BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar...

26
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum penelitian ini merupakan kajian pemikiran ekonomi politik. Penelitian ini melihat pemikiran ekonomi politik Islam Hizbut Tahrir tentang tata kelola sumber daya alam dalam konteks kekhalifahan. Penelitian ini berawal dari keinginan untuk melihat dan menganalisis pemikiran yang lahir bukan dari pemikiran Barat, dalam konteks ini seperti pemikiran Hibut Tahrir yang lahir dari pemikiran Islam. Sebagaimana yang telah diketahui, menurut subjektivitas penulis, bahwa dalam literatur akademis saat ini yang banyak terpublish adalah dari Barat. Poinnya adalah dalam penelitian ini penulis tidak sedang dalam posisi menyalahkan pemerintah memakai pemikiran Barat sebagai landasan menjalankan pemerintahan dan tidak sedang dalam mengkampanyekan pemikiran ini untuk kemudian digunakan pemerintah, karena penulis berusaha untuk memosisikan diri secara objektif dan melihat secara fair. Oleh karena itu, sedikit banyak penelitian ini dipengaruhi dengan fakta tersebut. Tidak hanya itu, penelitian ini juga dilatarbelakangi keprihatinan terhadap peristiwa ekonomi politik yang terjadi di Indonesia. Terhitung sejak Portugal mendarat pertama kali abad 15, praktis Indonesia setelah itu seolah-olahmenjadi incarandan diperebutkanoleh negara Barat. Dengan kekayaan sumber daya alam melimpah ruah, daya tarik Indonesia memang besar. Bukan berlebihan lantas dilabeli julukan Zamrud Khatulistiwa. Hingga kini julukan tersebut sepertinya masih menyisakan daya tarik bagi negara-negara asing maupun kapitalis lokal

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar...

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum penelitian ini merupakan kajian pemikiran ekonomi politik.

Penelitian ini melihat pemikiran ekonomi politik Islam Hizbut Tahrir tentang tata

kelola sumber daya alam dalam konteks kekhalifahan. Penelitian ini berawal dari

keinginan untuk melihat dan menganalisis pemikiran yang lahir bukan dari

pemikiran Barat, dalam konteks ini seperti pemikiran Hibut Tahrir yang lahir dari

pemikiran Islam. Sebagaimana yang telah diketahui, menurut subjektivitas penulis,

bahwa dalam literatur akademis saat ini yang banyak terpublish adalah dari Barat.

Poinnya adalah dalam penelitian ini penulis tidak sedang dalam posisi menyalahkan

pemerintah memakai pemikiran Barat sebagai landasan menjalankan pemerintahan

dan tidak sedang dalam mengkampanyekan pemikiran ini untuk kemudian

digunakan pemerintah, karena penulis berusaha untuk memosisikan diri secara

objektif dan melihat secara fair. Oleh karena itu, sedikit banyak penelitian ini

dipengaruhi dengan fakta tersebut.

Tidak hanya itu, penelitian ini juga dilatarbelakangi keprihatinan terhadap

peristiwa ekonomi politik yang terjadi di Indonesia. Terhitung sejak Portugal

mendarat pertama kali abad 15, praktis Indonesia setelah itu “seolah-olah” menjadi

“incaran” dan “diperebutkan” oleh negara Barat. Dengan kekayaan sumber daya

alam melimpah ruah, daya tarik Indonesia memang besar. Bukan berlebihan lantas

dilabeli julukan Zamrud Khatulistiwa. Hingga kini julukan tersebut sepertinya

masih menyisakan daya tarik bagi negara-negara asing maupun kapitalis lokal

untuk berlomba menguasai sumber daya alam milik Indonesia. Metode intervensi

zaman sekarang lebih canggih daripada dengan zaman dulu. Sama-sama

menggunakan perdagangan sebagai pendekatan awal menganggu kekayaan Negara.

Sayang seribu sayang, hanya saja melalui keran deregulasi dan privatisasi yang

dikucurkan pemerintah Indonesia, swasta asing ataupun lokal bebas dengan tenang

menanamkan modal ataupun berkompromi1. Berikut serangkaian sinyalemen masih

adanya praktek liberalisasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Merujuk pada temuan melalui wadah WTO dan regionalisme ASEAN, yang

merujuk pada laporan Indonesia for Global Justice (IGJ) membeberkan bahwa

hingga Januari 2013, pemerintah Indonesia sudah mengadakanbeberapanota

kesepahamanperdagangan bilateral dan regional. Terdapat sejumlahtraktat yang

sudah berjalan yakniASEAN-Australia-New Zealand FTA. Terdapat juga traktat

yang baru berada pada fase konsultasi seperti ASEAN-Pakistan FTA,

Comprehensive Economic Partnership for East Asia (CEPEA/ASEAN + 6), East

Asia FTA (ASEAN + 3), Indonesia - Chile, US - Indonesia FTA2.

Ditambah lagi, terdapat beberapa kebijakan yang bersifat liberal pada peridode

2013 yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Pertama, regulasi yang

justru menghalangi negara untuk bergerak lebih jauh seperti RUU Perdagangan.

RUU Perdagangan tidak sesuai dengan semangat awalnya yang ingin memproteksi

masyarakat dari efek liberalisasi. Namun demikian, yang terjadi justru RUU

1 Neoliberalisme, Tulisan I Wibowo dalam buku Dalam Pusaran Neoliberalisme.

(Yogyakarta,2003).

2http://www.neraca.co.id/industri/36661/Pengelolaan-Sumber-Daya-Alam-Didominasi-

Asing2 pada tanggal 18 Maret 2014

Perdagangan yang sekarang ini merupakan refleksi kesepakatan pandangan dengan

lembaga internasional macam WTO. Kedua, terdapat indikasi bahwa pemerintah

lebih menyukai impor produk ketimbang ekspor, hal ini tercermin pada kebijakan

yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan yang fokus terhadap regulasi impor

produk pangan ketimbang kegiatan mengontrol pangan. Mengacu pada laporan IGJ,

sejumlah kebijakan tersebut ialah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun

2013 perihal Ketentuan Impor Kedelai dalam rangka Program Stabilisasi Harga

Kedelai, Permendag Nomor 47 tahun 2013 perihal Perubahan Nomor 16 tahun 2013

Tahun 2013 perihal Ketentuan Impor Produk Holtikulutura, dan Permendag Nomor

46 Tahun 2013 perihal Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan3.

Selanjutnya suara dari kalangan akademisi, menurut Suteki Guru Besar

Fakultas Hukum Undip, agenda privatisasi dari swasta juga dapat ditemukan dalam

Undang-Undang Sumber Daya Air, lebih spesifik lagi terhadap persoalan

pengusahaan SDA pada Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 26, Pasal 38, Pasal 40, Pasal

45, Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 49. Atas nama kelompok Muhammadiyah, UU ini

bahkan telah dilaporkan ke MK4.

Sejumlah temuan tersebut mencerminkan pemerintah terlihat seolah kurang

mengintervensi lebih jauh dalam urusan pengelolaan sumber daya alam.

Kedaulatan sumber daya alam yang sejatinya bisa didistribusikan secara baik

praktis sulit tercapai. Tidak m, pemerintah kini semakin tidak bergigi dan tak

3Loc Cit

4 Merdeka.com. Rabu 18 Desember 2013

memiliki kemampuan intervensi setelah adanya privatisasi BUMN. Privatisasi

memang bukan hal yang baru, pada era Orba, pemerintah juga pernah

memprivatisasi sejumlah perusahaan BUMN. Namun demikian, melihat akibat dari

aktualisasi privatisasi yang tidak seindah yang dibayangkan, merupakan kecelakan

besar, bila peningkatan ekonomi sebagai dalih pengguliran kebijakan itu.

Implikasi paling nyata, ideologi neoliberal potensial reaktif. Banyak sekali

konflik agraria meledak di beberapa daerah. Terdapat beberapa bukti konkret yang

menguatkan pernyataan tersebut. Data pada 2013 milik KPA memperlihatkan

terdapat penambahan konflik dengan jumlah 369. Mayoritas konflik terjadi pada

sektor perkebunan dengan jumlah 180 konflik. Selanjutnya terdapat sektor lain

yang turut berkontribusi melahirkan konflik seperti sektor infrastruktur berjumlah

105 konflik, sektor pertambangan 38 konflik, sektor kehutanan 31 konflik, sektor

kelautan 9 konflik, dan sektor lainnya 6 konflik5. Sedikit mundur ke belakang tahun

2011, yang masih mungkin segar di ingatan dan yang terekspos oleh media adalah

konflik di Sape, Bima. terekam jelas betapa sumber mata air yang notabene menjadi

sumber kehidupan bagi masyarakat setempat dicerabut oleh perusahaan swasta

bernama PT Sumber Mineral Nusantara. Satu contoh kecil konflik agraria sudah

cukup membuktikan betapa implikasi ideology neoliberal sangatlah mengerikan.

Jika ditelusuri, akar musabab dari beberapa kebijakan tersebut adalah ideology

neoliberalisme. Ideologi tersebut membuat pemerintah untuk berperilaku

memprioritaskan kekayaan agraria kepada sector swasta asing ataupun local

5 Okezone, Senin 10 Februari 2014 pada jam 21.30

ketimbang rakyat. Adalah Friederich Von Hayek dan Milton Friedman yang

pertama kali menemukan gagasan neoliberalisme. Dalam gagasan neoliberalisme

keberadaan negara hanya akan menimbulkan distorsi, oleh karena itu Negara sangat

sedikit memperoleh kewenangan mengatur urusan ekonomi. Saking minimnya

peran negara, negara hanya diberi tiga jatah, yaitu menyediakan infrastruktur,

memberikan garansi keamanan dan memberikan soliditas pada penegakan hukum6.

Namun dalam hal ini, penulis ingin melihat apakah ada pemikiran di luar Barat

yang mengkaji soal ekonomi politik dan seperti apa hakekatnya dan mekanisme

berpikirnya. Berawal dari rasa penasaran, dalam kaitan ini, Islam dipilih

dikarenakan rekam sejarah dahulu dimana Islam terbukti pernah menghegemoni

sejumlah ilmu pengetahuan di Barat. Pada era kejayaan Islam di Spanyol, Barat

berada pada sebuah titik kegelapan, ilmu pengetahuan yang ada harus

dikompromikan dengan pihak gereja terlebih dahulu, di sisi lain produk pemikiran

Islam digunakan di tiap lini kehidupan.

Termasuk urusan pengelolaan sumber daya alam, Islam memiliki rekam jejak

dengan sejahteranya kehidupan masyarakat pada zaman kekhalifahan. Selanjutnya

menyoal upaya untuk memperjuangkan syariat Islam lewat parlemen ataupun tidak

di Indonesia sudah ada sejak zaman awal kemerdekaan.

Pada zaman kemerdekaan kelompok politik macam partai Masyumi dengan

platform Islam dan basis massa umat Islam yang kuat, pernah mencoba

memperjuangkan syariat Islam lewat parlemen, meski pada akhirnya perjuangan

6 Tulisan I. Wibowo, Emoh Negara Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara dalam

Neoliberalisme hal 281, (Yogyakarta, 2003).

tersebut berujung kegagalan. Selanjutnya Kartosuwiryo mencoba mendirikan

Negara Islam Indonesia melalui perjuangan diluar parlemen. Perjuangan kedua

kelompok beda strategi tadi mencerminkan adanya upaya perlawanan dari

kelompok Islam terhadap pemikiran Barat yang saat itu diadopsi oleh kelompok

nasionalis.

Adapun di saat ini, terdapat gerakan politik Islam yang menolak berpaham

dengan pemikiran Barat. Gerakan tersebut bernama Hizbut Tahrir dan Palestina

merupakan negeri kelahiran Hizbut Tahrir. Orientasi utama dari gerakan Hizbut

Tahrir adalah mewujudkan tatanan hidup yang sesuai dengan kaidah yang

dibenarkan dalam agama Islam melalui pendirian Khilafah Islamiyah.

Adalah seorang syaikh bernama Taqiyuddin An Nabhani lulusan

Universitas Al Azhar yang merintis gerakan Hizbut Tahrir. Perkembangan Hizbut

Tahrir tergolong cepat, buktinya kini Hizbut Tahrir berada di beberapa belahan

dunia seperti di negara negara Timur Tengah, negara negara Eropa dan negara

negara di Asia Tengah dan Asia Tenggara.Keberadaan Hizbut Tahrir di Indonesia

diawali pada periode 80an melalui aktivitas dakwah di beberapa kampus. Baru pada

periode 90an dakwah Hizbut Tahrir mulai merambah ke masyarakat umum7.

Ketidakpercayaan Hizbut Tahrir terhadap demokrasi membuat gerakan ini

memiliki keunikan tersendiri. Hizbut Tahrir secara sadar menegaskan untuk tidak

ikut ikutan gerakan politik lainnya yang pada umumnya memilih jalur demokratis.

Daripada berjuang dengan cara cara demokratis, Hizbut Tahrir memilih untuk

berjuang di jalan ekstraparlemen.

7http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/

Merupakan ketegasan pilihan, jika dibenturkan dengan konteks Indonesia

saat ini ditengah adanya beberapa kelompok Islam di Indonesia yang percaya

dengan jalan demokratis, meski ada juga gerakan Islam yang memilih jalan ekstra

parlemen. Terlepas dari hal itu, Hizbut Tahrir memiliki keunikan yg khas dibanding

dari gerakan politik Islam lainnya.

Dengan gerakan politik intraparlemen misalnya, Hizbut Tahrir memiliki

independensi ideologis yang tidak bisa dikompromikan melalui mekanisme koalisi

diparlemen. Bukan rahasia lagi bila terdapat kecenderungan pragmatisme ideologi

apabila masuk di parlemen. Hizbut Tahrir memiliki platform politik yang jelas. Dari

awal masuk ke Indonesia tahun 1980an hingga saat ini, Hizbut Tahrir tidak pernah

berpaling dari platform awal gerakan.

Hizbut Tahrir konsisten menerapkan jalan perjuangan dan ideology

Islamnya. Gerakan politik Islam yang melebur ke dalam proses demokrasi memiliki

kecenderungan untuk catch all dalam hal ideology. Secara logika, hal ini merupakan

hal yang mafhum mengingat di alam demokrasi procedural saat ini membuat

mereka berfikir untuk meraup suara sebanyak mungkin dengan kemungkinan

menanggalkan platform ideologinya.

Kajian tentang pemikiran politik sangat menarik. Di dalamnya terkandung

unsur interdisipliner, yakni antara politik dan ekonomi. Membongkar rasionalisasi

atas latar belakang lahirnya berbagai entitas politik dan opsi strategi politik juga

termasuk cakupan kajian8. Dalam konteks kajian ini, terlihat bagaimana sebuah

8 Anthony Black, The History of Islamic Political Thought (From the Prophet to the Present)

entitas politik dalam konteks kekhalifahan mengatur dirinya dan mendistribusikan

pendapatannya ke seluruh elemen masyarakat.

Sebagai gerakan transnasional yang bergerak di luar mainstream, tentunya

menjadi sangat menarik kajian tentang Hizbut Tahrir ini. Selain itu di Indonesia,

Hizbut Tahrir sangat concern dengan isu-isu agraria, manakala isu tersebut

dilupakan public. Hizbut Tahrir akan memfollow up kembali melalui serangkaian

aksi di lapangan, kajian di kampus, media sosial, dan bulletin. Hizbut Tahrir

bergerak di ranah pertempuran wacana, tidak sekedar Menyikapi kebijakan

pengelolaan sumber daya alam pemerintah yang bersifat liberal.Artinya Hizbut

Tahrir tidak sembarangan dalam mewacanakan solusi alternatif konsep pengelolaan

sumber daya alam yang tepat bagi Indonesia.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian tentang Hizbut Tahrir sebelumnya

yang kerapkali menitikberatkan fokus pada konsep khilafah secara menyeluruh.

Penelitian ini fokus pada pemikiran Hizbut Tahrir dalam hal pengelolaan sumber

daya alam, seperti apa konkretnya cara khilafah mengatur pengelolaan sumber daya

alam.

Selanjutnya terkait kajian terdahulu, umumnya kajian pemikiran yang fokus

terhadap wacana tata kelola sumber daya alam semacam ini didominasi pemikiran

yang berasal dari pemikiran Barat. Misalnya Wealth of Nations milik Adam Smith

sebagai awal lahirnya liberalisme yang membicarakan ide ide menafikan

kewenangan Negara. Setelah itu terdapat kajian yang inti gagasannya adalah

mencoba untuk mengkompromikan kewenangan Negara dan pasar seperti yang

dilakukan oleh John Maynard Keynes. Yang kemudian kajian milik Keynes

tersebut dilawan oleh Friederich Von Hayek dan Milton Friedman melalui gagasan

neoliberalisme.

Merujuk fakta seperti itu maka dari sisi orisinalitas penelitian, penelitian ini

jelas mempunyai perbedaan dengan kajian terdahulu, bila kajian terdahulu

umumnya berasal dari pemikiran Barat maka kajian ini meneliti pemikiran ekonomi

politik Islam. Adapun terkait signifikansi penelitian, penelitian ini menambah

wacana baru dalam kajian politik ekonomi, khususnya pemikiran Islam. Disamping

itu kajian ini bisa dimaknai sebagai alternative ataupun solusi konkret perbaikan

untuk Indonesia.

B. Rumusan Masalah :

Bagaimana pemikiran ekonomi politik hizbut tahrir tentang pengelolaan sumber

daya alam dalam konteks kekhalifahan?

C. Tujuan Penelitian

Mengidentifikasi pemikiran ekonomi politik Islam dari Hizbut Tahrir tentang

pengelolaan sumber daya alam dalam konteks kekhalifahan.

D. Kerangka Teori

Kerangka teori pada penelitian ini merujuk pada tulisan Vedi Hadiz yang

berjudul Political Islam in Post Authoritarian Indonesia dan review atas berjudul

Indonesian Political Thinking karangan Herbert Faith dan Lance Castle yang

ditulis oleh Alfian dan juga tulisan Abdurrahman Wahid berjudul Islam, Politics,

and Democracy in the 1950’s and 1990’s di dalam buku berjudul Democracy in

Indonesia 1950’s and 1990’s yang dikompilasi oleh David Bourchier dan John

Legge. Yang ditulis adalah hasil ringkasan atas ketiganya.

D.1 Political Islam in Post Authoritarian Indonesia. (Vedi Hadiz)

Dewasa ini pendekatan sekuritas menjadi dominan digunakan dalam melihat

fenomena terorisme dan kekerasan pada konteks sejarah dan sosiologi dalam politik

Islam. Penulis melihat pasang surut relasi antara Islam politik yang memposisikan

diri seperti aktor “tumpuan” masyarakat dalam menanggulangi kapitalisme

internasional pada rezim sekuler Timur Tengah, Afrika Utara dan Indonesia.

Implikasi Perang Dingin terhadap genealogi dan dinamisasi organisasi Islam di

Solo juga masuk bahasan utama. Selain itu, beberapa gerakan Islam politik

berhaluan fundamentalis yang diasumsikan secara ideologi terpengaruh terhadap

gerakan Islam ekstraparlemen pada era Orde Baru turut djadikan bahasan9.

D.1.1 Political Islam as Populist Response

Islam politik dimaknai sebagai “populist response” dari kelompok masyarakat

sipil yang jenuh dengan implikasi negatif yang ditimbulkan kapitalisme global.

Penulis mengambil contoh beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara yang

memiliki pengalaman dimana Islam politik muncul sebagai kekuatan “populist

response” terhadap kapitalisme global untuk melihat pada konteks Indonesia pasca

rezim Orde Baru10.

Cara pandang penulis terpengaruh sekali dengan penelitian yang dilakukan

Alejandro Colas. Dimana penelitian ini melihat mekanisme kekuatan Islam politik

di Afrika Utara yang menjadi tumpuan masyarakat dalam memperbaiki struktur

9 Vedi Hadiz, Political Islam in Post Authoritarian Indonesia, hal 7, 2010, CRISE Working Paper.

10 Ibid

ekonomi politik negeri yang terlanjur dirusak oleh kapitalisme global. Kemunculan

Islam politik sebagai “populist response” merupakan gejala yang dulu pernah

terjadi, dimana terdapat aktor yang akan melawan rezim kapitalisme global11.

Adapun faktor utama Islam politik mampu menjadi “populist response” adalah

hilangnya kekuatan yang solid dan besar untuk melawan kapitalisme global. Salah

satunya dimana kelompok “the Left” yang acapkali menjadi aktor utama dalam

melawan kapitalisme global, dalam beberapa kasus, eksistensinya dianggap ilegal

dan ditekan oleh rezim penguasa supaya tidak reaksioner. Selanjutnya penulis juga

memaparkan temuan Halperin di Timur Tengah yang beargumen bahwa sasaran

negara terhadap kelompok reaksioner juga tertuju pada kelompok “the Left” yang

terhitung moderat. Oligarki berhaluan konservatif nasionalis di kawasan tersebut

tidak ingin kelompok “the Left” “mengganggu stabilitas” negaranya dengan

mendesainnya sebagai kelompok yang berbahaya12.

D.1.2 Concluding Observations

Pada era Orde Baru, gelombang masyarakat sipil yang berpotensi mengancam

eksistensi rezim, ditanggulangi salah satunya dengan mengelola kekuatan Islam

politik. Cara yang pernah dilakukan oleh beberapa rezim di Afrika Utara dan Timur

Tengah. Menurut penulis, hal demikian terjadi akibat dari ketidakhadiran

kelompok kiri dalam rentang waktu yang lama. Perang Dingin melahirkan strategi

11 Ibid

12 Ibid hal 8

bagi negara – negara dunia ketiga termasuk Indonesia dalam rangka merespon

gelombang masyarakat sipil yang berpotensi menggoyang kekuasaan13.

Terdapat kemiripan karakter antara kelompok Islam politik mainstream dengan

lapisan kelas atas orang-orang Islam di era kolonial, dimana mereka khawatir akan

kehilangan lahan produksinya. Kehadiran kelompok kiri dengan skala masif

terutama pada aspek kesejahteraan dan urbanisasi tidak pelak menghadirkan juga

sejumlah dukungan. Keringnya ideologi berbasis massa berhaluan kiri dalam

kontestasi politik kala itu dianggap sebagai hal yang melatarbelakanginya14.

Selanjutnya penulis menemukan bahwa beberapa kelompok Islam politik

“fundamentalis” saat ini berada di luar kekuasaan politik formal. Kerjasama yang

dilakukan oleh elemen politik dan militer di zaman dahulu dengan

menggunakannya sebagai alat kepentingan merupakan alasan munculnya fenomena

tersebut. Tidak pelak merujuk pada fakta tersebut, Sidel (2006) berargumen bahwa

hal tersebut menjadi sisi gelap kekuatan kelompok tersebut. Ditambah adanya

fenomena oleh oknum-oknum kelompok Islam politik tersebut yang dimanfaatkan

parpol-parpol Islam memobilisasi opini agar umat Islam percaya bahwa hal yang

menjadi wacana politik tersebut penting untuk diperjuangkan. Potensi mereduksi

kekuatan Islam justru akan timbul bila parpol-parpol Islam hanya melihat pada

kepentingan dunia semata, inilah yang dikhawatirkan oleh kelompok Islam

fundamentalis. Dan juga lingkaran politik kontemporer nampak tidak

13 Ibid hal 31

14 Ibid hal 31-32

mengakomodir corak pergerakan Islam yang dijalankan oleh oknum-oknum Islam

fundamentalis15.

Ancaman terhadap kaum dan segala hal yang berbau kapitalisme di Indonesia

sejatinya tidak tunggal atau berasal satu aktor saja (Islam politik), melainkan masih

ada lagi selainnya. Meski demikian tidak dapat dipungkiri bila Islam politik

menjelma sebagai stereotipe baru yang dianggap memiliki kekuatan yang tidak bisa

diremehkan bagi kelompok pemodal lokal maupun asing dalam melakukan

ekspansi ekonomi ke Indonesia16.

Penulis nampak skeptis terhadap kekuatan Islam politik kontemporer mampu

melakukan manuver politik alternatif melawan kapitalisme, dikarenakan pertalian

historis menceritakan bahwa mereka memiliki karakteristik pemikiran yang sama

dengan Sarekat Islam dan juga terdapat dari mereka menjadi pelaku modal level

lokal17.

Selanjutnya yang tidak luput dari perhatian penulis adalah Hizbut Tahrir,

dimana organisasi ini tergolong rutin melakukan konfrontasi terhadap kapitalisme.

Penulis melihat bahwa pemikiran ekonomi politik Hizbut Tahrir bila dipraktekan

pada level kebijakan negara, maka akan lahir berpotensi melahirkan kelas

15 Ibid

16 Ibid hal 32

17 Ibid

menengah atau borjuasi kecil, karena karakternya yang merekomendasikan negara

supaya memberikan ruang bagi kalangan religius untuk mengisi wilayah swasta18.

Sangat mudah dirasakan, dengan dominannya pesan-pesan religius yang

dijanjikan kalangan kelas menengah atau kelas borjuasi kecil ketika menjalankan

roda kebijakan negara yang tentu dipandang lebih rasional oleh masyarakat

sementara di sisi lain stigma buruk melekat pada pelaku modal asing ataupun

berasal dari etnis Cina. Mengacu pada alur yang demikian, maka tidak heran bila

kedepannya negara ideal menurut Hizbut Tahrir bakal menjalankan karakter

ekonomi berbasis keimanan19.

D.2 Islam, Politics and Democracy in the 1950’s and 1990’s (Abdurrahman

Wahid)

D.2.1 Islam dan Pancasila, era 50an, versi MPR era Orde Baru (era 90an)

Terdapat kata kunci utama dalam mengidentifikasi dinamika politik di

Indonesia pada dekade 50an dan 90an. Yakni Pancasila, dimana pada dekade 50an

didesain sebagai hasil “kompromi politik” sekaligus mengakomodir berbagai aliran

ideologi yang ada. Hal ini berbeda ketika pada dekade 90an digunakan sebagai asas

tunggal dimana mau tidak mau mengharuskan semua elemen politik yang ada patuh

terhadapnya. Diawali ketika tahun 1978, MPR menerjemahkan Pancasila dengan

18 Ibid

19 Ibid

versi Negara, yang mana konsekuensinya tidak memberikan ruang bagi elemen lain

untuk memahami Pancasila selain dari versi MPR20.

Seperti halnya yang dialami kelompok Islam, yang justru nampak kembali ke

era presiden Soekarno, dimana dilarang menjadikan Islam sebagai gagasan politik.

Dengan keadaan macam itu, Islam seolah olah “turun kasta” dengan berada di

bawah Pancasila dan eksistensinya menjadi sebatas sebuah “political orientation”

ketimbang ideologi politik. Contoh terbaik dari hal itu adalah PPP yang pada waktu

itu identik keIslamannya, ternyata tidak menggunakan Islam sebagai mabda,

melainkan dijadikan sebuah “political orientation”21.

Dekade 70an merupakan era dimana pemerintah aktif melakukan “de-

confessionalising” terhadap beberapa organisasi politik dan sosial melalui

pengeluaran sejumlah payung hukum. Dengan kata lain, label pembangkang akan

diperoleh apabila tidak sepakat dengan konsep Pancasila sebagai ideologi negara.

Islam hanya dijadikan alat legitimasi rezim yang berkuasa, sangat kontras dengan

tahun 1957-1959, dimana Islam masih diakui sebagai ideologi politik22.

Gambaran tersebut menunjukan karakter Islam politik pada era 50an dan 90an.

Karakter unsur Islam politiknya tidak mengalami perubahan. Berbagai macam

lembaga sosial dan politik berbasis Islam masih diperlihara pemerintah dan

mendapatkan tempat di parlemen. Mengelola politik dengan cara itu, merupakan

20 Abdurrahman Wahid, Islam, Politics and Democracy in the 1950s and 1990s, hal 151, Monash

Paper on Southeast Asia no. 31.

21 Ibid

22 Ibid

upaya pemerintah untuk mencitrakan diri seolah olah perhatian dan menuruti

kehendak mayoritas Muslim dengan Islam, sejalan dengan fakta demografis

Indonesia23.

Adapun yang melaterbelakangi berbagai tindakan pemerintah terhadap Islam

adalah berangkat dari penolakan Islam terhadap sekulerisme secara menyeluruh

pada negara, maka pemerintah mencoba merefleksikan unsur Islam pada negara.

Keberadaan beberapa “lembaga Islam” yang mengakomodir kepentingan rakyat di

parlemen berguna sebagai upaya monitoring terhadap pemerintah agar tidak

mengeluarkan kebijakan yang bersifat anti Islam. Tentu para kalangan pemikir

maupun pegiat berbasis Islam politik senang dengan adanya mereka, karena bisa

dimaknai untuk “Islamisation of the law”24.

Secara historis dalam kurun dekade 30an sampai dengan buntunya

perbincangan di dalam parlemen pada 1959, fakta tersebut tidak dapat dipisahkan

dari rentetan peristiwa silang pendapat antara kelompok Islam dan beberapa partai

lainnya. Perdebatan tanpa henti akhirnya usai ketika salah satu pasal dalam Piagam

Jakarta. Pasal tersebut berbunyi “obligation of adherents of Islam to implement

Islamic Law (Syari’ah)”, yang mana menyiratkan sebuah keharusan bagi negara

untuk berhukum menggunakan hukum Islam. Tidak ada perubahan berarti terkait

23 Ibid hal 151-152

24 Ibid hal 152

pola tuntutan kalangan Islam politik dari masa ke masa, kemunculannya tergantung

seberapa besar momentum untuk melakukan tuntutan25.

D.2.2 Pendekatan Dalam Perjuangan

Rentetan penjelasan diatas menghasilkan sejumlah pertanyaan terkait hakekat

perjuangan kelompok Islam politik sebaiknya seperti apa. Pertanyaan akan muncul

seperti, “varian “social persuasion” yang cocok guna mengkampanyekan Islam

politik terhadap masyarakat dan mungkin tidaknya ideogi Islam diterapkan tanpa

prosedur birokratis”. Pengalaman Islam dijadikan rujukan norma pada kehidupan

bermasyarakat pada era kolonial tidak cukup menjawab kegundahan yang selama

ini ada26.

Terdapat perbedaan pendapat antara aktivis Muslim yang “legal-formalist dan

“non legalist” dalam memperjuangkan Islam di kancah politik nasional. Misalnya

dari kalangan “legal-formalist” menghendaki eksistensi partai politik berbasis

Islam. Karakter pendekatan tersebut tidak sesuai dengan konfigurasi yang majemuk

layaknya Indonesia. Pendekatan tersebut hanya dapat dijalankan pada negara –

negara yang menjadikan Islam sebagai basis ideologi negara, misalnya Arab Saudi,

Iran dan Afghanistan. Sementara kalangan “non legalist” memilih untuk

mengadopsi pendekatan budaya, seperti melalui pendidikan dan perbaikan etika

masyarakat27.

25 Ibid

26 Ibid hal 153

27 Ibid hal 153-154

D.3 Indonesian Political Thinking (Review dari Alfian)

Herbert Feith dan Lance Castle mengidentifikasi beberapa aliran politik yang

ada di Indonesia pada rentang tahun 1945-1965. Dalam rentang waktu tersebut

dibagi beberapa periodesasi untuk mempermudah pembacaan. Pertama “the period

of the armed revolution”, kedua “the liberal period”, ketiga “the period of Guided

Democracy”. Untuk menjabarkan ketiganya, diperlukan pemahaman terlebih

dahulu terhadap konfigurasi aliran politik pada era kolonial28.

D.3.1 Aliran Politik di Era Kolonial

Menjelang berakhirnya penjajahan Belanda disertai dengan tumbuhnya

berbagai macam gagasan politik baru yang berasal dari Barat maupun Islam.

Adapun gagasan tradisional tidak serta merta hilang, malahan beberapa

dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Beberapa gagasan tersebut

makin mudah sampai pada masyarakat, karena kala itu mulai bermunculan media

massa lokal secara masif. Berbagai organisasi sosial dan politik berbasis Islam,

Jawa dan Barat mulai bermunculan. Konsekuensinya, lahir banyak intelektual

seperti Cipto Mangunkusumo, HOS Cokroaminoto, Soetomo, Natsir, Sukarno,

Hatta, Sjahrir. Beragamnya gagasan tersebut tidak pelak membawa wajah aliran

ideologi yang ada di Indonesia menjadi terlihat konfliktual. Sebagai contoh, pada

dekade 1920an terdapat “suguhan” perdebatan seru antara Islam dan Komunis dan

dekade 1930an Islam dan Nasionalis29.

28 Alfian, A Review : Indonesian Political Thinking, hal 193, 1971

29 Ibid

D.3.2 Karakter Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965

1. The Period of The Armed Revolution (1945-1949)

Pengaruh warisan pemikiran era kolonial sangat kuat. Pelaku politik didominasi

oleh kalangan yang bisa mengakses pendidikan tinggi atau para founding fathers,

seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Natsir dan Tan Malaka. Konfigurasi pemikiran tidak

terlalu melebar. Merujuk pada kebutuhan Indonesia di awal kelahirannya yang

harus mengeluarkan sebuah produk sebagai “guidance” negara dalam menjalankan

roda pemerintahan30.

2. The Liberal Period (1950-1959)

Terdapat intelektual baru yang kehadirannya tidak bisa dilepaskan dari para

politisi ataupun intelektual pada masa revolusi. Terjadi pertarungan ideologi yang

sangat kuat antara partai politik. Banyak intelektual muda yang menarik diri dari

politik formal. Beberapa dari kalangan ini lebih tertarik memosisikan dirinya

sebagai “observer” terhadap perpolitik nasional. Lantas terjun menjadi wartawan,

penulis dan mahasiswa. Misalnya Rosihan Anwar, Sudjatmoko dan Nugroho

Notosutanto. Orang-orang ini dilabeli “unattached intellectuals” oleh Herbert

Feith31.

30 Ibid hal 195

31 Ibid

3. The Guided Democracy (1959-1965)

Terdapat produk politik (Nasakom) yang mengandung unsur Nasionalisme,

Agama dan Komunisme. Semua elemen di negara harus mematuhinya.

Sebagaimana Feith mengutip perkataan Sukarno, “Never before had government

leaders insisted on repeated affirmations of support for their ideas as a condition

for participation in legal politics”. Periode ini mendapati banyaknya diskursus

tentang Nasakom. Adapun juga terdapat sanksi bagi intelektual ataupun orang yang

tidak sepakat dengan konsep Nasakom32.

D.3 Lima Aliran Politik

Feith berhasil menemukan Islam, Komunisme, Nasionalisme Radikal,

Sosialisme Demokratik, Tradisional Jawa sebagai beberapa ideologi politik yang

muncul pada periode 1945-1965. Kesemua ideologi dijadikan platform beberapa

partai politik di Indonesia kecuali, Tradisional Jawa (secara utuh). Tidak dijadikan

platform partai, sebagai nilai lokal, Tradisional Jawa memiliki pengaruh yang

kentara terlihat pada NU, PNI dan PKI. Diantara mereka yang paling didominasi

olehnya adalah PNI. Disamping itu ada pula sebuah partai berbasis di Yogyakarta

bernama Gerinda yang turut terpengaruh olehnya33.

Meski partai-partai politik memiliki platform berideologi yang jelas, namun

tetap masih ada unsur nilai eksternal yang tidak berasal dari ideologinya. Misalnya

32 Ibid hal 196

33 Ibid

pada kasus NU dan Masyumi, dimana keduanya terang-terangan menjadikan Islam

sebagai platform partai, tapi intervensi eksternal masih dapat terdeteksi. NU seolah

olah tidak bisa lepas dari nilai tradisional Jawa, sedangkan Masyumi nampak

terpengaruh oleh sosialisme demokratik. Keduanya hadir meski tidak dijadikan

rujukan utama partai. PNI, sebagai partai nasionalis radikal, terpapar dua aliran

sekaligus, yakni tradisionalisme jawa dan sosialisme demokratik. Diantara

keduanya, yang paling kentara pengaruhnya adalah tradisionalisme jawa. PKI,

berideologi komunisme, namun ada beberapa nilai tradisionalisme jawa di

dalamnya. Selanjutnya terkait ideologi sosialisme demokratik, didapati digunakan

PSI sebagai basis ideologi partai. PSI didukung oleh kalangan berpendidikan di

kota-kota besar. Pengikut akar rumput PSI tidak sebanyak dengan PNI, PKI,

Masyumi dan NU34.

Untuk konteks “shedding the influence of tradition”, PKI dan PSI merupakan

partai paling tinggi skalanya. Masyumi mengarah ke partai modernis, tapi tidak

sekuat PKI dan PSI. Sementara PNI dan NU berurutan berada di bawah Masyumi.

Dalam spektrum ideologi, PKI termasuk golongan far left, Masyumi termasuk

golongan far right. Sementara PNI di tengah dan cenderung ke kiri. NU termasuk

golongan kanan, namun ada kecenderungan ke tengah35.

E. Metode Penelitian

34 Ibid hal 197

35 Ibid

Secara harfiah, metode penelitian dapat diartikan sebagai cara, hal ini merujuk

dari bahasa Yunani methodos (methos + bodos). Dengan demikian metode

penelitian sosial dapat diartikan sebagai cara secara beraturan yang dipakai peneliti

sewaktu melakukan penelitian baik dari langkah pengumpulan data hingga

penjelasan fenomena sosial yang ditelitinya. Dalam tradisi ilmu sosial, dikenal dua

metode penelitian, yakni kualitatif dan kuantitatif36. Dalam konteks penelitian ini,

metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian kualitatif.

F. Jenis Penelitian

Adapun metode penelitian kualitatif pun masih terdiri beberapa macam jenis.

Nantinya penelitian ini akan menggunakan salah satu jenis dalam kualitatif yakni

metode penelitian kepustakaan atau sering juga disebut metode studi pustaka.

Metode studi pustaka, secara definisi berarti penelitian yang dikerjakan merujuk

pada temuan berupa tulisan tulisan, baik yang belum diterbitkan ataupun sudah

diterbitkan. Temuan data yang diperoleh digunakan sebagai rujukan utama dalam

pengerjaan penelitian37.

G. Metode Pengumpulan Data

Dalam metode pengumpulan data, penelitian ini akan menggunakan metode

dokumentasi. Metode dokumentasi berarti membawa dan menyatukan jadi satu

beberapa data yang diperoleh dengan wujud data berupa benda. Benda tersebut

36Gumilar Rusmiwa Soemantri, Jurnal Makara Sosial Humaniora, Fisip UI, Jakarta.

37Tulisan Rifqi Amin dalam http://banjirembun.blogspot.com/2012/04/penelitian-

kepustakaan.html diakses pada tanggal 22 Februari 2015

adalah buletin, majalah, catatan diskusi dan seminar, buku, tabloid,

penelitian/skripsi mahasiswa, artikel di internet dan koran38. Selanjutnya besar

kemungkinan peneliti akan melakukan wawancara terhadap anggota amggota

Hizbut Tahrir demi mendapatkan kedalaman data.

H. Jenis Data

Dalam penelitian terdapat dua jenis data, yakni data primer dan data sekunder,

berikut penjelasannya.

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang menyerahkan data utama yakni data yang secara

spesifik membicarakan tentang pengelolaan sumber daya alam menurut Hizbut

Tahrir. Dalam hal ini beberapa data itu adalah beberapa tulisan berwujud tabloid,

buku, artikel yang dipublikasikan oleh Hizbut Tahrir39.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang tidak secara eksplisit membicarakan

pengelolaan sumber daya alam menurut Hizbut Tahrir, hanya saja data ini masih

memiliki kesinambungan dengan topik penelitian. Sebagai contoh nantinya peneliti

akan mencari data data melalui wawancara dengan orang yang memiliki

kesepakatan ideologis dengan pandangan pengelolaan sumber daya alam menurut

Hizbut Tahrir dan mencari buku buku yang memiliki keterkaitan dengan topik

38 Suharsmi Arikunto dalam Skripsi Pramono Pendidikan Islam perspektif Taqiyuddin an Nabhani.

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sunan Kalijaga. 2012

39 Ibid

penelitian. Fungsi data sekunder untuk memperkuat dan menambah kejelasan data

primer40.

I. Metode Analisa Data

Metode Analisa Data merupakan fase usaha mendapatkan dan mengatur data

secara beraturan. Proses pengaturan dilakukan dengan cara memilah milah data

mana yang sekiranya bisa dijadikan basis argumen penelitian dan memasukkannya

ke dalam klasifikasi klasifikasi. Setelah itu menulis kesimpulan supaya

memudahkan orang yang membaca. Dalam metode analisa data, peneliti

menggunakan metode deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik merupakan

metode analisis yang menggiring data melalui beberapa fase sebagai berikut:

1. Mereduksi data dengan menyatukan data terlebih dahulu, merangkai dan

menyeleksi data yang mempunyai kesinambungan.

2. Menganalisa dan mengkaji, fase ini dilakukan dengan menganalisa hasil

reduksi data dan “memasaknya” dengan ditambah data sekunder.

3. Memverifikasi dan menelisik relasi kesinambungan beberapa data dan

dianalisa atau disesuaikan dengan menggunakan kerangka teori41, dalam

konteks ini peneliti akan menganalisa apakah pemikiran ekonomi politik

Hizbut Tahrir termasuk kategori yang dipaparkan dalam kerangka teori atau

independen (alternatif) dari kesemua kategori tersebut.

40 Ibid

41 Hardawi Nawawi dalam dalam Skripsi Pramono Pendidikan Islam perspektif Taqiyuddin an

Nabhani. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sunan Kalijaga. 2012

J. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dibuat bertujuan untuk memudahkan dalam

memahami skripsi42. Kaitannya dengan skripsi ini maka penulis akan membuat

sistematika pembahasan yang terdiri dari 4 Bab. Berikut sistematika pembahasan

skripsi ini :

Bab pertama terdiri dari latar belakang pemilihan Hizbut Tahrir sebagai

objek penelitian, rumusan masalah, kerangka teori sebagai pembimbing penulis

menjawab rumusan masalah, metode penelitian dan terakhir adalah sistematika

pembahasan.

Bab kedua menceritakan profil Hizbut Tahrir secara umum. Pengenalan

profil Hizbut Tahrir sangatlah penting untuk memperkenalkan penulis pada objek

yang akan diteliti sebelum membaca. Hal ini dilatarbelakangi dengan betapa

anehnya jika pembaca tiba tiba langsung dihadapkan atau “dipaksa” tertuju dengan

pembahasanj pokok penelitian tanpa mengenal apa itu Hizbut Tahrir.

Bab ketiga menceritakan pokok permasalahan seperti pembahasan data

konret pengelolaan sumber daya alam menurut Hizbut Tahrir. Secara garis besar

dalam bab ini menjawab beberapa pertanyaan yang mengacu pada kerangka teori

42 Ibid

yakni Pertama bagaimana pemikiran pengelolaan sumber daya alam Hizbut Tahrir

memaknai sumber daya alam ; Secara teoritis sumber daya alam milik siapa ;

Bagaimana mekanisme pengelolaan sumber daya alam ; apa fungsi dan

pemanfaatan sumber daya alam. Kedua posisi pemikiran Hizbut Tahrir diantara

ketiga pendekatan pengelolaan sumber daya alam. Bab keempat membahas tentang

analisis penulis melalui perspektifnya dari penelitian berdasarkan dari apa yang

diperoleh pada bab ketiga. Data yang ada pada bab ketiga Bab kelima berisikan

kesimpulan yang menarik garis besar dari pembahasan pengelolaan sumber daya

alam menurut Hizbut Tahrir.