Bab 1
Transcript of Bab 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Alasan Pemilihan Judul
Dalam lalu-lintas hukum perjanjian, setidaknya terdapat dua pihak yang
terikat oleh hubungan hukum tersebut, yaitu pihak kreditor dan debitor. Masing-
masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum itu,
yaitu prestasi dan kontra prestasi, memberi, berbuat dan tidak berbuat sesuatu,
yang oleh peraturan perundang-undangan disebut dengan istilah onderwerp
object, sedangkan di dalam buku Anglo Saxon, prestasi dikenal dengan istilah
“consideration”.1
Dalam pratik hukum, seringkali seorang debitur (berutang) disebabkan oleh
keadaan memaksa (overmach) tidak dapat memenuhi kewajiban atas prestasi.
Dalam dunia perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak dapat
membayar utangnya kepada kreditor, maka telah dipersiapkan suatu jalan keluar
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, yaitu dikenal dengan lembaga
kepailitan atau penundaan pembayaran. Seorang debitor yang mempunyai dua
atau lebih kreditor dan tidak dapat membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh tempo dapat dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila telah dinyatakan
oleh hakim atau pengadilan dengan suatu putusan hakim.
1 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan penundaan Pembayaran Indonesia. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), Hal. 23.
1
2
Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas
creditorium dan prinsip pari passu prorata parte dalam resmi hukum harta
kekayaan (vermogensrecht). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua
kekayaan debitor baik yang berupa barang yang bergerak maupun harta yang
sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang dikemudian hari akan dimiliki
debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor. Prinsip pari passu prorata
parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk
para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka,
kecuali apabila antara para kreditor itu ada yang menuntut undang-undang harus
didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.2
Prinsip paritas creditorium dianut didalam sistem hukum perdata di
Indonesia. Hal ini termuat dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Prinsip pari passu
prorata perte termasuk dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang
mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut
keseimbangannya yaitu, menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila diantara diantara para berpiutang itu ada alasan yang sah untuk
didahulukan. Dengan demikian maka kepailitan adalah pelaksanaan lebih lanjut
2 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Norma, dan Praktek di Peradilan, (Jakarta: Prenada Madia Group, 2008), Hal. 3.
3
dari ketentuan yang ada dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata.3 Jika dikaji
secara normatif maka prinsip paritas ccreditorium dan prinsip pari passu prorata
parte juga dianut oleh Undang-Undang Kepailitan.
Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) diatur bahwa putusan
pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60
(enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal
8 Ayat (5). Dalam Pasal 8 Ayat (6) Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dinyatakan bahwa putusan pengadilan tersebut wajib memuat :
1. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan
2. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua
majelis.
Selanjutnya diatur bahwa salinan putusan Pengadilan tersebut wajib
disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada Debitor, pihak yang
mengajukan permohonan pailit, Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 3
(tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.
Dalam putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga
Semarang, maka proses eksekusinya diambil alih oleh kurator dan seorang Hakim
Pengawas. Pengangkatan kurator dan seorang Hakim Pengawas oleh hakim
pengadilan diajukan debitor, kreditor, atau pihak yang berwenang mengajukan
permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (2),
3 Ibid., Hal. 4.
4
(3), (4), atau (5) UUKPKPU, bila tidak mengajukan usul pengangkatan Kurator
kepada Pengadilan Balai Harta Peninggalan diangkat selaku Kurator.
Kurator yang diangkat tersebut harus independen, tidak mempunyai
benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani
perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga)
perkara. Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan
pernyataan pailit diterima oleh Kurator dan Hakim Pengawas, Kurator
mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2
(dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, mengenai ikhtisar
putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Nama, alamat, dan pekerjaan Debitor;
b. Nama Hakim Pengawas;
c. Nama, alamat, dan pekerjaan Kurator;
d. Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia Kreditor sementara, apabila telah
ditunjuk;
e. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama Kreditor.Kurator
berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta
pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali.
Dengan dijatuhkannya putusan Pengadilan Niaga atas perkara kepailitan
kepada debitor, maka mempunyai pengaruh bagi debitor dan harta bendanya. Bagi
5
debitor, sejak diucapkannya putusan kepailitan, ia (debitor) kehilangan hak untuk
melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya (persona standi in
inclucio).4 Pada dasarnya pelaksanaan putusan atau eksekusi merupakan suatu
pelaksanaan terhadap suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang
dilakukan dengan bantuan pengadilan.
Mengenai persoalan pengertian eksekusi oleh R. Subekti dikatakan bahwa
eksekusi adalah:
Melaksanakan putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum, dimana kekuatan umum ini berarti polisi.5
Adapun pandangan lain mengenai eksekusi menurut Sudikno Mertokusumo
adalah sebagai berikut :
Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi dari pada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.6
Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka eksekusi
dan pengampuan atas seluruh harta Debitor dilakukan oleh Kurator, disamping itu
Kurator punya tugas utama yaitu melakukan pengurusan atau pemberesan
terhadap harta (boedel). Dalam menjalankan tugasnya Kurator tidak sekadar
bagaimana menyelamatkan harta pailit yang berhasil dikumpulkan untuk
kemudian dibagikan kepada para kreditor tapi sedapat mungkin bisa 4 Zainal Asikin, Op. Cit, Hal. 34.5 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Cet. 3, (Jakarta: Binacipta, 1989), Hal. 130.6 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1988), Hal. 201.
6
meningkatkan nilai harta pailit tersebut dengan demikian, kurator dituntut untuk
memiliki integritas yang berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta
keharusan untuk menaati standar profesi dan etika. Hal ini untuk menghindari
adanya benturan kepentingan dengan debitor maupun kreditor. Pada praktiknya
kinerja kurator menjadi terhambat oleh permasalahan seperti debitor pailit tidak
mengacuhkan putusan pengadilan atau bahkan menolak untuk dieksekusi, hampir
sebagian besar kurator memiliki permasalahan dengan debitor (tidak kooperatif)
dalam hal debitor tersebut menolak memberikan informasi dan dokumen, menolak
menemui, bahkan menghalangi kurator memeriksa tempat usaha debitor.
Disinilah peranan undang-undang tersebut mengatur keadaan seperti
pembahasan di atas. Kewenangan yang diberikan pengadilan kepada kurator
untuk menjalankan tugas secara efektif dan efisien oleh undang-undang kepailitan
meliputi:
1. Kurator berwenang menjalankan tugasnya sejak tanggal putusan pailit
diucapkan.
2. Dapat mengambil alih perkara dan meminta pengadilan untuk membatalkan
segala perbuatan hukum debitor pailit.
3. Berwenang melakukan pinjaman pada pihak ketiga.
4. Tindakan kurator tetap sah walaupun tanpa adanya izin dari hakim pengawas.
5. Berwenang mengamankan harta pailit.
6. Dapat menerobos hak privasi debitor pailit, dan
7. Berhak menjual harta pailit.
7
Kewenangan kurator dalam menjalankan tugasnya dalam hal diatas sejak
tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
kasasi atau peninjauan kembali.
I.2 Ruang Lingkup dan Rumusan Permasalahan
Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Hukum Acara Perdata sebagai
disiplin Ilmu Pengetahuan. Supaya penelitian dapat dilakukan lebih terarah dan
tidak menyimpang dari pokok permasalahan sesungguhnya, dan mempermudah
penelitian, maka penulis mengadakan pembatasan masalah mengenai tugas dan
wewenang Kurator dalam melaksanakan eksekusi terhadap barang-barang milik
debitur yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa peranan Kurator BHP dalam menangani persoalan eksekusi di
Pengadilan Niaga Semarang ?.
2. Bagaimana prosedur pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh Kurator BHP
setelah pernyataan pailit ?.
3. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Kurator BHP dalam pelaksanaan
eksekusi putusan Pengadilan Niaga dan cara mengatasi hambatan tersebut?.
8
I.3 Tujuan Penelitian :
Adapun tujuan dari penelitian tentang “Tugas dan Wewenang Kurator BHP
Dalam Melaksanakan Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga Semarang”. Yaitu
sebagai berikut :
1. Mengetahui peranan Kurator BHP dalam eksekusi putusan Pengadilan Niaga
Semarang.
2. Mengetahui prosedur pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh Kurator BHP
setelah pernyataan pailit.
3. Mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Kurator BHP dalam
pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan Niaga dan cara mengatasi hambatan
tersebut.
I.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat atau kegunaan
sebagai berikut :
1. Kegunaan teoritis
a. Untuk melengkapi penelitian hukum yang telah ada mengenai
pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan di
Semarang selaku Kurator atas pernyataan putusan pailit Pengadilan
Niaga Semarang.
b. Memberikan kajian yuridis normatif yang benar dan tepat mengenai
eksekusi pernyataan pailit oleh Kurator.
9
c. Dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum,
khususnya dalam bidang hukum eksekusi.
2. Kegunaan praktis
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat dalam hal
pelaksanaan eksekusi pernyataan putusan pailit oleh Balai Harta
Peninggalan(BHP) selaku kurator.
b. Diharapkan penelitian hukum ini memberikan masukan dan informasi
yang dibutuhkan masyarakat di masa yang akan datang mengenai
pelaksanaan eksekusi pernyataan putusan pailit oleh Balai Harta
Peninggalan(BHP) selaku kurator.
c. Diharapkan penelitian hukum ini memberikan masukan mengenai
kajian yuridis terhadap Peraturan Perundangan yang dikeluarkan
untuk mendukung pelaksanaan eksekusi pernyataan putusan pailit
oleh Balai Harta Peninggalan(BHP) selaku kurator.
I.5 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi membutuhkan sitematika penulisan agar penulisan dapat
terarah dan sistematis. Di dalam skripsi ini, sistematika penulisan mengacu pada
buku Pedoman Karya Ilmiah (Skripsi) Program S1 Ilmu Hukum yang diterbitkan
oleh Fakultas Hukum Undip Tahun 2006. Skripsi ini terbagi dalam 5 (lima) bab,
dimana masing-masing bab ada keterkaitannya antara satu dengan yang lain.
10
Adapun mengenai sistematika dalam skripsi ini akan diuraikan sebagai berikut :
BAB I Tentang Pendahuluan, bab ini terdiri dari alasan pemilihan judul,
ruang lingkup dan rumusan permasalahan, Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan.
BAB II Mengenai Tinjauan Pustaka. Pada bab ini berisi tentang kepailitan
dan akibat hukum yang ditimbulkan, tugas dan wewenang kurator Balai Harta
Peninggalan (BHP), eksekusi dalam perkara perdata dan tinjauan umum tentang
Pengadilan Niaga.
BAB III Berisi tentang Metode Penelitian, bab ini menjelaskan lebih rinci
tentang metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian, spesifikasi
penelitian, bahan penelitian yang berupa studi kepustakaan dan survei lapangan,
metode pengumpulan data dan metode analisis data.
BAB IV Berupa Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini menguraikan
hasil penelitian yang diperoleh dari wawancara dan sekaligus menganalisisnya
dalam pembahasan lebih lanjut, agar diperoleh gambaran tentang tugas dan
wewenang kurator BHP dalam melaksanakan eksekusi putusan Pengadilan Niaga
Semarang.
BAB V yakni Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran dari hasil
penelitian dan pembahasan mengenai Pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh
Kurator Balai Harta Peninggalan (BHP) di Semarang serta menjadi landasan
untuk mengemukakan saran.
11
Dalam skripsi ini juga dilengkapi dengan halaman motto dan persembahan,
kata pengantar, daftar isi, ringkasan skripsi(Abstrak), daftar pustaka dan lampiran-
lampiran lain yang berkaitan dengan Penulisan Hukum/Skripsi.