BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar...
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum penelitian ini merupakan kajian pemikiran ekonomi politik.
Penelitian ini melihat pemikiran ekonomi politik Islam Hizbut Tahrir tentang tata
kelola sumber daya alam dalam konteks kekhalifahan. Penelitian ini berawal dari
keinginan untuk melihat dan menganalisis pemikiran yang lahir bukan dari
pemikiran Barat, dalam konteks ini seperti pemikiran Hibut Tahrir yang lahir dari
pemikiran Islam. Sebagaimana yang telah diketahui, menurut subjektivitas penulis,
bahwa dalam literatur akademis saat ini yang banyak terpublish adalah dari Barat.
Poinnya adalah dalam penelitian ini penulis tidak sedang dalam posisi menyalahkan
pemerintah memakai pemikiran Barat sebagai landasan menjalankan pemerintahan
dan tidak sedang dalam mengkampanyekan pemikiran ini untuk kemudian
digunakan pemerintah, karena penulis berusaha untuk memosisikan diri secara
objektif dan melihat secara fair. Oleh karena itu, sedikit banyak penelitian ini
dipengaruhi dengan fakta tersebut.
Tidak hanya itu, penelitian ini juga dilatarbelakangi keprihatinan terhadap
peristiwa ekonomi politik yang terjadi di Indonesia. Terhitung sejak Portugal
mendarat pertama kali abad 15, praktis Indonesia setelah itu “seolah-olah” menjadi
“incaran” dan “diperebutkan” oleh negara Barat. Dengan kekayaan sumber daya
alam melimpah ruah, daya tarik Indonesia memang besar. Bukan berlebihan lantas
dilabeli julukan Zamrud Khatulistiwa. Hingga kini julukan tersebut sepertinya
masih menyisakan daya tarik bagi negara-negara asing maupun kapitalis lokal
untuk berlomba menguasai sumber daya alam milik Indonesia. Metode intervensi
zaman sekarang lebih canggih daripada dengan zaman dulu. Sama-sama
menggunakan perdagangan sebagai pendekatan awal menganggu kekayaan Negara.
Sayang seribu sayang, hanya saja melalui keran deregulasi dan privatisasi yang
dikucurkan pemerintah Indonesia, swasta asing ataupun lokal bebas dengan tenang
menanamkan modal ataupun berkompromi1. Berikut serangkaian sinyalemen masih
adanya praktek liberalisasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Merujuk pada temuan melalui wadah WTO dan regionalisme ASEAN, yang
merujuk pada laporan Indonesia for Global Justice (IGJ) membeberkan bahwa
hingga Januari 2013, pemerintah Indonesia sudah mengadakanbeberapanota
kesepahamanperdagangan bilateral dan regional. Terdapat sejumlahtraktat yang
sudah berjalan yakniASEAN-Australia-New Zealand FTA. Terdapat juga traktat
yang baru berada pada fase konsultasi seperti ASEAN-Pakistan FTA,
Comprehensive Economic Partnership for East Asia (CEPEA/ASEAN + 6), East
Asia FTA (ASEAN + 3), Indonesia - Chile, US - Indonesia FTA2.
Ditambah lagi, terdapat beberapa kebijakan yang bersifat liberal pada peridode
2013 yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Pertama, regulasi yang
justru menghalangi negara untuk bergerak lebih jauh seperti RUU Perdagangan.
RUU Perdagangan tidak sesuai dengan semangat awalnya yang ingin memproteksi
masyarakat dari efek liberalisasi. Namun demikian, yang terjadi justru RUU
1 Neoliberalisme, Tulisan I Wibowo dalam buku Dalam Pusaran Neoliberalisme.
(Yogyakarta,2003).
2http://www.neraca.co.id/industri/36661/Pengelolaan-Sumber-Daya-Alam-Didominasi-
Asing2 pada tanggal 18 Maret 2014
Perdagangan yang sekarang ini merupakan refleksi kesepakatan pandangan dengan
lembaga internasional macam WTO. Kedua, terdapat indikasi bahwa pemerintah
lebih menyukai impor produk ketimbang ekspor, hal ini tercermin pada kebijakan
yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan yang fokus terhadap regulasi impor
produk pangan ketimbang kegiatan mengontrol pangan. Mengacu pada laporan IGJ,
sejumlah kebijakan tersebut ialah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun
2013 perihal Ketentuan Impor Kedelai dalam rangka Program Stabilisasi Harga
Kedelai, Permendag Nomor 47 tahun 2013 perihal Perubahan Nomor 16 tahun 2013
Tahun 2013 perihal Ketentuan Impor Produk Holtikulutura, dan Permendag Nomor
46 Tahun 2013 perihal Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan3.
Selanjutnya suara dari kalangan akademisi, menurut Suteki Guru Besar
Fakultas Hukum Undip, agenda privatisasi dari swasta juga dapat ditemukan dalam
Undang-Undang Sumber Daya Air, lebih spesifik lagi terhadap persoalan
pengusahaan SDA pada Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 26, Pasal 38, Pasal 40, Pasal
45, Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 49. Atas nama kelompok Muhammadiyah, UU ini
bahkan telah dilaporkan ke MK4.
Sejumlah temuan tersebut mencerminkan pemerintah terlihat seolah kurang
mengintervensi lebih jauh dalam urusan pengelolaan sumber daya alam.
Kedaulatan sumber daya alam yang sejatinya bisa didistribusikan secara baik
praktis sulit tercapai. Tidak m, pemerintah kini semakin tidak bergigi dan tak
3Loc Cit
4 Merdeka.com. Rabu 18 Desember 2013
memiliki kemampuan intervensi setelah adanya privatisasi BUMN. Privatisasi
memang bukan hal yang baru, pada era Orba, pemerintah juga pernah
memprivatisasi sejumlah perusahaan BUMN. Namun demikian, melihat akibat dari
aktualisasi privatisasi yang tidak seindah yang dibayangkan, merupakan kecelakan
besar, bila peningkatan ekonomi sebagai dalih pengguliran kebijakan itu.
Implikasi paling nyata, ideologi neoliberal potensial reaktif. Banyak sekali
konflik agraria meledak di beberapa daerah. Terdapat beberapa bukti konkret yang
menguatkan pernyataan tersebut. Data pada 2013 milik KPA memperlihatkan
terdapat penambahan konflik dengan jumlah 369. Mayoritas konflik terjadi pada
sektor perkebunan dengan jumlah 180 konflik. Selanjutnya terdapat sektor lain
yang turut berkontribusi melahirkan konflik seperti sektor infrastruktur berjumlah
105 konflik, sektor pertambangan 38 konflik, sektor kehutanan 31 konflik, sektor
kelautan 9 konflik, dan sektor lainnya 6 konflik5. Sedikit mundur ke belakang tahun
2011, yang masih mungkin segar di ingatan dan yang terekspos oleh media adalah
konflik di Sape, Bima. terekam jelas betapa sumber mata air yang notabene menjadi
sumber kehidupan bagi masyarakat setempat dicerabut oleh perusahaan swasta
bernama PT Sumber Mineral Nusantara. Satu contoh kecil konflik agraria sudah
cukup membuktikan betapa implikasi ideology neoliberal sangatlah mengerikan.
Jika ditelusuri, akar musabab dari beberapa kebijakan tersebut adalah ideology
neoliberalisme. Ideologi tersebut membuat pemerintah untuk berperilaku
memprioritaskan kekayaan agraria kepada sector swasta asing ataupun local
5 Okezone, Senin 10 Februari 2014 pada jam 21.30
ketimbang rakyat. Adalah Friederich Von Hayek dan Milton Friedman yang
pertama kali menemukan gagasan neoliberalisme. Dalam gagasan neoliberalisme
keberadaan negara hanya akan menimbulkan distorsi, oleh karena itu Negara sangat
sedikit memperoleh kewenangan mengatur urusan ekonomi. Saking minimnya
peran negara, negara hanya diberi tiga jatah, yaitu menyediakan infrastruktur,
memberikan garansi keamanan dan memberikan soliditas pada penegakan hukum6.
Namun dalam hal ini, penulis ingin melihat apakah ada pemikiran di luar Barat
yang mengkaji soal ekonomi politik dan seperti apa hakekatnya dan mekanisme
berpikirnya. Berawal dari rasa penasaran, dalam kaitan ini, Islam dipilih
dikarenakan rekam sejarah dahulu dimana Islam terbukti pernah menghegemoni
sejumlah ilmu pengetahuan di Barat. Pada era kejayaan Islam di Spanyol, Barat
berada pada sebuah titik kegelapan, ilmu pengetahuan yang ada harus
dikompromikan dengan pihak gereja terlebih dahulu, di sisi lain produk pemikiran
Islam digunakan di tiap lini kehidupan.
Termasuk urusan pengelolaan sumber daya alam, Islam memiliki rekam jejak
dengan sejahteranya kehidupan masyarakat pada zaman kekhalifahan. Selanjutnya
menyoal upaya untuk memperjuangkan syariat Islam lewat parlemen ataupun tidak
di Indonesia sudah ada sejak zaman awal kemerdekaan.
Pada zaman kemerdekaan kelompok politik macam partai Masyumi dengan
platform Islam dan basis massa umat Islam yang kuat, pernah mencoba
memperjuangkan syariat Islam lewat parlemen, meski pada akhirnya perjuangan
6 Tulisan I. Wibowo, Emoh Negara Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara dalam
Neoliberalisme hal 281, (Yogyakarta, 2003).
tersebut berujung kegagalan. Selanjutnya Kartosuwiryo mencoba mendirikan
Negara Islam Indonesia melalui perjuangan diluar parlemen. Perjuangan kedua
kelompok beda strategi tadi mencerminkan adanya upaya perlawanan dari
kelompok Islam terhadap pemikiran Barat yang saat itu diadopsi oleh kelompok
nasionalis.
Adapun di saat ini, terdapat gerakan politik Islam yang menolak berpaham
dengan pemikiran Barat. Gerakan tersebut bernama Hizbut Tahrir dan Palestina
merupakan negeri kelahiran Hizbut Tahrir. Orientasi utama dari gerakan Hizbut
Tahrir adalah mewujudkan tatanan hidup yang sesuai dengan kaidah yang
dibenarkan dalam agama Islam melalui pendirian Khilafah Islamiyah.
Adalah seorang syaikh bernama Taqiyuddin An Nabhani lulusan
Universitas Al Azhar yang merintis gerakan Hizbut Tahrir. Perkembangan Hizbut
Tahrir tergolong cepat, buktinya kini Hizbut Tahrir berada di beberapa belahan
dunia seperti di negara negara Timur Tengah, negara negara Eropa dan negara
negara di Asia Tengah dan Asia Tenggara.Keberadaan Hizbut Tahrir di Indonesia
diawali pada periode 80an melalui aktivitas dakwah di beberapa kampus. Baru pada
periode 90an dakwah Hizbut Tahrir mulai merambah ke masyarakat umum7.
Ketidakpercayaan Hizbut Tahrir terhadap demokrasi membuat gerakan ini
memiliki keunikan tersendiri. Hizbut Tahrir secara sadar menegaskan untuk tidak
ikut ikutan gerakan politik lainnya yang pada umumnya memilih jalur demokratis.
Daripada berjuang dengan cara cara demokratis, Hizbut Tahrir memilih untuk
berjuang di jalan ekstraparlemen.
7http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/
Merupakan ketegasan pilihan, jika dibenturkan dengan konteks Indonesia
saat ini ditengah adanya beberapa kelompok Islam di Indonesia yang percaya
dengan jalan demokratis, meski ada juga gerakan Islam yang memilih jalan ekstra
parlemen. Terlepas dari hal itu, Hizbut Tahrir memiliki keunikan yg khas dibanding
dari gerakan politik Islam lainnya.
Dengan gerakan politik intraparlemen misalnya, Hizbut Tahrir memiliki
independensi ideologis yang tidak bisa dikompromikan melalui mekanisme koalisi
diparlemen. Bukan rahasia lagi bila terdapat kecenderungan pragmatisme ideologi
apabila masuk di parlemen. Hizbut Tahrir memiliki platform politik yang jelas. Dari
awal masuk ke Indonesia tahun 1980an hingga saat ini, Hizbut Tahrir tidak pernah
berpaling dari platform awal gerakan.
Hizbut Tahrir konsisten menerapkan jalan perjuangan dan ideology
Islamnya. Gerakan politik Islam yang melebur ke dalam proses demokrasi memiliki
kecenderungan untuk catch all dalam hal ideology. Secara logika, hal ini merupakan
hal yang mafhum mengingat di alam demokrasi procedural saat ini membuat
mereka berfikir untuk meraup suara sebanyak mungkin dengan kemungkinan
menanggalkan platform ideologinya.
Kajian tentang pemikiran politik sangat menarik. Di dalamnya terkandung
unsur interdisipliner, yakni antara politik dan ekonomi. Membongkar rasionalisasi
atas latar belakang lahirnya berbagai entitas politik dan opsi strategi politik juga
termasuk cakupan kajian8. Dalam konteks kajian ini, terlihat bagaimana sebuah
8 Anthony Black, The History of Islamic Political Thought (From the Prophet to the Present)
entitas politik dalam konteks kekhalifahan mengatur dirinya dan mendistribusikan
pendapatannya ke seluruh elemen masyarakat.
Sebagai gerakan transnasional yang bergerak di luar mainstream, tentunya
menjadi sangat menarik kajian tentang Hizbut Tahrir ini. Selain itu di Indonesia,
Hizbut Tahrir sangat concern dengan isu-isu agraria, manakala isu tersebut
dilupakan public. Hizbut Tahrir akan memfollow up kembali melalui serangkaian
aksi di lapangan, kajian di kampus, media sosial, dan bulletin. Hizbut Tahrir
bergerak di ranah pertempuran wacana, tidak sekedar Menyikapi kebijakan
pengelolaan sumber daya alam pemerintah yang bersifat liberal.Artinya Hizbut
Tahrir tidak sembarangan dalam mewacanakan solusi alternatif konsep pengelolaan
sumber daya alam yang tepat bagi Indonesia.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian tentang Hizbut Tahrir sebelumnya
yang kerapkali menitikberatkan fokus pada konsep khilafah secara menyeluruh.
Penelitian ini fokus pada pemikiran Hizbut Tahrir dalam hal pengelolaan sumber
daya alam, seperti apa konkretnya cara khilafah mengatur pengelolaan sumber daya
alam.
Selanjutnya terkait kajian terdahulu, umumnya kajian pemikiran yang fokus
terhadap wacana tata kelola sumber daya alam semacam ini didominasi pemikiran
yang berasal dari pemikiran Barat. Misalnya Wealth of Nations milik Adam Smith
sebagai awal lahirnya liberalisme yang membicarakan ide ide menafikan
kewenangan Negara. Setelah itu terdapat kajian yang inti gagasannya adalah
mencoba untuk mengkompromikan kewenangan Negara dan pasar seperti yang
dilakukan oleh John Maynard Keynes. Yang kemudian kajian milik Keynes
tersebut dilawan oleh Friederich Von Hayek dan Milton Friedman melalui gagasan
neoliberalisme.
Merujuk fakta seperti itu maka dari sisi orisinalitas penelitian, penelitian ini
jelas mempunyai perbedaan dengan kajian terdahulu, bila kajian terdahulu
umumnya berasal dari pemikiran Barat maka kajian ini meneliti pemikiran ekonomi
politik Islam. Adapun terkait signifikansi penelitian, penelitian ini menambah
wacana baru dalam kajian politik ekonomi, khususnya pemikiran Islam. Disamping
itu kajian ini bisa dimaknai sebagai alternative ataupun solusi konkret perbaikan
untuk Indonesia.
B. Rumusan Masalah :
Bagaimana pemikiran ekonomi politik hizbut tahrir tentang pengelolaan sumber
daya alam dalam konteks kekhalifahan?
C. Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi pemikiran ekonomi politik Islam dari Hizbut Tahrir tentang
pengelolaan sumber daya alam dalam konteks kekhalifahan.
D. Kerangka Teori
Kerangka teori pada penelitian ini merujuk pada tulisan Vedi Hadiz yang
berjudul Political Islam in Post Authoritarian Indonesia dan review atas berjudul
Indonesian Political Thinking karangan Herbert Faith dan Lance Castle yang
ditulis oleh Alfian dan juga tulisan Abdurrahman Wahid berjudul Islam, Politics,
and Democracy in the 1950’s and 1990’s di dalam buku berjudul Democracy in
Indonesia 1950’s and 1990’s yang dikompilasi oleh David Bourchier dan John
Legge. Yang ditulis adalah hasil ringkasan atas ketiganya.
D.1 Political Islam in Post Authoritarian Indonesia. (Vedi Hadiz)
Dewasa ini pendekatan sekuritas menjadi dominan digunakan dalam melihat
fenomena terorisme dan kekerasan pada konteks sejarah dan sosiologi dalam politik
Islam. Penulis melihat pasang surut relasi antara Islam politik yang memposisikan
diri seperti aktor “tumpuan” masyarakat dalam menanggulangi kapitalisme
internasional pada rezim sekuler Timur Tengah, Afrika Utara dan Indonesia.
Implikasi Perang Dingin terhadap genealogi dan dinamisasi organisasi Islam di
Solo juga masuk bahasan utama. Selain itu, beberapa gerakan Islam politik
berhaluan fundamentalis yang diasumsikan secara ideologi terpengaruh terhadap
gerakan Islam ekstraparlemen pada era Orde Baru turut djadikan bahasan9.
D.1.1 Political Islam as Populist Response
Islam politik dimaknai sebagai “populist response” dari kelompok masyarakat
sipil yang jenuh dengan implikasi negatif yang ditimbulkan kapitalisme global.
Penulis mengambil contoh beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara yang
memiliki pengalaman dimana Islam politik muncul sebagai kekuatan “populist
response” terhadap kapitalisme global untuk melihat pada konteks Indonesia pasca
rezim Orde Baru10.
Cara pandang penulis terpengaruh sekali dengan penelitian yang dilakukan
Alejandro Colas. Dimana penelitian ini melihat mekanisme kekuatan Islam politik
di Afrika Utara yang menjadi tumpuan masyarakat dalam memperbaiki struktur
9 Vedi Hadiz, Political Islam in Post Authoritarian Indonesia, hal 7, 2010, CRISE Working Paper.
10 Ibid
ekonomi politik negeri yang terlanjur dirusak oleh kapitalisme global. Kemunculan
Islam politik sebagai “populist response” merupakan gejala yang dulu pernah
terjadi, dimana terdapat aktor yang akan melawan rezim kapitalisme global11.
Adapun faktor utama Islam politik mampu menjadi “populist response” adalah
hilangnya kekuatan yang solid dan besar untuk melawan kapitalisme global. Salah
satunya dimana kelompok “the Left” yang acapkali menjadi aktor utama dalam
melawan kapitalisme global, dalam beberapa kasus, eksistensinya dianggap ilegal
dan ditekan oleh rezim penguasa supaya tidak reaksioner. Selanjutnya penulis juga
memaparkan temuan Halperin di Timur Tengah yang beargumen bahwa sasaran
negara terhadap kelompok reaksioner juga tertuju pada kelompok “the Left” yang
terhitung moderat. Oligarki berhaluan konservatif nasionalis di kawasan tersebut
tidak ingin kelompok “the Left” “mengganggu stabilitas” negaranya dengan
mendesainnya sebagai kelompok yang berbahaya12.
D.1.2 Concluding Observations
Pada era Orde Baru, gelombang masyarakat sipil yang berpotensi mengancam
eksistensi rezim, ditanggulangi salah satunya dengan mengelola kekuatan Islam
politik. Cara yang pernah dilakukan oleh beberapa rezim di Afrika Utara dan Timur
Tengah. Menurut penulis, hal demikian terjadi akibat dari ketidakhadiran
kelompok kiri dalam rentang waktu yang lama. Perang Dingin melahirkan strategi
11 Ibid
12 Ibid hal 8
bagi negara – negara dunia ketiga termasuk Indonesia dalam rangka merespon
gelombang masyarakat sipil yang berpotensi menggoyang kekuasaan13.
Terdapat kemiripan karakter antara kelompok Islam politik mainstream dengan
lapisan kelas atas orang-orang Islam di era kolonial, dimana mereka khawatir akan
kehilangan lahan produksinya. Kehadiran kelompok kiri dengan skala masif
terutama pada aspek kesejahteraan dan urbanisasi tidak pelak menghadirkan juga
sejumlah dukungan. Keringnya ideologi berbasis massa berhaluan kiri dalam
kontestasi politik kala itu dianggap sebagai hal yang melatarbelakanginya14.
Selanjutnya penulis menemukan bahwa beberapa kelompok Islam politik
“fundamentalis” saat ini berada di luar kekuasaan politik formal. Kerjasama yang
dilakukan oleh elemen politik dan militer di zaman dahulu dengan
menggunakannya sebagai alat kepentingan merupakan alasan munculnya fenomena
tersebut. Tidak pelak merujuk pada fakta tersebut, Sidel (2006) berargumen bahwa
hal tersebut menjadi sisi gelap kekuatan kelompok tersebut. Ditambah adanya
fenomena oleh oknum-oknum kelompok Islam politik tersebut yang dimanfaatkan
parpol-parpol Islam memobilisasi opini agar umat Islam percaya bahwa hal yang
menjadi wacana politik tersebut penting untuk diperjuangkan. Potensi mereduksi
kekuatan Islam justru akan timbul bila parpol-parpol Islam hanya melihat pada
kepentingan dunia semata, inilah yang dikhawatirkan oleh kelompok Islam
fundamentalis. Dan juga lingkaran politik kontemporer nampak tidak
13 Ibid hal 31
14 Ibid hal 31-32
mengakomodir corak pergerakan Islam yang dijalankan oleh oknum-oknum Islam
fundamentalis15.
Ancaman terhadap kaum dan segala hal yang berbau kapitalisme di Indonesia
sejatinya tidak tunggal atau berasal satu aktor saja (Islam politik), melainkan masih
ada lagi selainnya. Meski demikian tidak dapat dipungkiri bila Islam politik
menjelma sebagai stereotipe baru yang dianggap memiliki kekuatan yang tidak bisa
diremehkan bagi kelompok pemodal lokal maupun asing dalam melakukan
ekspansi ekonomi ke Indonesia16.
Penulis nampak skeptis terhadap kekuatan Islam politik kontemporer mampu
melakukan manuver politik alternatif melawan kapitalisme, dikarenakan pertalian
historis menceritakan bahwa mereka memiliki karakteristik pemikiran yang sama
dengan Sarekat Islam dan juga terdapat dari mereka menjadi pelaku modal level
lokal17.
Selanjutnya yang tidak luput dari perhatian penulis adalah Hizbut Tahrir,
dimana organisasi ini tergolong rutin melakukan konfrontasi terhadap kapitalisme.
Penulis melihat bahwa pemikiran ekonomi politik Hizbut Tahrir bila dipraktekan
pada level kebijakan negara, maka akan lahir berpotensi melahirkan kelas
15 Ibid
16 Ibid hal 32
17 Ibid
menengah atau borjuasi kecil, karena karakternya yang merekomendasikan negara
supaya memberikan ruang bagi kalangan religius untuk mengisi wilayah swasta18.
Sangat mudah dirasakan, dengan dominannya pesan-pesan religius yang
dijanjikan kalangan kelas menengah atau kelas borjuasi kecil ketika menjalankan
roda kebijakan negara yang tentu dipandang lebih rasional oleh masyarakat
sementara di sisi lain stigma buruk melekat pada pelaku modal asing ataupun
berasal dari etnis Cina. Mengacu pada alur yang demikian, maka tidak heran bila
kedepannya negara ideal menurut Hizbut Tahrir bakal menjalankan karakter
ekonomi berbasis keimanan19.
D.2 Islam, Politics and Democracy in the 1950’s and 1990’s (Abdurrahman
Wahid)
D.2.1 Islam dan Pancasila, era 50an, versi MPR era Orde Baru (era 90an)
Terdapat kata kunci utama dalam mengidentifikasi dinamika politik di
Indonesia pada dekade 50an dan 90an. Yakni Pancasila, dimana pada dekade 50an
didesain sebagai hasil “kompromi politik” sekaligus mengakomodir berbagai aliran
ideologi yang ada. Hal ini berbeda ketika pada dekade 90an digunakan sebagai asas
tunggal dimana mau tidak mau mengharuskan semua elemen politik yang ada patuh
terhadapnya. Diawali ketika tahun 1978, MPR menerjemahkan Pancasila dengan
18 Ibid
19 Ibid
versi Negara, yang mana konsekuensinya tidak memberikan ruang bagi elemen lain
untuk memahami Pancasila selain dari versi MPR20.
Seperti halnya yang dialami kelompok Islam, yang justru nampak kembali ke
era presiden Soekarno, dimana dilarang menjadikan Islam sebagai gagasan politik.
Dengan keadaan macam itu, Islam seolah olah “turun kasta” dengan berada di
bawah Pancasila dan eksistensinya menjadi sebatas sebuah “political orientation”
ketimbang ideologi politik. Contoh terbaik dari hal itu adalah PPP yang pada waktu
itu identik keIslamannya, ternyata tidak menggunakan Islam sebagai mabda,
melainkan dijadikan sebuah “political orientation”21.
Dekade 70an merupakan era dimana pemerintah aktif melakukan “de-
confessionalising” terhadap beberapa organisasi politik dan sosial melalui
pengeluaran sejumlah payung hukum. Dengan kata lain, label pembangkang akan
diperoleh apabila tidak sepakat dengan konsep Pancasila sebagai ideologi negara.
Islam hanya dijadikan alat legitimasi rezim yang berkuasa, sangat kontras dengan
tahun 1957-1959, dimana Islam masih diakui sebagai ideologi politik22.
Gambaran tersebut menunjukan karakter Islam politik pada era 50an dan 90an.
Karakter unsur Islam politiknya tidak mengalami perubahan. Berbagai macam
lembaga sosial dan politik berbasis Islam masih diperlihara pemerintah dan
mendapatkan tempat di parlemen. Mengelola politik dengan cara itu, merupakan
20 Abdurrahman Wahid, Islam, Politics and Democracy in the 1950s and 1990s, hal 151, Monash
Paper on Southeast Asia no. 31.
21 Ibid
22 Ibid
upaya pemerintah untuk mencitrakan diri seolah olah perhatian dan menuruti
kehendak mayoritas Muslim dengan Islam, sejalan dengan fakta demografis
Indonesia23.
Adapun yang melaterbelakangi berbagai tindakan pemerintah terhadap Islam
adalah berangkat dari penolakan Islam terhadap sekulerisme secara menyeluruh
pada negara, maka pemerintah mencoba merefleksikan unsur Islam pada negara.
Keberadaan beberapa “lembaga Islam” yang mengakomodir kepentingan rakyat di
parlemen berguna sebagai upaya monitoring terhadap pemerintah agar tidak
mengeluarkan kebijakan yang bersifat anti Islam. Tentu para kalangan pemikir
maupun pegiat berbasis Islam politik senang dengan adanya mereka, karena bisa
dimaknai untuk “Islamisation of the law”24.
Secara historis dalam kurun dekade 30an sampai dengan buntunya
perbincangan di dalam parlemen pada 1959, fakta tersebut tidak dapat dipisahkan
dari rentetan peristiwa silang pendapat antara kelompok Islam dan beberapa partai
lainnya. Perdebatan tanpa henti akhirnya usai ketika salah satu pasal dalam Piagam
Jakarta. Pasal tersebut berbunyi “obligation of adherents of Islam to implement
Islamic Law (Syari’ah)”, yang mana menyiratkan sebuah keharusan bagi negara
untuk berhukum menggunakan hukum Islam. Tidak ada perubahan berarti terkait
23 Ibid hal 151-152
24 Ibid hal 152
pola tuntutan kalangan Islam politik dari masa ke masa, kemunculannya tergantung
seberapa besar momentum untuk melakukan tuntutan25.
D.2.2 Pendekatan Dalam Perjuangan
Rentetan penjelasan diatas menghasilkan sejumlah pertanyaan terkait hakekat
perjuangan kelompok Islam politik sebaiknya seperti apa. Pertanyaan akan muncul
seperti, “varian “social persuasion” yang cocok guna mengkampanyekan Islam
politik terhadap masyarakat dan mungkin tidaknya ideogi Islam diterapkan tanpa
prosedur birokratis”. Pengalaman Islam dijadikan rujukan norma pada kehidupan
bermasyarakat pada era kolonial tidak cukup menjawab kegundahan yang selama
ini ada26.
Terdapat perbedaan pendapat antara aktivis Muslim yang “legal-formalist dan
“non legalist” dalam memperjuangkan Islam di kancah politik nasional. Misalnya
dari kalangan “legal-formalist” menghendaki eksistensi partai politik berbasis
Islam. Karakter pendekatan tersebut tidak sesuai dengan konfigurasi yang majemuk
layaknya Indonesia. Pendekatan tersebut hanya dapat dijalankan pada negara –
negara yang menjadikan Islam sebagai basis ideologi negara, misalnya Arab Saudi,
Iran dan Afghanistan. Sementara kalangan “non legalist” memilih untuk
mengadopsi pendekatan budaya, seperti melalui pendidikan dan perbaikan etika
masyarakat27.
25 Ibid
26 Ibid hal 153
27 Ibid hal 153-154
D.3 Indonesian Political Thinking (Review dari Alfian)
Herbert Feith dan Lance Castle mengidentifikasi beberapa aliran politik yang
ada di Indonesia pada rentang tahun 1945-1965. Dalam rentang waktu tersebut
dibagi beberapa periodesasi untuk mempermudah pembacaan. Pertama “the period
of the armed revolution”, kedua “the liberal period”, ketiga “the period of Guided
Democracy”. Untuk menjabarkan ketiganya, diperlukan pemahaman terlebih
dahulu terhadap konfigurasi aliran politik pada era kolonial28.
D.3.1 Aliran Politik di Era Kolonial
Menjelang berakhirnya penjajahan Belanda disertai dengan tumbuhnya
berbagai macam gagasan politik baru yang berasal dari Barat maupun Islam.
Adapun gagasan tradisional tidak serta merta hilang, malahan beberapa
dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Beberapa gagasan tersebut
makin mudah sampai pada masyarakat, karena kala itu mulai bermunculan media
massa lokal secara masif. Berbagai organisasi sosial dan politik berbasis Islam,
Jawa dan Barat mulai bermunculan. Konsekuensinya, lahir banyak intelektual
seperti Cipto Mangunkusumo, HOS Cokroaminoto, Soetomo, Natsir, Sukarno,
Hatta, Sjahrir. Beragamnya gagasan tersebut tidak pelak membawa wajah aliran
ideologi yang ada di Indonesia menjadi terlihat konfliktual. Sebagai contoh, pada
dekade 1920an terdapat “suguhan” perdebatan seru antara Islam dan Komunis dan
dekade 1930an Islam dan Nasionalis29.
28 Alfian, A Review : Indonesian Political Thinking, hal 193, 1971
29 Ibid
D.3.2 Karakter Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965
1. The Period of The Armed Revolution (1945-1949)
Pengaruh warisan pemikiran era kolonial sangat kuat. Pelaku politik didominasi
oleh kalangan yang bisa mengakses pendidikan tinggi atau para founding fathers,
seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Natsir dan Tan Malaka. Konfigurasi pemikiran tidak
terlalu melebar. Merujuk pada kebutuhan Indonesia di awal kelahirannya yang
harus mengeluarkan sebuah produk sebagai “guidance” negara dalam menjalankan
roda pemerintahan30.
2. The Liberal Period (1950-1959)
Terdapat intelektual baru yang kehadirannya tidak bisa dilepaskan dari para
politisi ataupun intelektual pada masa revolusi. Terjadi pertarungan ideologi yang
sangat kuat antara partai politik. Banyak intelektual muda yang menarik diri dari
politik formal. Beberapa dari kalangan ini lebih tertarik memosisikan dirinya
sebagai “observer” terhadap perpolitik nasional. Lantas terjun menjadi wartawan,
penulis dan mahasiswa. Misalnya Rosihan Anwar, Sudjatmoko dan Nugroho
Notosutanto. Orang-orang ini dilabeli “unattached intellectuals” oleh Herbert
Feith31.
30 Ibid hal 195
31 Ibid
3. The Guided Democracy (1959-1965)
Terdapat produk politik (Nasakom) yang mengandung unsur Nasionalisme,
Agama dan Komunisme. Semua elemen di negara harus mematuhinya.
Sebagaimana Feith mengutip perkataan Sukarno, “Never before had government
leaders insisted on repeated affirmations of support for their ideas as a condition
for participation in legal politics”. Periode ini mendapati banyaknya diskursus
tentang Nasakom. Adapun juga terdapat sanksi bagi intelektual ataupun orang yang
tidak sepakat dengan konsep Nasakom32.
D.3 Lima Aliran Politik
Feith berhasil menemukan Islam, Komunisme, Nasionalisme Radikal,
Sosialisme Demokratik, Tradisional Jawa sebagai beberapa ideologi politik yang
muncul pada periode 1945-1965. Kesemua ideologi dijadikan platform beberapa
partai politik di Indonesia kecuali, Tradisional Jawa (secara utuh). Tidak dijadikan
platform partai, sebagai nilai lokal, Tradisional Jawa memiliki pengaruh yang
kentara terlihat pada NU, PNI dan PKI. Diantara mereka yang paling didominasi
olehnya adalah PNI. Disamping itu ada pula sebuah partai berbasis di Yogyakarta
bernama Gerinda yang turut terpengaruh olehnya33.
Meski partai-partai politik memiliki platform berideologi yang jelas, namun
tetap masih ada unsur nilai eksternal yang tidak berasal dari ideologinya. Misalnya
32 Ibid hal 196
33 Ibid
pada kasus NU dan Masyumi, dimana keduanya terang-terangan menjadikan Islam
sebagai platform partai, tapi intervensi eksternal masih dapat terdeteksi. NU seolah
olah tidak bisa lepas dari nilai tradisional Jawa, sedangkan Masyumi nampak
terpengaruh oleh sosialisme demokratik. Keduanya hadir meski tidak dijadikan
rujukan utama partai. PNI, sebagai partai nasionalis radikal, terpapar dua aliran
sekaligus, yakni tradisionalisme jawa dan sosialisme demokratik. Diantara
keduanya, yang paling kentara pengaruhnya adalah tradisionalisme jawa. PKI,
berideologi komunisme, namun ada beberapa nilai tradisionalisme jawa di
dalamnya. Selanjutnya terkait ideologi sosialisme demokratik, didapati digunakan
PSI sebagai basis ideologi partai. PSI didukung oleh kalangan berpendidikan di
kota-kota besar. Pengikut akar rumput PSI tidak sebanyak dengan PNI, PKI,
Masyumi dan NU34.
Untuk konteks “shedding the influence of tradition”, PKI dan PSI merupakan
partai paling tinggi skalanya. Masyumi mengarah ke partai modernis, tapi tidak
sekuat PKI dan PSI. Sementara PNI dan NU berurutan berada di bawah Masyumi.
Dalam spektrum ideologi, PKI termasuk golongan far left, Masyumi termasuk
golongan far right. Sementara PNI di tengah dan cenderung ke kiri. NU termasuk
golongan kanan, namun ada kecenderungan ke tengah35.
E. Metode Penelitian
34 Ibid hal 197
35 Ibid
Secara harfiah, metode penelitian dapat diartikan sebagai cara, hal ini merujuk
dari bahasa Yunani methodos (methos + bodos). Dengan demikian metode
penelitian sosial dapat diartikan sebagai cara secara beraturan yang dipakai peneliti
sewaktu melakukan penelitian baik dari langkah pengumpulan data hingga
penjelasan fenomena sosial yang ditelitinya. Dalam tradisi ilmu sosial, dikenal dua
metode penelitian, yakni kualitatif dan kuantitatif36. Dalam konteks penelitian ini,
metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
F. Jenis Penelitian
Adapun metode penelitian kualitatif pun masih terdiri beberapa macam jenis.
Nantinya penelitian ini akan menggunakan salah satu jenis dalam kualitatif yakni
metode penelitian kepustakaan atau sering juga disebut metode studi pustaka.
Metode studi pustaka, secara definisi berarti penelitian yang dikerjakan merujuk
pada temuan berupa tulisan tulisan, baik yang belum diterbitkan ataupun sudah
diterbitkan. Temuan data yang diperoleh digunakan sebagai rujukan utama dalam
pengerjaan penelitian37.
G. Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, penelitian ini akan menggunakan metode
dokumentasi. Metode dokumentasi berarti membawa dan menyatukan jadi satu
beberapa data yang diperoleh dengan wujud data berupa benda. Benda tersebut
36Gumilar Rusmiwa Soemantri, Jurnal Makara Sosial Humaniora, Fisip UI, Jakarta.
37Tulisan Rifqi Amin dalam http://banjirembun.blogspot.com/2012/04/penelitian-
kepustakaan.html diakses pada tanggal 22 Februari 2015
adalah buletin, majalah, catatan diskusi dan seminar, buku, tabloid,
penelitian/skripsi mahasiswa, artikel di internet dan koran38. Selanjutnya besar
kemungkinan peneliti akan melakukan wawancara terhadap anggota amggota
Hizbut Tahrir demi mendapatkan kedalaman data.
H. Jenis Data
Dalam penelitian terdapat dua jenis data, yakni data primer dan data sekunder,
berikut penjelasannya.
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang menyerahkan data utama yakni data yang secara
spesifik membicarakan tentang pengelolaan sumber daya alam menurut Hizbut
Tahrir. Dalam hal ini beberapa data itu adalah beberapa tulisan berwujud tabloid,
buku, artikel yang dipublikasikan oleh Hizbut Tahrir39.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang tidak secara eksplisit membicarakan
pengelolaan sumber daya alam menurut Hizbut Tahrir, hanya saja data ini masih
memiliki kesinambungan dengan topik penelitian. Sebagai contoh nantinya peneliti
akan mencari data data melalui wawancara dengan orang yang memiliki
kesepakatan ideologis dengan pandangan pengelolaan sumber daya alam menurut
Hizbut Tahrir dan mencari buku buku yang memiliki keterkaitan dengan topik
38 Suharsmi Arikunto dalam Skripsi Pramono Pendidikan Islam perspektif Taqiyuddin an Nabhani.
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sunan Kalijaga. 2012
39 Ibid
penelitian. Fungsi data sekunder untuk memperkuat dan menambah kejelasan data
primer40.
I. Metode Analisa Data
Metode Analisa Data merupakan fase usaha mendapatkan dan mengatur data
secara beraturan. Proses pengaturan dilakukan dengan cara memilah milah data
mana yang sekiranya bisa dijadikan basis argumen penelitian dan memasukkannya
ke dalam klasifikasi klasifikasi. Setelah itu menulis kesimpulan supaya
memudahkan orang yang membaca. Dalam metode analisa data, peneliti
menggunakan metode deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik merupakan
metode analisis yang menggiring data melalui beberapa fase sebagai berikut:
1. Mereduksi data dengan menyatukan data terlebih dahulu, merangkai dan
menyeleksi data yang mempunyai kesinambungan.
2. Menganalisa dan mengkaji, fase ini dilakukan dengan menganalisa hasil
reduksi data dan “memasaknya” dengan ditambah data sekunder.
3. Memverifikasi dan menelisik relasi kesinambungan beberapa data dan
dianalisa atau disesuaikan dengan menggunakan kerangka teori41, dalam
konteks ini peneliti akan menganalisa apakah pemikiran ekonomi politik
Hizbut Tahrir termasuk kategori yang dipaparkan dalam kerangka teori atau
independen (alternatif) dari kesemua kategori tersebut.
40 Ibid
41 Hardawi Nawawi dalam dalam Skripsi Pramono Pendidikan Islam perspektif Taqiyuddin an
Nabhani. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sunan Kalijaga. 2012
J. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dibuat bertujuan untuk memudahkan dalam
memahami skripsi42. Kaitannya dengan skripsi ini maka penulis akan membuat
sistematika pembahasan yang terdiri dari 4 Bab. Berikut sistematika pembahasan
skripsi ini :
Bab pertama terdiri dari latar belakang pemilihan Hizbut Tahrir sebagai
objek penelitian, rumusan masalah, kerangka teori sebagai pembimbing penulis
menjawab rumusan masalah, metode penelitian dan terakhir adalah sistematika
pembahasan.
Bab kedua menceritakan profil Hizbut Tahrir secara umum. Pengenalan
profil Hizbut Tahrir sangatlah penting untuk memperkenalkan penulis pada objek
yang akan diteliti sebelum membaca. Hal ini dilatarbelakangi dengan betapa
anehnya jika pembaca tiba tiba langsung dihadapkan atau “dipaksa” tertuju dengan
pembahasanj pokok penelitian tanpa mengenal apa itu Hizbut Tahrir.
Bab ketiga menceritakan pokok permasalahan seperti pembahasan data
konret pengelolaan sumber daya alam menurut Hizbut Tahrir. Secara garis besar
dalam bab ini menjawab beberapa pertanyaan yang mengacu pada kerangka teori
42 Ibid
yakni Pertama bagaimana pemikiran pengelolaan sumber daya alam Hizbut Tahrir
memaknai sumber daya alam ; Secara teoritis sumber daya alam milik siapa ;
Bagaimana mekanisme pengelolaan sumber daya alam ; apa fungsi dan
pemanfaatan sumber daya alam. Kedua posisi pemikiran Hizbut Tahrir diantara
ketiga pendekatan pengelolaan sumber daya alam. Bab keempat membahas tentang
analisis penulis melalui perspektifnya dari penelitian berdasarkan dari apa yang
diperoleh pada bab ketiga. Data yang ada pada bab ketiga Bab kelima berisikan
kesimpulan yang menarik garis besar dari pembahasan pengelolaan sumber daya
alam menurut Hizbut Tahrir.