kelas; para guru dan sekolah bisa memanfaatkan hasil evaluasi untuk

mengukur capaian tujuan dan merevisi program jika ditemukan kelemahan

(Miller&Seller,1985:297).

Semua konsep evaluasi kurikulum yang telah dikemukakan di bagian

terdahulu bisa digolongkan kepada evaluasi berbasis tujuan (goal-based

evaluation). Beberapa orientasi kurikulum kontemporer yang sebagain besar tidak

berbasis tujuan (goal-free curriculum) dikemukakan di bagian lain Bab ini..

Evaluasi Kontemporer

Evaluasi Perbaikan Program. Ide reformasi evaluasi kurikulum

Cronbach dan Stake, Scriven dan Stufflebeam lebih berorientasi evaluasi program

7

Page 8: Bab 13 evaluasi kurikulum

untuk perbaikan kurikulum. Orientasi evaluasi ini menunjukkan pergeseran peran

dan tujuan evaluasi: dari pengukuran dan nilai hasil belajar siswa menjadi

evaluasi komprehensif yaitu evaluasi perbaikan kurikulum melaluhi evaluasi

sinkronisasi antar komponen kurikulum, seperti antara tujuan, konten, kegiatan

belajar dan organsiasi pengalaman belajar serta evaluasi tujuan itu sendiri (Zais,

1976:369). Dari keterangan itu terlihat bahwa evaluasi untuk perbaikan tidak

fokus hanya pada efektifitas kurikulum saja, tetapi juga pada kurikulum secara

keseluruhan yang mencakup, misalnya, tujuan kurikulum, input yang diperlukan

bagi implementasi kurikulum untuk mencapai tujuan itu dan proses implementasi

kurikulum dalam pembelajaran.

Evaluasi Akuntabilitas. Era perkembangan evaluasi kontemporer berikut

ialah evaluasi akuntabilitas. Guru, adminsitrrator, pemangku pendidkan dan

pelaksana pendidikan di sekolah harus akuntabel terhadap keberhasilan

pendidikan yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Tipe evaluasi ini

muncul pada akhir tahun 1960an dan awal 1970an sebagai reaksi atas kekurang

percayaan publik atas kinerja sekolah sehingga menimbulkan tekanan dari

masyarakat agar sekolah lebih akuntabel atas kinerjanya (Schubert,1986:269).

Krisis pendanaan pendidikan di Amerika Serikat menjadi isu hangat kembali pada

tahun 1980an. Publik menunut agar sekolah akuntabel terhadap pendidikan

melalui penatatan standar pendidikan dan tes sebagai instumen keberhasilan

pemanfaatan dana pendidikan. Hal ini memunculkan kesadaran bahwa evaluasi

bisa menjadi alat yang ampuh untuk mengontrol kualitas implementasi kurikulum

agar sesuai standar pendidikan (Wiles,2009:101). Jadi, evaluasi akuntabilitas

terkait penetapan apakah dana yang diluncurkan bagi pendidikan telah

dimanfatkan secara efektif dan efisien (Rea-Dickins&Germaine,2001:253). Ini

berarti, sekolah dituntut agar menunjukkan kualitas pendidikan yang dikuatkan

oleh bukti data kuantitatif yang sahih.

Ada pula yang menuntut agar sekolah akuntabel tentang capaiannya

sesuai tujuan tingkah laku yang diverifikasi berdasarkan kriteria produktifitas

yang ditentukan. Yang lain menuntut agar sekolah membuktikan unjuk kerjanya

yang dikuatkan hasil tes standar prestasi siswa atau terukur sebagai indikator

keberhasilan (Schubert,1986:269). Hasil evaluasi sekolah harus bisa dibuktikan

8

Page 9: Bab 13 evaluasi kurikulum

kepada publik berupa hasil karya mereka dengan menunjukkan indikator yang

terukur dan akuntabel yang mencakup sistem managemen program sekolah,

pencapaian tujuan pendidikan dan indikator lainnya. Evaluasi tipe ini tidak terkait

efektifitas kurikulum atau perbaikan kurikulum, tetapi lebih pada akuntabilitas

pemangku keputusan pendidikan kepada penyandang dana pendidikan.

Tetapi evaluasi akuntabilitas dikritik atas metodologinya yang

behavioristik karena dianggap, misalnya, oleh Combs suatu solusi yang sederhana

(simplistic) dan kurang responsif terhadap pendidikan anak manusia yang sangat

kompleks (Schubert,1986:270). Kritik ini kelihatannya sama dengan kritik

terhadap tujuan tingkah laku dan pendekatan kuantitatif yang selalu ditentang oleh

kaum humanis dan penyokong pendekatan kualitatif.

Evaluasi Keputusan dan Tindakan. Perkembangan konsep evaluasi

kontemporer berikut berasal dari karya Schwab (awal tahun 1970an) tentang

inkuiri praktis dengan memperhatikan kebutuhan dan masalah pendidikan lokal.

Sasarannya ialah hasil evalausi bisa membantu pengambil keputusan oleh

adminsitrator sekolah, bidang kurikulum dan guru. Hasil penelitian praktis oleh

Leithwood (1982) dan Reid dan Walker (1975) yang menganalisis pengambilan

keputusan dan inovasi pada tingkat lokal merupakan contoh bagaimana hasil

evaluasi studi kasus bisa bermanfaat bagi pengambil keputusan di sekolah

(Schubert,1986:270).

Melalui studi kasus atau action research, data tentang praktek

pembelajaran dari hari ke hari dikumpulkan dan dianalisis yang hasilnya sebagai

masukan bagi pengambil keputusan bagaimana praktek pendidikan atau inovasi di

sekolah seharusnya dilakukan agar lebih baik dari sebelumnya (Wallace,2001:4).

Ini berati evaluasi bisa pula menstruktur jalan untuk mengukur keberhasilan atau

kegagalan kurikulum. Pada tingkat praktis, evaluasi yang dilakukan sekolah

berkontribusi pada pengambilan keputusan dan bahkan memicu diskusi personil

sekolah tentang kurikulum dan pembelajaran. Diskusi itu menumbuhkan

komitmen lebih besar pada supervisor, kepala sekolah dan guru untuk lebih komit

pada perbaikan kurikulum dan pembelajaran (Wiles,2009: 102).

Evaluasi Bebas Tujuan. Semua konsep evaluasi pada tahap awal yang

fokus pada asesmen hasil belajar siswa mendominasi dunia pendidikan sampai

9

Page 10: Bab 13 evaluasi kurikulum

kini. Evaluasi tersebut berbasis tujuan (goal-based evaluation) karena tujuan

program merupakan kriteria pokok untuk mengevaluasi proses pendidikan dan

melakukan penyesuaian jika ditemukan ketidak sesuain antara tujuan dan

realisasinya dalam pembelajaran (Schubert,1986:270). Tentu juga termasuk

kajian tentang kesesuain tujuan dan konten, kegiatan belajar, pengalaman belajar

dan komponen kurikulum lainnya.

Konsep evaluasi berbasis tujuan dianggap terpaku pada tujuan program

yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini, pendidikan dilihat sebagai suatu proses

perkembangan potensi manusia, yang dalam praktek, bisa saja menghasilkan hal-

hal lain di luar tujuan yang telah ditetapkan (unintended outcomes) dari proses

pembelajaran dalam kelas. Hasilnya mungkin positif atau negatif terhadap

perkembangan siswa. Hasil kurikulum tersembunyi ini cenderung terabaikan

kalau evaluasi hanya fokus pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan saja.

Adalah suatu masalah apakah evaluasi hanya fokus pada hasil yang

ditetapkan atau juga pada hasil yang tidak ditetapkan. Berdasarkan ide itu, Scriven

(1973,1974) mengajukan konsep evaluasi tanpa tujuan (goal-free evaluation).

Tipe evaluasi ini mengkaji aspek apa saja dari situasi pembelajaran tanpa bias

pada tujuan yang ditetapkan sehingga bisa dihindarkan evaluasi yang fokus pada

hasil belajar yang direncanakan saja (Brady&Kennedy,2007:253).

Evaluasi tanpa tujuan, menurut Schubert (1986:272), besar kemungkinan

lebih berhasil menemukan dampak pembelajaran yang tidak diinginkan

(unintended efects), karena evalutor tidak terpengaruh oleh tujuan yang ingin

dicapai. Situasi ini, lanjut Schubert, lebih memungkinkan evaluator menemukan

hasil evaluasi yang lebih objektif.

Evaluasi Yudisial. Evaluator pada tipe evaluasi yudisial, menurut Guba,

bertindak sebagai reporter investigasi, yang terlatih melakukan investigasi kasus

(pendidikan) menuruti model pengadilan. Evaluator terdiri atas beberapa

kelompok orang. Ada yang bertindak sebagai tim penyelidik dan penyidik, jaksa

penuntut umum, hakim, pembela, penganalisis kasus, moderator dan lain-lain

(Schubert,1986:272-73). Tipe evaluasi ini sesuai ide Provost tentang kesenjangan

antara disain program, instalasi pendidikan dan hasil belajar; analisis untung rugi

(cost-benefit) dari biaya keseluruhan oleh evaluator khusus (Schubert,1986:272-

10

Page 11: Bab 13 evaluasi kurikulum

73). Evaluasi yudisial tersebut dikritik sebagai suatu usaha yang terlalu banyak

memakai waktu dan sumber daya. Selain itu, dikhawatirkan sistem yudisial tidak

cocok dengan keunikan evalausi pendidikan (Schubert,1986:273).

Evaluasi Naturalistik. Evaluasi naturalistik, biasa juga disebut bahwa

evaluasi kualitatif, memakai metodologi antropologi, etnografi dan etologi.

Asumsi dasar evalausi naturalistik, menurut Guba dan Lincoln, realita bersifat

jamak, divergen dan saling berkaitan. Asumsi evaluasi naturalistik berseberangan

dengan asumsi evaluasi tradisional yang memandang realita bersifat tunggal,

konvergen dan fragmental. Akibatnya, evaluasi tradisional memisahkan antara

subjek dan metodologi, sebaliknya evaluasi naturalistik keduanya saling

berkaitan (Schubert,1986:273). Evaluasi tradisional, menurut Allport; Getzel dan

Guba, memandang kebenaran ditemukan dalam generalisasi atau nomothetic

statements yang fokus pada kesamaan antara berbagai situasi; situasi naturalistik

memandang hipotesis yang diajukan sebagai statemen yang benar dan fokus pada

pengetahuan yang spesifik sebagai petunjuk tentang perbedaan di antara situasi-

situasi yang ditemukan (Schubert,1986:273).

Dengan meneliti keunikan dan kompleksitas situasi sekolah yang berbeda-

beda, dimungkinkan ditarik kesimpulan yang berbeda-beda pula tentang kualituas

praktek pendidikan dibandingkan temuan melalui evaluasi berdasarkan prestasi

atau hasil belajar siswa saja. Selain itu, realita yang diungkapkan evaluasi

naturalistik diungkapkan manusia sebagai evaluator utama yang dilengkapi

observasi detail, dokumen dan interviu. Evaluator berperan sebagai peserta dalam

situasi pendidikan alami (non-obstructive), sebagai pengajar atau adminsitrator.

Diperkirakan hasil evaluasi alami banyak mengungkap kenyataan yang luput dari

pengukuran tes sebagai instrumen utama evaluausi tradisional.

Dari uraian di atas dapat kita lihat perkembangan konsep evaluasi dari

konsep yang sempit yang lama kelamaan berkembang menjadi konsep yang luas

(komperehensif) Evaluasi, dalam arti sempit, tekait hanya dengan upaya untuk

mengungkapkan apakah siswa telah mencapai pembelajaran sesuai kriteria yang

ingin dicapai yaitu tujuan kurikulum dan pembelajaran. Dalam arti yang

komprehensif, evaluasi mengacu pada pengumpulan semua informasi dan data

yang diperoleh melalui asesmen kemajuan atau hasil belajar siswa. Dengan kata

11

Page 12: Bab 13 evaluasi kurikulum

lain, evaluasi dalam arti luas tidak hanya untuk memberi nilai atau angka kepada

siswa berdasarkan tingkat efektifitas kurikulum, tetapi juga untuk perbaikan

kurikulum, efisiensi pembelajaran dan akuntabilitas pendidikan. Konsep evaluasi

yang luas berarti mengumpulkan seluruh informasi dan data yang relevan untuk

mengetahui kelayakan (dokumen) kurikulum sebelum dilaksanakan dan

efektifitasnya setelah dilaksanakan sebagai dasar bagi pengambilan keputusan.

Hakekat Evaluasi Kurikulum

Evaluasi adalah bagian penting proses pengembangan kurikulum. Evaluasi

dilakukan berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan dianalisis untuk

menimbang kualitas atau nilai kurikulum yang telah didisain dan dilaksanakan.

Dari hasil evaluasi itu dapat ditentukan terutama strategi pengembangan bagi

perbaikan kurikulum dan pembelajaran secara berkelanjutan.

Tujuan Evaluasi

Secara ideal, evaluasi perlu untuk mengungkap manfaat kurikulum secara

keseluruhan dengan fokus pada penentuan seberapa jauh kurikulum telah

memenuhi kebutuhan siswa sesuai standar pendidkan. Ini berarti bahwa evaluasi

menilai kurikulum dan implementasinya dalam proses pembelajaran di sekolah.

Untuk maksud itu, pendidik mengumpukan data dan menginterpretasi data

tersebut yang hasilnya bermanfaat sebagai masukan bagi pengambilan keputusan,

apakah menerima, mengubah atau menghapus aspek tertentu dari kurikulum

sepertu buku teks (Ornstein&Hunkins,2013:242). Jadi, evalausi adalah suatu

instrumen untuk mengungkap apakah kurikulum menghasilkan pembelajaran

yang akan dicapai sekolah.

Sebenarnya, hampir semua hal terkait kurikulum dan pembelajaran bisa

dievaluasi: pada tingkat kelas, sekolah, kabupaten/ kota, provinsi dan negara yang

melibatkan banyak orang dengan berbagai ragam peran (Ornstein&Hunkins,

1988:249). Dari hasil evaluasi pada beberapa tingkat tersebut, banyak informasi

yang dapat diperoleh, bukan hanya untuk mengetahui effektifitas pendidikan,

tetapi juga untuk masukan bagi perbaikan kurikulum, pengambilan keputusan dan

mengukur akuntabilitas pendidikan serta mengetahui peran evalusi dalam

pengembangan dan implementasi kurikulum. Wiles (2009) mengidentifiksi

delapan bidang yang bisa memberikan umpan balik bagi perencanaan dan

12

Page 13: Bab 13 evaluasi kurikulum

pengembangan kurikulum sekolah: (1) disain kurikulum dan pembelajaran, (2)

penggunaan fasilitas, (3) regulasi dan kebijakan, (4) penggunaan sumber daya, (5)

prestasi siswa, (6) efektifitas guru, (7) pengembangan staf, dan (8) kerjasama

orang tua-sekolah (Wiles,2009:105-08).

Di era informasi dan ledakan pengetahuan, evaluasi berkaitan jauh lebih

banyak dari pada yang tersebut di atas. Misalnya, evaluasi bisa mengungkap hal-

hal baru seperti bagaimana otak anak berfungsi, bagaimana orang belajar,

bagaimana realita politik mempengaruhi sekolah, bagaimana pedagogi baru bisa

memenuhi kebutuhan berbagai ragam siswa dengan latar belakang masyarakat

multi-kultural yang kompleks. Selain itu, bagaimana pula kurikulum bisa disusun

dan dimodifikasi dengan memanfaatkan beragam pendekatan moderen dan post-

moderen, dan bagaimana instruemen asesmen diciptakan dan dimodifikasi untuk

mengungkap esensi pembelajaran siswa (Ornstein&Hunkins,2013:241).

Untuk menjawab semua pertanyaan itu, lanjut Orstein&Hunkins,

diperlukan metode dan pendekatan baru. Pada hal, evaluasi saat ini masih

memakai tes yang disusun berdasarkan psikologi abad ke-19. Di samping itu, tes-

tes tersebut belum bisa menjangkau gambaran tentang berapa luas (width) dan

berapa dalam (depth) pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang kompeks itu

telah dikuasi siswa. Ini berarti, evaluasi tidak cukup hanya didasarkan pada hasil

asesmen efektiftas kurikulum untuk mengetahui prestasi belajar siswa saja sesuai

standar, tetapi juga perlu mengevaluasi pofesionalisme guru, akuntabilitas

sekolah, sumber daya dan berbagai faktor lain yang berkontribusi pada efektifitas

kurikulum dan pembelajaran.

Terkait waktu, evaluasi juga penting, bukan hanya pada akhir tahun

program, tetapi juga pada beberapa titik waktu ketika akhir suatu unit

pembelajaran sedang dikembangkan dan diimplementasikan (Orstein&Hunkins,

2013:242). Jelas bahwa evaluasi kurikulum ialah proses untuk mengungkap

manfaat dan efektifitas kegiatan pedidikan, baik yang berskala nasioanl atau lokal

(Kelly, 2004:137).

Biasanya, evaluasi fokus terutama pada dua tujuan. Lisa Carter

menganjurkan, pertama, agar pendidik bisa memilih bukan saja konten kurikulum

dan strategi instruksional yang tepat, tetapi juga siswa mana yang kaya dengani

13

Page 14: Bab 13 evaluasi kurikulum

pengalaman pendidikan. Tujuan evalausi kedua ialah untuk mengumpulkan

informasi atau data yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengambilan

keputusan bagi peningkatkan hasil pembelajaran siswa menurut kurikulum.yang

berlaku kini Yang terakhur ini, menurut Carter, bertujuan untuk menyesuaikan

kurikulum bagi kebutuhan siswa, dari pada sebaliknya, membenuk (to mold)

siswa menurut “kemauan” kurikulum (Orstein&Hunkins,2013:244). Pendek

kata, tegas Kelly (2004:136), evaluasi terkait erat dengan pandangan bahwa

kurikulum harus dievaluasi sebagai bagian penting pengembangan kurikulum.

Evaluasi kurikulum bermanfaat dalam memastikan bahwa kurikulum

berfungsi dengan baik di sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah

ditetapkan. Wiles (2009:104-05) mengajukan empat fokus evaluasi kurikulum:

(1) disain program, (2) proses pembelajaran, (3) hasil pembelajaran, dan (4)

personil pendidikan. Pertama, evaluasi disain kurikulum untuk menjawab

pertanyaan “Äpakah disain kurikulum ini sudah memenuhi syarat sesuai teori dan

perinsip penyusunan dan pengembangan kurikulum?” Kedua, evaluasi proses

tentang jalannya kurikulum yang diimplementasikan di sekolah. Evalausi ini

mungkin termasuk efisiensi bagian-bagian sistem seperti komunikasi, pendanaan,

dan prosedur perencanaan kurikulum. Pertanyaan yang perlu dijawab tentang ini

ialah, “ Apakah kurikulum ini dilaksanakan secara efisien?” Fokus evaluasi ketiga

ialah hasil sebenarnya implementasi kurikulum. Pertanyaan yang tepat unuk ini

ialah “Apakah kurikulum telah mencapai hasil yang diinginkan?” Fokus evaluasi

keempat iialah pesonil dan prean mereka masing-masing. Melalui observasi dan

interviu kita mungkin bisa mengetahui apakah mereka sudah berperan efektif.

Pertanyaan yang tepat untuk fokus ini ialah “Apakah setap personil kurikulum itu

memberikan kontribusi positif pada kurikulum seperti yang direncanakan?”

Kesimpulan, evaluasi sebagai bagian integral kurikulum, memnberikan

informasi pada pendidik apakah kurikulum telah membuahkan hasil balajar siswa

yang diinginkan. Dengan demikian, evaluasi dilakukan untuk mengungkap

kekuatan dan kelemahan kurikulum sebelum dilaksanakan dan efektiftasnya

setelah diimpementasi dalam proses pembelajaran.

Fungsi Evaluasi. Evaluasi, menurut Wiles (2009:101), paling kurang

memiliki empat fungsi umum: (1) menyatakan secara eksplisit filsafat dan

14

Page 15: Bab 13 evaluasi kurikulum

rasional bagi pemakaian disain instruksional, (2) mengumpulkan data bagi

pengambilan keputusan tentang efektifitas sekolah, (3) menetapkan keputusan

umum tiap hari, dan (4) menetapkan rasional perubahan yang diajukan dan

dilaksanakan.

\Eisner mengemukakan 5 fungsi evaluasi yaitu untuk (1) a temperature-

taking function (fungsi diagnosis) untuk menemukan kesehatan pendidikan, (2)

revisi kurikulum sebagai a gate-keeping function (fungsi penjaga kualitas), (3) a

feed-back-to-teachers function (fungsi pemberi umpan balik) tentang kualitas

kinerja guru, (4) an objectivs-achievement function (fungsi penentu prestasi siswa)

untuk mengetahui efektifitas pendidikan, dan (5) an appraisal-of-program

function (fungsi pebemberi indikasi efektifitas) sebagai indikator kualitas program

(Eisner,1979:302;Brady&Knnedy,2007:222). Eisner mengaitkan fungsi evaluasi

dengan revisi kurikulum. Selain itu, Miller dan Seller (1985:303) menekankan

pentingnya para administrator dan orang terkait dengan evaluasi program

mempunyai tujuan evaluasi yang sama, sebab ketidaksamaan tujuan evaluasi

diantara mereka dapat menyebabkan timbulnya hal-hal yang kurang baik.

Pendidikan paling kurang memiliki empat fungsi umum evaluasi terkait

kerja kurikulum di sekolah: (1) menyatakan secara eksplisit filsafat dan rasional

atas disain instruksional, (2) mengumpulkan data bagi pengambilan keputusan

tentang efektifitas program pendidikan, (3) penetapan keputusan instruksional

sehari-hari, dan (4) memberikan rasional pada perubahan kurikulum yang

mungkin dilakukan dan diimplemtasikan sekolah (Wiles,2009:101).

Selain itu, Wiles melanjutkan, evaluasi juga befungsi untuk

menstrukturisasi cara-cara yang akan ditempuh untuk menbgkue keberhasilan atau

kegagalan pembelajaran siswa di sekilah. Jika program pendidikan memliki

tujuan yang sangat luas dan fekksibel, tentu data yang dipeelukan untuk

mengevalausinya danagt umum pual. Tedtapi uka program fokus pada pencapaian

tujuan yang sempit, data yang diperlukan bersifarsangat sopesifuik untuk

emnunjukkan hasilnya. Pada tingkat yang kebih praktis, proses evalasi

berfungsi untuk meberikan kontribusi pada pengambilan keputusan dan bahkan

dapat menstruktur diskusi tenbtang kurikukum (Wiles,2009:102). Terakhir, fyngsi

15

Page 16: Bab 13 evaluasi kurikulum

umum evalauasi bisa memqancibng komitmen suoervisor dengancara

identuifikasi apa ayng akan terjadi setelah peruabahn dolakdanakan.

Peran Evaluasi. Walau pun evaluasi mempunyai satu tujuan utama yaitu

untuk mengetahui berhasil atau tidak berhasilnya suatu program, tetapi evaluasi

mempunyai beberapa peran. Peran evaluasi yang sudah umum diketahui adalah,

seperti telah disebutkan di atas, menilai hasil belajar siswa. Penilaian ini

dilakukan melalui asesmen prestasi siswa sebagai pertimbangan bagi pengambil

keputusan tentang kurikulum, pembelajaran dan siswa

(Brady&Kennedy,2007:220). Keputusan yang diambil bisa mengarah pada revisi

kurikulum, pembelajaran, metode, materi ajar dan hal-hal lain terkait kelemahan

program pendidikan. Dengan perkataan lain, tujuan utama evaluasi ialah

menetapkan seberapa baik (how well) suatu kurikulum telah berhasil mencapai

tujuan atas standar yang ditetapkan terlebih dahulu, atau jika dibandingkan

dengan kurikulum lain (Zais, 1976:379). Evaluasi ini biasa dikenal sebagai

evaluasi efektiftas kurikulum dan pembelajaran.

Dari tujuan evaluasi tersebut terlihat beberapa peran evaluasi dalam

konteks sekolah. Bagi sebagian siswa, evaluasi memberikan motivasi kepada

mereka agar belajar dengan sunggug-sungguh; bagi sebagian yang lain evaluasi

merupakan sesuatu yang menakutkan atau sebagai pemaksaan kepada mereka,

bahkan suatu ancaman yang mengkhawatirkan. Bagi guru, evaluasi bisa berperan

sebagai kontrol atau motivasi agar bekerja lebih profesuonal. Sedangkan bagi

sekolah, evaluasi berperan sebagai instrumen pengelompokan siswa dalam

beberapa kelas (Zais,1976:379). Di masyarakat, evaluasi sering menimbulkan

ketegangan, stres, kecemasan, kekhawatiran atau ketidakpercayaan pada sekolah

dan pendidikan. Karena itu, siswa dan masyarakat perlu diberi penjelasan

komprehensif tentang peran dan tujuan evaluasi untuk menghindarkan gejolak

yang tidak perlu, bagi siswa, orang tua dan masyarakat.

Evaluasi adalah bagian inregrasl pendidikan, kurikulum dan pembelajaran.

Karena itu, evaluasi adalah untuk kepentingan pendidikan itu sendiri yaitu untuk

menemukan hal-hal yang perlu ditingkatkan dan disempurnakan, baik perbaikan

kurikulum maupun peningkatan kualitas pendidikan serta akuntabilitas

pendidikan. Kalau masyarakat bisa diberikan keterangan yang komperehensif

16

Page 17: Bab 13 evaluasi kurikulum

tentang peran evalausi, kekhawatiran dan ketegangan yang terjadi akibat evaluasi

pada anak, orang tua dan masyatakat bisa diminimalisir.

Sebagai bagian integral dari pendidikan dan kurikulum, evaluasi

merupakan penilaian terhadap kurikulum itu sendiri (nilai intrinsik). Kurikulum

dievaluasi untuk mengetahui apakah sasaran yang telah ditetapkan tercapai atau

tidak, setelah kurikulum itu diimplementasikan (Miller&Seller,1985:299).

Evaluasi kurikulum juga dilakukan untuk mengetahui validitas tujuan atau

sasaran kurikulum, termasuk penilaian apakah kurikulum itu sesuai dengan

tingkat kecerdasan siswa tertentu; apakah metode instruksional yang terbaik

dipakai untuk mencapai tujuan yang ditetapkan; apakah materi yang

direkomendasikan adalah yang terbaik untuk mencapai tujuan kurikulum atau

tujuan instruksional (Saylor&Alexander, 1974: 298).

Telah disinggung di atas, evaluasi berkenaan dengan pengumpulan

informasi, data dan fakta yang relevan untuk mengetahui apakah semua konten

kurikulum, kegiatan belajar dan pengalaman pendidikan yang direncanakan dalam

kurikulum telah mencapai tujuan atau belum. Artinya, evaluasi berfungsi untuk

mengindentifikasi kekuatan dan kelemahan kurikulum sebelum dilaksanakan dan

efektifitasnya setelah dilaksanakan (Ornstein&Hunkins,1988: 250).

Menurut Thorpe (1988), evaluasi terkait pengumpulan, analisis dan

interpretasi informasi sebagai bagian dari proses pertimbangan efektifitas dan

efisiensi suatu program pendidikan dan latihan (Savenye,2008:314). Ini juga

berarti bahwa evaluasi berperan sebagai indikator keberhasilan atau kegagalan

proses pembelajaran dalam mencapai tujuan yang direncanakan. Evaluasi juga

bertujuan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah ditetapkan itu sudah benar

atau perlu direvisi. Kesimpulan ialah evaluasi berperan konstruktif dalam

pengembangan kurikulum yaitu sebagai instrumen untuk mendorong pendidik

melakukan perbaikan kurikulum dan pembelajaran secara berkesinambungan.

Evaluasi dapat juga dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum

dengan tingkat kecerdasan peserta didik, kesesuaian metode pembelajaran dengan

tujuan, serta kesesuaian sistem evaluasi itu sendiri. Jadi, evaluasi sebagai bagian

tak terpisahkan dari disain kurikulum (KTSP) dan disain pembelajaran (silabus),

dilakukan melalui pengumpulan semua informasi yang relevan untuk mengetahui

17

Page 18: Bab 13 evaluasi kurikulum

sinkronisasi antar semua komponen disain kurikulum. Andaikata ditemukan

kurang sinkronisasi antar komponen kurikulum, hasil evaluasi ini menjadi

masukan bagi pengambil keputusan untuk perbaikan kurkulum dan pembelajaran.

Prinsip Evaluasi.Prinsip evaluasi mencakup pertimbangan teknis, praktis

dan etis. Pertimbangan teknis berarti evaluasi harus valid dan objektif.

Pertimbangan praktis terkait data evaluasi yang harus relevan dengan tujuan

evaluasi sehingga bermanfaat dan signifikan bagi pencapaian tujuan evaluasi.

Pertimbangan etis berkaitan dengan ketaatan proses evaluasi dengan nilai-nilai

seperti kejujuran (fairness), kerahasiaan (confidentiality) dan kebulatan pendapat

(unanimity) (Brady&Kennedy,2007:267).

Harris et.al (1995:240) mengajukan 12 prinsip pokok easesmen

atau evaluasi kurikulum berbasis kompetensi: (1) validitas: kompetensi harus

mencakup pengetahuan dan keterampilan yang integratif seperti terbukti pada

aplikasinya pada beberapa situasi dan konteks berbeda; (2) reliabilitas: praktek

asesmen harus dimonitor dan direviu untuk memastikan konsistensi dalam

pengumpulan dan interpretasi bukti tentang kompetensi siswa oleh evaluator

berkompetensi sesuai standar nasional; (3) fleksibilitas: evaluasi harus mencakup

kompetensi siswa, di sekolah dan luar sekolah sesuai standar kompetensi nasional;

dan (4) keadilan (fairness): proses dan metode evaluasi harus adil bagi semua

kelompok siswa yang terbuka untuk diketahui semua siswa dan terbuka bagi

semua orang yang mempertanyakan hasil evaluasi.

Proses Evaluasi

Langkah besar dalam proses evaluasi timbul saat The Eight Year Study of

the Progessive Education Association dilakukan. Tyler yang melakukan studi

(tahun 1933-1941). Studi itu didasarkan definisi pendidikan yang dianutnya, yaitu

perobahan tingkah laku. Berdasarkan konsep itu, proses evaluasi terkait asesmen

hasil belajar untuk mengetahui apakah perubahan tingkah laku siswa yang telah

ditetapkan telah tercapai (Tyler,1949). Bagi Tyler, tingkah laku mencakup

kemampuan berpikir (thinking), merasa (feeling) dan berbuat (acting).

Dari konsepsi pendidikan Tyler tersebut terlihat bahwa evaluasi bersifat

sumatif dengan memberikan tes, pemberian nilai atau angka, dan menetapkan

prestasi belajar siswa. Alat untuk maksud ini ialah tes standar, tes buatan guru, tes

18

Page 19: Bab 13 evaluasi kurikulum

masuk perguruan tinggi, dan lain-lain. Pada tahap ini, tidak ada usaha untuk

mereviu proses pembelajaran, seperti misalnya, mengapa suatu paket bahasan atau

kegiatan belajar ditawarkan. Selain itu, tidak ada juga usaha untuk mengetahui

apakah program yang dilaksanakan itu efektif untuk pencapaian tujuan tertentu,

dan apalagi untuk mereviu apakah tujuan yang telah ditentukan itu perlu atau

sesuai bagi pemenuhan kebutuhan siswa bersangkutan.

Konsep evaluasi yang berbeda dan diperkirakan banyak ahli lebih baik

adalah model evaluasi yang dikemukakan Cronbach (1971) dan Stuffelebean

(1971). Cronbach mengatakan bahwa proses evaluasi harus terarah pada

pengumpulan data dan penggunaannya bagi pengambilan keputusan. Sama

dengan itu, Stufflebean melihat evaluasi sebagai proses deskripsi dan penyediaan

data bagi penentuan alternatif keputusan. Konsep dan peran baru evaluasi ini

memerlukan proses dan metodologi evaluasi yang baru pula.

Ada beberapa langkah dan proses evaluasi kurikulum yang digunakan

Stufflebean et.al.. Proses itu dianggap jelas dan terbaik sehingga banyak ahli yang

merekomendasikan proses ini. Proses tersebut terbagi tiga aspek utama: (1)

gambaran informasi yang dibutuhkan, (2) cara memperoleh data, dan (3) cara me-

nyediakan data. Masing-masing aspek ini dianalisis dengan rinci. Secara pendek,

proses evaluasi itu sebagai berikut (Diagram 13.1): (1) penetapan apa yang akan

dievaluasi dan untuk apa data itu diperlukan; (2) jenis data yang dibutuhkan untuk

pengambilan keputusan; (3) pengumpulan data yang relevan; (4) penetapan

kriteria bagi kualitas hal yang dievaluasi; (5) analisis data dalam kaitannya dengan

kriteria itu; dan (6) penyediaan informasi bagi pengambilan keputusan

(Saylor&Alexander,1974:303). Pengambilan keputusan bukan bagian dari proses

evaluasi itu sendiri, tetapi hasil evaluasi menyediakan informasi atau data bagi

pengambil keputusan untuk menentukan pilihan dari beberapa alternatif yang

tersedia sebagai hasil evaluasi.

19

DesainEvaluasi

Rencana Infromasi yang

dibutuhkan1

Rencana untuk Pengumpulan Data

2

Rencana bagi Penyediaan Informasi

3

Page 20: Bab 13 evaluasi kurikulum

Diagram 13.1Perincian kerja pendekatan umum tentang disain evaluasi oleh Daniel Stufflebeam, et.al (Saylor&

Alexander, 1974:303)

Pendekatan Evaluasi

Berbagai ragam pendekatan evaluasi kurikulum memberi arahan bagi

penetapan langkah evaluasi, kriteria dan sumber data evaluasi (Saylor&

Alexander,1974:304). Bagaimanan seseorang mengumpulkan dan memproses

data evaluasi ditentukan postur filosofis dan psikologis yang dianutnya

(Ornstein&Hunkins,1988:202). Misalnya, seorang behavioris lebih fokus pada

proses evaluasi untuk mengungkapkan indikator kuantitaif tentang apakah siswa

telah mencapai tujun pendidikan yang ditetapkan secara jelas (behavioristik).

Sebaliknya, seorang humanis cenderung lebih fokus pada evaluasi untuk

menentukan apakah program pendidikan berhasil meningkatkan konsep diri (self-

concepts) siswa. Humanis, yang anti evaluasi hasil belajar kuanitatif berdasarkan

tes objektif yang diolah secara statistik ingin mengolah data melalui evaluasi

naturalistik kualitatif melalui observasi yang dideskripsikan seperti apa adanya

di lapangan (Miller&Seller,1985:305). Data interviu bisa juga dimasukkan

sehingga diskusi tentang kaitan dan pola berbagai hasil observasi menjadi bagian

penting hasil evaluasi humanistik.

Cronbach mengajukan dua pendekatan utama evaluasi: (1) pendekatan

ideal saintistik (the scientistic ideals approach), dan (2 ) pendekatan ideal

humanistik (the humanistic ideals approach). Kedua pendekatan ini dipandang

Cronbach sebagai dikotomi pada satu kontinium. Pada satu ujung berada

pendekatan saintistik dan pada ujung yang berlawanan pendekatan humanistik.

Pendekatan saintistik mengutamakan eksperimen untuk memproleh data kuantitaif

dari nilai ujian siswa yang dianilisis secara statistik. Sebaliknya, pendekatan

humanistik tidak percaya pada hasil perhitungan kuantitatif tetapi lebih

20

DiseminasiInformasi

3.2

Analisis Data 2.3

Pengunmpulan Data 2.1

Statemen tentang Kebijaksanaan

Evaluasi1.3

Definisi Sistem

1.1

Persiapan Laporan-laporan

3.1

Statemen Asumsi tentang

Evaluasi 1.4

Spesifikasi Keputusan-keputusan

1.2

Organisasi Data2.2

Page 21: Bab 13 evaluasi kurikulum

mengutamakan data kualitatif. Sesuai pandangan filosofis humanistik, program

dipandang dari segi pengembang kurikulum yang beroperasi dalam setting

pendidikan yang naturalistik untuk memperoleh manfaat program berupa hasil

deskripsi dan direduksi menjadi data kualitatif.

Apakah evaluasi untuk mengungkapkan pencapaian hasil belajar atau

untuk menemukan konsep diri siswa, kedua aliran filosofis tersebut setuju tentang

keterlibatan pengambilan keputusan dalam perencanaan dan implementasi

kurikulum. Lee Cronbach mengkategorikan tiga manfaat keputusan terkait hasil

evaluasi: (1) keputusan bagi perbaikan pembelajaran, (2) keputusan bagi guru dan

siswa, dan (3) keputusan terkait sistem managemen, kualitas manager dan staf

managemen sekolah (Ornstein&Hunkins,1988:253), serta keputusan tentang

kurikulum dan implementasinya dalam pembelajaran.

Sciven menegaskan perlunya evaluasi dijadikan bagian dari pengambilan

keputusan, karena evaluator adalah orang yang tepat untuk memberikan

pertimbangan berdasarkan hasil evaluasi. Ide ini disokong Stake yang

menganjurkan pemakaian kedua pendekatan dalam mengevaluasi kurikulum

(Miller&Seller,1985:306). Ini berarti hasil evaluasi, baik dari pendekatan

saintistik maupun humanistik, bisa diterima karena hasil akhir suatu evaluasi

saintistik juga melibatkan hasil pertimbangan evaluastor. Karena itu, dalam

praktek, menurut Miller dan Seller (1985:305), evaluasi kurikulum memakai

pendekatan di antara kedua pendekatan tersebut.

Evaluasi bisa juga didekati dengan mengevaluasi dokumen kurikulum dan

implementasinya dalam kelas secara terpisah. Scriven menamakan tipe pertama

intrinsic evaluation yang merupakan jawaban atas pertanyaan, ”Betapa baik suatu

rancangan kurikulum ?” Kriteria evaluasi intrinsik mencakup, misalnya, tujuan,

konten, kegiatan belajar, pengalaman belajar, evaluasi dan lain-lain yang

direncanakan dalam suatu kurikulum (Ornstein&Hunkins,1988:254). Artinya,

ditilik dari segi (dokumen) kurikulum, evelausi untuk menjawab petanyaan,

Ӏpakah kurikulum itu sudah sesuai dengan persyaratan sebagai suatu rancangan

kurikulum sehingga layak untuk diimplementasikan di sekolah?”.

Kalau ternyata suatu kurikulum sudah layak dilaksanakan dalam

pembelajaran, dampak implementasi kurikulum itu perlu pula dievaluasi. Tipe

21

Page 22: Bab 13 evaluasi kurikulum

evaluasi ini disebut pay-off evaluation oleh Scriven. Evaluasi pay-off terkait

dampaknya, bukan saja terhadap hasil belajar siswa, tetapi juga yang relevan

dengan guru, sekolah, administrator dan orang tua (Ornstein& Hunkins,1988:

254). Evaluasi tipe ini dianggap sebagai suatu evaluasi yang strategis karena hasil

evaluasi inilah yang menunjukkan apakah suatu rencana kurikulum menghasilkan

pembelajaran siswa sesuai tujuan kurikulum itu.

Tetapi ada kritik dari penyokong evaluasi intrinsik yang meragukan hasil

evaluasi pay-off yang bisa saja kurang terpercaya karena kelemahan instrumen

dan scoring yang dipakai. Apalagi, evaluasi pay-off lebih fokus pada evaluasi

jangka pendek sehingga kurang memperhatikan hasil jangka panjang kurikulum

(Ornstein&Hunkins,1988:255). Posisi kita ialah kedua tipe evaluasi tersebut dapat

dilakukan, sebab kalau hanya evaluasi instrinsik saja, kita hampir pasti hasilnya

baik karena rancangan kurikulum biasanya disusun para ahli kurikulum. Karena

itu, kita menganggap penting kedua tipe evaluasi tersebut dilakukan sehingga dari

hasil kedua tipe evaluasi itu, evalautor dan pendidik dapat memperoleh masukan

tentang kekuatan dan kelemahan (rancangan) kurikulum sebelum dilaksanakan,

dan efektiftasnya setelah dilaksanakan dalam pembelajaran di sekolah.

Pendekatan lain ialah melakukan evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.

Evaluasi formatif dilakukan ketika kurikulum dalam proses perencenaan atau

ketika kurikulum sedang diujicoba sehingga perbaikan dapat langsung dilakukan

jika ditemukan kelemahan. Evaluasi sumatif dilakukan setelah kurikulum

dilaksanakan berdasarkan hasil asesmen dari prestasi belajar siswa. Hasilnya bisa

menggambarkan postur kurikulum secara keseluruhan. Implikasi pendekatan

evalausi formatif dan sumatif ialah sebelum rancanagn kurikulum diimplemantasi,

dilakukan evalausi formatif beberapa kali sampai kita yakin bahwa rancangan

suatu kurikulum sudah baik dan layak untuk dilaksanakan dalam pembelajaran.

Tipe-tipe Evaluasi Kurikulum

Evaluasi Formatif

Ketika guru mengukur perolehan pengetahuan dan keterampilan siswa

bagi pengambil keputusan tentang kurikulum dan pembelajaran, dia perlu

melakukan evaluasi formatif (Parkay,et.al.,2010:358). Menurut Scriven, evaluasi

formatif adalah evaluasi mengenai kurikulum dan pengajaran itu sendiri (Miller&

22

Page 23: Bab 13 evaluasi kurikulum

Seller,1985:299). Tujuannya ialah untuk memperbaiki program pendidikan atau

proses pembelajaran.

Evaluasi formatif, sesuai dengan namanya, merupakan bagian yang

integral dari proses perencanaan kurikulum dan pengajaran, walaupun keputusan

perbaikan program itu baru dapat dilakukan setelah program itu dilaksanakan

berdasarkan umpan balik yang diterima melalui evaluasi sumatif. Tetapi, evaluasi

foramtif bisa juga dilakukan sementara program baru atau yang sekarang berlaku

sedang berjalan dengan fokus pada siswa dan guru (Orstein&Hunkins,2013:252).

Karena itu, administrator pendidikan perlu mendorong guru melakukan evaluasai

formatif waktu dia mengajar. Sasarannya ialah meninjau ulang sub-unit

kurikulum tertentu yang sedang berlangsung dan ditest hasilnya secara cepat

untuk mengukur pemahaman siswa tentang sub-unit itu (Ornstein&Hunkins:

2013:252). Selain itu, dengan evaluasi formatif, guru dapat pula mengukur sikap

siswa terhadap mata pelajaran (Parkay,et.al.,2010:358). Dengan demikian,

evaluasi formatif, menurut Orstein&Hunkins (2013:252) memungkinkan pendidik

memodifikasi, menolak atau meneruskan program oendidikan yang sedang

berjalan itu.

Evaluasi Sumatif

Evaluasi sumatif menilai efektifitas kurikulum dan pengajaran yang

diimplementasikan sesuai dengan rancangan kurikulum. Fokus utama evaluasi

sumatif ialah apa hasil kurikulum terhadap pembelajaran siswa; evaluasi sumatif

berkaitan dengan manfaat kurikulum dan implementasinya dalam pembelajaran

itu sendiri (Saylor&Alexander:299). Evalusai sumatif juga untuk menentukan

peringkat siswa pada akhir unit, semester atau tahun dan memutuskan apakah

siswa siap untuk melanjutkan pelajaran (Parkay,et.al.,2010:358). Dari uraian

tersebut terlihat bahwa kedua tipe evaluasi itu berperan sebagai penyedia

informasi tentang kelemahan kurikulum selama dalam proses pengembangan

(formatif) dan efektifitasnya setelah diimplementasikan (sumatif).

Jadi, evaluasi sumatif tidak mencari penyebab sesuatu yang ditemui dalam

program. Evaluasi sumatif hanya melihat kegunaan program secara menyeluruh,

hasil akhir dari program yang sudah selesai, baik yarig diperoleh dari dalam

maupun luar sekolah. Seringkali evaluasi formatif mencari hal-hal yang spesifik

23

Page 24: Bab 13 evaluasi kurikulum

yang digunakan bagi revisi program yang belum selesai. Evaluasi ini

memungkinkan pengembang kurikulum mengadakan revisi untuk memperbaiki

program sebelum program itu selesai (Miller& Seller, 1985:299).

Sebenarnya, perbedaan kedua tipe evaluasi ini tidak selalu mudah

dibedakan, sebab evaluasi sumatif dapat memberikan data yang bermanfaat bagi

revisi perencanaan kurikulum, formulasi perencanaan baru, menambah atau

mengurangi konten atau mata pelajaran, seleksi konten baru, perbaikan tujuan

kurikulum dan instruksional, dan lain sebagainya. Perbedaan antara kedua tipe

evaluasi tersebut lebih banyak terletak pada tujuan dan waktu evaluasi daripada

metode atau teknik evaluasi. Walaupun begitu, klasifikasi Scriven atas kedua

evaluasi ini menekankan pentingnya melakukan proses evaluasi sebagai bagian

dari perencanaan kurikulum itu sendiri (Saylor&Alexander,1974: 299-300).

Miller dan Seller setuju bahwa perbedaan kedua macam evaluasi ini

kadang-kadang tidak jelas. Umpama, evaluasi sumatif mungkin menunjukkan

kegagalan program yang tidak efektif itu. Dalam hal ini, revisi program ini pada

dasarnya dapat dianggap sebagai evaluasi formatif. Oleh karena itu, perbedaan

kedua bentuk evaluasi ini terletak pada cara pelaksanaan evaluasi, apa yang akan

dievaluasi, dan bagaimana hasil evaluasi itu akan dimanfaatkan (Miller&Seller,

1985:299).

Konsepsi evaluasi menurut Tyler (1949) merupakan "cyclic review" yaitu

semua program dievaluasi secara regular. Evaluasi kurikulum ini sama prinsipnya

dengan evaluasi sumatif, karena evaluasi anjuran Tyler tersebut dirancang untuk

sejalan dengan kelanjutan program dan termasuk kebijaksanaan sekolah. Penting

untuk mencek apakah semua program belajar yang direncanakan betul-betul

berjalan baik untuk membimbing guru agar mencapai hasil yang diinginkan.

Inilah tujuan evaluasi dan alasan mengapa proses evaluasi diperlukan setelah

rencana program pengajaran siap dibuat (Tyler, 1949:105).

Cronbach (1982) menganggap bahwa evaluasi sumatif tidak efektif, karena

sekali program pendidikan dan pengajaran diadaptasi untuk dilaksanakan dan

yakin akan berhasil mencapai sasaran yang diinginkan, sedikit sekali

kemungkinari hasil evaluasi sumatif merubah program itu. Menurut Cronbach

(1982:3) program yang telah mapan biasanya "immune" terhadap evaluasi.

24

Page 25: Bab 13 evaluasi kurikulum

Selanjutnya Cronbach menganggap evaluasi kurikulum adalah suatu komponen

dari proses pengambilan keputusan. Evaluasi, menurut Cronbach, secara garis

besar merupakan kumpulan dan penggunaan informasi bagi: (1) pengambilan

keputusan mengenai program pendidikan, dan (2) perbaikan program kurikulum

dan pengajaran. Lewy memberikan gambaran yang spesifik tentang bagaimana

evaluasi dapat menjadi formatif dalam proses pengembangan kurikulum.

Evaluasi, pada dasarnya, adalah penyediaan informasi untuk memperlancar proses

pengambilan keputusan pada beberapa tingkat pengembangan kurikulum.

Informasi ini mungkin berguna bagi program pengajaran secara keseluruhan atau

hanya bermanfaat untuk beberapa komponen suatu program. Evaluasi juga berarti

seleksi kriteria, koleksi data dan analisis data (Miller&Seller, 1985: 302).

Model-Model Evaluasi

Pada bagian ini dikemukakan beberapa model evaluasi kurkulum. Seperti

dimaklumi, pada setiap model melekat asumsi dasar pembuat model itu sendiri

tentang kurikulum, dan barangkali juga tentang pendidikan. Melekat juga pada

tiap model evaluasi itu bentuk data yang dikumpulkan, cara data itu dianalisis,

refleksi orientasi kurikulum, dan evaluasi.

Model Deskrepensi Provus

Model Deskrepensi (Descrepancy Model) yang dikembangkan Malcom

Provus (1972) didasarkan pada asumsi bahwa program evaluasi mencapai dua

tujuan: (1) proses pengembangan program, dan (2) cara mengkaji manfaat

program (Miller& Seller,1985: 310-318). Model ini dianggap model mendasar,

karena mengkaji kemungkinan adanya kesenjangan antara yang diharapkan dan

kenyataan. Model ini mengaitkan evaluasi dengan teori managemen sistem yang

terdiri atas empat tingkat : (1) menentukan standar program, (2) menentukan

unjuk kerja program, (3) membandingkan unjuk kerja dan standar, dan (4)

menetapkan apakah terdapat kesenjangan antara unjuk kerja dan standar.

Informasi tentang kesenjangan yang ada harus dilaporkan kepada

pengambil keputusan untuk dilakukan tindakan pada tiap tingkat. Keputusan dapat

berupa terus ke tingkat berikut, kembal ke tingkat sebelumnya, lanjutkan program,

modifikasi unjuk kerja atau standar, atau akhiri program. Adalah tugas evaluator

25

Page 26: Bab 13 evaluasi kurikulum

untuk melaporkan kepada pengambil keputusan tentang masalah yang ada disertai

rekomomendasi tindakan perbaikan yang tepat agar efektifitas program tidak

terganggu. Dengan demikian, jika kesenjangan ditemukan, adalah tugas

pengambil keputusan untuk menentukan perbaikan yang perlu dilakukan

(Ornstein & Hunkins,1988:257).

Informasi yang terkumpul disediakan bagi dua tingkat pengambil

keputusan: (1) personel program yang bertanggung jawab pada organisasi

persiapan pengembangan dan implementasi program sekolah, dan (2)

personel pada tingkat pengambil keputusan atau pada tingkat administrasi. Kaitan

antara ke dua tingkat ini dihubungkan oleh evaluasi, yang menurut Provus, adalah

"pelayan" pengembangan program dan "penasehat yang diam" dari administrator,

tetapi bekerja menurut "aturan permainannya" sendiri terlepas dari kekuasaan unit

program (Miller&Seller,1985:310).

Evaluasi, menurut model ini, merupakan perbandingan antara hasil

program yang sebenarnya dan standard yang ditetapkan. Perbandingan antara

unjuk kerja program dan standard disebut deskrepensi (perbedaan). Evaluasi harus

dapat memberikan informasi tentang perbedaan ini dan pengambil keputusan

dapat bertindak berdasarkan deskripensi itu. Diagram 13.2 menunjukkan lima

deskrepensi yang merupakan inti pokok model ini dengan keterangan bagi tiap

tingkat seperti termuat dalam Miller dan Seller (1985:311-13).

Tingkat Unjuk Kerja StandardI Disain Program

Dimensi InputGimensi ProsesDimensi Output

Kriteria Disain

II Operasi Program Disain ProgramDimensi InputDimensi Proses

III Produksi InterimProgram

Disain ProgramDimensi ProsesDimensi Output

IV Terminal ProgramProduksi

Disain ProgramDimensi Output

V Biaya Program B iaya Program lain dengan Produksi yang sama

Diagram 13.2 : Evaluasi Kurikulum Provus(Seller&Miller,1985:311)

26

Page 27: Bab 13 evaluasi kurikulum

Tingkat 1: Standard program yang dievaluasi ditetapkan. Pada tingkat ini

diadakan perbandingan disain program dan kriteria yang telah ditentukan.

Kriteria ini mengharuskan program didiskripsikan menurut komponen dalam tiga

hal: input atau kondisi awal: proses, kegiatan yang direncanakan bagi staf dan

siswa; dan output atau tujuan. Selain deskripsi tiap elemen unjuk kerja itu,

program menunjukkan standar kriteria sebagai tolok ukur keberhasilan program.

Provus menganjurkan agar pada perbandingan pertama, program ditinjau

dari seperangkat elemen yang berpasangan-pasangan; satu pasangan mencakup

input dan output. Sejalan dengan ini, timbul pula proses yang membawa

perubahan dari input menjadi output.

Tingkat 1 ini diharapkan menjawab dua pertanyaan (1) Adakah informasi

yang lengkap tentang setiap elemen dari disain program?, (2) Apakah informasi

dalam bentuk yang bermanfaat? Konsistensi internal dikaji untuk menentukan

apakah program itu memadai; yang mencakup, pengecekan dan pengkajian

sumber-sumber untuk mengajar dan pengembangan profesional, kemungkinan

proses yang direncanakan dapat menghasilkan perubahan yang diinginkan, dan

aspek-aspek lain program lain. Kosistensi eksternal juga dicek, yang mencakup

kompatibilitas program baru dengan program-program lain dalam sistem sekolah

itu. Pengkajian ini dilakukan pada tingkat pertama agar ketidaksesuaian yang

timbul antara program-program yang ada bisa diketahui dan juga untuk

meyakinkan bahwa program baru sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam

sistem sekolah itu.

Setelah tingkat 1 selesai, penilai mengidentifikasi deskrepensi yang ada

antara kriteria dengan disain program. Deskrepensi yang ditemui dilaporkan

kepada pengambil keputusan yang akan menetapkan apakah perbedaan yang ada

itu dapat diterima atau disain program itu harus direvisi. Keputusan harus diambil

pada tahap ini karena disain program menjadi standard bagi tahap lebih lanjut.

Tingkat 2: Tingkat 2 membandingkan antara hasil program dan disain.

Jadi, kondisi yang timbul dalam kelas dibandingkan dengan yang direncanakan

program, dan perbedaan yang ditemui dilaporkan kepada pengambil keputusan

yang akan memutuskan apa yang harus dilakukan. Tugas penilai hanya

melaporkan deskrepensi yang ada.

27

Page 28: Bab 13 evaluasi kurikulum

Tingkat 3: Tingkat 3, yang dinamakan proses evaluasi tingkat mikro

(microlevel evaluation), mengkaji proses dan hasil untuk menentukan hubungan

sebab-akibat. Jika proses tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, proses itu

harus diperbaiki. Pada tingkat ini, penilai diharapkan dapat memberikan

keterangan terhadap masalah yang ditemui.

Tingkat 4: Pola evaluasi tingkat makro (macrolevel evaluation), melihat

dampak program secara keseluruhan terhadap perubahan tingkah laku siswa yang

dikaj untuk mengetahui apakah program telah mencapai sasaran. Hal-hal yang

ditemui pada tingkat sebelumnya dapat membantu evaluasi tingkat 4. Provus

mendakwa bahwa di sini letak keunggulan model ini, karena pada model evaluasi

lainnya proses evaluasi baru mulai pada tingkat 4 ini.

Tingkat 5: Provus menganjurkan agar semua data dikumpulkan, dan

dibandingkan antara program yang dievaluasi dan disain lain yang menuju sasaran

yang sama. Tujuan perbandingan ini adalah untuk mengetahui apakah program ini

memberikan keuntungan yang berarti dalam bentuk uang.

Model Countenance Stake

Model ini menekankan perlunya deskripsi dan observasi dalam evaluasi

karena menurut Stake, agar dapat dipahami secara penuh, program pendidikan

harus diseskripsi dan dipertimbangkan (judged) secara lengkap (Brady&Kennedy,

2007:158). Berdasarkan ide itu, Stake (1967) mengajukan Countenance Model

yang didisain untuk mengumpulkan semua data yang relevan dan diberikan

kepada orang yang memerlukan data untuk evaluasi (Miller&Seller,1985:313-17).

Data tersebut, antara lain, tentang informasi deskriptif yang lengkap termasuk data

mengenai hasil belajar siswa, deskripsi proses instruksional dan hubungan antara

kedua data tersebut Selain itu, data pertimbangan (judgement) harus pula

terkumpul, yaitu opini dari grup-grup masyarakat, dan pakar mata pelajaran. Dari

opini orang-orang inilah muncul standar evaluasi.

Bagan 12.3 memperlihatkan susunan dan jenis informasi yang dibutuhkan

secara lengkap. Kotak rasional merupakan statemen mengenai tujuan utama dan

orientasi program. Data yang lain terbagi menjadi dua kotak: deskripsi, dan

pertimbangan. Masing-masing kotak terbagi dua pula. Untuk kotak deskripsi:

tujuan program, dan observasi mengenai yang terjadi dalam kelas. Kotak

28

Page 29: Bab 13 evaluasi kurikulum

pertimbangan juga terbagi dua: standard, pertimbangan berupa statemen tentang

bagaimana perbedaan antara hasil program, seperti tertera pada observasi, dengan

standard (Miller&Seller,1985:314).

Rasional

Tujuan Observasi Standar Pertimbangan

Antiseden

Transaksi

Hasil

Deskripsi Pertimbangan

Diagram 13.3Susunan Data (Mille&Seller,1985:315)

Untuk memudahkan analisis dan susunan data, semua data diklasifikasi

menjadi tiga kelompok seperti terlihat pada Diagram 13.4. Antiseden adalah

kondisi yang ada sebelum program pelajaran dimulai. Transaksi adalah dinamika

proses belajar-mengajar sebagai hasil interaksi antara siswa, guru, dan materi, dan

lingkungan belajar di kelas. Keluaran adalah hasil proses belajar-mengajar berupa

pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai.

Proses analisis data untuk setiap kotak (deskripsi dan pertimbangan)

berbeda. Data pada kotak pertama (deskripsi) diproses menurut dua cara: (1)

menentukan kesesuaian antara dua bentuk informasi: tujuan dan observasi;

Terdapat kesesuaian jika apa yang diinginkan (tujuan) terjadi (observasi); (2)

Antara tujuan dan observasi, hubungan antara antisidens, transaksi, dan keluaran

dikaji pula. Secara ideal, keluaran timbul sebagai hasil antisidens dan transaksi.

Jika dapat diketahui bahwa transaksi adalah kegiatan logika berdasarkan kondisi

29

Page 30: Bab 13 evaluasi kurikulum

awal (antisiden), maka transaksi adalah kontingensi (contigency) logika dari

antisidens. Begitu juga halnya kontingensi timbul jika keluaran merupakan

ekspektasi logika transaksi. Untuk data tujuan, kriteria yang dipakai untuk

mengevaluasi kontingensi adalah logika, sedangkan untuk data observasi dipakai

empiris (lihat Digram 13.4).

Diagram 13.4Proses Data Deskriptif

(Miller&Seller, 1985:310)

Data dari kotak ke dua (pertimbangan) diproses dengan cara berikut:

seperangkat standar yang dihimpun dari berbagai sumber dipakai sebagai kriteria

evaluasi. Standar ini diaplikasikan pada antisidens, transaksi, dan keluaran. Yang

dievaluasi adalah berapa jauh standar tersebut tercapai. Standar ini disebut

perbandingan absolut sedangkan, perbandingan program dengan program lain

disebut perbandingan relatif (Diagram 13.5).

Model Evaluasi Stake

Model Evaluasi Stake menekankah evaluasi proses belajar-mengajar di

dalam kelas yang berorientasi transaksi. Hasil transaksi ini, menurut Stake, tidak

harus berupa keluaran tingkah laku; dapat berupa keluaran apa saja, termasuk

yang taksonomik dan humanistik (Miller dan Seller, 1985: 317).

30

Antisedenyang diinginkan

Antisedensyang

diinginkan

Keluaranyang

diinginkan

Transaksiyang

diinginkan

Keluaran yang

diobservasi

Antisedensyang

diobservasi

Data Deskriptif

Kesesuaian

Kesesuaian

Kesesuaian

Kontigensi logika

Kontigensi logika

Kontigensi Empiris

Kontigensi Empriris

Data deskriptif dari

Program lain

Standar keunggulan

Perbandingan Absolut

Page 31: Bab 13 evaluasi kurikulum

Diagram 13.5Proses Data Pertimbangan (Miller&Seller,1985:318)

Model ini sesuai dengan namanya, studi kasus, fokus pada evaluasi situasi

pendidikan yang spesifik dengan spesifikasi: (1) deskripsi berbagai ragam

variabel yang selalu tidak bisa dipisahkan, (2) data berasal dari observasi personal,

(3) komparasi bisa implisit dari pad eksplisit, (3) pngutamaan pemahaman tentang

kasus itu sendiri, dari pada hipotesis yang biusa dites, (4) generalisasi yang

merupakan produk dari pengalaman evaluator (berupa tacit knowledge tentang

bagaimana, mengapa dan bagaimana orang mengalamainya), dan (5) format

pelaporan evalausi yang bersifat informal (Brady& Kennedy,2007:260).

Stake menegaskan keunggulan studi kasus dalam mengevaluasi kurikulum

dibandingkan dengan model evaluasi kurikulum lain yang umumnya

mengahasilkan generalisasi dari situasi pendidikan yang dipipisah-pisah.

Model CIPP Stufflebeam.

Komite Pengkajian Nasional Phi Delta Kappa tentang Evaluasi (The Phi

Delta Kappa National Study Committee on Evaluation) yang diketuai Daniel L

Stufflebeam mengajukan model evaluasi berbasis managemen (1970). Premis

yang mendasari model evaluasi ini ialah bahwa evaluasi bertujuan membantu

pengambil keputusan dalam upaya perbaikan kurikulum dalam suatu sistem

sekolah (Miller&Seller,1985:317). Model ini terkenal dengan nama "CIPP

Model." yang adalah akronim dari Context, Input, Proses dan Product. Model

CIPP bertumpu pada definisi evaluasi yang mereka ajukan yaitu proses

penggambaran, perolehan, dan penyediaan informasi yang berguna bagi

31

Data deskriptif dari

Satu Program

Pertimbangan

Perbandingan Relatif

Page 32: Bab 13 evaluasi kurikulum

penetapan beberapa alternatif keputusan (Oliva,1982:1988). Menurut

Orntein&Hunkins (1988:261), model CIPP dianggap suatu model evaluasi

kurikulum yang komprehensif karena model ini tidak fokus pada evaluasi produk

sumatif saja, tetapi juga pada evaluasi formatiif. Selain itu model CIPP

merupakan suatu proses yang berkelanjutan (continuous) dengan tekanan pada

evaluasi formatif dari ada evaluasi sumatif (Orntein&Hunkins,1988:261;

Miller&Seller,1985:317). Karena model evaluasi CIPP memandang evaluasi

sebagai proses berkelanjutan, model ini menetapkan tujuan, metode, dan saling

kaitan antara tiap-.tipe evaluasi dengan pengambilan keputusan dalam konteks

proses perubahan untuk meningkatkan efektifitas kurikulum.

Ada empat tipe keputusan kurikulum dalam model ini: (1) keputusan

perencanaan, (2) keputusan strukturisasi, (3) keputusan implementasi, dan (4)

keputusan daur ulang. Berkorespondensi dengan keeempat tipe keputusan tersebut

terdapat pula empat tipe evaluasi: (1) evaluasi konteks, (2) evaluasi input, (3)

evaluasi proses, dan (4) evaluasi produk. Bagan 7 menunjukkan empat tipe

evaluasi dan empat tipe keputusan.

INTENDED (Direcanakan) ACTUAL (Direalisir)

ENDS

(Tujuan)

MEANS

(Cara)

PLANNING DECISIONS

(Menetapkan tujuan)

Evaluasi Konteks

RECYCLING DECISIONS

(Menimbang & merespon

pencapaian tujuan)

Evaluasi Produk

STRUCTURING DECISIONS

(Mendisain prosedur)

Evaluasi Input

IMPLEMENTING DECISIONS

(Melaksanakan,mengontrol&

menyempurnakaprosedur)

Evaluasi Produk

32

Page 33: Bab 13 evaluasi kurikulum

Bagan 7: Tipe Keputusan & Evaluasi CIPP (Orstein&Hunkins,1988:262)S

Pertama, evaluasi konteks, merupakan bagian awal dari program evaluasi,

yang fokus pada kajian lingkungan program, yang menurut Stufflebeam,

merupakan tipe evaluasi yang paling utama (Orsntein&Hunkins, 1988:261).

Tujuannya evaluasi konteks mengkaji rasional tentang alasan yang mendasari

penetapan tujuan program dengan mengkaji lingkungan kurikulum dan

mengidentifikasi tujuan yang tidak tercapai dan alasannya (Oliva,1982:442),

dalam kondisi dan situasi tempat program itu dilaksanakan. Tipe evaluasi ini

merupakan suatu analisis situasi: memahami realitas situasi tempat lingkungan

pendidikan berlangsung dan asesmen realitas tersebut dalam kaitannya dengan

program pendidikan yang akan dilaksanakan. Evaluasi konteks tentu bukan satu

kali kegiatan saja, tetapi terus menerus menyediakan informasi tentang

kelangsungan dan penyelesaian program. Berdasarkan itu evaluasi kontek yang

terkait kajian lingkungan program, menurut Stufflebeam, merupakan tipe evalausi

yang paling utama (Orsntein&Hunkins, 1988:261). Stufflebeam menganjurkan

dua hal yang perlu dievaluasi pada evaluasi konteks: (1) studi kekuatan pada

lingkungan pendidikan yang kemungkinan berpengaruh besar pada kurikulum dan

sistem sekolah, dan (2) kesesuaian antara performa kurikulum sekolah yang

direncanakan dan yang performa yang terealisir.

Keputusan perencanaan (planning decicion) fokus pada mengkaji

lingkungan pendidikan: apakah menghentikan, merubah, atau meneruskan

program. Jika tidak perlu perubahan, evaluasi berakhir di sini; tetapi jika ada

perubahan, evaluasi dialanjutkan dengan evaluasi input, maka perlu ada tipe

kedua yaitu keputusan struktur (Miller&Seller,1985:319).

Kedua, evaluasi input, bertujuan untuk memperoleh informasi dan

menyajikan keterangan yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan cara-cara

memanfaatkan sumber daya untuk mencapai tujuan. Ini berarti, evaluasi input

mempertimbangkan berbagai sumber daya yang tersedia di lembaga penanggung

jawab program, strategi yang digunakan dalam melaksanakan program, serta

rencana bagaimana caranya agar strategi tersebut bisa dilaksanakan dengan baik

(Orsntein&Hunkins, 1988:261). Beberapa alternatif strategi implementasi, sumber

daya sekolah dan berbagai disain program dikaji untuk menemukan cara yang

33

Page 34: Bab 13 evaluasi kurikulum

paling efektif dan ekonomis untuk mencapai tujuan progam

(Oliva,1982:442;Miller&Seller,1985:319). Dapat dikatakan bahwa tipe evaluasi

ini adalah semacam procedural feasibility (Orsntein&Hunkins, 1988:263).

Berlainan dengan evaluasi konteks, evaluasi input bersifat ad hoc dan

mikroanalisis dari pada sistematik dan makroanalitik (Orsntein&Hunkins,

1988:263). Selama evaluasi input berjalan, dikaji beberapa strategi altematif

implementasi. Dapat dipahami, dari hasil kajian ini, alternatif yang paling efektif

dan efisien dipilih. Kalau pilihan telah ditetapkan, maka semua informasi yang

relevan bagi keberhasilan program ini dikumpulkan; evaluasi berakhir di sini dan

program itu diimplementasikan.

Ketiga, evaluasi proses, untuk menetapkan kesesuaian antara kegiatan

kurikulum yang direncanakan dan yang dilaksanakan. Stufflebeam mengajukan

tiga strategi dalam evaluasi proses: (a) Mendeteksi atau memprediksi kelemahan

disain prosedur implementasi selama pelaksanaan program dan apakah perlu

modifikasi disain prosedur itu, misalnya, dengan mengidentifikasi atau memonitor

secara berkelanjutan hal-hal yang berpotensi menghambat kelancaran program

seperti logistik, fasilitas pendukung, kemampuan staf dan waktu pelaksaan

program serta kelancaran komunikasi antara personil terkait dengan pelaksanaan

keseluruhan program. (b) Memproyeksi dan memfasilitasi keputusan yang

direncanakan bagi kelancaran pelaksanaan program, seperti pnyiapan tes dan

latihan yang diperlukan bagi guru dan tenaga pelaksana program sebelum

implementasi program. (3) Memfokuskan perhatian pada hal yang terkait

langsung dengan prosedur pelaksanaan program seperti konten dan kegiatan

belajar siswa, metodologi atau strategi instruksional yang telah dirancang dan

waktu yang ditetapkan bagi pelaksanaan kegiatan program (Orsntein&Hunkins,

1988:263). Dengan berbekal informasi dari hasil pelaksanaan ketiga strategi pasda

evaluasi proses, keputusan yang perlu ditetapkan dalam tahap evaluasi ini ialah

mengantisipasi dan menetapkan jalan keluar bagi pemecahan malasalah

prosedural serta menetapakn keputusan yang tepat sebelum program

diimplementasikan.

Keempat, evaluasi produk, fokus pada pengumpulan data untuk menentukan

apakah kurikulum yang dilaksanakan menghasilkan pembelajaran siswa sesuai

34

Page 35: Bab 13 evaluasi kurikulum

rancangan atau disain kurikulum. Berdsarkan informasi dari evaluasi produk

tersebut, evaluator dapat menentukan apakah akan meneruskan, mengganti atau

memodifiaksi kurikulum (Orsntein&Hunkins,1988:263). Ini berarti bahwa

keputusan daur ulang (recyling decisions) dibuat setelah efektifitas perubahan

timbul untuk menentukan apakah perubahan diperlukan atau dimodifikasi untuk

diulang kembali (Miller&Seller,1985:319). Kalau siswa mencapai hasil belajar

yang sesuai dengan yang direncanakan, program siap untuk diimplementasikan.

Perlu ditambahakan bahwa evaluasi proses dan produk dapat dilakukan

serentak, walau keduanya mengkaji aspek yang berbeda dari program baru.

Evaluasi proses diadakan untuk menetapkan kecocokan antara yang direncanakan

dengan yang betul-betul terjadi, termasuk juga prosedur impementasi, metode,

dan kegiatan belajar siswa. Sedangkan evaluasi produk menyelidiki hasil program

yang dibandingkan dengan hasil yang dituju dalam program. Kriteria yang dipakai

bagi perbandingan keduanya, bersumber pada tujuan-tujuan program dan semua

informasi yang dapat diperoleh dari hasil kajian ketiqa evaluasi lainnya, yaitu

evaluasi konteks, input, dan proses. Selanjutnya, informasi yang diperoleh dari ke

dua macam evaluasi yang terakhri dipakai untuk keputusan daur ulang, recyling

(Miller& Seller,1985:319-22;Oliva,1982:442-446;Doll,1986:240-41).

Model Surrogate Experience Kemmi

Model evaluasi Kemmis didasarkan pandangan bahwa kurikulum tidak

bisa diases secara tepat dan secara objektif, tetapi memerlukan evaluasi yang luas

dengan mengkaji banyak variabel (Brady&Kennedy,2007). Tugas evaluator

haruslah mengungkapkan kurikulum apa adanya dengan menunjukkan potret

kurkulum: hakekatnya, isu-isu tentang kurikulum, dan orang-orang yang

mengimplementasikan kurikulum. Potret kurikulum tersebut harus

mendeskripsikan kompleksitas dan pola pengalaman belajar yang dihasilkan

kurikulum sehingga memberikan semacam pengalaman (surrogate) pula kepada

audience. Sasarannya ialah menunjukkan betapa komplek dan beragamnya realita

yang ada sekitar kurikulum sehingga tidak begitu mudah dipahami jika evaluasi

hanya didasarkan pada hasil asesmen melalui hasil tes dan instrumen evaluasi

lainnya. Kemmis percaya keberhasilan model ini tergantung pada kemampuan

komunkasi evaluator. Dia menyamakan tugas pemotretan evaluator tersebut

35

Page 36: Bab 13 evaluasi kurikulum

dengan artis yang terampil menggunakan bahasa dalam menciptakan pemahaman

yang mendalam tentang dunia pendidikan (Brady&Kennedy,2007). Terlihat

bahwa model evaluasi ini mengutamakan dimensi kemanusiaan yang sarat dengan

nuansa pendekatan psikologi humanis dan penelitian kualitatif.

Kesimpulan

Pada Bab ini telah dibicarakan evaluasi sebagai bagian integral dari

kurikulum. Pembicaraan dimulai dengan perkembangan konsep evaluasi, sejak

dari pengertian evaluasi dalam arti sempit sampai arti luas (komprehensif).

Dibicarakan juga hal-hal yang terkait dengan peran, dan fungsi evaluasi dalam

pengembangan kurikulum serta pendekatan dan model-model evaluasi

kurikulum. Dari uraian tersebut terlihat bahwa evaluasi memegang peran penting

dalam pengembangan kurikulum berdasrkan kenyataan bahwa evaluasi bisa

memberikan indikator tentang tingkat kjeberhasilan proses pembelajaran. Artinya,

evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum yang memberikan informasi

kepada pengambil keputusan di bidang pendidikan tentang tingkat keberhasilan

pelaksanaan pendidikan di sekolah.

Berdasarkan hal itu, dapat kita pahami bahwa evaluasi bukan hanya terkait

dengan asesmen hasil belajar siswa yang memberikan informasi yang berharga

kepada perancang dan pelaksana kurikulum tentang kelayakan kurikulum sebelum

dilaksanakan (evaluasi intrinsik dan evaluasi formatif) serta efektifitas kurikulum

setelah dilaksanakan (evaluasi produk atau evaluasi sumatif). Tetapi juga

memberikan informasi yang berharga kepada pengambil keputusan di bidang

pendidikan tentang berbagai hal terkait dengan proses pembelajaran, administrator

pendidikan dan sekolah, fasilitas pendukung, alat batu belajar dan hal-hal terkait

dengan informasi tentang cara-cara perbaikan kurikulum, pembelajaran dan

managemen pendidikan dan sekolah.

Sebagai penutup, pada Bab ini dikemukakan beberapa model evaluasi

kurikulum yang kalau didalami bisa memberikan pemahaman kepada kita bahwa

melalui evaluasi, kesehatan pendiddikan (education health) bisa terdeteksi dan

berdasarkan informasi itu bisa dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan pada

dokumen kurikulum dan proses pembelajaran. Berdasarkan hal itu, dapat

36

Page 37: Bab 13 evaluasi kurikulum

dikatakan bahwa evaluasi bisa berfungsi sebagai an early warning system tentang

kesehatan pendidikan.

37

Page 38: Bab 13 evaluasi kurikulum

38