BAB 1-3

download BAB 1-3

of 31

Transcript of BAB 1-3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses perubahan dan pertambahan usia tidak lepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan manusia. Pertumbuhan dan perkembangan dari dalam kandungan hingga lanjut usia. Semua aspek baik psikologi, sosial, genetik, fisik dan masalah gangguan yang terjadi disetiap rentang pertumbuhan dapat dibahas. Gerontik 1 dalam keperawatan membahas baik tentang keadaan sehat ataupu sakit bagi lanjut usia. Aspek yang dipelajari sama halnya dengan mempelajari proses pertumbuhan dan perkembangan secara umum yang meliputi keadaan fisik, psikologi, sosial dan lingkungannya.

Lanjut usia merupakan salah satu proses dalam pertumbuhan dan perkembangan. Sehingga komponennya pun perlu dibahas dari berbagai pandangan aspek keperawatan baik fisik, psikologi social dan lingkungannya. Oleh karena itu, penulis membahas tentang ilmu yang mempelajari tentang lanjut usia, perbedaan dan persamaan ilmu Gerontology, Gerontik, dan Geriatrik, membahas tentang demografi lanjut usia di Indonesia serta tentang teori-teori penuaan.

1.2 Rumusan Masalah1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Gerontologi, Gerontik dan Geriatrik?1.2.2 Apa perbedaan dan persamaan Gerontologi, Gerontik dan Geriatrik?1.2.3 Bagaimana peran perawat gerontik?1.2.4 Apa saja bentuk pelayanan keperawatan dan kesehatan bagi lanjut usia?1.2.5 Apa saja tugas perkembangan keluarga dengan lansia?1.2.6 Teori apa saja yang membahas tentang teori menua (biologis, psikososial, budaya dan spiritual)? 1.3 Tujuan Penulisan1.3.1 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi Gerontologi, Gerontik dan Geriatrik1.3.2 Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan dan persamaan Gerontologi, Gerontik dan Geriatrik1.3.3 Mahasiswa mampu memahami peran perawat gerontik1.3.4 Mahasiswa mampu menguraikan bentuk pelayanan keperawatan dan kesehatan bagi lanjut usia1.3.5 Mahasiswa mampu menjelaskan dan menginformasikan tentang tugas perkembangan keluarga dengan lansia1.3.6 Mahasiswa mampu memahami teori-teori tentang menua dari aspek biologis, psikologis, budaya dan spiritual1.4 Metode Penulisan

Dalam melakukan penyusunan makalah ini, kelompok menggunakan metode atau cara Colaborative Learning (CL). Colaborative Learning (CL) merupakan salah satu metode dimana mahasiswa diberikan tema tentang mata ajar yang ditugaskan dan membentuk kelompok untuk memahami setiap materi dari masing-masing tugasnya. Setelah menentukan lingkup sub pokok bahasan, hal-hal yang sudah diketahui dan masih perlu dipelajari, hal-hal yang baru diketahui dan perlu dipelajar. Setelah membagi materi-materi yang harus dicari terkait sub pokok bahasan, setiap anggota secara mandiri mencari sumber pengetahuannya melalui buku, internet, dan berbagai referensi lain. Setelah memperdalam materi yang didapat masing-masing, setiap anggota memiliki kesempatan untuk menyumbangkan informasi, pengetahuan, ide, dan pendapat yang dimilikinya kepada anggota lainnya. Kemudian laporan dari setiap anggota tersebut diintegrasikan ke dalam makalah ini.1.5 Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu bab satu pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah, sistematika, dan metode penulisan. Bab dua berisi tinjauan pustaka. Bab tiga terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA1.6 Pengertian Terminologi Gerontologi, Gerontik, dan Geriatrik

Kehidupan manusia dimulai ketika seseorang tersebut dilahirkan kemudian berlanjut pada tahap infant, toddler, pra sekolah, sekolah, remaja, dewasa, lansia, hingga kehidupan tersebut berakhir. Keperawatan sebagai ilmu yang holistik mempelajari manusia di seluruh tahap kehidupan. Pada tahap lansia, keperawatan juga telah memiliki perhatian khusus pada tahap lansia. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Hawari, 2003). Ilmu keperawatan yang mempelajari tentang lansia dikenal dalam terminologi yang berbeda. Ada yang menggunakan istilah gerontologi, gerontik, atau geriatrik. Pada pembahasan ini, akan dibahas mengenai pengertian dan sejarah terminologi gerontologi, geriatrik, dan gerontik agar kedepannya masalah terminologi gerontologi, geriatrik, dan gerontik tidak menjadi masalah yang berarti untuk membahas lebih dalam tentang keperawatan di tahapan lansia.

Gerontologi mulai diperkenalkan secara khusus pada pertengahan 1940-an dengan terbentuknya Gerontological Society of Amerika dan publikasi edisi pertama Journal of Gerontology. Selain menjadi ilmu khusus yang dipelajari dalam keperawatan, gerontologi juga dibahas dalam disiplin ilmu psikologi, pekerja sosial serta aliansi profesi kesehatan lain. Ilmu ini terus berkembang hingga sekarang para peneliti dan praktisi kesehatan sudah berfokus untuk medukung kesehatan dan kesuksesan lansia selama proses penuaan bukan sekedar membahas permasalahan yang muncul pada lansia. Gerontologi adalah ilmu tentang penuaan dan orang lanjut usia (Miller, 2012).

Sedangkan menurut (Mauk, 2006), gerontologi adalah istilah umum yang digunakan untuk mendefinisikan studi tentang penuaan dan/atau usia. Selain itu, menurut (Wallace, 2008) keperawatan gerontologi meliputi tindakan promosi kesehatan, pendidikan, dan pencegahan penyakit (perawatan primer dan sekunder). Berdasarkan ketiga definisi gerontologi diatas, dapat disimpulkan bahwa gerontologi ialah studi atau ilmu yang memperlajari mengenai proses penuaan yang terjadi pada orang lanjut usia serta segala hal yang berkaitan dengan kesehatan yang dialami atau dimiliki oleh lansia, yang meliputi tindakan promosi kesehatan, pendidikan, dan pencegahan penyakit (perawatan primer dan sekunder).

Istilah Geriatri berasal dari bahasa Yunani dari kata geron yang berarti orang tua dan iatros yang berarti penyembuh.Geriatrik dikaitkan dengan berbagai penyakit dan ketidakmampuan yang dimiliki orang lanjut usia (Miller, 2012). Dalam dunia kedokteran geriatrik berfokus pada masalah kesehatan orang tua yang terganggu akibat penyakit atau ketidakmampuan yang dialami. Definisi lain mengatakan geriatrik adalah istilah yang sering digunakan untuk hal yang berhubungan dengan penuaan, khususnya perawatan kesehatan pada proses penuaan (Mauk, 2006). Keperawatan geriatrik mengacu pada perawatan orang tua dengan masalah kesehatan atau mereka yang membutuhkan perawatan tersier (Wallace, 2008). Berdasarkan definisi geriatrik dari ketiga tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa geriatrik ialah istilah yang digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan perawatan kesehatan pada orang lanjut usia serta masalah kesehatan seperti penyakit atau disabilitas yang dialami lansia. Namun, kita juga bisa melihat bahwa Miller dan Wallace lebih mendefinisikan pada masalah-masalah yang terjadi pada lansia, seperti halnya penyakit, gangguan atau ketidakmampuan karena proses penuaan. Sedangkan, Mauk menjelaskan geriatrik sebagai istilah yang mengambarkan khusus mengenai perawatan yang diberikan kepada lansia akibat proses penuaan yang dialami. Perkembangan ilmu geriatri di Indonesia masih dalam taraf perintisan yang pada dasarnya bertujuan agar mencapai usia lanjut yang bahagia, berguna dan sejahtera dan tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat (Depkes, 2004)

Selain gerontologi dan geriatrik, pembahasan mengenai lansia juga dikenal dengan dengan istilah gerontik. Keperawatan gerontik, meskipun bukan istilah yang umum dikenal, tetapi mencakup kedua aspek geriatrik dan gerontologi (Hogstel, 2001 dalam Wallace, 2008). Hal ini berarti terminologi gerontik merupakan gambaran dari semua aspek yang dibahas dalam geriatrik dan geronotologi. Jika disimpulkan, gerontik ialah ilmu yang mempelajari mengenai proses penuaan yang terjadi pada orang tua atau orang lanjut usia dan segala hal yang berkaitan dengan kesehatan lansia, yang meliputi tindakan promosi kesehatan, pendidikan, dan pencegahan penyakit (perawatan primer, tersier dan sekunder), serta membahas masalah-masalah kesehatan seperti penyakit atau disabilitas yang dialami pada orang lanjut usia.

Keperawatan gerontik mengalami perkembangan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir semenjak gerontologi menjadi ilmu spesialisasi pada tahun 1966 oleh American Nurses Association (ANA). Semua istilah yang dipakai, baik keperawatan gerontik, gerontologi, serta geriatrik menunjukan peran seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada orang tua atau orang lanjut usia. Peran perawat yang diberikan pada keperawatan gerontik ini dimulai dari perawatan kesehatan lansia untuk mencapai kesehatan yang optimal selama proses penuaan hingga membantu lansia mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dialami. Semua peran perawat tersebut terangkum melalu tindakan promosi kesehatan, pendidikan kesehatan, dan pencegahan penyakit. 1.7 Peran Perawat Gerontik

Pada tahun 1961, American Nurses Association (ANA) pertama kali merekomendasikan pembentukan kelompok khusus keperawatan geriatrik (Meiner & Lueckenotte, 2006). Sejak saat itu, penelitian keperawatan geriatrik semakin berkembang dalam berbagai penertibatan journal dan textbook, pengadaan workshop dan seminar, program pendidikan, serta sertifikat profesi dalam bidang keperawan geriatrik. Pada akhirnya, ANA menetapkan pembentukan Kelompok Keperawatan Geriatrik serta membuat Standar Praktik Keperawatan Geriatrik yang pertama kali diumumkan pada tahun 1970. Namun, pada tahun 1976, Kelompok Keperawatan Geriatrik yang berfokus pada pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi terhadap kebutuhan dari para lansia yang sakit diubah dengan Kelompok Keperawatan Gerontik yang merujuk pada pemberian asuhan keperawatan terhadap lansia yang sehat, sakit, dan lemah. Beberapa Standar Praktik Keperawatan Gerontik juga banyak mengalami perubahan (Meiner & Lueckenotte, 2006). Dalam proses perkembangan tersebut tentunya sangat dibutuhkan peran perawat dalam melakukan penelitian dengan berbagai metode untuk meningkatkan keilmuan keperawatan gerontik dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap lansia.

Dengan semakin bertambahnya jumlah populasi dan rentang usia lansia, hal ini menjadi tantangan bagi perawat gerontik untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan mengembangkan berbagai metode. Perawat inap rumah sakit serta berbagai pengobatan untuk penyakit akut, pemerintah terpaksa mengeluarkan banyak biaya untuk kesejahteraan lansia. Ini membuat terbentuknya kebijakan baru yang berfokus terhadap promosi kesehatan bagi lansia untuk mencegah terjadinya penyakit akut serta disablity pada lansia. Tantangan bagi perawat gerontik adalah dengan menekankan kesejahteraan, promosi kesehatan, serta pengendalian biaya terhadap penyakit-penyakit akut dan kronis. Hal ini dibuktikan dengan jumlah pasien rawat inap yang lebih sedikit dan waktu perawatan yang singkat, namun perawat lebih menekankan pada perawatan primer dan kesehatan melalui manajemen pengaturan perawatan yang baik. Oleh karena itu muncul metode home care yang dapat dikembangkan dalam keperawatan gerontik (Stanley & Beare, 2002). Metode ini berfokus pada pemberian asuhan keperawatan dan peningkatan kualitas hidup lansia di rumah dengan melibatkan peran keluarga. Home care juga bermanfaat bagi para lansia yang ingin tetap tinggal di rumahnya atau ingin bersama keluarganya. Perawat dapat memberikan informasi kepada keluarga tentang bagaimana cara merawat lansia. Hal ini sangat mempengaruhi psikososial lansia sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya sampai akhir usia (Meiner & Lueckenotte, 2006).

Pemberian asuhan keperawatan gerontik tentu dipengaruhi oleh perkembagan teknologi dan gaya hidup individu. Berbagai metode yang dilakukan oleh perawat untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas dan berfokus pada kebutuhan lansia. Walaupun terjadi perubahan dalam struktur dan bentuk dalam pemberian asuhan keperawatan, perawat gerontik harus tetap konsen terhadap kebutuhan khusus lansia terutama dalam jangka panjang. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang menanggungjawabi pembiayaan yang dibutuhkan terhadap perawatan lansia serta ruang lingkup lainnya. Seperti contoh pada negara Amerika yang mengeluarkan program Medicare untuk para lansia yang tidak mampu. Peran aktif perawat dalam mendukung kebijakan pemerintah yaitu meningkatkan metode-metode asuhan keperawatan yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan lansia. Hal ini telah dibuktikan dalam International Council of Nurses Code for Nurses (ICN) yang menyarankan agar perawat berkolaborasi dengan profesi dan anggota masyarakat lainnya dalam upaya promosi kesehatan bagi para lansia di komunitas (Stanley & Beare, 2002). Dengan demikian, perawat dapat membuat suatu program promosi kesehatan lansia dalam lingkup yang lebih luas.

Dengan seiring bertambahnya populasi lansia, walaupun kebutuhan lansia meningkat akibat efek dari penurunan fungsional tubuhnya, hal ini bukan berarti lansia tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Namun, lansia membutuhkan sistem pendukung untuk mempertahankan kesejahteraan hidupnya baik secara bio-psiko-sosio-spiritual. Peranan perawat dalam mendukung hal tersebut ialah mengidentifikasi kebutuhan lansia untuk mempengaruhi kebijakan kesehatan dan mengevaluasi standar praktik keperawatan gerontik untuk membuat perencanaan di mana yang akan datang. Lingkungan sistem perawatan kesehatan yang terus berubah menjadi tantangan besar bagi perawat agar tetap memberikan kualitas asuhan keperawatan yang baik bagi para lansia. Sebagai profesi, perawat harus mampu mengarahkan energi, sumber-sumber, keterampilan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam penyediaan layanan kesehatan yang berbasis pada asuhan keperawatan yang berkualitas kepada lansia.

Selain sebagai peneliti, perawat gerontik juga berperan sebagai cargiver. Pemberi asuhan keperawatan (caregiver) merupakan peran paling sering dikaitkan dengan perawat oleh masyarakat umum. Pemberi asuhan keperawatan adalah peran dimana perawat menggunakan intervensi untuk membantu klien secara fisik, psikologis, emosional, dalam tahap perkembangan, budaya, dan spiritual untuk mencapai derajat kesehatannya (Kozier, 2004). Dalam peran caregiver, perawat gerontik memberikan keperawatan langsung kepada para lansia dalam berbagai aspek meliputi intervensi/tindakan keperawatan, observasi, pendidikan kesehatan, dan menjalankan tindakan medis sesuai dengan pendelegasian yang diberikan. Lansia sering hadir dengan gejala atipikal yang mengharuskan perawat memiliki pengetahuan tentang proses penyakit dan sindrom sering terlihat pada populasi lansia, termasuk termasuk pengetahuan tentang faktor risiko, tanda dan gejala, intervensi asuhan keperawatan, rehabilitasi, serta perawatan terminal (Mauk, 2010). Perawat harus memperhatikan prinsip perawatan gerontik dalam melakukan perawatan serta memperhatikan bahwa lansia merupakan komunitas yang memiliki karakteristik dan kebutuhan khusus yang berbeda dengan klien pada umumnya.

Peran perawat yang tidak kalah penting lainnya adalah pendidik atau educator. Perawat tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai pemberi asuhan keperawatan saja kepada klien, tetapi perlu memberikan informasi dan pengetahuan kepada klien lansia tentang penyakit atau masalah yang dihadapinya. Seperti memberitahu faktor-faktor resiko penyakit yang dialami klien lansia sehingga pola hidup lansia tersebut dapat berubah dan status kesehatannya dapat bertambah. Mengajarkan dan membimbing klien lansia juga dapat membuat mereka mandiri dan merasa mempunyai andil dalam kesehatan tubuhnya.

Perawat menjalankan peran sebagai pendidik ketika klien, keluarga atau kelompok masyarakat dianggap memerlukan pengajaran. Hubungan pengajar-orang yang belajar adalah tingkatan lebih lanjut dari hubungan pertolongan perawatan. Di dalam hubungan saling ketergantungan ini akan terbangun suatu kepercayaan. Perawat membangun rasa percaya tersebut dengan berbagi pandangan objektif klien. Peran ini, dapat dalam bentuk penyuluhan kesehatan, maupun bentuk desiminasi ilmu kepada klien.

Ketika mengajar lansia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain :a. Mengkaji pengetahuan yang belum diketahui, kesiapan untuk belajar dan hambatan yang bisa mengganggu proses belajar b. Menyusun materi sebelum memberikan pembelajaranc. Membuat rencana strategi untuk melibatkan lansia secara aktif dalam proses belajard. Menciptakan lingkungan yang konduktif untuk belajar e. Berbicara pada tingkat dan dalam bahasa yang dimengerti f. Harus bersikap peka terhadap penurunan pendengaran dan penglihatan yang dimiliki lansia.g. Tidak menggunakan istilah medish. Merangkum apa yang telah diajarkan dan memberitahukan keuntungan apa yang didapat jika mengetahui hal tersebut.

Jadi peran perawat gerontik sama dengan perawat pada umumnya. Setiap peran mengharuskan perawat untuk memiliki pengetahuan terkait dengan kebutuhan manusia dari segala aspek dan di tiap tahap perkebangannya, sebagai contoh perawat gerontik yang harus mengetahui pengetahuan tentang proses penuan, aspek-aspek yang berubah dalam tahap lansia, penyakit dan sindrom sering terlihat pada populasi lansia, termasuk termasuk pengetahuan tentang faktor risiko, tanda dan gejala, intervensi asuhan keperawatan, rehabilitasi, serta perawatan terminal. Selain itu perawat gerontik berperan dalam beberapa hal terkait memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis, psikologis, social, dan ekonomi.

Kebutuhan-kebutuhan ini pada dasarnya masih dapat dipenuhi oleh klien lansia secara mandiri jika klien lansia tidak memiliki barier biologis seperti penyakit kronis atau imobilitas dalam menjalani kesehariannya. Bagi klien lansia yang memiliki barier-barier tersebut, di sinilah peran perawat untuk membantu klien lansia melewati barier tersebut, tetapi tetap memperhatikan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Dengan begitu, klien lansia tidak akan merasa rendah diri atau merasakan efek negatif dari penuaan berupa penurunan kemampuan diri. Dengan memandirikan klien, perawat justru berperan dalam pengembangan diri klien lansia ke arah yang lebih baik.

Peran perawat gerontik lainnya yaitu sebagai advokat, dapat diaplikasikan diberbagai keadaan pelayanan kesehatan. Misalnya pada pelayanan di ACC (acute care setting). Lansia yang berada di acute care setting akan memiliki kebutuhan-kebutuhan unik. Perawat gerontik harus mampu menyampaikan kebutuhan-kebutuhan itu agar dapat dipenuhi. Perawat yang mengetahui kebutuhan-kebutuhan lansia di rumah sakit akan mampu membuat rencana keperawatan dan protocol rumah sakit yang dapat mampu memenuhi pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya bagi lansia.

Perawat harus memiliki kemampuan menjadi seorang advokat. Kemampuan yang harus dimiliki tersebut adalah problem solving, komunikasi, pengaruh, dan kolaborasi. Pertama, problem solving. Advokasi berfokus pada menangani masalah yang memerlukan solusi. Langkah-langkah advokasi adalah mengidentifikasi masalah, menentukan tujuan, dan menyusun strategi untuk menanganinya. Ketika strategi menyelesaikan masalah telah ditemukan, sebuah plan of action dapat dikembangkan.

Kedua, komunikasi perawat perlu menginisiasi untuk membahas informasi atau masalah pasien dengan pasien dan keluarganya serta kepada pihak pemberi pelayanan kesehatan. Dalam memberi informasi atau membahas masalah, perawat perlu menjelaskannya secara jelas dan terstruktur. Ketiga adalah pengaruh. Untuk bisa memfasilitasi pemecahan masalah, perawat harus bisa mempengaruhi orang lain. Mempengaruhi (influence) adalah kemampuan untuk bisa mengubah pikiran, kepercayaan, dan tindakan orang lain (Merriman-Webster, 2009). Kemampuan untuk mempengaruhi dibangun dengan kompetensi, kredibilitas, dan kepercayaan. Terakhir adalah kolaborasi. Perawat harus mampu melakukan kolaborasi dengan orang lain. Kolaborasi dibangun dengan rasa percaya dan kredibilitas. Untuk advokasi, penting untuk melakukan kolaborasi dengan stake holder yang menangani masalah pasien.

Perawat terkadang mengabaikan suara lansia karena mereka terlihat bingung atau tidak bisa berinteraksi. Tetapi sebagai perawat masa depan, perawat harus menyadari bahwa melakukan advokasi lansia tanpa mengerti dan memahami keinginan mereka tidak akan mencapai kualitas pelayanan yang maksimal. Perawat tidak bisa memilih rencana perawatan kepada klien berdasarkan stereotip dan pendapat sendiri. Perawat harus mendengar serta memahami nilai dan kepercayaan lansia dan keluarganya. Dimanapun tempat pelayanan kesehatan; rumah, rumah sakit, komunitas, perencanaan keperawatan berfokus kepada individual (ANA, 2001). Dalam praktik, perawat perlu merangkul kompleksitas keperawatan lansia dengan memahami masalah, mendengar, memberi informasi tentang tindakan yang diberikan, dan menghargai nilai-nilai pasien.1.8 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan bagi Lansia

Seiring meningkatnya jumlah masyarakat, meningkat pula kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat. Tidak terkecuali kebutuhan terhadap fasilitas keperawatan dan kesehatan. Berbagai bentuk pelayanan keperawatan dan kesehatan disediakan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dari berbagai usia, termasuk juga lansia. Lansia dengan berbagai kondisi kesehatan mendapatkan perawatan dari pelayanan keperawatan dan kesehatan dalam berbagai bentuk. Pelayanan ini dibedakan berdasarkan setting dimana pelayanan tersebut diberikan, yaitu perawatan akut, nursing home, home care, dan perawatan di komunitas.1.1.1. Acute Care Setting

Perawatan Akut (Acute Care) adalah sistem pelayanan kesehatan bagia lansia di rumah sakit (Mauk, 2006). Setting perawatan akut dibentuk karena kompleksitas perawatan yang dibutuhkan lansia. Lansia yang masuk ke perawatan akut memiliki sejumlah permasalahan dan keluhan. Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan terhadap lansia dan mencapai pemulihan dan mencegah komplikasi, maka diciptakan model dan bentuk perawatan yang diimplementasikan pada setting perawatan akut di RS.a. Acute Care of Elders (ACE). Prinsip dasar model ini adalah bahwa lansia memiliki kebutuhan yang unik dan kompleks yang dapat diatasi dengan perawatan khusus oleh tim multidisiplin (dokter dan perawat gerontologi, apoteker, terapis rehabilitasi, psikolog, dan pekerja sosial) untuk mencegah perburukan penyakit selama rawat inap. Lansia yang mendapatkan perawatan di unit ACE cukup efektif dalam mencegah penurunan fungsional, menurunkan lamanya perawatan di rumah sakit, dan memiliki kesempatan hidup lebih baik ketika pulang ke rumah. b. Unit Perawatan Subakut. Program ini memberikan pelayanan pada kebutuhan rehabilitasi lansia yang dirawat setelah melewati fase penyakitnya seperti stroke dan bedah ortopedi. Pelayanan di program perawatan subakut seperti kemoterapi, terapi intravena, perawatan luka kompleks, nutrisi enteral dan parenteral, terapi fisik dan okupasi, dan manajemen perawatan gangguan pernapasan yang kompleks seperti ventilator dan trakeostomi. (Miller, 2012).c. Perawatan Transisional. Perawatan yang diberikan kepada lansia yang berisiko tidak terkelola selama transisi dari RS ke rumah untuk mencegah perawatan kembali di RS dengan memberikan kesinambungan perawatan. Salah satu modelnya adalah Re-enginered Hospital Discharge (RED). Tiga komponen utama dari model ini adalah (Miller, 2012) : perawat advokat saat pemulangan yang bertanggungjawab untuk mengatur rencana pemulangan dan berkomunikasi dengan pasien keluarga dan tenaga kesehatan terkait, rencana keperawatan setelah perawatan di RS berfokus pada pasien, dan tindak lanjut menggunakan telepon terhadap pengobatan tiga hari setelah pemulangan d. Pelayanan UGD. Peran perawat di unit ini yaitu mengkaji riwayat lansia secara hati-hati karena tanda dan gejala penyakit yang tampak pada lansia sering tidak khas dan tidak spesifik dibandingkan dengan klien dewasa (Stanley, 1999). Perawat juga berperan sebagai advokat untuk memastikan bahwa tidak ada masalah lebih lanjut yang berbahaya bagi klien.e. Perawatan Kritis. Perawatan kritis beresiko mengalami trauma dikarenakan kecepatan dan teknologi di perawatan kritis yang dinilai berlebihan, isolasi dengan keluarga, alat bantu tambahan, dan pemajanan bagian tubuh. Perawat di ruang perawatan kritis dapat mengurangi dampak dari pengalaman traumatis itu dengan penggunakaan kontak mata, sentuhan terapeutk, dan pendekatan yang tenang memberiktahukan pada pasien bahwa mereka berada di tangan praktisi yang kompeten dan akan merawat pasien (Stanley, 1999). Perawat juga menjadi advokat yang kuat bagi pasien, memastikan bahwa perawatan yang diberikan mencerminkan harapan dan keinginan pasienf. Ruang Operasi. Pasien lansia sering melaporkan ansietas tingkat tinggi pada saat praoperasi. Peningkatan komunikas perawat-pasien, penggunaan sentuhan yang sensitif, dan aturan untuk adanya seorang teman atau anggota keluarga bersama pasien pra operasi dapat menurunkan ansientas sebagian besar pasien lansia (Stanley, 1999)g. Geriatric Nurse Resources Project. Model ini merupakan program pelatihan pendidikan bagi para perawat yang tertarik dalam unit pelayanan geriatrik. Perawat diberikan pelatihan dan pendidikan tentang masalah yang terjadi pada lansia untuk diterapkan pada praktek pelayanan geriatrik (Wallace, 2008). Program ini terbukti efektif dalam peningkatan asuhan dan bertujuan untuk mencegah perburukan penyakit dan waktu perawatan di rumah sakit.

Di Indonesia, bentuk pelayanan kesehatan dan keperawatan bagi lansia di rumah sakit mulai berkembang. Program pelayanan di RS saat ini telah dibentuk peningkatan upaya rujukan kesehatan bagi lansia melalui pengembangan poliklinik geriatri di rumah sakit yang mirip dengan model ACE. Namun, saat ini baru ada 8 rumah sakit umum tipe A dan B yang memiliki klinik geriatri dan 16 rumah sakit jiwa yang melayani geriatri (Kemenkes, 2013). Salah satu pelayanan geriatri di rumah sakit terdapat di RSCM. Pasien geriatri dilakukan pengkajian holistik oleh tim geriatri terpadu yang minimal terdiri atas dokter ahli penyakit dalam (konsultan geriatri), dokter ahli rehabilitasi medik, dokter ahli jiwa, perawat geriatri, tim rehabilitasi medik (pekerja sosial, okupasi terapis, fisioterapis, terapis wicara, psikolog), serta ahli gizi (Poliklinik Geriatri Terpadu, 2014). Pengkajian yang holistik harus dilakukan agar tidak terjadi polifarmasi beserta efek sampingnya yang amat berbahaya bagi organ tubuh yang sudah menurun fungsinya.

Adanya poliklinik geriatri sangat membantu lansia dalam meningkatkan kualitas hidup mereka secara holistik. Perawatan lanjut usia berbeda dari pasien dewasa karena lansia memiliki ciri khas terhadap perubahan fisiologis dan psikologisnya. Dari berbagai bentuk pelayanan yang ada sangat bermanfaat untuk mengindentifikasi masalah dan intervensi penyakit, usia lanjut, meningkatkan kemampuan mental, kognitif, kemandirian, dan sosial melalui aktivitas mandiri atau kelompok, dan meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga melalui penyuluhan, diskusi, dan tanya jawab. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan khusus lansia di rumah sakit sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien lansia yang dirawat di RS. Karena perubahan fisiologis dan psikologis pasien lansia berbeda dengan pasien dewasa sehingga perlu diciptakan dan dikembangkan suatu pelayanan yang maksimal dan holistik kepada pasien lansia dengan adanya suatu kerjasama tim multidisiplin antara tenaga kesehatan. 1.1.2. Nursing Home Setting

Dalam menjalankan fungsinya perawat tidak hanya memberikan pelayanan pada lansia di Rumah Sakit, namun juga pada setting Nursing home. Menurut Roach (2006), nursing home merupakan fasilitas yang memberikan perawatan pada pasien dengan penyakit kronis dan gangguan fisik yang tidak membutuhkan pelayanan di Rumah Sakit, namun memerlukan sedikitnya 1 perawatan yang memerlukan keterampilan. Contohnya pemberian makanan melalui selang dan perawatan kateter foley. Pengertian lain dikemukakan oleh Mauk (2006), yaitu nursing hooime merupakan fasilitas yang menyediakan bantuan untuk residen dengan masalah fisik atau lainnya yang tidak mampu untuk melakukan aktivitas sehari-harinya secara mandiri. Berdasarkan pengertian dari kedua penulis tersebut, dapat disimpulkan bahwa nursing home merupakan suatu fasilitas dalam bentuk rumah perawatan yang dijinkan oleh negara dan disediakan dengan tujuan memberikan pelayanan keperawatan dan kesehatan pada lansia dengan penyakit kronis dan/atau keterbatasan melakukan aktivitas sehari-hari.

Sesuai dengan pengertian diatas, nursing home memberikan pelayanan selama 24 jam pada lansia, yang selanjutnya disebut residen (lansia yang tinggal di nursing home) dengan rawat inap. Fungsinya, perawat dapat memberikan perawatan secara menyeluruh, mulai dari mengkaji, menganalisis, merumuskan diagnosa, memberikan intervensi, pengawasan/ supervisi, hingga mengevaluasinya secara berkelanjutan. Hal ini menjadi penting untuk melihat kestabilan dan perkembangan keadaan residen yang berada di nursing home. Demi kualitas pelayanan yang baik, nursing home menyediakan pelayanan keperawatan, medis, dan perawatan pemulihan. Contohnya yaitu pelayanan pemeriksaan gigi, konsultasi medis, terapi rehabitasi (okupasi dan fisik), serta podiatry. (Miller, 2004). Pelayanan akan diberikan dalam suatu jangka waktu, sesuai dengan usaha yang dilakukan residen untuk kembali memperoleh kemampuannya, misalnya kemampuan fungsionalnya seperti berjalan dan makan dengan mandiri.

Selanjutnya akan dibahas mengenai residen yang berada di nursing home. Seperti yang telah dibahas dalam pengertian nursing home yang dikemukakan oleh Roach, Miller dalam bukunya mendukung pernyataan Roach, bahwa kriteria dasar residen yang berada di nursing home yaitu lansia tersebut memerlukan perawatan berkelanjutan namun tidak cukup membutuhkan perawatan rumah sakit. (Miller, 2004; Roach, 2006). Maka dari itu lansia tersebut memilih atau disarankan untuk mendapatkan pelayanan dari nursing home. Pada dasarnya, residen masuk atau memilih pelayanan nursing home ini disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor tersebut seperti kemiskinan, wanita janda, tidak memiliki teman hidup, usia lanjut, saran dari Rumah Sakit, dalam kondisi terbaring dan tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari, gangguan status mental, penyakit kronis, kehilangan dukungan, dan ketidakmampuan dalam merawat diri. (Miller, 2004; Roach, 2006). Residen dengan kondisi demensia, memiliki penyakit jantung, dan hipertensi banyak memilih pelayanan nursing home untuk mendapatkan perawatan yang berkelanjutan. (Miller, 2004).

Nursing home dikategorikan menjadi dua bentuk pelayanan, yaitu skilled nursing dan long-term care. Skilled Nursing biasanya disebut dengan short-term-care berkaitan dengan perawatan yang diberikan pada residen setelah perawatan di Rumah Saki selama kurang lebih 6 bulan (Miller, 2004). Namun kebanyakan residen yang mendapatkan bentuk nursing home ini hanya mendapatkan pelayanan kurang dari 6 bulan. Lansia yang memilih atau berada dalam pelayanan skilled nursing merupakan lansia dengan kebutuhan perawatan yang membutuhkan keahlian atau keterampilan khusus, dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Pelayanan yang diberikan oleh fasilitas ini dilakukan oleh tenaga keperawatan yang terlatih, yaitu perawat yang teregister, perawat terlisensi/vokasional, dan asisten perawat (Roach, 2006; Potter & Perry, 2005). Pada umunya, biaya pelayanan perawatan dan kesehatan yang dikeluarkan oleh skilled nursing akan di bayarkan oleh program asuransi atau medicare (Miller, 2004; Potter & Perry, 2005; Mauk, 2006). Contoh bentuk pelayanan yang diberikan yaitu pemberian cairan IV, perawatan luka, pengelolaan ventilator jangka panjang, memberikan obat melalui oral, IM, SC, atau IV, dll. (Roach, 2006; Potter & Perry, 2005). Berbagai pelayanan ini diberikan hingga residen atau lansia dapat kembali ke rumah.

Selain itu ada long term care yang diberikan kepada residen dalam jangka waktu panjang (Mauk, 2006). Hal ini berkaitan dengan karakteristik dari residen yang berada pada bentuk layanan ini. Karakteristik dari residen yang memilih layanan ini yaitu lansia dengan penyakit kronis yang membutuhkan pendampingan dan bantuan saat melakukan aktivitas sehari-hari.(Miller, 2004; Potter & Perry, 2005). Dengan kata lain long-term-care diberikan pada lansia yang tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari dan perawatan secara mandiri. Oleh karena itu, pelayanan ini bersifat pemeliharaan kondisi klien. Bentuk pelayanan yang diberikan misalnya mandi, makan, berpakaian, terapi latihan pada lansia dengan penyakit kronik. Selain itu, perawat yang memberikan pelayanan pada long term care ini terdiri dari team leader, perawat restoratif, wellness nurse, dan director of nurse. (Miller, 2004). Tujuanya yaitu menciptakan lingkungan yang positif dan menumbuhkan semangat untuk hidup. Perawat diharapkan dapat menekankan bahwa tinggal dalam pelayanan long-term-care ini bukan akhir dari kehidupan mereka. Semangat dan dukungan harus diberikan, sehingga untuk ke depannya residen merasa bahwa mereka dapat melanjutkan kehidupan dengan lebih positif.

Bersamaan dengan perkembangan zaman, nursing home juga mengalami perkembangan. Saat ini terdapat pengkategorian nursing home yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus yang diperlukan oleh lansia yang terbagi dalam berbagai unit. Contoh dari unit tersebut yaitu dementia care units, alzheimers units. Selain itu, terdapat model dari nursing home yang telah berkembang yaitu Model Alternatif Eden. Model ini membuat lingkungan pelayanan nursing home seperti lingkungan rumah sendiri. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir tingkat kebosanan, kesepian, dan rasa kehilangan peran dalam lingkungan sosial saat berada di nursing home. beberapa cara yang dilakukan yaitu dengan adanya hewan peliharaan, tumbuhan, dan memperbolehkan residen untuk berinteraksi dengan anak-anak. (Miller, 2004).

1.1.3. Home Health Care

Home health care berfokus kepada klien dan keluarga. Menurut Depkes RI(2002), home care adalah sebagai pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu, keluarga, di tempat tinggal mereka. Memiliki tujuan antara lain meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan atau memaksimalkan kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit untuk mencapai kemampuan individu secara optimal selama mungkin yang dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan. Layanan tersebut diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien/keluarga yang direncanakan, dikoordinir, oleh pemberi layanan. Home care dibagi menjadi dua yaitu skilled home care dan long- term home care.

Skill home care adalah perawatan yang diberikan kepada klien yang hanya tinggal pemulihan setelah perawatan di rumah sakit. Pelayanan keperawata yang diberikan pada skilled home care yaitu medikasi, terapi IV, pemberian antibiotik secara intravena dan pelayanan kesehatan jiwa. Jenis perawatan skill home care antara lain pelatihan fisik, okupasi terapi, konsultasi masalah nutrisi, terapi berlatih bicara. Pelayanan kesehatan diberikan oleh tenaga kesehatan misalnya perawat atau terapis. Di sisi lain, long term home care adalah pelayanan keperawatan yang diberikan kepada lansia yang memiliki penyakit kronik. Long - term home care merupakan suatu sistem dari kegiatan-kegiatan terpadu yang dilakukan oleh tenaga profesional dan atau tenaga informal (keluarga, tetangga, pengasuh, relawan, atau kader-kader lainnya) bagi para lanjut usia yang tidak mampu atau kurang mampu dalam merawat diri sendiri dalam rangka menjaga kualitas hidupnya setinggi mungkin. Pelayanan yang diberikan pada log-term home care antara lain menyiapkan makanan, bantuan perawatan kesehatan diri, menemani pengobatan, dan berbelanja.

Jumlah lansia di Indonesia banyak, lansia perempuan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan lansia pria. Gambaran lansia di Indonesia antara lain ditinggal oleh anak anaknya merantau ke daerah lain, lebih bergantung kepada masyarakat dibandingkan dengan keluarganya, mempunyai peghasilan yang rendah atau bahkan bergatung pada orang lain (keluarga , pemerintah, atau bahkan sukarelawan). Seperti yang kita ketahui bahwa lansia mengalami perubahan pada semua sistem di tubuhnya, hal itu membuat lansia rentan sakit. Home care merupakan salah satu alternatif pelayanan ksehatan bagi lansia di Indonesia. Pelayanan kesehatan home care lebih murah daripada pelayanan kesehatan di rumah sakit. Skilled home care di Indonesia sudah di terapkan, lansia yang melakukan perawatan kesehatannya dirumah, misalnya saja untuk terapi medikasi contohnya lansia yang mengalami diabetes melitus. Perawat akan datang ke rumah klien untuk melakukan penyuntikan humulin atau melakukan perawatan luka diabetes melitus. Penggunaan pelayanan skilled home care biasanya dilakukan karena anggota keluarga dari klien tidak mengetahui bagaimana cara melakukannya. Skilled-home care ini dilakukan oleh petugas kesehatan khususnya perawat d3 atau S1, 24 jam pelayanan kesehatan, petugas kesehatan yang melakukan skilled home care harus sama, satu lansia satu perawat yang sama.

Pelayanan long-term home care di Indonesia hampir sama dengan skill home care di Indonesia, yang membedakan ialah yang memberikn layanan. Pemberi pelayanan long-term care di Indonesia adalah perawat komunitas. Lingkup long-term home care ini adalah tentang pemenuhan kebutuhan dalam aktivitas harian lansia, dan aktivitas sosial lansia. Long-term home care bisa bersifat sementara dan bisa terus menerus, tergantung pada tingkat kesehatan lansia. Indonesia mempunyai program untuk long-term home care yaitu pusaka. Pusaka adalah pusat santunan dalam keluarga. Pusaka ini lebih cenderung pemenuhan home care pada komponen sosial lansia. Pusaka ini di dukung oleh keluarga dan tetangga sekitar rumah. Kegiatan di pusaka ini juga bisa membantu lansia untuk mendapatkan penghasilan, kegiatan yang dilakukan antara lain memasak, membuat kerajinan tangan, dan memberikan bantuan. Pusaka ini juga mendirikan posyandu lansia.1.1.4. Community Setting

Komunitas adalah tempat dimana orang-orang tinggal, bekerja, dan bersosialisasi (Stanhope, 2000). Setiap orang adalah anggota dari sebuah komunitas, termasuk orang-orang lanjut usia (lansia) walaupun lansia tersebut memang sudah tidak bekerja. Di dalam komunitas, terdapat berbagai bentuk pelayanan kesehatan dan keperawatan, seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), klinik kesehatan, pusat konsultasi, dan lain-lain. Seiring berkembangnya zaman dan meningkatnya populasi lansia, sekarang ini mulai dikembangkan pusat-pusat pelayanan yang dikhusukan lansia. Hal ini dilakukan agar lansia tetap dapat mengaktualisasikan diri dan beraktivitas sesuai kemampuannya. Pusat-pusat pelayanan dan kesehatan tersebut juga menyediakan hal-hal khusus yang dibutuhkan oleh lansia.

Menurut Stanhope (2000) terdapat beberapa bentuk pelayanan kesehatan dan keperawatan lansia dengan setting komunitas. Bentuk-bentuk pelayanan tersebut antara lain senior center (pusat lansia), adult day health, home health, hospice, assisted living, dan nursing homes (panti werda). Berbagai bentuk pelayanan tersebut diatur berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda pada masing-masing lansia di komunitas.a. Senior center (Pusat lansia) dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan rekreasi dan aktivitas sosial bagi lansia. Seiring dengan perkembangan zaman, pusat lansia tidak hanya dijadikan sebagai tempat rekreasi dan bersosialisai tetapi berkembang menjadi pusat pendidikan, konseling, dan terapi manajemen kasus. Pada Pusat lansia ini, perawat berperan sebagai penyedia layanan keperawatan bagi lansia yang ingin tetap hidup secara mandiri.

b. Adult Day Health disediakan bagi lansia yang membutuhkan perhatian lebih baik secara fisik maupun mental. Biasanya lansia datang ke tempat ini pada siang hari dan kembali ke keluarganya pada malam hari. Tempat ini disediakan agar keluarga sebagai pemberi asuhan utama dapat beraktivitas pada siang hari dan dapat merawat lansia pada malam hari. Pada layanan ini perawat berperan sebagai kelompok pendukung bagi keluarga sebagai pemberi asuhan.

c. Home Health merupakan pusat pelayanan lansia yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Peran perawat pada sistem pelayanan ini adalah mengkaji kebutuhan lansia secara individu dan lingkungannya dan melaukan perawatan secara langsung sesuai keahlian. Sedangkan hospice merupakan pelayanan yang disedikan untuk mendukung kebutuhan hidup lansia saat menjelang ajal. Dalam pelayanan ini, perawat bekerjasama dengan keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosi, spiritual, dan menunjang kenyamanan lansia agar dapat melewati proses kematian dengan damai.

d. Assisted living merupakan fasilitas yang disediakan bagi lansia untuk menunjang hidupnya. Pilihan fasilitas yang disediakan beragam dan disesuaikan dengan pilihan masing-masing lansia dan keluarga. Pada bentuk layanan ini, perawat berperan untuk melakukan asuhan keperawatan, memberikan edukasi, dan advokasi bagi lansia.

e. Nursing homes merupakan fasilitas layanan keperawatan jangka panjang untuk lansia. Nursing homes berbeda dengan panti werdha. Panti werdha hanya berorientasi pada kebutuhan sosial lansia sedangkan nursing homes fokus terhadap kebutuhan lansia secara holistik. Di Indonesia sendiri, panti werdha dikelola oleh kementrian sosial Republik Indonesia dengan nama Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). Pengelolaan panti sosial tresna werdha ini berada di bawah Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Saat ini jumlah PSTW di Indonesia masih belum sebanding dengan jumlah keseluruhan lansia di Indonesia. Menurut data kemensos tahun 2010 terdapat 235 unit PSTW yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah lansia yang ditangani 11.397 orang sedangkan jumlah lansia keseluruhan menurut pusdatin kemensos sekitar 16,5 juta jiwa. Oleh karena itu, sekarang mulai dikembangkan home care untuk mendampingi lansia yang dirawat di rumah.

Sedangkan, menurut Miller (2012) beberapa bentuk layanan kesehatan dan keperawatan bagi lansia berbasis komunitas antara lain adult day center, respite service, parish nursing service, dan program promosi kesehatan bagi lansia.

a. Adult Day Center merupakan program yang ditujukan kepada lansia yang memiliki ketergantungan dalam aktivitasnya. Program ini menyediakan layanan untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun rekreasi bagi lansia. Tujuan utama dari pusat layanan ini adalah untuk mempertahankan atau meningkatkan kemampuan lansia yang telah mengalami penrunan fungsional dan memberikan dukungan terhadap pemberi asuhan (keluarga), serta meningkatkan kualitas hidup lansia dan pemeri asuhan.

b. Respite center merupakan program yang memberikan layanan kepada lansia pada siang hari dan memberikan kesempatan kepada pemberi asuhan untuk melakukan perawatan pada lansia pada malam hari. Tujuan dari respite center ini adalah untuk menghindarkan stress pada pemberi asuhan lansia dalam tanggungjawabnya merawat lansia tersebut. Terdapat beberapa tipe respite care antara lain adult day care, perawatan di rumah jangka pendek, dan penyediaan bantuan kesehatan di rumah.

c. Promosi kesehatan ini biasanya juga terdapat di berbagai layanan kesehatan yang sudah tersedia, seperti pada pusat lansia, panti werdha, adult daycare, dan lain-lain. Promosi kesehatan yang dilakukan kepada lansia antara lain dalam bentuk pendidikan kesehatan mengenai menghindari rokok dan mengemudi dengan aman, perlunya pemeriksaan kesehatan yang berkala, tanda-tanda penyakit, dan sebagainya. Promosi kesehatan yang dilakukan terkadang juga secara spesifik mengarah ke suatu penyakit, misalnya kanker. Dengan promosi kesehatan ini, lansia juga diajak hidup dengan lebih sehat misalnya berolahraga secara teratur dan makan dengan diet sehat. Dengan demikian, program ini dapat memberikan promosi kesehatan yang berharga untuk lansia dan pada saat yang sama dapat meningkatkan basis potensi pasien bagi penyedia layanan kesehatan.1.9 Demografi Lanjut Usia di Indonesia dan Kota Depok

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan yaitu meningkatnya usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, jumlah penduduk lanjut usia akan bertambah. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Saat ini jumlah penduduk lansia di Indonesia sudah mencapai angka 28,82 Juta jiwa (BPS,2009 ) Jumlah penduduk lansia baik di Indonesia maupun di negara lain mengalami peningkatan yang pesat. Saat ini Indonesia menduduki posisi ke-4 dunia setelah India, Cina, dan jepang.

Peningkatan jumlah lansia pada negara berkembang terjadi pada tahun 1950-2000 meningkat sekitar 6,0 persen menjadi 7,1 persen. Sedangkan dari tahun 2000 sampai 2050 diperkirakan akan meningkat dari 7,1 persen menjadi 22 persen (UN, 2006). Dari data di atas peningkatan persentase populasi lansia di negara berkembang sebesar 3000 persen. Berbeda dengan negara berkembang seperti di Indonesia, negara - negara maju sepert Belanda, Singapura imengalami peningkatan jumlah lansia sebelum tahun 2000.

Berikut ini adalah tabel yang menunjukan jumlah penduduk lansia pada tahun 2005 hingga 2014. Tabel 2.1

Tabel Jumlah Penduduk Lansia pada Tahun 2005 Hingga 2014

TahunJumlah Lansia / %Persebaran : Pedesaan/perkotaanJenis KelaminPersebaran

PedesaanPerkotaanLPYogyaJatengDepokPapua

200516,80 juta10,36 juta6,44 juta8,04 juta8,79juta

200718,96 juta11,80 juta7,16 juta8,77 juta10,19 juta

200919, 32 Juta (8,37%)10,96 Juta8,36 Juta

8,88

Juta10,46

Juta14,02 %10,99 %7 %2,16%

201023, 99Juta

(9,77 %)8,6 %

201326,87juta

( 9,96 %)

10 %

201428,82 Juta

(11,34%)

Sumber : susenas 2009Diagram 2.1Diagram Peningkatan Presentase Penduduk Lansia

Lanjut usia yang sudah mengalami penuaan, akan mengalami penurunan fungsi organ tubuh secara alami, penyakit, atau faktor risiko lainnya sehingga akan sangat mempengaruhi aspek kesehatan, sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Begitu juga sebaliknya, berbagai faktor tersebut dapat memengaruhi kehidupan lanjut usia. . Usia harapan hidup merupakan angka yang menunjukkan besar jumlah lansia yang mampu bertahan hidup. Pada tahun 2012 jumlah penduduk lansia sekitar 18,55 juta orang atau 7,78 % dari total penduduk Indonesia. Rata-rata Angka Harapan Hidup pada saat lahir (eo) adalah hasil perhitungan proyeksi yang sering dipakai sebagai salah satu Indikator Kesejahteraan Rakyat. Dengan asumsi kecenderungan Angka Kematian Bayi (AKB) menurun serta perubahan susunan umur penduduk seperti telah diuraikan di atas maka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki dan perempuan) naik dari 67,8 tahun pada periode 2000-2005 menjadi 73,6 tahun pada periode 2020-2025. Dalam Tabel 3.7 juga terlihat bahwa variasi harapan hidup menurut provinsi tidak terlalu besar pada awal tahun proyeksi, angka harapan hidup terendah 60,9 tahun untuk Nusa Tenggara Barat dan tertinggi 73,0 tahun untuk DI Yogyakarta. Pada akhir periode proyeksi variasi itu menjadi berkisar antara 70,8 tahun 75,8 tahun untuk provinsi-provinsi yang sama seperti pada awal proyeksi. (Data statistik Indonesia)Tabel 2.2Estimasi Angka Harapan Hidup (eo) menurut Provinsi, 2000-2025Propinsi

Periode

2000-2005(2002)

2005-2010(2007)

2010-2015(2012)

2015-2020(2017)

2020-2025(2022)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

11. NANGGROE ACEH DARUSSALAM

67.2

67.3

69.2

71.1

72.8

12. SUMATERA UTARA

68.6

70.5

72.1

73.2

74.0

13. SUMATERA BARAT

66.8

69.2

71.2

72.8

73.8

14. RIAU

68.0

70.1

71.9

73.2

74.0

15. JAMBI

67.0

69.1

70.8

72.0

72.9

16. SUMATERA SELATAN

66.9

69.2

71.2

72.7

73.6

17. BENGKULU

66.8

68.9

70.7

72.3

73.4

18. LAMPUNG

67.9

70.1

71.8

73.1

73.8

19. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

66.9

69.0

70.8

72.1

73.0

31. DKI JAKARTA

73.0

74.0

74.7

75.4

75.8

32. JAWA BARAT

66.6

69.0

70.9

72.3

73.2

33. JAWA TENGAH

68.9

71.0

72.6

73.6

74.2

34. D I YOGYAKARTA

73.0

74.0

74.7

75.4

75.8

35. JAWA TIMUR

67.8

70.0

71.9

73.2

73.9

36. BANTEN

64.6

67.3

69.4

70.9

71.9

51. B A L I

70.6

72.4

73.5

74.2

74.6

52. NUSA TENGGARA BARAT

60.9

64.4

67.2

69.3

70.8

53. NUSA TENGGARA TIMUR

66.1

68.4

70.3

71.9

72.9

61. KALIMANTAN BARAT

66.1

68.5

70.4

71.7

72.5

62. KALIMANTAN TENGAH

67.8

70.0

71.7

72.6

73.0

63. KALIMANTAN SELATAN

64.1

66.9

69.2

70.9

72.1

64. KALIMANTAN TIMUR

69.6

71.6

73.1

74.1

74.6

71. SULAWESI UTARA

72.3

73.6

74.4

75.1

75.6

72. SULAWESI TENGAH

64.5

67.0

69.1

70.8

72.0

73. SULAWESI SELATAN

66.3

68.8

70.9

72.4

73.3

74. SULAWESI TENGGARA

66.9

69.1

70.8

72.1

72.9

75. GORONTALO

66.3

68.7

70.7

72.0

72.8

81. M A L U K U

65.3

67.7

69.8

71.3

72.5

82. MALUKU UTARA

63.3

66.3

68.7

70.5

71.9

94. PAPUA

66.1

68.4

70.3

71.8

72.7

Menurut Badan Pusat Statistik, persentase penduduk lansia yang telah mencapai angka di atas 7%, menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ke kelompok negara berstruktur tua (ageing population). Provinsi dengan persentase lansia > 7% pada tahun 2012 (Setiawan, 2012).Tabel 2.3Tabel Penyebaran dan Presentase Penduduk Lansia di IndonesiaProvinsi & PersentaseProvinsi & Persentase

Yogyakarta (12,99 %)Sumatera Barat (8,09 %)

Jawa Timur (10,37 %)Nusa Tenggara Timur (7,47 %)

Jawa Tengah (10,35 %)Nusa Tenggara Barat (7,23 %)

Bali (9,79 %)Lampung (7,22 %)

Sulawesi Utara (8,47 %)Jawa Barat (7,05 %)

Sulawesi Selatan (8,34 %)

Hasil susenas (survei sosial ekonomi nasional) 2012 menunjukkan bahwa angka rasio ketergantungan penduduk lansia pada tahun 2012 sebesar 12,01. Angka rasio sebesar 12,01 menunjukkan bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 12 orang penduduk lansia. Angka ketergantungan pada lansia dapat dipengaruhi faktor pendidikan lansia. Bila dilihat dari segi pendidikan lansia, hasil susenas 2012 menunjukkan pendidikan penduduk lansia relatif masih rendah, dimana penduduk lansia yang berpendidikan rendah persentasenya relatif masih tinggi.

Menurut survei BPS 2012, lansia yang berpendidikan tamat SD sebesar 24,00 %.. Persentase penduduk lansia yang menamatkan pendidikan sampai jenjang SMP hanya sebesar 6,23%, dan SMA sebesar 9,86 %. Kondisi ini hampir terjadi di semua provinsi. Persentase tertinggi lansia yang tidak atau belum pernah sekolah terdapat di Nusa Tenggara Barat (51,73%). Sebaliknya persentase penduduk lansia terendah yang tidak atau belum pernah sekolah terdapat di Sulawesi Utara (1,81%). Sejalan dengan tingginya lansia yang tidak menamatkan SD dan belum pernah sekolah, angka buta huruf penduduk lansia juga cukup tinggi yaitu sebesar 30,44 % dari total keseluruhan penduduk lansia. Sama dengan pendidikan, angka buta huruf lansia tertinggi berada di Nusa Tenggara Barat (57,56%) dan terendah berada di Sulawesi Utara (4,28%).

Dari segi kesehatan, secara umum derajat kesehatan penduduk lansia masih rendah. Bila dilihat berdasarkan kelompok umur, semakin tinggi kelompok umur lansia maka persentase yang mengalami keluhan kesehatan semakin besar, yaitu kelompok umur 45-59 tahun (35,54 %), 60-69 tahun (47,53 %), 70-79 tahun (57,15%) dan 80 ke atas (63,93%). Tingginya persentase penduduk lansia yang mengalami keluhan kesehatan (sekitar separuh dari populasi lansia) ditemukan hampir di semua provinsi. Persentase tertinggi berada di Gorontalo (66,99 %) dan terendah berada di Kepulauan Riau (42,17%). Bila dilihat perkembangannya, derajat kesehatan penduduk lansia mengalami peningkatan. Angka kesakitan penduduk lansia pada tahun 2008 sebesar 29,30% turun pada tahun 2010 menjadi 28,86%, dan angkanya menurun lagi pada tahun 2012 menjadi 26,85%. Berdasarkan data di bawah ini, lansia yang berumur 55-64 tahun mayoritas mengalami penyakit sendi, umur 65-74 tahun dan 75 tahun mengalami hipertensi. Tabel 2.4Tabel Masalah Kesehatan Lansia Menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Tahun 2007Jenis Penyakit55 64 thn65 74 thn 75 thn

Penyakit sendi56,462,965,4

Hipertensi 53,763,567,3

Katarak 28,841,951,6

Stroke 20,231,941,7

Jantung 16,119,220,4

Gangguan mental emosional 15,923,333,7

DM3,73,43,2

Pada variabel kesehataan, setengah dari populasi lansia di setiap provinsi mempunyai keluhan kesehatan. Lansia yang berumur 55-64 tahun mayoritas mengalami penyakit sendi, umur 65-74 tahun dan 75 tahun mengalami hipertensi. secara mayoritas, kesehatan lansia akhir pada kondisi yang kronik dan penurunan fungsi tubuh, mengalami penurunan jumlah keluhan pada masa awal lansia, namun memasuki dewasa pertengahan (middle-aged adults) dan dewasa akhir atau lansia (older adults) banyak lansia yang mengalami penyakit kronik, seperti hipertensi (Manton, 2008; Martin,, Freedman, Schoeni, & Andreski, 2009 dalam Miller, 2012). Keadaan ini hanya terjadi pada lansia dan dikenal dengan comorbidity (Ferucci, Giallauria, & Guralnik, 2008 dalam Miller, 2012). Oleh karena itu, peran perawat sangat dibutuhkan dalam pemeliharaan kesehatan dan pemberdayaan lansia yang lebih produktif. Selain peran pemerintah, keluarga maupun faktor lingkungan juga yang sangat mendukung dalam perkembangan lansia menuju hidup yang lebih berkualitas.

Jika ditinjau dari status perkawinannya, status kawin 59,24%, belum kawin 0,97%, cerai hidup 2,21%, dan cerai mati 37,57%. Persentase pada perkotaan sedikit lebih tinggi daripada di pedesaan. Secara umum, persentase belum kawin lebih tinggi pada perempuan, sedangkan persentase kawin lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini menunjukkan jumlah perempuan yang jauh lebih banyak daripada laki-laki. Persentase cerai hidup lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan karena laki-laki yang bercerai cenderung menikah lagi. Persentase cerai mati juga lebih tinggi pada perempuan karena perempuan memiliki usia harapan hidup yang lebih tinggi .

Dari segi produktifitas, berdasarkan data Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) pada Agustus 2012, masih banyak penduduk lansia yang tergolong produktif. dari keseluruhan penduduk lansia sekitar 45,72% diantaranya masih bekerja. kondisi yang sama terlihat baik di daerah perkotaan maupun perdesaan yaitu masing-masing 37,39 % dan 53,66 %. mayoritas penduduk lansia yang bekerja adalah lansia laki-laki, sedangkan lansia perempuan lebih banyak yang mengurus rumah tangga.

Penduduk lansia yang masih produktif dapat dilihat dari perbandingan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), antara lansia dengan penduduk yang masih bekerja dengan usia yang produktif. Tahun 2012, TPAK penduduk lansia relatif cukup besar yaitu sebesar 45,99 %. TPAK penduduk lansia tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (55,14 %) dan terendah terdapat di DKI Jakarta (35,19%). Berdasarkan tiga kelompok sektor ekonomi, mayoritas penduduk lansia bekerja pada sektor pertanian yaitu sebesar 61,64%. sementara itu, hanya moniritas dari lansia yang bekerja di sektor jasa (28,01 %) dan sektor industri (10,35 %).

Berdasarkan usia harapan hidup, pendidikan, kesehatan, serta status produktifitas lansia. Hampir seluruh aspek mengalami kemajuan, walaupun pada pendidikan masih belum mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan usia harapan hidup pada lansia dipengaruhi oleh peningkatan kualitas kesehatan dan kondisi sosial masyarakat yang mendukung. Hal ini dapat dilihat berdasarkan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) pada setiap tahunnya. Pada variabel produktifitas, tingginya persentase lansia yang bekerja di sektor pertanian antara lain terkait dengan tingkat pendidikan penduduk lansia yang pada umumnya masih rendah. lebih dari 90% penduduk lansia yang berpendidikan tamat SD ke bawah bekerja di sektor pertanian. Di sisi lain, penduduk lansia yang berhasil menamatkan pendidikannya sampai SMA ke atas hanya sekitar 3,13 % yang bekerja di sektor pertanian (BPS 2012).

Jika ditinjau menurut pekerjaan, angka bekerja mencapai 47,44% dan tidak bekerja 52,56%. Persentase yang bekerja lebih tinggi di pedesaan daripada di kota karena lansia di pedesaan cenderung lebih aktif untuk bekerja dan tidak mau diam di rumah. Sedangkan lansia di kota lebih banyak di rumah karena anaknya khawatir lansia akan mendapatkan bahaya atau banyaknya lansia yang menetap di panti werdha. Tingginya persentase lansia yang bekerja menunjukkan bahwa lansia masih banyak yan produktif untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, memanfaatkan waktu luang, atau menjaga kesehatan. Selain itu, masih banyak sarana dan prasarana transportasi maupun tempat yang mendukung lansia. Oleh karena itu, pembangunan bidang ketenagakerjaan juga ditujukan kepada lansia yang masih potensial dengan memerhatikan usia, kearifan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kondisi fisiknya.

Jadi, jumlah lansia di Indonesia semakin bertambah setiap tahunnya. Dari hasil survei menunjukkan bahwa masih banyak lansia yang aktif bekerja dan cukup produktif. Banyak lansia juga yang berstatus kawin, namun banyak juga yang cerai mati dan cerai hidup karena faktor usia. Banyak lansia yang mengalami penurunan kesehatan, kebanyakan karena hipertensi dan penyakit sendi. Tingkat pendidikan juga terbilang rendah. Oleh karena itu, sebaiknya kesejahteraan lansia dapat ditingkatkan lagi melalui program pemerintah, partisipasi keluarga, dan tenaga kesehatan.1.10 Tugas Perkembangan Keluarga dengan Lansia

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman,1998). Dalam suatu keluarga seiring dengan berjalannya waktu terdapat suatu siklus kehidupan yang menunjukkan adanya suatu perubahan. Perubahan tersebut menunjukkan keberadaan anggota keluarga yang tumbuh dan berkembang sesuai pertambahan umur manusia.

Menurut Duvall dan Miller (1985) dalam Stolte (2001) menyebutkan delapan siklus atau tahapan kehidupan keluarga yaitu keluarga baru, keluarga dengan kelahiran anak, keluarga dengan anak prasekolah, keluarga dengan usia anak sekolah, keluarga dengan anak remaja, keluarga yang menghasilkan dewasa muda, keluarga usia menengah dan yang terakhir adalah keluarga dengan lansia. Anggota keluarga akan menjadi tua dan regenerasi anggota keluarga akan terjadi, sehingga pada setiap tahap kehidupan keluarga akan terdapat tugas perkembangan keluarga tersendiri. Saat anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah ada yang menjadi lanjut usia (lansia) maka keluarga tersebut masuk dalam kategori keluarga dengan lansia.

Batasan lansia menurut WHO meliputi, usia pertengahan (middle age) yaitu usia antara 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (eldery) yaitu usia antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu usia antara 76 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) yaitu usia diatas 90 tahun (Depkes, 2003). Saat seseorang memasuki usia lanjut maka orang tersebut akan mengalami berbagai penurunan dalam kehidupannya, sebagai contoh yaitu penurunan fisik, penurunan afektif, dan penurunan kognitif. Penurunan fungsi tersebut jelas dapat menurunkan kemampuan lansia dalam menjalani kehidupannya. Sehingga hal tersebut membutuhkan bantuan dan perhatian dari anggota keluarga lain untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal yang akan dijelaskan dalam tulisan ini adalah tugas perkembangan keluarga dengan lansia, yang berarti tugas anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah bersama lansia untuk mengasihi, merawat anggota keluarganya yang berusia lanjut tersebut.

Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata anggota keluarga memberikan sebanyak 80% total perawatan kepada anggota keluarga lansia mereka (Miller, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa tugas keluarga dalam merawat anggota keluarga mereka yang lansia adalah sesuatu yang mayoritas dijalankan dalam masyarakat. Berdasarkan Depkes RI (2005) menyatakan peran keluarga dalam pembinaan lansia antara lain:a. Memberi dorongan, kemudahan dan fasilitas bagi lansia untuk mengamalkan kemampuan dan kearifan yang dimiliki. Keterbatasan fisik yang dialami oleh lansia harus diimbangi dengan penyediaan sarana dan fasilitas yang mendukung, seperti penempatan lansia di kamar yang tidak memmiliki tangga sehingga meminimalisir terjadinya injury.b. Mengembangkan kehidupan beragama. Keluarga menjadi tempat untuk meningkatkan spiritualitas lansia untuk memanfaatkan sisa kehidupan dengan lebih dekat pada Tuhan, sehingga kehidupan lansia menjadi damai dan sejahtera. Anggota keluarga menjadi pembimbing untuk sarana peningkatan spiritualitas lansia agar terjaga ataupun makin meningkat.c. Pembinaan fisik /mental. Keluarga melakukan pembinaan mental ketika lansia mengalami suatu masalah. Misalnya ketika lansia masih merasa sedih dengan keterbatasan fisik yang dialami, keluarga harus mampu membuat lansia tersebut menerima dan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. d. Pembinaan sosial ekonomi dan budayaHal ini sebenarnya menjadi tugas pokok seluruh keluarga untuk kesejahteraan keluarganya. Tidak terkecuali pada lansia hal tersebut juga menjadi kewajiban pokok. Sebagai contoh dalam pemenuhan biaya kesehatan lansia sepenuhnya menjadi tugas keluarga.

Tugas perkembangan keluarga dengan lansia menurut Malagya (2009) adalah sebagai berikut :

a. Mengenal masalah kesehatan lansia. Dengan mengenal permasalahan lansia khususnya dalam hal kesehatan, keluarga akan mampu memutuskan kebijakan apa yang akan diambil untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang terjadi pada lansia. Akan tetapi pada dasarnya keputusan yang diambil harus mengikut sertakan pendapat lansia, agar lansia merasa dihormati dan diakui keberadaannya.

b. Mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada lansia. Pengambilan keputusan yang rumit seperti segala hal yang menyangkut kehidupan lansia menjadi tugas keluarga. Mengingat terjadinya penurunan kognitif yang dialami oleh lansia sehingga tidak memungkinkan untuk memeberikan keputusan akan hal yang rumit.

c. Merawat anggota keluarga lansia. Keluarga harus merawat dan mangasihi anggota keluarga lansia dengan sepenuh hati. Mengingat mereka memiliki keterbatasan fisik yang membutuhkan keberadaan anggota keluarga lain untuk melakukan aktivitas. Sebagai contoh lansia dengan stroke membutuhkan bantuan penuh dari keluarga untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti makan, mandi, buang air, dll.

d. Memodifikasi lingkungan fisik dan psikologis sehingga lansia dapat beradaptasi terhadap proses penuaan tersebut. Sebagai contoh lansia diberikan kamar yang nyaman dan bebas kebisingan agar keadaan psikologisnya tidak terganggu dengan stres yang timbul dari kebisingan tersebut. Kamar di desain dengan aman, seperti tanpa tangga sehingga memudahkan lansia untuk melakukan kegiatan.

e. Menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan dan sosial dengan tepat. Dalam hal ini keluarga menjadi penyedia dana dan menjadi tempat untuk menentukan pelayanan kesehatan jenis apa yang sesuai dengan kebutuhan lansia.

Secara garis besar keluarga merupakan support system bagi lansia dalam hal mempertahankan kesehatan, penurunan fisik, afektif serta kognitifnya. Tugas perkembangan keluarga dengan lansia antara lain menjaga atau merawat lansia, mempertahankan dan meningkatkan status mental, mengantisipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan motivasi dan memfasilitasi spiritual lansia, hal tersebut sudah selayaknya dilakukan keluarga sebagai suatu tanggungjawab, agar lansia menjadi kuat, tidak merasa terabaikan dan merasa dihargai di sisa akhir kehidupannya.1.11 Tugas Perkembangan Pada Individu Lansia

Setiap menjalani fase kehidupan setiap individu pasti memilki tugas- tugas pertumbuhan dan perkembangan yang harus dilewati. Pada setiap tahap kehidupan tugas perkembangan yang dijalani berbeda dengan yang lain, jika di tahap perkembangan diawal kehidupan semuanya bertambah dan bertambah akan tetapi pada lansia akan terjadi penurunan di berbagai fungsi baik fisik maupun psikososial. Menua merupakan proses yang universal dan bersifat alamiah terjadi pada setiap orang. Namun kecepatan seseorang untuk menua, serta respon dalam menghadapi berbagai peristiwa penuaan bermacam-macam, tidak semua orang sama. Budaya yang berkembang di masyarakat sangat mempengaruhi seseorang dalam berespon menghadapi penuaan yang dialaminya.

Untuk mencapai kualitas hidup yang baik, setiap orang harus mempersiapkan diri dengan baik, begitupun dengan lansia (lanjut usia). Seiring tahap kehidupan, lansia memiliki potensi untuk melanjutkan pertumbuhan yang telah mereka mulai sejak awal kehidupan. Begitu pula dengan perkembangan, perkembangan merupakan proses seumur hidup dan dapat terjadi dalam bentuk perubahan penampilan dan fungsi serta penuaan sistem tubuh. Adanya perubahan tersebut bukan merupakan proses patologis akan tetapi merupakan hal yang normal.

Terdapat macam -macam teori yang berkaitan dengan tugas perkembangan individu pada lansia, namun penulis akan menjabarkan 3 teori tugas perkembangan yaitu, Erickson, Duval dan Havighurst,. Tiga teori tersebut memiliki perbedaan dan karakter sendiri dalam mengidentifkasi tugas perkembangan individu lansia.

Pada teori Ericson, teori perkembangan adalah tantangan atau kebutuhan untuk menghadapi setiap tahap dari delapan pengelompokan usia dan menyatakan bahwa ego dicapai jika setiap tahapan tersebut dapat terselesaikan dengan sempurna. Kepuasan hidup dapat terjadi jika dapat menyelesaikan atau melewati tiap tahapan yang ditandai dengan konsep diri positif dan sikap positif terhadap lingkungan. Tabel 2.5Tabel Tahap Perkembangan Menurut Erickson (Paula, 2000)Tahap perkembanganTingkat usia

Trust vs mistrustMasa bayi

Autonomy vs shame, doubtToddler

Initiative vs guiltPrasekolah

Industry vs inferiorityUsia sekolah

Identity vs identity confusionMasa remaja

Intimacy vs isolationDewasa muda

Generativity vs stagnationMasa dewasa

Ego integrity vs despairLansia

Sesuai dengan tahap perkembangan Erickson, berarti lansia berada pada tahap perkembangan Ego integrity vs despair. Menurut Erickson masa lansia dimulai usia 60tahun hingga 65 tahun. Pada tahap ini telah memiliki kesatuan atau integritas pribadi, semua yang dikaji dan dialami menjadi cerminannya. Integritas adalah penerimaan terhadap satu-satunya siklus kehidupan sebagai sesuatu yang harus terjadi dan tidak boleh digantikan( Stanley, 2007) Seseorang yang mencapai tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya, tugas utama pada lansia adalah integritas dan berupaya menghilangkan rasa putus asa. Putus asa kemungkinan terjadi karena beberapa keinginan yang belum tercapai pada tahap sebelumnya. Dari penjelasan tersebut, kita simpulkan bahwa tugas lansia adalah menyesuaiakan dan menerima diri sebagai lansia dari pembelajaran di tahap-tahap sebelumnya, penyesuaian dan penerimaan tersbut akan mencapai sebuah kepuasan yang diceriminkan dengan prilaku positif individu.

Tahap akhir dari perkembangan Erickson yaitu integritas versus keputusasaan digambarkan dengan tiga tugas-tugas perkembangan atau isu-isu yang dihadapi lansia, yaitu:

a. Diferensiasi versus kesibukan dengan peran (Differentiation versus preoccupation). Individu lansia harus mendefinisikan nilai diri dalam istilah yang berbeda dari peran-peran kerja. Individu lansia perlu mengejar serangkaian aktivitas yang bernilai sehingga dapat mengisi waktu yang sebelumnya diisi dengan pekerjaan dan mengasuh anak.

b. Kekuatiran pada tubuh versus kesibukan pada tubuh (Body transcendence versus body preoccupation). Individu lansia harus mengatasi penurunan kesehatan fisik. Seiring dengan proses menua, individu lansia mungkin menderita penyakit kronis dan tentu saja penurunan kapasitas fisik. Bagi pria dan wanita yang identitasnya berkisar di sekitar kesehatan fisik, penurunan kesehatan dan kerusakan kapasitas fisik akan menghadirkan beberapa ancaman bagi identitas diri dan perasaan akan kepuasan hidup. Namun, beberapa individu lansia menikmati hidup melalui hubungan-hubungan antar manusia yang memberi kesempatan untuk keluar dari kesibukan dengan tubuhnya.

c. Melampaui ego versus kesibukan dengan ego (Ego transcendence versus ego preoccupation). Individu lansia harus menyadari bahwa saat kematian tidak dapat dihindari dan mungkin waktunya tidak terlalu lama, merasa tentram dengan dirinya dengan menyadari individu lansia telah memberikan sumbangan untuk masa depan melalui pengasuhan yang kompeten terhadap anak-anak atau melalui pekerjaan dan ide-ide yang dimiliki oleh lansia.

Berbeda halnya dengan teori Duvall, teori ini mengilustrasikan prilaku keluarga yang umum dan diharapkan dapat membantu individu pada tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan individu tersebut (Paula, 2000). Terdapat delapan tahap pada teori Duvall, yaitu, memulai keluarga, keluarga yang baru dan memiliki anak, keluarga yang memiliki anak prasekolah, keluarga yang memiliki anak sekolah, keluarga yang memiliki anak remaja, menetapkan keluarga inti, keluarga paruh baya, dan keluarga lansia. Tahap terakhir dari teori Duvall adalah keluarga lansia, tahap ini dimulai dari pensiunan, dilanjutkan dengan kematian pasangan pertama, dan diakhiri dengan kematian pasangan yang kedua. Tugas lansia adalah menemukan energy dan motivasi yang cukup untuk mencari dan terlibat dalam aktivitas waktu luang yang menyenangkan di dalam keterbatasan finansial dan kesehatan. Tugas penting lainnya adalah menyesuaiakan diri dari tahap lansia dengan mengubah gaya hidup dan menerima kematian teman dan pasangannya. Dapat dismpulkan bahwa, teori Duvall berfokus pada prilaku individu terhadap keluarganya sebagai tugasnya. Tugas dari seorang lansia adalah mensyukri dirinya sebagai lansia dengan menikmati waktu luang dan menerima kondisinya sebagai lansia.

Selanjutnya teori menurut Havighurst, pada teori ini dan mempercayai bahwa pada tahap lansia, individu masih memiliki pengalaman-pengalaman baru dan situasi-situasi baru untuk dihadapi. Lansia akan mengalami penyesuaian terhadap efek penyakit kronis, kehilangan pasangan atau kelompok tertentu dan lain sebaginya. Kondisi penyesuaian tersebut, merupakan sebuah proses perkembangan yang dialami lansia Tugas utama pada lansia adalah mengklarifikasi, memperdalam, dan menemukan fungsi dirinya yang sudah diperoleh dari proses belajar dan beradaptasi seumur hidup. Selain itu, teori ini mempercayai bahwa perkembangan pada lanjut usia sangat penting untuk mempermudah dan meningkatkan kesehatan.

Selain itu dijelaskan juga bahwa tugas perkembangan adalah tugas tugas yang muncul dari atau pada periode tertentu dalam kehidupan individu , pencapaian yang berhasil dilakukan akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan pada tugas-tugas yang akan datang tetapi jika pencapaian tersebut gagal, akan membawa individu tersebut kearah ketidakbahagiaan, tidak disetujui oleh masyarakat dan kesulitan menyelesaikan tugas (Stanly & Beare,2007 ). Hal ini menjelaskan bahwa ada hal unik yang harus dilewati oleh setiap individu disetiap tahap usianya dan yang akan berpengaruh kepada kehidupan kedepannya. lansia (1) menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik dan kesehatan, (2) menyesuaikan terhadap masa pensiun dan penurunan atau penetapan pendapatan, (3) menyesuaikan terhadap kematian pasangan, (4) menerima diri sendiri sebagai individu lansia, (5) mempertahankan kepuasan pengaturan hidup, (6) mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa, dan (7) menemukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup (Mary & Carolin (2008), Potter dan Perry (2005)).

Pensiun adalah tahap kehidupan yang memiliki ciri adanya transisi dan perubahan peran, yang dapat menyebabkan stres psikososial. Stres ini meliputi perubahan peran pada pasangan atau keluarga. Lansia umumnya pensiun dari pekerjaan purna waktu, oleh karena itu lansia perlu untuk menyesuaikan dan membuat perubahan sebagai akibat dari hilangnya peran bekerja. Pada saat lansia sudah berada dalam tahap pensiun, bukan berarti tidak ada lagi peran yang dapat dilakukan oleh lansia. (1) berpartisipasi dalam konsultasi atau aktivitas sukarela, (2) mencari minat dan hobi baru, dan (3) melanjutkan pendidikan, merupakan beberapa contoh kegiatan yang dapat direncanakan dan dilakukan lansia pada saat memasuki tahap pensiun, dengan harapan lansia dapat menyesuaikan dengan lebih baik. (Potter dan Perry, 2005). Masa pensiun telah diantisipasi, meskipun kebanyakan lansia di atas garis merah kemiskinan, sumber finansial secara jelas mempengaruhi pencarian dalam masa pensiun.

Kelahiran dan kematian adalah universal, tetapi juga merupakan kejadian yang unik dalam hidup. Sebagian besar lansia dihadapkan pada kematian pasangan, teman, dan mungkin anaknya. Sebagian lansia sulit untuk menerima dalam proses kehilangan ini. Dengan pengetahuan dan keterampilannya, perawat dapat membantu membuat proses berduka sebagai penyelesaian dan pertumbuhan sambil memperoleh dukungan, pengertian dan bantuan keluarga dan teman klien (Potter dan Perry, 2005).

Perubahan fisik yang terjadi pada lansia kadang tidak diterima oleh lingkungan akibatnya lansia diisolasi karena penolakan oleh orang lain atau karena sedikit interaksi yang dilakukan lansia itu sendiri (Ebersole dan Hess, 2005). Beberapa lansia menemukan kesulitan untuk menerima diri sendiri selama proses penuaan. Mereka dapat memperlihatkan ketidakmampuannya sebagai koping dengan menyangkal penurunan fungsi, meminta cucunya untuk tidak memanggil mereka nenek atau kakek atau menolak meminta bantuan dalam tugas yang menempatkan keamanan mereka pada risiko yang besar. Hal ini berbeda dengan keinginan mereka untuk tetap aktif, memiliki peran dan dapat menimbulkan ancaman terhadap kesehatannya jika melebihi batas fisik dan psikososialnya (Potter dan Perry, 2005).

Lansia sering memerlukan penetapan hubungan kembali dengan anak-anaknya yang telah dewasa. Masalah keterbalikan peran, ketergantungan, konflik, perasaan bersalah, dan kehilangan memerlukan pengenalan dan resolusi. Sering kali, anak yang telah dewasa harus berhadapan dengan perasaan bersalah, merasa bahwa mereka seharusnya datang lebih cepat kepada orang tuanya atau seharusnya membawa orang tuanya pindah ke rumahnya. Anak yang dewasa perlu menyadari bahwa beberapa perilaku yang tidak biasa yang ditunjukkan orang tuannya yang lansia lebih merupakan gejala patologis bukan tindakan yang bermakna spiritual (Potter dan Perry, 2005).

Lansia harus belajar menerima aktivitas dan minat baru untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Seseorang yang sebelumnya aktif secara sosial sepanjang hidupnya mungkin merasa relatif mudah untuk bertemu orang baru dan mendapatkan minat baru. Akan tetapi, seseorang yang introvert dengan sosialisasi terbatas, mungkin menemui kesulitan untuk bertemu orang baru selama masa pensiun.

Berdasarkan penjelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan pada individu lansia adalah penyesuaian diri terhadap segala perubahan yang ada pada dirinya baik itu penurunan fisik, keadaan ekonomi maupun hubungan social dan juga spritualnya. Keluarga merupakan hal yang penting dalam memberikan social support bagi lansia, dengan adanya keluarga diharapkan memberikan perawatan, menjaga, mempertahankan dan meningkatkan status mental, mengantisipasi perubahan social, memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual pada lansia. Perawat sebagai ahli kesehatan yang sudah megetahui hal ini harus menganggap lansia itu makhluk yang unik dan harus di rawat sebagaimana merawat orang dewasa maupun lainnya. Bukan berarti kemunduran dengan fungsi fisik mereka terus dibiarkan, akan tetapi mereka harus dihargai sehingga konsep diri mereka pun tinggi. 1.12 Teori Biologis Menua1.1.1. Teori Genetika

Teori genetika yang berfokus pada peran dari gen terkait dengan pembagian dari usia yang berubah, menjadi salah satu teori dalam teori biologis yang sangat kompleks. Salah satu teori yang muncul di awal dari teori genetik adalah program teori penuaan yang diusulkan oleh Hayflick pada tahun 1960. Teori ini beranggapan bahwa masa hidup dari hewan telah ditentukan oleh program genetik atau bisa disebut sebagai jam biologis. Pada manusia, sebagai contoh program genetik ini memperkirakan untuk nilai maksimun sekitar 110 tahun. Hayflick (1974) memperkirakan jika sel normal manusia dibagi menjadi 50 waktu dalam hitungan tahun dan beranggapan jika sel secara genetik terprogram untuk berhenti terbagi setelah membelah mencapai 50 sel, dimana hal ini membuat waktu mereka menjadi memburuk. Untuk sel yang abnormal, bagaimanapun tidak terkait untuk prediksi program ini dan bisa berpoliferasi dalam jumlah tak terbatas setiap waktu. Beberapa teori genetik yang menyebutnya sebagai teori mutasi menyebutkan terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul/DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel). Selain itu, peningkatan frekuensi kanker dan penyakit autoimun yang dihubungkan dengan bertambahnya umur menyatakan bahwa mutasi atau kesalahan terjadi pada tingkat molekular dan seluler.

Banyak studi tentang harapan hidup kembar, saudara kandung, dan beberapa dari generasi anggota keluarga memiliki pengkonfirmasiaan komponen genetik untuk penuaan dan untuk umur panjang yang lama. Studi baru juga berpendapat bahwa variabel genetik memungkinkan umur panjang gen serta ketahanan gen terhadap penyakit (Perls et al, 2002). Di tahun-tahun terakhir, penelitian tentang genetik telah berfokus pada kehadiran spesifik dari alel apolipoprotein dan peran mereka dalam risiko, dan sebagai perlindungan terhadap penyakit.

Saat ini, salah satu bidang berfokus untuk penelitian terkemuka untuk teori genetik dari penuaan pada relatif efek genetik dan pengaruh lingkungan pada penuaan. Perkiraan derajat dari pegaruh genetik pada umur panjang dan penuaan yang sehat berkisar dari 20%-33% dengan mengingat pengaruh lingkungan yang diakibatkan untuk lingkungan dan perilaku kesehatan yang berhubungan (Frisoni et al, 2001; Perls et al, 2002). Peneliti juga mempelajari bagaimana gen dapat dimanipulasi untuk mempengaruhi manifestasi spesifik dari penuaan. Tahun 2000 terlihat banyak kemajuan pada penelitian genetik sebagai ilmuwan yang terlibat dengan human genome project yang berhasil megidentifikasi lokasi dari setiap gen manusia, memfasilitasi identifikasi dari spesifik gen yang mempengaruhi antara penuaan biologis dan penyakit terkait usia. 1.1.2. Teori Wear And Tear

Teori "dipakai dan rusak" ini diambil berdasarkan teori abad 19 yang berusaha menjelaskan perbedaan antara sel "plasma nutfah" abadi mereka yang mampu memproduksi dan sel somatik fana mereka yang mati. Pada akhir 1880, August Weismann berteori bahwa sel somatik yang normal terbatas pada kemampuan mereka untuk bereplikasi dan berfungsi. Selanjutnya, dia mengatakan bahwa kematian terjadi karena jaringan yang usang tidak bisa selamanya memperbaharui diri mereka dan kehidupan organisme berujung pada "dipakai dan rusak" dalam hidup. Hal ini berhubungan dengan akumulasi sampah metabolik yang dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekular dan akhirnya malfungsi organ tubuh.

Radikal bebas adalah contoh dari produk sampah metabolisme yang menyebabkan kerusakan ketika akumulasi terjadi. Radikal bebas adalah molekul atau atom dengan suatu elektron yang tidak berpasangan. Ini merupakan jenis yang sangat reaktif yang dihasilkan dari reaksi selama metabolisme. Radikal bebas dengan cepat dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi normal. Beberapa radikal bebas berhasil lolos dari proses perusakan ini dan berakumulasi di dalam struktur biologis yang penting, saat itu kerusakan organ terjadi.

Menurut teori "dipakai dan rusak" tubuh dapat diibaratkan seperti mesin yang diharapkan dapat berfungsi baik selama waktu saat garansi, tetapi hal ini akan rusak/kadaluarsa dengan cukup waktu yang bisa diperkirakan. Bagian dari tubuh bisa diperbaiki atau diganti, tetapi akhrinya mesin ini tidak berfungsi secara lama karena akumulasi ekstensif dari dipakai dan rusak. Seperti mesin, umur panjang dari tubuh manusia bisa disebabkan dengan perawatan yang diterimanya serta dengan komponen genetik tersebut.

Faktor stres merugikan seperti merokok, diet yang salah, penyalahgunaan alkohol, atau otot meregang, dapat memperburuk proses penuaan. Hal ini disebabkan kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah (terpakai). Teori "dipakai dan rusak" dari penuaan ini didukung oleh tanda mikroskopis dari dipakai dan rusak di semua saraf dan sel otot lurik. Osteoartritis, kondisi sendi degeneratif, adalah proses terkait usia yang dapat dijelaskan oleh teori ini.1.1.3. Teori Neuroendokrin dan Imunitas

Teori neuroendokrin menjelaskan bahwa sejumlah perubahan pada sistem endokrin adalah penyebab dari perubahan fungsi organ terkait usia (Miller, 2012). Teori ini didasarkan pada pemahaman bahwa sistem neuroendokrin mengintegrasikan fungsi-fungsi tubuh serta menjadi jembatan untuk tubuh dapat beradaptasi dengan lingkungan internal maupun eksternal tubuh. Salah satu teori yaitu teori neurotransmitter menjelaskan bahwa ketidakseimbangan penyampaian impuls kimia di saraf otak mengganggu proses pembelahan sel-sel tubuh.

Sementara itu, teori imunitas berfokus pada immunosenescence, yaitu menurunnya fungsi imun yang diakibatkan bertambahnya usia, yang meningkatkan kerentanan tubuh lansia terhadap penyakit. Selain itu, menurunnya fungsi pertahanan tubuh pada lansia juga mengakibatkan respon autoimun tubuh. Ketika reaksi autoimun terjadi, tubuh lansia mennghasilkan antibodi terhadap unsurnya sendiri. Hal ini yang menyebabkan lansia lebih rentan terhadap penyakit autoimun seperti lupus atau artritis rheumatoid. 1.1.4. Teori Cross-Linkage

Teori croos-linkage mengusulkan bahwa struktur molekular yang biasanya dipisah mungkin terikat bersama melalui reaksi kimia. Menurut teori ini, agen cross linking melampirkan dirinya ke sebuah satu untai dari molekul DNA dan berpengaruh pada untai molekul DNA tersebut. Mekanisme pertahanan alami biasanya memperbaiki pengaruh/kerusakannya, tetapi usia yang meningkat melemahkan mekanisme pertahanan tersebut, memungkinkan proses cross-linkage untuk melanjutkan sampai diperbaiki kerusakan yang terjadi. Hasil akhirnya adalah akumulasi senyawa cross linking yang menyebabkan mutasi di dalam sel dan membuat sel tidak mampu untuk mengeliminasi limbah dan mentransportasi ion-ion. Ini menjadi kerusakan yang tidak bisa diperbaiki pada sel yang bentuk substansi kolagen yang akhirnya menyebabkan jaringan dan organ mengalami kegagalan karena sistem protein menjadi tidak elastis, efisien, kekacauan, dan hilangnya fungsi. Teori ini akan menjelaskan arteriosklerosis dan usia yang terkait perubahan kulit.

Manusia selalu berusaha menjelaskan bagaimana dan mengapa terjadi penuaan, namun tidak ada teori tunggal yang dapat menjelaskan proses penuaan secara lengkap dan sistematis. Walaupun tidak ada satu teori yang dapat menjelaskan peristiwa fisik yang kompleks terjadi dari waktu ke waktu, suatu pemahaman dari penelitian dan teori-teori yang dihasilkan sangat penting bagi perawat untuk membantu orang lanjut usia memelihara kesehatan fisik yang sempurna seperti teori genetik tentang penuaan sebagai akibat mutasi sel somatik, teori wear and tear terkait kecepatan penggantian struktur sel dan molekul yang tidak sebanding dengan kerusakan akibat bertambahnya waktu dan faktor lain, teori imunitas terkait peran kelenjar timus yang berkurang saat usia semakin tua sehingga sistem imunitas tubuh berkurang dan akibatnya rentan terhadap penyakit, teori cross-linkage terkait molekular yang merusak DNA dan ikatan sehingga sistem protein tidak elastis dan efektif menyebabkan jaringan/organ menjadi rusak sehubungan mekanisme pertahanan untuk memperbaiki yang lemah pada usia tua.1.1.5. Teori Radikal Bebas-Lipofusin

Radikal bebas merupakan contoh produk buangan metabolisme yang dapat menyebabkan kerusakan apabila terjadi akumulasi. Normalnya radikal bebas akan dinetralkan oleh antioksidan, namun beberapa berhasil lolos dan berakumulasi di dalam organ tubuh. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti kendaraan bermotor, radiasi, sinar ultraviolet, mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan.

Radikal bebas tidak mengandung DNA. Oleh karena itu, radikal bebas dapat menyebabkan gangguan genetik dan menghasilkan produk-produk buangan yang menumpuk di dalam inti dan sitoplasma. Peningkatan radikal bebas sangat erat hubungannya dengan proses penuaan. Ketika radikal bebas menyerang molekul, akan terjadi kerusakan membran sel, proses penuaan diperkirakan akan memperparah kerusakan. Efek akumulatif pada sel tersebut yang pada akhirnya dapat mengganggu fungsi tubuh secara normal .

Teori radikal bebas didukungan oleh penemuan lipofusin. Lipofusin merupakan pigmen yang kaya lemak dan protein. Peran lipofusin pada penuaan adalah kemampuannya untuk mengganggu transportasi sel dan replikasi DNA. Selain itu, lipofusin menyebabkan bintik-bintik penuaan. Bintik-bintik tersebut dihasilkan dari proses oksidasi lemak. 1.1.6. Teori Apoptosis

Beberapa teori biologis penuaan berdasarkan pada hubungan antara apoptosis dan penuaan. Pertama kali diusulkan pada 1970-an. Menurut teori ini, apoptosis adalah, gen-driven, proses normal perkembangan peradangan yang terus-menerus sepanjang hidup. Proses apoptosis ditandai dengan penyusutan sel tetapi integritas membran tetap terpelihara. Berbeda dari respon inflamasi terhadap trauma, yang ditandai dengan pembengkakan sel dan hilangnya integritas membran.

Ketika apoptosis diatur dengan benar, dapat membantu menjaga keseimbangan antara sel-sel yang harus dipertahankan dan yang harus dihilangkan. Apoptosis merupakan suatu program biologi sec secara langsung yang mengurangi jumlah sel yang berlebih pada masa pertumbuhan, seperti menyeleksi sel. Ketika menua maka apoptosis ini tidak teregulasi karena level protein dan yang lainnya juga berkurang. Intinya teori ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara proses menua dengan proses apoptosis (kematian sel yg diatur tubuh), ketika proses ini tidak teregulasi karena berkurangnya level protein saat manusia menua.

Ada juga teori Hayfl Ih limit yang berhubungan dengan apoptosis atau kematian sel. Hayfl Ih limit menyatakan bahwa sel-sel akan membagi afinite waktu, dan bila telah mencapai batasan tersebut, sel-sel akan menyusut, menghilang, dan akhirnya mati, sehingga mengakibatkan kematian tubuh. Batas Hayfl Ih sangat bergantung pada ilmu "kematian sel terprogram" atau "apoptosis (Wallace,2008).

Lalu Teori Fitur (Wallace,2008) memperluas karya Hayfl Ih dan focus berat sekitar apoptosis . Teori ini mengatakan bahwa proses penuaan terkandung dalam tubuh manusia . Dengan kata lain, teori yang mendukung teori ini percaya bahwa bagaimana orang usia secara genetic yang telah ditentukan. Mnurut teori ini sedikit hal yang bisa dilakukan untuk mengubah proses penuaan , meskipun intervensi diambil untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit. Tujuan utama dari penuaan, menurut teori fitur adalah untuk meningkatkan atau menyempurnakan manusia. Pendukung teori fitur terlihat dengan variasi luas dalam umur antara orang-orang di lingkungan yang sama dengan mendukung teori . Misalnya, dua orang yang tumbuh dan hidup mereka tinggal di kota yang sama , melakukan pekerjaan yang sama dan memiliki keluarga yang sama bisa mati pada usia yang sangat berbeda sebagai hasil dari genetik mereka yang berbeda satu sama lain.1.1.7. Teori Longevity and senescence

Teori ini berusaha menjelaskan tentang bagaimana kita hidup tidak hanya panjang umur tetapi juga fungsional. Alexander leaf mengatakan bahwa terdapat 7 faktor yang mempengaruhi penuaan kesehatan yaitu faktor genetic, lingkungan fisik, aktivitas fisik selama hidup,consumsi sedang alcohol, aktivitas seksual, faktor makanan dan faktor yang berhubungan dengan lingkungan sosial (Miller, 2004). Dalam teori senescence kohn telah meneliti bahwa pada otopsi manusia yg telah hidup 85 tahun atau lebih, sebanyak 26% meninggal tidak karena kondisi pathologis. Penuaan sendiri dapat menjadi penyebab utama kematian. Kohn mengatakan bahwa aging syndrome dipandang sebagai penyakit universal, progresif, dan akhirnya fatal.

Teori saat ini mencoba untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu umur panjang sehingga intervensi dapat dirancang untuk menunda timbulnya penuaan dan penyakit kronis terkait. Teori-teori ini mem