BAB 13
EVALUASI KURIKULUM
Evaluasi melengkapi siklus pengembangan dan implementasi kurikulum.
Evaluasi kurikulum menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui apakah
tujuan kurikulum dan pembelajaran sudah tercapai?” (Tyler,1949:1; Graves, 2001:
190). Jawaban atas pertanyaan itu melibatkan pertimbangan kualititas dan tujuan
pembelajaran sebagai kriteria keberhasilan pendidikan. Secara ideal, evaluasi
menilai hasil implementasi kurikulum; seberapa jauh siswa memenuhi kriteria
atau standar yang ditentukan. Secara implisit dan eksplisit, evaluasi merefleksi
penilaian kurikulum dan disain instrusional yang telah dilaksanakan. Ini berarti,
menurut Ornstein&Hunkins (2013:240), evaluasi mengkritik kurikulum dan
implementasinya pada pembelajaran. Parkay,.et.al. (2010:357) melengkapi definsi
evaluasi kurikulum bahwa evalausi menyangkut pertimbangan sistematik tentang
kualitas atau nilai program pendidikan di sekolah atau distrik dan
mengembangkan stategi untuk meningkatkan program terebut.
Untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan kurikulum diperlukan
asesmen atau evaluasi hasil belajar. Kedua istilah, evaluasi dan asesmen, dipakai
secara bergantian Tetapi para pakar setuju bahwa asesmen cenderung terkait
pengumpulan, interpretasi dan deskripsi informasi tentang pengukuran hasil
belajar siswa. Sedangkan evaluasi menyangkut pertimbangan tentang nilai atau
manfaat (worth) hasil belajar siswa yang diperoleh melalui asesmen sebagai dasar
pengambilan keputusan managemen pendidikan, kurikulum, dan siswa (Coleman,
2005:153;Brady&Kennedy,2007:220). Pendek kata, evaluasi mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan kurikulum sebelum dan sesudah implemetasi kurikulum
(Ornstein&Hunkins,2013:242).
Dalam sebagian besar literatur, evaluasi adalah untuk mengukur hasil
belajar siswa, mengakses kompetensi dan kemajuan atau prestasi belajar siswa
untuk penetapan nilai atau angka. Nilai atau angka itu mungkin didasarkan pada
norma atau kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu, walau nilai itu lebih
banyak didasarkan pertimbangan pendidik (Schubert,1986:262). Pertimbangan
1
pendidik yang banyak berperan dalam penetapan angka atau nilai hasil belajar
siswa dianggap subjektif dan kurang terpercaya (Brady&Kennedy,2007:253).
Meskipun demikian, evaluasi efektifitas kurikulum masih merupakan sistem
evaluasi pendidikan yang umum berlaku dalam dunia pendidikan, walau telah
tersedia banyak alternatif lain yang mungkin lebih baik dari sistem tersebut.
Bagi sebagian besar guru, evaluasi berarti evaluasi mata pelajaran untuk
mengasses kompetensi, kemajuan atau prestasi belajar siswa (Graves,2001:190).
Bagi kebanyakan politisi dan publik, evaluasi merupakan cara untuk meminta
akuntabilitas pendidkan atas unjuk kerja pemangku pendidikan. Bab ini memuat
hakekat, konsep, tujuan, prinsip, startegi dan model evaluasi kurikulum yang
terkait dengan teori dan praktek evaluasi kurikulum.
Konsep Evaluasi
Konsep Awal Evaluasi
Kita perlu memahami perkembangan konsep evaluasi sejak awal
timbulnya evaluasi sampai sekarang. Alasannya, pendekatan, peran dan tujuan
evaluasi bervariasi berdasarkan pengertian atau definisi evaluasi itu sendiri
(Brady&Kennedy,2007:252) dan berdasarkan pengertian itu, bisa diketahui peran
evaluasi dalam proses pengembangan kurikulum (Miller&Seller,1985:296).
Misalnya, jika evaluasi diartikan sebagai instrumen untuk menentukan efektifitas
kurikulum, evaluasi fokus pada pengumpulan data dan fakta tentang tingkat
capaian hasil pembelajarn siswa terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Jika
evaluasi dimaknai sebagai jalan menuju perbaikan kurikulum, fokus evaluasi
terletak pada identifikasi kelemahan kurikulum sehingga terungkap jalan untuk
memperbaikinya.
Jika evaluasi untuk mengukur akuntabilitas pendidikan, evaluasi fokus
pada pengumpulan data dan informasi sebagai dasar perhitungan efisiensi
pemanfaatan alokasi budget pendidikan. Dan jika evaluasi untuk pengambilan
keputusan, evaluasi terarah pada pengumpulan data yang relevan dengan kekuatan
dan kelemahan atas alternatif keputusan yang sesuai bagi perbaikan kurikulum
dan pembelajaran (Brady&Kennedy,207:252). Implikasi ide tersebut, evaluasi
merupakan bagian integral dari kurikulum. Perubahan konsep kurikulum
2
mengakibatkan perubahan pada teori dan praktek evaluasi kurikulum yang telah
mengalami beberapa tahap perubahan selama abad ke-20.
Sebagai Penilaian dan Pengukuran. Pada era pertama, yang berasal dari
Bobbitt (1918) dan Charter (1923), evaluasi terpusat pada pengukuran prestasi
belajar siswa (Miller&Seller,1985:296-97). Hasil kerja kedua ahli ini dipakai
sebagai dasar pengukuran hasil belajar dan penetapan tingkat pencapaian tujuan
kurikulum atau tujuan instruksional. Tipe pengukuran prestasi belajar siswa yang
bermuara pada pemberian nilai atau angka kepada siswa dianggap sebagai konsep
evaluasi yang sempit. Dikatakan sempit, karena apa saja kemajuan atau hasil
belajar yang telah dicapai siswa selama proses pembelajaran direduksi menjadi
satu angka saja (Taba,1962:311).
Nilai atau angka hasil belajar siswa itu mungkin saja didasarkan pada
norma atau kriteria yang ditetapkan terlebih dahulu. Tetapi kenyataan
menunjukkan pertimbangan guru berperan sangat dominan dalam penetapan nilai
hasil belajar siswa, walau pun hal ini seringkali tidak ditonjolkan (Schubert,
1986:262). Pengaruh tipe evaluasi yang sempit itu masih besar sampai kini.
Menurut Borich dan Jemelka, tipe evaluasi efektiftas sempit itu dipengaruhi
gerakan kaum empiris abad ke-18 dan ke-19 terhadap ilmu-ilmu sosial yang
kemudian berkembang menjadi evaluasi (Miller&Seller, 1985:296).
Pengaruh makna evaluasi ini mendapat momentum pada awal abad ke-20,
berupa pengukuran hasil belajar siswa yang dipengaruhi Wilhem Wund dari
Jerman, psikolog Prerancis Alfred Binet dan Theodore Simon serta Frances
Galton dari Inggeris (Schubert,1986:262). Tipe evaluasi ini mengandalkan teori-
teori psikologi yang dominan saat itu yaitu ilmu psikologi tingkah laku. Untuk
mengukur hasil belajar siswa secara tepat, diperlukan instrumen yaitu tes
psikologi dan tes inteligensi (IQ Test) yang diajukan Binet dan Simon, bukan saja
untuk menetapkan tingkat kecerdasan belajar siswa, tetapi juga untuk menda-
patkan informasi mengapa siswa mengalami kesulitan belajar. Jika siswa gagal
mencapai tujuan pembelajaran tertentu, kesalahan biasanya ditimpakan pada
siswa, bukan pada guru, kurikulum, pembelajaran, atau yang lain.
Konsep ini berlanjut sampai saat ini yaitu evaluasi dilakukan untuk
menentukan efektifitas program latihan yang hasilnya sebagai masukan bagi
3
upper level managers yang akan menetapkan keputusan tetang kelanjutan
program (Kirkpatrick&Kirkpatrick,2006:3). Pada tahap ini, teori dan praktek
evaluasi lebih fokus pada pemberian nilai atau angka yang didasarkan hasil
asesmen sistematis hasil belajar siswa atau peserta kursus yang dipengaruhi
pergerakan empirisme dalam ilmu-ilmu fisik dan metode ilmiah yang muncul
pada waktu itu. Sasarannya ialah sampai di mana setiap anak telah mencapai
tujuan yang telah ditetapkan (Taba,1962:312) yang mengharuskan evaluasi
dilakukan seakurat mungkin. Situasi ini mengandalkan hasil tes standar yang
membandingkan hasil belajar individual siswa dengan norma tertentu.
Evaluasi yang fokus pada hasil belajar siswa dikenal sebagai The
Technical Model, Model Teknik atau Model Latihan (Zais, 1976:269). Evaluasi
program latihan mencakup tiga tujuan: (1) memberikan informasi tentang arah
perbaikan program berikutnya, (2) menetapkan apakah suatu program akan
diteruskan atau dihentikan, dan (3) memberikan justifikasi tentang perlunya suatu
program latihan dilanjutkan atau dihentikan (Kirkpatrick&Kirpatrick,2006).
Walaupun evaluasi keberhasilan siswa (evaluasi produk) adalah bagian
evaluasi kurikulum, tetapi evaluasi keberhasilan siswa untuk mencapai nilai rapor
sekolah tidak dapat dianggap sebagai evaluasi program atau sebagai evaluasi
kurikulum (Zais,1976:369), karena evaluasi kurikulum seharusnya mencakup
bukan saja evaluasi produk, tetapi juga evaluasi kecocokan antara tujuan yang
direncanakan (intended outcomes) dengan tujuan yang dicapai (realized
outcomes). Seperti telah ditegaskan di atas, evaluasi hasil belajar sesuai bagi
evaluasi program latihan (model teknologi kurikulum), karena evaluasi latihan
mengandung makna kriteria efektifitas latihan, bukan efektifitas pendidikan.
Evaluasi Kognitif tingkat Tinggi. Era kedua evaluasi kurikulum mulai
tahun 1940-an dengan munculnya karya Komisi Hubungan Sekolah dan
Perguruan Tinggi yang terkenal dengan The Eight-Year Study. Studi Delapan
Tahun seringkali dianggap sebagai projek pendidikan yang sangat penting pada
pertengahan pertama abad ke-20 (Schubert,1986:263). Walaupun jarang disebut-
sebut sekarang, dapat dipastikan projek ini merupakan evaluasi kurikulum yang
paling ekstensif antara tahun 1900 dan 1950. Tyler et.al dalam studi ini
mengembangkan filsafat evaluasi yang fokus pada evaluasi pencapaian tujuan
4
kognitif dan afektif tingkat tinggi seperti berpikir kritis, sensitivitas sosial,
apresiasi, minat dan kemampuan penyesuaian personal dan sosial siswa (Schubert,
1986:264). Menurut Smith dan Tyler, tingkat pencapaian tujuan tersebut dapat
diukur (Miller&Seller,1985:297), sehingga konsep evaluasi pada tahap ini
menjangkau lebih luas dari evaluasi hasil belajar kognitif saja.
Sejalan konsep baru evaluasi itu, timbul gerakan pengembangan program
sekolah pada tingkat lokal. Hal ini memunculkan ide agar evaluasi menjangkau
lebih jauh dari evaluasi produk atau evaluasi efektifitas sekolah saja, tetapi juga
untuk mengetahui proses pembelajaran dalam kelas. Ini berarti guru perlu
menyusun tes sendiri untuk mengevaluasi kurikulum yang dikembangkan secara
lokal, di samping untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan individual siswa.
Hal ini membuka jalan bagi evaluasi lingkungan pendidikan yang lebih
besar yaitu untuk:(1) mengetahui keberhasilan belajar siswa, (2) memperbaiki
program belajar atau proses belajar-mengajar, dan (3) mengukur tingkat
pencapaian tujuan pendidikan yang selanjutnya sebagai dasar revisi program
pembelajaran jika ditemukan kelemahan sesuai hasil evaluasi itu (Miller&Seller,
1985:297). Dengan kata lain, evaluasi merupakan instrumen untuk memperoleh
masukan bagi perbaikan atas kelemahan kurikulum sekolah (Miller&
Miller,1985:297;Oliva,1982:428). Artinya, konsep evaluasi pada tahap ini sudah
mulai bergeser dari evaluasi efektifitas pembelajaran menjadi evaluasi diagnostik,
yaitu untuk menemukan kelemahan kurikulum sehingga dapat diketahui arah
perbaikan kurikulum secara keseluruhan (Schubert, 1986: 265).
Berdasarkan hasil studi the Eight Year Stydy, Lee J. Cronbach mengajukan
perbaikan mata pelajaran (course improvement). Hasil evaluasi ini, menurut
Cronbch, merupakan hasil terpenting yaitu evaluasi didisain bukan untuk
mempertimbangkan hasil belajar siswa saja, tetapi sebagai dasar menilai proses
pembelajaran secara keseluruhan (Schubert,1986:265). Sejalan dengan itu,
evaluasi untuk perbaikan pembelajaran juga dikemukakan Scriven (1967), Stake
(1967) dan Stufflebeam (1969). Scriven memperkenalkan evaluasi formatif dan
evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfungsi menyediakan hasil asesmen
menyeluruh (overall assessment) dari program pendidikan yang menyediakan
informasi bagi perbaikan program yang sedang berjalan. Sedangkan evaluasi
5
sumatif ádalah evaluasi yang dilakukan pada akhir suatu program pendidikan.
Dan Stake mengajukan konsep evaluasi yang dinamakannya Countenance of
Evaluation dan konteksnya. Model evaluasi ini menekankan pentingnya deskripsi
dan observasi dalam evaluasi.
Menurut Stake, agar dapat dipahami secara penuh, program pendidikan
harus dideskripsikan dan dipertimbangkan secara penuh (Brady&Kennedy,
2007:258). Dia mengatakan bahwa model countenance terdiri atas tiga bagian
yaitu entecedents (sepertri tujuan, materi,kemampuan siswa), transactions (seperti
proses pembelajaran, interaksi antara siswa dan guru) dan outcomes yaitu
pengalaman belajar yang diperoleh siswa atau peserta program lainnya. Ketiga
bagian tersebut harus dievaluasi dalam kaitannya dengan empat hal yang harus
dilakukan evaluator yaitu tujuan program, observasi yang mencakup capaian
pendidikan yang tidak direncanakan, standar yang dinggap penting dalam evaluasi
program pendidikan serta pertimbangan tentang kebergunaan beberapa standard
yang dipakai. Hasil evaluasi bisa diproses dengan dua cara: (a) dengan
mempertimbangkan kongruensi (kesesuaian) antara tujuan dan hasil program yang
sebenarnya diperoleh, dan (b) kesesuaian logis antara antecedent, transactions
dan outcomes (Schubert,1986:266).
Model evaluasi Scriven (1969,1971) dikenal dengan CIPP l (Context,
Input, Proses dan Produk) Model yang menekankan pentingnya mengevaluasi
konteks, input, proses dan produk. Tiga tipe evaluasi pertama tekait dengan
evaluasi formatif, sedangkan yang terakhir dengan evaluasi sumatif. Keempat tipe
evalausi CIPP tersebut merupakan latar penting dalam proses mendeskripsi,
memperoleh dan menyajikan informasi penting dalam pengambilan keputusan,
seperti bagi perbaikan kurikulum dan pembelajaran. Artinya, keempat jawaban
yang diperoleh melalui keempat tipe evaluasi CIPP terkait dengan jawaban atas
pertanyaan: apakah tujuan yang akan dicapai (evaluasi konteks); prosedur apa
yang harus dilalui untuk mencapai tujuan itu (evalasi input), apakah prosedur
tersebut terlaksana dengan baik (evaluasi proses) dan apakah tujuan yang ingin
dicapai telah terealisir dengan baik (evaluasi produk) (Schubert,1986:266).
Evaluasi Reformasi Kurikulum. Era ketiga dimulai saat peluncuran
Sputnik Rusia pada tahun 1957. Keberhasilan Sputnik tersebut menimbulkan
6
suara keras di Amerika Serikat agar konten kurikulum, terutama konten
matematika dan sains, direformasi. Selain reformasi konten, direformasi pula
sistem presentasi atau metode mengajar dan isi buku teks. Waktu itu ditemukan
bahwa buku teks matematika dan sains lebih menekankan pada pemberian
informasi dan fakta-fakta untuk dihafalkan anak atau siswa. Ketika itu baru
disadari, buku teks sains dan matematika sedikit sekali membantu pengembangan
kemampuan intelektual siswa sehingga tidak berkontribusi pada kemampuan
pemecahan masalah.
Akibat gerakan reformasi tersebut, timbul berbagai ide baru tentang
kurikulum, seperti belajar penemuan (inquiry learning), pendekatan penemuan
(discovery approach), keterampilan pemecahan masalah (problem solving skills),
dan pendekatan baru kurikulum dan pengajaran. Selain itu, menurut Miller dan
Seller (1985:297-98), timbul beragam inovasi pengembangan kurikulum, tetapi
sedikit sekali perhatian diberikan pada evaluasi efektifitasnya. Pada tahun 1970-
an situasi berubah. Setelah banyak uang dan tenaga dikeluarkan bagi
pengembangan program baru yang menuntut evaluasi sebagai dasar akuntabilitas,
metode evaluasi yang menekankan pengukuran hasil belajar siswa (evaluasi
produk), terasa tidak memadai lagi. Akhirnya, evaluasi mulai memperkuat konsep
evaluasi yang sudah muncul pada era sebelumnya yaitu evaluasi untuk
menemukan kekuatan dan kelemahan kurikulum. Artinya, saat itu terbuka jalan
bagi peran evaluasi yang lebih luas: hasil evaluasi bisa menyediakan ukuran
prestasi belajar siswa; hasil ukuran itu bisa membantu guru merubah program
belajar di kelas; para guru dan sekolah bisa memanfaatkan hasil evaluasi untuk
mengukur capaian tujuan dan merevisi program jika ditemukan kelemahan
(Miller&Seller,1985:297).
Semua konsep evaluasi kurikulum yang telah dikemukakan di bagian
terdahulu bisa digolongkan kepada evaluasi berbasis tujuan (goal-based
evaluation). Beberapa orientasi kurikulum kontemporer yang sebagain besar tidak
berbasis tujuan (goal-free curriculum) dikemukakan di bagian lain Bab ini..
Evaluasi Kontemporer
Evaluasi Perbaikan Program. Ide reformasi evaluasi kurikulum
Cronbach dan Stake, Scriven dan Stufflebeam lebih berorientasi evaluasi program
7
untuk perbaikan kurikulum. Orientasi evaluasi ini menunjukkan pergeseran peran
dan tujuan evaluasi: dari pengukuran dan nilai hasil belajar siswa menjadi
evaluasi komprehensif yaitu evaluasi perbaikan kurikulum melaluhi evaluasi
sinkronisasi antar komponen kurikulum, seperti antara tujuan, konten, kegiatan
belajar dan organsiasi pengalaman belajar serta evaluasi tujuan itu sendiri (Zais,
1976:369). Dari keterangan itu terlihat bahwa evaluasi untuk perbaikan tidak
fokus hanya pada efektifitas kurikulum saja, tetapi juga pada kurikulum secara
keseluruhan yang mencakup, misalnya, tujuan kurikulum, input yang diperlukan
bagi implementasi kurikulum untuk mencapai tujuan itu dan proses implementasi
kurikulum dalam pembelajaran.
Evaluasi Akuntabilitas. Era perkembangan evaluasi kontemporer berikut
ialah evaluasi akuntabilitas. Guru, adminsitrrator, pemangku pendidkan dan
pelaksana pendidikan di sekolah harus akuntabel terhadap keberhasilan
pendidikan yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Tipe evaluasi ini
muncul pada akhir tahun 1960an dan awal 1970an sebagai reaksi atas kekurang
percayaan publik atas kinerja sekolah sehingga menimbulkan tekanan dari
masyarakat agar sekolah lebih akuntabel atas kinerjanya (Schubert,1986:269).
Krisis pendanaan pendidikan di Amerika Serikat menjadi isu hangat kembali pada
tahun 1980an. Publik menunut agar sekolah akuntabel terhadap pendidikan
melalui penatatan standar pendidikan dan tes sebagai instumen keberhasilan
pemanfaatan dana pendidikan. Hal ini memunculkan kesadaran bahwa evaluasi
bisa menjadi alat yang ampuh untuk mengontrol kualitas implementasi kurikulum
agar sesuai standar pendidikan (Wiles,2009:101). Jadi, evaluasi akuntabilitas
terkait penetapan apakah dana yang diluncurkan bagi pendidikan telah
dimanfatkan secara efektif dan efisien (Rea-Dickins&Germaine,2001:253). Ini
berarti, sekolah dituntut agar menunjukkan kualitas pendidikan yang dikuatkan
oleh bukti data kuantitatif yang sahih.
Ada pula yang menuntut agar sekolah akuntabel tentang capaiannya
sesuai tujuan tingkah laku yang diverifikasi berdasarkan kriteria produktifitas
yang ditentukan. Yang lain menuntut agar sekolah membuktikan unjuk kerjanya
yang dikuatkan hasil tes standar prestasi siswa atau terukur sebagai indikator
keberhasilan (Schubert,1986:269). Hasil evaluasi sekolah harus bisa dibuktikan
8
kepada publik berupa hasil karya mereka dengan menunjukkan indikator yang
terukur dan akuntabel yang mencakup sistem managemen program sekolah,
pencapaian tujuan pendidikan dan indikator lainnya. Evaluasi tipe ini tidak terkait
efektifitas kurikulum atau perbaikan kurikulum, tetapi lebih pada akuntabilitas
pemangku keputusan pendidikan kepada penyandang dana pendidikan.
Tetapi evaluasi akuntabilitas dikritik atas metodologinya yang
behavioristik karena dianggap, misalnya, oleh Combs suatu solusi yang sederhana
(simplistic) dan kurang responsif terhadap pendidikan anak manusia yang sangat
kompleks (Schubert,1986:270). Kritik ini kelihatannya sama dengan kritik
terhadap tujuan tingkah laku dan pendekatan kuantitatif yang selalu ditentang oleh
kaum humanis dan penyokong pendekatan kualitatif.
Evaluasi Keputusan dan Tindakan. Perkembangan konsep evaluasi
kontemporer berikut berasal dari karya Schwab (awal tahun 1970an) tentang
inkuiri praktis dengan memperhatikan kebutuhan dan masalah pendidikan lokal.
Sasarannya ialah hasil evalausi bisa membantu pengambil keputusan oleh
adminsitrator sekolah, bidang kurikulum dan guru. Hasil penelitian praktis oleh
Leithwood (1982) dan Reid dan Walker (1975) yang menganalisis pengambilan
keputusan dan inovasi pada tingkat lokal merupakan contoh bagaimana hasil
evaluasi studi kasus bisa bermanfaat bagi pengambil keputusan di sekolah
(Schubert,1986:270).
Melalui studi kasus atau action research, data tentang praktek
pembelajaran dari hari ke hari dikumpulkan dan dianalisis yang hasilnya sebagai
masukan bagi pengambil keputusan bagaimana praktek pendidikan atau inovasi di
sekolah seharusnya dilakukan agar lebih baik dari sebelumnya (Wallace,2001:4).
Ini berati evaluasi bisa pula menstruktur jalan untuk mengukur keberhasilan atau
kegagalan kurikulum. Pada tingkat praktis, evaluasi yang dilakukan sekolah
berkontribusi pada pengambilan keputusan dan bahkan memicu diskusi personil
sekolah tentang kurikulum dan pembelajaran. Diskusi itu menumbuhkan
komitmen lebih besar pada supervisor, kepala sekolah dan guru untuk lebih komit
pada perbaikan kurikulum dan pembelajaran (Wiles,2009: 102).
Evaluasi Bebas Tujuan. Semua konsep evaluasi pada tahap awal yang
fokus pada asesmen hasil belajar siswa mendominasi dunia pendidikan sampai
9
kini. Evaluasi tersebut berbasis tujuan (goal-based evaluation) karena tujuan
program merupakan kriteria pokok untuk mengevaluasi proses pendidikan dan
melakukan penyesuaian jika ditemukan ketidak sesuain antara tujuan dan
realisasinya dalam pembelajaran (Schubert,1986:270). Tentu juga termasuk
kajian tentang kesesuain tujuan dan konten, kegiatan belajar, pengalaman belajar
dan komponen kurikulum lainnya.
Konsep evaluasi berbasis tujuan dianggap terpaku pada tujuan program
yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini, pendidikan dilihat sebagai suatu proses
perkembangan potensi manusia, yang dalam praktek, bisa saja menghasilkan hal-
hal lain di luar tujuan yang telah ditetapkan (unintended outcomes) dari proses
pembelajaran dalam kelas. Hasilnya mungkin positif atau negatif terhadap
perkembangan siswa. Hasil kurikulum tersembunyi ini cenderung terabaikan
kalau evaluasi hanya fokus pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan saja.
Adalah suatu masalah apakah evaluasi hanya fokus pada hasil yang
ditetapkan atau juga pada hasil yang tidak ditetapkan. Berdasarkan ide itu, Scriven
(1973,1974) mengajukan konsep evaluasi tanpa tujuan (goal-free evaluation).
Tipe evaluasi ini mengkaji aspek apa saja dari situasi pembelajaran tanpa bias
pada tujuan yang ditetapkan sehingga bisa dihindarkan evaluasi yang fokus pada
hasil belajar yang direncanakan saja (Brady&Kennedy,2007:253).
Evaluasi tanpa tujuan, menurut Schubert (1986:272), besar kemungkinan
lebih berhasil menemukan dampak pembelajaran yang tidak diinginkan
(unintended efects), karena evalutor tidak terpengaruh oleh tujuan yang ingin
dicapai. Situasi ini, lanjut Schubert, lebih memungkinkan evaluator menemukan
hasil evaluasi yang lebih objektif.
Evaluasi Yudisial. Evaluator pada tipe evaluasi yudisial, menurut Guba,
bertindak sebagai reporter investigasi, yang terlatih melakukan investigasi kasus
(pendidikan) menuruti model pengadilan. Evaluator terdiri atas beberapa
kelompok orang. Ada yang bertindak sebagai tim penyelidik dan penyidik, jaksa
penuntut umum, hakim, pembela, penganalisis kasus, moderator dan lain-lain
(Schubert,1986:272-73). Tipe evaluasi ini sesuai ide Provost tentang kesenjangan
antara disain program, instalasi pendidikan dan hasil belajar; analisis untung rugi
(cost-benefit) dari biaya keseluruhan oleh evaluator khusus (Schubert,1986:272-
10
73). Evaluasi yudisial tersebut dikritik sebagai suatu usaha yang terlalu banyak
memakai waktu dan sumber daya. Selain itu, dikhawatirkan sistem yudisial tidak
cocok dengan keunikan evalausi pendidikan (Schubert,1986:273).
Evaluasi Naturalistik. Evaluasi naturalistik, biasa juga disebut bahwa
evaluasi kualitatif, memakai metodologi antropologi, etnografi dan etologi.
Asumsi dasar evalausi naturalistik, menurut Guba dan Lincoln, realita bersifat
jamak, divergen dan saling berkaitan. Asumsi evaluasi naturalistik berseberangan
dengan asumsi evaluasi tradisional yang memandang realita bersifat tunggal,
konvergen dan fragmental. Akibatnya, evaluasi tradisional memisahkan antara
subjek dan metodologi, sebaliknya evaluasi naturalistik keduanya saling
berkaitan (Schubert,1986:273). Evaluasi tradisional, menurut Allport; Getzel dan
Guba, memandang kebenaran ditemukan dalam generalisasi atau nomothetic
statements yang fokus pada kesamaan antara berbagai situasi; situasi naturalistik
memandang hipotesis yang diajukan sebagai statemen yang benar dan fokus pada
pengetahuan yang spesifik sebagai petunjuk tentang perbedaan di antara situasi-
situasi yang ditemukan (Schubert,1986:273).
Dengan meneliti keunikan dan kompleksitas situasi sekolah yang berbeda-
beda, dimungkinkan ditarik kesimpulan yang berbeda-beda pula tentang kualituas
praktek pendidikan dibandingkan temuan melalui evaluasi berdasarkan prestasi
atau hasil belajar siswa saja. Selain itu, realita yang diungkapkan evaluasi
naturalistik diungkapkan manusia sebagai evaluator utama yang dilengkapi
observasi detail, dokumen dan interviu. Evaluator berperan sebagai peserta dalam
situasi pendidikan alami (non-obstructive), sebagai pengajar atau adminsitrator.
Diperkirakan hasil evaluasi alami banyak mengungkap kenyataan yang luput dari
pengukuran tes sebagai instrumen utama evaluausi tradisional.
Dari uraian di atas dapat kita lihat perkembangan konsep evaluasi dari
konsep yang sempit yang lama kelamaan berkembang menjadi konsep yang luas
(komperehensif) Evaluasi, dalam arti sempit, tekait hanya dengan upaya untuk
mengungkapkan apakah siswa telah mencapai pembelajaran sesuai kriteria yang
ingin dicapai yaitu tujuan kurikulum dan pembelajaran. Dalam arti yang
komprehensif, evaluasi mengacu pada pengumpulan semua informasi dan data
yang diperoleh melalui asesmen kemajuan atau hasil belajar siswa. Dengan kata
11
lain, evaluasi dalam arti luas tidak hanya untuk memberi nilai atau angka kepada
siswa berdasarkan tingkat efektifitas kurikulum, tetapi juga untuk perbaikan
kurikulum, efisiensi pembelajaran dan akuntabilitas pendidikan. Konsep evaluasi
yang luas berarti mengumpulkan seluruh informasi dan data yang relevan untuk
mengetahui kelayakan (dokumen) kurikulum sebelum dilaksanakan dan
efektifitasnya setelah dilaksanakan sebagai dasar bagi pengambilan keputusan.
Hakekat Evaluasi Kurikulum
Evaluasi adalah bagian penting proses pengembangan kurikulum. Evaluasi
dilakukan berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan dianalisis untuk
menimbang kualitas atau nilai kurikulum yang telah didisain dan dilaksanakan.
Dari hasil evaluasi itu dapat ditentukan terutama strategi pengembangan bagi
perbaikan kurikulum dan pembelajaran secara berkelanjutan.
Tujuan Evaluasi
Secara ideal, evaluasi perlu untuk mengungkap manfaat kurikulum secara
keseluruhan dengan fokus pada penentuan seberapa jauh kurikulum telah
memenuhi kebutuhan siswa sesuai standar pendidkan. Ini berarti bahwa evaluasi
menilai kurikulum dan implementasinya dalam proses pembelajaran di sekolah.
Untuk maksud itu, pendidik mengumpukan data dan menginterpretasi data
tersebut yang hasilnya bermanfaat sebagai masukan bagi pengambilan keputusan,
apakah menerima, mengubah atau menghapus aspek tertentu dari kurikulum
sepertu buku teks (Ornstein&Hunkins,2013:242). Jadi, evalausi adalah suatu
instrumen untuk mengungkap apakah kurikulum menghasilkan pembelajaran
yang akan dicapai sekolah.
Sebenarnya, hampir semua hal terkait kurikulum dan pembelajaran bisa
dievaluasi: pada tingkat kelas, sekolah, kabupaten/ kota, provinsi dan negara yang
melibatkan banyak orang dengan berbagai ragam peran (Ornstein&Hunkins,
1988:249). Dari hasil evaluasi pada beberapa tingkat tersebut, banyak informasi
yang dapat diperoleh, bukan hanya untuk mengetahui effektifitas pendidikan,
tetapi juga untuk masukan bagi perbaikan kurikulum, pengambilan keputusan dan
mengukur akuntabilitas pendidikan serta mengetahui peran evalusi dalam
pengembangan dan implementasi kurikulum. Wiles (2009) mengidentifiksi
delapan bidang yang bisa memberikan umpan balik bagi perencanaan dan
12
pengembangan kurikulum sekolah: (1) disain kurikulum dan pembelajaran, (2)
penggunaan fasilitas, (3) regulasi dan kebijakan, (4) penggunaan sumber daya, (5)
prestasi siswa, (6) efektifitas guru, (7) pengembangan staf, dan (8) kerjasama
orang tua-sekolah (Wiles,2009:105-08).
Di era informasi dan ledakan pengetahuan, evaluasi berkaitan jauh lebih
banyak dari pada yang tersebut di atas. Misalnya, evaluasi bisa mengungkap hal-
hal baru seperti bagaimana otak anak berfungsi, bagaimana orang belajar,
bagaimana realita politik mempengaruhi sekolah, bagaimana pedagogi baru bisa
memenuhi kebutuhan berbagai ragam siswa dengan latar belakang masyarakat
multi-kultural yang kompleks. Selain itu, bagaimana pula kurikulum bisa disusun
dan dimodifikasi dengan memanfaatkan beragam pendekatan moderen dan post-
moderen, dan bagaimana instruemen asesmen diciptakan dan dimodifikasi untuk
mengungkap esensi pembelajaran siswa (Ornstein&Hunkins,2013:241).
Untuk menjawab semua pertanyaan itu, lanjut Orstein&Hunkins,
diperlukan metode dan pendekatan baru. Pada hal, evaluasi saat ini masih
memakai tes yang disusun berdasarkan psikologi abad ke-19. Di samping itu, tes-
tes tersebut belum bisa menjangkau gambaran tentang berapa luas (width) dan
berapa dalam (depth) pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang kompeks itu
telah dikuasi siswa. Ini berarti, evaluasi tidak cukup hanya didasarkan pada hasil
asesmen efektiftas kurikulum untuk mengetahui prestasi belajar siswa saja sesuai
standar, tetapi juga perlu mengevaluasi pofesionalisme guru, akuntabilitas
sekolah, sumber daya dan berbagai faktor lain yang berkontribusi pada efektifitas
kurikulum dan pembelajaran.
Terkait waktu, evaluasi juga penting, bukan hanya pada akhir tahun
program, tetapi juga pada beberapa titik waktu ketika akhir suatu unit
pembelajaran sedang dikembangkan dan diimplementasikan (Orstein&Hunkins,
2013:242). Jelas bahwa evaluasi kurikulum ialah proses untuk mengungkap
manfaat dan efektifitas kegiatan pedidikan, baik yang berskala nasioanl atau lokal
(Kelly, 2004:137).
Biasanya, evaluasi fokus terutama pada dua tujuan. Lisa Carter
menganjurkan, pertama, agar pendidik bisa memilih bukan saja konten kurikulum
dan strategi instruksional yang tepat, tetapi juga siswa mana yang kaya dengani
13
pengalaman pendidikan. Tujuan evalausi kedua ialah untuk mengumpulkan
informasi atau data yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengambilan
keputusan bagi peningkatkan hasil pembelajaran siswa menurut kurikulum.yang
berlaku kini Yang terakhur ini, menurut Carter, bertujuan untuk menyesuaikan
kurikulum bagi kebutuhan siswa, dari pada sebaliknya, membenuk (to mold)
siswa menurut “kemauan” kurikulum (Orstein&Hunkins,2013:244). Pendek
kata, tegas Kelly (2004:136), evaluasi terkait erat dengan pandangan bahwa
kurikulum harus dievaluasi sebagai bagian penting pengembangan kurikulum.
Evaluasi kurikulum bermanfaat dalam memastikan bahwa kurikulum
berfungsi dengan baik di sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Wiles (2009:104-05) mengajukan empat fokus evaluasi kurikulum:
(1) disain program, (2) proses pembelajaran, (3) hasil pembelajaran, dan (4)
personil pendidikan. Pertama, evaluasi disain kurikulum untuk menjawab
pertanyaan “Äpakah disain kurikulum ini sudah memenuhi syarat sesuai teori dan
perinsip penyusunan dan pengembangan kurikulum?” Kedua, evaluasi proses
tentang jalannya kurikulum yang diimplementasikan di sekolah. Evalausi ini
mungkin termasuk efisiensi bagian-bagian sistem seperti komunikasi, pendanaan,
dan prosedur perencanaan kurikulum. Pertanyaan yang perlu dijawab tentang ini
ialah, “ Apakah kurikulum ini dilaksanakan secara efisien?” Fokus evaluasi ketiga
ialah hasil sebenarnya implementasi kurikulum. Pertanyaan yang tepat unuk ini
ialah “Apakah kurikulum telah mencapai hasil yang diinginkan?” Fokus evaluasi
keempat iialah pesonil dan prean mereka masing-masing. Melalui observasi dan
interviu kita mungkin bisa mengetahui apakah mereka sudah berperan efektif.
Pertanyaan yang tepat untuk fokus ini ialah “Apakah setap personil kurikulum itu
memberikan kontribusi positif pada kurikulum seperti yang direncanakan?”
Kesimpulan, evaluasi sebagai bagian integral kurikulum, memnberikan
informasi pada pendidik apakah kurikulum telah membuahkan hasil balajar siswa
yang diinginkan. Dengan demikian, evaluasi dilakukan untuk mengungkap
kekuatan dan kelemahan kurikulum sebelum dilaksanakan dan efektiftasnya
setelah diimpementasi dalam proses pembelajaran.
Fungsi Evaluasi. Evaluasi, menurut Wiles (2009:101), paling kurang
memiliki empat fungsi umum: (1) menyatakan secara eksplisit filsafat dan
14
rasional bagi pemakaian disain instruksional, (2) mengumpulkan data bagi
pengambilan keputusan tentang efektifitas sekolah, (3) menetapkan keputusan
umum tiap hari, dan (4) menetapkan rasional perubahan yang diajukan dan
dilaksanakan.
\Eisner mengemukakan 5 fungsi evaluasi yaitu untuk (1) a temperature-
taking function (fungsi diagnosis) untuk menemukan kesehatan pendidikan, (2)
revisi kurikulum sebagai a gate-keeping function (fungsi penjaga kualitas), (3) a
feed-back-to-teachers function (fungsi pemberi umpan balik) tentang kualitas
kinerja guru, (4) an objectivs-achievement function (fungsi penentu prestasi siswa)
untuk mengetahui efektifitas pendidikan, dan (5) an appraisal-of-program
function (fungsi pebemberi indikasi efektifitas) sebagai indikator kualitas program
(Eisner,1979:302;Brady&Knnedy,2007:222). Eisner mengaitkan fungsi evaluasi
dengan revisi kurikulum. Selain itu, Miller dan Seller (1985:303) menekankan
pentingnya para administrator dan orang terkait dengan evaluasi program
mempunyai tujuan evaluasi yang sama, sebab ketidaksamaan tujuan evaluasi
diantara mereka dapat menyebabkan timbulnya hal-hal yang kurang baik.
Pendidikan paling kurang memiliki empat fungsi umum evaluasi terkait
kerja kurikulum di sekolah: (1) menyatakan secara eksplisit filsafat dan rasional
atas disain instruksional, (2) mengumpulkan data bagi pengambilan keputusan
tentang efektifitas program pendidikan, (3) penetapan keputusan instruksional
sehari-hari, dan (4) memberikan rasional pada perubahan kurikulum yang
mungkin dilakukan dan diimplemtasikan sekolah (Wiles,2009:101).
Selain itu, Wiles melanjutkan, evaluasi juga befungsi untuk
menstrukturisasi cara-cara yang akan ditempuh untuk menbgkue keberhasilan atau
kegagalan pembelajaran siswa di sekilah. Jika program pendidikan memliki
tujuan yang sangat luas dan fekksibel, tentu data yang dipeelukan untuk
mengevalausinya danagt umum pual. Tedtapi uka program fokus pada pencapaian
tujuan yang sempit, data yang diperlukan bersifarsangat sopesifuik untuk
emnunjukkan hasilnya. Pada tingkat yang kebih praktis, proses evalasi
berfungsi untuk meberikan kontribusi pada pengambilan keputusan dan bahkan
dapat menstruktur diskusi tenbtang kurikukum (Wiles,2009:102). Terakhir, fyngsi
15
umum evalauasi bisa memqancibng komitmen suoervisor dengancara
identuifikasi apa ayng akan terjadi setelah peruabahn dolakdanakan.
Peran Evaluasi. Walau pun evaluasi mempunyai satu tujuan utama yaitu
untuk mengetahui berhasil atau tidak berhasilnya suatu program, tetapi evaluasi
mempunyai beberapa peran. Peran evaluasi yang sudah umum diketahui adalah,
seperti telah disebutkan di atas, menilai hasil belajar siswa. Penilaian ini
dilakukan melalui asesmen prestasi siswa sebagai pertimbangan bagi pengambil
keputusan tentang kurikulum, pembelajaran dan siswa
(Brady&Kennedy,2007:220). Keputusan yang diambil bisa mengarah pada revisi
kurikulum, pembelajaran, metode, materi ajar dan hal-hal lain terkait kelemahan
program pendidikan. Dengan perkataan lain, tujuan utama evaluasi ialah
menetapkan seberapa baik (how well) suatu kurikulum telah berhasil mencapai
tujuan atas standar yang ditetapkan terlebih dahulu, atau jika dibandingkan
dengan kurikulum lain (Zais, 1976:379). Evaluasi ini biasa dikenal sebagai
evaluasi efektiftas kurikulum dan pembelajaran.
Dari tujuan evaluasi tersebut terlihat beberapa peran evaluasi dalam
konteks sekolah. Bagi sebagian siswa, evaluasi memberikan motivasi kepada
mereka agar belajar dengan sunggug-sungguh; bagi sebagian yang lain evaluasi
merupakan sesuatu yang menakutkan atau sebagai pemaksaan kepada mereka,
bahkan suatu ancaman yang mengkhawatirkan. Bagi guru, evaluasi bisa berperan
sebagai kontrol atau motivasi agar bekerja lebih profesuonal. Sedangkan bagi
sekolah, evaluasi berperan sebagai instrumen pengelompokan siswa dalam
beberapa kelas (Zais,1976:379). Di masyarakat, evaluasi sering menimbulkan
ketegangan, stres, kecemasan, kekhawatiran atau ketidakpercayaan pada sekolah
dan pendidikan. Karena itu, siswa dan masyarakat perlu diberi penjelasan
komprehensif tentang peran dan tujuan evaluasi untuk menghindarkan gejolak
yang tidak perlu, bagi siswa, orang tua dan masyarakat.
Evaluasi adalah bagian inregrasl pendidikan, kurikulum dan pembelajaran.
Karena itu, evaluasi adalah untuk kepentingan pendidikan itu sendiri yaitu untuk
menemukan hal-hal yang perlu ditingkatkan dan disempurnakan, baik perbaikan
kurikulum maupun peningkatan kualitas pendidikan serta akuntabilitas
pendidikan. Kalau masyarakat bisa diberikan keterangan yang komperehensif
16
tentang peran evalausi, kekhawatiran dan ketegangan yang terjadi akibat evaluasi
pada anak, orang tua dan masyatakat bisa diminimalisir.
Sebagai bagian integral dari pendidikan dan kurikulum, evaluasi
merupakan penilaian terhadap kurikulum itu sendiri (nilai intrinsik). Kurikulum
dievaluasi untuk mengetahui apakah sasaran yang telah ditetapkan tercapai atau
tidak, setelah kurikulum itu diimplementasikan (Miller&Seller,1985:299).
Evaluasi kurikulum juga dilakukan untuk mengetahui validitas tujuan atau
sasaran kurikulum, termasuk penilaian apakah kurikulum itu sesuai dengan
tingkat kecerdasan siswa tertentu; apakah metode instruksional yang terbaik
dipakai untuk mencapai tujuan yang ditetapkan; apakah materi yang
direkomendasikan adalah yang terbaik untuk mencapai tujuan kurikulum atau
tujuan instruksional (Saylor&Alexander, 1974: 298).
Telah disinggung di atas, evaluasi berkenaan dengan pengumpulan
informasi, data dan fakta yang relevan untuk mengetahui apakah semua konten
kurikulum, kegiatan belajar dan pengalaman pendidikan yang direncanakan dalam
kurikulum telah mencapai tujuan atau belum. Artinya, evaluasi berfungsi untuk
mengindentifikasi kekuatan dan kelemahan kurikulum sebelum dilaksanakan dan
efektifitasnya setelah dilaksanakan (Ornstein&Hunkins,1988: 250).
Menurut Thorpe (1988), evaluasi terkait pengumpulan, analisis dan
interpretasi informasi sebagai bagian dari proses pertimbangan efektifitas dan
efisiensi suatu program pendidikan dan latihan (Savenye,2008:314). Ini juga
berarti bahwa evaluasi berperan sebagai indikator keberhasilan atau kegagalan
proses pembelajaran dalam mencapai tujuan yang direncanakan. Evaluasi juga
bertujuan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah ditetapkan itu sudah benar
atau perlu direvisi. Kesimpulan ialah evaluasi berperan konstruktif dalam
pengembangan kurikulum yaitu sebagai instrumen untuk mendorong pendidik
melakukan perbaikan kurikulum dan pembelajaran secara berkesinambungan.
Evaluasi dapat juga dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum
dengan tingkat kecerdasan peserta didik, kesesuaian metode pembelajaran dengan
tujuan, serta kesesuaian sistem evaluasi itu sendiri. Jadi, evaluasi sebagai bagian
tak terpisahkan dari disain kurikulum (KTSP) dan disain pembelajaran (silabus),
dilakukan melalui pengumpulan semua informasi yang relevan untuk mengetahui
17
sinkronisasi antar semua komponen disain kurikulum. Andaikata ditemukan
kurang sinkronisasi antar komponen kurikulum, hasil evaluasi ini menjadi
masukan bagi pengambil keputusan untuk perbaikan kurkulum dan pembelajaran.
Prinsip Evaluasi.Prinsip evaluasi mencakup pertimbangan teknis, praktis
dan etis. Pertimbangan teknis berarti evaluasi harus valid dan objektif.
Pertimbangan praktis terkait data evaluasi yang harus relevan dengan tujuan
evaluasi sehingga bermanfaat dan signifikan bagi pencapaian tujuan evaluasi.
Pertimbangan etis berkaitan dengan ketaatan proses evaluasi dengan nilai-nilai
seperti kejujuran (fairness), kerahasiaan (confidentiality) dan kebulatan pendapat
(unanimity) (Brady&Kennedy,2007:267).
Harris et.al (1995:240) mengajukan 12 prinsip pokok easesmen
atau evaluasi kurikulum berbasis kompetensi: (1) validitas: kompetensi harus
mencakup pengetahuan dan keterampilan yang integratif seperti terbukti pada
aplikasinya pada beberapa situasi dan konteks berbeda; (2) reliabilitas: praktek
asesmen harus dimonitor dan direviu untuk memastikan konsistensi dalam
pengumpulan dan interpretasi bukti tentang kompetensi siswa oleh evaluator
berkompetensi sesuai standar nasional; (3) fleksibilitas: evaluasi harus mencakup
kompetensi siswa, di sekolah dan luar sekolah sesuai standar kompetensi nasional;
dan (4) keadilan (fairness): proses dan metode evaluasi harus adil bagi semua
kelompok siswa yang terbuka untuk diketahui semua siswa dan terbuka bagi
semua orang yang mempertanyakan hasil evaluasi.
Proses Evaluasi
Langkah besar dalam proses evaluasi timbul saat The Eight Year Study of
the Progessive Education Association dilakukan. Tyler yang melakukan studi
(tahun 1933-1941). Studi itu didasarkan definisi pendidikan yang dianutnya, yaitu
perobahan tingkah laku. Berdasarkan konsep itu, proses evaluasi terkait asesmen
hasil belajar untuk mengetahui apakah perubahan tingkah laku siswa yang telah
ditetapkan telah tercapai (Tyler,1949). Bagi Tyler, tingkah laku mencakup
kemampuan berpikir (thinking), merasa (feeling) dan berbuat (acting).
Dari konsepsi pendidikan Tyler tersebut terlihat bahwa evaluasi bersifat
sumatif dengan memberikan tes, pemberian nilai atau angka, dan menetapkan
prestasi belajar siswa. Alat untuk maksud ini ialah tes standar, tes buatan guru, tes
18
masuk perguruan tinggi, dan lain-lain. Pada tahap ini, tidak ada usaha untuk
mereviu proses pembelajaran, seperti misalnya, mengapa suatu paket bahasan atau
kegiatan belajar ditawarkan. Selain itu, tidak ada juga usaha untuk mengetahui
apakah program yang dilaksanakan itu efektif untuk pencapaian tujuan tertentu,
dan apalagi untuk mereviu apakah tujuan yang telah ditentukan itu perlu atau
sesuai bagi pemenuhan kebutuhan siswa bersangkutan.
Konsep evaluasi yang berbeda dan diperkirakan banyak ahli lebih baik
adalah model evaluasi yang dikemukakan Cronbach (1971) dan Stuffelebean
(1971). Cronbach mengatakan bahwa proses evaluasi harus terarah pada
pengumpulan data dan penggunaannya bagi pengambilan keputusan. Sama
dengan itu, Stufflebean melihat evaluasi sebagai proses deskripsi dan penyediaan
data bagi penentuan alternatif keputusan. Konsep dan peran baru evaluasi ini
memerlukan proses dan metodologi evaluasi yang baru pula.
Ada beberapa langkah dan proses evaluasi kurikulum yang digunakan
Stufflebean et.al.. Proses itu dianggap jelas dan terbaik sehingga banyak ahli yang
merekomendasikan proses ini. Proses tersebut terbagi tiga aspek utama: (1)
gambaran informasi yang dibutuhkan, (2) cara memperoleh data, dan (3) cara me-
nyediakan data. Masing-masing aspek ini dianalisis dengan rinci. Secara pendek,
proses evaluasi itu sebagai berikut (Diagram 13.1): (1) penetapan apa yang akan
dievaluasi dan untuk apa data itu diperlukan; (2) jenis data yang dibutuhkan untuk
pengambilan keputusan; (3) pengumpulan data yang relevan; (4) penetapan
kriteria bagi kualitas hal yang dievaluasi; (5) analisis data dalam kaitannya dengan
kriteria itu; dan (6) penyediaan informasi bagi pengambilan keputusan
(Saylor&Alexander,1974:303). Pengambilan keputusan bukan bagian dari proses
evaluasi itu sendiri, tetapi hasil evaluasi menyediakan informasi atau data bagi
pengambil keputusan untuk menentukan pilihan dari beberapa alternatif yang
tersedia sebagai hasil evaluasi.
19
DesainEvaluasi
Rencana Infromasi yang
dibutuhkan1
Rencana untuk Pengumpulan Data
2
Rencana bagi Penyediaan Informasi
3
Diagram 13.1Perincian kerja pendekatan umum tentang disain evaluasi oleh Daniel Stufflebeam, et.al (Saylor&
Alexander, 1974:303)
Pendekatan Evaluasi
Berbagai ragam pendekatan evaluasi kurikulum memberi arahan bagi
penetapan langkah evaluasi, kriteria dan sumber data evaluasi (Saylor&
Alexander,1974:304). Bagaimanan seseorang mengumpulkan dan memproses
data evaluasi ditentukan postur filosofis dan psikologis yang dianutnya
(Ornstein&Hunkins,1988:202). Misalnya, seorang behavioris lebih fokus pada
proses evaluasi untuk mengungkapkan indikator kuantitaif tentang apakah siswa
telah mencapai tujun pendidikan yang ditetapkan secara jelas (behavioristik).
Sebaliknya, seorang humanis cenderung lebih fokus pada evaluasi untuk
menentukan apakah program pendidikan berhasil meningkatkan konsep diri (self-
concepts) siswa. Humanis, yang anti evaluasi hasil belajar kuanitatif berdasarkan
tes objektif yang diolah secara statistik ingin mengolah data melalui evaluasi
naturalistik kualitatif melalui observasi yang dideskripsikan seperti apa adanya
di lapangan (Miller&Seller,1985:305). Data interviu bisa juga dimasukkan
sehingga diskusi tentang kaitan dan pola berbagai hasil observasi menjadi bagian
penting hasil evaluasi humanistik.
Cronbach mengajukan dua pendekatan utama evaluasi: (1) pendekatan
ideal saintistik (the scientistic ideals approach), dan (2 ) pendekatan ideal
humanistik (the humanistic ideals approach). Kedua pendekatan ini dipandang
Cronbach sebagai dikotomi pada satu kontinium. Pada satu ujung berada
pendekatan saintistik dan pada ujung yang berlawanan pendekatan humanistik.
Pendekatan saintistik mengutamakan eksperimen untuk memproleh data kuantitaif
dari nilai ujian siswa yang dianilisis secara statistik. Sebaliknya, pendekatan
humanistik tidak percaya pada hasil perhitungan kuantitatif tetapi lebih
20
DiseminasiInformasi
3.2
Analisis Data 2.3
Pengunmpulan Data 2.1
Statemen tentang Kebijaksanaan
Evaluasi1.3
Definisi Sistem
1.1
Persiapan Laporan-laporan
3.1
Statemen Asumsi tentang
Evaluasi 1.4
Spesifikasi Keputusan-keputusan
1.2
Organisasi Data2.2
mengutamakan data kualitatif. Sesuai pandangan filosofis humanistik, program
dipandang dari segi pengembang kurikulum yang beroperasi dalam setting
pendidikan yang naturalistik untuk memperoleh manfaat program berupa hasil
deskripsi dan direduksi menjadi data kualitatif.
Apakah evaluasi untuk mengungkapkan pencapaian hasil belajar atau
untuk menemukan konsep diri siswa, kedua aliran filosofis tersebut setuju tentang
keterlibatan pengambilan keputusan dalam perencanaan dan implementasi
kurikulum. Lee Cronbach mengkategorikan tiga manfaat keputusan terkait hasil
evaluasi: (1) keputusan bagi perbaikan pembelajaran, (2) keputusan bagi guru dan
siswa, dan (3) keputusan terkait sistem managemen, kualitas manager dan staf
managemen sekolah (Ornstein&Hunkins,1988:253), serta keputusan tentang
kurikulum dan implementasinya dalam pembelajaran.
Sciven menegaskan perlunya evaluasi dijadikan bagian dari pengambilan
keputusan, karena evaluator adalah orang yang tepat untuk memberikan
pertimbangan berdasarkan hasil evaluasi. Ide ini disokong Stake yang
menganjurkan pemakaian kedua pendekatan dalam mengevaluasi kurikulum
(Miller&Seller,1985:306). Ini berarti hasil evaluasi, baik dari pendekatan
saintistik maupun humanistik, bisa diterima karena hasil akhir suatu evaluasi
saintistik juga melibatkan hasil pertimbangan evaluastor. Karena itu, dalam
praktek, menurut Miller dan Seller (1985:305), evaluasi kurikulum memakai
pendekatan di antara kedua pendekatan tersebut.
Evaluasi bisa juga didekati dengan mengevaluasi dokumen kurikulum dan
implementasinya dalam kelas secara terpisah. Scriven menamakan tipe pertama
intrinsic evaluation yang merupakan jawaban atas pertanyaan, ”Betapa baik suatu
rancangan kurikulum ?” Kriteria evaluasi intrinsik mencakup, misalnya, tujuan,
konten, kegiatan belajar, pengalaman belajar, evaluasi dan lain-lain yang
direncanakan dalam suatu kurikulum (Ornstein&Hunkins,1988:254). Artinya,
ditilik dari segi (dokumen) kurikulum, evelausi untuk menjawab petanyaan,
Ӏpakah kurikulum itu sudah sesuai dengan persyaratan sebagai suatu rancangan
kurikulum sehingga layak untuk diimplementasikan di sekolah?”.
Kalau ternyata suatu kurikulum sudah layak dilaksanakan dalam
pembelajaran, dampak implementasi kurikulum itu perlu pula dievaluasi. Tipe
21
evaluasi ini disebut pay-off evaluation oleh Scriven. Evaluasi pay-off terkait
dampaknya, bukan saja terhadap hasil belajar siswa, tetapi juga yang relevan
dengan guru, sekolah, administrator dan orang tua (Ornstein& Hunkins,1988:
254). Evaluasi tipe ini dianggap sebagai suatu evaluasi yang strategis karena hasil
evaluasi inilah yang menunjukkan apakah suatu rencana kurikulum menghasilkan
pembelajaran siswa sesuai tujuan kurikulum itu.
Tetapi ada kritik dari penyokong evaluasi intrinsik yang meragukan hasil
evaluasi pay-off yang bisa saja kurang terpercaya karena kelemahan instrumen
dan scoring yang dipakai. Apalagi, evaluasi pay-off lebih fokus pada evaluasi
jangka pendek sehingga kurang memperhatikan hasil jangka panjang kurikulum
(Ornstein&Hunkins,1988:255). Posisi kita ialah kedua tipe evaluasi tersebut dapat
dilakukan, sebab kalau hanya evaluasi instrinsik saja, kita hampir pasti hasilnya
baik karena rancangan kurikulum biasanya disusun para ahli kurikulum. Karena
itu, kita menganggap penting kedua tipe evaluasi tersebut dilakukan sehingga dari
hasil kedua tipe evaluasi itu, evalautor dan pendidik dapat memperoleh masukan
tentang kekuatan dan kelemahan (rancangan) kurikulum sebelum dilaksanakan,
dan efektiftasnya setelah dilaksanakan dalam pembelajaran di sekolah.
Pendekatan lain ialah melakukan evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
Evaluasi formatif dilakukan ketika kurikulum dalam proses perencenaan atau
ketika kurikulum sedang diujicoba sehingga perbaikan dapat langsung dilakukan
jika ditemukan kelemahan. Evaluasi sumatif dilakukan setelah kurikulum
dilaksanakan berdasarkan hasil asesmen dari prestasi belajar siswa. Hasilnya bisa
menggambarkan postur kurikulum secara keseluruhan. Implikasi pendekatan
evalausi formatif dan sumatif ialah sebelum rancanagn kurikulum diimplemantasi,
dilakukan evalausi formatif beberapa kali sampai kita yakin bahwa rancangan
suatu kurikulum sudah baik dan layak untuk dilaksanakan dalam pembelajaran.
Tipe-tipe Evaluasi Kurikulum
Evaluasi Formatif
Ketika guru mengukur perolehan pengetahuan dan keterampilan siswa
bagi pengambil keputusan tentang kurikulum dan pembelajaran, dia perlu
melakukan evaluasi formatif (Parkay,et.al.,2010:358). Menurut Scriven, evaluasi
formatif adalah evaluasi mengenai kurikulum dan pengajaran itu sendiri (Miller&
22
Seller,1985:299). Tujuannya ialah untuk memperbaiki program pendidikan atau
proses pembelajaran.
Evaluasi formatif, sesuai dengan namanya, merupakan bagian yang
integral dari proses perencanaan kurikulum dan pengajaran, walaupun keputusan
perbaikan program itu baru dapat dilakukan setelah program itu dilaksanakan
berdasarkan umpan balik yang diterima melalui evaluasi sumatif. Tetapi, evaluasi
foramtif bisa juga dilakukan sementara program baru atau yang sekarang berlaku
sedang berjalan dengan fokus pada siswa dan guru (Orstein&Hunkins,2013:252).
Karena itu, administrator pendidikan perlu mendorong guru melakukan evaluasai
formatif waktu dia mengajar. Sasarannya ialah meninjau ulang sub-unit
kurikulum tertentu yang sedang berlangsung dan ditest hasilnya secara cepat
untuk mengukur pemahaman siswa tentang sub-unit itu (Ornstein&Hunkins:
2013:252). Selain itu, dengan evaluasi formatif, guru dapat pula mengukur sikap
siswa terhadap mata pelajaran (Parkay,et.al.,2010:358). Dengan demikian,
evaluasi formatif, menurut Orstein&Hunkins (2013:252) memungkinkan pendidik
memodifikasi, menolak atau meneruskan program oendidikan yang sedang
berjalan itu.
Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif menilai efektifitas kurikulum dan pengajaran yang
diimplementasikan sesuai dengan rancangan kurikulum. Fokus utama evaluasi
sumatif ialah apa hasil kurikulum terhadap pembelajaran siswa; evaluasi sumatif
berkaitan dengan manfaat kurikulum dan implementasinya dalam pembelajaran
itu sendiri (Saylor&Alexander:299). Evalusai sumatif juga untuk menentukan
peringkat siswa pada akhir unit, semester atau tahun dan memutuskan apakah
siswa siap untuk melanjutkan pelajaran (Parkay,et.al.,2010:358). Dari uraian
tersebut terlihat bahwa kedua tipe evaluasi itu berperan sebagai penyedia
informasi tentang kelemahan kurikulum selama dalam proses pengembangan
(formatif) dan efektifitasnya setelah diimplementasikan (sumatif).
Jadi, evaluasi sumatif tidak mencari penyebab sesuatu yang ditemui dalam
program. Evaluasi sumatif hanya melihat kegunaan program secara menyeluruh,
hasil akhir dari program yang sudah selesai, baik yarig diperoleh dari dalam
maupun luar sekolah. Seringkali evaluasi formatif mencari hal-hal yang spesifik
23
yang digunakan bagi revisi program yang belum selesai. Evaluasi ini
memungkinkan pengembang kurikulum mengadakan revisi untuk memperbaiki
program sebelum program itu selesai (Miller& Seller, 1985:299).
Sebenarnya, perbedaan kedua tipe evaluasi ini tidak selalu mudah
dibedakan, sebab evaluasi sumatif dapat memberikan data yang bermanfaat bagi
revisi perencanaan kurikulum, formulasi perencanaan baru, menambah atau
mengurangi konten atau mata pelajaran, seleksi konten baru, perbaikan tujuan
kurikulum dan instruksional, dan lain sebagainya. Perbedaan antara kedua tipe
evaluasi tersebut lebih banyak terletak pada tujuan dan waktu evaluasi daripada
metode atau teknik evaluasi. Walaupun begitu, klasifikasi Scriven atas kedua
evaluasi ini menekankan pentingnya melakukan proses evaluasi sebagai bagian
dari perencanaan kurikulum itu sendiri (Saylor&Alexander,1974: 299-300).
Miller dan Seller setuju bahwa perbedaan kedua macam evaluasi ini
kadang-kadang tidak jelas. Umpama, evaluasi sumatif mungkin menunjukkan
kegagalan program yang tidak efektif itu. Dalam hal ini, revisi program ini pada
dasarnya dapat dianggap sebagai evaluasi formatif. Oleh karena itu, perbedaan
kedua bentuk evaluasi ini terletak pada cara pelaksanaan evaluasi, apa yang akan
dievaluasi, dan bagaimana hasil evaluasi itu akan dimanfaatkan (Miller&Seller,
1985:299).
Konsepsi evaluasi menurut Tyler (1949) merupakan "cyclic review" yaitu
semua program dievaluasi secara regular. Evaluasi kurikulum ini sama prinsipnya
dengan evaluasi sumatif, karena evaluasi anjuran Tyler tersebut dirancang untuk
sejalan dengan kelanjutan program dan termasuk kebijaksanaan sekolah. Penting
untuk mencek apakah semua program belajar yang direncanakan betul-betul
berjalan baik untuk membimbing guru agar mencapai hasil yang diinginkan.
Inilah tujuan evaluasi dan alasan mengapa proses evaluasi diperlukan setelah
rencana program pengajaran siap dibuat (Tyler, 1949:105).
Cronbach (1982) menganggap bahwa evaluasi sumatif tidak efektif, karena
sekali program pendidikan dan pengajaran diadaptasi untuk dilaksanakan dan
yakin akan berhasil mencapai sasaran yang diinginkan, sedikit sekali
kemungkinari hasil evaluasi sumatif merubah program itu. Menurut Cronbach
(1982:3) program yang telah mapan biasanya "immune" terhadap evaluasi.
24
Selanjutnya Cronbach menganggap evaluasi kurikulum adalah suatu komponen
dari proses pengambilan keputusan. Evaluasi, menurut Cronbach, secara garis
besar merupakan kumpulan dan penggunaan informasi bagi: (1) pengambilan
keputusan mengenai program pendidikan, dan (2) perbaikan program kurikulum
dan pengajaran. Lewy memberikan gambaran yang spesifik tentang bagaimana
evaluasi dapat menjadi formatif dalam proses pengembangan kurikulum.
Evaluasi, pada dasarnya, adalah penyediaan informasi untuk memperlancar proses
pengambilan keputusan pada beberapa tingkat pengembangan kurikulum.
Informasi ini mungkin berguna bagi program pengajaran secara keseluruhan atau
hanya bermanfaat untuk beberapa komponen suatu program. Evaluasi juga berarti
seleksi kriteria, koleksi data dan analisis data (Miller&Seller, 1985: 302).
Model-Model Evaluasi
Pada bagian ini dikemukakan beberapa model evaluasi kurkulum. Seperti
dimaklumi, pada setiap model melekat asumsi dasar pembuat model itu sendiri
tentang kurikulum, dan barangkali juga tentang pendidikan. Melekat juga pada
tiap model evaluasi itu bentuk data yang dikumpulkan, cara data itu dianalisis,
refleksi orientasi kurikulum, dan evaluasi.
Model Deskrepensi Provus
Model Deskrepensi (Descrepancy Model) yang dikembangkan Malcom
Provus (1972) didasarkan pada asumsi bahwa program evaluasi mencapai dua
tujuan: (1) proses pengembangan program, dan (2) cara mengkaji manfaat
program (Miller& Seller,1985: 310-318). Model ini dianggap model mendasar,
karena mengkaji kemungkinan adanya kesenjangan antara yang diharapkan dan
kenyataan. Model ini mengaitkan evaluasi dengan teori managemen sistem yang
terdiri atas empat tingkat : (1) menentukan standar program, (2) menentukan
unjuk kerja program, (3) membandingkan unjuk kerja dan standar, dan (4)
menetapkan apakah terdapat kesenjangan antara unjuk kerja dan standar.
Informasi tentang kesenjangan yang ada harus dilaporkan kepada
pengambil keputusan untuk dilakukan tindakan pada tiap tingkat. Keputusan dapat
berupa terus ke tingkat berikut, kembal ke tingkat sebelumnya, lanjutkan program,
modifikasi unjuk kerja atau standar, atau akhiri program. Adalah tugas evaluator
25
untuk melaporkan kepada pengambil keputusan tentang masalah yang ada disertai
rekomomendasi tindakan perbaikan yang tepat agar efektifitas program tidak
terganggu. Dengan demikian, jika kesenjangan ditemukan, adalah tugas
pengambil keputusan untuk menentukan perbaikan yang perlu dilakukan
(Ornstein & Hunkins,1988:257).
Informasi yang terkumpul disediakan bagi dua tingkat pengambil
keputusan: (1) personel program yang bertanggung jawab pada organisasi
persiapan pengembangan dan implementasi program sekolah, dan (2)
personel pada tingkat pengambil keputusan atau pada tingkat administrasi. Kaitan
antara ke dua tingkat ini dihubungkan oleh evaluasi, yang menurut Provus, adalah
"pelayan" pengembangan program dan "penasehat yang diam" dari administrator,
tetapi bekerja menurut "aturan permainannya" sendiri terlepas dari kekuasaan unit
program (Miller&Seller,1985:310).
Evaluasi, menurut model ini, merupakan perbandingan antara hasil
program yang sebenarnya dan standard yang ditetapkan. Perbandingan antara
unjuk kerja program dan standard disebut deskrepensi (perbedaan). Evaluasi harus
dapat memberikan informasi tentang perbedaan ini dan pengambil keputusan
dapat bertindak berdasarkan deskripensi itu. Diagram 13.2 menunjukkan lima
deskrepensi yang merupakan inti pokok model ini dengan keterangan bagi tiap
tingkat seperti termuat dalam Miller dan Seller (1985:311-13).
Tingkat Unjuk Kerja StandardI Disain Program
Dimensi InputGimensi ProsesDimensi Output
Kriteria Disain
II Operasi Program Disain ProgramDimensi InputDimensi Proses
III Produksi InterimProgram
Disain ProgramDimensi ProsesDimensi Output
IV Terminal ProgramProduksi
Disain ProgramDimensi Output
V Biaya Program B iaya Program lain dengan Produksi yang sama
Diagram 13.2 : Evaluasi Kurikulum Provus(Seller&Miller,1985:311)
26
Tingkat 1: Standard program yang dievaluasi ditetapkan. Pada tingkat ini
diadakan perbandingan disain program dan kriteria yang telah ditentukan.
Kriteria ini mengharuskan program didiskripsikan menurut komponen dalam tiga
hal: input atau kondisi awal: proses, kegiatan yang direncanakan bagi staf dan
siswa; dan output atau tujuan. Selain deskripsi tiap elemen unjuk kerja itu,
program menunjukkan standar kriteria sebagai tolok ukur keberhasilan program.
Provus menganjurkan agar pada perbandingan pertama, program ditinjau
dari seperangkat elemen yang berpasangan-pasangan; satu pasangan mencakup
input dan output. Sejalan dengan ini, timbul pula proses yang membawa
perubahan dari input menjadi output.
Tingkat 1 ini diharapkan menjawab dua pertanyaan (1) Adakah informasi
yang lengkap tentang setiap elemen dari disain program?, (2) Apakah informasi
dalam bentuk yang bermanfaat? Konsistensi internal dikaji untuk menentukan
apakah program itu memadai; yang mencakup, pengecekan dan pengkajian
sumber-sumber untuk mengajar dan pengembangan profesional, kemungkinan
proses yang direncanakan dapat menghasilkan perubahan yang diinginkan, dan
aspek-aspek lain program lain. Kosistensi eksternal juga dicek, yang mencakup
kompatibilitas program baru dengan program-program lain dalam sistem sekolah
itu. Pengkajian ini dilakukan pada tingkat pertama agar ketidaksesuaian yang
timbul antara program-program yang ada bisa diketahui dan juga untuk
meyakinkan bahwa program baru sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
sistem sekolah itu.
Setelah tingkat 1 selesai, penilai mengidentifikasi deskrepensi yang ada
antara kriteria dengan disain program. Deskrepensi yang ditemui dilaporkan
kepada pengambil keputusan yang akan menetapkan apakah perbedaan yang ada
itu dapat diterima atau disain program itu harus direvisi. Keputusan harus diambil
pada tahap ini karena disain program menjadi standard bagi tahap lebih lanjut.
Tingkat 2: Tingkat 2 membandingkan antara hasil program dan disain.
Jadi, kondisi yang timbul dalam kelas dibandingkan dengan yang direncanakan
program, dan perbedaan yang ditemui dilaporkan kepada pengambil keputusan
yang akan memutuskan apa yang harus dilakukan. Tugas penilai hanya
melaporkan deskrepensi yang ada.
27
Tingkat 3: Tingkat 3, yang dinamakan proses evaluasi tingkat mikro
(microlevel evaluation), mengkaji proses dan hasil untuk menentukan hubungan
sebab-akibat. Jika proses tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, proses itu
harus diperbaiki. Pada tingkat ini, penilai diharapkan dapat memberikan
keterangan terhadap masalah yang ditemui.
Tingkat 4: Pola evaluasi tingkat makro (macrolevel evaluation), melihat
dampak program secara keseluruhan terhadap perubahan tingkah laku siswa yang
dikaj untuk mengetahui apakah program telah mencapai sasaran. Hal-hal yang
ditemui pada tingkat sebelumnya dapat membantu evaluasi tingkat 4. Provus
mendakwa bahwa di sini letak keunggulan model ini, karena pada model evaluasi
lainnya proses evaluasi baru mulai pada tingkat 4 ini.
Tingkat 5: Provus menganjurkan agar semua data dikumpulkan, dan
dibandingkan antara program yang dievaluasi dan disain lain yang menuju sasaran
yang sama. Tujuan perbandingan ini adalah untuk mengetahui apakah program ini
memberikan keuntungan yang berarti dalam bentuk uang.
Model Countenance Stake
Model ini menekankan perlunya deskripsi dan observasi dalam evaluasi
karena menurut Stake, agar dapat dipahami secara penuh, program pendidikan
harus diseskripsi dan dipertimbangkan (judged) secara lengkap (Brady&Kennedy,
2007:158). Berdasarkan ide itu, Stake (1967) mengajukan Countenance Model
yang didisain untuk mengumpulkan semua data yang relevan dan diberikan
kepada orang yang memerlukan data untuk evaluasi (Miller&Seller,1985:313-17).
Data tersebut, antara lain, tentang informasi deskriptif yang lengkap termasuk data
mengenai hasil belajar siswa, deskripsi proses instruksional dan hubungan antara
kedua data tersebut Selain itu, data pertimbangan (judgement) harus pula
terkumpul, yaitu opini dari grup-grup masyarakat, dan pakar mata pelajaran. Dari
opini orang-orang inilah muncul standar evaluasi.
Bagan 12.3 memperlihatkan susunan dan jenis informasi yang dibutuhkan
secara lengkap. Kotak rasional merupakan statemen mengenai tujuan utama dan
orientasi program. Data yang lain terbagi menjadi dua kotak: deskripsi, dan
pertimbangan. Masing-masing kotak terbagi dua pula. Untuk kotak deskripsi:
tujuan program, dan observasi mengenai yang terjadi dalam kelas. Kotak
28
pertimbangan juga terbagi dua: standard, pertimbangan berupa statemen tentang
bagaimana perbedaan antara hasil program, seperti tertera pada observasi, dengan
standard (Miller&Seller,1985:314).
Rasional
Tujuan Observasi Standar Pertimbangan
Antiseden
Transaksi
Hasil
Deskripsi Pertimbangan
Diagram 13.3Susunan Data (Mille&Seller,1985:315)
Untuk memudahkan analisis dan susunan data, semua data diklasifikasi
menjadi tiga kelompok seperti terlihat pada Diagram 13.4. Antiseden adalah
kondisi yang ada sebelum program pelajaran dimulai. Transaksi adalah dinamika
proses belajar-mengajar sebagai hasil interaksi antara siswa, guru, dan materi, dan
lingkungan belajar di kelas. Keluaran adalah hasil proses belajar-mengajar berupa
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai.
Proses analisis data untuk setiap kotak (deskripsi dan pertimbangan)
berbeda. Data pada kotak pertama (deskripsi) diproses menurut dua cara: (1)
menentukan kesesuaian antara dua bentuk informasi: tujuan dan observasi;
Terdapat kesesuaian jika apa yang diinginkan (tujuan) terjadi (observasi); (2)
Antara tujuan dan observasi, hubungan antara antisidens, transaksi, dan keluaran
dikaji pula. Secara ideal, keluaran timbul sebagai hasil antisidens dan transaksi.
Jika dapat diketahui bahwa transaksi adalah kegiatan logika berdasarkan kondisi
29
awal (antisiden), maka transaksi adalah kontingensi (contigency) logika dari
antisidens. Begitu juga halnya kontingensi timbul jika keluaran merupakan
ekspektasi logika transaksi. Untuk data tujuan, kriteria yang dipakai untuk
mengevaluasi kontingensi adalah logika, sedangkan untuk data observasi dipakai
empiris (lihat Digram 13.4).
Diagram 13.4Proses Data Deskriptif
(Miller&Seller, 1985:310)
Data dari kotak ke dua (pertimbangan) diproses dengan cara berikut:
seperangkat standar yang dihimpun dari berbagai sumber dipakai sebagai kriteria
evaluasi. Standar ini diaplikasikan pada antisidens, transaksi, dan keluaran. Yang
dievaluasi adalah berapa jauh standar tersebut tercapai. Standar ini disebut
perbandingan absolut sedangkan, perbandingan program dengan program lain
disebut perbandingan relatif (Diagram 13.5).
Model Evaluasi Stake
Model Evaluasi Stake menekankah evaluasi proses belajar-mengajar di
dalam kelas yang berorientasi transaksi. Hasil transaksi ini, menurut Stake, tidak
harus berupa keluaran tingkah laku; dapat berupa keluaran apa saja, termasuk
yang taksonomik dan humanistik (Miller dan Seller, 1985: 317).
30
Antisedenyang diinginkan
Antisedensyang
diinginkan
Keluaranyang
diinginkan
Transaksiyang
diinginkan
Keluaran yang
diobservasi
Antisedensyang
diobservasi
Data Deskriptif
Kesesuaian
Kesesuaian
Kesesuaian
Kontigensi logika
Kontigensi logika
Kontigensi Empiris
Kontigensi Empriris
Data deskriptif dari
Program lain
Standar keunggulan
Perbandingan Absolut
Diagram 13.5Proses Data Pertimbangan (Miller&Seller,1985:318)
Model ini sesuai dengan namanya, studi kasus, fokus pada evaluasi situasi
pendidikan yang spesifik dengan spesifikasi: (1) deskripsi berbagai ragam
variabel yang selalu tidak bisa dipisahkan, (2) data berasal dari observasi personal,
(3) komparasi bisa implisit dari pad eksplisit, (3) pngutamaan pemahaman tentang
kasus itu sendiri, dari pada hipotesis yang biusa dites, (4) generalisasi yang
merupakan produk dari pengalaman evaluator (berupa tacit knowledge tentang
bagaimana, mengapa dan bagaimana orang mengalamainya), dan (5) format
pelaporan evalausi yang bersifat informal (Brady& Kennedy,2007:260).
Stake menegaskan keunggulan studi kasus dalam mengevaluasi kurikulum
dibandingkan dengan model evaluasi kurikulum lain yang umumnya
mengahasilkan generalisasi dari situasi pendidikan yang dipipisah-pisah.
Model CIPP Stufflebeam.
Komite Pengkajian Nasional Phi Delta Kappa tentang Evaluasi (The Phi
Delta Kappa National Study Committee on Evaluation) yang diketuai Daniel L
Stufflebeam mengajukan model evaluasi berbasis managemen (1970). Premis
yang mendasari model evaluasi ini ialah bahwa evaluasi bertujuan membantu
pengambil keputusan dalam upaya perbaikan kurikulum dalam suatu sistem
sekolah (Miller&Seller,1985:317). Model ini terkenal dengan nama "CIPP
Model." yang adalah akronim dari Context, Input, Proses dan Product. Model
CIPP bertumpu pada definisi evaluasi yang mereka ajukan yaitu proses
penggambaran, perolehan, dan penyediaan informasi yang berguna bagi
31
Data deskriptif dari
Satu Program
Pertimbangan
Perbandingan Relatif
penetapan beberapa alternatif keputusan (Oliva,1982:1988). Menurut
Orntein&Hunkins (1988:261), model CIPP dianggap suatu model evaluasi
kurikulum yang komprehensif karena model ini tidak fokus pada evaluasi produk
sumatif saja, tetapi juga pada evaluasi formatiif. Selain itu model CIPP
merupakan suatu proses yang berkelanjutan (continuous) dengan tekanan pada
evaluasi formatif dari ada evaluasi sumatif (Orntein&Hunkins,1988:261;
Miller&Seller,1985:317). Karena model evaluasi CIPP memandang evaluasi
sebagai proses berkelanjutan, model ini menetapkan tujuan, metode, dan saling
kaitan antara tiap-.tipe evaluasi dengan pengambilan keputusan dalam konteks
proses perubahan untuk meningkatkan efektifitas kurikulum.
Ada empat tipe keputusan kurikulum dalam model ini: (1) keputusan
perencanaan, (2) keputusan strukturisasi, (3) keputusan implementasi, dan (4)
keputusan daur ulang. Berkorespondensi dengan keeempat tipe keputusan tersebut
terdapat pula empat tipe evaluasi: (1) evaluasi konteks, (2) evaluasi input, (3)
evaluasi proses, dan (4) evaluasi produk. Bagan 7 menunjukkan empat tipe
evaluasi dan empat tipe keputusan.
INTENDED (Direcanakan) ACTUAL (Direalisir)
ENDS
(Tujuan)
MEANS
(Cara)
PLANNING DECISIONS
(Menetapkan tujuan)
Evaluasi Konteks
RECYCLING DECISIONS
(Menimbang & merespon
pencapaian tujuan)
Evaluasi Produk
STRUCTURING DECISIONS
(Mendisain prosedur)
Evaluasi Input
IMPLEMENTING DECISIONS
(Melaksanakan,mengontrol&
menyempurnakaprosedur)
Evaluasi Produk
32
Bagan 7: Tipe Keputusan & Evaluasi CIPP (Orstein&Hunkins,1988:262)S
Pertama, evaluasi konteks, merupakan bagian awal dari program evaluasi,
yang fokus pada kajian lingkungan program, yang menurut Stufflebeam,
merupakan tipe evaluasi yang paling utama (Orsntein&Hunkins, 1988:261).
Tujuannya evaluasi konteks mengkaji rasional tentang alasan yang mendasari
penetapan tujuan program dengan mengkaji lingkungan kurikulum dan
mengidentifikasi tujuan yang tidak tercapai dan alasannya (Oliva,1982:442),
dalam kondisi dan situasi tempat program itu dilaksanakan. Tipe evaluasi ini
merupakan suatu analisis situasi: memahami realitas situasi tempat lingkungan
pendidikan berlangsung dan asesmen realitas tersebut dalam kaitannya dengan
program pendidikan yang akan dilaksanakan. Evaluasi konteks tentu bukan satu
kali kegiatan saja, tetapi terus menerus menyediakan informasi tentang
kelangsungan dan penyelesaian program. Berdasarkan itu evaluasi kontek yang
terkait kajian lingkungan program, menurut Stufflebeam, merupakan tipe evalausi
yang paling utama (Orsntein&Hunkins, 1988:261). Stufflebeam menganjurkan
dua hal yang perlu dievaluasi pada evaluasi konteks: (1) studi kekuatan pada
lingkungan pendidikan yang kemungkinan berpengaruh besar pada kurikulum dan
sistem sekolah, dan (2) kesesuaian antara performa kurikulum sekolah yang
direncanakan dan yang performa yang terealisir.
Keputusan perencanaan (planning decicion) fokus pada mengkaji
lingkungan pendidikan: apakah menghentikan, merubah, atau meneruskan
program. Jika tidak perlu perubahan, evaluasi berakhir di sini; tetapi jika ada
perubahan, evaluasi dialanjutkan dengan evaluasi input, maka perlu ada tipe
kedua yaitu keputusan struktur (Miller&Seller,1985:319).
Kedua, evaluasi input, bertujuan untuk memperoleh informasi dan
menyajikan keterangan yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan cara-cara
memanfaatkan sumber daya untuk mencapai tujuan. Ini berarti, evaluasi input
mempertimbangkan berbagai sumber daya yang tersedia di lembaga penanggung
jawab program, strategi yang digunakan dalam melaksanakan program, serta
rencana bagaimana caranya agar strategi tersebut bisa dilaksanakan dengan baik
(Orsntein&Hunkins, 1988:261). Beberapa alternatif strategi implementasi, sumber
daya sekolah dan berbagai disain program dikaji untuk menemukan cara yang
33
paling efektif dan ekonomis untuk mencapai tujuan progam
(Oliva,1982:442;Miller&Seller,1985:319). Dapat dikatakan bahwa tipe evaluasi
ini adalah semacam procedural feasibility (Orsntein&Hunkins, 1988:263).
Berlainan dengan evaluasi konteks, evaluasi input bersifat ad hoc dan
mikroanalisis dari pada sistematik dan makroanalitik (Orsntein&Hunkins,
1988:263). Selama evaluasi input berjalan, dikaji beberapa strategi altematif
implementasi. Dapat dipahami, dari hasil kajian ini, alternatif yang paling efektif
dan efisien dipilih. Kalau pilihan telah ditetapkan, maka semua informasi yang
relevan bagi keberhasilan program ini dikumpulkan; evaluasi berakhir di sini dan
program itu diimplementasikan.
Ketiga, evaluasi proses, untuk menetapkan kesesuaian antara kegiatan
kurikulum yang direncanakan dan yang dilaksanakan. Stufflebeam mengajukan
tiga strategi dalam evaluasi proses: (a) Mendeteksi atau memprediksi kelemahan
disain prosedur implementasi selama pelaksanaan program dan apakah perlu
modifikasi disain prosedur itu, misalnya, dengan mengidentifikasi atau memonitor
secara berkelanjutan hal-hal yang berpotensi menghambat kelancaran program
seperti logistik, fasilitas pendukung, kemampuan staf dan waktu pelaksaan
program serta kelancaran komunikasi antara personil terkait dengan pelaksanaan
keseluruhan program. (b) Memproyeksi dan memfasilitasi keputusan yang
direncanakan bagi kelancaran pelaksanaan program, seperti pnyiapan tes dan
latihan yang diperlukan bagi guru dan tenaga pelaksana program sebelum
implementasi program. (3) Memfokuskan perhatian pada hal yang terkait
langsung dengan prosedur pelaksanaan program seperti konten dan kegiatan
belajar siswa, metodologi atau strategi instruksional yang telah dirancang dan
waktu yang ditetapkan bagi pelaksanaan kegiatan program (Orsntein&Hunkins,
1988:263). Dengan berbekal informasi dari hasil pelaksanaan ketiga strategi pasda
evaluasi proses, keputusan yang perlu ditetapkan dalam tahap evaluasi ini ialah
mengantisipasi dan menetapkan jalan keluar bagi pemecahan malasalah
prosedural serta menetapakn keputusan yang tepat sebelum program
diimplementasikan.
Keempat, evaluasi produk, fokus pada pengumpulan data untuk menentukan
apakah kurikulum yang dilaksanakan menghasilkan pembelajaran siswa sesuai
34
rancangan atau disain kurikulum. Berdsarkan informasi dari evaluasi produk
tersebut, evaluator dapat menentukan apakah akan meneruskan, mengganti atau
memodifiaksi kurikulum (Orsntein&Hunkins,1988:263). Ini berarti bahwa
keputusan daur ulang (recyling decisions) dibuat setelah efektifitas perubahan
timbul untuk menentukan apakah perubahan diperlukan atau dimodifikasi untuk
diulang kembali (Miller&Seller,1985:319). Kalau siswa mencapai hasil belajar
yang sesuai dengan yang direncanakan, program siap untuk diimplementasikan.
Perlu ditambahakan bahwa evaluasi proses dan produk dapat dilakukan
serentak, walau keduanya mengkaji aspek yang berbeda dari program baru.
Evaluasi proses diadakan untuk menetapkan kecocokan antara yang direncanakan
dengan yang betul-betul terjadi, termasuk juga prosedur impementasi, metode,
dan kegiatan belajar siswa. Sedangkan evaluasi produk menyelidiki hasil program
yang dibandingkan dengan hasil yang dituju dalam program. Kriteria yang dipakai
bagi perbandingan keduanya, bersumber pada tujuan-tujuan program dan semua
informasi yang dapat diperoleh dari hasil kajian ketiqa evaluasi lainnya, yaitu
evaluasi konteks, input, dan proses. Selanjutnya, informasi yang diperoleh dari ke
dua macam evaluasi yang terakhri dipakai untuk keputusan daur ulang, recyling
(Miller& Seller,1985:319-22;Oliva,1982:442-446;Doll,1986:240-41).
Model Surrogate Experience Kemmi
Model evaluasi Kemmis didasarkan pandangan bahwa kurikulum tidak
bisa diases secara tepat dan secara objektif, tetapi memerlukan evaluasi yang luas
dengan mengkaji banyak variabel (Brady&Kennedy,2007). Tugas evaluator
haruslah mengungkapkan kurikulum apa adanya dengan menunjukkan potret
kurkulum: hakekatnya, isu-isu tentang kurikulum, dan orang-orang yang
mengimplementasikan kurikulum. Potret kurikulum tersebut harus
mendeskripsikan kompleksitas dan pola pengalaman belajar yang dihasilkan
kurikulum sehingga memberikan semacam pengalaman (surrogate) pula kepada
audience. Sasarannya ialah menunjukkan betapa komplek dan beragamnya realita
yang ada sekitar kurikulum sehingga tidak begitu mudah dipahami jika evaluasi
hanya didasarkan pada hasil asesmen melalui hasil tes dan instrumen evaluasi
lainnya. Kemmis percaya keberhasilan model ini tergantung pada kemampuan
komunkasi evaluator. Dia menyamakan tugas pemotretan evaluator tersebut
35
dengan artis yang terampil menggunakan bahasa dalam menciptakan pemahaman
yang mendalam tentang dunia pendidikan (Brady&Kennedy,2007). Terlihat
bahwa model evaluasi ini mengutamakan dimensi kemanusiaan yang sarat dengan
nuansa pendekatan psikologi humanis dan penelitian kualitatif.
Kesimpulan
Pada Bab ini telah dibicarakan evaluasi sebagai bagian integral dari
kurikulum. Pembicaraan dimulai dengan perkembangan konsep evaluasi, sejak
dari pengertian evaluasi dalam arti sempit sampai arti luas (komprehensif).
Dibicarakan juga hal-hal yang terkait dengan peran, dan fungsi evaluasi dalam
pengembangan kurikulum serta pendekatan dan model-model evaluasi
kurikulum. Dari uraian tersebut terlihat bahwa evaluasi memegang peran penting
dalam pengembangan kurikulum berdasrkan kenyataan bahwa evaluasi bisa
memberikan indikator tentang tingkat kjeberhasilan proses pembelajaran. Artinya,
evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum yang memberikan informasi
kepada pengambil keputusan di bidang pendidikan tentang tingkat keberhasilan
pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Berdasarkan hal itu, dapat kita pahami bahwa evaluasi bukan hanya terkait
dengan asesmen hasil belajar siswa yang memberikan informasi yang berharga
kepada perancang dan pelaksana kurikulum tentang kelayakan kurikulum sebelum
dilaksanakan (evaluasi intrinsik dan evaluasi formatif) serta efektifitas kurikulum
setelah dilaksanakan (evaluasi produk atau evaluasi sumatif). Tetapi juga
memberikan informasi yang berharga kepada pengambil keputusan di bidang
pendidikan tentang berbagai hal terkait dengan proses pembelajaran, administrator
pendidikan dan sekolah, fasilitas pendukung, alat batu belajar dan hal-hal terkait
dengan informasi tentang cara-cara perbaikan kurikulum, pembelajaran dan
managemen pendidikan dan sekolah.
Sebagai penutup, pada Bab ini dikemukakan beberapa model evaluasi
kurikulum yang kalau didalami bisa memberikan pemahaman kepada kita bahwa
melalui evaluasi, kesehatan pendiddikan (education health) bisa terdeteksi dan
berdasarkan informasi itu bisa dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan pada
dokumen kurikulum dan proses pembelajaran. Berdasarkan hal itu, dapat
36
dikatakan bahwa evaluasi bisa berfungsi sebagai an early warning system tentang
kesehatan pendidikan.
37
38
Top Related