BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum...

60
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofaring merupakan jenis keganasan tersering di bidang THT dan kepala leher. Karsinoma nasofaring dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastasis regional maupun metastasis jauh. 1-3 Pada karsinoma nasofaring metastasis jauh umumnya terjadi pada paru-paru kemudian disusul ke tulang seperti sternum, costa, vertebra dan pelvis, selanjutnya ke organ hati. 4-12 Kesulitan diagnosis dini karsinoma nasofaring kini masih tetap merupakan problem besar bagi kita. Akibat gejala penyakit yang tidak khas, lokasi yang tersembunyi sehingga lepas dari pengamatan. Hanya sekitar 5% penderita yang dapat didiagnosis dalam keadaan dini. Letak anatomi nasofaring yang cukup sulit serta potensi metastasis yang cepat menyebabkan diagnosisnya sering kali terlambat dan penderita datang pada stadium lanjut. 1 Penderita karsinoma nasofaring sekitar 60%-95% datang berobat sudah dalam stadium lanjut atau stadium III dan IV, sekitar 5%-40% datang pada stadium awal atau stadium I dan II. Pada umumnya pasien datang berobat setelah timbul benjolan di leher. Karena tidak terasa nyeri pasien biasanya tidak segera berobat, tetapi menunggu 3-6 bulan bahkan ada yang menunggu sampai 1 tahun. Sebagian lagi datang dengan metastasis pada keadaan umum yang buruk sehingga penanganan menjadi sulit, hasilnya tidak memuaskan. Walaupun dikatakan bahwa karsinoma nasofaring tersebut merupakan tumor yang radiosensitif tetapi angka bertahan hidup pada penderita stadium lanjut sangat buruk. 7-17 Dikatakan bahwa metastasis jauh merupakan indikator prognosis buruk dengan angka bertahan hidup dalam 1 tahun hanya 0-25%. 7 Hong menyatakan bahwa pada saat otopsi kejadian metastasis jauh sekitar 38- 87%, pada awal diagnosis ditegakkan kejadian metastasis jauh sebesar 4,4-7% dan pasca radioterapi ditemukan metastasis jauh sekitar 20-27,4%. 8 Tantangan terberat penanganan karsinoma nasofaring saat ini adalah perkembangan stadium yaitu bagaimana memprediksi atau mengontrol perubahan lokoregional dan mencegah perkembangan metasasis jauh. 18-19 Dari beberapa data penelitian menunjukkan bahwa kejadian metastasis jauh tersebut masih banyak terjadi walaupun telah mendapatkan radioterapi maupun kemoterapi terutama pada penderita

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum...

Page 1: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Karsinoma nasofaring merupakan jenis keganasan tersering di bidang THT dan

kepala leher. Karsinoma nasofaring dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi

untuk mengadakan metastasis regional maupun metastasis jauh.1-3 Pada karsinoma

nasofaring metastasis jauh umumnya terjadi pada paru-paru kemudian disusul ke

tulang seperti sternum, costa, vertebra dan pelvis, selanjutnya ke organ hati.4-12

Kesulitan diagnosis dini karsinoma nasofaring kini masih tetap merupakan

problem besar bagi kita. Akibat gejala penyakit yang tidak khas, lokasi yang

tersembunyi sehingga lepas dari pengamatan. Hanya sekitar 5% penderita yang dapat

didiagnosis dalam keadaan dini. Letak anatomi nasofaring yang cukup sulit serta

potensi metastasis yang cepat menyebabkan diagnosisnya sering kali terlambat dan

penderita datang pada stadium lanjut.1

Penderita karsinoma nasofaring sekitar 60%-95% datang berobat sudah dalam

stadium lanjut atau stadium III dan IV, sekitar 5%-40% datang pada stadium awal atau

stadium I dan II. Pada umumnya pasien datang berobat setelah timbul benjolan di leher.

Karena tidak terasa nyeri pasien biasanya tidak segera berobat, tetapi menunggu 3-6

bulan bahkan ada yang menunggu sampai 1 tahun. Sebagian lagi datang dengan

metastasis pada keadaan umum yang buruk sehingga penanganan menjadi sulit,

hasilnya tidak memuaskan. Walaupun dikatakan bahwa karsinoma nasofaring tersebut

merupakan tumor yang radiosensitif tetapi angka bertahan hidup pada penderita

stadium lanjut sangat buruk.7-17 Dikatakan bahwa metastasis jauh merupakan indikator

prognosis buruk dengan angka bertahan hidup dalam 1 tahun hanya 0-25%.7

Hong menyatakan bahwa pada saat otopsi kejadian metastasis jauh sekitar 38-

87%, pada awal diagnosis ditegakkan kejadian metastasis jauh sebesar 4,4-7% dan

pasca radioterapi ditemukan metastasis jauh sekitar 20-27,4%.8

Tantangan terberat penanganan karsinoma nasofaring saat ini adalah

perkembangan stadium yaitu bagaimana memprediksi atau mengontrol perubahan

lokoregional dan mencegah perkembangan metasasis jauh.18-19 Dari beberapa data

penelitian menunjukkan bahwa kejadian metastasis jauh tersebut masih banyak terjadi

walaupun telah mendapatkan radioterapi maupun kemoterapi terutama pada penderita

Page 2: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

2

dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif

untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12 Dari beberapa penelitian diperkirakan

bahwa faktor risiko kejadian metastasis jauh secara klinis adalah tumor primer (T) dan

pembesaran kelenjar getah bening leher (N), umur, jenis histopatologi dan jenis

terapi.3,8,18-19

Koukourakis dkk, pada tahun 1996 melakukan penelitian prospektif terhadap 78

pasien karsinoma nasofaring dengan radioterapi. Pada kelompok pasien yang

mengalami metastasis jauh didapatkan perbedaan yang bermakna pada gradasi T atau

T1 dan T2 dibandingkan dengan T3 dan T4, ukuran pembesaran kelenjar leher atau

kurang dari 6 cm dibandingkan dengan lebih atau sama dengan 6 cm, letak pembesaran

kelenjar leher atau di atas tiroid dibandingkan dengan di bawah tiroid, serta keterlibatan

daerah parafaring. Dalam analisis multivariat pada kelompok T3-T4 didapatkan bahwa

ukuran pembesaran kelenjar leher merupakan satu-satunya variabel yang mempunyai

hubungan bermakna pada metastasis jauh dengan Hazard ratio 4,09.10

Di RSUP Sanglah Denpasar masih ada penderita karsinoma nasofaring yang

mengalami metastasis jauh setelah pemberian radioterapi atau radioterapi bersama-

sama dengan kemoterapi. Bahkan ada penderita karsinoma nasofaring yang mengalami

metastasis jauh pada awal kunjungan. Hubungan antara profil lokoregional atau T dan

N dan kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring di RSUP Sanglah Denpasar

belum pernah dilaporkan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk

meneliti hubungan antara T dan N terhadap kejadian metastasis jauh pada penderita

karsinoma nasofaring di RSUP Sanglah Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring mempunyai

hubungan dengan besarnya tumor primer (T) dan pembesaran kelenjar getah bening

leher (N).

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui hubungan antara profil lokoregional dengan kejadian metastasis

jauh pada karsinoma nasofaring di RSUP Sanglah Denpasar.

Page 3: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

3

1.3.2 Tujuan khusus

1.3.2.1 Mengetahui prevalensi kejadian metastasis jauh pada karsinoma

nasofaring di RSUP Sanglah.

1.3.2.2 Mengetahui hubungan antara gradasi tumor primer (T) dan kejadian

metastasis jauh pada karsinoma nasofaring di RSUP Sanglah Denpasar.

1.3.2.3 Mengetahui hubungan antara gradasi pembesaran kelenjar getah bening

leher (N) dan kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring di

RSUP Sanglah.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Dalam bidang akademik, untuk mengetahui hubungan antara besarnya tumor

primer (T) dan pembesaran kelenjar getah bening leher (N) dengan kejadian

metastasis jauh pada karsinoma nasofaring.

1.4.2 Sebagai data untuk penelitian lebih lanjut.

Page 4: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk kubus dan terletak di

belakang rongga hidung di atas tepi bebas palatum mole, secara anatomi termasuk

bagian faring. Nasofaring berhubungan dengan rongga hidung dan ruang telinga tengah

masing-masing melalui koana dan tuba Eustachius.5,7,12

Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak yang merupakan tempat keluar-

masuknya saraf-saraf otak serta pembuluh-pembuluh darah dari atau ke dalam otak.5,7,12

Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia

prevertebra dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral terdapat fosa

Rosenmuller, torus tubarius dan muara tuba Eustachius. Bentuk torus tubarius tampak

lebih menonjol dibandingkan mukosa sekitarnya. Susunan lapisan otot pada dinding

lateral bagian atas tidak sempurna. Hal ini memudahkan terjadinya perluasan dan

penyebaran tumor ganas nasofaring ke organ sekitarnya. Dasar nasofaring dibentuk

oleh permukaan superior palatum mole, sedangkan dinding depannya dibentuk oleh

koana dan tepi belakang septum nasi.5,7,12

Gambar 1

Penampang sagital nasofaring.13

Dinding nasofaring terdiri dari beberapa lapisan jaringan yaitu mukosa,

submukosa, jaringan ikat dan otot. Pada mukosa membran nasofaring terdapat jaringan

limfoid, epitel dan kelenjar liur minor dan sel goblet. Nasofaring terdiri dari bermacam-

Page 5: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

5

macam jenis epitel yaitu: 1. Epitel berlapis pipih atau stratified squamous epithelium

yang umumnya berlapiskan keratin kecuali pada kripte yang dalam. 2. Epitel silindris

bersilia atau pseudostratified ciliated columnar epitelium, yang ke arah orofaring akan

berubah menjadi epitel berlapis pipih atau stratified squamous epitelium. Pada masa

pertumbuhan jenis epitel silindris bersilia inilah yang tampak dominan di antara epitel

lainnya 3. Di antara kedua jenis epitel tersebut di atas diisi oleh epitel peralihan atau

transitional epitelium. Epitel ini juga didapatkan pada dinding lateral terutama fosa

Rosenmuller dan dianggap sebagai tempat predileksi terjadinya keganasan di

nasofaring.5,7,12

Pada lapisan submukosa terdapat jaringan limfoepitelial yang membentuk

jaringan limfoid pada dinding medio-dorsal dan dinding atas nasofaring yang dikenal

sebagai tonsila faringika.5,7,12

Saluran getah bening adenoid pada lapisan submukosa merupakan suatu

anyaman dengan sebagian kecil dari alirannya menuju ke sisi kontralateral. Arah aliran

getah bening dari nasofaring akan menuju ke kelenjar getah bening retrofaring yang

merupakan sebagian dari kelompok kelenjar getah bening servikalis profunda

superior.5,7,12

Dinding otot nasofaring di dekat dasar tengkorak tidak lengkap meninggalkan

suatu celah di mana hal ini dapat mengakibatkan tumor mudah mengadakan penetrasi,

menembus mukosa dan aponeurosis yang menutupi daerah ini untuk masuk ke dalam

ruang parafaring dan bagian lateral dari dasar tengkorak.5,7,12

Pada usia muda mukosa dinding postero-superior nasofaring bentuknya tidak

rata oleh karena adanya jaringan adenoid. Tetapi dengan bertambahnya umur maka

mukosa nasofaring menjadi semakin rata. Walaupun demikian pada usia lanjut kadang-

kadang masih dijumpai beberapa lipatan akibat regresi jaringan adenoid yang tidak

sempurna.5,7,12

Pembuluh limfe yang terdapat pada seluruh permukaan nasofaring, saling

menyilang di bagian tengah dan selanjutnya menuju kelenjar limfe Rouviere yang

terletak pada bagian lateral ruang retrofaring. Dari tempat ini aliran limfe selanjutnya

menuju kelenjar limfe di sepanjang vena jugularis dan kelenjar limfe yang letaknya

superfisial seperti kelenjar subdigastrik, submandibula, submental, asesori spinal dan

supraklavikula.5,7,12

Page 6: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

6

2.2 Karsinoma Nasofaring

2.2.1 Etiologi

Banyak faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan timbulnya tumor

ganas nasofaring antara lain infeksi virus, genetik, lingkungan, sosial ekonomi,

kebiasaan hidup, geografi dan infeksi kronis. Virus Epstain-Barr setelah masuk ke

dalam sel limfosit manusia ternyata dapat tinggal secara laten tanpa menyebabkan suatu

kelainan. Virus harus mengalami aktivasi dahulu baru dapat mempengaruhi sel tuan

rumah sehingga menjadi ganas dan mengadakan replikasi tanpa kontrol. Beberapa

faktor yang berpengaruh sehingga menimbulkan aktivasi virus antara lain: zat kimia

nitrosamin yang ada dalam ikan asin yang diawetkan, asap pembakaran kayu bakar,

faktor genetik, ras, sosial ekonomi, lingkungan pekerjaan dan infeksi kronis.5,7,12

2.2.2 Kekerapan

Tumor ganas nasofaring di Indonesia menempati urutan tertinggi diantara tumor

ganas di bidang THT. Penelitian yang dilakukan oleh departemen kesehatan didapatkan

prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk. Menurut penelitian para ahli, tumor ganas

nasofaring banyak ditemukan pada bangsa-bangsa yang termasuk golongan Mongoloid.

Frekuensi tertinggi didapati di Cina Selatan di Propinsi Guang Dong yaitu 40-50 per

100.000 penduduk. Daerah yang memiliki insiden menengah antara lain: Eskimo,

Malaysia, Philipina, Kanada, Hawai termasuk Indonesia.13

Mulyarjo dalam penelitian di RS Dr Sutomo Surabaya selama 2 tahun

ditemukan frekuensi tumor ganas nasofaring sebesar 67,72% dari seluruh keganasan di

daerah kepala dan leher.2

2.2.3 Umur dan jenis kelamin

Pada umumnya umur rata-rata penderita karsinoma nasofaring relatif lebih

muda dibandingkan tumor ganas yang lain. Tumor ganas nasofaring sering dijumpai

pada laki-laki dibandingkan wanita, hampir di seluruh negara mendapatkan data

perbandingan antara 2 sampai 3 dibanding 1. Rata-rata umur penderita mulai usia 40-60

tahun.13 Sastrowijoto dan kawan-kawan dalam penelitiannya di RSUP Dr Sarjito

Yogyakarta selama 3 tahun yaitu 1992-1994 menemukan perbandingan antara laki-laki

dan wanita 2:1 dan ditemukan terbanyak pada dekade 40-50 tahun.14 Sedangkan Susilo

dan Wiratmo dalam penelitiannya di RSUP Dr Kariadi Semarang selama 5 tahun yaitu

Page 7: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

7

1990-1994 mendapatkan perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2:1 dan ditemukan

terbanyak pada dekade 50-60 tahun.15 Wiranada dalam penelitiannya di RSUP Sanglah

Denpasar selama 5 tahun yaitu 1998-2002 menemukan perbandingan laki-laki dan

wanita sebesar 2:1.17

2.2.4 Pekerjaan dan sosial ekonomi

Beberapa penelitian yang dilakukan, menunjukkan adanya dugaan positip

mengenai pekerjaan yang banyak berhubungan dengan asap, uap dan bahan kimia

dengan timbulnya tumor ganas nasofaring. Pada penduduk dengan sosial ekonomi yang

rendah mempunyai risiko yang tinggi untuk timbulnya tumor ganas nasofaring.17,18,20

2.3 Histopatologi

Pada tahun 1979 WHO telah menetapkan 3 bentuk histopatologi karsinoma

nasofaring, yaitu:

Tipe 1: Karsinoma sel skuamosa dengan keratin atau keratinizing squamous cell

carcinoma. Tumor jenis ini berdiferensiasi baik sampai sedang, memperlihatkan

pembentukan keratin dan jembatan antar sel.5,21

Tipe 2: Karsinoma sel skuamosa tanpa keratin atau nonkeratinizing squamous cell

carcinoma. Terdiri dari sel-sel yang bervariasi mulai dari sel matur sampai

anaplastik dan hanya sedikit sekali membuat keratin atau tidak sama sekali.

Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa tipe nonkeratinizing squamous

cell carcinoma lebih agresif dibandingkan dengan tipe undifferentiated

carcinoma tetapi beberapa penelitian lain menyebutkan sama. Tipe

nonkeratinizing squamous cell carcinoma jarang terjadi pada anak-anak.5,21

Tipe 3: Karsinoma tak berdiferensiasi atau undifferentiated carcinoma. Terdiri

dari bermacam-macam tumor, termasuk limfoepitelioma, anaplastik, clear cell

dan varian sel spindle. WHO tipe 3 ini terjadi lebih dari 95% dari seluruh

karsinoma nasofaring di daerah endemik. Undifferentiated carcinoma tipe

limfoepitelioma dapat terjadi pada semua umur dan sering mengenai anak-

anak.5,21

Di Amerika Utara ditemukan sekitar 25% histopatologi tipe 1, 12%

histopatologi tipe 2 dan 63% histopatologi tipe 3, sedangkan di Cina Selatan ditemukan

sekitar 3 % histopatologi tipe 1, 2% histopatologi tipe 2 dan 95% histopatologi tipe 3.5

Page 8: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

8

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa histopatologi tipe 2 dan 3 dihubungkan

dengan infeksi virus Epstein-Barr. Kedua tipe histopatologi tersebut lebih radiosensitif

dibandingkan dengan histopatologi tipe 1.4,5,12,21

2.4 Klasifikasi TNM

Klasifikasi klinis TNM menurut AJCC 2002 adalah:

T = Tumor primer

Tx - Tumor primer tidak dapat ditentukan.

To - Tidak ditemukan adanya tumor primer.

Tis - Carcinoma in situ.

T1 - Tumor terbatas pada daerah nasofaring.

T2 - Tumor meluas sampai pada jaringan lunak.

T2a - Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga hidung tanpa

perluasan ke parafaring.

T2b - Dengan perluasan ke parafaring.

T3 - Tumor mengenai struktur tulang dan atau sinus paranasal.

T4 - Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai saraf kranial, fosa

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.

N = Pembesaran kelenjar getah bening regional

Nx - Pembesaran kelenjar getah bening regional tidak dapat ditentukan.

No - Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional.

N1 - Metastasis unilateral kelenjar getah bening dengan ukuran < 6 cm

merupakan ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikula.

N2 - Metastasis bilateral kelenjar getah bening dengan ukuran < 6 cm

merupakan ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikula.

N3 - Metastasis kelenjar getah bening dengan ukuran > 6 cm atau terletak

pada fosa supraklavikula.

N3A - Ukuran kelenjar getah bening > 6 cm.

N3B - Kelenjar getah bening terletak pada daerah fosa supraklavikula.

M = Metastasis jauh

Mx – Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan.

Page 9: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

9

M0 – Tidak ada metastasis jauh.

M1 – Terdapat metastasis jauh.

Stadium klinik

Stadium 0 : Tis – N0 – M0

Stadium I : T1 – N0 – M0

Stadium IIA: T2a – N0 –M0

Stadium IIB: T1 –N1 – M0

T2a – N1 – M0

T2b – N0, N1 – M0

Stadium III : T1 – N2 – M0

T2a, T2b – N2 – M0

T3 – N0, N1, N2 – M0

Stadium IVA: T4 – N0, N1, N2 – M0

Stadium IVB: Semua T – N3 – M0

Stadium IVC: Semua T – Semua N – M121

2.5 Gejala Klinik

Keluhan penderita karsinoma nasofaring berkaitan dengan lokasi dari tumor

primer dan perluasannya. Gejala tumor ganas nasofaring sangat beraneka ragam yang

dapat dibagi menjadi:

2.5.1 Gejala akibat tumor primer

Gejala ini merupakan gejala dini tumor ganas nasofaring, karena adanya tumor

yang tumbuh terbatas di nasofaring. Karsinoma nasofaring sering muncul pertama kali

pada fosa Rosenmuller dekat dengan tuba Eustachius sehingga gejala-gejala awal

berupa keluhan di telinga. Gejala telinga dapat berupa tinitus, grebek-grebek,

berdengung, penurunan pendengaran dan rasa sakit di telinga. Gejala hidung berupa

pilek-pilek, hidung buntu dan ingus bercampur darah.1,2,11,12

2.5.2 Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar

Gejala ini merupakan gejala lanjut tumor ganas nasofaring, karena tumor telah

tumbuh melewati batas-batas nasofaring. Bila tumor meluas ke atas atau intrakranial

Page 10: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

10

menjalar sepanjang fosa medialis disebut sebagai penjalaran petrosfenoid. Biasanya

melelui foramen laserun dan mengenai kelompok anterior saraf otak yaitu nervus II, III,

IV, V dan VI. Saraf kranialis yang sering terkena adalah nervus V dan VI. 1,2,11,12

Bila semua saraf kelompok anterior terkena dikenal dengan sindroma

petrosfenoid dengan tanda-tanda berupa neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegia

unilateral, nyeri kepala hebat sebagai akibat terjadinya penekanan tumor pada

duramater. 1,2,11,12

Bila tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial sepanjang fosa posterior

yang disebut dengan penjalaran retroparotid maka saraf otak kelompok posterior yang

akan terkena yaitu nervus VII sampai dengan nervus XII beserta nervus simpatikus

servikalis. Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan otot-otot rahang

sehingga terjadi trismus. Bila terjadi kelumpuhan nervus IX sampai dengan nervus XII

dikenal sebagai sindroma retroparotidean, dengan manifestasi seperti kesulitan menelan

N IX, hiperanestesi, hipoanestesi atau anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring

disertai gangguan respirasi dan salivasi N X, kelumpuhan otot-otot trapezius,

sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum mole N XI dan hemiparese, atropi

sebelah lidah N XII. Gejala-gejala di atas bisanya disertai dengan sindroma Horner

akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis berupa ptosis, enoftalmus dan miosis.

1,2,11,12

2.5.3 Penyebaran melalui getah bening

Metastasis ke limfenodi servikalis paling sering dijumpai yaitu 65-86,6% dan

sering merupakan keluhan utama yang membawa penderita berobat ke dokter. Lokasi

tersering adalah limfenodi servikalis profunda latero-superior yang terletak tepat di

bawah ujung mastoid, dibelakang angulus mandibula, di bagian medial ujung atas

muskulus sternokleidomastoideus. Selanjutnya menuju ke limfenodi servikalis

profunda mediosuperior. Dapat menyebar ke limfenodi retrofaring lateral. 1,2,5,11,12

2.5.4 Penyebaran melalui peredaran darah

Sel-sel tumor ganas nasofaring dapat masuk ke vena jugularis interna dekstra

atau vena subklavia yaitu melalui vasa eferensia limfenodi servikalis yang kemudian

masuk ke trunkus jugularis. Penyebaran ini menimbulkan metastasis jauh. Sheng

menyebutkan bahwa sekitar 5-10% penderita karsinoma nasofaring mengalami

Page 11: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

11

metastasis jauh.12 Sedangkan Farias et al. pada penelitiannya mendapatkan kejadian

metastasis jauh pada karsinoma nasofaring sebesar 19,7%.22 Barnes menyebutkan

bahwa metastasis jauh biasanya didahului oleh kekambuhan lokoregional tetapi

kenyataan yang ditemukan adalah 10-20% dari pasien yang mengalami metastasis jauh

tersebut tanpa terjadi kekambuhan lokoregional terlebih dahulu.7

Di tempat yang baru, kelangsungan hidup tumor dengan ukuran 150 mikron

masih dapat diatasi lingkungan mikronya, selebihnya sel tumor memerlukan

angiogenesis. Pola sebar matastasis tidak terjadi secara acak. Penelitian terhadap

binatang diketahui tumor tertentu mempunyai organ metastasis spesifik. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring paling sering metastasis ke paru

berikutnya ke tulang sternum, costa, vertebra lumbalis dan tulang-tulang aksial yang

lain dan hati.4,9,12,18

2.5.4.1 Angiogenesis

Sudah diterima secara luas bahwa kemampuan tumor untuk menginduksi

pembuluh darah baru atau angiogenesis pada pejamu sangat berpengaruh pada

pertumbuhan tumor dan metastasis. Aktivitas angiogenesis mengakibatkan ekspansi

pertumbuhan tumor dan meningkatkan risiko metastasis. Sebaliknya tumor primer atau

sel tumor yang tidak memiliki kemampuan angiogenesis, kecil kemungkinannya untuk

berkembang menjadi tumor besar yang dapat dideteksi secara klinis, karena besarnya

akan terbatas pada hanya beberapa juta sel saja dengan volume beberapa mm3.

Pertumbuhan tumor primer maupun sekunder akan berlangsung baik bila tumor

mendapat cukup suplai darah melalui vaskularisasi untuk keperluan metabolisme dan

proliferasi. Untuk memenuhi kebutuhan ini tumor meningkatkan kemampuan

neovaskularisasi.9

Banyak faktor yang berpengaruh pada mekanisme angiogenesis, salah satu

diantaranya adalah faktor yang diinduksi oleh hipoksia (hypoxia inducible factor, HIF-

1) yang merupakan aktivator angiogenik yang merangsang ekspresi gen yang memberi

respon terhadap hipoksia, misalnya gen yang menyandi enzim glikolitik seperti

aldolase-A, enolase dan LDH-A. Termasuk VGEF (vascular endothelial growth factor)

yang merupakan faktor pertumbuhan endotel yang mendukung pembentukan pembuluh

darah baru.9

Hipoksia selalu terjadi dalam tumor yang berjarak lebih dari 100-200μm dari

Page 12: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

12

pembuluh darah terdekat, karena sel-sel tumor lebih cepat berproliferasi dibanding sel

endotel yang direkrut untuk membentuk pembuluh darah. Karena itu sel tumor

berusaha untuk beradaptasi pada keadaan hipoksia tersebut. Salah satu cara adalah

menginduksi aktivitas faktor transkripsi HIF-1. Disamping itu dengan meningkatkan

tekanan hidrostatik, suplai nutrisi, oksigen, pembuangan katabolit dan meningkatkan

populasi sel yang berproliferasi. Hal ini memperbesar kemungkinan untuk membentuk

varian dengan potensi metastasis tinggi yang memproduksi enzim-enzim tertentu serta

faktor-faktor pertumbuhan untuk dapat menembus organ sasaran dan kemudian hidup

di dalamnya.9

Angiogenesis diperlukan pada awal ekspansi sel tumor dan pada akhir proses

metastasis. Pada percobaan binatang, terungkap bahwa sel-sel tumor jarang memasuki

pembuluh darah atau pembuluh limfe sebelum tumor primer membentuk pembuluh

darah baru, tetapi sel tumor akan terus dilepaskan ke dalam pembuluh darah setelah

terjadi neovaskularisasi. Jumlah sel tumor yang dilepaskan ke dalam pembuluh darah

sesuai dengan densitas pembuluh darah dalam tumor. Pada proses angiogenesis juga

terungkap adanya peningkatan kadar kolagenase dan aktivator plasminogen yang

dilepaskan oleh sel endotel pada ujung pembuluh darah. Enzim tersebut mempermudah

masuknya sel tumor ke dalam sirkulasi.9

Hampir semua tumor menunjukkan vaskularisasi saat diagnosis, tetapi tumor

yang timbul spontan seringkali tidak angiogenik. Karena itu diduga ada proses yang

mengubah sifat sel tumor spontan tersebut menjadi angiogenik. Proses perubahan

menjadi angiogenik terjadi fokal dan relatif tiba-tiba. Berbagai penelitian

membuktikan bahwa sebagian besar tumor tumbuh tanpa neovaskularisasi, berada

insitu untuk waktu yang cukup lama, kemudian mengalami neovaskularisasi bila suatu

bagian sel tumor berubah menjadi fenotip yang angiogenik. Pada beberapa kasus

perubahan menjadi fenotip angiogenik terjadi sebelum sel tumor berkembang penuh,

misalnya pada stadium preneoplastik atau stadium preinvasif. Perubahan fenotip

tersebut terutama diperantarai oleh bFGF (b fibroblast growth factor).9

Proses angiogenesis terjadi dalam 2 fase yaitu fase prevaskuler dan fase

vaskuler. Selama fase prevaskuler tidak ada aktivitas angiogenik atau proses

angiogenik tidak cukup, tumor tetap kecil dengan volume hanya beberapa mm3.

Pertumbuhan tumor sangat lambat dan waktu menggandakan sel tumor mungkin

berlangsung beberapa tahun. Walaupun demikian hal ini tidak berarti bahwa sel tumor

Page 13: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

13

berproliperasi lambat. Sehingga sering akan terjadi sel-sel mikro metastasis pada fase

prevaskuler ini. Pada fase vaskuler tumor tumbuh dengan cepat menjadi invasif dan

potensi metastasis meningkat. Pada fase ini tumor bukan saja mendapat nutrisi dan

oksigen, tetapi sel-sel endotel pembuluh darah baru dapat merangsang sekresi faktor

pertumbuhan, misalnya PGF, PDGF, G-CSF, HB-EGF dan IGF, serta berbagai sitokin

seperti IL-1, IL-6 dan IL-8.9

2.5.4.2 Proses metastasis

Metastasis biasanya merupakan manifestasi akhir dari perkembangan tumor dan

prosesnya terdiri atas beberapa tahap, dimulai dari invasi ke dalam jaringan sekitarnya.

Sel-sel melepaskan diri dari induknya dan menginvasi pembuluh darah dan pembuluh

limfe terdekat atau intravasasi. Pembuluh darah atau limfe membawa sel tumor ke

tempat yang jauh dari asalnya, kemudian sel tumor keluar dari pembuluh darah atau

ekstravasasi dan membentuk koloni untuk kemudian membentuk tumor sekunder. Pada

setiap proses terjadi interaksi biokimiawi yang sangat kompleks antara sel tumor

dengan lingkungannya. Berbagai onkogen berperan dalam proses ini, demikian juga

berbagai proses biologis yang terkait, misalnya sekresi enzim protease yang merusak

matriks molekul protein pengikat disekitar sel tumor dan kolagenase yang melarutkan

kolagen pada membran basal sehingga dapat ditembus oleh sel tumor. Salah satu tahap

agar sel tumor dapat bermetastasis adalah setiap sel tumor melepaskan diri dari tumor

primer dan untuk hal tersebut perlu dihilangkan pengaruh molekul-molekul adhesi

tertentu, tetapi begitu sel tumor tiba di organ sasaran metastasis, sel tumor harus

mengalami interaksi adhesi dengan dinding pembuluh darah maupun membran basal

agar bisa menetap di tempat baru.9

Proses secara berurutan mulai tumorigenesis sampai terjadinya metastasis

digambarkan sebagai berikut: 1. Aktivitas onkogen atau transformasi. 2. Proliferasi sel-

sel yang ditransformasi. 3. Kemampuan sel tumor untuk menghindar dari

immunesurveillance. 4. Suplai nutrisi kepada masa tumor memerlukan penglepasan

faktor-faktor angiogenesis. 5. Invasi lokal dan destruksi komponen-komponen matriks

ekstraseluler dan parenkim. 6. Migrasi sel tumor dari tempat asalnya. 7. Penetrasi sel-

sel kanker melalui dinding pembuluh darah. 8. Embolisasi dan penggumpalan sel-sel

tumor menuju lokasi baru. 9. Sel-sel tumor berhenti dalam lumen pembuluh darah kecil

atau getah bening. 10. Menembus pembuluh darah dan berkembang di lokasi baru.

Page 14: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

14

Perlu ditekankan bahwa untuk mengembangkan anak sebar di berbagai organ, sel-sel

tumor harus memiliki atau mampu mengembangkan sifat atau fenotip metastasis.

Tumor ganas diketahui menunjukkan tingkat mutasi dan instabilitas genetik yang

tinggi, sehingga meningkatkan kemungkinan untuk membentuk sel-sel dengan fenotip

metastasis.9

Gambar 2

Proses metastasis9

Sel-sel tumor dalam perkembangannya terus menerus mengakumulasi kelainan

genetik, beberapa di antaranya tetap tenang, tetapi beberapa yang lain dapat

mengakibatkan perubahan fenotip menjadi lebih ganas dan memiliki potensi untuk

bermetastasis atas pengaruh elemen-elemen yang dikenal sebagai enhancer element.

Mutasi gen mengendalikan metastasis dan menyebabkan sel tumor dapat bermigrasi ke

tempat jauh dari induknya, bersamaan dengan hal tersebut terjadi proliferasi tak

terkendali dari sel tumor. Tetapi di lain pihak keberadaan sel tumor dalam sirkulasi juga

dapat disebabkan tindakan medis, misalnya pembedahan.9

Berbagai gen yang terlibat dalam onkogenesis juga terlibat dalam metastasis.

Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa ekspresi p21 menunjukkan korelasi dengan

kemampuan metastasis. Yang paling banyak mendapat perhatian adalah nm23.

Kehilangan gen nm23 atau penurunan ekspresi gen nm23 berkorelasi dengan

peningkatan potensi metastasis, sehingga diduga gen nm23 termasuk golongan gen

Page 15: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

15

suppresor.9

Agar proses metastasis dapat dimulai, sel yang mengalami transformasi

bermigrasi dan menembus dinding pembuluh darah, bila telah berada dalam sirkulasi

sel tumor dapat menyebar ke seluruh tubuh. Dalam organ sasaran sel-sel tersebut

bergerak diantara jaringan melalui suatu proses aktif, mencakup lisis sel-sel pejamu dan

degradasi matriks ekstraseluler. Hal ini terjadi karena sel-sel tumor dapat

mensekresikan berbagai enzim proteolitik, seperti metalloprotease, kolagenase,

plasminogen, cathepsin, heparanase, hyaluronidase dan lain-lain.9

Diduga bahwa suatu enzim degradatif membuka jalan bagi sel-sel tumor untuk

melakukan invasi. Pada keadaan ini, enzim-enzim inaktif atau pro-enzim disekresi lokal

lalu diaktifkan melalui enzim-enzim regulator yang lain yang diproduksi oleh sel tumor

atau jaringan stroma sekitarnya seperti fibroblast, sel mastosit dan lain-lain. Diantara

pro-enzim tersebut yang banyak dipelajari adalah pro-cathepsin, plasminogen,

prokolagenase, metalloprotease dan plasminogen activator atau PA. Aktivasi

plasminogen merupakan sistem proteolitik ekstraseluler. Aktivator plasminogen

mengubah plasminogen inaktif menjadi plasminserine protease. Plasmin mempunyai

spesifisitas substrat sangat luas yang dapat menghancurkan protein matriks dan mampu

mengubah pro-enzim lain menjadi bentuk aktif. Hingga saat ini 2 jenis PA telah dapat

diidentifikasi, yaitu uPA (urokinase plasminogen activator) dan tPA (tissue

plasminogen activator). Berbagai penelitian membuktikan bahwa uPA diperlukan

untuk migrasi dan invasi. Sel-sel tumor dapat merangsang sel-sel sekitarnya untuk

mensekresi protease yang membantu invasi sel tumor ke dalam jaringan, tetapi jaringan

yang sama juga dapat memproduksi inhibitor protease. Karena itu invasi sel tumor ke

dalam organ sasaran merupakan suatu proses dinamis, yang berlangsung melalui

perubahan micro-echosystem secara terus-menerus. Sel-sel tumor yang bermetastasis

harus terus-menerus berinteraksi dengan unsur-unsur pejamu, yaitu matriks

ekstraseluler, fibroblast dalam stroma, sel-sel endotel dan sel-sel sistem imun. Bila

faktor yang mendukung invasi melebihi faktor yang menghambat invasi, maka invasi

dapat berlangsung.9

Enzim lain, yaitu matrix metalloproteinnase (MMP), juga memegang peranan

penting pada metastasis sel tumor. MMP termasuk golongan zine metalloproteinase

yang disekresikan dalam bentuk pro-enzim laten yang dapat diaktifkan melalui

perombakan protelitik dan dihambat oleh inhibitor metalloproteinase jaringan (tissue

Page 16: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

16

inhibitors of metalloproteinase, TIMP’s). MMP adalah endopeptidase yang bergantung

pada metal yang apabila diaktivasi dapat menghancurkan berbagai komponen matriks

ekstraseluler, khususnya kolagen interstisial tipe I-III, membran basal tipe IV atau

kolagen tipe V. Aktivasi fisiologis metalloproteinase hampir pasti melibatkan

perombakan oleh plasmin, di mana metalloproteinase sendiri diaktifkan oleh uPA pada

permukaan sel. Karena itu, sel yang sedang invasi yang mengekspresikan uPAR

(urokinase plasminogen activator reseptor) mengaktifkan sejumlah protease pada

bagian membran sel yang sedang bergerak aktif melalui matriks ekstraseluler.

Kolagense tipe IV, seperti halnya protease yang lain disekresikan dalam bentuk pro-

enzim. Kolagenase tipe IV 72-kDa dan 92-kDa, masing-masing membentuk kompleks

dengan TIMP-2 dan TIMP-1, karena itu aktivasi kolagenase itu merupakan regulator

penting pada metastasis. Plasmin bertanggung jawab atas aktivasi kolagenase tetapi

TIMP akan menghambat aktivasi tersebut. Seperti telah disebut di atas, di samping

enzim proteolisis yang mendukung invasi dan metastasis sel tumor, berbagai enzim lain

berfungsi sebagai inhibitor bagi protease tersebut, di antaranya TIMP’s, PAI-1 dan PAI-

2. Enzim-enzim ini berfungsi sebagai supresor invasi.9

Dalam jaringan normal struktur umum dan susunan jaringan organ ditentukan

oleh terpeliharanya kontak antar sel, antara satu sel dengan sel di sebelahnya dan

matriks ekstraseluler (extracellular matrix, ECM) di sekitarnya. Kontak antar sel dan

matriks ekstraseluler berlangsung melalui berbagai molekul adhesi, berupa reseptor-

reseptor adhesi dan masing-masing ligannya. Destruksi berbagai molekul adhesi

menyebabkan hubungan dengan jaringan sekitarnya hilang dan sel-sel tumbuh tidak

terkendali, seperti yang terjadi pada tumor. Sebagian besar molekul adhesi termasuk

golongan integrin, tetapi selain itu ada beberapa golongan molekul adhesi yang lain, di

antaranya cadherin, molekul adhesi tipe imunoglobulin seperti ICAM-1 dan VCAM-1,

serta golongan selectin. Integrin merupakan glikoprotein permukaan sel terdiri atas 2

sub-unit yaitu sub-unit ∂ dan ß yang membentuk kompleks heterodimer dan tertancap

pada membran sel. Interaksi antara VCAM-1 dengan ligannya (VLA-4) berperan dalam

mengarahkan ekstravasasi sel-sel tumor ke dalam jaringan dan dengan demikian

meningkatkan risiko metastasis.9

Peran integrin pada pertumbuhan tumor telah dipelajari secara luas, baik

distribusinya dalam berbagai jenis tumor maupun perilakunya dalam sel tumor. Pada

berbagai penelitian terbukti bahwa ekspresi integrin pada tumor cenderung menurun.

Page 17: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

17

Penurunan ekspresi ini sejalan dengan kehilangan kontak dengan membran basal yang

ada dibawahnya. Di samping itu susunan integrin pada permukaan sel juga tidak

beraturan dan jumlah integrin intrasitoplasmatik juga berkurang. Perubahan ekspresi

integrin pada sel tumor berperan dalam proliferasi sel dan atau metastasis, bergantung

pada jenis integrin. Contohnya penurunan ekspresi α5ß1 mengakibatkan proliferasi sel

tidak terkendali, sedangkan penurunan ekspresi reseptor laminin α6ß4 meningkatkan

kemampuan metastasis.9

Cadherin merupakan glikoprotein transmembran pada permukaan sel yang

memperantarai interaksi homofilik antara sel dengan sekitarnya. Pada interaksi itu

molekul cadherin spesifik pada satu sel tertentu berkaitan dengan molekul cadherin

yang terdapat pada permukaan sel sejenis. Cadherin terletak pada tempat bertemunya

kontak antar sel yang merupakan struktur filamen pada membran sel. Pada sisi

sitoplasmatik tempat pertemuan ini, E-cadherin berinteraksi dengan kelompok protein

yang disebut catenin. Peran cadherin pada perkembangan tumor juga telah dibuktikan

dalam berbagai penelitian. Telah terbukti bahwa ada hubungan antara sistem adhesi

dengan proliferasi, reseptor faktor pertumbuhan dan gen supresor. Dalam hal ini produk

APC yang dapat mengikat β-catenin, diduga berkompetisi dengan E-cadherin untuk

mengikat β-catenin. Dalam kaitannya dengan metastasis diduga bahwa kehilangan atau

disfungsi E-cadherin menyebabkan tumor lebih invasif dan meningkatkan potensi

metastasis.9

2.5.4.3 Organ sasaran metastasis

Sudah lama diketahui bahwa jenis tumor tertentu lebih suka bermetastasis ke

dalam organ tertentu dan tidak ke organ lain. Berbagai faktor yang diduga berperan

dalam pilihan lokasi metastasis banyak dipelajari walaupun belum semua terungkap.

Salah satu faktor yang diduga memegang peran penting dalam penentuan sasaran

metastasis adalah endotel. Sel-sel kanker terbukti lebih suka melekat pada endotel

kapiler dibanding endotel pembuluh darah besar, sehingga dikenal dengan istilah mikro

metastasis. Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa tumor tertentu lebih suka

melekat pada endotel kapiler organ tertentu, namun tidak semuanya demikian.

Sehingga menimbulkan dugaan bahwa tidak ada reseptor organ spesifik, tetapi pada

endotel pembuluh darah organ tertentu terdapat beberapa jenis reseptor atau kombinasi

beberapa jenis reseptor. Belum banyak yang diketahui mengenai mekanisme atau

Page 18: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

18

reseptor endotel spesifik tertentu yang dapat menjelaskan adanya kecenderungan untuk

metastasis ke organ tertentu. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa sel-sel tumor

dapat merangsang sel-sel sekitarnya untuk mensekresi protease yang membantu invasi

sel tumor ke dalam jaringan, tetapi jaringan yang sama juga dapat memproduksi

inhibitor protease. Karena itu invasi sel tumor ke dalam organ sasaran merupakan suatu

proses dinamis, yang berlangsung melalui perubahan micro-echosystem secara terus

menerus. Sel-sel tumor yang bermetastasis harus terus-menerus berinteraksi dengan

unsur-unsur pejamu, yaitu matriks ekstraseluler, fibroblas dalam stroma, sel-sel endotel

dan sel-sel sistem imun. Bila faktor yang mendukung invasi melebihi faktor yang

menghambat invasi, maka invasi dapat berlangsung.9,12 Pendapat tentang pola sebar

metastasis tersebut dikenal dengan seed and soil hypotesis. Pada hipotesis tersebut

dikatakan ekologi mikro organ atau jaringan tubuh atau pejamu atau soil berpengaruh

terhadap penyebaran sel tumor tertentu atau seeds. Metastasis sel tumor di organ dapat

berkembang karena adanya kecocokan antara sel tumor dan kemampuan lingkungan

mikro organ tersebut.9

2.6 Pemeriksaan Fisik

Pada inspeksi luar didapatkan gangguan pergerakan bola mata, ptosis, protusio

bulbi, deviasi lidah dan pembesaran kelenjar leher. 1,2,11,12

Pada pemeriksaan telinga bisa ditemukan retraksi membrana timpani, sekret

telinga oleh karena adanya otitis media. Pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan

tumor di bagian belakang rongga hidung, fenomena palatum mole menurun atau

negatif. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior tampak massa atau penonjolan pada

daerah nasofaring dengan mukosa yang tidak rata atau vaskularisasi yang meningkat.

Pemeriksaan leher dilakukan untuk mengetahui adanya penyebaran ke kelenjar getah

bening leher. 1,2,11,12

Kelenjar leher yang paling sering terkena adalah kelenjar limfenodi profunda

laterosuperior yang terletak tepat dibawah ujung mastoid, dibelakang angulus

mandibula, di bagian medial ujung atas muskulus sternokleidomastoideus. Selanjutnya

ke kelenjar limfenodi servikalis profunda mediosuperior. Pada gambar 2. Sel-sel tumor

dapat juga menyebar ke kelenjar limfenodi retrofaring lateral. Pembesaran kelenjar

limfenodi tersebut diatas biasanya tidak disertai rasa nyeri dan bisa unilateral atau

bilateral. 1,2,5,11,12,21

Page 19: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

19

Gambar 3

Penyebaran ke kelenjar getah bening leher.21

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi hanya sebagai pemeriksaan penunjang yang sifatnya

pilihan. Pemeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer, adanya

invasi ke organ sekitar, destruksi pada dasar tengkorak serta metastasis jauh.5,12,23-24 Ini

merupakan informasi penting sebelum terapi radiasi. Pemeriksaan radiologi foto polos

saat ini sudah jarang dilakukan, meskipun masih berguna dalam menegakkan diagnosis

pada tumor eksofitik yang sudah besar. Foto toraks posisi posterior anterior dilakukan

terutama untuk kecurgiaan adanya metastasis ke paru. Sedangkan bone scanning

dilakukan bila dicurigai adanya metastasis tulang atau dilakukan survey dengan foto

lokal pada tulang yang dicurigai mengalami metastasis.24

Apabila sudah meluas ke intrakranial atau terdapat destruksi tulang tengkorak

pemeriksaan CT scan mempunyai keuntungan dan nilai diagnostik tinggi antara lain

kemampuan untuk membedakan berbagai densitas di daerah nasofaring, baik pada

jaringan lunak maupun perubahan pada tulang. Selain itu dapat menilai perluasan tumor

ke jaringan sekitar, adanya destruksi tulang dan penyebaran ke intrakranial. Dapat

membantu menentukan stadium tumor, menilai hasil pengobatan dan menentukan

kekambuhan dini. Pemeriksaan CT scan sebaiknya diulang setelah 4-8 minggu setelah

radioterapi sebagai usaha untuk mendeteksi kekambuhan dini.24

Pemeriksaan MRI dari nasofaring merupakan penunjang tambahan pada kasus-

kasus selektif, karena tidak dapat menunjukkan dekstruksi tulang, tetapi mempunyai

nilai resolusi yang lebih tinggi dalam membedakan berbagai jaringan lunak. Sedangkan

sonografi dapat digunakan untuk mendeteksi adanya metastasis pada organ hati.23,24

Page 20: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

20

2.8 Diagnosis Karsinoma Nasofaring

Untuk membuat diagnosis karsinoma nasofaring diperlukan perhatian yang

seksama terhadap gejala klinik atau keluhan penderita, pemeriksaan fisik THT kepala

leher, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang dan untuk diagnosis pasti

karsinoma nasofaring diperlukan spesimen biopsi untuk pemeriksaan patologi anatomi.

Pada penderita yang kooperatif biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan anestesi lokal

sedangkan pada penderita yang tidak kooperatif dilakukan biopsi dengan anestesi

umum. Tehnik biopsi nasofaring dilakukan multipel biopsi pada beberapa tempat untuk

mendapatkan bahan yang cukup. Pada beberapa penderita dilakukan CT scan sebagai

penuntun untuk melakukan biopsi. Metastasis jauh didiagnosis melalui gejala klinis,

pemeriksaan fisik serta pemeriksaan radiologi meliputi sinar x ray, bone scanning, CT

scan dan sonografi. 1,2,5,13,23,24

2.9 Penatalaksanaan

Sampai saat ini radioterapi merupakan terapi utama karsinoma nasofaring.

Radioterapi sebagai gold standard untuk karsinoma nasofaring sudah di mulai sejak

lama. Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring stadium dini sebenarnya cukup

baik, respon lengkap sekitar 80%-100% sedangkan untuk karsinoma nasofaring

stadium lanjut respon radioterapi menurun tajam dengan angka ketahanan hidup 5

tahun yang kurang dari 40%. Di samping angka kegagalan kontrol lokoregional yang

tinggi, radioterapi tidak dapat digunakan untuk membunuh sel-sel ganas yang tersebar

diberbagai organ tubuh. Oleh karena hasil radioterapi pada karsinoma nasofaring

khususnya stadium lanjut yaitu stadium III dan IV kurang memuaskan, para ahli

berupaya mencari cara untuk meningkatkan kontrol lokoregional dan sistemik,

sekaligus meningkatkan survival rate.4,5,6,7 Menurut Sham kegagalan radioterapi dalam

membunuh sel kanker baik yang ada di nasofaring maupun metastasisnya di leher pada

karsinoma nasofaring stadium lanjut sangat tinggi. Locoregional failure sekitar 50%-

80%. Oleh karena hasil radioterapi pada tumor ganas di daerah kepala dan leher masih

kurang memuaskan, para ahli berupaya mencari cara pengobatan lainnya yang dapat

meningkatkan kontrol lokoregional sekaligus meningkatkan survival rate.8

Akhir-akhir ini dilaporkan beberapa cara meningkatkan kontrol tumor pada

karsinoma nasofaring yaitu accelerated fractionation radiotherapy, brakhiterapi, tiga

dimensional radioterapi dan kombinasi kemoterapi dengan radioterapi.3,5 Kemoterapi

Page 21: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

21

sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring, banyak mendapat perhatian karena

kebanyakan penderita stadium lanjut tidak memberikan respon yang memuaskan

terhadap radioterapi. Karsinoma nasofaring merupakan salah satu keganasan yang

responsif terhadap pemberian kemoterapi. Beberapa ahli mengatakan bahwa pemberian

terapi radiasi yang dikombinasi dengan kemoterapi pada karsinoma nasofaring stadium

lanjut ternyata sangat bermanfaat dalam mengurangi resiko metastasis jauh dan dapat

meningkatkan kontrol lokal.6,9

Ma dalam penelitian prospektif tahun 1993-1994 pada 456 pasien karsinoma

nasofaring yang diberikan radioterapi dan kemoterapi menyatakan bahwa tidak ada

perbedaan bermakna terhadap kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring

antara kelompok kemoterapi dengan radioterapi dan kelompok radioterapi. Penelitian

tersebut menunjukkan bahwa neoadjuvan kemoterapi tidak efektif mengurangi

metastasis jauh.25

Dari landasan teori di atas disebutkan bahwa kemampuan tumor untuk

menginduksi pembuluh darah baru atau angiogenesis pada pejamu sangat berpengaruh

pada pertumbuhan tumor dan metastasis. Aktivitas angiogenesis mengakibatkan

ekspansi pertumbuhan tumor dan meningkatkan risiko metastasis. Sebaliknya tumor

atau sel tumor yang tidak memiliki kemampuan angiogenesis, kecil kemungkinannya

untuk berkembang menjadi tumor besar yang dapat dideteksi secara klinis, karena

besarnya akan terbatas pada hanya beberapa juta sel saja dengan volume beberapa

mm3. Secara nyata atau klinis yang dapat dilihat dengan jelas pada penderita karsinoma

nasofaring dalam hal ini adalah ekspansi dari tumor primer yang berasal dari nasofaring

dan pembesaran yang terjadi pada kelenjar getah bening di leher.9

Page 22: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

22

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Beberapa penelitian mengatakan, bahwa faktor risiko kejadian metastasis jauh

pada karsinoma nasofaring secara klinis adalah gradasi T dan N, jenis histopatologi,

jenis terapi atau pengobatan yang didapat serta umur. Secara teori pada pertumbuhan

tumor terjadi proses angiogenesis, proses ini dapat mempermudah penetrasi atau

membuat lokus minorus pada pembuluh darah. Dengan demikian mempermudah sel

tumor untuk mengadakan perjalanan jauh dari sumbernya karena terbawa oleh aliran

darah. Dalam kerangka teori disebutkan bahwa kemampuan tumor untuk menginduksi

pembuluh darah baru atau angiogenesis pada pejamu sangat berpengaruh pada

pertumbuhan tumor dan metastasis. Aktivitas angiogenesis mengakibatkan ekspansi

pertumbuhan tumor dan meningkatkan risiko metastasis. Sebaliknya tumor primer atau

sel tumor yang tidak memiliki kemampuan angiogenesis, kecil kemungkinannya untuk

berkembang menjadi tumor besar yang dapat dideteksi secara klinis, karena besarnya

akan terbatas pada hanya beberapa juta sel saja dengan volume beberapa mm3.

Pertumbuhan tumor primer maupun sekunder akan berlangsung baik bila tumor

Metastasis jauh

Umur:

-WHO tipe 2 jarang

terjadi pada anak-

anak

Gradasi T

Jenis histopatologi:

-WHO tipe 2 paling

agresif

Jenis terapi:

-Kemoterapi mencegah

mikrometastasis

Gradasi N

Page 23: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

23

mendapat cukup suplai darah melalui vaskularisasi. 9

Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa tipe nonkeratinizing squamous

cell carcinoma atau klasifikasi WHO tipe 2 lebih agresif dibandingkan dengan tipe

undifferentiated carcinoma. Tipe nonkeratinizing squamous cell carcinoma ini

dikaitkan dengan usia, dikatakan bahwa tipe ini jarang terjadi pada anak-anak.

Agresifitas ini meningkatkan besarnya kemungkinan terjadi metastasis jauh.5,21

Secara teori karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang responsif

terhadap pemberian radioterapi. Tetapi pada beberapa penelitian pemberian radioterapi

saja angka kegagalan kontrol lokoregional masih tinggi, sehingga radioterapi dikatakan

tidak dapat digunakan untuk membunuh sel-sel ganas yang tersebar di berbagai organ

tubuh. Beberapa ahli mengatakan bahwa pemberian radioterapi yang dikombinasi

dengan kemoterapi pada karsinoma nasofaring stadium lanjut ternyata sangat

bermanfaat dalam mengurangi risiko metastasis jauh. Dengan kombinasi radioterapi

dan kemoterapi ukuran tumor lebih cepat mengecil dan kemoterapi diharapkan dapat

membunuh sel kanker yang kecil yang tersebar di berbagai organ tubuh atau mikro-

metastasis sehingga dapat mencegah terjadinya manifestasi metastasis jauh.6,9

3.2 Hipotesis Penelitian

1). Terdapat hubungan antara gradasi tumor primer atau T dan kejadian

metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring.

2). Terdapat hubungan antara gradasi pembesaran kelenjar getah bening leher

atau N dan kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring.

Page 24: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

24

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional analytic, untuk mencari

hubungan antara kejadian metastasis jauh dengan besar tumor primer dan pembesaran

kelenjar getah bening leher pada karsinoma nasofaring.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar dengan cara

mengumpulkan data pada bulan September 2008.

4.3 Populasi Penelitian

Populasi target penelitian ini adalah semua penderita karsinoma nasofaring di

RSUP Sanglah Denpasar. Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita karsinoma

nasofaring yang dirawat di Poliklinik THT RSUP Sanglah Denpasar.

4.4 Sampel Penelitian

4.4.1 Sampel penelitian ini diambil dari penderita karsinoma nasofaring di Poliklinik

THT RSUP Sanglah Denpasar pada periode Januari 2005-Desember 2007,

sampai kebutuhan sampel terpenuhi.

4.4.2 Besar sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini dihitung

berdasarkan rumus Madiyono:26

3)1/()1(5,0

2

rrIn

ZZn

Keterangan:

n = besar sampel

Z α = nilai Z untuk α tertentu = 1,96

Z ß = nilai Z untuk power (1-ß) = 0,84

r = perkiraan koefisien korelasi (dari pustaka) = 0,41

Besar sampel minimalnya: 37

Page 25: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

25

4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi adalah semua penderita yang sudah didiagnosis sebagai

karsinoma nasofaring, yang ditetapkan melalui hasil pemeriksaan patologi anatomi

pada jaringan biopsi nasofaring dan tercatat di register poliklinik THT RSUP Sanglah

Denpasar, baik yang sudah mendapatkan radioterapi dan kemoterapi ataupun yang

belum. Sedangkan sampel yang dikeluarkan dari kelompok penelitian adalah: 1.

Rekam medis tidak ditemukan. 2. Rekam medis penderita tidak lengkap.

4.6 Identifikasi Variabel

Variabel tergantung adalah metastasis jauh, variabel bebas adalah T dan N,

sedangkan umur, jenis terapi dan jenis histopatologi sebagai variabel luar.

4.7 Definisi Operasional Variabel

Metastasis jauh adalah pertumbuhan tumor sekunder pada organ yang jauh dari

tumor primernya atau asalnya. Manifestasi tersebut dilihat dari catatan keluhan klinis

penderita di luar tumor primer maupun pembesaran kelenjar getah bening di leher dan

dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang radiologi seperti sinar x ray, CT scan dan

sonografi sesuai dengan hasil bacaan ahli radiologi pada rekam medis. Manifestasi

tersebut dapat terjadi pada organ: paru-paru, tulang costa, tulang sternum, tulang femur,

tulang vertebra, parenkim hepar dan otak.

Gradasi T adalah manifestasi dari gradasi ukuran tumor primer yang berasal

dari nasofaring. Gradasi N adalah manifestasi dari gradasi ukuran pembesaran kelenjar

getah bening pada leher. Gradasi T dan N tersebut diklasifikasikan berdasarkan AJCC

2002 sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, sebagai berikut:

T = Tumor primer:

Tx - Tumor primer tidak dapat ditentukan.

To - Tidak ditemukan adanya tumor primer.

Tis - Carcinoma in situ.

T1 - Tumor terbatas pada daerah nasofaring.

T2 - Tumor meluas sampai pada jaringan lunak.

T2a - Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga hidung tanpa

perluasan ke parafaring.

T2b - Dengan perluasan ke parafaring.

Page 26: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

26

T3 - Tumor mengenai struktur tulang dan atau sinus paranasal.

T4 - Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai saraf kranial, fosa

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.

N = Pembesaran kelenjar getah bening regional:

Nx - Pembesaran kelenjar getah bening regional tidak dapat ditentukan.

No - Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional.

N1 - Metastasis unilateral kelenjar getah bening dengan ukuran < 6 cm

merupakan ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikula.

N2 - Metastasis bilateral kelenjar getah bening dengan ukuran < 6 cm

merupakan ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikula.

N3 - Metastasis kelenjar getah bening dengan ukuran > 6 cm atau terletak

pada fosa supraklavikula.

N3A - Ukuran kelenjar getah bening > 6 cm.

N3B - Kelenjar getah bening terletak pada daerah fosa supraklavikula.

M = Metastasis jauh:

Mx – Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan.

M0 – Tidak ada metastasis jauh.

M1 – Terdapat metastasis jauh.

Stadium klinik:

Stadium 0 : Tis – N0 – M0

Stadium I : T1 – N0 – M0

Stadium IIA: T2a – N0 –M0

Stadium IIB: T1 –N1 – M0

T2a – N1 – M0

T2b – N0, N1 – M0

Stadium III : T1 – N2 – M0

T2a, T2b – N2 – M0

T3 – N0, N1, N2 – M0

Stadium IVA: T4 – N0, N1, N2 – M0

Stadium IVB: Semua T – N3 – M0

Stadium IVC: Semua T – Semua N – M121

Umur adalah rentang waktu dari kelahiran. Dihitung dalam tahun sesuai dengan

yang tercatat pada rekam medis. Dengan ketentuan bila kelebihan dalam bulan kurang

Page 27: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

27

dari 6 bulan dibulatkan ke bawah dan bila sama dengan 6 bulan atau lebih dibulatkan

ke atas.

Jenis histopatologi berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi yang

tercatat pada rekam medis, dimana diagnosis hasil patologi anatomi berupa karsinoma

sel skuamosa dengan keratin atau keratinizing squamous cell carcinoma

digolongkan ke dalam WHO tipe 1, karsinoma sel skuamosa tanpa keratin atau

nonkeratinizing squamous cell carcinoma digolongkan ke dalam WHO tipe 2 dan

karsinoma tak berdiferensiasi atau undifferentiated carcinoma digolongkan ke

dalam WHO tipe 3.

Jenis terapi yang dimaksud adalah modalitas terapi utama yang diperoleh

penderita yaitu radioterapi dan kemoterapi. Radioterapi yang dimaksud adalah

menggunakan terapi penyinaran atau radiasi untuk membunuh atau menghancurkan

tumor. Sedangkan kemoterapi yang dimaksud adalah terapi untuk membunuh sel-sel

tumor dengan obat-obat anti tumor yang disebut sitostatika seperti cisplatin, 5

flurourasil, capesitabin, karboplatin dan paklitasel.

Untuk penderita yang terdiagnosis metastasis jauh pada awal kunjungan juga

dicatat, walaupun belum diberikan terapi.

4.8 Cara Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari catatan pada rekam medis penderita karsinoma

nasofaring baik yang mengalami metastasis jauh maupun tidak. Data yang memenuhi

syarat dikumpulkan menggunakan status penelitian.

Page 28: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

28

4.9 Alur Penelitian

4.10 Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan:

1). Melakukan analisis deskriptif dengan rerata proporsi dan prevalensi.

2). Menggunakan statistik inferensial, dimana variabel tergantung dan variabel bebas

dianalisis dengan regresi logistik.

3). Melakukan analisis multivariat antara variabel bebas (gradasi T, N dan umur)

dengan regresi logistik.

4). Hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung dinyatakan dengan

OR (Exp β). Tingkat kemaknaan ditetapkan pada nilai P<0,5 dan presisi data

ditentukan dengan interval kepercayaan 95%.

5). Data dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 13.0 for windows.

Register poliklinik

Rekam medis

Pengumpulan data:

-Umur dan jenis kelamin

-Pendidikan, pekerjaan, suku, agama dan kebangsaan

-Gradasi T dan N

-Sudah mendapat terapi atau belum, jenis terapi

-Jenis histopatologi

-Organ metastasis dari hasil pemeriksaan penunjang

Metastasis ( +)

Tabulasi data

Inklusi Eksklusi

Penyajian

Metastasis (-)

Tabulasi data

Analisa data

Page 29: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

29

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan data dari periode bulan

Januari 2005 sampai Desember 2007 di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar.

Didapatkan 153 pasien karsinoma nasofaring yang memenuhi kriteria sebagai sampel

penelitian. Dilakukan analisa dan didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 5.1

Distribusi umur dan jenis kelamin penderita karsinoma nasofaring.

Frekuensi Persentase

Umur (tahun)

≤ 30 19 12,4

31- 40 33 21,5

41- 50 45 29,5

51- 60 35 22,9

≥ 61 21 13,7

Jenis kelamin

Laki-laki 107 69,9

Perempuan 46 30,1

Rentang usia sampel penelitian ini adalah 8 tahun sampai 70 tahun dengan rata-

rata umur 45,8 tahun (SD=12,5). Kelompok umur terbanyak adalah 41-50 tahun

sebanyak 45 orang (29,5%), disusul umur 51-60 tahun sebanyak 35 orang (22,9%),

umur 30-40 tahun sebanyak 33 orang (21,5%), umur di atas 60 tahun sebanyak 21

orang (13,7%) dan umur di bawah 30 tahun sebanyak 19 orang (12,4%). (Tabel 5.1).

Dari 153 kasus yang diteliti didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 107

orang dan perempuan sebanyak 46 orang dengan ratio 2,3:1. Perbadingan jenis kelamin

pada kasus yang mengalami metastasis jauh, laki-laki sebanyak 31 orang dan

perempuan sebanyak 9 orang dengan ratio 3,4:1. (Tabel 5.1).

Page 30: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

30

Tabel 5.2

Distribusi status sosial ekonomi penderita karsinoma nasofaring.

Frekuensi Persentase

Pekerjaan

Buruh 26 16,9

Tani 51 33,3

Pegawai Swasta 11 7,1

Pegawai Negri 20 13,1

Wiraswasta 22 14,4

TNI 1 0,6

Dan lain-lain 22 14,4

Pendidikan

Tidak sekolah 8 5,2

Sekolah Dasar 58 37,9

Sekolah Menengah Pertama 23 15,0

Sekolah Menengah Atas 57 37,2

Perguruan tinggi 7 4,5

Agama

Islam 18 11,8

Kristen 3 1,9

Hindu 132 86,3

Suku

Jawa 12 7,8

Bali 132 86,3

Sasak 6 3,9

Madura 1 0,6

Timor 2 1,4

Status sosial ekonomi penderita karsinoma nasofaring dalam pekerjaan

didapatkan sebagai petani sebanyak 51 orang, sebagai buruh sebanyak 26 orang,

sebagai wiraswasta sebanyak 22 orang, dan lain-lain sebanyak 22 orang, sebagai

pegawai negeri sipil sebanyak 20 orang, sebagai pegawai swasta sebanyak 11 orang

dan sebagai TNI sebanyak 1 orang. Pendidikan terbanyak adalah sekolah dasar

sebanyak 58 orang disusul sekolah menengah atas sebanyak 57 orang, sekolah

Page 31: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

31

menengah pertama sebanyak 23 orang, tidak sekolah sebanyak 8 orang dan perguruan

tinggi sebanyak 7 orang. Suku terbanyak adalah suku Bali 132 orang, disusul suku

Jawa sebanyak 12 orang, suku Sasak sebanyak 6 orang, suku Timor sebanyak 2 orang

dan suku Madura sebanyak 1 orang. Agama terbanyak adalah Hindu sebanyak 132

orang disusul Islam sebanyak 18 orang dan Kristen sebanyak 3 orang. (Tabel 5.2).

Dari hasil pemeriksaan histopatologis didapatkan 138 kasus (90,2%) dengan

gambaran WHO tipe 3, 12 kasus (7,8%) dengan gambaran WHO tipe 2 dan 3 kasus

(2,0%) dengan gambaran WHO tipe 1. (Tabel 5.3)

Pada penelitian ini, stadium yang terbanyak ditemukan adalah stadium III yaitu

sebanyak 57 kasus (37,3%), disusul stadium IV B sebanyak 36 kasus (23,5%), stadium

IV A sebanyak 29 kasus (19,0%). Kasus dengan stadium I, II A dan II B ditemukan

dalam jumlah yang lebih sedikit yaitu 2,0%, 2,6% dan 13,1%. (Tabel 5.3)

Ditinjau dari diagnosis awal terdapat 4 pasien (2,6%) sudah mengalami

metastasis jauh. Dari 149 kasus yang telah mendapatkan terapi sebanyak 36 kasus

(24,1%) mengalami metastasis jauh. Sedangkan dari 153 pasien karsinoma nasofaring

40 kasus (26,1%) mengalami metastasis jauh. (Tabel 5.4)

Tabel 5.3

Distribusi histopatologis dan stadium klinik pasien karsinoma nasofaring.

Frekuensi Persentase

Histopatologis

WHO tipe 1 3 2,0

WHO tipe 2 12 7,8

WHO tipe 3 138 90,2

Stadium klinik

Stadium I 3 2,0

Stadium IIA 4 2,6

Stadium IIB 20 13,1

Stadium III 57 37,3

Stadium IVA 29 19,0

Stadium IVB 36 23,5

Stadium IVC 4 2,6

Page 32: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

32

Tabel 5.4

Modalitas terapi pasien karsinoma nasofaring.

Metastasis jauh Tidak metastasis total

Mendapatkan terapi awal 36 113 149

Belum mendapat terapi 4 0 4

Total 40 113 153

Organ yang menjadi sasaran metastasis jauh adalah paru sebanyak 14 kasus

(35%), disusul tulang belakang 11 kasus (27,5%), hepar 4 kasus (10%), sisanya 11

kasus (27,5%) mengalami metastasis multiorgan yaitu paru dan hepar 3 kasus, paru dan

otak 2 kasus kemudian otak, femur, hepar dan vertebra, paru dan hepar, paru dan

sternum, serta sternum masing-masing 1 kasus.

Dari 153 penderita karsinoma nasofaring ditemukan pembesaran tumor primer

T1 sebanyak 27 pasien, T2a sebanyak 23 pasien, T2b sebanyak 28 pasien, T3

sebanyak 38 pasien dan T4 sebanyak 37 pasien. Sedangkan untuk pembesaran kelenjar

getah bening leher ditemukan N0 sebanyak 23 pasien, N1 sebanyak 39 pasien, N2

sebanyak 53 pasien, N3 sebanyak 38 pasien. (Tabel 5.5).

Tabel 5.5

Distribusi 153 pasien karsinoma nasofaring berdasarkan gradasi T dan N.

Gradasi T1 T2a T2b T3 T4 Total

N0 3 3 6 6 5 23

N1 17 4 5 14 9 39

N2 7 11 9 12 14 53

N3 10 5 8 6 9 38

Total 27 23 28 38 37 153

Page 33: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

33

Tabel 5.6

Proporsi pasien karsinoma nasofaring yang mengalami metastasis jauh berdasarkan gradasi T

dan N.

Gradasi T1 T2a T2b T3 T4 Total

N0 0 0 1 1 1 3 (13)

N1 1 0 1 4 3 9 (23)

N2 1 2 2 4 6 15 (28)

N3 2 1 2 3 5 13 (34)

Total 4 (14,8) 3 (13) 6 (21) 12 (31) 15 (40) 40 (100)

Proporsi penderita karsinoma nasofaring yang mengalami metastasis jauh

ditemukan T1 sebanyak 4 pasien (14,8%), T2a sebanyak 3 pasien (13%), T2b

sebanyak 6 pasien (21%) , T3 sebanyak 12 pasien (31%) dan T4 sebanyak 15 pasien

(40%). (Tabel 5.6).

Tabel 5.7

Analisis pasien karsinoma nasofaring dan yang mengalami metastasis jauh berdasarkan

gradasi T.

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for

EXP(B)

Lower Upper

Step 1(a)

T_awal .399 .145 7.598 1 .006 1.490 1.122 1.978

Constant -2.402 .555 18.734 1 .000 .091

Pada penelitian ini hasil uji statistik gradasi tumor primer (T) terhadap kejadian

metastasis jauh dengan persamaan regresi logistik, dijumpai hubungan bermakna antara

gradasi T dengan kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring di

mana β = 0,399, p = 0,006, OR = 1,49, 95% CI: 1,12 s/d 1,97. (Tabel 5.7)

Proporsi pembesaran kelenjar getah bening leher penderita karsinoma

nasofaring yang mengalami metastasis jauh ditemukan N0 sebanyak 3 pasien (13%),

N1 sebanyak 9 pasien (23%), N2 sebanyak 15 pasien (28%), N3 sebanyak 13 pasien

(34%). (Tabel 5.6)

Page 34: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

34

Tabel 5.8

Analisis pasien karsinoma nasofaring dan yang mengalami metastasis jauh berdasarkan

gradasi N .

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1(a)

N_awal .360 .193 3.471 1 .062 1.433 .981 2.091

Constant -1.678 .405 17.158 1 .000 .187

Sedangkan hasil uji statistik gradasi pembesaran kelenjar getah bening leher (N)

terhadap kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring dengan persamaan regrasi

logistik, dijumpai kecenderungan hubungan yang kuat antara N dengan kejadian

metastasis jauh di mana β = 0,36, p = 0,062, OR = 1,43, 95% CI: 0,98 s/d 2,01.

(Tabel 5.8)

Tabel 5.9

Analisis pasien karsinoma nasofaring dan yang mengalami metastasis jauh berdasarkan

gradasi T, N dan umur.

B S.E. df Sig. Odds ratio 95,0% C.I.for Odds ratio

Lower Upper

T_awal ,434 ,148 1 ,003 1,543 1,155 2,062

N_awal ,474 ,206 1 ,021 1,606 1,074 2,403

Umur -,030 ,016 1 ,059 ,970 ,940 1,001

Constant -1,996 ,949 1 ,036 ,136

Dengan analisis multivariat untuk menilai hubungan antara T, N dan umur

terhadap kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring, dijumpai

hubungan yang bermakna antara T dimana β = 0,43, p = 0,003, OR = 1,54, 95%CI:

1,15 s/d 2,06, N di mana β = 0,47, p = 0,021, OR = 1,61, 95% CI: 1,07 s/d 2,40.

(Tabel 5.9).

Page 35: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

35

BAB 6

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data hubungan antara profil

lokoregional yaitu gradasi tumor primer (T) dan pembesaran kelenjar getah bening

leher (N) dengan kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring. Di

samping itu juga untuk mengetahui prevalensi kejadian metastasis jauh pada penderita

karsinoma nasofaring. Selama periode januari 2005 sampai Desember 2007 berhasil

dikumpulkan 153 catatan penderita karsinoma nasofaring yang dirawat jalan di

Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian

retrospektif yang menggunakan metode cross-sectional analytic.

Umur

Pada penelitian ini didapatkan umur termuda penderita karsinoma nasofaring

adalah 8 tahun sedangkan umur tertua adalah 70 tahun. Kelompok terbanyak adalah

pada umur 41-50 tahun sebesar 29,4%. Umur rata-rata adalah 45,8 tahun (SD=12,5).

Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sastrowijoto dan

kawan-kawan dalam penelitiannya di RSUP Dr Sarjito Yogyakarta selama 3 tahun

yaitu 1992-1994 ditemukan terbanyak pada dekade 40-50 tahun.14 Sedangkan Susilo

dalam penelitiannya di RSUP Dr Kariadi Semarang selama 5 tahun yaitu 1990-1994

ditemukan terbanyak pada dekade 50-60 tahun.15

Penelitian Mulyarjo pada tahun 2000-2001 di Poliklinik Onkologi THT RSU

Dr. Sutomo Surabaya mendapatkan kelompok umur terbanyak pada dekade 4-6 dan

puncaknya pada dekade ke 5.2 Dari beberapa penelitian para ahli disimpulkan bahwa

infeksi virus Epstin-Barr sebagai etiologi karsinoma nasofaring. Infeksi virus ini

biasanya terjadi pada usia muda dan setelah masuk ke dalam sel limfosit B manusia

dapat hidup secara laten tanpa menimbulkan gejala atau kelainan dalam jangka waktu

lama. Setalah 20 tahun atau lebih virus dapat berubah menjadi ganas dan mengadakan

replikasi tanpa kontrol, oleh karena itu umumnya puncak timbulnya karsinoma

nasofaring pada usia 40-60 tahun.

Keganasan kebanyakan didapatkan pada usia tua yaitu lebih dari 40 tahun

disebabkan oleh sistem imunitas dan mekanisme perbaikan DNA yang disebut DNA

repair sudah kurang berfungsi dengan baik. Mekanisme perbaikan DNA dibutuhkan

Page 36: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

36

guna memperbaiki rangkaian basa nitrogen pada kode genetik DNA yang mengalami

mutasi. Jika mekanisme perbaikan DNA ini mengalami kegagalan dalam menjalankan

fungsinya maka mutasi DNA yang sudah terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel

tidak terkendali.

Jenis kelamin

Hasil yang didapatkan pada penelitian ini jenis kelamin laki-laki lebih banyak

daripada wanita dengan perbandingan 2,3:1. Hal ini sesuai dengan penelitian Soetjipto

yang mendapatkan perbandingan laki-laki dan wanita 2,3:1.1 Perbandingan yang sama

juga didapatkan pada penelitian Mulyarjo terhadap penderita karsinoma nasofaring di

Poliklinik Onkologi THT RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2000-2001,

mendapatkan perbandingan laki-laki dan wanita 2,2:1.1 Sastrowijoto dan kawan-kawan

dalam penelitiannya di RSUP Dr Sarjito Yogyakarta selama 3 tahun yaitu 1992-1994

menemukan perbandingan antara laki-laki dan wanita 2:1.14 Sedangkan Susilo dan

Wiratmo dalam penelitiannya di RSUP Dr Kariadi Semarang selama 5 tahun yaitu

1990-1994 mendapatkan perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2:1.15 Wiranada

dalam penelitiannya di RSUP Sanglah Denpasar selama 5 tahun yaitu 1998-2002

menemukan perbandingan laki-laki dan wanita sebesar 2:1.17

Persentase lebih tinggi pada laki-laki disebabkan kebiasaan hidup yang berbeda

antara laki-laki dan perempuan, seperti merokok yang berlebihan dan peminum alkohol

yang dapat menjadi faktor predisposisi. Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan ini

kemungkinan karena jumlah dan jenis populasi yang berbeda sesuai dengan

epidemiologi karsinoma nasofaring. Namun secara pasti hal tersebut belum dapat

dibuktikan.

Status sosial ekonomi

Pada penelitian ini, dari 153 sampel didapatkan pendidikan terbanyak adalah

sekolah dasar sebanyak 58 orang disusul sekolah menengah atas sebanyak 57 orang,

sekolah menengah pertama sebanyak 23 orang, tidak sekolah sebanyak 8 orang dan

perguruan tinggi sebanyak 7 orang. Pekerjaan sebagai petani sebanyak 51 orang,

sebagai buruh sebanyak 26 orang, sebagai wiraswasta sebanyak 22 orang, dan lain-lain

sebanyak 22 orang, sebagai pegawai negeri sipil sebanyak 20 orang, sebagai pegawai

swasta sebanyak 11 orang dan sebagai TNI sebanyak 1 orang.

Page 37: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

37

Pada penduduk dengan sosial ekonomi rendah dimana memiliki tingkat

pendidikan rendah dan pekerjaan sebagai buruh dan petani, mempunyai risiko yang

tinggi untuk timbulnya tumor ganas nasofaring. Beberapa penelitian yang dilakukan,

menunjukkan adanya dugaan positip mengenai pekerjaan yang banyak berhubungan

dengan asap, uap dan bahan kimia dengan timbulnya tumor ganas nasofaring.17,18,20

Histopatologis

Di Amerika Utara ditemukan sekitar 25% histopatologi tipe 1, 12%

histopatologi tipe 2 dan 63% histopatologi tipe 3, sedangkan di Cina Selatan ditemukan

sekitar 3 % histopatologi tipe 1, 2% histopatologi tipe 2 dan 95% histopatologi tipe 3.5

Sheng pada penelitiannya mendapatkan karsinoma nasofaring WHO tipe 3 sebanyak

70%, disusul karsinoma nasofaring WHO tipe 2 sebanyak 20% dan karsinoma

nasofaring WHO tipe 1 sebanyak 10%.12 Pada penelitian ini hasil pemeriksaan

histopatologis terbanyak adalah karsinoma nasofaring WHO tipe 3 sebanyak 138

(90,2%) kasus, disusul karsinoma nasofaring WHO tipe 2 sebanyak 12 (7,8%) kasus

dan karsinoma nasofaring WHO tipe 1 sebanyak 3 (2,0%) kasus. Hal ini sesuai dengan

hasil temuan beberapa peneliti sebelumnya.

Koukourakis dkk, pada tahun 1996 melakukan penelitian prospektif terhadap 78

pasien karsinoma nasofaring dengan radioterapi. Pada kelompok yang mengalami

metastasis jauh seluruhnya memiliki gambaran histopatologis WHO tipe 2 dan 3.10

Belum ada peneliti yang menganalisis penyebab perbedaan tersebut. Diperkirakan

adanya hubungan dengan virus Epstein-Barr. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa

gambaran WHO tipe 3 yang merupakan suatu undifferentiatid karsinoma nasofaring

berhubungan erat dengan infeksi dari virus Epstein-Barr dan didapatkan sering

mengalami metastasis jauh.3,7,10,27

Stadium klinis

Walaupun karsinoma nasofaring merupakan tumor yang radiosensitif tetapi

angka harapan hidup pada pasien dengan stadium lanjut sangat buruk. Farias at al.

menyebutkan pada penelitiannya bahwa pada pasien dengan stadium IV yang telah

mendapatkan radioterapi angka harapan hidup dalam 5 tahun adalah 35%.22

Pada penelitian ini, stadium yang terbanyak ditemukan adalah stadium III yaitu

sebanyak 57 kasus (37,3%), disusul stadium IV B sebanyak 36 kasus (23,5%), stadium

Page 38: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

38

IV A sebanyak 29 kasus (19,0%). Hal ini sesuai dengan laporan sebagian besar peneliti.

Mereka mengatakan bahwa 60-95% penderita karsinoma nasofaring datang berobat

sudah dalam stadium lanjut, bahkan sebagian penderita datang dalam keadaan umum

yang buruk. Kondisi ini merupakan kendala yang dihadapi dalam penanganan penderita

karsinoma nasofaring. Faktor penyebab keterlambatan penderita datang yaitu

pengetahuan yang kurang, penderita takut berobat ke dokter dan kondisi sosial ekonomi

penderita karsinoma nasofaring yang rendah. Kasus dengan stadium I, II A dan II B

ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit yaitu 2,0% kasus, 2,6% kasus dan 13,1%

kasus. Hal ini disebabkan karena gejala dini yang dirasakan tidak khas oleh penderita

dan kesulitan diagnosis dini oleh dokter. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas

yang berasal dari epitel mukosa dan kripte permukaan nasofaring. Karena lokasinya

yang tersembunyi dan gejala dini yang tidak khas yang mirip dengan keradangan di

saluran nafas atas pada umumnya, karsinoma nasofaring relatif sulit didiagnosis secara

dini. Adanya metastasis jauh sering terlambat diketahui dan biasanya sudah dalam

kondisi yang buruk.1,28

Prevalensi

Karsinoma nasofaring dapat mengalami risiko metastasis jauh baik sebelum

mendapatkan terapi, saat mendapatkan terapi atau setelah mendapatkan terapi. Hong

menyatakan pada awal diagnosis ditegakkan ditemukan metastasis jauh sebesar 4,4-

7%.8 Pada penelitian ini didapatkan 4 kasus (2,6%) metastasis jauh pada awal diagnosis

atau sebelum mendapatkan terapi. Sedikit berbeda dengan pernyataan Barnes, yang

menyebutkan bahwa metastasis jauh biasanya didahului oleh kekambuhan lokoregional

tetapi kenyataan yang ditemukan adalah 10-20% dari pasien yang mengalami

metastasis jauh tersebut tanpa terjadi kekambuhan lokoregional terlebih dahulu.7

Sedangkan dari 149 kasus yang telah mendapatkan terapi sebanyak 36 kasus (24,1%)

mengalami metastasis jauh. Sesuai dengan pernyataan Hong pasca radioterapi

ditemukan metastasis jauh sekitar 20-27,4%.8

Pada penelitian ini secara keseluruhan dari 153 pasien karsinoma nasofaring

yang dicatat selama periode 3 tahun ditemukan 40 kasus (26,1%) metastasis jauh.

Dengan demikian prevalensi metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring yang

ditemukan sekitar 26,1%. Hong menyatakan bahwa pada saat otopsi ditemukan

metastasis jauh sekitar 38-87%.8 Sedikit berbeda dengan Sheng menyebutkan bahwa

Page 39: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

39

sekitar 5-10% penderita karsinoma nasofaring mengalami metastasis jauh.12 Sedangkan

Farias et al. pada penelitiannya mendapatkan metastasis jauh pada karsinoma

nasofaring sebesar 19,7%.22 Perbedaan ini terjadi diduga karena jumlah, jenis populasi

dan letak geografi yang berbeda.29,33,34

Organ sasaran metastasis jauh

Organ sasaran metastasis jauh pada penelitian ini adalah paru sebanyak 14

(35%) kasus, disusul tulang belakang 11 (27,5%) kasus, hepar 4 (10%) kasus, sisanya

11 (27,5%) kasus mengalami metastasis multiorgan yaitu paru dan hepar 3 kasus, paru

dan otak 2 kasus kemudian otak, femur, hepar dan vertebra, paru dan hepar, paru dan

sternum, serta sternum masing-masing 1 kasus.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring paling sering

metastasis jauh ke paru berikutnya ke tulang sternum, costa, vertebra lumbalis dan

tulang-tulang aksial yang lain dan hati.4,9,12,18,30,31-33

Salah satu faktor yang diduga memegang peran penting dalam penentuan

sasaran metastasis adalah endotel. Sel-sel kanker terbukti lebih suka melekat pada

endotel kapiler dibanding endotel pembuluh darah besar, sehingga dikenal dengan

istilah mikrometastasis. Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa tumor tertentu lebih

suka melekat pada endotel kapiler organ tertentu, namun tidak semuanya demikian.

Sehingga menimbulkan dugaan bahwa tidak ada reseptor organ spesifik, tetapi pada

endotel pembuluh darah organ tertentu terdapat beberapa jenis reseptor atau kombinasi

beberapa jenis reseptor. Belum banyak yang diketahui mengenai mekanisme atau

reseptor endotel spesifik tertentu yang dapat menjelaskan adanya kecenderungan untuk

metastasis ke organ tertentu. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa sel-sel tumor

dapat merangsang sel-sel sekitarnya untuk mensekresi protease yang membantu invasi

sel tumor ke dalam jaringan, tetapi jaringan yang sama juga dapat memproduksi

inhibitor protease. Karena itu invasi sel tumor ke dalam organ sasaran merupakan suatu

proses dinamis, yang berlangsung melalui perubahan micro-echosystem secara terus

menerus. Sel-sel tumor yang bermetastasis harus terus-menerus berinteraksi dengan

unsur-unsur pejamu, yaitu matriks ekstraseluler, fibroblas dalam stroma, sel-sel endotel

dan sel-sel sistem imun. Bila faktor yang mendukung invasi melebihi faktor yang

menghambat invasi, maka invasi dapat berlangsung.9,12 Pendapat tentang pola sebar

metastasis tersebut dikenal dengan seed and soil hypotesis. Pada hipotesis tersebut

Page 40: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

40

dikatakan ekologi mikro organ atau jaringan tubuh atau pejamu atau soil berpengaruh

terhadap penyebaran sel tumor tertentu atau seeds. Metastasis sel tumor di organ dapat

berkembang karena adanya kecocokan antara sel tumor dan kemampuan lingkungan

mikro organ tersebut.9

Hubungan gradasi T dan N dengan kejadian metastasis jauh

Koukourakis dkk, pada tahun 1996 melakukan penelitian prospektif terhadap 78

pasien karsinoma nasofaring dengan radioterapi. Pada kelompok pasien yang

mengalami metastasis jauh didapatkan perbedaan yang bermakna pada gradasi T atau

T1 dan T2 dibandingkan dengan T3 dan T4, ukuran pembesaran kelenjar leher atau

kurang dari 6 cm dibandingkan dengan lebih atau sama dengan 6 cm, letak pembesaran

kelenjar leher atau di atas tiroid dibandingkan dengan di bawah tiroid, serta keterlibatan

daerah parafaring. Dalam analisis multivariat pada kelompok T3-T4 didapatkan bahwa

ukuran pembesaran kelenjar leher merupakan satu-satunya variabel yang mempunyai

hubungan bermakna pada metastasis jauh dengan Hazard ratio 4,09.10

Proporsi penderita karsinoma nasofaring yang mengalami metastasis jauh pada

penelitian ini didapatkan gradasi T yaitu T1 sebanyak 4 pasien (14,8%), T2a sebanyak

3 pasien (13%), T2b sebanyak 6 pasien (21%) , T3 sebanyak 12 pasien (31%) dan T4

sebanyak 15 pasien (40%).

Setelah dilakukan uji statistik pada gradasi tumor primer (T) terhadap kejadian

metastasis jauh dengan persamaan regresi logistik, dijumpai hubungan bermakna antara

gradasi T dengan kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring (β =

0,399, p = 0,006, OR = 1,49, 95% CI: 1,12 s/d 1,97). Status tumor primer dari hasil

diagnosis awal ditemukan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

perkembangan ke metastasis jauh dengan odds ratio 0,49. Dengan demikian setiap 1

nilai gradasi T yang meningkat, meningkatkan 49% risiko terjadinya metastasis jauh

pada penderita karsinoma nasofaring.

Sedangkan proporsi gradasi pembesaran kelenjar getah bening leher penderita

karsinoma nasofaring yang mengalami metastasis jauh pada penelitian ini didapatkan

N0 sebanyak 3 pasien (13%), N1 sebanyak 9 pasien (23%), N2 sebanyak 15 pasien

(28%), N3 sebanyak 13 pasien (34%).

Setelah dilakukan uji statistik gradasi pembesaran kelenjar getah bening leher

(N) terhadap kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring dengan persamaan

Page 41: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

41

regrasi logistik, dijumpai kecenderungan hubungan yang kuat antara N dengan kejadian

metastasis jauh (β = 0,36, p = 0,062, OR = 1,43, 95% CI: 0,98 s/d 2,01). Status

pembesaran kelenjar getah bening leher dari hasil diagnosis awal ditemukan

mempunyai pengaruh terhadap kecenderungan perkembangan ke metastasis jauh

dengan odds ratio 0,43.

Dengan analisis multivariat untuk menilai hubungan antara T, N dan umur

terhadap kejadian metastasis jauh pada penderita karsinoma nasofaring, dijumpai

hubungan yang bermakna antara T (β = 0,43, p = 0,003, OR = 1,54, 95% CI: 1,15 s/d

2,06) dan N (β = 0,47, p = 0,021, OR = 0,61, 95% CI: 1,07 s/d 2,40).

Pada penelitian ini besarnya gradasi T dan N atau profil lokoregional

mempunyai hubungan dengan kejadian metastasis jauh. Dengan demikian semakin

besar gradasi T dan N atau profil lokoregional maka semakin besar kemungkinan

terjadinya metastasis jauh.

Dari landasan teori disebutkan bahwa kemampuan tumor untuk menginduksi

pembuluh darah baru atau angiogenesis pada pejamu sangat berpengaruh pada

pertumbuhan tumor dan metastasis. Aktivitas angiogenesis mengakibatkan ekspansi

pertumbuhan tumor dan meningkatkan risiko metastasis. Secara nyata atau klinis pada

penderita karsinoma nasofaring dalam hal ini, yang dapat dilihat dengan jelas adalah

ekspansi dari tumor primer yang berasal dari nasofaring dan pembesaran yang terjadi

pada kelenjar getah bening di leher.9 Dengan demikian dapat diprediksi bahwa semakin

besar gradasi T dan N maka semakin tinggi risiko untuk terjadinya metastasis jauh

karena aktifitas angiogenesis tersebut. Dan dapat diramalkan bahwa semakin besar

gradasi profil lokoregional maka prognosis penderita karsinoma nasofaring tersebut

adalah semakin buruk. Untuk itu strategi penanganan mengurangi faktor risiko dan

mencegah metastasis jauh adalah dengan menemukan dan mengobati kasus ini sedini

mungkin atau pada keadaan profil lokoregional yang masih kecil.

Page 42: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

42

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Prevalensi kejadian metastasis jauh pada karsinoma nasofaring di RSUP

Sanglah Denpasar adalah sebesar 26,1%.

2. Ada hubungan bermakna antara gradasi T dengan kejadian metastasis jauh

pada penderita karsinoma nasofaring

3. Ada kecenderungan hubungan yang kuat antara gradasi N dengan

kejadian metastasis jauh

7.2 Kelemahan Penelitian

1. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, di mana pengukuran

variabel hanya dilakukan satu kali saja, sehingga tidak mungkin menentukan

variabel sebab dan akibat.

2. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara retrospektif, di

mana banyak terdapat kelemahan pada pencatatan terhadap faktor-faktor risiko

terjadinya metastasis jauh pada karsinoma nasofaring.

7.3 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian secara prospektif, di mana dapat dilakukan pemilihan

sampel dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang lebih baik.

2. Masih diperlukan banyak penjelasan klinis dan biologis untuk menerangkan

agresivitas karsinoma nasofaring yang berkaitan dengan metastasis jauh.

Page 43: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

43

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D. Karsinoma Nasofaring Mungkinkah Melakukan Diagnosis Dini?.

Kumpulan Naskah KONAS PERHATI Bukittinggi, 1993:2-30.

2. Mulyarjo. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit THT-KL FK UNAIR/RS Dr

Sutomo Surabaya, 2002: 38-48.

3. Kentjono WA. Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring.

Disampaikan pada Simposium Bedah Kepala Leher. Jakarta, 2003.

4. Sham J, Poon Y, Wei W, Choy D. Nasopharyngeal Carcinoma in Young

Patients. Cancer 1990; 65: 2606-10.

5. William I. Nasopharyngeal Cancer. In: Bailey B, editor. Head and Neck

Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadhelpia: Lippincott Williams, 2006. p.

1657-71.

6. Chan A, Teo P, Jhonson P. Nasopharyngeal Carcinoma. Annals of Oncology

2002; 13: 1007-15.

7. Barnes L. Pathology of the Head and Neck: General Considerations. In: Myers

E, Suen J, editors. Cancer of the Head and Neck. 3rd ed. Philadhelpia: WB

Saunders Company, 1996. p.17-32.

8. Hong RL, et al. Induction Chemotherapy with Mitomycin, Epirubicin, Cisplatin,

Fluorouracil, and Leucovorin Followed by Radiotherapy in the Treatment of

locoregionally advanced Nasopharyngeal Carcinoma. J Clin Oncol 2001; 19:

4305-13.

9. Khokha R, Voura E, Hill RP. Tumor Progression and Metastasis: Cellular,

Molecular, and Microenvironmental Factors. In: Tannock IF, Hill RP, Bristow

RG, Harrington L editors. The Basic Science of Oncology. 4th ed. Boston: Mc

Graw –Hill Company, 1998. p. 205-30.

10. Koukourakis MI, Whitehouse RM, Glatromanolaki A, Saunders M, Kaklamanis

L. Predicting Distant Failure in Nasopharyngeal Cancer. Laryngoscope 1996;

106: 765-71.

11. Harsal A. Kemoterapi pada Keganasan Kepala dan Leher. Disampaikan pada

Simposium Bedah Kepala Leher. Jakarta, 2003.

12. Sheng L. Malignant Nasopharyngeal Tumors. Last modified December 21,

Page 44: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

44

2007; Available at: http://www.emedicine.html. Accessed December 31, 2007.

13. Mills SE, Gaffey MJ, Frierson HF. Tumors of the Upper Aerodigestive Tract

and Ear. In: Rosai J, editor. Atlas of Tumor Pathology. 3rd ed. Washington, D.C:

Armed Forced Institute of Pathology, 1997. p.7-88.

14. Yang X, et al. Evaluation of Risk Factor for Nasopharyngeal Carcinoma in

High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan . Cancer Epidemiol

Biomarkers Prev 2005; 14: 900-5.

15. Sastrowijoto S, Losin K, Setiamika M. Tinjauan Retrospektif Karsinoma

Nasofaring di RSUP Dr Sardjito Selama Tiga Tahun (1992-1994). Kumpulan

Naskah KONAS PERHATI XI Yogyakarta, 1995: 1221-27.

16. Susilo N, Wiratmo. Karsinoma Nasofaring di SMF THT RSUP Dr Kariadi

Semarang Tahun 1990-1994. Kumpulan Naskah KONAS PERHATI XI

Yogyakarta, 1995: 1228-36.

17. Wiranada IM. Tinjauan Retrospektif Karsinoma Nasofaring di RSUP Sanglah

Selama Lima Tahun (1998-2002). FK UNUD 2003.

18. Sriamporn S, Vatanasapt V. Environmental Risk Factors for Nasopharyngeal

Carcinoma: A Case-Control Study in Northeastern Thailand. Cancer

Epidemiology 1992; 1: 345-8.

19. Rischin D, et al. Excellent Disease Control and Survival in Patients With

Advanced Nasopharyngeal Cancer Treated With Chemoradiation. Journal of

Clinical Oncology 2002; 20: 1845-52.

20. Armstrong RW, et al. Nasopharyngeal Carcinoma in Malaysian Chinese:

Occupational exposures to Particles, formaldehyde and Heat. International

Journal of Epidemiology 2000; 29: 991-8.

21. American Joint Committee on Cancer. In: Green FL, ed. AJCC Cancer Staging

Manual. Philadelphia: RP Lippincott, 2002: 33-41.

22. Farias TP, et al. Prognostic Factors and Outcome for Nasopharyngeal

Carcinoma. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2003; 129: 794-9.

23. Cheng H. Nasopharyngeal Cancer and the Southeast Asian Patient. Last

modified May 2001; Available at: http://www.aafp.org/afp. Accessed December

31, 2007.

24. Brizel DM, et al. Hyperfractionated Irradiation With or Without Concurrent

Chemotherapy for Locally Advanced Head and Neck Cancer. The New England

Page 45: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

45

Journal of Medicine 1998; 338: 1798-1804.

25. Ma J, et al. Results of a Prospective Randomised Trial Comparing Neoadjuvant

Chemotherapy Plus Radiotherapy with Radiotherapy Alone in Patients with

Locoregionally Advanced Nasopharyngeal Carcinoma. J Clin Oncol 2001; 19:

1350-57.

26. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto H. Perkiraan

Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro, ed. Dasar-dasar Metodologi Penelitian

Klinis. Jakarta: Sagung Seto, 2002: 259-86.

27. Chiesa F, Paoli FD. Distant Metastases from Nasopharyngeal Cancer. ORL

2001; 63: 214-216.

28. Huang CJ, Leung SW, Lian SL, Wang CJ, Fang FM, Ho YH. Patterns of

Distant Metastases in Nasopharyngeal Carcinoma. Kaohsiung J Med Sci 1996;

12(4): 299-34.

29. Fandi A, et al. Long-Term Disease-Free Survivors in Metastatic

Undiffferentiated Carcinoma of Nasopharyngeal Type. J Clin Oncol 2000; 18:

1324-30.

30. Yeh SA, Tang Y, Lui CC, Huang EY. Tratment Outcomes of Patients with

AJCC Stage IVC Nasopharyngeal Carcinoma: Benefits of Primary

Radiotherapy. Jpn J Clin Oncol 2006; 36: 132-6.

31. Doweck I, Robbins KT, Vieira F. Analysis of Risk Factors Predictive of Distant

Failure after Targeted Chemoradiation for Advanced Head and Neck Cancer.

Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2001; 127: 1315-8.

32. Sahraoui S, Acharki A, Benider A, Bouras N, Kahlain A. Nasopharyngeal

Carcinoma in Children under 15 Years of Age: A Retrospektive Review of 65

Patients. Annals of Oncology 1999; 10: 1499-1502.

33. Liu MT, et al. Prognostic Factors Affecting the Outcome of Nasopharyngeal

Carcinoma. Jpn Clin Oncol 2003; 33: 501-8.

34. Friborg J, et al. Cancer Susceptibility in Nasopharyngeal Carcinoma Families –

A Population-Based Cohort Study. Cancer Res 2005; 65: 8567-72.

Page 46: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

46

LAMPIRAN 1

STATUS PENELITIAN

Hubungan Profil Lokoregional dan Metastasis Jauh

pada Karsinoma Nasofaring

Tanggal : …………………………………

No. Penelitian : …………………………………

No. RM : …………………………………

I. IDENTITAS Nama : …………………………………

Umur : …………tahun

Jenis kelamin : 1. laki-laki 2. Perempuan

Pendidikan : 1. Tidak sekolah. 2. SD. 3. SMP. 4. SMA. 5. PT

Pekerjaan : 1. PNS/TNI. 2. Swasta. 3. Wiraswasta. 4. Buruh. 5. Petani

6. Dan lain-lain.

Bangsa : 1. Indonesia. 2 Indonesia keturunan/ Cina.

Suku : ...............................................

Agama : 1. Islam. 2. Kristen. 3. Hindu. 4. Buda.

II. STATUS

Stadium awal ........................... ( T............... N.................. M ..................)

Hasil PA No.......................................tanggal......................................................

a. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (WHO tipe 1)

b. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (WHO tipe 2)

c. Karsinoma tak berdiferensiasi (WHO tipe 3)

Pemeriksaan penunjang yang ada untuk diagnosis metastasis jauh:

1. CT scan kepala: 1. Metastasis ke otak : a. ada b. tidak

2. dll..............................

2. Foto toraks AP: 1. Metastasis ke paru : a. ada b. tidak

2. Metastasis ke tulang sternum: a. ada b. tidak

3. Metastasis ke tulang costa a. ada b. tidak

4. dll.............................

3. Foto torakolumbal: 1. Metastasis ke vertebra a. ada b. tidak

2. dll.........................

4. Foto femur : 1. Metastasis ke tulang femur a. ada b. tidak

2. dll.........................

5. USG abdomen : 1. Metastasis ke hepar a. ada b. tidak

2. dll.........................

Terapi: 1. Sudah : a. Radioterapi

b. Kemoterapi: 1. Cisplatin 2. 5 Flurourasil

3. Capesitabin 4. Karboplatin

5. Paklitasel

2. Belum mendapatkan terapi.

Page 47: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

47

Catatan: ............................................................................................................................................

............................................................................................................................................

............................................................................................................................................

............................................................................................................

Peneliti

Dr. I Wayan Sucipta

Page 48: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

48

LAMPIRAN 2

ANALISIS SPSS 13.00 FOR WINDOWS

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Umur 153 8.00 70.00 45.8562 12.55169

Valid N (listwise) 153

Frequency Table

Jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid L 107 69.9 69.9 69.9

P 46 30.1 30.1 100.0

Total 153 100.0 100.0

Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Buruh 26 17.0 17.0 17.0

PNS 20 13.1 13.1 30.1

Swasta 11 7.2 7.2 37.3

Tani 51 33.3 33.3 70.6

Tdk kerj 22 14.4 14.4 85.0

TNI 1 .7 .7 85.6

Wiraswas 22 14.4 14.4 100.0

Total 153 100.0 100.0

Pendidikan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid PT 7 4.6 4.6 4.6

SD 58 37.9 37.9 42.5

SMA 57 37.3 37.3 79.7

SMP 23 15.0 15.0 94.8

Tdk Skl 8 5.2 5.2 100.0

Total 153 100.0 100.0

Page 49: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

49

Bangsa

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Indon 152 99.3 99.3 99.3

Ket Cina 1 .7 .7 100.0

Total 153 100.0 100.0

Suku

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Bali 132 86.3 86.3 86.3

Jawa 12 7.8 7.8 94.1

Madura 1 .7 .7 94.8

Sasak 6 3.9 3.9 98.7

Timor 2 1.3 1.3 100.0

Total 153 100.0 100.0

Agama

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Hindu 132 86.3 86.3 86.3

Islam 18 11.8 11.8 98.0

Kristen 3 2.0 2.0 100.0

Total 153 100.0 100.0

Std_awal

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 1 3 2.0 2.0 2.0

2a 4 2.6 2.6 4.6

2b 20 13.1 13.1 17.6

3 57 37.3 37.3 54.9

4a 29 19.0 19.0 73.9

4b 36 23.5 23.5 97.4

4c 4 2.6 2.6 100.0

Total 153 100.0 100.0

T_awal

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 1 27 17.6 17.6 17.6

2a 23 15.0 15.0 32.7

2b 28 18.3 18.3 51.0

3 38 24.8 24.8 75.8

4 37 24.2 24.2 100.0

Total 153 100.0 100.0

Page 50: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

50

M_awal

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 0 149 97.4 97.4 97.4

1 4 2.6 2.6 100.0

Total 153 100.0 100.0

M_akhir

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 0 113 73.9 73.9 73.9

1 40 26.1 26.1 100.0

Total 153 100.0 100.0

Metastasis

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Fem 1 .7 .7 .7

Hep 4 2.6 2.6 3.3

Hep,vert 1 .7 .7 3.9

Otak 1 .7 .7 4.6

Otak,par 2 1.3 1.3 5.9

Par 14 9.2 9.2 15.0

Par,hep, 1 .7 .7 15.7

Par,ster 1 .7 .7 16.3

Par+vert 3 2.0 2.0 18.3

Ster 1 .7 .7 19.0

Tdk ada 113 73.9 73.9 92.8

Vert 11 7.2 7.2 100.0

Total 153 100.0 100.0

Modalitas

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Blm 4 2.6 2.6 2.6

Rad 14 9.2 9.2 11.8

Rad +cap 1 .7 .7 12.4

Rad+cap 51 33.3 33.3 45.8

Rad+car, 6 3.9 3.9 49.7

Rad+cis, 69 45.1 45.1 94.8

Rad+pak 8 5.2 5.2 100.0

Total 153 100.0 100.0

Page 51: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

51

PA

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 1.00 3 2.0 2.0 2.0

2.00 12 7.8 7.8 9.8

3.00 138 90.2 90.2 100.0

Total 153 100.0 100.0

Metastase_cat

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid metastase tidak 113 73.9 73.9 73.9

metastase ya 40 26.1 26.1 100.0

Total 153 100.0 100.0

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Cases(a) Umur Percent

Selected Cases Included in Analysis 153 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 153 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 153 100.0

a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

.00 0

1.00 1

Block 0: Beginning Block

Classification Table(a,b)

Observed

Predicted

Metastase_cat Percentage

Correct

.00 1.00

Step 0 Metastase_cat .00 113 0 100.0

1.00 40 0 .0

Overall Percentage 73.9

a Constant is included in the model. b The cut value is .500

Page 52: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

52

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -1.039 .184 31.862 1 .000 .354

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables Umur 2.629 1 .105

Overall Statistics 2.629 1 .105

Block 1: Method = Enter

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 173.200(a) .017 .025

a Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Table(a)

Observed

Predicted

Metastase_cat Percentage

Correct

.00 1.00

Step 1 Metastase_cat .00 113 0 100.0

1.00 40 0 .0

Overall Percentage 73.9

a The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1(a)

Umur -.024 .015 2.579 1 .108 .977 .949 1.005

Constant .030 .679 .002 1 .965 1.031

a Variable(s) entered on step 1: Umur.

Page 53: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

53

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Cases(a) T Percent

Selected Cases Included in Analysis 153 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 153 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 153 100.0

a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

.00 0

1.00 1

Block 0: Beginning Block

Classification Table(a,b)

Observed

Predicted

Metastase_cat Percentage

Correct

.00 1.00

Step 0 Metastase_cat .00 113 0 100.0

1.00 40 0 .0

Overall Percentage 73.9

a Constant is included in the model. b The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -1.039 .184 31.862 1 .000 .354

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables T_awal 8.002 1 .005

Overall Statistics 8.002 1 .005

Page 54: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

54

Block 1: Method = Enter

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 167.423(a) .053 .078

a Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Table(a)

Observed

Predicted

Metastase_cat Percentage Correct

.00 1.00

Step 1 Metastase_cat .00 113 0 100.0

1.00 40 0 .0

Overall Percentage 73.9

a The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for

EXP(B)

Lower Upper

Step 1(a)

T_awal .399 .145 7.598 1 .006 1.490 1.122 1.978

Constant -2.402 .555 18.734 1 .000 .091

a Variable(s) entered on step 1: T_awal_num.

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Cases(a) N Percent

Selected Cases Included in Analysis 153 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 153 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 153 100.0

a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

.00 0

1.00 1

Page 55: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

55

Block 0: Beginning Block Classification Table(a,b)

Observed

Predicted

Metastase_cat Percentage

Correct

.00 1.00

Step 0 Metastase_cat .00 113 0 100.0

1.00 40 0 .0

Overall Percentage 73.9

a Constant is included in the model. b The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -1.039 .184 31.862 1 .000 .354

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables N_awal 3.546 1 .060

Overall Statistics 3.546 1 .060

Block 1: Method = Enter

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 172.181(a) .023 .034

a Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Table(a)

Observed

Predicted

Metastase_cat Percentage

Correct

.00 1.00

Step 1 Metastase_cat .00 113 0 100.0

1.00 40 0 .0

Overall Percentage 73.9

a The cut value is .500

Page 56: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

56

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1(a)

N_awal .360 .193 3.471 1 .062 1.433 .981 2.091

Constant -1.678 .405 17.158 1 .000 .187

a Variable(s) entered on step 1: N_awal.

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Cases(a) N Percent

Selected Cases Included in Analysis 153 100,0

Missing Cases 0 ,0

Total 153 100,0

Unselected Cases 0 ,0

Total 153 100,0

a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

metastase tidak 0

metastase ya 1

Block 0: Beginning Block

Classification Table(a,b)

Observed

Predicted

Metastase_cat Percentage

Correct

metastase tidak metastase ya

Step 0 Metastase_cat metastase tidak 113 0 100,0

metastase ya 40 0 ,0

Overall Percentage 73,9

a Constant is included in the model. b The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -1,039 ,184 31,862 1 ,000 ,354

Page 57: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

57

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables T_awal 8,002 1 ,005

N_awal 3,546 1 ,060

Umur 2,629 1 ,105

Overall Statistics 16,244 3 ,001

Block 1: Method = Enter

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 158,926(a) ,105 ,153

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.

Classification Table(a)

Observed

Predicted

Metastase_cat Percentage

Correct

metastase tidak metastase ya

Step 1 Metastase_cat metastase tidak 108 5 95,6

metastase ya 34 6 15,0

Overall Percentage 74,5

a The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95,0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1(a)

T_awal ,434 ,148 8,628 1 ,003 1,543 1,155 2,062

N_awal ,474 ,206 5,314 1 ,021 1,606 1,074 2,403

Umur -,030 ,016 3,571 1 ,059 ,970 ,940 1,001

Constant -1,996 ,949 4,420 1 ,036 ,136

a Variable(s) entered on step 1: T_awal, N_awal, Umur.

Correlation Matrix

Constant T_awal N_awal Umur

Step 1 Constant 1,000 -,570 -,360 -,663

T_awal -,570 1,000 ,126 -,049

N_awal -,360 ,126 1,000 -,147

Umur -,663 -,049 -,147 1,000

Page 58: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

58

35. Sukarja IDG. Biologi Tumor. Dalam: Onkologi Klinik. 2nd ed. Surabaya:

Airlangga University Press. 2000: 13-83.

Page 59: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

59

Tabel 5.3 Proporsi modalitas terapi awal pasien karsinoma nasofaring.

KNF total KNF dgn metastasis jauh Proporsi

Modalitas terapi awal

Radioterapi 14 4

Radioterapi + cisplatin & 5FU 69 17

Radioterapi + capesitabin 52 12

Radioterapi + karboplatin & 5FU 6 1

Radioterapi + paklitaxel 8 2

Belum mendapat terapi 4 4

153 40

Tabel 5.4 Proporsi modalitas terapi pasien karsinoma nasofaring yang mengalami

metastasis jauh.

Total KNF KNF dgn metastasis jauh

Mendapatkan terapi awal 149 36 (36,2)

Belum mendapat terapi 4 4 (2,6)

Page 60: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...2 dengan stadium lanjut, sehingga dikatakan belum ada modalitas terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya metastasis jauh.8-12

60

153 40