BAB 11 Konsep Ilmu Dalam Islam

49
BAB X KONSEP ILMU DALAM ISLAM A. Pengertian Ilmu Istilah “ilmu” ekuwivalen dengan science, dalam Bahasa Inggris dan Perancis, wissenschaft (Jerman) dan wetenschap (Belanda), berarati “tahu”. Istilah “ilmu” sendiri berasal dari Bahasa Arab ‘alima’ yang juga berarti tahu. Jadi secara etimologi ilmu berarti pengetahuan. Namun secara terminologis terdapat perbedaan antara definisi yang dikemukanan oleh para tokoh ilmuwan pada umumnya, dengan definisi yang dikemukakan oleh ilmuwan Islam. Anshari (1985:47-49) mengutip beberapa definisi ilmu/science yang dikemukakan oleh para ahli. Misalnya Karl Pearson dalam bukunya Grammar of Science, merumuskan :”Science is the complete and consistent description of the facts of experience in the simplest possible terms” (Ilmu pengetahuan ialah lukisan keterangan yang lengkap dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana/sedikit mungkin). Baiquni, 1

description

konsep ilmu dalam islam

Transcript of BAB 11 Konsep Ilmu Dalam Islam

BAB XKONSEP ILMU DALAM ISLAM

A. Pengertian Ilmu

Istilah “ilmu” ekuwivalen dengan science,

dalam Bahasa Inggris dan Perancis,

wissenschaft (Jerman) dan wetenschap

(Belanda), berarati “tahu”. Istilah “ilmu”

sendiri berasal dari Bahasa Arab ‘alima’ yang

juga berarti tahu. Jadi secara etimologi ilmu

berarti pengetahuan. Namun secara

terminologis terdapat perbedaan antara definisi

yang dikemukanan oleh para tokoh ilmuwan

pada umumnya, dengan definisi yang

dikemukakan oleh ilmuwan Islam.

Anshari (1985:47-49) mengutip beberapa

definisi ilmu/science yang dikemukakan oleh

para ahli. Misalnya Karl Pearson dalam

bukunya Grammar of Science,

merumuskan :”Science is the complete and

consistent description of the facts of experience

in the simplest possible terms” (Ilmu

pengetahuan ialah lukisan keterangan yang

lengkap dan konsisten tentang fakta

pengalaman dengan istilah yang

sederhana/sedikit mungkin). Baiquni,

merumuskan :”Science merupakan general

concensus dari masyarakat yang terdiri atas

para scientist”, dan masih banyak lagi definisi

1

ilmu yang dikemukakan oleh para ahli.

Dari keterangan-keterangan para ahli

tersebut, ilmu pengetahuan adalah semacam

pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, dan

syarat tertentu, yaitu: sistematik, rasional,

empiris, umum, dan kumulatif (bersusun

timbun). Dengan kata lain, ia merupakan

pemahaman manusia yang disusun dalam suatu

system mengenai kenyataan, struktur,

pembagian, bagian-bagian, hukum-hukum

tentang hal-ihwal yang diselidiki, yang diuji

secara empiris, riset dan eksperimental. Ia

merupakan pengetahuan sistematis dan taat

asas tentang suatu obyek berupa gejala alam,

sosial dan budaya yang dapat diamati

(observable) dan diukur (measurable)

Unsur Esensial Ilmu meliputi : Sistem, yang

berfungsi untuk membatasi obyek studi

sehingga jelas kedudukannya di tengah obyek

lainnya (ontologi). Metode, cara kerja untuk

memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu

(epistemologi) Fakta, pernyataan deskriptif

mengenai gejela yang ada di lapangan. Teori,

seperangkat proposisi yang berhubungan

secara logis serta dinyatakan secara sistematis.

Sementara itu definisi ilmu yang

dirumuskan oleh sarjana pemikir Islam masa

kini, Profesor Syed Muhammad Naquib al-

Attas, dalam beberapa karyanya tentang ilmu

dan pendidikan—salah satunya ialah

2

makalahnya yang disampaikan dalam Festival

Zarrûq (Miħrajân Zarrûq) di Miðrâtah, Libya,

dari 16 hingga 20 Jun 1980, dalam rangka

merayakan Ulang Tahun ke-500 tokoh Sufi

Agung di Afrika Utara, Sîdî Aħmad Zarrûq

(1442-1493). (Moh. Zaidi Ismail, 1981)

Kata al-Attas:

Since all knowledge comes from God and is interpreted by the soul through its spiritual and physical faculties and senses, it follows that knowledge, with reference to God as being its origin, is the arrival (ħuðûl) in the soul of the meaning (ma‘nâ) of a thing or an object of knowledge (ħuðûl ma‘na’l-shay’ fî’l-nafs); and that with reference to the soul as being its interpreter, knowledge is the arrival (wuðûl) of the soul at the meaning of a thing or an object of knowledge (wuðûl al-nafs ilâ ma‘na’l-shay’) (al-Attas, 2001:122).

Definisi di atas jika rumuskan dengan bahasa Indonesia secara bebas adalah: “Ilmu itu tibanya ma‘na sesuatu pada diri, dan berhasilnya diri menyerapinya.”1 Jika dibuat skema, maka definisi tersebut akan nampak sebagai berikut: (Zaidi Isma’il, 2007)

1 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), hlm. 122.

3

Makna Definisi

1. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Pencapaian

Ilmu

Dari definisi tersebut maka dalam usaha

memperoleh ilmu senantiasa melibatkan dua

pihak, yaitu: pihak yang memberinya dan pihak

yang menerimanya. Definisi di atas menjelaskan

bahwa: Allah merupakan Penganugerah ilmu dan

kepahaman; singkatnya, Tuhanlah Sumber Ilmu

yang sebenarnya; sedangkann manusia merupakan

penerima anugerah ilmu dan pengetahuan

tersebut.

Al-Attas merumuskan dengan baik

kefahaman/pengetahuan yang disampaikan oleh

ayat-ayat al-Qur’an berkenaan dengan ilmu dan

cara memperolehnyaa [misalnya sûrat al-‘Alaq

(96): 5]

2.Proses Pencapaian Ilmu

Sementara terkait dengan proses ilmiah yang

melibatkan manusia sebagai penerima ilmu dan

kepahaman itu tadi merupakan satu proses yang

memiliki dua segi sekaligus: Pertama, segi pasif, :

yaitu, segi ħuðûl yang merujuk kepada manusia

4

sebagai penerima ilmu dan yang terpancar pada

bagian definisi tersebut di atas yang berbunyi

“the arrival in the soul of the meaning of a thing or

an object of knowledge”; dan, kedua, adalah segi

aktif: yaitu , segi wuðûl yang merujuk kepada

insan sebagai penuntut atau pencari ilmu (þalib)—

yang pasti memiliki kehendak yang kuat (murid) —

dan yang tercermindalam definisi tersebut yang

berbunyi “the arrival of the soul at the meaning of

a thing or an object of knowledge”.

Meskipun setiap proses ilmiah pasti akan

melibatkan kedua segi di atas, tingkat kekuatan

segi-segi tersebut berbeda-beda menurut manusia

perseorangan dan jenis-jenis ilmu. Ada jenis-jenis

ilmu yang diperoleh dengan usaha yang lebih

melibatkan segi ħuðûl, dan terdapat juga bentuk-

bentuk ilmu yang usaha untuk mendapatkannya

lebih menonjolkan segi wuðûl. Umumnya, ilmu-ilmu

yang segi pasifnya itu lebih jelas dinamakan ilmu

pengenalan/ ilmu makrifat sedangkan ilmu-ilmu

yang segi aktifnya itu lebih nyata dinamakan ilmu

pengetahuan. Ilmu Pengenalan inilah yang pada

asasnya membentuk kumpulan ilmu yang

pencapaiannya menjadi fardu atas setiap muslim

yang mukallaf, yaitu ilmu yang bersifat farð ‘ayn.

(Al-Attas: Islam and Secularism, 138)

3. Ilmu Berbeda dengan Informasi

Informasi diperlukan dalam usaha seseorang

memperoleh ilmu namun informasi semata-mata

5

tidak mencukupi untuk menjadikan seseorang itu

berilmu. Ilmu sebetulnya melibatkan makna dan

kepahaman. Perolehan seseorang akan ilmu

melibatkan perolehan makna yang benar dalam

dirinya, dan pencapaian makna oleh diri ini pada

asasnya berarti pengenalannya akan kedudukan

sesuatu yang sebenarnya dalam satu susunan atau

tatanan (sistem). Hasilnya adalah jika hubungan

perkara itu dengan perkara-perkara yang lain

dalam sistem tersebut menjadi jelas dan difahami

(al-Attas, 1995: 132).

Pemahaman yang betul tentang perbedaan dan

hubungan antara ilmu dan nformasi ini dapat

membantu kita menilai secara yang betul

kedudukan Teknologi Informasi dan Komunikasi —

atau Information and Communication Teknology

(ICT) — dalam ruang-lingkup ilmu dan pendidikan.

Secara ringkasnya, ICT merupakan alat, atau

perantaraan, untuk memudahkan kita

“diinformasikan” (being informed) dan

“menginformasikan ” (informing or to inform).

Proses diinformasikan dan menginformasikan yang

terjadi diantara manusia (sekurang-kurangnya

antara seorang individu dan individu yang lain)

itulah yang pada dasarnya disebut “komunikasi.”

Hal yang diinformasikan itu pula umumnya disebut

“informasi.” Informasi memiliki pelbagai jenis dan

bentuk; diantaranya: angka, data, warna, corak,

gambar, bunyi, suara, lambang, teks, dan lain-lain.

Sarana dan prasarana yang dirancang dan

6

dinamfaatkan untuk memudahkan proses

diinformasikan – dan menginformasikan haruslah

mampu untuk menyampaikan informasi dengan

efektif dengan mempertimbangkan pelbagai

factor.

Bagaimanapun, informasi bukan ilmu walaupun

ia diperlukan untuk mencapai atau melahirkan

ilmu. Peralatan atau sarana teknologi yang

dimaksudkan di atas pada hakikatnya berperanan

memperkuat usaha pelbagai indera — baik yang

berupa aspek luar (yaitu, pancaindera: lihat,

dengar, bau, rasa dan sentuh) maupun aspek

dalam (seperti daya ingatan dan daya khayalan)—

yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia.

Tanggapan inderawi merupakan tahap awal bagi

pemprosesan informasi oleh diri manusia dalam

usaha ilmiah yang menghasilkan makna,

kepahaman dan ilmu. Pemprosesan informasi ke

arah perolehan ilmu ini dinamakan pengabstrakan

(Bahasa Inggris: abstraction).

B. Kewajiban Menuntut Ilmu

Sebelum lahir di dunia ini, tiap orang telah

mengenal Allah sebagai Rabb nya yang mutlak

(Qs., al-A‘raf/ 7: 172) Artinya, mereka mengakui

bahwa diri mereka adalah abdi yang harus taat

kepada-Nya. Untuk menguji sejauh mana

kebenaran pengakuan manusia ketika berada di

alam roh, Allah telah memberikan tanggungjawab

7

agama dalam kehidupan mereka di dunia. Taklif

agama menuntut agar mereka beriman dan

beramal salih, yaitu menunaikan perintah-Nya dan

meninggalkan larangan-Nya.

Dalam tinjauan Islam tiap-tiap perbuatan taklifi

tentu termasuk dalam salah satu dari lima jenis

hukum, yaitu wajib, sunat, mubah, makruh, dan

haram. Wajib berarti diperintahkan Tuhan tidak

boleh tidak harus dikerjakan. Mengerjakannya

dengan niat karena Allah mendapatkan pahala,

meninggalkannya berdosa. Mengerjakannya

merupakan keutamaan dan terpuji,

meninggalkannya merupakan kesalahan dan

tercela.

Dalam satu hadis yang masyhur, Rasulullah

diriwayatkan telah bersabda, “menuntut Ilmu

adalah fardu atas tiap-tiap orang Islam”.

Sehubungan dengan itu Murtada al-Zabidi (w.

1205/1790) merumuskan,

...Sesungguhnya adalah fardu atas manusia supaya ber-Iman. Oleh karena Iman itu hakikatnya terdiri dari rangkuman Ilmu (yang tertentu) dan Amal (yang tertentu); justeru tidaklah tergambar akan wujud Iman melainkan dengan Ilmu dan Amal. Kemudian dari (wajibnya meyakini rukun Iman) itu, mengamalkan cara hidup (shari'ah) Islam adalah kewajiban atas setiap Muslim, dan tidak mungkin menunaikannya melainkan sesudah mencapai (Ilmu) pengenalan dan pengetahuan mengenai shari'ah yang tersebut.

Allah mengeluarkan para hamba-Nya dari perut

ibu mereka dengan sifat tidak mengetahui

8

mengenai sesuatu apapun [al-Nahl, 16: 78]. Karena

itu menuntut Ilmu adalah fardu atas tiap-tiap

Muslim. Tidak bisa mengabdikan diri kepada Allah

—sedangkan ibadah adalah haq Allah atas hamba-

Nya— kecuali dengan Ilmu, dan tidak mungkin

mencapai Ilmu melainkan dengan menuntutnya

(walau dari manapun)? Seseorang Muslim perlu

senantiasa paham bahwa sahnya sesuatu amal

hanyalah dengan ilmu, karena sesungguhnya

sesuatu amal itu harus berawal dengan ilmu

tentang amal tersebut.

C. Klasifikasi llmu dalam Islam

Menurut Imam al-Ghazali, ilmu dapat

diklasifikasikan menjadi dua; fardu 'ayn atau fardu

kifayah. Suatu ilmu termasuk dalam kategori fardu

'ayn atau fardu kifayah bergantung pada siapa

yang diwajibkan untuk menuntut ilmu tersebut.

Jika diwajibkan kepada setiap orang Islam, maka

ia disebut ilmu fard al-'ayn. Sebaliknya jika

diwajibkan karena ilmu tersebut tidak dapat

dikesampingkan dalam menegakkan urusan

duniawi masyarakat Islam, maka ia dinamakan

ilmu fard al-kifayah. Dalam kewajiban fardu

kifayah, seluruh masyarakat Islam secara bersama

bertanggungjawab untuk menuntutnya.

1. Ilmu Fardu 'Ayn

Pertanyaan penting selanjutnya adalah

apakah semua Ilmu (al-'ilm) fardu untuk dipelajari

9

oleh setiap orang Islam ? Ibn 'Abd al-Barr pernah

memperingatkan bahwa ada pelbagai pembicaraan

di kalangan ilmuwan Islam tentang makna lafz

“ilmu”. Sebab, walaupun “ilmu” dalam konteks

hadis yang memfardukan menuntut ilmu itu

menunjukan satu hakikat sifat manusia tetapi

pembahasan yang mengarah kepada jenis-jenis

ilmu, berbeda-beda. Bahkan, definisi dan makna

Ilmu yang sebenarnya fardu dituntut oleh setiap

orang Islam telah diuraikan dari perspektif yang

bermacam-macam di sepanjang sejarah tamadun

Islam. Walaupun seolah-olah terdapat perbedaan

pandangan mengenai apa itu ilmu fard 'ayn, ini

tidak berarti saling bertentangan; namun

sebaliknya, saling melengkapi dalam konteks

kebudayaan, peradaban dan tamadun Islam.

Seperti diingatkan olehsebagian kaum salaf,

Ilmu yang fardu untuk dituntut oleh tiap-tiap orang

Islam adalah ilmu umum dimana setiap Muslim

yang telah dewasa tidak boleh tidak mengetahui

tentang hal tersebut. Menurut al-Khawarizmi

dalam Mubid al-Humum wa Mufid al-‘Ulum, ilmu

fardu ‘ayn wajib bagi semua manusia, baik bagi

masyarakat awam atau golongan terpilih

(khawass).

a.Dimensi Pertama Ilmu Fardu 'Ayn adalah

mengenai i‘tiqad/keyakinan, yaitu, membenarkan

segala sesuatu yang benar, yang disampaikan

Allah kepada Rasulullah dengan i‘tiqad yang kuat

tanpa keraguan. Dimensi pertama ilmu fardu

10

‘ayn ini juga disebut dengan ilmu al-tawhid,

karena ruang lingkupnya adalah berupa

pengenalan tentang Allah.

Kadar kedalaman ilmu fardu ayn untuk tiap

orang berbeda-beda. Sebagian orang Islam perlu

mendalami dalil-dalil akali (rasional)

sebagaimana dijelaskan oleh para mutakalimin,

sedangkan sebagian yang lain cukup dengan

melihat ayat Qur'an dan hadis. Oleh karena

iman yang hakiki harus menghasilkan akhlak

yang mulia, maka ilmu fardu ‘ayn mencakup

pula dimensi perbuatan lahiriah dan rohaniah.

b.Dimensi kedua Ilmu Fardu 'Ayn adalah berkaitan

dengan perbuatan yang wajib dilaksanakan.

Pertama, kewajiban menuntut ilmu ini

berkembang mengikuti waktu; semakin lama

seseorang mukallaf itu hidup, semakin

berkembanglah ruang lingkup urusan-urusan

fardu aynnya yang memerlukan ilmu yang

berkaitan.

1) Prinsip Pertama

Untuk memberi gambaran yang lebih

jelas, semakin lama seseorang mukallaf itu

hidup, semakin berkembanglah urusan-

urusannya yang wajib, dari shalat lima waktu

sampai puasa ramadan, dari zakat harta

sampai ke haji – yaitu, apa yang disebut rukun

Islam.2 Ini merupakan permulaan agama yang

dapat dikembangkan lagi; seperti akar pohon

2 Ithaf, 214-7; Reliance, 11.

11

yang berkembang tumbuh berdahan,

beranting dan berbuah. Seterusnya termasuk

ilmu mengenai apa yang halal dalam soal

makanan, minuman, pakaian, pergaulan dan

perhubungan sesama manusia dan lain-lain

hal yang tidak dapat dihindari dalam

kehidupan biasa.3

Perincian ilmu fardu ‘ayn tentang amal

berbeda-beda, karena perbedaan keadaan

dan kedudukan seseorang, yang menjadi

sebab kewajiban menuntut ilmu tertentu

berkaitan dengan keperluan hidupnya.4

2) Prinsip Kedua

Prinsip kedua untuk memahami

perkembangan ruang lingkup ilmu-ilmu fardu

‘ayn yang berkaitan dengan perbuatan yang

wajib dilaksanakan adalah prinsip “tidak

diperbolehkan melakukan sesuatu usaha

melainkan setelah mengenal syarat-syaratnya

dalam Agama.”5 Sebagai contoh yang pernah

dikemukakan oleh al-Khawarizmi dalam Mubid

al-Humum wa Mufid al-‘Ulum, seorang

pedagang tidak diperbolehkan melakukan

perdagangan kecuali sesudah mempelajari

kayfiat dan sharat-sharat mu'amalat bagi

seorang pedagang, atau mengetahui

perniagaan yang diharamkan dan terma-terma

yang membatalkan perniagaan.6 Seseorang

3 Ithaf, 217-8; Reliance, 11.4 Ithaf, 203-17.5 Reliance, 11. 6 Dipetik dalam Ithaf, 222.

12

tidak boleh memimpin kecuali sesudah

mempelajari hukum-hukum pemerintahan dan

kepemimpinan bagi seseorang penguasa

seperti hak dan cara-cara memenuhi hak-hak

rakyat, syarat-syarat siyasah dan politik, dan

sebagainya.7

Oleh karenanya, ilmu jenis yang kedua ini

bukan fardu 'ayn dalam pengertian pertama

(yaitu rukun Islam atau perintah asas dari

Tuhan), tetapi ilmu fardu 'ayn yang wajib

dipelajari hanya bagi siapa saja yang berniat

melaksanakannya.8

c.Dimensi Ketiga Ilmu Fardu 'Ayn adalah

berkenaan dengan masalah yang wajib

ditinggalkan. Kewajiban ilmu ini berkembang

menurut keadaan seseorang yang berbeda-beda

antara satu sama lain. Sebagai contohnya, ada

masalah yang wajib ditinggalkan oleh orang yang

bisu dan tuli, karena memang tidak mungkin

melaksanakannya. Apa yang terbebas dari

seseorang mukallaf, tidaklah diwajibkan

mempelajarinya. Prinsip tersebut berlaku untuk

ilmu tentang apa yang haram dipelajari, seperti

cara membuat makanan haram, minuman haram,

dll. yang bertentangan dengan keinginan

Tuhan.9

1) Amal dalam Pengertian Ruhaniah

7 Ibid.8 Reliance, 11.9 Ithaf, 217-8.

13

Perlu diingat bahwa perbuatan yang wajib

dilakukan dan ditinggalkan mencakup

perbuatan dalam pengertian rohaniah.

Berperasaan dendam, berhasad-dengki, bakhil,

mencintai kemegahan, riya’, takabbur dan

‘ujub adalah diantara perbuatan berciri

rohaniah yang wajib ditinggalkan. Sifat-sifat

seperti bersabar, bersyukur, bertawakkal,

jujur, ikhlas, bermuraqabah dan bermuhasabah

juga adalah diantara perbuatan batiniyah yang

wajib dilaksanakan.

Dalam masalah ini, Abdul Qadir al-Jaylani

(w. 561/1166) pernah memetik kata Pujangga,

“Seandainya seseorang itu tidak menunaikan

'kewajiban sepanjang masa (al-fard al-da'im),

maka 'kewajiban masa tertentu' (al-fard al-

mu'aqqat) yang ditunaikannya tidak akan

diterima oleh Allah.” Ketika ditanya apakah

'kewajiban sepanjang masa', beliau menjawab:

“Kejujuran (Sidq).”10

Sifat-sifat yang mematikan rohani perlu

diketahui definisi dan batasnya, sebab-sebab

timbulnya, tanda-tandanya, dan cara-cara

mengobatinya. Ia tidak perlu dipelajari oleh

sesiapa yang sudah memiliki hati yang baik,

ataupun siapa yang sudah membersihkan

dirinya dari sifat-sifat tersebut.

2. Ilmu Fardu Kifayah 10 Shaikh 'Abd al-Qadir al-Jilani, Sufficient Provision for Seekers of the Path of Truth, penterj. Muhtar Holland, 5: 160.

14

Menurut al-Ghazzali, ilmu fardu kifayah dapat

dilihat dari dua jurusan. Pertama, ilmu-ilmu

syari’ah yang wajib dipelajari karena ia menjadi

prasyarat dalam menegakkan urusan keagamaan,

seperti disiplin bahasa Arab al-Qur'an, usul fiqh,

fiqh jual-beli dan perdagangan, pengurusan

jenazah dan harta pewarisan, munakahat

(pernikahan dan perceraian), jinayah dan

ketatanegaraan, dan lain sebagainya.11

Kepada generasi pertama Islam di Madinat al-

Nabiyy lagi Allah telah berfirman: “Tidak

sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke

medan juang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap

golongan di antara mereka beberapa orang untuk

memperdalam ilmu agama dan untuk memberi

peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah

kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat

menjaga dirinya.”12

Wajib untuk ilmu prasyarat khusus perlu

dibedakan dengan wajib yang umum atas setiap

orang mukallaf, seperti rukun iman dan masalah-

masalah asas dalam syari‘ah Islam. Wajib untuk

ilmu prasyarat bergantung pada tuntutan zaman,

kecenderungan pribadi, kecerdasan, dan lain

sebagainya. Setiap umat Islam wajib

meningkatkan kemampuan pada kadar yang

diperlukan oleh masyarakat. Wajib yang umum

atas setiap orang mukallaf untuk menuntut ilmu

syari‘ah berdasarkan pada kadar manfaat untuk 11 Ibid., 222-3.12 Al-Qur'an, al-Tawbah, 9: 122.

15

mencapai pemahaman terhadap Kalam Allah dan

Sunnah Rasul-Nya, tanpa perlu mencari masalah-

masalah yang berlebihan yaitu masuk sangat jauh

ke dalam masalah-masalah yang berat, dan

njlimet.13

Bagian kedua ilmu fardu kifayah yang wajib

dituntut adalah ilmu bukan syari‘ah karena ia

tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan

urusan duniawi masyarakat Islam. Dalam abad

kedua belas Masehi, al-Ghazali telah memasukkan

ilmu tersebut ke dalam perusahaan-perusahaan

penting, seperti kedokteran, pertanian,

pertenunan, pembangunan, dan siyasah dalam

kategori ini.14

Pemikiran, ilmu pengetahuan kontemporer

telah berkembang dengan sangat pesat Pada abad

kedua puluh satu ini, Syed Muhammad Naquib

memasukkan ke dalam ilmu fardu kifayah ilmu-

ilmu kemanusiaan, sains alam, sains terapan, sains

teknologi, perbandingan agama, kebudayaan dan

tamadun Barat, ilmu-ilmu bahasa, dan sejarah

Islam sebagai sejarah dunia yang merangkum

pemikiran, kebudayaan dan tamadunnya, serta

perkembangan sistem dan filsafat ilmunya.15

Semua ilmu tersebut harus diserasikan dengan

kerangka Pandangan Hidup Islam.

Dalam kewajiban ilmu fardu kifayah,

masyarakat Islam bersama-sama memikul

13 Ibid., 225, mengutip Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah dalam Miftah Dar al-Sa'adah. Lihat juga halaman 204-5. 14 Ibid., 223-4.15 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, ed. kedua, 159; idem, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, 201-3.

16

tanggungjawab kefarduan untuk menuntutnya.

Yaitu, jika sejumlah mukallafin ada yang

menegakkan kewajiban menuntut ilmu fardu

kifayah tersebut, maka kefarduan itu telah

terpenuhi dan gugurlah dosaorang yang tidak

mempelajarinya.16 Sebaliknya, jika tidak ada

seorang pun yang menuntut ilmu fardu kifayah

tersebut, atau mengambil keputusan untuk

bersepakat untuk meninggalkan ilmu fardu kifayah

itu, maka semua mukallaf masyarakat tersebut

berdosa karena mengabaikan kewajiban itu. 17

Semua ilmu-ilmu tadi wajib dikuasai oleh umat

Islam, tetapi Allah tidak memerintahkan ia

ditegakkan oleh semua orang atau oleh orang-per

orang. Siapa pun di kalangan umat bisa menuntut

ilmu tersebut. Kemaslahatan masyarakat akan

terlaksana dengan adanya sebagian mukallafin

yang menegakkan kewajiban tersebut dan dan

tidak perlu semua mukallaf. 18

Seseorang yang memiliki kemampuan sendiri

atau dana untuk melaksanakan kewajiban

menuntut ilmu fard al-kifayah, maka ia wajib

melaksanakannya. Jika seandainya hanya ada

seorang individu yang melaksanakan kewajiban

fardu al-kifayah, maka kewajiban tersebut menjadi

fard al-'ayn bagi individu tersebut. Bahkan,

seorang yang tidak berkemampuan wajib untuk

mendorong orang yang mampu untuk

16 Cf. Reliance, 33. Catatan kaki 35-8 ini adalah bersandarkan kepada kutipan 'Abd al-Wahhab Khallaf, 'Ilm Usul al-Fiqh.17 Ibid. 18 Ibid.

17

melaksanakannya.

Seandainya kewajiban menuntut ilmu fardu

kifayah dilalaikan, maka kalangan yang

berkemampuan itu berdosa karena

mengesampingkan kewajiban yang mereka mampu

melaksanakannya, dan kalangan yang tidak

memiliki kemampuan berdosa karena lalai dalam

mendorong kalangan yang berkemampuan tadi.19

Al-Ghazzali memandang bahawa, dosa tidak

menuntut ilmu fardu kifayah adalah karena ia

serupa dengan perbuatan membinasakan diri, yang

dicegah Allah dalam ayat 195 surah al-Baqarah,

“dan janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri

ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah

(ahsinu), karena sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang berbuat baik (muhsinin).”20

Sekedar contoh, tanpa penguasaan sains yang

berdasarkan Pandangan Hidup Islam, kaum

Muslimin bisa saja rusak, cara berfikir ilmuwan

Barat yang didominasi oleh mayoritas saintis

positivistik yang agnostik, subjektivistik21 dan

sekular.

Di zaman dimana masyarakat umum sangat

menghormati para saintis yang banyak

menyumbang perkembangan teknologi,

penguasaan sains dapat memperkuat kewibawaan

orang Islam dan meyakinkan masyarakat bahwa

dalam Islam terdapat keserasian pengetahuan

19 Ibid.20 Ithaf, 224.21 Untuk pembicaraan mudah lihat umpamanya, Mortimer Adler, Four Dimensions of Philosophy: Metaphysical, Moral, Objective, Categorical, 75-141.

18

sains dengan agama yang berasaskan ketiga

dimensi ilmu fardu 'ayn yang dinamis.22 Tujaun

penguasaan sains berdasarakan kerangka

Pandangan Hidup Islam adalah untuk memperkuat

mereka yang menyerahkan diri secara sukarela

kepada Tuhan dan berpegang kepada hidayah-Nya,

agar dapat mengungguli mereka yang

mendustakan Kebenaran. Dengan kata lain,

penguasaan sains dalam kerangka yang siap

memahami tujuan terakhir kehidupan dan bukan

yang salah memahami arah dan tujuan hidup.

Dalam kehidupan peribadi, penguasaan sains

dalam bingkai pandangan alam Islam harus

memberi ketenteraman kepada diri dan bukan

kekacauan rohaniah atau kerancuan akal. Dalam

kehidupan umum, penguasaan sains yang

berlandaskan falsafah hidup Islam sudah tentu

akan mendatangkan keadilan dalam masyarakat

dan bukan huru-hara sosial.23

Konferensi Dunia Pertama mengenai

Pendidikan umat Islam yang mengumpulkan 307

cendekiawan pada tahun 1977 telah membuat

pernyataan betapa para siswa Muslim perlu

didorong untuk menghidupkan dan menyegarkan

kembali semangat ilmiah dan roh saintifik yang

pernah dihembus oleh para ilmuwan silam yang

telah berhasil memakmurkan dunia sains. Sebab-

sebab kemajuan sains sewaktu Tamadun Islam

22 Bandingkan dengan pengalaman Katholik di Barat dalam Anthony Rizzi, The Science Before Science: A Guide To Thinking In The 21st Century. 23 Untuk pembahasan mendalam lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of

Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization.

19

berada di puncaknya, dan kemerosotannya pada

zaman kemudian haruslah dikaji dengan

mendalam. 24

D. Pengembangan Ilmu dalam Islam

Sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa

ilmu itu tidak bebas nilai (not value-free) tetapi

sarat nilai (value laden). Ilmu yang di dalam

peradaban Barat diklaim sebagai bebas nilai,

sebenarnya tidak benar-benar bebas nilai. Tetapi

hanya bebas dari nilai-nilai keagamaan dan

ketuhanan.

Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari

lingkungan agama, kepercayaan, nilai, kultur yang

menguasai masyarakat. Sehingga ilmu yang

dihasilkan oleh manusia merupakan produk dari

suatu agama maupun budaya. Ilmu pengetahuan

kontemporer yang dewasa ini kita pelajari

sejatinya merupakan ilmu yang terlahir dari rahim

peradaban Barat sekular, yang secara ontologis

tidak mengakui realitas kebenaran di luar alam

fisik dan hanya terbatas pada keterlibatan manusia

dalam sejarah, sosial, politik dan budaya. Ilmu

tidak di bangun di atas wahyu dan kepercayaan

agama, namun di bangun di atas tradisi budaya

yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang

terkait dengan kehidupan sekuler yang

memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.

24 Lihat First World Conference on Muslim Education: Conference Book, 23, 81-2, 108-9.

20

Memang antara Islam dengan filsafat dan sains

modern, sebagaimana yang disadari  oleh Syed

Muhammad Naquib al-Attas terdapat persamaan

khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber

dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui

secara nalar dan empiris, kombinasi realisme,

idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi

kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat

sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat

juga sejumlah perbedaan mendasar dalam

pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai

Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu

merupakan sumber ilmu tentang realitas dan

kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk

ciptaan dan Pencipta. Wahyu merupakan dasar

kepada kerangka metafisis untuk mengupas

filsafat sains sebagai sebuah sistem yang

menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat

pandang rasionalisme dan empirisesme. Tanpa

Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya

pengetahuan yang otentik (science is the sole

authentic knowledge). Tanpa Wahyu, ilmu

pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena.

Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan

selalu berubah sesuai dengan perkembangan

zaman. Tanpa Wahyu, realitas yang dipahami

hanya terbatas kepada alam nyata ini yang

dianggap satu-satunya realitas.

Ilmu penbgetahuan kontemporer yang

diderifasi dan dibangun di atas pandangan hidup

21

Barat menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas

terdiri atas lima faktor (1) akal diandalkan untuk

membimbing kehidupan manusia, (2) bersikap

dualistik terhadap realitas dan kebenaran (3)

menegaskan aspek eksistensi yang

memproyeksikan pandangan hidup sekuler, (4)

membela doktrin humanisme, (5) menjadikan

drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang

dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan

(Adnin, 2005) Ilmu yang berkembang di Barat tidak

semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu

bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam

bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup

sesuatu kebudayaan.

Ilmu pengetahuan kontemporer berkembang

melalui proses sekularisasi di mana secara

epistemologis sumber dan metode penyelidikan

ilmu bergantung sepenuhnya kepada kaidah-

kaidah empiris, sensual, rasional dengan

mengabaikan dan memandang rendah cara

memperoleh ilmu melalui kitab suci (wahyu). Ilmu-

ilmu kontemporer tidak berlandaskan nilai-nilai

transenden dan juga tidak berkaitan dengan

kepercayaan agama (Adi Setia, 2005). Ilmu-

ilmu Barat sudah sepenuhnya menjadi sekuler.

Proses sekularisasi ini terjadi diantaranya

disebabkan oleh trauma sejarah abad Pertengahan

dimana otoritas kebenaran sepenuhnya di tangan

Gereja.

Sekularisasi yang terjadi di dunia Barat

22

melibatkan tiga komponen terpadu; Pertama,

penolakan atas unsur-unsur transenden dalam

alam semesta, kedua memisahkan agama dari

politik dan nilai yang tidak mutlak atau relatif, dan

ketiga memutuskan ilmu dari pondasinya dan

mengalihkannya dari tujuan yang hakiki, yakni

ilmu adalah untuk kemanusiaan.

Oleh karena itu dari aspek aksiologis, ilmu-

ilmu pengetahuan kontemporer telah melahirkan

problem serius. Selain telah salah memahami

makna ilmu, peradaban Barat juga telah

menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Meskipun

pada satu sisi ilmu-ilmu kontemporer telah

memberi manfaat, namun di sisi lain telah

menimbulkan kerusakan dalam kehidupan

manusia. Misalnya, ilmu ekonomi yang seharusnya

untuk bertujuan menciptakan kesejahteraan dan

keadilan sosial sebagai perwujudan sosialitas

manusia (homo sacra-res homini), telah menjadi

alat kapitalisme yang menjadikan manusia sebagai

pemangsa sesamanya (homo-homini lupus).

Ilmu pengetahuan yang sejatinya untuk

meningkatkan kualitas hidup manusia

(humanisasi), telah berubah menjadi alat

perbudakan baru yang merendahkan nilai-nilai

kemanusiaan (dehumanisasi). Ilmu-ilmu

pengengatahuan Barat kontemporer telah

menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang

berkepanjangan, yang disebabkan oleh krisis

epistemologis.

23

Kondisi krisis epistemologis sebagaimana

diuraikan di atas menuntut ilmuwan muslim untuk

melakukan sebuah upaya, apa yang oleh Kuhn

disebut sebagai revolusi ilmu pengetahuan. Dalam

pandangan Kuhn, revolusi ilmu pengetahuan akan

terjadi apabila ilmu yang selama ini berada dalam

kondisi normal telah melahirkan anomali-anomali

yang mengakibatkan munculnya krisis

epistemologis. Kondisi tersebut merangsang

munculnya sudut pandang baru (new point of

view) terhadap konsistensi, akurasi, manfaat ilmu

dan sebagainya, yang akhirnya akan melahirkan

sebuah ilmu pengetahuan baru dengan paradigma

baru (Kuhn, 1997)

Di sinilah upaya rekonstruksi ilmu yang

diwujudkan dengan malakukan islamisasi ilmu

pengetahuan kontemporer mutlak diperlukan.

Islamisasi ilmu adalah program epistemologis

dalam rangka membangunn peradaban Islam,

bukan islamisasi teknologi yang secara pejoratif

dipahami sebagai islamisasi kapal terbang,

pesawat radio dan sebagainya.

Dua tokoh intelektual muslim termasyhur

penggagas ide islamisasi ilmu pengetahuan adalah

Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Isma’il Raji

al-Faruqi. Sehingga upaya melakukan islamisasi

ilmu pengetahuan kontemporer tidak bisa lepas

begitu saja dari konsep-konsep kedua pemikir

tersebut.

24

1.Konsepsi Islamisasi Ilmu Pengetahuan

a. Konsep Syed Muhammad Naquib al-Attas

Islamisasi secara umum, menurut al-Attas

adalah ”pembebasan manusia, mulai dari magic,

mitos, animisnme dan tradisi kebudayaan

kebangsaan, dan kemudian dari penguasaan

sekuler atas akal dan bahasanya. Maknanya

adalah bahwa seorang muslim adalah individu

yang memiliki akal dan bahasa yang bebas dari

pengaruh magis, mitos, animisme, tradisi

kebangsaan dan kebudayaan serta sekularisme.

Proses islamisasi ilmu menurut al-Attas

melibatkan dua langkah utama. Pertama, proses

pengasingan atau mengisolir unsur-unsur dan

konsep-konsep utama Barat dari setiap bidang

ilmu pengetahuan. Unsur-unsur dan konsep-

konsep pokok Barat yang bertentangan dengan

visi Islam dan harus diisolasir terdiri atas:

1. Antroposentris

2. Konsep dualisme (dualism) yang meliputi

hakikat dan kebenaran.

3. Doktrin humanisme

4. Ideologi sekuler

5. Konsep tragedi sebagai unsur-unsur

dominan bagi eksistensi manusia.

Maknanya adalah islamisasi tidak berarti

menolak semua unsur yang berasal dari Barat,

unsur-unsur yang berasal dari Barat tetapi sesuai

dengan Islam, tetap dipertahankan.

25

Kedua, memasukkan unsur-unsur Islam

beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang

ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Unsur-

unsur tersebut terdiri atas:

1.Konsep manusia2.Konsep din3.Konsep ilmu dan ma’rifat4.Konsep hikmah5.Konsep ’adl6.Konsep amal-adab dan 7.Konsep universitas.

Semua unsur dan konsep tersebut harus

ditambatkan kepada konsep tauhid, syari’ah,

sirah, sunnah dan tarikh (Adnin, 2005)

2. Konsep Isma’il Raji al-Faruqi

Dalam karyanya, Islamization of Knowledge:

General Principles and Work-plan al-Faruqi

menjelaskan bahwa islamisasi ilmu sebagai usaha

untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu untuk

mendefinisikan kembali, menyusun ulang data,

memikir kembali argumen dan rasionalisasi terkait

dengan data tersebut, menilai kembali kesimpulan

dan tafsiran, membentuk kembali tujuan serta

memperkaya dengan visi dan perjuangan Islam.

Menurut Faruqi, islamisasi ilmu dapat dicapai

melalui pemaduan ilmu-ilmu baru ke dalam

khazanah warisan Islam dengan membuang,

menata, menganalisis, menafsir ulang dan

menyesuaikannya menurut nilai dan pandangan

Islam.

26

al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dasar

dalam pandangan Islam sebagai kerangka

pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam.

Prinsip-prinsip tersebut ialah:

1.Keesaan Allah2.Kesatuan Penciptaan3.Kesatuan Kebenaran4.Kesatuan Ilmu5.Kesatuan Kehidupan, dan6.Kesatuan Kemanusiaan.

Adapun tujuan islamisasi ilmu menurut al-Faruqi

adalah:

1.Menguasai disiplin ilmu modern.2.Menguasai warisan Islam3.Menentukan relevansi Islam (tertentu) bagi

setiap bidang ilmu modern4.Mencari cara-cara bagi melakukan sintesis

yang kreatif antara ilmu-ilmu modern dan ilmu warisan Islam.

5.Melancarkan pemikiran Islam ke arah jalan yang diperbolehkan membawanya memenuhi tujuan Allah.

Guna memenuhi tujuan tersebut, al-Faruqi

mencanangkan 12 langkah yang harus dilakukan:

1. Penguasaan disiplin modern- prinsip metodologi, masalah, tema dan perkembangannya.

2. Peninjauan disiplin.3. Penguasaan ilmu warisan Islam: antologi4. Penguasaan ilmu warisan Islam : analisis5. Penentuan relevansi Islam yang tertentu kepa-

da suatu disiplin.6. Penilian secara kritis displin modern memper-

jelas kedudukan disiplin dan sudut Islam dan memberi panduan terhadap langkah-langkah yang harus diambil untuk menjadikannya isla-mi.

27

7. Penilaian secara kritis ilmu warisan Islam-pe-mahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah, per-lu dilakuakan pembenaran terhadap keasalah-pahaman.

8. Kajian masalah utama umat Islam.9. Kajian masalah manusia sedunia.10. Analisis dan sintesis kreatif.11. Pengacuan kembali disiplin dalam

kerangka Islam; buku teks universitas12. Penyebarluasan ilmu yang sudah diis-

lamkan (Roshani , 2005)

Dua langkah pertama untuk memastikan

pemahaman dan penguasaan umat Islam terhadap

disiplin ilmu kontemporer. Dua langkah berikutnya

untuk memastikan sarjana Islam yang tidak

menguassai warisan ilmu Islam. Analisis warisan

ilmu Islam untuk memahami wawasan islam secara

lebih baik.

Jika kedua konsep tersebut di atas

dibandingkan, maka baik al-Attas maupun al-

Faruqi mempunyai asumsi yang sama bahwa ilmu

tidak bebas nilai. Tujuan ilmu adalah satu dan

sama dan konsepsi ilmu keduanya sama yakni

bersandar kepada dasar ontologi, epistemologi

dan aksioologi yang didasarkan kepada konsep

tauhid.

D. Implementasi Konsep

Dalam perspektif filsafat ilmu, ilmu

dikembangkan di atas tiga landasan: landasan

ontologis, epistemologis dan aksiologis. Landasan

ontologis berusaha menjawab pertanyaan apa

(hakikat ) realitas. Landasan epistemologis

28

berusaha menjawab pertanyaan bagaimana

(metodologi), dan landasan aksiologis berusaha

menjawab pertanyaan mengapa/untuk apa ilmu

dikembangkan (Rizal Mustansyir, 2001).

1. Landasan Ontologis

Ilmu dikembangkan berdasarkan landasan

ontologis artinya, bahwa titik tolak penelaahan

ilmu pengetahuan harus didasarkan pada sikap

dan pendirian filosofis yang dimiliki oleh seorang

ilmuwan. Istilah yang dipakai secara umum untuk

sikap dan pendirian filosofis atau cara pandang ini

dalam bahasa Inggeris adalah worldview

(pandangan hidup). Dalam ilmu pengetahuan

worldview sering disebut sebagai global scientific

view atau Metaparadigm.

Dalam kehidupan, worldview berfungsi

sebagai motor bagi perubahan sosial, asas bagi

pemahaman realitas dan asas bagi aktifitas ilmiah.

Dalam konteks sains, hakekat worldview dapat

dikaitkan dengan konsep yang oleh Kuhn disebut

“perubahan paradigma” (Paradigm Shift).

Sikap atau pendirian filosofis para ilmuwan

Barat sekuler secara garis besar dapat dibedakan

29

Landasan Pengembangan Ilmu

Ontologis Epistemologis Aksiologis

ke dalam dua mainstream, yakni materialisme dan

spiritualisme. Secara ontologis ilmu pengetahuan

sangat bergantung pada cara pandang ilmuwan

terhadap realitas. Manakala realitas yang

dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada

ilmu-ilmu empiris. Jika realitas yang dimaksud

adalah spirit atau roh, maka lebih terarah pada

ilmu-ilmu humaniora. Dua aliran besar dalam

bidang ontologis ini telah berperan besar dalam

pengembangan ilmu yang bersifat dikotomis.

Dalam paradigma keilmuan Barat, ilmu

dikembangkan atas pendirian filosofis yang

berlandaskan materialisme. Dari materialisme

berkembang menjadi realisme yang pada akhirnya

menolak segala bentuk realitas selain materi,

termasuk di dalamnya realitas Tuhan. Akitbatnya

ilmu yang dikembangkan tidak memiliki landasan

spiritual.

Dengan demikian jika kita hendak melakukan

rekonstruksi ilmu islami, langkah pertama yang

harus dilakukan adalah merekonstruksi

pandangan dunia, dari pandangan dunia sekuler ke

arah pandangan dunia Islam (Islamic worldview.)

Karena dari pandangan dunia inilah akan diderivasi

konsep- konsep epistemologi dan aksiologinya.

Pandangan dunia Islam yang menjadi landasan

ontologi adalah pandangan dunia tauhid.

Pandangan dunia tauhid adalah pandangan dunia

yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan, melalui

syahadah. Konsep tauhid berimplikasi pada

30

keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia.

Sebab shahadah adalah pernyataan moral yang

mendorong manusia untuk melaksanakan dalam

kehidupannya secara menyeluruh.

Arti pandangan dunia tauhid ialah

pemahaman bahwa keberadaan alam adalah atas

kehendak Allah, dan bahwa tatanan alam berdiri di

atas dasar kebaikan dan rahmat. Alam semesta

merupakan ciptaan Allah, pada hakikatnya adalah

milik Allah dan akan kembali kepada Allah.

Menurut Porf. Al-Attas elemen asas bagi worldview

Islam sangat banyak dan yang ia merupakan

jalinan konsep-konsep yang tak terpisahkan.

Diantara yang paling utama adalah

1) Konsep tentang hakekat Tuhan,

2) Konsep tentang Wahyu (al-Qur’an),

3) Konsep tentang penciptaan,

4) Konsep tentang hakekat kejiwaan

manusia,

5) Konsep tentang ilmu,

6) Konsep tentang agama,

7) Konsep tentang kebebasan,

8) Konsep tentang nilai dan kebajikan,

9) Konsep tentang kebahagiaan.

10) Dsb. (Hamid Fahmy, 2006)

Di sini Prof. al-Attas menekankan pada

pentingnya konsep sebagai elemen pandangan

hidup Islam. Konsep-konsep ini semua saling

berkaitan antara satu sama lain membentuk

31

sebuah struktur konsep yang sistemik.

Dalam pandangan Sayyid Qutb karakteristik

pandangan hidup Islam terdiri dari tujuh:

Pertama, RabbÉniyyah (bersumber dari Allah),

artinya ia berasal dari Tuhan sehingga dapat

disebut sebagai visi keilahian. (al-Qur’an 15:9).

Kedua bersifat konstan (thabat) artinya

tasawwur al-Islami itu dapat diimplementasikan ke

dalam berbagai bentuk struktur masyarakat dan

bahkan berbagai macam masyarakat. Namun

esensinya tetap konstan, tidak berubah dan tidak

berkembang.

Ketiga bersifat komprehensif (shumËl), artinya

tasawwur al-Islami itu bersifat komprehensif. Sifat

komprehensif ini di dukung oleh prinsip tawhid

yang dihasilkan dari sumber Tuhan yang Esa.

Keempat seimbang ( tawÉzun), artinya

pandangan hidup Islam itu merupakan bentuk yang

seimbang antara wahyu dan akal, sebab memang

wahyu diturunkan untuk dapat diimani dan

difahami oleh akal manusia. Juga keseimbangan

antara yang diketahui (al-ma’lum) dan yang tidak

diketahui (ghayr ma’lum), antara yang nyata dan

tidak nyata.

Kelima, positif (ijabiyyah), artinya pandangan

hidup Islam mendorong kepada aktifitas ketaaatan

kepada Allah dam sekap positif. Segala aktifitas

dalam hidup manusia mempunyai relevansinya dan

32

konsekuensinya dalam agama dan sebalikanya

pernyataan dalam ibadab seperti shahadah dengan

lidah mesti diamalkan dalam aktifitas yang nyata.

Keenam, pragmatis (waqi’iyyah), artinya sifat

pandangan hidup Islam itu tidak melulu idealistis,

tapi juga membumi kedalam realitas kehidupan.

Jadi ia bersifat idealistis dan realistis sekaligus,

sehingga ia dapat membangun sistim yang lengkap

yang sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan.

Ketujuh, keesaan (tawhid), artinya

karakteristik yang paling mendasar dari

pandangan hidup Islam adalah pernyataan bahwa

Tuhan itu adalah Esa dan segala sesuatu

diciptakan oleh Nya. Karena itu tidak penguasa

selain Dia, tidak ada legislator selain Dia, tidak ada

siapapun yang mengatur kehidupan manusia dan

hubungannya dengan dunia dan dengan manusia

serta makhluk hidup lainnya kecuali Allah.

Petunjuk, undang-undang dan semua sisitim

kehidupan, norma atau nilai yang mengatur

hubungan antara manusia berasal dari padaNya

(Hamid Fahmy, 2006).

Sedangkan elemen penting pandangan hidup

Islam itu digambarkan dalam poin-poin berikut ini:

Pertama: Dalam pandangan hidup Islam

realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan

kepada kajian metafisika terhadap dunia yang

nampak (visible world) dan yang tidak nampak

(invisible world).

33

Kedua: Pandangan hidup Islam bercirikan pada

metode berfikir yang tawhidi (integral). Artinya

dalam memahami realitas dan kebenaran

pandangan hidup Islam menggunakan metode

yang tidak dichotomis, yang membedakan antara

obyektif dan subyektif, histories-normatif,

tekstual-kontektual dsb.

Ketiga: Pandagan hidup Islam bersumberkan

kepada wahyu yang diperkuat oleh agama (din)

dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi.

Keempat: Elemen-elemen pandangan hidup

Islam terdiri utamanya dari konsep Tuhan, konsep

wahyu, konsep penciptaanNya, konsep psikologi

manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep

kebebasan, konsep nilai dan kebajikan, konsep

kebahagiaan.

Kelima: Pandangan hidup Islam memiliki

elemen utama yang paling mendasar yaitu konsep

tentang Tuhan. Konsep Tuhan dalam Islam adalah

sentral dan tidak sama dengan konsep-konsep

yang terdapat dalam tradisi keagamaan lain.

Dengan demikian ilmu dalam Islam harus

kembangkan berdasarkan pada konsep

pandangan dunia tauhid yang di dalamnya

terdapat konsep tentang hakekat Tuhan, konsep

tentang Wahyu (al-Qur’an), konsep tentang

penciptaan, konsep tentang hakekat kejiwaan

manusia, konsep tentang nilai dan kebajikan,

konsep tentang kebahagiaan, dan sebagainya

34

(Hamid Fahmi, 2006)

2. Landasan Epistemologi

Istilah epistemologi, berasal dari kata Yunani

“episteme”= pengetahuan dan “logos” =

perkataan, pikiran, ilmu. Kata “episteme” dalam

bahasa Yunani epistamai, artinya mendudukkan,

menempatkan atau meletakan. Maka secara

harfiah, epistemologi berarti pengetahuan sebagai

upaya untuk menempatkan sesuatu dalam

kedudukan setepatnya. Sebagai sebuah kajian

filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis

tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan,

epistemologi akhirnya sering dimaknai sebagai

teori pengetahuan (theory of knowledge), yang

dalam paradigma Kuhn menjadi sosiological

paradigm dan construct paradigm.(Kuhn, 1997)

Epistemologi adalah kajian sistematik tentang

asal-usul, (nature), sumber-sumber (sources),

metode (method) dan keabsahan (validity)

pengetahuan (Runes, 1959:35).

Bertanya tentang asal-usul pengetahuan

berarti bertanya tentang sumber-sumber

pengetahuan dan dari mana pengetahuan yang

benar diperoleh. Bertanya tentang struktur berarti

bertanya tentang watak pengetahuan dan hakikat

kenyataan “di luar diri” subyek. Bertanya tentang

metode berarti bertanya tentang bagaimana

pengetahuan yang benar diperoleh, dan bertanya

35

tentang keabsahan berarti bertanya tentang

syarat kebenaran dan bagaimana membedakan

pengetahuan yang benar dengan yang tidak benar

(Titus, 1984:187-188)

Dalam logika ilmu pengetahuan sering

dibedakan apa yang disebut dengan konteks

penemuan ilmiah (context of scientific discovery)

dan konteks pembenaran atau

pertanggungjawaban rasionalnya (context of

scientific justification). Epistemologi dalam

konteks yang pertama menelaah tentang cara

kerja ilmu pengetahuan, sedangkan dalam

konteks yang kedua epistemologi merefleksikan

secara kritis ciri-ciri hakiki sain dan nilainya bagi

hidup manusia secara keseluruhan.

Ilmu dikembangkan harus berdasarkan landasan

epistemologis maksuknya bahwa titik tolak

penelaahan ilmu pengetahuan harus didasarkan

pada cara dan prosedur yang benar dalam

memperoleh kebenaran.

Berbeda dengan epistemologi Barat yang

ekstrim pada salah satu fakultas kebenaran

manusia, dalam epistemologi Islam cara kerja atau

kerangka operasional ketiga fakultas yang dimiliki

manusia (indera, akal, dan intuisi) dalam rangka

memperoleh ilmu pengetahuan tidak berjalan

sendiri-sendiri, melainkan berjalan secara

komprehensif. Sebagaimana dikatakan oleh Iqbal,

teori epistemologi yang Qur’ani adalah

mengangkat ketiga potensi manusia; serapan

36

panca indera, kemampuan akal dan kemampuan

intuisi secara serempak. Artinya ketiga hal itu

sama-sama dianggap penting dan sama-sama

dapat digunakan untuk mencari pengetahuan dan

kebenaran. Demikian juga jika epistemologi Barat

menolak kebenaran wahyu, epistemologi menerima

wahyu sebagai sumber kebenaran.

Bahkan, kemampuan panca indera dalam

menyerap hal-hal yang bersifat empirik tidaklah

mandiri, melainkan bergantung pada ilham

(intuisi).

Konsep epistemologi yang demikian, akan

membuat dunia ilmu pengetahuan menjadi dinamis

sesuai dengan konsep kedinamisan al-Qur’an itu

sendiri. Khususnya bagi dunia Islam konsep ini

setidaknya akan bisa mengubah positivisme yang

berkembang di Barat, yang kemudian menjurus

pada materialisme-ateis yang meniadakan etik dan

metafisik.

Dengan demikian hahikat ilmu pengetahuan

dalam Islam adalah rangkaian aktivitas

manusiadengan prosedur ilmiah baik melalui

pengamatan, penalaran maupun intuisi sehingga

menghasilkan pengetahuan yang sistematis

mengenai alam serta isinya, serta mengandung

nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah

dan petujuk bagi kehidupan manusia di dunia dan

diakhirat.

Selama ini umat Islam hanya memiliki

37

epistemologi yang berkecenderungan Platonis dan

Neo-Platonis, yang justru mereduksi keutuhan

ajaran Islam. Padahal al-Qur’an sangat

mementingkan penyelidikan empirik untuk

memperoleh rumusan-rumusan dan konsep-konsep

pemikiran yang abstrak, fundamental dan

universal. Contoh yang paling sederhana dapat

disebutkan di sini bagaimana al-Qur’an

menggambarkan Nabi Ibrahim AS dalam mencari

Tuhan. Dalam proses pencarian yang sangat

metafisis sekalipun, ia masih memanfaatkan

peralatan inderawi.

Studi empiris terhadap kehidupan alam (fisika,

astronomi, dan iptek secara umum) dan kehidupan

manusia (psikologi, ekonomi, antropologi, sejarah

dan komunikasi) semestinya juga mendapat

prioritas yang sama dalam studi al-Qur’an. Adanya

ayat-ayat kauniyah di samping ayat-ayat ahkam,

tidak dapat diketepikan begitu saja tanpa

mendistorsi cakupan makna al-Qur’an. Hanya studi

yang bersifat empirik-interdisiplinerlah yang dapat

memahami kandungan ayat al-Qur’an dengan utuh-

terpadu.

3. Landasan Aksiologis

Aksiologi sering disebut sebagai theory of

value (teori nilai). Nilai berarti keberhargaan

(worth) atau kebaikan (goodness). Landasan

aksiologis dalam pengembangan ilmu adalah sikap

etis yang harus dikembangkan oleh seorang

38

ilmuwan, terutama dengan nilai-nilai yang diyakini

kebenarannya. Di sini aksiologi ilmu berhubungan

dengan ontologi, karena setiap aktivitas ilmiah

harus senantiasa dikaitkan dengan worldview

seorang ilmuwan itu sendiri. Nilai-nilai yang

menjadi landasan aksiologis dalam pengembangan

ilmu Islami dengan demikian juga harus diderifasi

dari pandangan dunia tauhid.

Van Melsen menekankan pentingnya

hubungan antara ilmu pengetahuan dengan

pandangan hidup, karena ilmu pengetahuan tidak

pernah dapat memberikan penyelesaian terakhir

dan menentukan, lantaran tidak ada ilmu yang

mendasarkan dirinya sendiri secara absolute. Di

sinilah pentingnya pandangan hidup, terutama

peletakan landasan ontologis, epistemologis dan

aksiologis bagi ilmu pengetahuan, sehingga terjadi

harmoni antara rasionalitas dan kearifan.

Jika pengembangan ilmu secara aksiologis

bertentangan dengan nilai-nilai dasar pandangan

dunia tauhid, maka hal tersebut tidak boleh

dilakukan.

Dengan demikian terkait dengan pertanyaan

apa sebenarnya tujuan pengembangan ilmu?

Apakah ilmu bebas nilai-atau terikat nilai? Dengan

tegas dapat dijawab bahwa ilmu tidak bebas nilai.

Bagaimanapun ilmu baru bisa disebut ilmu jika

diamalkan. Sebab tidak ada ilmu yang berguna

tanpa amal dan tidak ada amal yang bermanfaat

39

tanpa ilmu. Tujuan pengamalan ilmu pengetahuan

adalah untuk kesejahteraan, ketenangan dan

ketentraman umat manusia, bukan sebaliknya

untuk menghancurkan kemanusiaan dan melawan

Tuhan. Tujuan terakhir menuntut ilmu di dalam

Islam adalah untuk menjadi manusia yang baik.

KEPUSTAKAAN

Adi Setia, Dr., ”Epistemologi Islam Menurut al-

Attas Satu Uraian Ringkas” Islamia, Th.1 No 6,

Juli-September 2005

al-Attas, Syed Muhammad Naquib “The Nature of

Man and the Psychology of the Human Soul”

Prolegomena; Kuala Lumpur: International

Institute of Islamic Thought and Civilization

(ISTAC), 2002)

al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and

Secularism, ed. kedua, 159; idem, Islam,

Secularism and the Philosophy of the Future,

201-3.

Andin Armas, MA, Westernisasi dan Islamisasi

Ilmu, Islamia, Th.1 No 6, Juli-September 2005

Hamid Fahmy Zarkasy, Dr., Islam Sebagai

Pandangan Hidup, Makalah Tho Day Workshop

on Islamic Civilization Studies, Bandungan, 21-

23 Juni 2006

Kuhn, Thomas, Peran Paradigma dalam Revolusi

40

Sains, terj. Tjun Surjaman, Remadja

Rosdakarya, Bandung , 1997

Mohd. Zaidi Isma’il, Dr. “ Faham (Konsep) Ilmu

dalam Islam: Mengenali Segi-segi Ilmu melalui

Takrifannya “, Makalah Studi Peradaban

Islam, Unissula, 10-11 Nopember 2007

Rizal Mustansyir, M.Hum, Filsafat Ilmu, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 2001

Roshani Hasyim, Gagasan Islamisasi Ilmu

Pengetahuan Kontemporer: Sejarah,

Perkembangan, dan Arah Tujuan, Islamia, Th.1

No 6, Juli-September 2005

Rodliyah Khuza’i, M.Ag., Dialog Epistemologi

Muhammad Iqbal dan Charles S. Peirce,

Aditama, Bandung, 2007.

Runes, Dagobert, ed., Dictionary of Philosphy,

Litle, Adams & Co., Totawa, 1976

Syafi’i,, Imam , Konsep Ilmu Pengetahuan dalam

al-Qur’an, UII Press, Yogyakarta, 1997

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,

Filsafat Ilmu Sebagai dasar Pengembangan

Ilmu Pengetahuan, Liberty, Yogyakarta, 2001

Titus, Horold, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat,

Alih Bahasa H.M. Rosjidi, Bulan Bintang,

Jakarta, 1984.

41

42