BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

26
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korea Selatan merupakan salah satu negara berkembang yang mampu mencapai kemajuan yang membanggakan dalam proses pembangunan ekonomi. Negara ini berhasil melakukan tranformasi dengan cara membangun industri manufaktur. Seiring dengan perkembangan yang telah diraih, Korea Selatan kemudian disebut telah melewati tahapan sebagai negara industri baru atau Newly Industrialising Country (NIC). Bahkan saat ini, tidak sedikit anggapan yang menyatakan bahwa Korea Selatan telah berhasil mencapai tahapan negara industri maju. Menurut data Bank Dunia, sejak tahun 2010 Korea Selatan telah menjadi negara ekonomi terbesar kelima belas di dunia dengan GNI atau Gross National Income per kapita sebesar US$ 22,670 (World Bank, 2014). Atas prestasi dan keberhasilannya yang dikenal juga sebagai “the miracle on the han river”, topik-topik mengenai proses pembangunan ekonomi khususnya proses industrialisasi di Korea Selatan mendapat perhatian dari banyak kalangan. Berbagai pandangan dari para peneliti dan akademisi telah mencoba untuk menjawab faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan proses tersebut. Hal ini menandakan bahwa pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan yang mengiringi berjalannya transformasi negara tersebut dari negara berkembang menjadi negara maju merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas. Dimulai pada tahun 1962, pembangunan ekonomi berkesinambungan dilakukan oleh Korea Selatan. Melalui program pembangunan lima tahun yang 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korea Selatan merupakan salah satu negara berkembang yang mampu

mencapai kemajuan yang membanggakan dalam proses pembangunan ekonomi.

Negara ini berhasil melakukan tranformasi dengan cara membangun industri

manufaktur. Seiring dengan perkembangan yang telah diraih, Korea Selatan

kemudian disebut telah melewati tahapan sebagai negara industri baru atau Newly

Industrialising Country (NIC). Bahkan saat ini, tidak sedikit anggapan yang

menyatakan bahwa Korea Selatan telah berhasil mencapai tahapan negara industri

maju. Menurut data Bank Dunia, sejak tahun 2010 Korea Selatan telah menjadi

negara ekonomi terbesar kelima belas di dunia dengan GNI atau Gross National

Income per kapita sebesar US$ 22,670 (World Bank, 2014).

Atas prestasi dan keberhasilannya yang dikenal juga sebagai “the miracle

on the han river”, topik-topik mengenai proses pembangunan ekonomi khususnya

proses industrialisasi di Korea Selatan mendapat perhatian dari banyak kalangan.

Berbagai pandangan dari para peneliti dan akademisi telah mencoba untuk

menjawab faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan proses tersebut.

Hal ini menandakan bahwa pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan

yang mengiringi berjalannya transformasi negara tersebut dari negara berkembang

menjadi negara maju merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas.

Dimulai pada tahun 1962, pembangunan ekonomi berkesinambungan

dilakukan oleh Korea Selatan. Melalui program pembangunan lima tahun yang

1

merupakan katalisator transformasi perekonomiannya, pada tahun 1970an negara

ini telah mampu meraih status sebagai NIC. Dengan capaian tersebut, Korea

Selatan berhasil melewati Malaysia dan negara-negara Amerika Latin seperti

Brasil, Argentina, dan Meksiko yang sebelumnya diyakini akan muncul sebagai

negara industri baru (Song, 1980: 12) Dalam proses pembangunan tersebut lahir

kebijakan-kebijakan strategis seperti Export Oriented Industrialization atau EOI

dan Heavy and Chemical Industries atau HCI, serta lembaga atau institusi

penunjang pembangunan seperti Economic Planning Board atau EPB dan Korean

Central Intelligence Agency atau KCIA yang merupakan beberapa faktor penting

di dalam proses transformasi ekonomi di Korea Selatan.

Kebijakan HCI sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu faktor utama

yang membentuk karakteristik perekonomian Korea Selatan seperti sekarang. Dari

kebijakan tersebut, Korea Selatan yang pada awalnya merupakan negara agraris

berubah bentuk menjadi negara industri manufaktur. Kebijakan yang

mengarahkan pembangunan pada sektor industri berat ini akhirnya melahirkan

industri-industri unggulan seperti baja, kapal, semi konduktor, dan salah satunya

yang akan menjadi fokus utama di dalam tulisan ini adalah industri otomobil.

Industri otomobil merupakan salah satu industri strategis yang

memberikan kontribusi cukup besar bagi proses perkembangan ekonomi global.

Industri ini terkait dengan berbagai industri lainnya, sehingga Peter Dicken (2011)

menyebutnya sebagai “the key manufacturing industry”. Industri ini mampu

menyerap sekitar 8 juta orang pekerja dalam proses produksi kendaraan. Jika

ditambahkan dengan pekerja yang terlibat dalam pemasaran, penjualan, dan

2

servis, secara keseluruhan jumlah individu yang dipekerjakan tidak kurang dari 20

juta orang (Dicken, 2011: 278).

Tidak hanya itu, industri otomobil mampu memproduksi sekitar 60 juta

kendaraan dalam setahun, menyumbang hampir separuh dari keseluruhan

konsumsi minyak dunia. Kemudian pembuatannya menggunakan sekitar setengah

dari hasil karet, 25 persen kaca, dan 15 persen produksi baja dunia setiap

tahunnya (The Economist, 2004). Sedangkan dalam lingkup domestik, menurut

Korean Automobile Manufacturers Association pada laporan tahunannya, industri

otomobil berada pada peringkat pertama dari segi penyerapan tenaga kerja,

produksi, dan nilai tambah, jika dibandingkan dengan industri manufaktur lain di

Korea Selatan (KAMA, 2011: 6). Dikarenakan skalanya yang besar dan memiliki

keterkaitan dengan banyak industri lainnya industri otomobil menjadi salah satu

industri prioritas bagi banyak negara di dunia, termasuk bagi Korea Selatan.

Dibawah kepemimpinan Park Chung-hee yang memiliki visi untuk

menjadikan Korea Selatan sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia,

industri otomobil mulai dibangun. Saat mulai memimpin pemerintahan pada

tahun 1963, Park memutuskan bahwa negaranya akan menjadi salah satu

produsen otomobil dunia (Kim dan Jaffe, 2010: 101). Park beranggapan bahwa

kontribusi industri ini dalam proses pembangunan, akan mampu menjadi

katalisator bagi peningkatan status ekonomi Korea Selatan dari negara

berkembang menjadi negara industri maju.

Industri otomobil Korea Selatan berawal dari industri reparasi kendaraan

selama dan setelah perang Korea, ditandai dengan berdirinya pabrik perakitan

3

kendaraan pertama pada tahun 1955. Rencana Pembangunan Ekonomi Lima

Tahun dan kebijakan EOI yang ditetapkan oleh pemerintah pasca kepemimpinan

Park Chung-hee, mendorong industri ini untuk terus berkembang. Melalui

kerjasama teknik atau joint venture dengan perusahaan asing khususnya dari

Jepang, beberapa perusahaan perakitan mobil dalam negeri lahir. Beberapa

diantaranya, Saenara Motor Company yang bekerjasama dengan Nissan, Shinjin

Motor Company dengan Toyota, Kia Motor, Asia Motor, Hadonghwan Motor dan

Hyundai Motor, yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi konglomerasi

bisnis yang disebut sebagai chaebol1.

Seiring dengan perkembangannya, pada tahun 1974 industri otomobil

Korea Selatan telah mampu menciptakan mobil sendiri. Kia Motor memproduksi

mobil pertama produk nasional negara tersebut yang diberi nama the Brisa.

Kemudian setahun setelahnya, Hyundai memperkenalkan mobil dengan sebutan

Pony yang kemudian lebih terkenal dan merupakan mobil domestik pertama yang

diekspor oleh Korea Selatan ke luar negeri (Kai-Sun, et al, 2001: 188). Dalam

rentang waktu 5 tahun, industri otomobil Korea Selatan mengalami peningkatan

produksi sebanyak 10 kali lipat dari tahun 1974 sampai dengan tahun 1979. Hal

ini menandakan bahwa industri otomobil mengalami perkembangan pesat dalam

waktu yang relatif singkat.

Perkembangan tersebut mendorong industri otomobil Korea Selatan untuk

melakukan ekspansi. Pada pertengahan tahun 1980an, Korea Selatan mulai

memasuki tahapan globalisasi industri. Hal ini dilakukan untuk memperbesar

1 Raksasa bisnis atau konglomerasi yang dibina oleh pemerintah yang kemudian menjadi penggerak roda perekonomian disana seperti Daewoo, Kia, dan Hyundai. Pola ini meniru struktur yang sudah ada di Jepang, yaitu zaibatsu yang terdiri dari Toyota, Mitsubishi, Honda dan lainnya.

4

pangsa pasar industri otomobil domestik ke pasar internasional. Pada tahun 1985,

Hyundai mendirikan pabrik pertamanya di luar negeri. Pabrik yang dibangun di

Canada ini, memiliki kapasitas produksi sebanyak 100 ribu unit per tahun.

Beberapa tahun kemudian Industri otomobil Korea Selatan berhasil

menembus pasar Amerika. Ekspor Hyundai ke negara tersebut pada tahun 1987

mencapai sekitar 350 ribu unit. Dengan capaian tersebut, Hyundai berhasil

memecahkan rekor penjualan mobil impor terbanyak di pasar Amerika dalam

setahun (Green, 1992: 411). Kesuksesan Hyundai ini, menjadikan industri

otomobil Korea Selatan sebagai eksportir mobil terbesar di antara negara-negara

berkembang yang sebelumnya sekitar tahun 1970an didominasi oleh negara-

negara Amerika Latin seperti Brazil, Meksiko dan Argentina.

Pasca keberhasilan melakukan ekspansi ke pasar Amerika, industri

otomobil Korea Selatan terus mengalami kemajuan dengan membangun pusat

produksi dan melakukan perluasan pasar ke negara-negara di Eropa seperti

Jerman, Polandia, dan Rumania. Pada tahun 1995, Korea Selatan telah berhasil

menjadi pelaku industri otomobil dengan kapasitas produksi terbesar kelima di

dunia, berada dibawah negara-negara industri maju seperti Amerika, Jepang,

Jerman dan Prancis. Produksi Industri otomobil Korea Selatan saat itu mencapai

sekitar 2,5 juta unit (McDermott, 1996: 37).

Ditengah perkembangan industri otomobil yang terjadi secara signifikan,

krisis Asia pada tahun 1997 membawa perubahan mendasar bagi konstruksi

ekonomi Korea Selatan. Industri otomobil Korea Selatan menyisakan Hyundai

sebagai pemain utama yang pada tahun 1998 melakukan akusisi terhadap Kia.

5

Selepas krisis tersebut, industri otomobil Korea Selatan terus mengalami

perkembangan dan kemajuan dengan mengandalkan keberhasilan Hyundai yang

pada tahun 2003 berhasil masuk ke dalam jajaran lima besar produsen otomobil

dunia berdasarkan tingkat produksi (Lihat Gambar 1).

Gambar 1. Perusahaan Otomobil Dunia Berdasarkan Produksi

Sumber: Dicken (2011).

Prestasi ini menunjukan bahwa industri otomobil Korea Selatan khususnya

Hyundai, telah mampu memiliki kapasitas produksi yang kurang lebih sama

dengan pelaku industri otomobil yang lebih maju dari Jepang dan Amerika,

seperti General Motor, Ford, dan Toyota. Menegaskan prestasi tersebut, Hyundai

terus mengalami peningkatan produksi dari tahun 2009 sampai dengan 2011.

Tercatat produksi mobil Hyundai pada tahun 2009 mencapai sekitar 1,6 juta unit,

pada tahun 2010 berada di angka sekitar 1,75 juta unit, dan tahun 2012 produksi

Hyundai menembus angka 1,9 juta unit kendaraan.

6

Selain terus meningkatkan kuantitas produksi, industri otomobil Korea

Selatan juga melakukan peningkatan kualitas. Hyundai yang pada awalnya masuk

pasar Amerika sebagai mobil murah dengan kualitas rendah, melakukan

transformasi dan upgrading2 dengan masuk ke pasar mobil premium. Dimana

pada tahun 2008, salah satu produk Hyundai yaitu Genesis meraih penghargaan

paling bergengsi yang dianugerahkan kepada produsen otomobil di pasar Amerika

yaitu, North American Car of The Year. Kemudian bentuk keberhasilan

upgrading Hyundai lainnya adalah, kemampuan pelaku industri otomobil terbesar

di Korea Selatan ini membangun kendaraan berkonsep green car dengan

memproduksi kendaraan elektrik dan hibrida yang merupakan “masa depan”

industri otomobil dunia.

Selama beberapa dekade terakhir industri otomobil Korea Selatan telah

mengalami perkembangan pesat, dari yang tadinya hanya merupakan industri

kecil dibawah kontrol pemerintah menjadi pemain penting di dalam pasar global

(Lee, 2011: 428). Negara ini mampu menjadi yang paling berhasil dalam

pembangunan industri otomobil domestik di antara negara-negara berkembang

lainnya yang memulai proses industrialisasi dalam waktu relatif hampir

bersamaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa Korea Selatan telah jauh melewati

Brazil yang lebih dulu memulai proses pembangunan industri ini (Mukherjee dan

Sastry, 1996: 75).

2 Usaha untuk melakukan optimalisasi pembelajaran dan penciptaan nilai guna meningkatkan kapabilitas pelaku industri dengan tujuan agar dapat menghasilkan produk yang lebih baik, lebih efisien, dan mampu melakukan aktifitas produksi yang lebih tinggi dalam rantai produksi (Gerefi dan Fernandez-Stark, 2011:12).

7

B. Rumusan Permasalahan

Keberhasilan Korea Selatan dalam proses pembangunan dan

pengembangan industri otomobil dalam negeri yang telah dijelaskan pada bagian

latar belakang, memunculkan pertanyaan sebagai berikut: Mengapa industri

otomobil Korea Selatan berhasil mencapai kemajuan sehingga mampu melakukan

transformasi, dari yang tadinya merupakan industri kecil dibawah kontrol

pemerintah, menjadi salah satu pelaku industri otomobil terbesar di dunia?

C. Tinjauan Pustaka

Berbagai pandangan mengenai keberhasilan Korea Selatan dalam proses

pembangunan dan industrialisasi, telah memberikan kontribusi bagi pemahaman

mengenai kemajuan yang telah dicapai oleh negara tersebut. Pandangan tersebut

antara lain datang dari Alice H. Amsden yang pada salah satu bagian dalam

tulisannya Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialization, membahas

tentang industri otomobil Korea Selatan. Menurutnya, keberhasilan proses

pembangunan dan industrialisasi di Korean Selatan disebabkan oleh peran

pemerintah dalam menerapkan kebijakan dan aturan yang terintegrasi untuk

mendukung kemajuan proses industrialisasi.

Hal tersebut dilakukan dalam bentuk dukungan dana yang besar kepada

industri, mengarahkan fokus kegiatan industri, serta melakukan intervensi

terhadap mekanisme pasar (Amsden, 1989). Pemerintah dengan kapasitas

keuangan yang dimiliki dapat mengalokasikan dana yang besar untuk kemajuan

industri dan mendukung pelaku usaha lokal dalam hal permodalan sehingga dapat

8

mengembangkan usahanya. Dalam mendukung perkembangan industri, Korea

Selatan membentuk lembaga finansial dibawah kendali pemerintah untuk

menjamin akses terhadap modal bagi para pengusaha.

Selain itu, pemerintah juga dapat mengarahkan kebijakan sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai. Sehingga, pelaku industri dapat melaksanakan program

dengan fokus, sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan oleh

pemerintah agar target yang ingin dicapai, dapat terealisasi dengan baik.

Lembaga-lembaga seperti EPB dan KCIA dibentuk oleh pemerintah untuk

melakukan koordinasi dan kooperasi dalam menjalankan program pembangunan

ekonomi dan industri di Korea Selatan.

Pemerintah juga dapat melakukan intervensi terhadap mekanisme pasar

dalam konteks melindungi industri lokal dari persaingan langsung dengan

kompetitor luar yang lebih maju. Pada awal kemunculan industri otomobil di

Korea Selatan, Pemerintah menerapkan kebijakan larangan impor mobil dalam

bentuk jadi dari luar negeri. Akan tetapi pemerintah kemudian memperbolehkan

impor suku cadang kendaraan yang bertujuan untuk meningkatkan minat pelaku

industri otomobil yang merupakan industri perakitan untuk dapat terus tumbuh

dan berkembang dalam proses industrialisasi dalam negeri.

Sejalan Dengan pandangan Amsden, Nae-Young Lee (2011) di dalam

tulisannya The Automobile Industry yang merupakan bagian dari buku The Park

Chung Hee Era: The Transformation of Korea, berpandangan bahwa peran

pemerintah terutama pada masa rezim Park Chung-hee menentukan kemajuan

industri otomobil Korea Selatan. Menurutnya, pemerintah memberikan segala

9

sesuatu yang dibutuhkan oleh industri otomobil untuk terus dapat meningkatkan

produktifitas, sehingga mempermudah para pelaku industri dalam negeri untuk

terus berkembang. Selain itu, pemerimtah memberikan kemudahan modal dan

subsidi untuk memasuki lini produksi yang baru, menghadapi situasi krisis, dan

mencegah pelaku usaha mendapatkan kerugian.

Andrew E. Green (1992) dalam tulisannya, South Korea’s Automobile

Industry: Development and Prospect juga menekankan peran negara dalam

pembangunan industri otomobil Korea Selatan. Menurutnya, negara dapat

membantu pengembangan industri untuk mencapai kemajuan teknologi dan

efisiensi sehingga mampu menghasilkan produk yang lebih kompetitif daripada

hanya dengan mengandalkan kemampuan sektor privat saja (Green, 1992: 412).

Green juga menambahkan bahwa industri otomobil Korea Selatan tidak akan

dapat mencapai kemajuan teknologi dan daya saing tanpa intervensi atau peran

aktif dari pemerintah.

Selain tulisan-tulisan yang memandang bahwa peran negara merupakan

faktor penentu keberhasilan proses pembangunan dan industrialisasi di Korea

Selatan, terdapat pandangan lainnya yang lebih melihat kekuatan pasar sebagai

faktor penentu dibalik kesuksesan negara tersebut. Menurut Bella Balassa dalam

tulisannya Outward versus Inward Orientation Once dan Korea’s Development

Strategy, keberhasilan Korea Selatan dihasilkan dari strategi kebijakan outward

looking. Balassa beranggapan bahwa strategi ini menjadi faktor penentu yang

membawa Korea Selatan keluar menjadi negara dengan capaian industri dan

perekonomian yang jauh lebih baik, dibandingkan negara-negara di Amerika

10

Selatan dan negara lainnya yang pada saat bersamaan menempuh kebijakan

Import Substitution Industry. Strategi outward looking yang dijalankan di Korea

selatan menjadikan perekonomian dan industri disana lebih terintegrasi dengan

pasar yang merupakan kunci keberhasilan ekonomi menurut pandangan liberal

(Balassa, 1983; Balassa, 1990).

Kebijakan outward looking yang diterapkan melalui kebijakan industri

berorientasi ekspor membuka peluang bagi Korea Selatan untuk memanfaatkan

pasar yang tersedia diluar sehingga dapat memperbesar skala ekonomi,

mengembangkan atau membangun teknologi baru, dan menambah kapabilitas

industri nasional. Selain itu, kebijakan EOI juga berkontribusi meningkatkan

jumlah ekspor dengan memaksimalkan potensi sumber daya dan teknologi

berdasarkan comparative advantage yang dimiliki oleh Korea Selatan.

Selain itu, strategi outward looking dengan menekankan industri

berorientasi ekspor menghasilkan industri-industri yang efisien dan pada akhirnya

mampu bersaing secara internasional dan global, sehingga industri (otomobil) di

Korea Selatan dapat memberikan kontribusi cukup besar terhadap pembangunan

ekonomi. Selain itu, Balassa juga melihat bahwa dalam menjamin keberhasilan

perekonomian, peran terbesar harus dialamatkan kepada swasta atau privat,

sehingga Industri yang dijalankan oleh Chaebol di Korea Selatan memberikan

dukungan terhadap argumen neoklasik atau liberal mengenai penjelasan tentang

keberhasilan industri dan pembangunan ekonomi di Korea Selatan.

Mendukung argumen yang telah disampaikan oleh Bella Balassa, Siem

Pichnorak (2013) dalam tulisannya The Roles of Export-led Policies in

11

Developing Automobile Industry in South Korea, memiliki pandangan bahwa

kemajuan industri otomobil Korea Selatan disebabkan oleh kebijakan industri

berorientasi ekspor. Kebijakan ini memberikan ruang kepada pelaku industri

otomobil Korea Selatan untuk memperbesar skala ekonomi yang tidak mungkin

diraih apabila hanya mengandalkan pasar domestik. Lebih jauh lagi menurut

Pichnorak, persaingan internasional akibat kebijakan industrialisasi berorientasi

ekspor, memberikan pengalaman bagi pelaku industri otomobil Korea Selatan,

sekaligus mendorong mereka untuk meningkatkan produktivitas dan inovasi

teknologi agar dapat bertahan dalam persaingan tersebut (Pichnorak 2013: 18).

Dengan demikian industri otomobil Korea Selatan pada akhirnya dapat berada

sejajar dengan pelaku-pelaku industri otomobil dari negara maju dikarenakan

daya saing dan pangsa pasar yang tinggi.

Pandangan lainnya yang melihat tentang keberhasilan industri dan

pembangunan ekonomi di Korea Selatan datang dari perspektif dependensi.

Pandangan ini berangkat dari konsep strukturalis yang melihat keberhasilan Korea

Selatan dalam kemajuan industri dan pembangunan ekonomi disebabkan oleh

faktor ketergantungan Korea Selatan terhadap teknologi dan kapital serta

perdagangan luar negeri yang didukung oleh Jepang. Robert Castley dalam

tulisannya Korea’s Economic Miracle: The Crucial Role of Japan, melihat bahwa

Jepang memegang peranan penting dalam proses pembangunan dan industrialisasi

di Korea Selatan. Transfer teknologi dari Jepang sangat berperan dalam

membantu kemajuan industri negara tersebut. Bentuk-bentuk transfer teknologi

12

dilakukan melalui berbagai program kerjasama antara lain seperti joint venture

dan lisensi teknologi (Castley, 1997).

Struktur internasional yang terbentuk dari interaksi sosial dan ekonomi

membentuk suatu pengelompokan yang terdiri dari negara maju dan negara

berkembang yang biasa disebut sebagai negara core dan periphery. Negara maju

digambarkan sebagai negara yang mengusai modal, faktor-faktor produksi, dan

penghasil barang-barang industri, sedangkan negara berkembang merupakan

penghasil kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan-bahan mentah untuk

kepentingan industri.

Pada masa awal berdirinya industri otomobil Korea Selatan, struktur

internasional menempatkan Jepang sebagai negara maju dan tentu saja Korea

Selatan sebagai negara berkembang di dalam kawasan regional Asia (Timur).

Sebagai negara berkembang yang baru saja memulai proses industrialisasi, Korea

Selatan memiliki banyak keterbatasan dalam hal modal dan teknologi. Untuk

mengembangkan industri dalam negeri, Korea Selatan bergantung kepada modal

dan teknologi yang dimiliki oleh negara maju, dalam hal ini Jepang. Sehingga

kemudian dilakukan kerjasama ekonomi antara kedua negara dalam proses

industrialisasi. Ketergantungan dan proses kerjasama tersebut menggambarkan

peran Jepang dalam perkembangan dan kemajuan industri di Korea Selatan.

Ketika pertama kali membangun pabrik baja, Korea Selatan sama sekali

tidak memiliki kemampuan dan pengalaman, sehingga hal ini dianggap oleh

banyak kalangan sebagai proyek ambisius pemerintahan saat itu. Pembangunan

pabrik baja yang diberi nama POSCO ini dilakukan dengan cara belajar dari

13

Jepang dan mendatangkan tenaga ahli dari sana, yang pada saat itu diakui sebagai

salah satu penghasil baja terbaik di dunia. Sedangkan dalam membangun industri

otomobil, pada awalnya perusahaan otomobil Korea Selatan melakukan pekerjaan

perakitan dari pabrikan utama Jepang dan Amerika. Kerjasama yang dilakukan

pada saat itu melibatkan Hyundai yang merupakan subkontrak dari Ford dan

Daewoo yang merupakan subkontrak dari Mitsubishi.

Dari literatur-literatur sebelumnya yang telah dijabarkan diatas, dapat

dilihat bahwa mekanisme pasar, peran negara, dan ketergantungan terhadap modal

dan teknologi yang menghasilkan kerjasama internasional, merupakan faktor-

faktor yang menjadi kunci keberhasilan pembangunan ekonomi dan

perkembangan industri di Korea Selatan. Konsep-konsep yang menjelaskan

tentang keberhasilan pembangunan ekonomi dan perkembangan industri di Korea

Selatan dalam literatur tersebut akan menjadi pijakan bagi tulisan ini untuk

melihat dan menjelaskan kemajuan industri otomobil Korea Selatan, terlebih lagi

dalam melihat peran pemerintah dan Jepang dalam membangun dan

meningkatkan daya saing serta kapabilitas domestik.

Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mengenai kemajuan industri

otomobil Korea Selatan dengan menggunakan konsep Economic Backwardness,

intervensi selektif, upgrading dan sinergi, serta menjadikan literatur-literatur

terdahulu yang telah dipaparkan diatas sebagai acuan. Lalu kemudian, melihat

relevansi konsep-konsep yang ada di dalam literatur tersebut untuk digunakan

dalam membantu menjelaskan permasalahan yang akan dibahas di bagian-bagian

berikutnya pada tulisan ini.

14

D. Kerangka Pemikiran

Secara umum seperti yang ditunjukan pada bagian tinjauan pustaka,

berbagai pandangan yang telah berusaha menjelaskan tentang kemajuan Korea

Selatan dalam proses pembangunan dan industrialisasi digambarkan sebagai

pertarungan antara peran negara (Amsden, 1989; Lee, 2011; Green 1992) dengan

peran pasar (Balassa, 1983; Pichnorak, 2013). Penelitian ini tidak bertujuan untuk

melanjutkan atau turut mengambil bagian dalam perdebatan tersebut. Menurut

berbagai studi dan literatur, baik negara maupun pasar sama-sama memilki

kontribusi terhadap kemajuan ekonomi suatu negara 3 . Terlebih lagi

perkembangan globalisasi dewasa ini membawa keterbukaan ekonomi yang

sangat luas, sehingga dibutuhkan kombinasi keduanya untuk dapat menghasilkan

lebih banyak dari integrasi ekonomi global.

Tulisan ini melihat bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh industri

otomobil Korea Selatan, disebabkan oleh keberhasilan negara tersebut dalam

membangun dan meningkatkan daya saing serta kapabilitas industri dalam negeri.

Dengan daya saing dan kapabilitas domestik yang dimiliki, Korea Selatan dapat

memanfaatkan peluang yang disediakan oleh pasar bagi kemajuan industri

otomobil dalam negeri. Sehingga, negara yang termasuk ke dalam kategori

latecomer ini, mampu berada sejajar dengan negara maju dan jauh meninggalkan

negara berkembang lainnya yang masuk ke dalam proses industrialisasi dalam

rentang waktu relatif bersamaan.

3 Lihat Castley (1997), Hobday (1995) dan tulisan tokoh-tokoh pendukung ide strukturalis (reformis) seperti Mahbul ul Haq, Gunnar Myrdal, serta Raul Prebisch.

15

Status Korea Selatan sebagai latecomer dalam proses industrialisasi

(otomobil), berimplikasi pada seberapa besar peran negara dalam membangun

daya saing. Menurut pandangan Alexander Gerschenkron (1962) dalam konsep

economic backwardness, semakin belakangan suatu negara melakukan proses

industrialisasi maka semakin besar intervensi pemerintah yang diperlukan untuk

dapat bersaing. Peran pemerintah diperlukan karena negara yang datang

belakangan dalam proses industrialisasi akan menghadapi persaingan yang

semakin ketat. Sehingga, modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk dapat

bersaing dengan kompetitor-kompetitor dari luar juga semakin tinggi.

Dalam “mengejar ketertinggalan”, pemerintah merupakan institusi yang

dapat memenuhi kebutuhan industri akan kapital dengan jumlah besar dan

menyediakan teknologi yang dibutuhkan untuk membangun industri. Penyediaan

dan pengembangan teknologi guna menghasilkan inovasi yang dibutuhkan untuk

menopang proses kegiatan industrialisasi membutuhkan investasi R&D yang juga

memerlukan alokasi dana dalam jumlah besar.

Dengan didasari oleh argumen Gerschenkron tersebut, tulisan ini

berpandangan bahwa peran pemerintah merupakan suatu keniscayaan dalam

membangun dan meningkatkan daya saing, terutama dengan semakin ketatnya

persaingan industri ditengah-tengah meluasnya globalisasi atau keterbukaan

ekonomi belakangan ini. Menurut Peter Dicken (2011) dan Sanjaya Lall (2003),

proses globalisasi atau liberalisasi ekonomi tidak serta merta mengeliminasi peran

negara dalam perekonomian seperti pandangan pemikiran neoklasik. Justru

16

sebaliknya, peran pemerintah diperlukan untuk menstimulasi potensi keuntungan

yang bisa diperoleh dari proses integrasi ke dalam pasar internasional.

Peran pemerintah dalam pembangunan industri otomobil Korea Selatan

telah terlihat sejak industri ini dibangun. Hal ini ditunjukan oleh kebijakan the

Automotive Industry Promotion Law yang diterapkan oleh pemerintah untuk

mendorong lahirnya pelaku-pelaku industri otomobil dalam negeri. Melalui

kebijakan ini, pemerintah melakukan promosi industri otomobil dengan

memberikan berbagai kemudahan dan menentukan pelaku industri yang memiliki

kapabilitas untuk menjadi pemain dalam proses pembangunan industri ini yang

diatur oleh Ministry of Commerce and Industry atau MCI.

Berbagai kemudahan yang diberikan oleh pemerintah untuk mendukung

pelaku industri otomobil, antara lain berupa proteksi pasar domestik dengan

melarang impor kendaraan dalam bentuk jadi, menyediakan pinjaman modal

bersubsidi dan insentif pajak investasi. Dengan berbagai kemudahan tersebut

industri otomobil Korea Selatan tumbuh dan berkembang. Lahir pelaku-pelaku

indutri otomobil dalam negeri seperti Saenara Motor, Shinjin Motor, Daewoo, Kia

dan Hyundai.

Sebagai industri yang masih baru, industri otomobil Korea Selatan

memiliki berbagai keterbatasan dan kekurangan, terutama terkait dengan kualitas

kendaraan yang dihasilkan. Sehingga, untuk masuk ke pasar internasional sebagai

upaya untuk merespon kebijakan industri berorientasi ekspor atau EOI, para

pelaku industri otomobil Korea Selatan mengandalkan harga murah sebagai faktor

17

utama untuk dapat bersaing. Kendaraan asal negara inipun dikenal sebagai

kendaraan murah dengan kualitas rendah.

Seiring dengan perkembangannya, para pelaku industri otomobil Korea

Selatan melakukan diversifikasi produk. Industri ini memproduksi kendaraan

dengan spesifikasi dan kualitas yang lebih baik, untuk dapat bersaing pada

segmentasi pasar yang lebih tinggi dari sebelumnya. Hyundai misalnya, pada

tahun 1970an hanya memproduksi Pony dengan kapasitas 1400cc, namun

kemudian pada tahun 1980an Hyundai mulai memproduksi varian lainnya dengan

spesifikasi lebih tinggi, seperti Elantra 1800cc dan Sonata 2000cc.

Memasuki segementasi pasar yang lebih tinggi, daya saing industri

otomobil Korea Selatan bergerak dari yang tadinya hanya mengandalkan faktor

harga, kemudian mulai bersaing dengan mengedepankan kualitas. Keberhasilan

Industri otomobil Korea Selatan meningkatkan daya saing di pasar internasional

ditandai dengan penghargaan yang diraih oleh beberapa varian kendaraan yang

dipasarkan di luar negeri, seperti Kia Cee’d di Inggris tahun 2008 dan Hyundai

Genesis di Amerika Serikat pada tahun tahun yang sama.

Untuk meningkatkan daya saing yang menekankan pada faktor kualitas,

Korea Selatan melakukannya dengan cara membangun kapabilitas industri dalam

negeri. Menurut Sanjaya Lall (2000), kapabilitas industri berkaitan dengan

penguasaan teknologi yang dimiliki oleh suatu negara dalam menjalankan proses

industrialisasi. Lall berargumen bahwa pengembangan kapabilitas industri yang

dilakukan oleh suatu industri khususnya yang datang dari negara berkembang,

membutuhkan intervensi selektif dari pemerintah (Lall, 2000; Lall 2003).

18

Intervensi pemerintah dibutuhkan agar proses penyerapan teknologi yang

dilakukan pelaku industri dalam negeri dapat berlangsung efektif dan efisien.

Intervensi selektif yang dimaksud oleh Lall adalah kebijakan pemerintah

ditujukan langsung pada kegiatan industri yang bersifat spesifik (Lall, 2000: 3).

Pandangan ini didasari atas pemikiran bahwa setiap industri memiliki kebutuhan

yang berbeda-beda untuk membangun dan meningkatkan kapabilitasnya sehingga

dibutuhkan intervensi yang sesuai dan tepat untuk menyasar kebutuhan tersebut.

Berbeda dengan proteksi pemerintah dalam pemahaman developmental state yang

bersifat statis seperti kebijakan Import Substitution Industry atau ISI, intervensi

selektif lebih bersifat fleksibel dan dinamis. Misalnya, proteksi dilakukan hanya

pada industri-industri tertentu yang memerlukan perlindungan dalam persaingan

internasional, kemudian secara bersamaan juga membuka diri terhadap investasi

asing untuk menyediakan teknologi yang dibutuhkan bagi industri tertentu.

Dalam pembangunan industri otomobil, pemerintah Korea Selatan

menerapkan kebijakan selektif dengan cara melakukan proteksi sebelum para

pelaku industri domestik mencapai tahapan yang sudah matang atau mampu

bersaing. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan pelaku industri otomobil lokal

akan teknologi, pemerintah memberikan berbagai kemudahan untuk melakukan

proses kerjasama dengan pelaku industri otomobil dari luar terutama Jepang

melalui joint venture, lisensi teknologi, pengurangan pajak impor barang produksi

dan lain sebagainya. Pemerintah Korea Selatan menerapkan kebijakan yang

sangat ketat dalam membatasi investasi asing atau FDI untuk menjaga

kepemilikan mayoritas dan monopoli pelaku industri otomobil lokal terhadap

19

pasar domestik. Dengan kebijakan ini, industri otomobil Korea Selatan dapat

melahirkan pelaku industri besar seperti Kia dan Hyundai.

Kemudian, yang tidak kalah pentingnya adalah kebijakan pemerintah

terkait dengan pengembangan R&D. Selain melakukan kerjasama dengan pelaku

industri otomobil domestik dalam bentuk koalisi public-private R&D, pemerintah

juga menerapkan kebijakan yang mendukung pengembangan R&D nasional,

seperti melakukan investasi melalui institusi riset publik maupun lembaga

pendidikan tinggi atau universitas. Melalui institusi riset publik seperti KAIST

atau Korea Advanced Institute of Science and Technology yang didirikan pada

tahun 1981, pemerintah membantu pelaku industri otomobil domestik untuk

memperoleh teknologi dari luar negeri, melakukan difusi teknologi melalui

reverse engineering, dan menyediakan peneliti-peneliti berkompeten serta

berpengalaman. Melalui lembaga pendidikan tinggi atau universitas, pemerintah

membangun Graduate School of Automotive Technology di wilayah pusat industri

Ulsan yang bertujuan untuk mendukung pengembangan teknologi industri

otomobil dalam negeri.

Pengembangan R&D yang berkontribusi terhadap peningkatan kapabilitas

teknologi industri domestik, memungkinkan pelaku industri otomobil domestik

untuk dapat bersaing dalam merespon kebutuhan atau keinginan pasar

internasional yang dinamis dan terus bergerak maju. Hal ini ditunjukan dengan

pengembangan kendaraan hibrida oleh Hyundai yang menggunakan konsumsi

bahan bakar fosil konvensional dan energi listrik. Pengembangan kendaraan

dengan teknologi tinggi dan terbaru ini menunjukan bahwa Korea Selatan berhasil

20

membangun dan meningkatkan kapabilitas (teknologi) industri otomobil domestik

melalui intervensi kebijakan selektif dari pemerintah.

Pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa, salah satu bentuk kebijakan

selektif pemerintah untuk memenuhi kebutuhan teknologi industri otomobil

domestik adalah dengan mendorong terciptanya kerjasama dengan pelaku industri

dari luar khususnya dari negara maju seperti Jepang. Negara maju khususnya

Jepang, memiliki kontribusi terhadap pengembangan industri otomobil domestik

di Korea Selatan dalam menyediakan kebutuhan industri seperti teknologi (awal),

bahan produksi atau modal, dan lain sebagainya.

Mengenai peran negara maju dalam pembangunan industri domestik

negara berkembang, Sanjaya Lall (2000) berpandangan bahwa pengetahuan dan

informasi dari luar merupakan sumber utama bagi pengembangan kapabilitas

domestik. Sumber pengetahuan dan informasi ini, tersedia dalam berbagai macam

bentuk (Lall, 2000: 8). Mundukung argumentasi Lall, Mike Hobday (1995)

berpandangan bahwa sebagai negara berkembang dalam menjalankan proses

industrialisasi, Korea Selatan sangat bergantung dari sumber pengetahuan dan

teknologi dari luar khususnya dari negara maju seperti Jepang.

Sekilas kedua pandangan ini sejalan dengan pemikiran tradisional

neoklasik yang berpandangan bahwa dengan cara membuka diri, pasar akan

memberikan keuntungan komparatif kepada ekonomi suatu negara yang minim

campur tangan pemerintah. Dengan kata lain pemerintah bersifat pasif dalam

keterbukaan ekonomi yang dijalankan dimana Sanjaya Lall berbeda pandangan

mengenai hal ini. Menurut Lall (2003), peran pemerintah sangat dibutuhkan

21

dalam membantu pelaku industri domestik untuk dapat menyerap informasi yang

disediakan oleh pasar. Sebagai contoh, kerjasama antara pelaku industri domestik

Korea Selatan dengan Jepang akan sulit terlaksana apabila pemerintah tidak

memberikan berbagai insentif seperti pembukaan free export processing zone,

kemudahan pemberian izin lisensi kerjasama, dan lain sebagainya. Argumentasi

Lall ini juga didukung oleh pandangan Dieter Ernst (2000) yang melihat bahwa

dalam memastikan keberhasilan proses industrialisasi, pemerintah berperan dalam

menyediakan kebutuhan penting bagi proses penyerapan pengetahuan dan modal

seperti informasi, pelatihan, biaya serta dukungan lainnya (Ernst, 2000: 5).

Melalui berbagai kerjasama yang didorong oleh pemerintah, kemajuan

industri otomobil Korea Selatan tidak lepas dari pengaruh Jepang. Dengan kata

lain, Jepang berperan dalam upaya Korea Selatan membangun dan meningkatkan

daya saing serta kapabilitas industri otomobil domestik. Peran Jepang antara lain,

sebagai rekan kerjasama sebagian besar pelaku industri otomobil Korea Selatan

pada saat pertama kali masuk ke dalam industri otomobil seperti kerjasama Nissan

dengan Saenara Motor dan Toyota dengan Shinjin Motor. Kemudian Mitsubishi

yang melakukan kerjasama dengan Hyundai Motor Company dalam rentang

waktu yang cukup panjang untuk membangun mobil pertama produksi pelaku

industri otomobil terbesar di Korea Selatan tersebut, Hyundai Pony.

Selain melalui kerjasama teknik, Jepang juga berperan menyediakan

barang produksi atau barang modal yang dibutuhkan oleh industri otomobil Korea

Selatan, untuk mempertahankan eksistensinya dalam persaingan global. Industri

otomobil Korea Selatan juga mengadopsi sistem kerja yang digunakan Jepang

22

dalam proses produksi kendaraan. Sistem produksi JIT atau Just In Time yang

diprakarsai oleh Toyota ini, digunakan oleh para pelaku industri otomobil Korea

Selatan seperti Hyundai agar dapat mencapai tingkat efisiensi produksi yang lebih

tinggi, setelah sebelumnya menerapkan sistem produksi masal. Bersamaan dengan

meningkatnya daya saing, efisiensi produksi juga memberikan tambahan

keuntungan bagi para pelaku industri otomobil Korea Selatan yang mengadopsi

sistem JIT tersebut.

Peran pemerintah melalui intervensi kebijakan selektif dan Jepang dalam

membangun dan meningkatkan daya saing serta kapabilitas industri juga

memberikan insentif bagi para pelaku industri otomobil Korea Selatan untuk

dapat melakukan upgrading. Hyundai misalnya, telah berhasil melakukan

upgrading dari yang tadinya merupakan bagian dari rantai produksi Ford, sebagai

perakit mobil asal Amerika, bertransformasi menjadi salah satu pelaku industri

otomobil terbesar dunia dan mampu memproduksi kendaraan-kendaraan dengan

spesifikasi dan teknologi tinggi. Keberhasilan upgrading ini juga didukung oleh

sinergi antara pemerintah dengan pelaku industri.

E. Argumen Utama

Berdasarkan pada uraian yang telah dijelaskan dalam bagian kerangka

pemikiran, tulisan ini berargumen bahwa kemajuan industri otomobil Korea

Selatan disebabkan oleh peran pemerintah melalui penerapan intervensi berbentuk

kebijakan selektif dan peran Jepang menyediakan berbagai input yang dibutuhkan

23

oleh Korea Selatan dalam upaya membangun dan meningkatkan daya saing serta

kapabilitas industri dalam negeri.

Intervensi selektif yang dilakukan oleh pemerintah dapat melahirkan

kebijakan-kebijakan yang berorientasi langsung pada pengembangan industri

otomobil Korea Selatan. Sehingga intervesi pemerintah menjadi lebih fokus dan

memberikan hasil yang lebih efektif bagi kemajuan industri. Selain itu intervensi

selektif juga langsung menyasar pada kebutuhan utama pengembangan industri

otomobil di Korea Selatan, seperti pembangunan Graduate School of Automotive

Technology di Ulsan.

Selain intervensi selektif dari pemerintah, kemajuan industri otomobil

Korea Selatan juga didukung oleh peran Jepang yang menyediakan berbagai

kebutuhan untuk membangun basis dan kapabilitas industri serta meningkatkan

daya saing. Tanpa input dari Jepang berupa barang produksi, sumber informasi

dan pengetahuan serta teknologi, Korea Selatan akan membutuhkan waktu yang

lebih panjang untuk dapat bersaing dengan industri otomobil dari negara maju.

Dengan mengandalkan input dari Jepang, Korea Selatan dapat mencapai tahapan

lebih tinggi dalam proses pengembangan industri otomobil dalam waktu yang

lebih singkat.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada

pendekatan saintifik, dimana menurut Dickinson Mcgaw dan George Watson

(1976), merupakan metode analisa yang objektif, logis, dan sistematis untuk

24

mendeskripsikan, menjelaskan dan meramalkan fenomena yang akan diamati.

Berdasarkan pandangan Mohtar Mas’oed (1990), mendeskripsikan fenomena

yang diamati adalah upaya untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan

menjelaskan fenomena yang terkait dengan pertanyaan “mengapa” di dalam

sebuah penelitan.

Oleh sebab itu, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian

yang diajukan melalui proses mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang

diamati dengan mengacu kepada fakta atau data empiris, disertai argumentasi

secara logis berdasarkan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

Dengan demikian didapatkan proposisi atas konsep-konsep yang digunakan untuk

menguji posisi argumen utama yang telah diajukan.

Penelitian ini ditunjang dengan pengumpulan data melalui studi pustaka,

data-data yang digunakan bersumber dari berbagai literatur, buku-buku yang

membahas tentang perkembangan ekonomi dan industri di Korea Selatan, jurnal-

jurnal yang berhubungan dengan industri otomobil, data statistik dari Korean

Trade-Investment Promotion Agency atau KOTRA dan Korea Automobile

Manufacturers Association atau KAMA, serta data-data lainnya termasuk data

dari internet, yang memiliki relevansi dengan objek yang diteliti.

G. Sistematika Penulisan

Bab pertama merupakan pendahuluan dari tulisan ini, terdiri dari latar

belakang masalah yang menunjukan mengapa isu yang diangkat ini merupakan

permasalahan yang penting dan menarik untuk diteliti, lalu kemudian perumusan

25

masalah, kerangka pemikiran, argumen utama, tinjauan pustaka, metode peneltian

dan sistematika penulisan.

Bab kedua menggambarkan tentang perkembangan industri otomobil di

Korea Selatan dari awal terbentuk hingga mencapai keberhasilan yang signifikan

dengan melihat dinamika dalam pembangunan industri tersebut yang pada

akhirnya melahirkan Hyundai sebagai ”national champion”.

Bab ketiga menjelaskan tentang peran pemerintah dan Jepang dalam

kemajuan industri otomobil Korea Seleatan. Peran pemerintah dimanifestasikan

melalui kebijakan selektif yang bersifat spesifik dan kontribusi dalam

pengembangan R&D. Sedangkan Jepang berkontribusi dalam membantu industri

otomobil Korea Selatan membangun dan meningkatkan daya saing serta

kapabilitas industri.

Bab keempat membahas tentang studi kasus upgrading yang dilakukan

oleh Hyundai Motor Company, yang berhasil membangun kendaraan dengan

konsep green car. Keberhasilan Hyundai ini tidak lepas dari peran pemerintah

melakukan sinergi dalam proses pengembangan industri.

Bab kelima berisi pokok-pokok kesimpulan dari penelitian ini dan refleksi

teoritis terhadap konsep-konsep yang digunakan di dalam tulisan ini.

26