BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum...
Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum...
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Karsinoma nasofaring merupakan jenis keganasan tersering di bidang THT dan
kepala leher. Karsinoma nasofaring dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi
untuk mengadakan metastasis regional maupun metastasis jauh.1-3 Pada karsinoma
nasofaring metastasis jauh umumnya terjadi pada paru-paru kemudian disusul ke
tulang seperti sternum, costa, vertebra dan pelvis, selanjutnya ke organ hati.4-12
Kesulitan diagnosis dini karsinoma nasofaring kini masih tetap merupakan
problem besar bagi kita. Akibat gejala penyakit yang tidak khas, lokasi yang
tersembunyi sehingga lepas dari pengamatan. Hanya sekitar 5% penderita yang dapat
didiagnosis dalam keadaan dini. Letak anatomi nasofaring yang cukup sulit serta
potensi metastasis yang cepat menyebabkan diagnosisnya sering kali terlambat dan
penderita datang pada stadium lanjut.1
Penderita karsinoma nasofaring sekitar 60%-95% datang berobat sudah dalam
stadium lanjut atau stadium III dan IV, sekitar 5%-40% datang pada stadium awal atau
stadium I dan II. Pada umumnya pasien datang berobat setelah timbul benjolan di leher.
Karena tidak terasa nyeri pasien biasanya tidak segera berobat, tetapi menunggu 3-6
bulan bahkan ada yang menunggu sampai 1 tahun. Sebagian lagi datang dengan
metastasis pada keadaan umum yang buruk sehingga penanganan menjadi sulit,
hasilnya tidak memuaskan. Walaupun dikatakan bahwa karsinoma nasofaring tersebut
merupakan tumor yang radiosensitif tetapi angka bertahan hidup pada penderita
stadium lanjut sangat buruk.7-17 Dikatakan bahwa metastasis jauh merupakan indikator
prognosis buruk dengan angka bertahan hidup dalam 1 tahun hanya 0-25%.7
Hong menyatakan bahwa pada saat otopsi kejadian metastasis jauh sekitar 38-
87%, pada awal diagnosis ditegakkan kejadian metastasis jauh sebesar 4,4-7% dan
pasca radioterapi ditemukan metastasis jauh sekitar 20-27,4%.8
Tantangan terberat penanganan karsinoma nasofaring saat ini adalah
perkembangan stadium yaitu bagaimana memprediksi atau mengontrol perubahan
lokoregional dan mencegah perkembangan metasasis jauh.18-19 Dari beberapa data
penelitian menunjukkan bahwa kejadian metastasis jauh tersebut masih banyak terjadi
walaupun telah mendapatkan radioterapi maupun kemoterapi terutama pada penderita
2
dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif
untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12 Dari beberapa penelitian diperkirakan
bahwa faktor risiko kejadian metastasis jauh secara klinis adalah tumor primer (T) dan
pembesaran kelenjar getah bening leher (N), umur, jenis histopatologi dan jenis
terapi.3,8,18-19
Koukourakis dkk, pada tahun 1996 melakukan penelitian prospektif terhadap 78
pasien karsinoma nasofaring dengan radioterapi. Pada kelompok pasien yang
mengalami metastasis jauh didapatkan perbedaan yang bermakna pada gradasi T atau
T1 dan T2 dibandingkan dengan T3 dan T4, ukuran pembesaran kelenjar leher atau
kurang dari 6 cm dibandingkan dengan lebih atau sama dengan 6 cm, letak pembesaran
kelenjar leher atau di atas tiroid dibandingkan dengan di bawah tiroid, serta keterlibatan
daerah parafaring. Dalam analisis multivariat pada kelompok T3-T4 didapatkan bahwa
ukuran pembesaran kelenjar leher merupakan satu-satunya variabel yang mempunyai
hubungan bermakna pada metastasis jauh dengan Hazard ratio 4,09.10
Di RSUP Sanglah Denpasar masih ada penderita karsinoma nasofaring yang
mengalami metastasis jauh setelah pemberian radioterapi atau radioterapi bersama-
sama dengan kemoterapi. Bahkan ada penderita karsinoma nasofaring yang mengalami
metastasis jauh pada awal kunjungan. Hubungan antara profil lokoregional atau T dan
N dan kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring di RSUP Sanglah Denpasar
belum pernah dilaporkan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk
meneliti hubungan antara T dan N terhadap kejadian metastasis jauh pada penderita
karsinoma nasofaring di RSUP Sanglah Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring mempunyai
hubungan dengan besarnya tumor primer (T) dan pembesaran kelenjar getah bening
leher (N).
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara profil lokoregional dengan kejadian metastasis
jauh pada karsinoma nasofaring di RSUP Sanglah Denpasar.
3
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Mengetahui prevalensi kejadian metastasis jauh pada karsinoma
nasofaring di RSUP Sanglah.
1.3.2.2 Mengetahui hubungan antara gradasi tumor primer (T) dan kejadian
metastasis jauh pada karsinoma nasofaring di RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2.3 Mengetahui hubungan antara gradasi pembesaran kelenjar getah bening
leher (N) dan kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring di
RSUP Sanglah.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dalam bidang akademik, untuk mengetahui hubungan antara besarnya tumor
primer (T) dan pembesaran kelenjar getah bening leher (N) dengan kejadian
metastasis jauh pada karsinoma nasofaring.
1.4.2 Sebagai data untuk penelitian lebih lanjut.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Histologi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk kubus dan terletak di
belakang rongga hidung di atas tepi bebas palatum mole, secara anatomi termasuk
bagian faring. Nasofaring berhubungan dengan rongga hidung dan ruang telinga tengah
masing-masing melalui koana dan tuba Eustachius.5,7,12
Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak yang merupakan tempat keluar-
masuknya saraf-saraf otak serta pembuluh-pembuluh darah dari atau ke dalam otak.5,7,12
Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia
prevertebra dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral terdapat fosa
Rosenmuller, torus tubarius dan muara tuba Eustachius. Bentuk torus tubarius tampak
lebih menonjol dibandingkan mukosa sekitarnya. Susunan lapisan otot pada dinding
lateral bagian atas tidak sempurna. Hal ini memudahkan terjadinya perluasan dan
penyebaran tumor ganas nasofaring ke organ sekitarnya. Dasar nasofaring dibentuk
oleh permukaan superior palatum mole, sedangkan dinding depannya dibentuk oleh
koana dan tepi belakang septum nasi.5,7,12
Gambar 1
Penampang sagital nasofaring.13
Dinding nasofaring terdiri dari beberapa lapisan jaringan yaitu mukosa,
submukosa, jaringan ikat dan otot. Pada mukosa membran nasofaring terdapat jaringan
limfoid, epitel dan kelenjar liur minor dan sel goblet. Nasofaring terdiri dari bermacam-
5
macam jenis epitel yaitu: 1. Epitel berlapis pipih atau stratified squamous epithelium
yang umumnya berlapiskan keratin kecuali pada kripte yang dalam. 2. Epitel silindris
bersilia atau pseudostratified ciliated columnar epitelium, yang ke arah orofaring akan
berubah menjadi epitel berlapis pipih atau stratified squamous epitelium. Pada masa
pertumbuhan jenis epitel silindris bersilia inilah yang tampak dominan di antara epitel
lainnya 3. Di antara kedua jenis epitel tersebut di atas diisi oleh epitel peralihan atau
transitional epitelium. Epitel ini juga didapatkan pada dinding lateral terutama fosa
Rosenmuller dan dianggap sebagai tempat predileksi terjadinya keganasan di
nasofaring.5,7,12
Pada lapisan submukosa terdapat jaringan limfoepitelial yang membentuk
jaringan limfoid pada dinding medio-dorsal dan dinding atas nasofaring yang dikenal
sebagai tonsila faringika.5,7,12
Saluran getah bening adenoid pada lapisan submukosa merupakan suatu
anyaman dengan sebagian kecil dari alirannya menuju ke sisi kontralateral. Arah aliran
getah bening dari nasofaring akan menuju ke kelenjar getah bening retrofaring yang
merupakan sebagian dari kelompok kelenjar getah bening servikalis profunda
superior.5,7,12
Dinding otot nasofaring di dekat dasar tengkorak tidak lengkap meninggalkan
suatu celah di mana hal ini dapat mengakibatkan tumor mudah mengadakan penetrasi,
menembus mukosa dan aponeurosis yang menutupi daerah ini untuk masuk ke dalam
ruang parafaring dan bagian lateral dari dasar tengkorak.5,7,12
Pada usia muda mukosa dinding postero-superior nasofaring bentuknya tidak
rata oleh karena adanya jaringan adenoid. Tetapi dengan bertambahnya umur maka
mukosa nasofaring menjadi semakin rata. Walaupun demikian pada usia lanjut kadang-
kadang masih dijumpai beberapa lipatan akibat regresi jaringan adenoid yang tidak
sempurna.5,7,12
Pembuluh limfe yang terdapat pada seluruh permukaan nasofaring, saling
menyilang di bagian tengah dan selanjutnya menuju kelenjar limfe Rouviere yang
terletak pada bagian lateral ruang retrofaring. Dari tempat ini aliran limfe selanjutnya
menuju kelenjar limfe di sepanjang vena jugularis dan kelenjar limfe yang letaknya
superfisial seperti kelenjar subdigastrik, submandibula, submental, asesori spinal dan
supraklavikula.5,7,12
6
2.2 Karsinoma Nasofaring
2.2.1 Etiologi
Banyak faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan timbulnya tumor
ganas nasofaring antara lain infeksi virus, genetik, lingkungan, sosial ekonomi,
kebiasaan hidup, geografi dan infeksi kronis. Virus Epstain-Barr setelah masuk ke
dalam sel limfosit manusia ternyata dapat tinggal secara laten tanpa menyebabkan suatu
kelainan. Virus harus mengalami aktivasi dahulu baru dapat mempengaruhi sel tuan
rumah sehingga menjadi ganas dan mengadakan replikasi tanpa kontrol. Beberapa
faktor yang berpengaruh sehingga menimbulkan aktivasi virus antara lain: zat kimia
nitrosamin yang ada dalam ikan asin yang diawetkan, asap pembakaran kayu bakar,
faktor genetik, ras, sosial ekonomi, lingkungan pekerjaan dan infeksi kronis.5,7,12
2.2.2 Kekerapan
Tumor ganas nasofaring di Indonesia menempati urutan tertinggi diantara tumor
ganas di bidang THT. Penelitian yang dilakukan oleh departemen kesehatan didapatkan
prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk. Menurut penelitian para ahli, tumor ganas
nasofaring banyak ditemukan pada bangsa-bangsa yang termasuk golongan Mongoloid.
Frekuensi tertinggi didapati di Cina Selatan di Propinsi Guang Dong yaitu 40-50 per
100.000 penduduk. Daerah yang memiliki insiden menengah antara lain: Eskimo,
Malaysia, Philipina, Kanada, Hawai termasuk Indonesia.13
Mulyarjo dalam penelitian di RS Dr Sutomo Surabaya selama 2 tahun
ditemukan frekuensi tumor ganas nasofaring sebesar 67,72% dari seluruh keganasan di
daerah kepala dan leher.2
2.2.3 Umur dan jenis kelamin
Pada umumnya umur rata-rata penderita karsinoma nasofaring relatif lebih
muda dibandingkan tumor ganas yang lain. Tumor ganas nasofaring sering dijumpai
pada laki-laki dibandingkan wanita, hampir di seluruh negara mendapatkan data
perbandingan antara 2 sampai 3 dibanding 1. Rata-rata umur penderita mulai usia 40-60
tahun.13 Sastrowijoto dan kawan-kawan dalam penelitiannya di RSUP Dr Sarjito
Yogyakarta selama 3 tahun yaitu 1992-1994 menemukan perbandingan antara laki-laki
dan wanita 2:1 dan ditemukan terbanyak pada dekade 40-50 tahun.14 Sedangkan Susilo
dan Wiratmo dalam penelitiannya di RSUP Dr Kariadi Semarang selama 5 tahun yaitu
7
1990-1994 mendapatkan perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2:1 dan ditemukan
terbanyak pada dekade 50-60 tahun.15 Wiranada dalam penelitiannya di RSUP Sanglah
Denpasar selama 5 tahun yaitu 1998-2002 menemukan perbandingan laki-laki dan
wanita sebesar 2:1.17
2.2.4 Pekerjaan dan sosial ekonomi
Beberapa penelitian yang dilakukan, menunjukkan adanya dugaan positip
mengenai pekerjaan yang banyak berhubungan dengan asap, uap dan bahan kimia
dengan timbulnya tumor ganas nasofaring. Pada penduduk dengan sosial ekonomi yang
rendah mempunyai risiko yang tinggi untuk timbulnya tumor ganas nasofaring.17,18,20
2.3 Histopatologi
Pada tahun 1979 WHO telah menetapkan 3 bentuk histopatologi karsinoma
nasofaring, yaitu:
Tipe 1: Karsinoma sel skuamosa dengan keratin atau keratinizing squamous cell
carcinoma. Tumor jenis ini berdiferensiasi baik sampai sedang, memperlihatkan
pembentukan keratin dan jembatan antar sel.5,21
Tipe 2: Karsinoma sel skuamosa tanpa keratin atau nonkeratinizing squamous cell
carcinoma. Terdiri dari sel-sel yang bervariasi mulai dari sel matur sampai
anaplastik dan hanya sedikit sekali membuat keratin atau tidak sama sekali.
Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa tipe nonkeratinizing squamous
cell carcinoma lebih agresif dibandingkan dengan tipe undifferentiated
carcinoma tetapi beberapa penelitian lain menyebutkan sama. Tipe
nonkeratinizing squamous cell carcinoma jarang terjadi pada anak-anak.5,21
Tipe 3: Karsinoma tak berdiferensiasi atau undifferentiated carcinoma. Terdiri
dari bermacam-macam tumor, termasuk limfoepitelioma, anaplastik, clear cell
dan varian sel spindle. WHO tipe 3 ini terjadi lebih dari 95% dari seluruh
karsinoma nasofaring di daerah endemik. Undifferentiated carcinoma tipe
limfoepitelioma dapat terjadi pada semua umur dan sering mengenai anak-
anak.5,21
Di Amerika Utara ditemukan sekitar 25% histopatologi tipe 1, 12%
histopatologi tipe 2 dan 63% histopatologi tipe 3, sedangkan di Cina Selatan ditemukan
sekitar 3 % histopatologi tipe 1, 2% histopatologi tipe 2 dan 95% histopatologi tipe 3.5
8
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa histopatologi tipe 2 dan 3 dihubungkan
dengan infeksi virus Epstein-Barr. Kedua tipe histopatologi tersebut lebih radiosensitif
dibandingkan dengan histopatologi tipe 1.4,5,12,21
2.4 Klasifikasi TNM
Klasifikasi klinis TNM menurut AJCC 2002 adalah:
T = Tumor primer
Tx - Tumor primer tidak dapat ditentukan.
To - Tidak ditemukan adanya tumor primer.
Tis - Carcinoma in situ.
T1 - Tumor terbatas pada daerah nasofaring.
T2 - Tumor meluas sampai pada jaringan lunak.
T2a - Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring.
T2b - Dengan perluasan ke parafaring.
T3 - Tumor mengenai struktur tulang dan atau sinus paranasal.
T4 - Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai saraf kranial, fosa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.
N = Pembesaran kelenjar getah bening regional
Nx - Pembesaran kelenjar getah bening regional tidak dapat ditentukan.
No - Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional.
N1 - Metastasis unilateral kelenjar getah bening dengan ukuran < 6 cm
merupakan ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikula.
N2 - Metastasis bilateral kelenjar getah bening dengan ukuran < 6 cm
merupakan ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikula.
N3 - Metastasis kelenjar getah bening dengan ukuran > 6 cm atau terletak
pada fosa supraklavikula.
N3A - Ukuran kelenjar getah bening > 6 cm.
N3B - Kelenjar getah bening terletak pada daerah fosa supraklavikula.
M = Metastasis jauh
Mx – Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan.
9
M0 – Tidak ada metastasis jauh.
M1 – Terdapat metastasis jauh.
Stadium klinik
Stadium 0 : Tis – N0 – M0
Stadium I : T1 – N0 – M0
Stadium IIA: T2a – N0 –M0
Stadium IIB: T1 –N1 – M0
T2a – N1 – M0
T2b – N0, N1 – M0
Stadium III : T1 – N2 – M0
T2a, T2b – N2 – M0
T3 – N0, N1, N2 – M0
Stadium IVA: T4 – N0, N1, N2 – M0
Stadium IVB: Semua T – N3 – M0
Stadium IVC: Semua T – Semua N – M121
2.5 Gejala Klinik
Keluhan penderita karsinoma nasofaring berkaitan dengan lokasi dari tumor
primer dan perluasannya. Gejala tumor ganas nasofaring sangat beraneka ragam yang
dapat dibagi menjadi:
2.5.1 Gejala akibat tumor primer
Gejala ini merupakan gejala dini tumor ganas nasofaring, karena adanya tumor
yang tumbuh terbatas di nasofaring. Karsinoma nasofaring sering muncul pertama kali
pada fosa Rosenmuller dekat dengan tuba Eustachius sehingga gejala-gejala awal
berupa keluhan di telinga. Gejala telinga dapat berupa tinitus, grebek-grebek,
berdengung, penurunan pendengaran dan rasa sakit di telinga. Gejala hidung berupa
pilek-pilek, hidung buntu dan ingus bercampur darah.1,2,11,12
2.5.2 Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
Gejala ini merupakan gejala lanjut tumor ganas nasofaring, karena tumor telah
tumbuh melewati batas-batas nasofaring. Bila tumor meluas ke atas atau intrakranial
10
menjalar sepanjang fosa medialis disebut sebagai penjalaran petrosfenoid. Biasanya
melelui foramen laserun dan mengenai kelompok anterior saraf otak yaitu nervus II, III,
IV, V dan VI. Saraf kranialis yang sering terkena adalah nervus V dan VI. 1,2,11,12
Bila semua saraf kelompok anterior terkena dikenal dengan sindroma
petrosfenoid dengan tanda-tanda berupa neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegia
unilateral, nyeri kepala hebat sebagai akibat terjadinya penekanan tumor pada
duramater. 1,2,11,12
Bila tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial sepanjang fosa posterior
yang disebut dengan penjalaran retroparotid maka saraf otak kelompok posterior yang
akan terkena yaitu nervus VII sampai dengan nervus XII beserta nervus simpatikus
servikalis. Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan otot-otot rahang
sehingga terjadi trismus. Bila terjadi kelumpuhan nervus IX sampai dengan nervus XII
dikenal sebagai sindroma retroparotidean, dengan manifestasi seperti kesulitan menelan
N IX, hiperanestesi, hipoanestesi atau anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring
disertai gangguan respirasi dan salivasi N X, kelumpuhan otot-otot trapezius,
sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum mole N XI dan hemiparese, atropi
sebelah lidah N XII. Gejala-gejala di atas bisanya disertai dengan sindroma Horner
akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis berupa ptosis, enoftalmus dan miosis.
1,2,11,12
2.5.3 Penyebaran melalui getah bening
Metastasis ke limfenodi servikalis paling sering dijumpai yaitu 65-86,6% dan
sering merupakan keluhan utama yang membawa penderita berobat ke dokter. Lokasi
tersering adalah limfenodi servikalis profunda latero-superior yang terletak tepat di
bawah ujung mastoid, dibelakang angulus mandibula, di bagian medial ujung atas
muskulus sternokleidomastoideus. Selanjutnya menuju ke limfenodi servikalis
profunda mediosuperior. Dapat menyebar ke limfenodi retrofaring lateral. 1,2,5,11,12
2.5.4 Penyebaran melalui peredaran darah
Sel-sel tumor ganas nasofaring dapat masuk ke vena jugularis interna dekstra
atau vena subklavia yaitu melalui vasa eferensia limfenodi servikalis yang kemudian
masuk ke trunkus jugularis. Penyebaran ini menimbulkan metastasis jauh. Sheng
menyebutkan bahwa sekitar 5-10% penderita karsinoma nasofaring mengalami
11
metastasis jauh.12 Sedangkan Farias et al. pada penelitiannya mendapatkan kejadian
metastasis jauh pada karsinoma nasofaring sebesar 19,7%.22 Barnes menyebutkan
bahwa metastasis jauh biasanya didahului oleh kekambuhan lokoregional tetapi
kenyataan yang ditemukan adalah 10-20% dari pasien yang mengalami metastasis jauh
tersebut tanpa terjadi kekambuhan lokoregional terlebih dahulu.7
Di tempat yang baru, kelangsungan hidup tumor dengan ukuran 150 mikron
masih dapat diatasi lingkungan mikronya, selebihnya sel tumor memerlukan
angiogenesis. Pola sebar matastasis tidak terjadi secara acak. Penelitian terhadap
binatang diketahui tumor tertentu mempunyai organ metastasis spesifik. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring paling sering metastasis ke paru
berikutnya ke tulang sternum, costa, vertebra lumbalis dan tulang-tulang aksial yang
lain dan hati.4,9,12,18
2.5.4.1 Angiogenesis
Sudah diterima secara luas bahwa kemampuan tumor untuk menginduksi
pembuluh darah baru atau angiogenesis pada pejamu sangat berpengaruh pada
pertumbuhan tumor dan metastasis. Aktivitas angiogenesis mengakibatkan ekspansi
pertumbuhan tumor dan meningkatkan risiko metastasis. Sebaliknya tumor primer atau
sel tumor yang tidak memiliki kemampuan angiogenesis, kecil kemungkinannya untuk
berkembang menjadi tumor besar yang dapat dideteksi secara klinis, karena besarnya
akan terbatas pada hanya beberapa juta sel saja dengan volume beberapa mm3.
Pertumbuhan tumor primer maupun sekunder akan berlangsung baik bila tumor
mendapat cukup suplai darah melalui vaskularisasi untuk keperluan metabolisme dan
proliferasi. Untuk memenuhi kebutuhan ini tumor meningkatkan kemampuan
neovaskularisasi.9
Banyak faktor yang berpengaruh pada mekanisme angiogenesis, salah satu
diantaranya adalah faktor yang diinduksi oleh hipoksia (hypoxia inducible factor, HIF-
1) yang merupakan aktivator angiogenik yang merangsang ekspresi gen yang memberi
respon terhadap hipoksia, misalnya gen yang menyandi enzim glikolitik seperti
aldolase-A, enolase dan LDH-A. Termasuk VGEF (vascular endothelial growth factor)
yang merupakan faktor pertumbuhan endotel yang mendukung pembentukan pembuluh
darah baru.9
Hipoksia selalu terjadi dalam tumor yang berjarak lebih dari 100-200μm dari
12
pembuluh darah terdekat, karena sel-sel tumor lebih cepat berproliferasi dibanding sel
endotel yang direkrut untuk membentuk pembuluh darah. Karena itu sel tumor
berusaha untuk beradaptasi pada keadaan hipoksia tersebut. Salah satu cara adalah
menginduksi aktivitas faktor transkripsi HIF-1. Disamping itu dengan meningkatkan
tekanan hidrostatik, suplai nutrisi, oksigen, pembuangan katabolit dan meningkatkan
populasi sel yang berproliferasi. Hal ini memperbesar kemungkinan untuk membentuk
varian dengan potensi metastasis tinggi yang memproduksi enzim-enzim tertentu serta
faktor-faktor pertumbuhan untuk dapat menembus organ sasaran dan kemudian hidup
di dalamnya.9
Angiogenesis diperlukan pada awal ekspansi sel tumor dan pada akhir proses
metastasis. Pada percobaan binatang, terungkap bahwa sel-sel tumor jarang memasuki
pembuluh darah atau pembuluh limfe sebelum tumor primer membentuk pembuluh
darah baru, tetapi sel tumor akan terus dilepaskan ke dalam pembuluh darah setelah
terjadi neovaskularisasi. Jumlah sel tumor yang dilepaskan ke dalam pembuluh darah
sesuai dengan densitas pembuluh darah dalam tumor. Pada proses angiogenesis juga
terungkap adanya peningkatan kadar kolagenase dan aktivator plasminogen yang
dilepaskan oleh sel endotel pada ujung pembuluh darah. Enzim tersebut mempermudah
masuknya sel tumor ke dalam sirkulasi.9
Hampir semua tumor menunjukkan vaskularisasi saat diagnosis, tetapi tumor
yang timbul spontan seringkali tidak angiogenik. Karena itu diduga ada proses yang
mengubah sifat sel tumor spontan tersebut menjadi angiogenik. Proses perubahan
menjadi angiogenik terjadi fokal dan relatif tiba-tiba. Berbagai penelitian
membuktikan bahwa sebagian besar tumor tumbuh tanpa neovaskularisasi, berada
insitu untuk waktu yang cukup lama, kemudian mengalami neovaskularisasi bila suatu
bagian sel tumor berubah menjadi fenotip yang angiogenik. Pada beberapa kasus
perubahan menjadi fenotip angiogenik terjadi sebelum sel tumor berkembang penuh,
misalnya pada stadium preneoplastik atau stadium preinvasif. Perubahan fenotip
tersebut terutama diperantarai oleh bFGF (b fibroblast growth factor).9
Proses angiogenesis terjadi dalam 2 fase yaitu fase prevaskuler dan fase
vaskuler. Selama fase prevaskuler tidak ada aktivitas angiogenik atau proses
angiogenik tidak cukup, tumor tetap kecil dengan volume hanya beberapa mm3.
Pertumbuhan tumor sangat lambat dan waktu menggandakan sel tumor mungkin
berlangsung beberapa tahun. Walaupun demikian hal ini tidak berarti bahwa sel tumor
13
berproliperasi lambat. Sehingga sering akan terjadi sel-sel mikro metastasis pada fase
prevaskuler ini. Pada fase vaskuler tumor tumbuh dengan cepat menjadi invasif dan
potensi metastasis meningkat. Pada fase ini tumor bukan saja mendapat nutrisi dan
oksigen, tetapi sel-sel endotel pembuluh darah baru dapat merangsang sekresi faktor
pertumbuhan, misalnya PGF, PDGF, G-CSF, HB-EGF dan IGF, serta berbagai sitokin
seperti IL-1, IL-6 dan IL-8.9
2.5.4.2 Proses metastasis
Metastasis biasanya merupakan manifestasi akhir dari perkembangan tumor dan
prosesnya terdiri atas beberapa tahap, dimulai dari invasi ke dalam jaringan sekitarnya.
Sel-sel melepaskan diri dari induknya dan menginvasi pembuluh darah dan pembuluh
limfe terdekat atau intravasasi. Pembuluh darah atau limfe membawa sel tumor ke
tempat yang jauh dari asalnya, kemudian sel tumor keluar dari pembuluh darah atau
ekstravasasi dan membentuk koloni untuk kemudian membentuk tumor sekunder. Pada
setiap proses terjadi interaksi biokimiawi yang sangat kompleks antara sel tumor
dengan lingkungannya. Berbagai onkogen berperan dalam proses ini, demikian juga
berbagai proses biologis yang terkait, misalnya sekresi enzim protease yang merusak
matriks molekul protein pengikat disekitar sel tumor dan kolagenase yang melarutkan
kolagen pada membran basal sehingga dapat ditembus oleh sel tumor. Salah satu tahap
agar sel tumor dapat bermetastasis adalah setiap sel tumor melepaskan diri dari tumor
primer dan untuk hal tersebut perlu dihilangkan pengaruh molekul-molekul adhesi
tertentu, tetapi begitu sel tumor tiba di organ sasaran metastasis, sel tumor harus
mengalami interaksi adhesi dengan dinding pembuluh darah maupun membran basal
agar bisa menetap di tempat baru.9
Proses secara berurutan mulai tumorigenesis sampai terjadinya metastasis
digambarkan sebagai berikut: 1. Aktivitas onkogen atau transformasi. 2. Proliferasi sel-
sel yang ditransformasi. 3. Kemampuan sel tumor untuk menghindar dari
immunesurveillance. 4. Suplai nutrisi kepada masa tumor memerlukan penglepasan
faktor-faktor angiogenesis. 5. Invasi lokal dan destruksi komponen-komponen matriks
ekstraseluler dan parenkim. 6. Migrasi sel tumor dari tempat asalnya. 7. Penetrasi sel-
sel kanker melalui dinding pembuluh darah. 8. Embolisasi dan penggumpalan sel-sel
tumor menuju lokasi baru. 9. Sel-sel tumor berhenti dalam lumen pembuluh darah kecil
atau getah bening. 10. Menembus pembuluh darah dan berkembang di lokasi baru.
14
Perlu ditekankan bahwa untuk mengembangkan anak sebar di berbagai organ, sel-sel
tumor harus memiliki atau mampu mengembangkan sifat atau fenotip metastasis.
Tumor ganas diketahui menunjukkan tingkat mutasi dan instabilitas genetik yang
tinggi, sehingga meningkatkan kemungkinan untuk membentuk sel-sel dengan fenotip
metastasis.9
Gambar 2
Proses metastasis9
Sel-sel tumor dalam perkembangannya terus menerus mengakumulasi kelainan
genetik, beberapa di antaranya tetap tenang, tetapi beberapa yang lain dapat
mengakibatkan perubahan fenotip menjadi lebih ganas dan memiliki potensi untuk
bermetastasis atas pengaruh elemen-elemen yang dikenal sebagai enhancer element.
Mutasi gen mengendalikan metastasis dan menyebabkan sel tumor dapat bermigrasi ke
tempat jauh dari induknya, bersamaan dengan hal tersebut terjadi proliferasi tak
terkendali dari sel tumor. Tetapi di lain pihak keberadaan sel tumor dalam sirkulasi juga
dapat disebabkan tindakan medis, misalnya pembedahan.9
Berbagai gen yang terlibat dalam onkogenesis juga terlibat dalam metastasis.
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa ekspresi p21 menunjukkan korelasi dengan
kemampuan metastasis. Yang paling banyak mendapat perhatian adalah nm23.
Kehilangan gen nm23 atau penurunan ekspresi gen nm23 berkorelasi dengan
peningkatan potensi metastasis, sehingga diduga gen nm23 termasuk golongan gen
15
suppresor.9
Agar proses metastasis dapat dimulai, sel yang mengalami transformasi
bermigrasi dan menembus dinding pembuluh darah, bila telah berada dalam sirkulasi
sel tumor dapat menyebar ke seluruh tubuh. Dalam organ sasaran sel-sel tersebut
bergerak diantara jaringan melalui suatu proses aktif, mencakup lisis sel-sel pejamu dan
degradasi matriks ekstraseluler. Hal ini terjadi karena sel-sel tumor dapat
mensekresikan berbagai enzim proteolitik, seperti metalloprotease, kolagenase,
plasminogen, cathepsin, heparanase, hyaluronidase dan lain-lain.9
Diduga bahwa suatu enzim degradatif membuka jalan bagi sel-sel tumor untuk
melakukan invasi. Pada keadaan ini, enzim-enzim inaktif atau pro-enzim disekresi lokal
lalu diaktifkan melalui enzim-enzim regulator yang lain yang diproduksi oleh sel tumor
atau jaringan stroma sekitarnya seperti fibroblast, sel mastosit dan lain-lain. Diantara
pro-enzim tersebut yang banyak dipelajari adalah pro-cathepsin, plasminogen,
prokolagenase, metalloprotease dan plasminogen activator atau PA. Aktivasi
plasminogen merupakan sistem proteolitik ekstraseluler. Aktivator plasminogen
mengubah plasminogen inaktif menjadi plasminserine protease. Plasmin mempunyai
spesifisitas substrat sangat luas yang dapat menghancurkan protein matriks dan mampu
mengubah pro-enzim lain menjadi bentuk aktif. Hingga saat ini 2 jenis PA telah dapat
diidentifikasi, yaitu uPA (urokinase plasminogen activator) dan tPA (tissue
plasminogen activator). Berbagai penelitian membuktikan bahwa uPA diperlukan
untuk migrasi dan invasi. Sel-sel tumor dapat merangsang sel-sel sekitarnya untuk
mensekresi protease yang membantu invasi sel tumor ke dalam jaringan, tetapi jaringan
yang sama juga dapat memproduksi inhibitor protease. Karena itu invasi sel tumor ke
dalam organ sasaran merupakan suatu proses dinamis, yang berlangsung melalui
perubahan micro-echosystem secara terus-menerus. Sel-sel tumor yang bermetastasis
harus terus-menerus berinteraksi dengan unsur-unsur pejamu, yaitu matriks
ekstraseluler, fibroblast dalam stroma, sel-sel endotel dan sel-sel sistem imun. Bila
faktor yang mendukung invasi melebihi faktor yang menghambat invasi, maka invasi
dapat berlangsung.9
Enzim lain, yaitu matrix metalloproteinnase (MMP), juga memegang peranan
penting pada metastasis sel tumor. MMP termasuk golongan zine metalloproteinase
yang disekresikan dalam bentuk pro-enzim laten yang dapat diaktifkan melalui
perombakan protelitik dan dihambat oleh inhibitor metalloproteinase jaringan (tissue
16
inhibitors of metalloproteinase, TIMP’s). MMP adalah endopeptidase yang bergantung
pada metal yang apabila diaktivasi dapat menghancurkan berbagai komponen matriks
ekstraseluler, khususnya kolagen interstisial tipe I-III, membran basal tipe IV atau
kolagen tipe V. Aktivasi fisiologis metalloproteinase hampir pasti melibatkan
perombakan oleh plasmin, di mana metalloproteinase sendiri diaktifkan oleh uPA pada
permukaan sel. Karena itu, sel yang sedang invasi yang mengekspresikan uPAR
(urokinase plasminogen activator reseptor) mengaktifkan sejumlah protease pada
bagian membran sel yang sedang bergerak aktif melalui matriks ekstraseluler.
Kolagense tipe IV, seperti halnya protease yang lain disekresikan dalam bentuk pro-
enzim. Kolagenase tipe IV 72-kDa dan 92-kDa, masing-masing membentuk kompleks
dengan TIMP-2 dan TIMP-1, karena itu aktivasi kolagenase itu merupakan regulator
penting pada metastasis. Plasmin bertanggung jawab atas aktivasi kolagenase tetapi
TIMP akan menghambat aktivasi tersebut. Seperti telah disebut di atas, di samping
enzim proteolisis yang mendukung invasi dan metastasis sel tumor, berbagai enzim lain
berfungsi sebagai inhibitor bagi protease tersebut, di antaranya TIMP’s, PAI-1 dan PAI-
2. Enzim-enzim ini berfungsi sebagai supresor invasi.9
Dalam jaringan normal struktur umum dan susunan jaringan organ ditentukan
oleh terpeliharanya kontak antar sel, antara satu sel dengan sel di sebelahnya dan
matriks ekstraseluler (extracellular matrix, ECM) di sekitarnya. Kontak antar sel dan
matriks ekstraseluler berlangsung melalui berbagai molekul adhesi, berupa reseptor-
reseptor adhesi dan masing-masing ligannya. Destruksi berbagai molekul adhesi
menyebabkan hubungan dengan jaringan sekitarnya hilang dan sel-sel tumbuh tidak
terkendali, seperti yang terjadi pada tumor. Sebagian besar molekul adhesi termasuk
golongan integrin, tetapi selain itu ada beberapa golongan molekul adhesi yang lain, di
antaranya cadherin, molekul adhesi tipe imunoglobulin seperti ICAM-1 dan VCAM-1,
serta golongan selectin. Integrin merupakan glikoprotein permukaan sel terdiri atas 2
sub-unit yaitu sub-unit ∂ dan ß yang membentuk kompleks heterodimer dan tertancap
pada membran sel. Interaksi antara VCAM-1 dengan ligannya (VLA-4) berperan dalam
mengarahkan ekstravasasi sel-sel tumor ke dalam jaringan dan dengan demikian
meningkatkan risiko metastasis.9
Peran integrin pada pertumbuhan tumor telah dipelajari secara luas, baik
distribusinya dalam berbagai jenis tumor maupun perilakunya dalam sel tumor. Pada
berbagai penelitian terbukti bahwa ekspresi integrin pada tumor cenderung menurun.
17
Penurunan ekspresi ini sejalan dengan kehilangan kontak dengan membran basal yang
ada dibawahnya. Di samping itu susunan integrin pada permukaan sel juga tidak
beraturan dan jumlah integrin intrasitoplasmatik juga berkurang. Perubahan ekspresi
integrin pada sel tumor berperan dalam proliferasi sel dan atau metastasis, bergantung
pada jenis integrin. Contohnya penurunan ekspresi α5ß1 mengakibatkan proliferasi sel
tidak terkendali, sedangkan penurunan ekspresi reseptor laminin α6ß4 meningkatkan
kemampuan metastasis.9
Cadherin merupakan glikoprotein transmembran pada permukaan sel yang
memperantarai interaksi homofilik antara sel dengan sekitarnya. Pada interaksi itu
molekul cadherin spesifik pada satu sel tertentu berkaitan dengan molekul cadherin
yang terdapat pada permukaan sel sejenis. Cadherin terletak pada tempat bertemunya
kontak antar sel yang merupakan struktur filamen pada membran sel. Pada sisi
sitoplasmatik tempat pertemuan ini, E-cadherin berinteraksi dengan kelompok protein
yang disebut catenin. Peran cadherin pada perkembangan tumor juga telah dibuktikan
dalam berbagai penelitian. Telah terbukti bahwa ada hubungan antara sistem adhesi
dengan proliferasi, reseptor faktor pertumbuhan dan gen supresor. Dalam hal ini produk
APC yang dapat mengikat β-catenin, diduga berkompetisi dengan E-cadherin untuk
mengikat β-catenin. Dalam kaitannya dengan metastasis diduga bahwa kehilangan atau
disfungsi E-cadherin menyebabkan tumor lebih invasif dan meningkatkan potensi
metastasis.9
2.5.4.3 Organ sasaran metastasis
Sudah lama diketahui bahwa jenis tumor tertentu lebih suka bermetastasis ke
dalam organ tertentu dan tidak ke organ lain. Berbagai faktor yang diduga berperan
dalam pilihan lokasi metastasis banyak dipelajari walaupun belum semua terungkap.
Salah satu faktor yang diduga memegang peran penting dalam penentuan sasaran
metastasis adalah endotel. Sel-sel kanker terbukti lebih suka melekat pada endotel
kapiler dibanding endotel pembuluh darah besar, sehingga dikenal dengan istilah mikro
metastasis. Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa tumor tertentu lebih suka
melekat pada endotel kapiler organ tertentu, namun tidak semuanya demikian.
Sehingga menimbulkan dugaan bahwa tidak ada reseptor organ spesifik, tetapi pada
endotel pembuluh darah organ tertentu terdapat beberapa jenis reseptor atau kombinasi
beberapa jenis reseptor. Belum banyak yang diketahui mengenai mekanisme atau
18
reseptor endotel spesifik tertentu yang dapat menjelaskan adanya kecenderungan untuk
metastasis ke organ tertentu. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa sel-sel tumor
dapat merangsang sel-sel sekitarnya untuk mensekresi protease yang membantu invasi
sel tumor ke dalam jaringan, tetapi jaringan yang sama juga dapat memproduksi
inhibitor protease. Karena itu invasi sel tumor ke dalam organ sasaran merupakan suatu
proses dinamis, yang berlangsung melalui perubahan micro-echosystem secara terus
menerus. Sel-sel tumor yang bermetastasis harus terus-menerus berinteraksi dengan
unsur-unsur pejamu, yaitu matriks ekstraseluler, fibroblas dalam stroma, sel-sel endotel
dan sel-sel sistem imun. Bila faktor yang mendukung invasi melebihi faktor yang
menghambat invasi, maka invasi dapat berlangsung.9,12 Pendapat tentang pola sebar
metastasis tersebut dikenal dengan seed and soil hypotesis. Pada hipotesis tersebut
dikatakan ekologi mikro organ atau jaringan tubuh atau pejamu atau soil berpengaruh
terhadap penyebaran sel tumor tertentu atau seeds. Metastasis sel tumor di organ dapat
berkembang karena adanya kecocokan antara sel tumor dan kemampuan lingkungan
mikro organ tersebut.9
2.6 Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi luar didapatkan gangguan pergerakan bola mata, ptosis, protusio
bulbi, deviasi lidah dan pembesaran kelenjar leher. 1,2,11,12
Pada pemeriksaan telinga bisa ditemukan retraksi membrana timpani, sekret
telinga oleh karena adanya otitis media. Pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan
tumor di bagian belakang rongga hidung, fenomena palatum mole menurun atau
negatif. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior tampak massa atau penonjolan pada
daerah nasofaring dengan mukosa yang tidak rata atau vaskularisasi yang meningkat.
Pemeriksaan leher dilakukan untuk mengetahui adanya penyebaran ke kelenjar getah
bening leher. 1,2,11,12
Kelenjar leher yang paling sering terkena adalah kelenjar limfenodi profunda
laterosuperior yang terletak tepat dibawah ujung mastoid, dibelakang angulus
mandibula, di bagian medial ujung atas muskulus sternokleidomastoideus. Selanjutnya
ke kelenjar limfenodi servikalis profunda mediosuperior. Pada gambar 2. Sel-sel tumor
dapat juga menyebar ke kelenjar limfenodi retrofaring lateral. Pembesaran kelenjar
limfenodi tersebut diatas biasanya tidak disertai rasa nyeri dan bisa unilateral atau
bilateral. 1,2,5,11,12,21
19
Gambar 3
Penyebaran ke kelenjar getah bening leher.21
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi hanya sebagai pemeriksaan penunjang yang sifatnya
pilihan. Pemeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer, adanya
invasi ke organ sekitar, destruksi pada dasar tengkorak serta metastasis jauh.5,12,23-24 Ini
merupakan informasi penting sebelum terapi radiasi. Pemeriksaan radiologi foto polos
saat ini sudah jarang dilakukan, meskipun masih berguna dalam menegakkan diagnosis
pada tumor eksofitik yang sudah besar. Foto toraks posisi posterior anterior dilakukan
terutama untuk kecurgiaan adanya metastasis ke paru. Sedangkan bone scanning
dilakukan bila dicurigai adanya metastasis tulang atau dilakukan survey dengan foto
lokal pada tulang yang dicurigai mengalami metastasis.24
Apabila sudah meluas ke intrakranial atau terdapat destruksi tulang tengkorak
pemeriksaan CT scan mempunyai keuntungan dan nilai diagnostik tinggi antara lain
kemampuan untuk membedakan berbagai densitas di daerah nasofaring, baik pada
jaringan lunak maupun perubahan pada tulang. Selain itu dapat menilai perluasan tumor
ke jaringan sekitar, adanya destruksi tulang dan penyebaran ke intrakranial. Dapat
membantu menentukan stadium tumor, menilai hasil pengobatan dan menentukan
kekambuhan dini. Pemeriksaan CT scan sebaiknya diulang setelah 4-8 minggu setelah
radioterapi sebagai usaha untuk mendeteksi kekambuhan dini.24
Pemeriksaan MRI dari nasofaring merupakan penunjang tambahan pada kasus-
kasus selektif, karena tidak dapat menunjukkan dekstruksi tulang, tetapi mempunyai
nilai resolusi yang lebih tinggi dalam membedakan berbagai jaringan lunak. Sedangkan
sonografi dapat digunakan untuk mendeteksi adanya metastasis pada organ hati.23,24
20
2.8 Diagnosis Karsinoma Nasofaring
Untuk membuat diagnosis karsinoma nasofaring diperlukan perhatian yang
seksama terhadap gejala klinik atau keluhan penderita, pemeriksaan fisik THT kepala
leher, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang dan untuk diagnosis pasti
karsinoma nasofaring diperlukan spesimen biopsi untuk pemeriksaan patologi anatomi.
Pada penderita yang kooperatif biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan anestesi lokal
sedangkan pada penderita yang tidak kooperatif dilakukan biopsi dengan anestesi
umum. Tehnik biopsi nasofaring dilakukan multipel biopsi pada beberapa tempat untuk
mendapatkan bahan yang cukup. Pada beberapa penderita dilakukan CT scan sebagai
penuntun untuk melakukan biopsi. Metastasis jauh didiagnosis melalui gejala klinis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan radiologi meliputi sinar x ray, bone scanning, CT
scan dan sonografi. 1,2,5,13,23,24
2.9 Penatalaksanaan
Sampai saat ini radioterapi merupakan terapi utama karsinoma nasofaring.
Radioterapi sebagai gold standard untuk karsinoma nasofaring sudah di mulai sejak
lama. Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring stadium dini sebenarnya cukup
baik, respon lengkap sekitar 80%-100% sedangkan untuk karsinoma nasofaring
stadium lanjut respon radioterapi menurun tajam dengan angka ketahanan hidup 5
tahun yang kurang dari 40%. Di samping angka kegagalan kontrol lokoregional yang
tinggi, radioterapi tidak dapat digunakan untuk membunuh sel-sel ganas yang tersebar
diberbagai organ tubuh. Oleh karena hasil radioterapi pada karsinoma nasofaring
khususnya stadium lanjut yaitu stadium III dan IV kurang memuaskan, para ahli
berupaya mencari cara untuk meningkatkan kontrol lokoregional dan sistemik,
sekaligus meningkatkan survival rate.4,5,6,7 Menurut Sham kegagalan radioterapi dalam
membunuh sel kanker baik yang ada di nasofaring maupun metastasisnya di leher pada
karsinoma nasofaring stadium lanjut sangat tinggi. Locoregional failure sekitar 50%-
80%. Oleh karena hasil radioterapi pada tumor ganas di daerah kepala dan leher masih
kurang memuaskan, para ahli berupaya mencari cara pengobatan lainnya yang dapat
meningkatkan kontrol lokoregional sekaligus meningkatkan survival rate.8
Akhir-akhir ini dilaporkan beberapa cara meningkatkan kontrol tumor pada
karsinoma nasofaring yaitu accelerated fractionation radiotherapy, brakhiterapi, tiga
dimensional radioterapi dan kombinasi kemoterapi dengan radioterapi.3,5 Kemoterapi
21
sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring, banyak mendapat perhatian karena
kebanyakan penderita stadium lanjut tidak memberikan respon yang memuaskan
terhadap radioterapi. Karsinoma nasofaring merupakan salah satu keganasan yang
responsif terhadap pemberian kemoterapi. Beberapa ahli mengatakan bahwa pemberian
terapi radiasi yang dikombinasi dengan kemoterapi pada karsinoma nasofaring stadium
lanjut ternyata sangat bermanfaat dalam mengurangi resiko metastasis jauh dan dapat
meningkatkan kontrol lokal.6,9
Ma dalam penelitian prospektif tahun 1993-1994 pada 456 pasien karsinoma
nasofaring yang diberikan radioterapi dan kemoterapi menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan bermakna terhadap kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring
antara kelompok kemoterapi dengan radioterapi dan kelompok radioterapi. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa neoadjuvan kemoterapi tidak efektif mengurangi
metastasis jauh.25
Dari landasan teori di atas disebutkan bahwa kemampuan tumor untuk
menginduksi pembuluh darah baru atau angiogenesis pada pejamu sangat berpengaruh
pada pertumbuhan tumor dan metastasis. Aktivitas angiogenesis mengakibatkan
ekspansi pertumbuhan tumor dan meningkatkan risiko metastasis. Sebaliknya tumor
atau sel tumor yang tidak memiliki kemampuan angiogenesis, kecil kemungkinannya
untuk berkembang menjadi tumor besar yang dapat dideteksi secara klinis, karena
besarnya akan terbatas pada hanya beberapa juta sel saja dengan volume beberapa
mm3. Secara nyata atau klinis yang dapat dilihat dengan jelas pada penderita karsinoma
nasofaring dalam hal ini adalah ekspansi dari tumor primer yang berasal dari nasofaring
dan pembesaran yang terjadi pada kelenjar getah bening di leher.9
22
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Beberapa penelitian mengatakan, bahwa faktor risiko kejadian metastasis jauh
pada karsinoma nasofaring secara klinis adalah gradasi T dan N, jenis histopatologi,
jenis terapi atau pengobatan yang didapat serta umur. Secara teori pada pertumbuhan
tumor terjadi proses angiogenesis, proses ini dapat mempermudah penetrasi atau
membuat lokus minorus pada pembuluh darah. Dengan demikian mempermudah sel
tumor untuk mengadakan perjalanan jauh dari sumbernya karena terbawa oleh aliran
darah. Dalam kerangka teori disebutkan bahwa kemampuan tumor untuk menginduksi
pembuluh darah baru atau angiogenesis pada pejamu sangat berpengaruh pada
pertumbuhan tumor dan metastasis. Aktivitas angiogenesis mengakibatkan ekspansi
pertumbuhan tumor dan meningkatkan risiko metastasis. Sebaliknya tumor primer atau
sel tumor yang tidak memiliki kemampuan angiogenesis, kecil kemungkinannya untuk
berkembang menjadi tumor besar yang dapat dideteksi secara klinis, karena besarnya
akan terbatas pada hanya beberapa juta sel saja dengan volume beberapa mm3.
Pertumbuhan tumor primer maupun sekunder akan berlangsung baik bila tumor
Metastasis jauh
Umur:
-WHO tipe 2 jarang
terjadi pada anak-
anak
Gradasi T
Jenis histopatologi:
-WHO tipe 2 paling
agresif
Jenis terapi:
-Kemoterapi mencegah
mikrometastasis
Gradasi N
23
mendapat cukup suplai darah melalui vaskularisasi. 9
Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa tipe nonkeratinizing squamous
cell carcinoma atau klasifikasi WHO tipe 2 lebih agresif dibandingkan dengan tipe
undifferentiated carcinoma. Tipe nonkeratinizing squamous cell carcinoma ini
dikaitkan dengan usia, dikatakan bahwa tipe ini jarang terjadi pada anak-anak.
Agresifitas ini meningkatkan besarnya kemungkinan terjadi metastasis jauh.5,21
Secara teori karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang responsif
terhadap pemberian radioterapi. Tetapi pada beberapa penelitian pemberian radioterapi
saja angka kegagalan kontrol lokoregional masih tinggi, sehingga radioterapi dikatakan
tidak dapat digunakan untuk membunuh sel-sel ganas yang tersebar di berbagai organ
tubuh. Beberapa ahli mengatakan bahwa pemberian radioterapi yang dikombinasi
dengan kemoterapi pada karsinoma nasofaring stadium lanjut ternyata sangat
bermanfaat dalam mengurangi risiko metastasis jauh. Dengan kombinasi radioterapi
dan kemoterapi ukuran tumor lebih cepat mengecil dan kemoterapi diharapkan dapat
membunuh sel kanker yang kecil yang tersebar di berbagai organ tubuh atau mikro-
metastasis sehingga dapat mencegah terjadinya manifestasi metastasis jauh.6,9
3.2 Hipotesis Penelitian
1). Terdapat hubungan antara gradasi tumor primer atau T dan kejadian
metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring.
2). Terdapat hubungan antara gradasi pembesaran kelenjar getah bening leher
atau N dan kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring.
24
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional analytic, untuk mencari
hubungan antara kejadian metastasis jauh dengan besar tumor primer dan pembesaran
kelenjar getah bening leher pada karsinoma nasofaring.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar dengan cara
mengumpulkan data pada bulan September 2008.
4.3 Populasi Penelitian
Populasi target penelitian ini adalah semua penderita karsinoma nasofaring di
RSUP Sanglah Denpasar. Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita karsinoma
nasofaring yang dirawat di Poliklinik THT RSUP Sanglah Denpasar.
4.4 Sampel Penelitian
4.4.1 Sampel penelitian ini diambil dari penderita karsinoma nasofaring di Poliklinik
THT RSUP Sanglah Denpasar pada periode Januari 2005-Desember 2007,
sampai kebutuhan sampel terpenuhi.
4.4.2 Besar sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini dihitung
berdasarkan rumus Madiyono:26
3)1/()1(5,0
2
rrIn
ZZn
Keterangan:
n = besar sampel
Z α = nilai Z untuk α tertentu = 1,96
Z ß = nilai Z untuk power (1-ß) = 0,84
r = perkiraan koefisien korelasi (dari pustaka) = 0,41
Besar sampel minimalnya: 37
25
4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi adalah semua penderita yang sudah didiagnosis sebagai
karsinoma nasofaring, yang ditetapkan melalui hasil pemeriksaan patologi anatomi
pada jaringan biopsi nasofaring dan tercatat di register poliklinik THT RSUP Sanglah
Denpasar, baik yang sudah mendapatkan radioterapi dan kemoterapi ataupun yang
belum. Sedangkan sampel yang dikeluarkan dari kelompok penelitian adalah: 1.
Rekam medis tidak ditemukan. 2. Rekam medis penderita tidak lengkap.
4.6 Identifikasi Variabel
Variabel tergantung adalah metastasis jauh, variabel bebas adalah T dan N,
sedangkan umur, jenis terapi dan jenis histopatologi sebagai variabel luar.
4.7 Definisi Operasional Variabel
Metastasis jauh adalah pertumbuhan tumor sekunder pada organ yang jauh dari
tumor primernya atau asalnya. Manifestasi tersebut dilihat dari catatan keluhan klinis
penderita di luar tumor primer maupun pembesaran kelenjar getah bening di leher dan
dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang radiologi seperti sinar x ray, CT scan dan
sonografi sesuai dengan hasil bacaan ahli radiologi pada rekam medis. Manifestasi
tersebut dapat terjadi pada organ: paru-paru, tulang costa, tulang sternum, tulang femur,
tulang vertebra, parenkim hepar dan otak.
Gradasi T adalah manifestasi dari gradasi ukuran tumor primer yang berasal
dari nasofaring. Gradasi N adalah manifestasi dari gradasi ukuran pembesaran kelenjar
getah bening pada leher. Gradasi T dan N tersebut diklasifikasikan berdasarkan AJCC
2002 sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, sebagai berikut:
T = Tumor primer:
Tx - Tumor primer tidak dapat ditentukan.
To - Tidak ditemukan adanya tumor primer.
Tis - Carcinoma in situ.
T1 - Tumor terbatas pada daerah nasofaring.
T2 - Tumor meluas sampai pada jaringan lunak.
T2a - Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring.
T2b - Dengan perluasan ke parafaring.
26
T3 - Tumor mengenai struktur tulang dan atau sinus paranasal.
T4 - Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai saraf kranial, fosa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.
N = Pembesaran kelenjar getah bening regional:
Nx - Pembesaran kelenjar getah bening regional tidak dapat ditentukan.
No - Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional.
N1 - Metastasis unilateral kelenjar getah bening dengan ukuran < 6 cm
merupakan ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikula.
N2 - Metastasis bilateral kelenjar getah bening dengan ukuran < 6 cm
merupakan ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikula.
N3 - Metastasis kelenjar getah bening dengan ukuran > 6 cm atau terletak
pada fosa supraklavikula.
N3A - Ukuran kelenjar getah bening > 6 cm.
N3B - Kelenjar getah bening terletak pada daerah fosa supraklavikula.
M = Metastasis jauh:
Mx – Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan.
M0 – Tidak ada metastasis jauh.
M1 – Terdapat metastasis jauh.
Stadium klinik:
Stadium 0 : Tis – N0 – M0
Stadium I : T1 – N0 – M0
Stadium IIA: T2a – N0 –M0
Stadium IIB: T1 –N1 – M0
T2a – N1 – M0
T2b – N0, N1 – M0
Stadium III : T1 – N2 – M0
T2a, T2b – N2 – M0
T3 – N0, N1, N2 – M0
Stadium IVA: T4 – N0, N1, N2 – M0
Stadium IVB: Semua T – N3 – M0
Stadium IVC: Semua T – Semua N – M121
Umur adalah rentang waktu dari kelahiran. Dihitung dalam tahun sesuai dengan
yang tercatat pada rekam medis. Dengan ketentuan bila kelebihan dalam bulan kurang
27
dari 6 bulan dibulatkan ke bawah dan bila sama dengan 6 bulan atau lebih dibulatkan
ke atas.
Jenis histopatologi berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi yang
tercatat pada rekam medis, dimana diagnosis hasil patologi anatomi berupa karsinoma
sel skuamosa dengan keratin atau keratinizing squamous cell carcinoma
digolongkan ke dalam WHO tipe 1, karsinoma sel skuamosa tanpa keratin atau
nonkeratinizing squamous cell carcinoma digolongkan ke dalam WHO tipe 2 dan
karsinoma tak berdiferensiasi atau undifferentiated carcinoma digolongkan ke
dalam WHO tipe 3.
Jenis terapi yang dimaksud adalah modalitas terapi utama yang diperoleh
penderita yaitu radioterapi dan kemoterapi. Radioterapi yang dimaksud adalah
menggunakan terapi penyinaran atau radiasi untuk membunuh atau menghancurkan
tumor. Sedangkan kemoterapi yang dimaksud adalah terapi untuk membunuh sel-sel
tumor dengan obat-obat anti tumor yang disebut sitostatika seperti cisplatin, 5
flurourasil, capesitabin, karboplatin dan paklitasel.
Untuk penderita yang terdiagnosis metastasis jauh pada awal kunjungan juga
dicatat, walaupun belum diberikan terapi.
4.8 Cara Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari catatan pada rekam medis penderita karsinoma
nasofaring baik yang mengalami metastasis jauh maupun tidak. Data yang memenuhi
syarat dikumpulkan menggunakan status penelitian.
28
4.9 Alur Penelitian
4.10 Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan:
1). Melakukan analisis deskriptif dengan rerata proporsi dan prevalensi.
2). Menggunakan statistik inferensial, dimana variabel tergantung dan variabel bebas
dianalisis dengan regresi logistik.
3). Melakukan analisis multivariat antara variabel bebas (gradasi T, N dan umur)
dengan regresi logistik.
4). Hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung dinyatakan dengan
OR (Exp β). Tingkat kemaknaan ditetapkan pada nilai P<0,5 dan presisi data
ditentukan dengan interval kepercayaan 95%.
5). Data dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 13.0 for windows.
Register poliklinik
Rekam medis
Pengumpulan data:
-Umur dan jenis kelamin
-Pendidikan, pekerjaan, suku, agama dan kebangsaan
-Gradasi T dan N
-Sudah mendapat terapi atau belum, jenis terapi
-Jenis histopatologi
-Organ metastasis dari hasil pemeriksaan penunjang
Metastasis ( +)
Tabulasi data
Inklusi Eksklusi
Penyajian
Metastasis (-)
Tabulasi data
Analisa data
29
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan data dari periode bulan
Januari 2005 sampai Desember 2007 di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar.
Didapatkan 153 pasien karsinoma nasofaring yang memenuhi kriteria sebagai sampel
penelitian. Dilakukan analisa dan didapatkan hasil sebagai berikut.
Tabel 5.1
Distribusi umur dan jenis kelamin penderita karsinoma nasofaring.
Frekuensi Persentase
Umur (tahun)
≤ 30 19 12,4
31- 40 33 21,5
41- 50 45 29,5
51- 60 35 22,9
≥ 61 21 13,7
Jenis kelamin
Laki-laki 107 69,9
Perempuan 46 30,1
Rentang usia sampel penelitian ini adalah 8 tahun sampai 70 tahun dengan rata-
rata umur 45,8 tahun (SD=12,5). Kelompok umur terbanyak adalah 41-50 tahun
sebanyak 45 orang (29,5%), disusul umur 51-60 tahun sebanyak 35 orang (22,9%),
umur 30-40 tahun sebanyak 33 orang (21,5%), umur di atas 60 tahun sebanyak 21
orang (13,7%) dan umur di bawah 30 tahun sebanyak 19 orang (12,4%). (Tabel 5.1).
Dari 153 kasus yang diteliti didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 107
orang dan perempuan sebanyak 46 orang dengan ratio 2,3:1. Perbadingan jenis kelamin
pada kasus yang mengalami metastasis jauh, laki-laki sebanyak 31 orang dan
perempuan sebanyak 9 orang dengan ratio 3,4:1. (Tabel 5.1).
30
Tabel 5.2
Distribusi status sosial ekonomi penderita karsinoma nasofaring.
Frekuensi Persentase
Pekerjaan
Buruh 26 16,9
Tani 51 33,3
Pegawai Swasta 11 7,1
Pegawai Negri 20 13,1
Wiraswasta 22 14,4
TNI 1 0,6
Dan lain-lain 22 14,4
Pendidikan
Tidak sekolah 8 5,2
Sekolah Dasar 58 37,9
Sekolah Menengah Pertama 23 15,0
Sekolah Menengah Atas 57 37,2
Perguruan tinggi 7 4,5
Agama
Islam 18 11,8
Kristen 3 1,9
Hindu 132 86,3
Suku
Jawa 12 7,8
Bali 132 86,3
Sasak 6 3,9
Madura 1 0,6
Timor 2 1,4
Status sosial ekonomi penderita karsinoma nasofaring dalam pekerjaan
didapatkan sebagai petani sebanyak 51 orang, sebagai buruh sebanyak 26 orang,
sebagai wiraswasta sebanyak 22 orang, dan lain-lain sebanyak 22 orang, sebagai
pegawai negeri sipil sebanyak 20 orang, sebagai pegawai swasta sebanyak 11 orang
dan sebagai TNI sebanyak 1 orang. Pendidikan terbanyak adalah sekolah dasar
sebanyak 58 orang disusul sekolah menengah atas sebanyak 57 orang, sekolah
31
menengah pertama sebanyak 23 orang, tidak sekolah sebanyak 8 orang dan perguruan
tinggi sebanyak 7 orang. Suku terbanyak adalah suku Bali 132 orang, disusul suku
Jawa sebanyak 12 orang, suku Sasak sebanyak 6 orang, suku Timor sebanyak 2 orang
dan suku Madura sebanyak 1 orang. Agama terbanyak adalah Hindu sebanyak 132
orang disusul Islam sebanyak 18 orang dan Kristen sebanyak 3 orang. (Tabel 5.2).
Dari hasil pemeriksaan histopatologis didapatkan 138 kasus (90,2%) dengan
gambaran WHO tipe 3, 12 kasus (7,8%) dengan gambaran WHO tipe 2 dan 3 kasus
(2,0%) dengan gambaran WHO tipe 1. (Tabel 5.3)
Pada penelitian ini, stadium yang terbanyak ditemukan adalah stadium III yaitu
sebanyak 57 kasus (37,3%), disusul stadium IV B sebanyak 36 kasus (23,5%), stadium
IV A sebanyak 29 kasus (19,0%). Kasus dengan stadium I, II A dan II B ditemukan
dalam jumlah yang lebih sedikit yaitu 2,0%, 2,6% dan 13,1%. (Tabel 5.3)
Ditinjau dari diagnosis awal terdapat 4 pasien (2,6%) sudah mengalami
metastasis jauh. Dari 149 kasus yang telah mendapatkan terapi sebanyak 36 kasus
(24,1%) mengalami metastasis jauh. Sedangkan dari 153 pasien karsinoma nasofaring
40 kasus (26,1%) mengalami metastasis jauh. (Tabel 5.4)
Tabel 5.3
Distribusi histopatologis dan stadium klinik pasien karsinoma nasofaring.
Frekuensi Persentase
Histopatologis
WHO tipe 1 3 2,0
WHO tipe 2 12 7,8
WHO tipe 3 138 90,2
Stadium klinik
Stadium I 3 2,0
Stadium IIA 4 2,6
Stadium IIB 20 13,1
Stadium III 57 37,3
Stadium IVA 29 19,0
Stadium IVB 36 23,5
Stadium IVC 4 2,6
32
Tabel 5.4
Modalitas terapi pasien karsinoma nasofaring.
Metastasis jauh Tidak metastasis total
Mendapatkan terapi awal 36 113 149
Belum mendapat terapi 4 0 4
Total 40 113 153
Organ yang menjadi sasaran metastasis jauh adalah paru sebanyak 14 kasus
(35%), disusul tulang belakang 11 kasus (27,5%), hepar 4 kasus (10%), sisanya 11
kasus (27,5%) mengalami metastasis multiorgan yaitu paru dan hepar 3 kasus, paru dan
otak 2 kasus kemudian otak, femur, hepar dan vertebra, paru dan hepar, paru dan
sternum, serta sternum masing-masing 1 kasus.
Dari 153 penderita karsinoma nasofaring ditemukan pembesaran tumor primer
T1 sebanyak 27 pasien, T2a sebanyak 23 pasien, T2b sebanyak 28 pasien, T3
sebanyak 38 pasien dan T4 sebanyak 37 pasien. Sedangkan untuk pembesaran kelenjar
getah bening leher ditemukan N0 sebanyak 23 pasien, N1 sebanyak 39 pasien, N2
sebanyak 53 pasien, N3 sebanyak 38 pasien. (Tabel 5.5).
Tabel 5.5
Distribusi 153 pasien karsinoma nasofaring berdasarkan gradasi T dan N.
Gradasi T1 T2a T2b T3 T4 Total
N0 3 3 6 6 5 23
N1 17 4 5 14 9 39
N2 7 11 9 12 14 53
N3 10 5 8 6 9 38
Total 27 23 28 38 37 153
33
Tabel 5.6
Proporsi pasien karsinoma nasofaring yang mengalami metastasis jauh berdasarkan gradasi T
dan N.
Gradasi T1 T2a T2b T3 T4 Total
N0 0 0 1 1 1 3 (13)
N1 1 0 1 4 3 9 (23)
N2 1 2 2 4 6 15 (28)
N3 2 1 2 3 5 13 (34)
Total 4 (14,8) 3 (13) 6 (21) 12 (31) 15 (40) 40 (100)
Proporsi penderita karsinoma nasofaring yang mengalami metastasis jauh
ditemukan T1 sebanyak 4 pasien (14,8%), T2a sebanyak 3 pasien (13%), T2b
sebanyak 6 pasien (21%) , T3 sebanyak 12 pasien (31%) dan T4 sebanyak 15 pasien
(40%). (Tabel 5.6).
Tabel 5.7
Analisis pasien karsinoma nasofaring dan yang mengalami metastasis jauh berdasarkan
gradasi T.
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for
EXP(B)
Lower Upper
Step 1(a)
T_awal .399 .145 7.598 1 .006 1.490 1.122 1.978
Constant -2.402 .555 18.734 1 .000 .091
Pada penelitian ini hasil uji statistik gradasi tumor primer (T) terhadap kejadian
metastasis jauh dengan persamaan regresi logistik, dijumpai hubungan bermakna antara
gradasi T dengan kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring di
mana β = 0,399, p = 0,006, OR = 1,49, 95% CI: 1,12 s/d 1,97. (Tabel 5.7)
Proporsi pembesaran kelenjar getah bening leher penderita karsinoma
nasofaring yang mengalami metastasis jauh ditemukan N0 sebanyak 3 pasien (13%),
N1 sebanyak 9 pasien (23%), N2 sebanyak 15 pasien (28%), N3 sebanyak 13 pasien
(34%). (Tabel 5.6)
34
Tabel 5.8
Analisis pasien karsinoma nasofaring dan yang mengalami metastasis jauh berdasarkan
gradasi N .
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1(a)
N_awal .360 .193 3.471 1 .062 1.433 .981 2.091
Constant -1.678 .405 17.158 1 .000 .187
Sedangkan hasil uji statistik gradasi pembesaran kelenjar getah bening leher (N)
terhadap kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring dengan persamaan regrasi
logistik, dijumpai kecenderungan hubungan yang kuat antara N dengan kejadian
metastasis jauh di mana β = 0,36, p = 0,062, OR = 1,43, 95% CI: 0,98 s/d 2,01.
(Tabel 5.8)
Tabel 5.9
Analisis pasien karsinoma nasofaring dan yang mengalami metastasis jauh berdasarkan
gradasi T, N dan umur.
B S.E. df Sig. Odds ratio 95,0% C.I.for Odds ratio
Lower Upper
T_awal ,434 ,148 1 ,003 1,543 1,155 2,062
N_awal ,474 ,206 1 ,021 1,606 1,074 2,403
Umur -,030 ,016 1 ,059 ,970 ,940 1,001
Constant -1,996 ,949 1 ,036 ,136
Dengan analisis multivariat untuk menilai hubungan antara T, N dan umur
terhadap kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring, dijumpai
hubungan yang bermakna antara T dimana β = 0,43, p = 0,003, OR = 1,54, 95%CI:
1,15 s/d 2,06, N di mana β = 0,47, p = 0,021, OR = 1,61, 95% CI: 1,07 s/d 2,40.
(Tabel 5.9).
35
BAB 6
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data hubungan antara profil
lokoregional yaitu gradasi tumor primer (T) dan pembesaran kelenjar getah bening
leher (N) dengan kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring. Di
samping itu juga untuk mengetahui prevalensi kejadian metastasis jauh pada penderita
karsinoma nasofaring. Selama periode januari 2005 sampai Desember 2007 berhasil
dikumpulkan 153 catatan penderita karsinoma nasofaring yang dirawat jalan di
Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian
retrospektif yang menggunakan metode cross-sectional analytic.
Umur
Pada penelitian ini didapatkan umur termuda penderita karsinoma nasofaring
adalah 8 tahun sedangkan umur tertua adalah 70 tahun. Kelompok terbanyak adalah
pada umur 41-50 tahun sebesar 29,4%. Umur rata-rata adalah 45,8 tahun (SD=12,5).
Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sastrowijoto dan
kawan-kawan dalam penelitiannya di RSUP Dr Sarjito Yogyakarta selama 3 tahun
yaitu 1992-1994 ditemukan terbanyak pada dekade 40-50 tahun.14 Sedangkan Susilo
dalam penelitiannya di RSUP Dr Kariadi Semarang selama 5 tahun yaitu 1990-1994
ditemukan terbanyak pada dekade 50-60 tahun.15
Penelitian Mulyarjo pada tahun 2000-2001 di Poliklinik Onkologi THT RSU
Dr. Sutomo Surabaya mendapatkan kelompok umur terbanyak pada dekade 4-6 dan
puncaknya pada dekade ke 5.2 Dari beberapa penelitian para ahli disimpulkan bahwa
infeksi virus Epstin-Barr sebagai etiologi karsinoma nasofaring. Infeksi virus ini
biasanya terjadi pada usia muda dan setelah masuk ke dalam sel limfosit B manusia
dapat hidup secara laten tanpa menimbulkan gejala atau kelainan dalam jangka waktu
lama. Setalah 20 tahun atau lebih virus dapat berubah menjadi ganas dan mengadakan
replikasi tanpa kontrol, oleh karena itu umumnya puncak timbulnya karsinoma
nasofaring pada usia 40-60 tahun.
Keganasan kebanyakan didapatkan pada usia tua yaitu lebih dari 40 tahun
disebabkan oleh sistem imunitas dan mekanisme perbaikan DNA yang disebut DNA
repair sudah kurang berfungsi dengan baik. Mekanisme perbaikan DNA dibutuhkan
36
guna memperbaiki rangkaian basa nitrogen pada kode genetik DNA yang mengalami
mutasi. Jika mekanisme perbaikan DNA ini mengalami kegagalan dalam menjalankan
fungsinya maka mutasi DNA yang sudah terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel
tidak terkendali.
Jenis kelamin
Hasil yang didapatkan pada penelitian ini jenis kelamin laki-laki lebih banyak
daripada wanita dengan perbandingan 2,3:1. Hal ini sesuai dengan penelitian Soetjipto
yang mendapatkan perbandingan laki-laki dan wanita 2,3:1.1 Perbandingan yang sama
juga didapatkan pada penelitian Mulyarjo terhadap penderita karsinoma nasofaring di
Poliklinik Onkologi THT RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2000-2001,
mendapatkan perbandingan laki-laki dan wanita 2,2:1.1 Sastrowijoto dan kawan-kawan
dalam penelitiannya di RSUP Dr Sarjito Yogyakarta selama 3 tahun yaitu 1992-1994
menemukan perbandingan antara laki-laki dan wanita 2:1.14 Sedangkan Susilo dan
Wiratmo dalam penelitiannya di RSUP Dr Kariadi Semarang selama 5 tahun yaitu
1990-1994 mendapatkan perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2:1.15 Wiranada
dalam penelitiannya di RSUP Sanglah Denpasar selama 5 tahun yaitu 1998-2002
menemukan perbandingan laki-laki dan wanita sebesar 2:1.17
Persentase lebih tinggi pada laki-laki disebabkan kebiasaan hidup yang berbeda
antara laki-laki dan perempuan, seperti merokok yang berlebihan dan peminum alkohol
yang dapat menjadi faktor predisposisi. Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan ini
kemungkinan karena jumlah dan jenis populasi yang berbeda sesuai dengan
epidemiologi karsinoma nasofaring. Namun secara pasti hal tersebut belum dapat
dibuktikan.
Status sosial ekonomi
Pada penelitian ini, dari 153 sampel didapatkan pendidikan terbanyak adalah
sekolah dasar sebanyak 58 orang disusul sekolah menengah atas sebanyak 57 orang,
sekolah menengah pertama sebanyak 23 orang, tidak sekolah sebanyak 8 orang dan
perguruan tinggi sebanyak 7 orang. Pekerjaan sebagai petani sebanyak 51 orang,
sebagai buruh sebanyak 26 orang, sebagai wiraswasta sebanyak 22 orang, dan lain-lain
sebanyak 22 orang, sebagai pegawai negeri sipil sebanyak 20 orang, sebagai pegawai
swasta sebanyak 11 orang dan sebagai TNI sebanyak 1 orang.
37
Pada penduduk dengan sosial ekonomi rendah dimana memiliki tingkat
pendidikan rendah dan pekerjaan sebagai buruh dan petani, mempunyai risiko yang
tinggi untuk timbulnya tumor ganas nasofaring. Beberapa penelitian yang dilakukan,
menunjukkan adanya dugaan positip mengenai pekerjaan yang banyak berhubungan
dengan asap, uap dan bahan kimia dengan timbulnya tumor ganas nasofaring.17,18,20
Histopatologis
Di Amerika Utara ditemukan sekitar 25% histopatologi tipe 1, 12%
histopatologi tipe 2 dan 63% histopatologi tipe 3, sedangkan di Cina Selatan ditemukan
sekitar 3 % histopatologi tipe 1, 2% histopatologi tipe 2 dan 95% histopatologi tipe 3.5
Sheng pada penelitiannya mendapatkan karsinoma nasofaring WHO tipe 3 sebanyak
70%, disusul karsinoma nasofaring WHO tipe 2 sebanyak 20% dan karsinoma
nasofaring WHO tipe 1 sebanyak 10%.12 Pada penelitian ini hasil pemeriksaan
histopatologis terbanyak adalah karsinoma nasofaring WHO tipe 3 sebanyak 138
(90,2%) kasus, disusul karsinoma nasofaring WHO tipe 2 sebanyak 12 (7,8%) kasus
dan karsinoma nasofaring WHO tipe 1 sebanyak 3 (2,0%) kasus. Hal ini sesuai dengan
hasil temuan beberapa peneliti sebelumnya.
Koukourakis dkk, pada tahun 1996 melakukan penelitian prospektif terhadap 78
pasien karsinoma nasofaring dengan radioterapi. Pada kelompok yang mengalami
metastasis jauh seluruhnya memiliki gambaran histopatologis WHO tipe 2 dan 3.10
Belum ada peneliti yang menganalisis penyebab perbedaan tersebut. Diperkirakan
adanya hubungan dengan virus Epstein-Barr. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
gambaran WHO tipe 3 yang merupakan suatu undifferentiatid karsinoma nasofaring
berhubungan erat dengan infeksi dari virus Epstein-Barr dan didapatkan sering
mengalami metastasis jauh.3,7,10,27
Stadium klinis
Walaupun karsinoma nasofaring merupakan tumor yang radiosensitif tetapi
angka harapan hidup pada pasien dengan stadium lanjut sangat buruk. Farias at al.
menyebutkan pada penelitiannya bahwa pada pasien dengan stadium IV yang telah
mendapatkan radioterapi angka harapan hidup dalam 5 tahun adalah 35%.22
Pada penelitian ini, stadium yang terbanyak ditemukan adalah stadium III yaitu
sebanyak 57 kasus (37,3%), disusul stadium IV B sebanyak 36 kasus (23,5%), stadium
38
IV A sebanyak 29 kasus (19,0%). Hal ini sesuai dengan laporan sebagian besar peneliti.
Mereka mengatakan bahwa 60-95% penderita karsinoma nasofaring datang berobat
sudah dalam stadium lanjut, bahkan sebagian penderita datang dalam keadaan umum
yang buruk. Kondisi ini merupakan kendala yang dihadapi dalam penanganan penderita
karsinoma nasofaring. Faktor penyebab keterlambatan penderita datang yaitu
pengetahuan yang kurang, penderita takut berobat ke dokter dan kondisi sosial ekonomi
penderita karsinoma nasofaring yang rendah. Kasus dengan stadium I, II A dan II B
ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit yaitu 2,0% kasus, 2,6% kasus dan 13,1%
kasus. Hal ini disebabkan karena gejala dini yang dirasakan tidak khas oleh penderita
dan kesulitan diagnosis dini oleh dokter. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas
yang berasal dari epitel mukosa dan kripte permukaan nasofaring. Karena lokasinya
yang tersembunyi dan gejala dini yang tidak khas yang mirip dengan keradangan di
saluran nafas atas pada umumnya, karsinoma nasofaring relatif sulit didiagnosis secara
dini. Adanya metastasis jauh sering terlambat diketahui dan biasanya sudah dalam
kondisi yang buruk.1,28
Prevalensi
Karsinoma nasofaring dapat mengalami risiko metastasis jauh baik sebelum
mendapatkan terapi, saat mendapatkan terapi atau setelah mendapatkan terapi. Hong
menyatakan pada awal diagnosis ditegakkan ditemukan metastasis jauh sebesar 4,4-
7%.8 Pada penelitian ini didapatkan 4 kasus (2,6%) metastasis jauh pada awal diagnosis
atau sebelum mendapatkan terapi. Sedikit berbeda dengan pernyataan Barnes, yang
menyebutkan bahwa metastasis jauh biasanya didahului oleh kekambuhan lokoregional
tetapi kenyataan yang ditemukan adalah 10-20% dari pasien yang mengalami
metastasis jauh tersebut tanpa terjadi kekambuhan lokoregional terlebih dahulu.7
Sedangkan dari 149 kasus yang telah mendapatkan terapi sebanyak 36 kasus (24,1%)
mengalami metastasis jauh. Sesuai dengan pernyataan Hong pasca radioterapi
ditemukan metastasis jauh sekitar 20-27,4%.8
Pada penelitian ini secara keseluruhan dari 153 pasien karsinoma nasofaring
yang dicatat selama periode 3 tahun ditemukan 40 kasus (26,1%) metastasis jauh.
Dengan demikian prevalensi metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring yang
ditemukan sekitar 26,1%. Hong menyatakan bahwa pada saat otopsi ditemukan
metastasis jauh sekitar 38-87%.8 Sedikit berbeda dengan Sheng menyebutkan bahwa
39
sekitar 5-10% penderita karsinoma nasofaring mengalami metastasis jauh.12 Sedangkan
Farias et al. pada penelitiannya mendapatkan metastasis jauh pada karsinoma
nasofaring sebesar 19,7%.22 Perbedaan ini terjadi diduga karena jumlah, jenis populasi
dan letak geografi yang berbeda.29,33,34
Organ sasaran metastasis jauh
Organ sasaran metastasis jauh pada penelitian ini adalah paru sebanyak 14
(35%) kasus, disusul tulang belakang 11 (27,5%) kasus, hepar 4 (10%) kasus, sisanya
11 (27,5%) kasus mengalami metastasis multiorgan yaitu paru dan hepar 3 kasus, paru
dan otak 2 kasus kemudian otak, femur, hepar dan vertebra, paru dan hepar, paru dan
sternum, serta sternum masing-masing 1 kasus.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring paling sering
metastasis jauh ke paru berikutnya ke tulang sternum, costa, vertebra lumbalis dan
tulang-tulang aksial yang lain dan hati.4,9,12,18,30,31-33
Salah satu faktor yang diduga memegang peran penting dalam penentuan
sasaran metastasis adalah endotel. Sel-sel kanker terbukti lebih suka melekat pada
endotel kapiler dibanding endotel pembuluh darah besar, sehingga dikenal dengan
istilah mikrometastasis. Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa tumor tertentu lebih
suka melekat pada endotel kapiler organ tertentu, namun tidak semuanya demikian.
Sehingga menimbulkan dugaan bahwa tidak ada reseptor organ spesifik, tetapi pada
endotel pembuluh darah organ tertentu terdapat beberapa jenis reseptor atau kombinasi
beberapa jenis reseptor. Belum banyak yang diketahui mengenai mekanisme atau
reseptor endotel spesifik tertentu yang dapat menjelaskan adanya kecenderungan untuk
metastasis ke organ tertentu. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa sel-sel tumor
dapat merangsang sel-sel sekitarnya untuk mensekresi protease yang membantu invasi
sel tumor ke dalam jaringan, tetapi jaringan yang sama juga dapat memproduksi
inhibitor protease. Karena itu invasi sel tumor ke dalam organ sasaran merupakan suatu
proses dinamis, yang berlangsung melalui perubahan micro-echosystem secara terus
menerus. Sel-sel tumor yang bermetastasis harus terus-menerus berinteraksi dengan
unsur-unsur pejamu, yaitu matriks ekstraseluler, fibroblas dalam stroma, sel-sel endotel
dan sel-sel sistem imun. Bila faktor yang mendukung invasi melebihi faktor yang
menghambat invasi, maka invasi dapat berlangsung.9,12 Pendapat tentang pola sebar
metastasis tersebut dikenal dengan seed and soil hypotesis. Pada hipotesis tersebut
40
dikatakan ekologi mikro organ atau jaringan tubuh atau pejamu atau soil berpengaruh
terhadap penyebaran sel tumor tertentu atau seeds. Metastasis sel tumor di organ dapat
berkembang karena adanya kecocokan antara sel tumor dan kemampuan lingkungan
mikro organ tersebut.9
Hubungan gradasi T dan N dengan kejadian metastasis jauh
Koukourakis dkk, pada tahun 1996 melakukan penelitian prospektif terhadap 78
pasien karsinoma nasofaring dengan radioterapi. Pada kelompok pasien yang
mengalami metastasis jauh didapatkan perbedaan yang bermakna pada gradasi T atau
T1 dan T2 dibandingkan dengan T3 dan T4, ukuran pembesaran kelenjar leher atau
kurang dari 6 cm dibandingkan dengan lebih atau sama dengan 6 cm, letak pembesaran
kelenjar leher atau di atas tiroid dibandingkan dengan di bawah tiroid, serta keterlibatan
daerah parafaring. Dalam analisis multivariat pada kelompok T3-T4 didapatkan bahwa
ukuran pembesaran kelenjar leher merupakan satu-satunya variabel yang mempunyai
hubungan bermakna pada metastasis jauh dengan Hazard ratio 4,09.10
Proporsi penderita karsinoma nasofaring yang mengalami metastasis jauh pada
penelitian ini didapatkan gradasi T yaitu T1 sebanyak 4 pasien (14,8%), T2a sebanyak
3 pasien (13%), T2b sebanyak 6 pasien (21%) , T3 sebanyak 12 pasien (31%) dan T4
sebanyak 15 pasien (40%).
Setelah dilakukan uji statistik pada gradasi tumor primer (T) terhadap kejadian
metastasis jauh dengan persamaan regresi logistik, dijumpai hubungan bermakna antara
gradasi T dengan kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring (β =
0,399, p = 0,006, OR = 1,49, 95% CI: 1,12 s/d 1,97). Status tumor primer dari hasil
diagnosis awal ditemukan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
perkembangan ke metastasis jauh dengan odds ratio 0,49. Dengan demikian setiap 1
nilai gradasi T yang meningkat, meningkatkan 49% risiko terjadinya metastasis jauh
pada penderita karsinoma nasofaring.
Sedangkan proporsi gradasi pembesaran kelenjar getah bening leher penderita
karsinoma nasofaring yang mengalami metastasis jauh pada penelitian ini didapatkan
N0 sebanyak 3 pasien (13%), N1 sebanyak 9 pasien (23%), N2 sebanyak 15 pasien
(28%), N3 sebanyak 13 pasien (34%).
Setelah dilakukan uji statistik gradasi pembesaran kelenjar getah bening leher
(N) terhadap kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring dengan persamaan
41
regrasi logistik, dijumpai kecenderungan hubungan yang kuat antara N dengan kejadian
metastasis jauh (β = 0,36, p = 0,062, OR = 1,43, 95% CI: 0,98 s/d 2,01). Status
pembesaran kelenjar getah bening leher dari hasil diagnosis awal ditemukan
mempunyai pengaruh terhadap kecenderungan perkembangan ke metastasis jauh
dengan odds ratio 0,43.
Dengan analisis multivariat untuk menilai hubungan antara T, N dan umur
terhadap kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring, dijumpai
hubungan yang bermakna antara T (β = 0,43, p = 0,003, OR = 1,54, 95% CI: 1,15 s/d
2,06) dan N (β = 0,47, p = 0,021, OR = 0,61, 95% CI: 1,07 s/d 2,40).
Pada penelitian ini besarnya gradasi T dan N atau profil lokoregional
mempunyai hubungan dengan kejadian metastasis jauh. Dengan demikian semakin
besar gradasi T dan N atau profil lokoregional maka semakin besar kemungkinan
terjadinya metastasis jauh.
Dari landasan teori disebutkan bahwa kemampuan tumor untuk menginduksi
pembuluh darah baru atau angiogenesis pada pejamu sangat berpengaruh pada
pertumbuhan tumor dan metastasis. Aktivitas angiogenesis mengakibatkan ekspansi
pertumbuhan tumor dan meningkatkan risiko metastasis. Secara nyata atau klinis pada
penderita karsinoma nasofaring dalam hal ini, yang dapat dilihat dengan jelas adalah
ekspansi dari tumor primer yang berasal dari nasofaring dan pembesaran yang terjadi
pada kelenjar getah bening di leher.9 Dengan demikian dapat diprediksi bahwa semakin
besar gradasi T dan N maka semakin tinggi risiko untuk terjadinya metastasis jauh
karena aktifitas angiogenesis tersebut. Dan dapat diramalkan bahwa semakin besar
gradasi profil lokoregional maka prognosis penderita karsinoma nasofaring tersebut
adalah semakin buruk. Untuk itu strategi penanganan mengurangi faktor risiko dan
mencegah metastasis jauh adalah dengan menemukan dan mengobati kasus ini sedini
mungkin atau pada keadaan profil lokoregional yang masih kecil.
42
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Prevalensi kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring di RSUP
Sanglah Denpasar adalah sebesar 26,1%.
2. Ada hubungan bermakna antara gradasi T dengan kejadian metastasis jauh
pada penderita karsinoma nasofaring
3. Ada kecenderungan hubungan yang kuat antara gradasi N dengan
kejadian metastasis jauh
7.2 Kelemahan Penelitian
1. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, di mana pengukuran
variabel hanya dilakukan satu kali saja, sehingga tidak mungkin menentukan
variabel sebab dan akibat.
2. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara retrospektif, di
mana banyak terdapat kelemahan pada pencatatan terhadap faktor-faktor risiko
terjadinya metastasis jauh pada karsinoma nasofaring.
7.3 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian secara prospektif, di mana dapat dilakukan pemilihan
sampel dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang lebih baik.
2. Masih diperlukan banyak penjelasan klinis dan biologis untuk menerangkan
agresivitas karsinoma nasofaring yang berkaitan dengan metastasis jauh.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto D. Karsinoma Nasofaring Mungkinkah Melakukan Diagnosis Dini?.
Kumpulan Naskah KONAS PERHATI Bukittinggi, 1993:2-30.
2. Mulyarjo. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit THT-KL FK UNAIR/RS Dr
Sutomo Surabaya, 2002: 38-48.
3. Kentjono WA. Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring.
Disampaikan pada Simposium Bedah Kepala Leher. Jakarta, 2003.
4. Sham J, Poon Y, Wei W, Choy D. Nasopharyngeal Carcinoma in Young
Patients. Cancer 1990; 65: 2606-10.
5. William I. Nasopharyngeal Cancer. In: Bailey B, editor. Head and Neck
Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadhelpia: Lippincott Williams, 2006. p.
1657-71.
6. Chan A, Teo P, Jhonson P. Nasopharyngeal Carcinoma. Annals of Oncology
2002; 13: 1007-15.
7. Barnes L. Pathology of the Head and Neck: General Considerations. In: Myers
E, Suen J, editors. Cancer of the Head and Neck. 3rd ed. Philadhelpia: WB
Saunders Company, 1996. p.17-32.
8. Hong RL, et al. Induction Chemotherapy with Mitomycin, Epirubicin, Cisplatin,
Fluorouracil, and Leucovorin Followed by Radiotherapy in the Treatment of
locoregionally advanced Nasopharyngeal Carcinoma. J Clin Oncol 2001; 19:
4305-13.
9. Khokha R, Voura E, Hill RP. Tumor Progression and Metastasis: Cellular,
Molecular, and Microenvironmental Factors. In: Tannock IF, Hill RP, Bristow
RG, Harrington L editors. The Basic Science of Oncology. 4th ed. Boston: Mc
Graw –Hill Company, 1998. p. 205-30.
10. Koukourakis MI, Whitehouse RM, Glatromanolaki A, Saunders M, Kaklamanis
L. Predicting Distant Failure in Nasopharyngeal Cancer. Laryngoscope 1996;
106: 765-71.
11. Harsal A. Kemoterapi pada Keganasan Kepala dan Leher. Disampaikan pada
Simposium Bedah Kepala Leher. Jakarta, 2003.
12. Sheng L. Malignant Nasopharyngeal Tumors. Last modified December 21,
44
2007; Available at: http://www.emedicine.html. Accessed December 31, 2007.
13. Mills SE, Gaffey MJ, Frierson HF. Tumors of the Upper Aerodigestive Tract
and Ear. In: Rosai J, editor. Atlas of Tumor Pathology. 3rd ed. Washington, D.C:
Armed Forced Institute of Pathology, 1997. p.7-88.
14. Yang X, et al. Evaluation of Risk Factor for Nasopharyngeal Carcinoma in
High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan . Cancer Epidemiol
Biomarkers Prev 2005; 14: 900-5.
15. Sastrowijoto S, Losin K, Setiamika M. Tinjauan Retrospektif Karsinoma
Nasofaring di RSUP Dr Sardjito Selama Tiga Tahun (1992-1994). Kumpulan
Naskah KONAS PERHATI XI Yogyakarta, 1995: 1221-27.
16. Susilo N, Wiratmo. Karsinoma Nasofaring di SMF THT RSUP Dr Kariadi
Semarang Tahun 1990-1994. Kumpulan Naskah KONAS PERHATI XI
Yogyakarta, 1995: 1228-36.
17. Wiranada IM. Tinjauan Retrospektif Karsinoma Nasofaring di RSUP Sanglah
Selama Lima Tahun (1998-2002). FK UNUD 2003.
18. Sriamporn S, Vatanasapt V. Environmental Risk Factors for Nasopharyngeal
Carcinoma: A Case-Control Study in Northeastern Thailand. Cancer
Epidemiology 1992; 1: 345-8.
19. Rischin D, et al. Excellent Disease Control and Survival in Patients With
Advanced Nasopharyngeal Cancer Treated With Chemoradiation. Journal of
Clinical Oncology 2002; 20: 1845-52.
20. Armstrong RW, et al. Nasopharyngeal Carcinoma in Malaysian Chinese:
Occupational exposures to Particles, formaldehyde and Heat. International
Journal of Epidemiology 2000; 29: 991-8.
21. American Joint Committee on Cancer. In: Green FL, ed. AJCC Cancer Staging
Manual. Philadelphia: RP Lippincott, 2002: 33-41.
22. Farias TP, et al. Prognostic Factors and Outcome for Nasopharyngeal
Carcinoma. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2003; 129: 794-9.
23. Cheng H. Nasopharyngeal Cancer and the Southeast Asian Patient. Last
modified May 2001; Available at: http://www.aafp.org/afp. Accessed December
31, 2007.
24. Brizel DM, et al. Hyperfractionated Irradiation With or Without Concurrent
Chemotherapy for Locally Advanced Head and Neck Cancer. The New England
45
Journal of Medicine 1998; 338: 1798-1804.
25. Ma J, et al. Results of a Prospective Randomised Trial Comparing Neoadjuvant
Chemotherapy Plus Radiotherapy with Radiotherapy Alone in Patients with
Locoregionally Advanced Nasopharyngeal Carcinoma. J Clin Oncol 2001; 19:
1350-57.
26. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto H. Perkiraan
Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro, ed. Dasar-dasar Metodologi Penelitian
Klinis. Jakarta: Sagung Seto, 2002: 259-86.
27. Chiesa F, Paoli FD. Distant Metastases from Nasopharyngeal Cancer. ORL
2001; 63: 214-216.
28. Huang CJ, Leung SW, Lian SL, Wang CJ, Fang FM, Ho YH. Patterns of
Distant Metastases in Nasopharyngeal Carcinoma. Kaohsiung J Med Sci 1996;
12(4): 299-34.
29. Fandi A, et al. Long-Term Disease-Free Survivors in Metastatic
Undiffferentiated Carcinoma of Nasopharyngeal Type. J Clin Oncol 2000; 18:
1324-30.
30. Yeh SA, Tang Y, Lui CC, Huang EY. Tratment Outcomes of Patients with
AJCC Stage IVC Nasopharyngeal Carcinoma: Benefits of Primary
Radiotherapy. Jpn J Clin Oncol 2006; 36: 132-6.
31. Doweck I, Robbins KT, Vieira F. Analysis of Risk Factors Predictive of Distant
Failure after Targeted Chemoradiation for Advanced Head and Neck Cancer.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2001; 127: 1315-8.
32. Sahraoui S, Acharki A, Benider A, Bouras N, Kahlain A. Nasopharyngeal
Carcinoma in Children under 15 Years of Age: A Retrospektive Review of 65
Patients. Annals of Oncology 1999; 10: 1499-1502.
33. Liu MT, et al. Prognostic Factors Affecting the Outcome of Nasopharyngeal
Carcinoma. Jpn Clin Oncol 2003; 33: 501-8.
34. Friborg J, et al. Cancer Susceptibility in Nasopharyngeal Carcinoma Families –
A Population-Based Cohort Study. Cancer Res 2005; 65: 8567-72.
46
LAMPIRAN 1
STATUS PENELITIAN
Hubungan Profil Lokoregional dan Metastasis Jauh
pada Karsinoma Nasofaring
Tanggal : …………………………………
No. Penelitian : …………………………………
No. RM : …………………………………
I. IDENTITAS Nama : …………………………………
Umur : …………tahun
Jenis kelamin : 1. laki-laki 2. Perempuan
Pendidikan : 1. Tidak sekolah. 2. SD. 3. SMP. 4. SMA. 5. PT
Pekerjaan : 1. PNS/TNI. 2. Swasta. 3. Wiraswasta. 4. Buruh. 5. Petani
6. Dan lain-lain.
Bangsa : 1. Indonesia. 2 Indonesia keturunan/ Cina.
Suku : ...............................................
Agama : 1. Islam. 2. Kristen. 3. Hindu. 4. Buda.
II. STATUS
Stadium awal ........................... ( T............... N.................. M ..................)
Hasil PA No.......................................tanggal......................................................
a. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (WHO tipe 1)
b. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (WHO tipe 2)
c. Karsinoma tak berdiferensiasi (WHO tipe 3)
Pemeriksaan penunjang yang ada untuk diagnosis metastasis jauh:
1. CT scan kepala: 1. Metastasis ke otak : a. ada b. tidak
2. dll..............................
2. Foto toraks AP: 1. Metastasis ke paru : a. ada b. tidak
2. Metastasis ke tulang sternum: a. ada b. tidak
3. Metastasis ke tulang costa a. ada b. tidak
4. dll.............................
3. Foto torakolumbal: 1. Metastasis ke vertebra a. ada b. tidak
2. dll.........................
4. Foto femur : 1. Metastasis ke tulang femur a. ada b. tidak
2. dll.........................
5. USG abdomen : 1. Metastasis ke hepar a. ada b. tidak
2. dll.........................
Terapi: 1. Sudah : a. Radioterapi
b. Kemoterapi: 1. Cisplatin 2. 5 Flurourasil
3. Capesitabin 4. Karboplatin
5. Paklitasel
2. Belum mendapatkan terapi.
47
Catatan: ............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................
Peneliti
Dr. I Wayan Sucipta
48
LAMPIRAN 2
ANALISIS SPSS 13.00 FOR WINDOWS
Descriptives
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Umur 153 8.00 70.00 45.8562 12.55169
Valid N (listwise) 153
Frequency Table
Jenis kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid L 107 69.9 69.9 69.9
P 46 30.1 30.1 100.0
Total 153 100.0 100.0
Pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Buruh 26 17.0 17.0 17.0
PNS 20 13.1 13.1 30.1
Swasta 11 7.2 7.2 37.3
Tani 51 33.3 33.3 70.6
Tdk kerj 22 14.4 14.4 85.0
TNI 1 .7 .7 85.6
Wiraswas 22 14.4 14.4 100.0
Total 153 100.0 100.0
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid PT 7 4.6 4.6 4.6
SD 58 37.9 37.9 42.5
SMA 57 37.3 37.3 79.7
SMP 23 15.0 15.0 94.8
Tdk Skl 8 5.2 5.2 100.0
Total 153 100.0 100.0
49
Bangsa
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Indon 152 99.3 99.3 99.3
Ket Cina 1 .7 .7 100.0
Total 153 100.0 100.0
Suku
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Bali 132 86.3 86.3 86.3
Jawa 12 7.8 7.8 94.1
Madura 1 .7 .7 94.8
Sasak 6 3.9 3.9 98.7
Timor 2 1.3 1.3 100.0
Total 153 100.0 100.0
Agama
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Hindu 132 86.3 86.3 86.3
Islam 18 11.8 11.8 98.0
Kristen 3 2.0 2.0 100.0
Total 153 100.0 100.0
Std_awal
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 3 2.0 2.0 2.0
2a 4 2.6 2.6 4.6
2b 20 13.1 13.1 17.6
3 57 37.3 37.3 54.9
4a 29 19.0 19.0 73.9
4b 36 23.5 23.5 97.4
4c 4 2.6 2.6 100.0
Total 153 100.0 100.0
T_awal
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 27 17.6 17.6 17.6
2a 23 15.0 15.0 32.7
2b 28 18.3 18.3 51.0
3 38 24.8 24.8 75.8
4 37 24.2 24.2 100.0
Total 153 100.0 100.0
50
M_awal
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0 149 97.4 97.4 97.4
1 4 2.6 2.6 100.0
Total 153 100.0 100.0
M_akhir
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0 113 73.9 73.9 73.9
1 40 26.1 26.1 100.0
Total 153 100.0 100.0
Metastasis
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Fem 1 .7 .7 .7
Hep 4 2.6 2.6 3.3
Hep,vert 1 .7 .7 3.9
Otak 1 .7 .7 4.6
Otak,par 2 1.3 1.3 5.9
Par 14 9.2 9.2 15.0
Par,hep, 1 .7 .7 15.7
Par,ster 1 .7 .7 16.3
Par+vert 3 2.0 2.0 18.3
Ster 1 .7 .7 19.0
Tdk ada 113 73.9 73.9 92.8
Vert 11 7.2 7.2 100.0
Total 153 100.0 100.0
Modalitas
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Blm 4 2.6 2.6 2.6
Rad 14 9.2 9.2 11.8
Rad +cap 1 .7 .7 12.4
Rad+cap 51 33.3 33.3 45.8
Rad+car, 6 3.9 3.9 49.7
Rad+cis, 69 45.1 45.1 94.8
Rad+pak 8 5.2 5.2 100.0
Total 153 100.0 100.0
51
PA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1.00 3 2.0 2.0 2.0
2.00 12 7.8 7.8 9.8
3.00 138 90.2 90.2 100.0
Total 153 100.0 100.0
Metastase_cat
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid metastase tidak 113 73.9 73.9 73.9
metastase ya 40 26.1 26.1 100.0
Total 153 100.0 100.0
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Cases(a) Umur Percent
Selected Cases Included in Analysis 153 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 153 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 153 100.0
a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
.00 0
1.00 1
Block 0: Beginning Block
Classification Table(a,b)
Observed
Predicted
Metastase_cat Percentage
Correct
.00 1.00
Step 0 Metastase_cat .00 113 0 100.0
1.00 40 0 .0
Overall Percentage 73.9
a Constant is included in the model. b The cut value is .500
52
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant -1.039 .184 31.862 1 .000 .354
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Umur 2.629 1 .105
Overall Statistics 2.629 1 .105
Block 1: Method = Enter
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 173.200(a) .017 .025
a Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.
Classification Table(a)
Observed
Predicted
Metastase_cat Percentage
Correct
.00 1.00
Step 1 Metastase_cat .00 113 0 100.0
1.00 40 0 .0
Overall Percentage 73.9
a The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1(a)
Umur -.024 .015 2.579 1 .108 .977 .949 1.005
Constant .030 .679 .002 1 .965 1.031
a Variable(s) entered on step 1: Umur.
53
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Cases(a) T Percent
Selected Cases Included in Analysis 153 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 153 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 153 100.0
a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
.00 0
1.00 1
Block 0: Beginning Block
Classification Table(a,b)
Observed
Predicted
Metastase_cat Percentage
Correct
.00 1.00
Step 0 Metastase_cat .00 113 0 100.0
1.00 40 0 .0
Overall Percentage 73.9
a Constant is included in the model. b The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant -1.039 .184 31.862 1 .000 .354
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables T_awal 8.002 1 .005
Overall Statistics 8.002 1 .005
54
Block 1: Method = Enter
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 167.423(a) .053 .078
a Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.
Classification Table(a)
Observed
Predicted
Metastase_cat Percentage Correct
.00 1.00
Step 1 Metastase_cat .00 113 0 100.0
1.00 40 0 .0
Overall Percentage 73.9
a The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for
EXP(B)
Lower Upper
Step 1(a)
T_awal .399 .145 7.598 1 .006 1.490 1.122 1.978
Constant -2.402 .555 18.734 1 .000 .091
a Variable(s) entered on step 1: T_awal_num.
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Cases(a) N Percent
Selected Cases Included in Analysis 153 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 153 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 153 100.0
a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
.00 0
1.00 1
55
Block 0: Beginning Block Classification Table(a,b)
Observed
Predicted
Metastase_cat Percentage
Correct
.00 1.00
Step 0 Metastase_cat .00 113 0 100.0
1.00 40 0 .0
Overall Percentage 73.9
a Constant is included in the model. b The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant -1.039 .184 31.862 1 .000 .354
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables N_awal 3.546 1 .060
Overall Statistics 3.546 1 .060
Block 1: Method = Enter
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 172.181(a) .023 .034
a Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.
Classification Table(a)
Observed
Predicted
Metastase_cat Percentage
Correct
.00 1.00
Step 1 Metastase_cat .00 113 0 100.0
1.00 40 0 .0
Overall Percentage 73.9
a The cut value is .500
56
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1(a)
N_awal .360 .193 3.471 1 .062 1.433 .981 2.091
Constant -1.678 .405 17.158 1 .000 .187
a Variable(s) entered on step 1: N_awal.
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Cases(a) N Percent
Selected Cases Included in Analysis 153 100,0
Missing Cases 0 ,0
Total 153 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 153 100,0
a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
metastase tidak 0
metastase ya 1
Block 0: Beginning Block
Classification Table(a,b)
Observed
Predicted
Metastase_cat Percentage
Correct
metastase tidak metastase ya
Step 0 Metastase_cat metastase tidak 113 0 100,0
metastase ya 40 0 ,0
Overall Percentage 73,9
a Constant is included in the model. b The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant -1,039 ,184 31,862 1 ,000 ,354
57
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables T_awal 8,002 1 ,005
N_awal 3,546 1 ,060
Umur 2,629 1 ,105
Overall Statistics 16,244 3 ,001
Block 1: Method = Enter
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 158,926(a) ,105 ,153
a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Table(a)
Observed
Predicted
Metastase_cat Percentage
Correct
metastase tidak metastase ya
Step 1 Metastase_cat metastase tidak 108 5 95,6
metastase ya 34 6 15,0
Overall Percentage 74,5
a The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1(a)
T_awal ,434 ,148 8,628 1 ,003 1,543 1,155 2,062
N_awal ,474 ,206 5,314 1 ,021 1,606 1,074 2,403
Umur -,030 ,016 3,571 1 ,059 ,970 ,940 1,001
Constant -1,996 ,949 4,420 1 ,036 ,136
a Variable(s) entered on step 1: T_awal, N_awal, Umur.
Correlation Matrix
Constant T_awal N_awal Umur
Step 1 Constant 1,000 -,570 -,360 -,663
T_awal -,570 1,000 ,126 -,049
N_awal -,360 ,126 1,000 -,147
Umur -,663 -,049 -,147 1,000
58
35. Sukarja IDG. Biologi Tumor. Dalam: Onkologi Klinik. 2nd ed. Surabaya:
Airlangga University Press. 2000: 13-83.
59
Tabel 5.3 Proporsi modalitas terapi awal pasien karsinoma nasofaring.
KNF total KNF dgn metastasis jauh Proporsi
Modalitas terapi awal
Radioterapi 14 4
Radioterapi + cisplatin & 5FU 69 17
Radioterapi + capesitabin 52 12
Radioterapi + karboplatin & 5FU 6 1
Radioterapi + paklitaxel 8 2
Belum mendapat terapi 4 4
153 40
Tabel 5.4 Proporsi modalitas terapi pasien karsinoma nasofaring yang mengalami
metastasis jauh.
Total KNF KNF dgn metastasis jauh
Mendapatkan terapi awal 149 36 (36,2)
Belum mendapat terapi 4 4 (2,6)
60
153 40